Buletin meso juni 2009 update april 09_2.pub

advertisement
Buletin
BADAN POM
Volume 27, No. 1
No. ISSN: 0852-6184
Juni 2009
Editorial
Mengambil hikmah dari beberapa pemberitaan terkait permasalahan yang ditimbulkan akibat penggunaan obat atau
efek samping obat yang terjadi belakangan ini, menunjukkan bahwa “concern” terhadap pemantauan efek samping
obat menjadi hal yang sangat diperlukan. Salah satu bentuk upaya Badan POM RI terkait hal tersebut adalah penerbitan Buletin Berita MESO ini. Buletin Berita MESO ini kami sirkulasikan dan distribusikan ke Sejawat Tenaga Kesehatan di Indonesia. Pada Buletin Berita MESO edisi kali ini, kami ketengahkan beberapa informasi regulatori dan
aspek keamanan obat yang menjadi pembahasan, baik secara global maupun lokal.
Dimulai dengan informasi tindak lanjut regulatori yang ditetapkan oleh Badan POM RI yang mencakup obat rimonabant dan golongan fluoroquinolone. Pembahasan komprehensif rimonabant terkait risiko efek samping psikiatrik
serius , utamanya depresi dan obat golongan fluoroquinolone terkait risiko efek samping tendonitis dan tendon
rupture. Di samping itu, isu aspek keamanan obat terkini terkait aspek keamanan Phenylpropanolamine (PPA) pada
obat batuk dan pilek kembali mencuat di bulan Maret 2009 yang disebabkan oleh informasi yang beredar melalui email dan pesan singkat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Badan POM RI telah melakukan
Press Release terkait hal tersebut untuk klarifikasi. Pembahasan terkait laporan kasus risiko efek samping obat
carbamazepine di Indonesia terkait Stevens Johnson’s Syndrome kami ketengahkan pada bagian informasi aspek
keamanan untuk menjadi perhatian sejawat sekalian.
Seperti biasa, tidak kenal lelah kami selalu menghimbau Sejawat sekalian untuk dapat memberikan laporan efek
samping obat yang ditemui pada praktik klinik sehari-hari yang terjadi pada pasien melalui form kuning yang
terdapat dalam Buletin ini, dan disampaikan kepada kami di Badan POM RI, sebagai Pusat MESO Nasional. Pada
bagian akhir, kami sampaikan profil pelaporan efek samping obat yang diterima oleh Badan POM RI pada tahun
2008, sebagai informasi tambahan dan apresiasi kepada Sejawat yang selama ini berperan aktif melaporkan
kepada kami.
Demikian kami sampaikan Buletin Berita MESO edisi Juni 2009 ini, semoga bermanfaat bagi Sejawat sekalian. Partisipasi aktif teman Sejawat dalam melaporkan efek samping akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan jaminan
keamanan obat yang beredar di Indonesia.
Redaksi
DAFTAR ISI:
Halaman
Rimonabant dan Risiko Efek Samping Psikiatrik Serius
2
Fluoroquinolone dan Risiko Tendonitis dan Tendon Rupture
3
Klarifikasi terkait Phenylpropanolamine (PPA)
4
Laporan Kasus (Case Reports) : Risiko Efek Samping Carbamazepine
4
Profil Laporan Efek Samping Obat Tahun 2008
5
1
V OL U M E 2 7 , N O . 1 , J U N I 2 0 0 9
BE RIT A ME SO
Informasi Tindak Lanjut Regulatori:
Rimonabant dan Risiko Efek Samping Psikiatrik Serius
Rimonabant digunakan sebagai terapi
tambahan, disamping diet dan olahraga,
untuk pengobatan pasien obesitas atau
pasien overweight dengan faktor risiko
terkait, seperti diabetes tipe 2 atau
dyslipidaemia. Obat ini bekerja dengan
cara menghambat reseptor khusus yaitu
reseptor cannabinoid tipe 1 yang terdapat
pada nervous system di dalam sel lemak
(adiposit) dan merupakan bagian dari
sistem tubuh untuk mengontrol asupan
makanan. Di Indonesia produk ini
mendapat persetujuan ijin edar sejak
tahun 2007 dengan indikasi yang disetujui
adalah: As an adjunct to diet and exercise
Menyikapi
perkembangan
aspek
keamanan rimonabant tersebut, Badan
POM RI telah melakukan pengkajian yang
komprehensif untuk penetapan tindak
lanjut regulatori yang tepat. Hasil
pengkajian oleh Badan POM RI, juga
menyimpulkan bahwa risiko rimonabant
melebihi manfaatnya. Oleh karena itu,
pada tanggal 15 Desember 2008, Badan
POM RI menetapkan pembekuan ijin edar
sementara dan penarikan dari peredaran
produk
obat
yang
mengandung
rimonabant. Tindak lanjut regulatori ini
berlaku sampai adanya perkembangan
terbaru mengenai keamanan obat
tersebut.
for the treatment of obese patients (BMI ≥
30 kg/m2), or overweight patients (BMI >
27 kg/m2) with associated risk factor(s),
such as type 2 diabetes or dyslipidaemia.
Untuk memberikan perlindungan yang
optimal pada masyarakat, pemantauan
penggunaan obat di Indonesia secara terus
menerus tetap dilakukan oleh Badan
POM.
Informasi aspek keamanan terkini terkait
rimonabant mengemuka setelah EMEA
(European Medicine Agency) menerbitkan
Press Release pada tanggal 23 Oktober
2008 tentang pembekuan ijin edar
produk yang mengandung rimonabant.
Tindak lanjut regulatori ini dilakukan
setelah hasil review oleh CHMP
(Committee for Medicinal Product Human
Use) menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan risiko efek samping psikiatri
serius utamanya depresi yang tidak dapat
diabaikan. Efek samping psikiatri serius
tersebut, sebenarnya telah teridentifikasi
sejak awal assessment pada saat premarketing evaluation, sehingga informasi
tersebut telah dielaborasi pada product
information leaflet yang menyertai obat
ini. Namun pengalaman pasca pemasaran
atau post-marketing experiences serta uji
klinik (pasca pemasaran) yang sedang
berjalan
menunjukkan
adanya
peningkatan jumlah kasus efek samping
serius tersebut. Oleh karena itu CHMP
menyimpulkan bahwa risiko rimonabant
melebihi
manfaatnya,
dan
merekomendasikan pembekuan ijin edar.
Daftar Pustaka:
1. MHRA UK, Drug Safety Update : Rimonabant,
Vol 1, 10 May 2 008
2. EMEA, Press Release, 23 October 2008
3. WHO Pharmaceuticals News Letter No.3, 2008
4. Data Badan POM RI
2
V OL U M E 2 7 , N O . 1 , J U N I 2 0 0 9
BE RIT A ME SO
Informasi Tindak Lanjut Regulatori:
Fluoroquinolone dan Risiko Tendonitis dan Tendon Rupture
Informasi aspek keamanan terkini terkait produk obat golongan fluoroquinolone yang
diperoleh dari US FDA menyebutkan bahwa
terdapat peningkatan risiko efek samping
tendonitis dan tendon rupture pada pasien
yang menggunakan obat ini. Hal ini terutama
kemungkinan terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun; yang sedang menerima obat kortikosteroid pada waktu bersamaan; dan pasien yang menerima transplantasi ginjal, jantung atau paru-paru. Dari
beberapa laporan kasus efek samping tersebut, disebutkan bahwa efek samping tendonitis tidak segera hilang meskipun obat telah
dihentikan. Efek samping tersebut dapat terjadi sampai beberapa bulan setelah penghentian obat. Produk obat golongan fluoroquinolone yang ditengarai menimbulkan risiko
efek samping tersebut adalah produk obat
untuk penggunaan sistemik (bentuk sediaan
oral dan injeksi), bukan produk untuk penggunaan topikal (bentuk sediaan optalmik dan
otik).
Sementara itu, di Indonesia, produk obat
golongan fluoroquinolone yang telah disetujui
beredar adalah ciprofloxacin, levofloxacin,
moxifloxacin, norfloxacin dan ofloxacin. Pada
labeling beberapa produk obat fluoroquinolone yang terdaftar tersebut, sebagian telah
mencantumkan informasi terkait risiko efek
samping tendonitis dan tendon rupture pada
klim special warning dan precaution, serta
contraindication. Namun Badan POM RI memandang perlu adanya pencantuman
“Boxed Warning” sebagai penekanan perlunya peningkatan kewaspadaan penggunaan obat tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, Badan POM RI telah melakukan pengkajian secara komprehensif dan ditetapkan tindak lanjut regulatori
berupa revisi labeling yaitu keharusan pencantuman “Boxed Warning” dan klim peringatan untuk semua produk obat golongan
fluoroquinolone yang beredar. “Boxed
tersebut
adalah:
Warning”
Fluoroquinolones are associated with
an increased risk of tendonitis and tendon rupture in all ages. This risk is further increased in older patients usually
over 60 years of age, in patients taking
corticosteroid drugs, and in patients
with kidney, heart or lung transplants.
Badan POM RI akan secara terus menerus melakukan pemantauan aspek keamanan obat,
dalam rangka memberikan perlindungan yang
optimal kepada masyarakat, dan sebagai
upaya jaminan keamanan produk obat yang
beredar di Indonesia.
Berkaitan dengan tindak lanjut regulatori
tersebut diatas direkomendasikan kepada
dokter yang meresepkan fluoroquinolone untuk
memberikan saran kepada pasien yang
mengalami rasa nyeri (pain), pembengkakan
(swelling) dan peradangan (inflamation) pada
tendon atau tendon rupture untuk segera
menghentikan penggunaan fluoroquinolone
dan segera menghubungi dokter untuk
mengkonsultasikan
alternatif
pengganti
fluoroquinolone.
Pasien
juga
sebaiknya
menghindari aktivitas olahraga dan aktivitas
lain yang menggunakan tendon yang terkena
dampak.
Daftar Pustaka :
1. US FDA, Information for Healthcare Professionals, 8
July 2008
2. US FDA, FDA Patient Safety News, October 2008
3. WHO Pharmaceuticals News Letter No.3, 2008
4. Australian Adverse Drug Reaction Bulletin, Volume
27, No. 5, October 2008
5. Data Badan POM RI
3
V OL U M E 2 7 , N O . 1 , J U N I 2 0 0 9
BE RIT A ME SO
Informasi Aspek Keamanan Obat
1. Klarifikasi terkait Phenylpropanolamine
(PPA)
Isu aspek keamanan terkait PPA mulai mencuat ke permukaan pada November 2000 di US FDA, didasarkan
atas hasil evaluasi adanya peningkatan risiko perdarahan otak pada penggunaan PPA dosis tinggi dalam
jangka waktu lama sebagai obat pelangsing. Terkait dengan hal ini, Badan POM RI pada Desember 2000 dan
tanggal 16 April 2001 telah menerbitkan Public Warning
atau Peringatan Mengenai Obat yang Mengandung PPA,
dengan penjelasan sebagai berikut:
♦ Obat yang mengandung PPA di Indonesia mememiliki dosis kecil dengan indikasi sebagai obat flu
dan batuk, aman untuk digunakan
♦ Untuk tindakan kehati-hatian, dosis maksimal PPA
per takaran dalam obat flu dan batuk diturunkan
menjadi 15 mg dan tidak boleh melebihi dosis maksimal 75 mg per hari (dewasa) dan 37,5 mg per hari
(anak 6—12 tahun)
♦ Pada kemasan produk harus dicantumkan peringatan (Boxed Warning) yang harus dibaca sebelum
menggunakan obat
♦ Terhadap obat flu dan batuk dengan dosis PPA melebihi 15 mg per takaran tidak diperkenankan lagi
untuk diedarkan.
Pada Juli 2008, isu ini berkembang lagi dengan modus
berupa penyebaran surat peringatan Kepala Badan POM
RI palsu tentang bahaya PPA di masyarakat, melalui email, SMS (short message service) dan selebaranselebaran gelap sampai ke rumah sakit di daerah dan
Puskesmas. Untuk itu, selain melakukan klarifikasi
kepada publik, Badan POM RI juga bekerjasama dengan
Kepolisian RI untuk menangkap penyebar informasi
palsu, dengan pelaku seseorang yang bekerja di RS
Gleneagles.
Pada awal bulan Maret 2009, berkembang kembali isu
bahwa US FDA melakukan penarikan obat flu dan batuk
yang mengandung PPA per 1 Maret 2009 dikarenakan
risiko perdarahan otak. Isu tersebut berkembang melalui
SMS dan e-mail yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sumber kebenarannya. Sekaitan hal tersebut, Badan
POM RI telah berkomunikasi dengan US FDA untuk
mendapatkan klarifikasi dan diperoleh jawaban bahwa
hal tersebut tidak benar. Untuk menghindari deviasi informasi yang terjadi di masyarakat, pada tanggal 16 April
2009 dan 21 April 2009, Badan POM RI menerbitkan
Keterangan Pers tentang Penjelasan Terkait Informasi
Obat Flu dan Batuk yang Mengandung Phenylpropanolamine (PPA).
4
Penjelasan Badan POM RI adalah sebagai berikut:
1. Tidak benar pada tanggal 1 Maret 2009, US-FDA
mengeluarkan pengumuman tentang obat flu dan
batuk yang mengandung PPA seperti diberitakan
melalui SMS dan e-mail.
2. Saat ini tidak ada informasi baru terkait keamanan
PPA. Pada bulan November 2000 US FDA menarik
obat yang mengandung PPA karena diduga ada
hubungan antara perdarahan otak dengan penggunaan PPA dosis besar sebagai obat pelangsing.
3. Di Indonesia, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam
obat flu dan batuk dan tidak pernah disetujui sebagai
obat pelangsing.
4. Obat flu dan batuk yang mengandung PPA dan telah
mendapat izin edar aman dikonsumsi sesuai aturan
pakai yang telah ditetapkan.
Untuk memberikan sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat dalam penggunaan obat flu dan batuk yang
mengandung PPA, Badan POM RI memuat (upload) keterangan pers tersebut di atas di website Badan POM RI,
yaitu di www.pom.go.id yang dilengkapi dengan tanyajawabnya.
Daftar Pustaka :
1. US FDA, FDA Public Health Advisory, November 2000
2. US FDA, PPA Information Page, Desember 2005
3. Badan POM RI, Public Warning Obat yang Mengandung
PPA, April 2001
4. Data Badan POM RI
__________________________________________________
2. Laporan Kasus (Case Report):
Risiko Efek Samping Carbamazepine
Di Indonesia, carbamazepine disetujui untuk indikasi
epilepsi lobus temporalis, epilepsi psikomotor, kejang
tonik klonik (grandmal) terutama pada anak, neuralgia
trigeminal, neuralgia glosofaringeal, polidipsia, dan
poliuria neurohormonal. Pusat MESO Nasional menerima 3 laporan kasus efek samping terkait penggunaan
obat ini pada tahun 2007 dan 2008.
Kasus pertama, pasien laki-laki usia 25 tahun, diberikan
carbamazepine untuk pengobatan depresinya. Carbamazepine diminum selama 5 hari dengan frekuensi 3
kali sehari, namun dosis tidak secara jelas disebutkan.
V OL U M E 2 7 , N O . 1 , J U N I 2 0 0 9
Pada hari ke-lima pasien mengalami bruntus kemerahan di area dada, punggung, lengan dan kaki. Kesimpulan dokter yang memeriksa, pasien mengalami efek
samping rash (drug eruption), dan carbamazepine
merupakan obat yang diduga menyebabkan efek
samping tersebut. Kesudahan efek samping obat
tersebut hingga laporan diterima oleh Badan POM,
belum sembuh.
Kasus ke-dua, pasien laki-laki usia 23 tahun, menerima carbamazepine untuk penyakit epilepsi yang
dideritanya. Dosis yang diberikan 600 mg per hari, dan
pasien meminum obat selama 15 hari. Pasien mengalami macula, papula eritema dan purpura pada
hampir seluruh tubuh. Dokter yang menyampaikan
laporan efek samping ini, menyimpulkan bahwa
pasien mengalami efek samping epidermal necrolysis.
Kesudahan efek samping, pasien dilaporkan sembuh.
Kasus ke-tiga, pasien laki-laki usia 43 tahun, menderita epilepsi dan schizophrenia, menerima carbamazepine, ibuprofen, paracetamol, amitriptiline dan
haloperidol. Pasien mengalami gejala Stevens Johnson’s Syndrome (SJS), ditandai dengan bercak hitam
di dada, punggung, leher dan sebagian kaki yang
terasa gatal. Dokter yang melaporkan kasus efek
samping ini menyimpulkan bahwa pasien mengalami
SJS. Kesudahan efek samping ini, pasien dilaporkan
sembuh.
SJS merupakan, efek samping yang jarang terjadi,
dan telah diketahui pada beberapa referrensi bahwa
carbamazepine dapat menyebabkan efek samping
yang jarang ini. Pada sebuah case report dari Taiwan
yang dimuat dalam Reaction Weekly, Maret 2008,
disebutkan bahwa SJS yang kemudian memicu Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN) pada seorang pasien
yang memiliki riwayat SJS lima tahun sebelumnya.
Dari hal tersebut disimpulkan bahwa sebaiknya carbamazepine tidak diberikan kepada pasien yang
memiliki riwayat SJS.
BE RIT A ME SO
2. J.K. Aronson, Meyler’s Side Effect of Drugs, The International Encyclopedia of ADRs and Interactions, 15th Edition,
Vol. 2, 2006
3. Data Badan POM RI
_______________________________________________
Profil Laporan Efek Samping Obat
Tahun 2008
Badan POM RI, sebagai Pusat MESO Nasional, dalam
tahun 2008 telah menerima sejumlah laporan kasus efek
samping obat. Laporan tersebut diterima dari beberapa
tenaga kesehatan di Rumah Sakit, Puskesmas, dan Praktek Umum.
Variasi jenis obat yang dilaporkan menyebabkan efek
samping dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
GOLONGAN OBAT YANG DIDUGA
GOLONGAN OBAT YANG DIDUGA
M ENIM BULKAN ESO
MENIMBULKAN ESO
Antibiotik
2%
23%
23%
24%
24%
2%
Antibiotik
Analgesik&antipiretik
Analgesik&Antipiretik
Anti Tuberculous agents
Anti Tuberculous Agents
2%
2%2%
2%
2%
2%
2%
3%
2%
3%
3%
20%
20%
3%
3%
3% 5%
5%
9%
9%
Cough&Cold remedies
Cough&Cold Remedies
Anticonv ulsant
Anticonv ulsant
Antasida
Antasida
Antiv
iraliral
Antiv
Anti
HyHy
pertension
Anti
pertension(ACE
(ACEinhibitor)
inhibitor)
Antihistamin&Antialergi
Antihistamin&Antialergi
Gout
Preparation
Gout
Preparation
Antirheumatic,
, ,
Antirheumatic,Anti-inflamatory
Anti-inflamatory
analgesic
Analgesic
Corticosteroide
Corticosteroidehormone
Hormone
Lain-lain
Lain-lain
Sementara itu, jenis efek samping obat yang sering dilaporkan adalah efek samping pada kulit. Selengkapnya
proporsional jenis efek samping yang dilaporkan adalah
sebagaimana diagram di bawah ini:
EFEK SAMPING OBAT YANG DILAPORKAN TERJADI
10%
Rash makulo-papular
4%
4%
31%
5%
Rash
Steven's Johnson
Syndrome
Fixed Drug eruption
Kasus laporan efek samping di Indonesia terkait carbamazepine dan SJS, bisa jadi banyak yang under
reporting. Untuk menghindari hal tersebut terjadi, sebaiknya dokter dapat menanyakan kepada pasien
apakah pernah mengalami kondisi seperti SJS di
masa lalu, sebelum meresepkan carbamazepine.
Daftar Pustaka:
Daftar Pustaka:
- Data Badan POM RI
Udema
14%
Urticaria
Lain-lain
32%
1. ADIS, Reaction Weekly, No. 1191, Maret 2008
5
APA YANG PERLU DILAPORKAN
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping akibat obat perlu dilaporkan. Laporan tidak harus didasarkan atas
kepastian seratus persen adanya hubungan kausal antara efek samping dengan obat. Bila Saudara menemukan reaksi
yang masih diragukan hubungannya dengan obat yang digunakan, adalah lebih baik dilaporkan daripada tidak sama sekali.
REAKSI-REAKSI APA YANG SEYOGYANYA DILAPORKAN ?
• Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek samping yang selama ini tidak pernah /
belum pernah dihubungkan dengan obat yang bersangkutan .
• Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat.
• Setiap reaksi efek samping serius, antara lain :
♣ Reaksi anafilaktik
♣ Diskrasia darah
♣ Perforasi usus
♣ Aritmia jantung
♣ Seluruh jenis efek fatal
♣ Kelainan congenital
♣ Perdarahan lambung
♣ Efek toksik pada hati
♣ Efek karsinogenik
♣ Kegagalan ginjal
♣ Edema laring
♣ Efek samping berbahaya seperti sindroma Stevens Johnson
♣ Serangan epilepsi dan neuropati
• Setiap reaksi ketergantungan
Sebagai contoh klasik adalah yang berkaitan dengan obat golongan opiat; walaupun demikian berbagai obat
lain dapat menimbulkan reaksi ketergantungan fisik dan atau psikis
APA PERANAN LAPORAN EFEK SAMPING OBAT (ESO) SAUDARA ?
Setiap laporan ESO yang diterima dievaluasi oleh Badan POM RI sebagai Pusat MESO Nasional untuk menentukan
hubungan kausal produk obat yang dicurigai dengan efek samping yang dilaporkan, menggunakan kriteria yang
telah ditetapkan.
Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO-UMC Collaborating Centre for International
Drug Monitoring. Untuk itu laporan ESO di Indonesia yang diterima oleh Pusat MESO Nasional dari Saudara, akan
dikirim ke “Pusat Monitoring Efek Samping Obat Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala,
Swedia. Data ESO dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari Indonesia, selanjutnya akan masuk dalam
data base Pusat MESO Internasional. Drug Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling
bertukar menukar informasi berkaitan drug safety melalui e-mail Vigimed Lists.
Laporan efek samping yang dikaji/evaluasi sesuai derajat/tingkat kegawatan efek samping dan/atau insidens
atau hal lain, hasilnya dapat berbentuk saran serta tindak lanjut terhadap kasus yang bersangkutan oleh pihak
regulatori, dan dipublikasi di dalam bulletin BERITA MESO. Pusat MESO Nasional sangat mengharapkan dan
menghargai peran aktif untuk berpartisipasi di dalam kegiatan MESO dengan cara mengirimkan laporan efek
samping obat yang Saudara jumpai.
DEWAN REDAKSI BULETIN BERITA MESO:
Dra. Lucky S. Slamet, MSc.; Drs. Wusmin Tambunan, MSi.; Dr. Suharti K.S., SpFK; Prof.Dr. Armen Muchtar, SpFK;
Prof.Dr. Hedi Rosmiati, SpFK; Dra. Engko Sosialine M; Dra. Tuning Nina D; Siti Asfijah Abdoellah, SSi, MMedSc
(Clin Epid); Dra. Warta Br. Ginting; Dra. Umma Latifah; Dra. Herawati, M.Biomed, Apt; Juliati, SSi, Apt; Teti
Hastati , SSi, Apt; Megrina Dian Agustin, SSi,Apt; Rahma Dewi Handari, SSi, Apt; Zulfa Auliyati Agustina, S.KM.
Alamat Redaksi BULETIN BERITA MESO
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
Jl. Percetakan Negara No. 23 Kotak Pos No. 143 JAKARTA 10560
Telp : (021) 4245459; 4244755 ext. 111 Fax : (021) 4243605; 42883485
e-mail : [email protected]; [email protected]
6
7
Download