H a l a m a n | 222 BAB 11 HUTAN HUJAN TROPIS INDONESIA SASARAN BELAJAR Mahasiswa mampu menguraikan dan mendeskripsikan karakteristik dan pembagian tipe-tipe, karakteristik fisik, flora dan fauna hutan hujan tropika Indonesia STRATEGI PEMBELAJARAN Materi Pokok Bahasan Bab 11, di sajikan dan bentuk kuliah tatap muka, diskusi, presentasi tugas individu ataupun kelompok TEORI PENDAHULUAN Hutan hujan tropika adalah hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi, atau hutan dengan pohon-pohon yang tinggi, iklim yang lembap, dan curah hujan yang tinggi. Pada hutan hujan tropika terdapat berbagai kehidupan hewan, serangga yang jumlahnya tak terhitung dan kadang-kadang memiliki warna yang indah sekali, juga banyak terdapat katak pohon, kadal, ular, burung, tupai, dan monyet, sebagian besar hidup hewan tersebut di atas pohon dan sangat jarang turun untuk menyentuh tanah selama hidupnya. Tumbuhan penyusun dari hutan hujan dapat berganti daun-daunya setiap tahunnya secara individual. Sepanjang tahun terjadi pembungaan dan pembentukkan buah, meskipun ada kecenderungan setiap tumbuhannya memiliki musim pembuahan pada waktu-waktu tertentu dan tidak sama untuk setiap jenis tumbuhan. Proses demikian disebut dengan gejala cauliflory (berbunga dan berbuah pada batang atau dahan-dahan yang telah tua dan tidak berdaun lagi). Proses dan siklus yang demikian itu merupakan gejala yang sangat umum dalam wilayah Hutan Hujan Tropika. FORMASI EKOSISTEM HUTAN Formasi ekosistem hutan merupakan tipe atau bentuk susunan ekosistem hutan yang terjadi akibat pengaruh faktor lingkungan yang dominan terhadap pembentukan dan perkembangan komunitas dalam ekosistem hutan. Pengelompokan formasi hutan diilhami oleh paham tentang klimaks, yaitu komunitas akhir yang terjadi selama proses suksesi. Paham klimaks berkaitan erat dengan adaptasi tumbuhan secara keseluruhan mencakup segi fisiologis, morfologis, syarat pertumbuhan, dan bentuk hidupnya, sehingga kondisi ekstrim dari pengaruh iklim (klimatis) dan tanah (edafis) akan menyebabkan adaptasi tumbuhan menjadi nyata (Arief, 1994). Hal ini akan berpengaruh pada bentuk susunan ekosistem hutan (formasi hutan). MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 223 Berdasarkan atas faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap susunan komunitas hutan, maka ekosistem hutan dikelompokkan ke dalam dua formasi, yaitu formasi klimatis (formasi klimaks iklim) dan formasi edafis (formasi klimaks edafis). - Formasi klimaks iklim adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh unsur iklim, misalnya suhu, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan angin. Ekosistem hutan yang termasuk formasi klimatis, menurut Arief (1994), adalah hutan hujan tropis, hutan hujan subtropics, hutan musim, hutan sabana, hutan duri (Chapparral), hutan hujan temperate, hutan konifer, dan hutan pegunungan. - Formasi klimaks edafis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, misalnya sifat fisika tanah, sifat kimia, dan sifat biologi tanah, serta kelembaban tanah. Jenis ekosistem hutan yang termasuk ke dalam formasi klimaks edafis adalah hutan rawa, hutan payau, hutan pantai, hutan riparian, hutan mangrove, hutan kering selalu hijau, hutan sabana, hutan nipah, dan hutan duri. Hutan riparian dianggap sebagai subtipe hutan hujan tropis, sedangkan hutan nipah sebagai konsosiasi hutan payau atau hutan rawa. Karakteristik Hutan Hujan Tropika Hutan hujan tropika terbentuk di wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1,750 mm dan 2,000 mm, sedangkan ratarata kelembapan udara 80%. Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling kaya, baik dalam arti jumlah jenis makhluk hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang dimilikinya. Hutan hujan tropika memiliki kanopi, yaitu lapisan-lapisan cabang pohon beserta daunnya yang terbentuk oleh rapatnya pohon-pohon. Hutan hujan memiliki tingkat keragaman biota yang tinggi (biodiversity) hewan, dan jamur yang ditemukan di suatu ekosistem. Iklim selalu basah, curah hujan tinggi dan merata, tanah kering sampai lembap dan beragam jenis tanah. Tumbuhan umumnya tumbuhan berkayu (pohon dan liana), tumbuhan berbatang kurus. Terdapat di pedalaman pada tanah rendah sampai berbukit (1000 m dpl) sampai pada dataran tinggi 4000 m dpl). Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya: hutan hujan bawah (2 - 1000 m dpl). Hutan hujan tengah (1000 - 3000 m dpl), hutan hujan atas (3000 - 4000 m dpl), terdapat terutama di Sumatera. Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian. Hutan dataran rendah ini didominasi pepohonan besar yang membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), tinggi tajuk teratas rata-rata 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun. Ada tiga lapisan tajuk atas di hutan ini: a. Lapisan pohon-pohon yang lebih tinggi, muncul di sana-sini dan menonjol di atas atap tajuk. Pohon-pohon tertinggi memiliki batang bebas cabang lebih dari 30 m, dan dengan lingkar batang sampai 4,5 m. b. Lapisan kanopi hutan rata-rata, yang tingginya antara 24–36 m. c. Lapisan tajuk bawah, yang tidak selalu menyambung MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 224 Kanopi hutan banyak mendukung kehidupan lainnya, semisal berbagai jenis epifit, bromelia, lumut, serta lichenes , yang hidup melekat di pohon. FUNGSI HUTAN HUJAN TROPIKA Hutan hujan tropika memiliki fungsi dalam ekosistem secara global, karena beberapa alasan sebagai berikut : Hutan hujan membantu menstabilkan iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Hutan Hujan menyediakan rumah bagi tumbuhan dan hewan liar. Melindungi dari banjir, kekeringan, dan erosi Sumber dari obat-obatan dan makanan Menyokong kehidupan manusia suku pedalaman; dan adalah tempat menarik untuk dikunjungi TUMBUHAN PENYUSUN HUTAN HUJAN TROPIKA Berdasarkan habitusnya, maka kelompok tumbuhan utama penyusun hutan hujan tropika yang basah (lembap), biasanya terdiri atas tujuh kelompok utama, yaitu: 1. Pohon-pohon Hutan Pohon merupakan komponen struktural utama, terkadang untuk mudahnya dinamakan tajuk (canopy). Kanopi ini terdiri dari tiga tingkatan, dan setiap tingkatan ditandai dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan tingakatan tumbuhan yang menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Pohonnya dicirikan dengan jarak antar pohon agak berjauhan dan jarang namun menjadi lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkat-an ini merupakan tajuk-tajuk pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk sebuah massa yang dapat disebut sebagai sebuah atap (kanopi). Sedangkan tingkatan C merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing 2. Terna Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari dapat tembus sampai ke lantai hutan. Pada bagian ini banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang hidup pada keadaan yang lembap dan cenderung bersifat terna seperti paku-pakuan. Terna dapat membetuk lapisan tersendiri, berupa lapisan semak-semak (D), terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi. Lapisan kedua yaitu semai-semai pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2 m. Lapisan semak sering mencakup beberapa terna besar seperti Scitamineae (pisang) yang tingginya dapat melebihi 5 m. Meskipun kondisi iklim mikronya panas dan lembap, namun perkembangan terna dalam hutan hujan tropika kurang baik. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 225 3. Tumbuhan Pemanjat Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutan liana. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu memberikan salah satu ciri yang khas dari hutan hujan tropika. Sering pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar. 4. Epifita Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang atau pada daun-daun pohon, semak, dan liana. Tumbuhan ini hidup diakibatkan oleh kebutuhan akan cahaya matahari yang cukup tinggi. Beberapa dari tipe ini hidup di atas tanah pada pohon- pohon yang telah mati. Jumlah jenisnya beraneka ragam, biasanya melibatkan jenis-jenis tumbuhan berspora, baik dari golongan rendah maupun paku-pakuan dan tumbuhan berbunga. Kehadiran epifit dalam ukuran yang luas digunakan sebagai pembeda antara hutan hujan tropis dengan komunitas hutan di daerah iklim sedang. 5. Pencekik Pohon Tumbuhan pencekik memulai kehidupannya sebagai epifita, tetapi kemudian akar-akarnya menancap ke tanah dan tidak menggantung lagi pada inangnya. Tumbuhan ini sering membunuh pohon yang semula membantu menjadi inangnya. Tumbuhan pencekik yang paling banyak dikenal dan melimpah jumlahnya, baik dari segi jenis ataupun populasinya, adalah Ficus spp. yang memainkan peranan penting baik dalam ekonomi maupun fisiognomi hutan hujan tropis. Biji-biji dari tumbuhan pencekik ini berkecambah di antara dahan-dahan pohon besar yang tinggi atau semak yang menjadi inangnya. 6. Saprofita Saprofita mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati. Tumbuhan ini merupakan komponen heterotrof yang tidak berwarna hijau di hutan hujan tropis. Kelompok meliputi cendawan atau jamur (fungi), dan bakteri. Kelompok organisme ini membantu penguraian organik, dan yang hidup permukaan lantai hutan. Beberapa jenis anggrek dari familia Burmanniaceae dan Gentianaceae, jenis Triuridaceae dan Balanophoraceae yang mengandung sedikit klorofil dan dapat hidup dengan cara saprofit. 7. Parasit Kelompok tumbuhan yang mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk kelangsungan hidupnya. Tumbuhan ini berupa cendawan maupun tumbuhan tingkat tinggi yang digolongkan dalam 2 sinusia penting. Pertama adalah parasit akar yang tumbuh di atas tanah dan yang kedua adalah setengah parasit (hemiparasit) yang tumbuh seperti epifita di atas pohon. Parasit akar jumlahnya sangat sedikit dan tidak seberapa penting artinya, namun bila dikaji secara mendalam akan sangat menarik sekali. Hemiparasit yang bersifat seperti epifit jenisnya sangat banyak dijumpai di seluruh hutan hujan tropika, kebanyakan hemiparasit adalah dari familia benalu Loranthaceae. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 226 Physiognomi Tipe Hutan Hujan Tropika Sistem klasifikasi berdasarkan fisiognomi dipakai sebagai dasar untuk melihat ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali dan dibedakan, seperti semak, rumput, dan pohon. Ciri lebih lanjut seperti menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi penutupan tegakan dapat pula diterapkan, ciri-ciri umum digunakan yaitu: Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa Struktur, berpedoman pada stratum A, B, C, D dan E, dan tajuk (coverage). Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu penyusun komunitas tumbuh-tumbuhan. Sebagai contoh : 1. Ciri Physiognomi Hutan Tropika Dataran Rendah Kanopi : 25 - 45 m, tinggi pohon (emergent) 60 – 80 m, daun penumpu : sering dijumpai elemen daun dominan : mesophyl, akar papan : sering dijumpai dan sangat besar, kauliflori : sering dijumpai, liana berkayu : sering dijumpai, liana pada batang : sering dijumpai, dan ephyphit : sering dijumpai 2. Ciri Physiognomy Hutan Tropika Dataran Tinggi/Pegunungan Kanopi : 15-33 m, tinggi pohon (emergent) : sering tidak ada, daun penumpu : jarang dijumpai,elemen daun dominan : mesophyl, akar papan : jarang dijumpai dan kecil, kauliflori : jarang dijumpai, liana berkayu : jarang dijumpai, liana pada batang : sering dijumpai, dan ephyphit : sangat sering dijumpai. 3. Ciri Physiognomi Hutan Tropika Pegunungan Tinggi Kanopi : 2-18 m, tinggi pohon (emergent) : pada umumnya tidak ada, daun penumpu : sangat jarang dijumpai, elemen daun dominan : microphylakar papan : umumnya tidak ada, kauliflori : tidak ada, liana berkayu : tidak ada, liana pada batang : jarang dijumpai, dan ephyphit : sering dijumpai. Stratifikasi Tajuk Hutan Hujan Tropika Struktur Hutan Hujan Tropika paling jelas penampakan stratifikasi tajuk pohonpohonnya yaitu: semak dan tumbuhan bawah. Stratifikasi dalam Hutan Tropis membentuk tingkatan stratum sebagai beriku: 1. Stratum A : pohon-pohon dengan tinggi total lebih dari 30 m, tajuk batang pohon tinggi dan lurus batang bebas cabang lebih tinggi 2. Stratum B : pohon-pohon dengan tinggi antara 20 m-30 m. 3. Stratum C : pohon dengan tinggi 4-20 m, pohon rendah dan banyak cabangnya, dan masih terdapat pula strata perdu, semak dan tumbuhan penutup tanah. 4. Stratum D: perdu dan semak dengan tinggi 1-4 m. 5. Stratum E : tumbuh-tumbuhan penutup tanah (groundcover) tinggi 0 -1 m. Stratifikasi terjadi akibat persaingan dalam waktu yang relatif lama setelah melalui proses adaptasi dan stabilisasi. Jenis-jenis tumbuhan tertentu akan lebih berkuasa (dominan) daripada jenis-jenis yang lain. Komponen struktur vegetasi ada tiga, yaitu: MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 227 - Struktur vertikal (misalnya stratifikasi dalam beberapa lapis) - Struktur horizontal (menggambarkan distribusi ruang dari jenis dan individu - Struktur kuantitatif (menggambarkan kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas). TIPE HUTAN YANG DIPENGARUHI FAKTOR EDAPHIT Faktor edafik merupakan kondisi pembentuk tanah yang didalamnya terdapat antara lain: 1. Butiran Tanah Jika butiran tanah padat, maka kandungan air akan bertambah banyak dan akar tumbuhan akan lebih mudah mencari cairan untuk membantu proses fotosintesis. Wilayah hutan di Kalimantan atau di Sumatra memiliki butiran tanah yang padat yang secara otomatis kandungan airnya juga banyak. Hal itu yang menyebabkan hutan pada wilayah Kalimantan dan Sumatra merupakan hutan yang lebat dengan tumbuhan heterogen.Wilayah pesisir pantai di Indonesia memiliki butiran tanah yang tidak padat dan tumbuhan jarang tumbuh di daerah pesisir pantai. Tumbuhan yang dapat hidup di pesisir pantai relatif sedikit, contohnya bakau dan kelapa. 2. Humus, air tanah dan unsur mineral Humus adalah yang termasuk dalam kandungan atau komposisi dalam tanah yang menentukan tingkat kesuburan tanah. Tanah yang memiliki humus banyak akan banyak juga ditumbuhi tumbuhan. Air tanah yang tersedia dan terkandung dalam tanah akan menentukan pertumbuhan akar di tanah. Akar yang besar pada tumbuhan berfungsi sebagai penopang dan kekuatan dari pohon itu. Hutan Tropika di Indone-sia, pohon-pohon yang ada sangat banyak dan lebat. Berdasarkan keadaan faktor edafik maka hutan dapat dibedakan atas beberapa tipe, yaitu: a. Tipe hutan rawa air tawar freshwater swamp forest b. Tipe hutan rawa gambut peat swamp forest c. Tipe hutan rawa bakau atau hutan bakau mangrove forest d. Tipe hutan kerangas heath forest e. Tipe hutan tanah kapur limestone forest f. Tipe hutan pantai (Beach Forest) g. Tipe hutan pinggir sungai (Riparian Forest) 1. Tipe Hutan Rawa Air Tawar ( Freshwater Swamp Forest) Beberapa ciri tipe ekosistem hutan rawa air tawar adalah tidak terpengaruh oleh iklim, terdapat di daerah dengan kondisi tanah yang selalu tergenang air tawar, pada daerah yang terletak di belakang hujan payau, dengan jenis tanah alluvial, dan kondisi aerasinya buruk (Arief, 1994; Santoso 1996), tetapi lebih banyak ditemukan di sepanjang pinggiran sungai. Dijumpai tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi berjenis tanah alluvial (lumpur tergenang air tawar), dapat dijumpai di hampir MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 228 seluruh dunia. Tipe hutan rawa terdapat di seluruh wilayah Indonesia, di Sumatra bagian Timur, Kalimntan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua bagian Selatan. Vegetasi yang menyususn ekosistem hutan rawa termasuk vegetasi yang selalu hijau, beberapa berupa pohon dapat mencapai tinggi 40 meter dan mempunyai beberapa lapisan tajuk. Oleh karena mempunyai beberapa lapisan tajuk (stratum), maka bentuknya hampir menyerupai ekosistem hutan hujan tropis. Hutan rawa banyak mengandung unsur hara sehingga pH air relatif rendah, kandungan O2 sedikit (anaerobic) akibat drainase yang tidak baik. Tumbuhan umumnya berakar lutut (kneeroot), akar banir/papan (plankroot) dan akar jangkar/tunjang (stilt root). Kaya jenis tumbuhan terutama dari Palmae, Areca, Pandanus, Metroxylon dan juga dijumpai pohon dalam jumlah sedikit dari Koompasia exelca, Koompasia chinensis, Alstonia scholaris, Dacryodes rostata, Canarium spp, dan Dyera spp. Tabel 16. Jenis-Jenis Tumbuhan Di Hutan Rawa Jenis Pohon Dominan Jenis Tumbuhan Lainnya Gluta renghas Alstonia spp Dyera costulata Gonystylus bancanus Canarium spp Vatica rassak Shorea albida Koompassia malaccensis Calophyllum spp K. exelca Calophyllum retusus Palaquium leiocarpum Shorea uliginosa Xylopia spp Metroxylon spp Endiandra rubescens Litsea firma Eugenia grandis Knema latifolia Diospyros spp Baccaurea spp Camnosperma auriculata Camnosperma macrophylla Chaetocarpus castanocarpus Garcinia diversifolia Cocos borneoensis Ficus retusa Vatica oblongata Sterculia spp Sumber :Bratawinata, A. A.,1998 Pada umumnya spesies tumbuhan yang ada di ekosistem hutan rawa cenderung berkelompok membentuk komunitas tumbuhan miskin spesies, dengan penyebaran yang tidak merata, yang bahkan di beberapa tempat kadang hanya ditumbuhi rumput, pandan dan palem. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 229 2. Tipe Hutan Gambut (Peat Forest) Hutan gambut merupakan hutan yang tumbuh di atas kawasan yang selalu digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 – 4,0 (Arief, 1994). Hal ini menjadikan tanah sangat miskin zat hara, tetapi di dalamnya terdapat penumpukan bahan organik dari tumbuhan yang telah mati, yang lambat laun berubah menjadi gambut yang tebalnya bisa mencapai 20 meter. Ekosistem hutan gambut merupakan tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh diatas tumpukan bahan organik yang melimpah. Daerah gambut pada umumnya mengalami genangan air tawar secara periodik dan lahannya bertopografi bergelombang kecil sehingga menciptakan bagian-bagian cekungan tergenang air tawar. Bahan-bahan organik yang tenggelam dalam lumpur mengandung sedikit oksigen, sehingga jasad renik tanah sebagai pengurai relatif tidak melakukan fungsinya secara baik. Pada akhirnya bahan organik tersebut lambat laun menjadi gambut yang tebal. Permukaan gambut tampak seperti kerak yang berserabut, kemudian bagian dalam yang lembab berisi tumpuhan sisa-sisa tumbuhan. Anwar dkk. dalam Irwan, (1994), mengkalsifikasikan hutan gambut ke adalam dua bentuk yaitu : a. Gambut Ombrogen : bentuk gambut ini umum dijumpai dan banyak ditemukan di daerah dekat pantai dengan keadalaman gambut mencapai 20 m. Air gambut itu sangat asam dan sangat miskin hara (Oligotropik) terutama kalsium karena tidak ada zat yang masuk dari sumber lain. Sehingga tumbuhan yang hidup pada tanah gambut ombrogen merupakan zat hara dari gambut dan dari air hujan. b. Gambut topogen : bentuk gambut seperti ini tidak sering dijumpai, biasanya terbentuk pada lekukan-lekukan tanah di pantai-pantai (di balik bukit pasir) dan di daerah pedalaman yang drainasenya terhambat. Air gambut ini bersifat agak asam dan mengandung zat hara agak banyak (mesotrofik). Tumbuhan yang hidup pada tempat ini masih mendapatkan zat hara dari tanah mineral, air sungai, sisa-sisa tumbuhan dan air hujan. Tabel 17. Jenis Tumbuhan Hutan Gambut (Sumber :Bratawinata, A. A.,1998) Jenis Pohon Besar Jenis Pohon Dominan Jenis Tumbuhan Lainnya Shorea albida Cratoxylum arborescens Gonystylus bancanus Canarium spp Durio carinatus MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Canarium vulgare Melaleuca leucadendron Durio spp Combretocarpus rotudatus Cratoxylum arborescens Dacrydium spp Alstonia scholaris Dyera costata Tetramerista glabra Dactylocladus stenostachys Myristica sp Shorea albida Shorea teysmania Shorea parvifolia Calophyllum inophyllum Dryobalanops spp Dyera lowii Palaquium rostatum Palaquium leiocarpum Koompasia malaccensis Eugenia spp Tristania spp Litsea spp Garcinia spp MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 230 Sebenarnya hutan gambut termasuk tipe hutan rawa, akan tetapi karena memiliki tumpukan bahan organik yang sangat tebal sehingga susah membusuk atau terdekomposisi. pH tanah sangat rendah antara 2 – 4, tetapi temperatur tanahnya relatif tinggi dari pada temperatur udara di sekelilingnya. Keanekargaman jenis rendah, dengan celah canopi yang sangat lebar, ukuran pohon umumnya menengah, warna tanah dan air coklat sampai kehitam-hitaman. Tipe hutan gambut ini berada pada daerah yang memiliki iklim A dan B (tipe iklim Schmidt dan Ferguson), pada tanah organosol yang memiliki lapisan gambut setebal lebih 50 cm (Santoso, 1996). Hutan gambut umum dijumpai diantara hutan rawa dan hutan hujan. Khusus di Kalimantan dan Sumatera Selatan, di ekosistem hutan gambut banyak dijumpai Gonystylus spp. 3. Tipe Hutan Payau (Mangrove Forest) Tipe hutan payau terletak di daerah pantai, yang selalu tergenangi dan dipengaruhi pasang surut (pasut) air laut secara teratur, airnya tenang (gelombang tidak besar), tumbuh di pantai, delta atau muara sungai, dengan kadar oksigen tanah rendah karena aerasi buruk. Tanah umumnya berlumpur, berpasir, dan berlumpur campur pasir atau tanah lumpur, warna tanah abu-abu, bercampur garam, biasanya mengandung aluminium sulfat, air bersalinitas antara 0,5 o/oo – 30 o/oo. Vegetasi Mangrove Miskin jenis vegetasi, tumbuhan jenis merambat tidak dijumpai, sistem perakaran tumbuhan khas yang disebut pneumatophora (akar gantung, akar tunjang, akar napas dan akar lutut) untuk mengatasi kekurangan pasokan oksigen pada akar. Jenis Avicennia spp, Sonneratia spp, Conocarpus ereta dan Lugucularia rasemosa memiliki sistem perakaran aerotrophish (akar napas). Bruguiera spp, Lumnitzera spp memiliki perakaran lutut (kneeroot) dan Rhizophora spp dengan sistem perakaran tunjang / jangkar (stilt root). Tumbuhan berbuah vivipar atau berkecambah sebelum jauh ke permukaan tanah atau air, misalnya Rhizophora spp. Lapisan tajuk (sederhana) umumnya hanya terdiri dari 1 – 2 lapisan tajuk. Macam-macam perakaran mangrove adalah sebagai berikut: - Cane Root (Akar Tunjang) : Akar tunjang berbentuk seperti cakar ayam, biasanya dimiliki oleh mangrove yang hidup ditepi pantai dengan substrat pasir atau di rawa-rawa pinggir sungai. Fungsi untuk menahan pohon agar tetap tegak bila dihempas angin dan bertahan dari deburan ombak, contoh: Rhizopora sp. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 231 - Plank Root (Akar Papan) Akar papan berbentuk seperti papan, akarnya sangat keras dan pipih. Biasanya jenis perakaran ini dimiliki oleh pohon mangrove yang hidup di daerah yang berada lebih dekat ke darat (bukan tipe pohon mangrove yang hidup di tepi pantai), contoh: Xylocarpus sp. - Chicken Claw Root (Akar Napas/Kaki Ayam) Akar napas merupakan akar yang mancul di dekat pohon mangrove, berbentuk pensil. Jenis perakaran pohon ini biasanya hidup di tepi pantai dengan subsrat lumpur atau pasir berlumpur. Fungsinya untuk mengambil udara, karena di dalam tanah yang berlumpur kandungan oksigen lebih sedikit, contoh: Avicennia sp. - Knee Root (Akar Lutut) Akar lutut berbentuk menjalar dan berlutut-lutut. Perakaran jenis ini biasanya membutuh-kan tempat lebih banyak daripada perakaran jenis lain karena akarnya bisa sangat panjang, contoh: Bruguiera sp. Gambar 46. Jenis akar pneumatophore mangrove Chapman (1976), menggambarkan jenis dan komposisi hutan mangrove yang ditentukan oleh : a. frekuensi pasut/lamanya genangan air b. percampuran air tawar dan air laut c. karakteristik substrat dasar/tanah d. penambahan/akumulasi sedimen tanah Vegetasi dalam ekosistem hutan payau didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai akar napas (pneumatophora), memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, sehingga dinamakan tumbuhan halophytes obligat Tumbuhan hutan payau dapat mencapai tinggi 50 m dan hanya membentuk satu lapis (stratum) tajuk. Vegetasi yang dijumpai pada ekosistem hutan payau terdiri atas 12 genus tumbuhan berbunga, antara lain Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruquiera, Aigiceras, Nonocarpus, Laguncularia, Xylocarpus, Lumnitzera, Aigiatilis, Snaeda, dan Ceriops Ekosistem hutan payau di Indonesia memiliki keankeragaman spesies tumbuhan yang tinggi dengan jumlah spesies tercatat sebanyak ± 202 spesies yang terdiri dari 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 spesies liana, 44 spesies epifit, dan 1 spesies MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 232 Cycas (Bengen, 1999). Spesies-spesies pohon utama antara lain Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, sedangkan yang menjadi pioner menuju ke arah laut adalah Avicennia spp, Sonneratia spp, dan Rhizophora spp., namun hal ii bergantung pada kedalaman pantai dan ombaknya. Chapman (1976), membagi zonasi tumbuh mangrove berdasarkan faktor substrat dasar dan salinitas sbb : a. Avicennia alba, A. marina dan Sonneratia alba, merupakan pioner pada tanah berlumpur di muara sungai dengan salinitas tinggi b. Rhizophora mucronata hidup pada tanah berlumpur dangkal, diteluk dan pada daerah yang tidak tergenang air. c. Rhizophora apiculata, tumbuh pada tanah berpasir halus yang kaya bahan organik, pada lantai hutan dijumpai tumbuh Ceriops tagal dan Acrosticum aurium. d. Bruguiera cylindrica (B. caryophyta) tumbuh bersama Avicennia spp menjauhi genangan air e. Bruguiera parvifolia tumbuh di daerah genangan air f. Bruguiera gymnorrhiza tumbuh di daratan dan hanya mendapatkan uap air laut, tidak dipengaruhi pasut. Tinggi pohon bisa mencapai 36 m dengan diameter 65 cm, hidup berdampingan dengan Allostonia scholaris, Pandanus spp dan Ficus retusa. g. Ceriops tagal hidup didaerah transisi antara formasi hutan mangrove dengan formasi rawa. h. Lumnitzera littorea hidup dipinggir sungai yang masih dipengaruhi pasut air laut. Spesies tumbuhan payau dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap salinitas dan fluktuasi pasut, dan jalur yang terbentuk tersebut disebut zonasi vegetasi hutan payau. Tabel 18. Zonasi jenis mangrove berdasarkan keadaan genangan air. Hutan Mangrove Bagian Timur Hutan Mangrove Bagian Barat Lama Genangan Air Jenis Dominan Lama Genangan Air 570 – 700 kali / thn 1-2 kali/hari, min. 20 hari/bln atau 730 – 2740 kali / thn 10 – 19 hari / bln Sonneratia alba Sonneratia apetalae Avicennia marina Rhizophora spp 120 – 230 kali / thn 9 hari / bln atau 110 kali / tahun Kurang dari 1 hari / minggu Bruguiera spp Xylocarpus 150 -250 kali / thn granatum Lumntzera litthoreae 4 – 100 kali / thn Bruguiera sexangulata 400 – 530 kali/ thn Jenis Dominan Rhizophora mangle Avicennia germinatus Laguncularia racemosa Luguncularia sp Conocarpus erecta Sumber :Bratawinata, A. A., 1998 Adapun zonasi hutan payau adalah sebagai berikut : a. Jalur pedada yang terbentuk oleh spesies Sonneratia spp dan Avicennia spp MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 233 b. Jalur bakau yang terbentuk oleh spesies Rhizophora spp dan kadang-kadang juga dijumpai Bruquiera spp, Ceriops spp, dan Xylocarpus spp. c. Jalur tanjang yang terbentuk dari spesies Bruquiera spp, kadang-kadang juga dijum-ai Xylocarpus spp., Kandelia spp., dan Aegiceras spp. d. Jalur transisi antara hutan payau dengan hutan dataran rendah yang umumnya dihuni spesies nipa Nypa fructicans. Penyebaran mangrove di Indonesia a. Zona Timur : kaya akan jenis, umunya sudah berumur lama, pada pantai landai, genangan air lama, salinitas tinggi, dan gelombang laut lemah. Di Indonesia dan Asia Tenggara penyebaran hutan mangrove di Wilayah Indonesia berdasarkan Laporan A (Direktorat Bina Program Dep. Kehutanan – FAO / UNDP, 1982) dan Laporan B (PHPA-AWB, 1987) serta negara Asean lainnya adalah sbb : Tabel 19. Luas Hutan manggrove di Indonesia dan negara Asean No. 1. Negara Wilayah / Propinsi Indonesia a. Sumatera - Aceh - Sumatera Utara - Riau - Sumatera Selatan - Bengkulu - Lampung - Jambi b. Sulawesi - Sulawesi Selatan - Sulawesi Tenggara - Sulawesi Selatan c. Kalimantan - Kalimantan Barat - Kalimantan Tengah - Kalimantan Selatan - Kalimantan Timur d. Maluku e. Jawa Jawa Barat & Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur f. Bali g. Nusa Tenggara Barat h. Nusa Tenggara Timur i. Irian Jaya (Papua) MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Luas Area (ha) A B 3.806.119 400.000 54.335 55.000 60.000 60.000 276.000 470.000 195.000 110.000 20.000 17.000 3.000 65.000 50.000 53.000 66.000 55.000 29.000 25.000 4.833 10.000 275.000 40.000 60.000 10.000 20.000 66.650 90.000 266.000 750.000 100.000 46.500 40.441 26.800 13.576 7.750 1.950 3.678 1.830 2.943.000 5.700 1.000 500 500 21.500 1.382.000 MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 234 2. 3. 4. 5. Jumlah Total Luas (ha) Malaysia Thailand Filipina Singapura 4.251.011 3.235.000 625.219 312.700 220.242 3.210 b. Zona Barat : miskin akan jenis, umur lebih muda, pantai umumnya curam, dengan penyebaran meliputi Pantai Barat Afrika, Pantai Timur Amerika dan Pantai Timur Tengah. 4. Tipe Hutan Kerangas ( Heath Forest) Daerah tumbuhnya sangat dipengaruhi faktor keadaaan edaphit / tanah : tanah berpasir kuarsa yang banyak menagndung silika atau pasir kuarsa, bertekstur kasar, drainage tinggi, pencucian bahan organik di atasnya sangat cepat meresap ke dalam tanah. Hutan jenis ini tidak terlalu dipengaruhi iklim. pH tanah asam sampai netral, lantai hutan banyak ditutupi oleh lumut dan lembab sehingga menyerupai lapisan karpet. Tegakan pohon jarang, pohon besar kurang, liana ukuran besar jarang dijumpai, banyak dijumpai jenis anggrek (disebut Hutan Habitat Anggrek). Tumbuhan merambat yang khas banyak dijumpai adalah jenis kantong semar Nephentes spp, sedangkan jenis palem jarang dijumpai. Hutan Kerangas di Indonesia banyak dijumpai di Sumatera, Bangka, Belitung, Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Papua. Hutan kerangas dapat dibedakan berdasar-kan atas kandungan pasir tanahnya yaitu : a. Hutan kerangas moderat Hutan kerngan moderat memiliki tanah bercampur pasir secara seimbang atau lebih banyak kandungan liat / lempungnya dibanding dengan kandungan pasir. Derajat porositas tanah kurang sehingga kelembaban tanah relatif tinggi, dengan kandungan bahan organik tanah lebih tinggi dibanding kerangan ekstrim, karena proses pencucian air tanah kurang. Hampir seluruh lantai hutan tertutupi lumut tebal seperti permadani hijau, miskin akan jenis tumbuhan, tetapi kaya epifit. Tabel 20. Tumbuhan hutan kerangas moderat Jenis Pohon Besar Agathis damara A. borneoensis Cotylelobium malayanum Dryobalanops aromatika Shorea balangeran S. albida S. havilandii Hopea spp Vatica spp Alstonia spatulata Dyera spp Jenis Pohon Dominan Tristania obovata Lithocarpus spp Eugenia palembanica E. epicata E. linearis Jenis Tumbuhan Lainnya Ilex cymosa Dacrydium elatum Cratoxylon arborescens Calophyllum spp Antidesma punticulatum Intsia spp Gordonia spp Palaquium spp Sumber :Bratawinata, A. A., 1998 MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 235 b. Hutan Kerangas Ekstrim Hutan kerangas ekstrim memiliki kandungan pasir atau pasir kuarsa lebih tinggi dibanding dengan liatnya, bahkan hampir seluruhnya terdiri dari pasir dengan ketebalan dari permukaan sampai belasan meter. Di bagian bawah terdapat lapisan yang kedap air, dapat berupa batuan atau cadas. Hutan kerangas dikenal juga dengan hutan kerangas kering (Xerophytic), karena bila tidak ada hujan maka lantai hutan kering. Jarang atau bahkan tidak dijumpai lumut, tanah sangat porositas, bahan organik kurang pada lantai hutan karena selalu tercuci pada waktu hujan dengan cepat. Jenis tumbuhan yang melimpah dijumpai adalah kantong semar Nephentes spp, jarang dijumpai pohon besar, umumnya tegakan kerdil, belukar lebat karena tegakan pohonnya jarang, sehingga cahaya matahari tembus ke lantai hutan. Vegetasi lantai hutan umumnya semak belukar. Tabel 21. Tumbuhan hutan kerangas ekstrim Jenis Vegetasi Lantai Hutan Dillenia sp Melastoma malabatricum Eupatorium spp Lantana camara Vitex pubescens Eugenia spp Jenis Pohon / Semak Dominan Tristania obovata Vitex pubescens Jenis Tumbuhan Lainnya Castanopsis tungurut Lithocarpus conocarpus Ilex hypoglauca Sumber :Bratawinata, A. A.,1998 5. Tipe Hutan Kapur (Limestone Forest) Tipe hutan kapur dijumpai di daerah ketinggian (gunung) yang berkapur atau gunung batu kapur. Bahan induk batu kapur yang terdiri dari karbonat dan kalsium atau kalsit bersifat tidak muda larut dalam air murni, tetapi lebih muda larut di air yang bersifat asam lemah. Kondisi hutan kapur dan jenis pohonnya menurut Anderson dalam Bratawinata, A. (1998) sebagai berikut : a. Tanah alluvial pada hutan kapur dataran tinggi berasal dari cadas yang terkikis air permukaan (run off), jenis yang sering dijumpai adalah : Eusideroxylon malagangai, Mammea calciphilla, dan Conystillus nervosus b. Pada tebing curam dan lancip di dataran tinggi / pegunungan, jenis pohon yang tumbuh terbatas, misalnya Cleidion speciflorum, Caryota mitin dan Arenga spp. c. Di daerah lemah sempit dengan lapisan tanah relatif tebal dijumpai : Hopea halferi, H. latifolia, H. andesoni, H. argentea, Shorea sericeiflora, Shorea. quiso, S. isoptera, S. pauciflora, Vatica cineren, dan Dipterocarpus caudiferus. d. Jika limestone berjajar berdekatan rapat, kadang dijumpai tumbuhan jenis Boes spp, Chirita spp dan Monophyllea spp. e. Di puncak limestone yang lebar dan berbahan organik tebal dijumpai hidup jenis pohon, Casuarina nobilis, Tristania obovata, Rhododendron spp, Palaquium sp., Agathis labillardierei, Vaccinium sp. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 236 f. Pada gunung limestone yang memiliki puncak lebar dan lereng tidak begitu curam banyak dijumpai jenis pohon : Phyllocladus hypophyllus, Dacrydium beccarii, Myrica esculensa. 6. Tipe Hutan Pantai (Beach Forest) Daerah pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Setelah terbentuknya gundukan pasir biasanya akan terbentuk Hutan Pantai. Secara umum, hutan ini terletak di tepi pantai, tumbuh pada tanah kering berpasir dan berbatu dan tidak terpengaruh oleh iklim serta berada di atas garis pasang tertinggi. Daerah penyebaran utama hutan pantai terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi. Ciri khas hutan pantai antara lain, tidak terpengaruh iklim, tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, atau lempung), tumbuh di pantai (tanah rendah pantai). Pohon-pohon kadang penuh dengan epifit antara lain paku-pakuan dan anggrek, di Indonesia banyak ditemukan di Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Barat Daya Pulau Sumatera dan Pantai Sulawesi. Tipe hutan pantai terdapat di daerah-daerah kering tepi pantai dengan kondisi tanah berpasir atau berbatu dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Di daerah ini pada umumnya jarang tergenang air laut, namun sering terjadi atau terkena angin kencang dengan embusan garam. Letak hutan pantai pada umumnya bergandengan dengan hutan mangrove ataupun di belakang formasi hutan mangrove. Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai terluas di Asia Tenggara (81.000 km), di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vege-tasi pantai, salah satunya adalah vegetasi Hutan Pantai. Kondisi hutan pantai umumnya berbentuk substrat pasir serta ditemukan beberapa jenis tumbuhan pioner. Karakte-ristik suksesi Hutan Pantai biasanya didominasi tumbuhan merambat yakni Ipomoea perscaprae, sehingga disebut dengan formasi pers-caprae. Di belakang formasi ter-sebut ditemukan formasi vegetasi inti Hutan Pantai yakni formasi Barringtonia. Kedua formasi tersebut tentunya memiliki komunitas tumbuhan yang khas sebagai penciri dari masing-masing formasi dan ditemukan pada 2 (dua) bahan induk yakni pada pantai berpasir dan pantai berbatu. Pola penyebaran benih beberapa jenis vegetasi hutan pantai biasanya dibantu oleh air laut seperti pada Barringtonia sp., Terminalia catappa dan Callophyllum inophyllum. Tanah berpasir, dipengaruhi uap air laut, miskin akan jenis, lapisan tajuk tumbuhan sederhana dan hampir tidak dijumpai tumbuhan liana. Spesies pohon yang umum dijumpai pada hutan pantai adalah Baringtonia speciosa, Treminalia catappa, Calophyllum inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Thespesia populnae, Casuarina equisetifolia, dan Pisonia grandis. Spesies pohon lainnya terkadang terdapat juga spesies pohon Hernandia peltata, Manilkara kauki, dan Sterculia foetida (Arief, 1994). Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia), terdapat 2 (dua) formasi vegetasi pantai berpasir yakni formasi Pescaprae dan formasi Barringtonia. Jika dilihat perkembangan vegetasi yang ada di daerah pantai, maka sesungguhnya sering dijumpai dua formasi vegetasi tersebut (Irwan, 1992) : MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 237 Formasi Pescaprae : formasi ini terdapat pada tumpukan-tumpukan pasir yang mengalami peninggian sepanjang pantai, dan hampir terdapat diseluruh pantai di Indonesia. Komposisi spesies tumbuhan pada formasi pescaprae dimana saja hampir sama karena didominasi oleh Ipomoea pescaprae (kaki kambing), merupakan herba yang akar-karnya dapat mengikat pasir. Juga ada beberapa spesies tumbuhan yang sering dijumpai di formasi pescaprae antara lain Thuarea linvoluta, Cyperus penduculatus, Cyperus stoloniferus, Spinifex littoralis, Launaca sarmontasa, Vitex trifolia, Ishaemum muticum, Triumfetta repens, Euphorbia atoto, Fimbristylis sericea, Canavalia abtusiofolia, Vigna manina, Ipomoea littoralis, Ipomoea carnosa, dan Ipomoea denticulata. Formasi Barringtonia : terletak di atas atau di belakang formasi pescaprae, yang telah memungkinkan untuk ditumbuhi berbagai spesies pohon khas hutan pantai. Disebut formasi Barringtonia karena tumbuhan dominan adalah spesies pohon Barringtonia asiata. Spesies tumbuhan lainnya yang menyusun ekosistem pantai antara lain Cycas rumphii, Casuarina equisetifolia, Terminalia catappa, Sterculia foetida, Hibiscus tiliaceus, Calophyllum inophyllum, Hernandia peltata, Manilkara kauki, Cocos nucifera, Crinum asiaticum, Caesalpinia bonducella, Morinda citrifolia, Ochrocarpus ovalifolius, Tacca leontopetaloides, , Thespesia populnea, Ximenia Americana, Pluchea indica, Tournefortia argentea, Wedelia biflora, Pisonia grandis, Pongamia pinnata, Premna corymbosa, Premna obtusifolia, Phemphis acidula, Desmonium umbellatum, Planchonella obvata, Scaevola taccada, Scaevola frustescens, Sophora tomentosa, Dodonaea viscesa, Erythrina variegata, Pandanus bidur, Pandanus tectorius, Guettarda speciosa, dan Nephrolepis biserrata. Pembagian Hutan Pantai : a. Hutan pantai landai berpasir Hutan pantai ini umumnya didominasi oleh tumbuhan merambat, terutama dari jenis Ipomoea pescaprae, sehingga dikenal juga sebagai assosiasi Pescaprae. Jenis tumbuhan bawah : Lavania microcarpa, Ipomoea pescaprae, Gracilis, Cyperus penduculata, C. stodoniferus, Spinifex littoreus dan Vigna marina. Jenis pohon : Cocos nucifera, Casuarina equisetifolia, Terminalia catappa, Hibiscus spp, Callophyllum saulatri dan Vitex pubescens. b. Hutan pantai terjal, curam, karang / batu Pada hutan pantai terjal terdapat pohon yang kuat dan kokoh seperti Baringtonia spp, yang menjadi jenis dominan sehingga dikenal sebagai Assosiasi Baringtonia. Jenis tumbuhan bawah : Euphatorium odoratum, Sacharum spp, & Melastoma sp. Jenis pohon : Baringtonia asiatica, Arsidia elliptica, Caesalpinia bondul, Terminalia catappa, Hibiscus spp dan Pandanus spp. 7. Tipe Hutan Pinggir Sungai (Riparian Forest) Hutan riparian banyak dijumpai di daerah pinggiran sungai, daerah kelokan aliran sungai dan juga sering dijumpai di delta tengah sungai, yang terbentuk akibat MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 238 dari proses sedimentasi yang dibawa aliran sungai. Proses ini diawali dari tumpukan batuan, kerikil dan kemudian tanah pasir bercampur bahan-bahan organik yang menumpuk sehingga terbentuk pulau kecil di tengah sungai atau di pinggiran sungai, jenis tanahnya subur karena banyak mengandung bahan organik. Proses suksesinya dimulai dari jenis tumbuhan pioner seperti Mimosa spp (putri malu), rumput-rumputan, gelagah Saccharum spp, disusul dengan tumbuhnya bermacam-macam semak belukar, kemudian pepohonan jenis Bungur Legerstroemia spp, Hibiscus spp, Vernonema sp, Octomeles sumatrana, Anthosephalus cadamba, dan Ceiba pentandra, dll. B. TIPE HUTAN YANG DIPENGARUHI IKLIM Tipe hutan hujan tropis berdasarkan keadaan curah hujannya, dapat dibedakan atas beberapa tipe yaitu : 1. Hutan Tropika Basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis tumbuhan yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu: Meranti (Shorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops). 2. Hutan Muson Basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4 - 6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 - 2.000 mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling. 3. Hutan Muson Kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6 - 8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh yaitu jati dan Eucalyptus. 4. Hutan Savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 - 6 bulan, curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis tumbuhan di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Sedangkan erdasarkan klasifikasi iklim (suhu dan kelembapan) udara seluruh dunia Koppen membagi iklim dalam lima daerah iklim pokok. Masing-masing daerah iklim diberi simbol A, B, C, D, dan E. 1. Iklim A atau iklim tropis. Cirinya adalah sebagai berikut: - Suhu rata-rata bulanan tidak kurang dari 18°C, - Suhu rata-rata tahunan 20°C-25°C, - Curah hujan rata-rata lebih dari 70 cm/tahun, dan - Tumbuhan yang tumbuh beraneka ragam. 2. Iklim B (iklim Gurun Tropis atau iklim kering), dengan ciri sebagai berikut: - Terdapat di daerah gurun dan daerah semiarid (steppa); - Curah hujan terendah kurang dari 25,4 cm/tahun, dan penguapan besar. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 239 3. Iklim C (iklim sedang), dengan cirinya adalah suhu rata-rata bulan terdingin antara 18° sampai - 3°C. 4. Iklim D (iklim salju atau microthermal), dengan cirinya adalah sebagai berikut: Rata-rata bulan terpanas lebih dari 10°C, sedangkan suhu rata-rata bulan terdingin kurang dari - 3°C. 5. Iklim E (iklim kutub), dengan cirinya yaitu terdapat di daerah Artik dan Antartika, suhu tidak pernah lebih dari 10°C, sedangkan suhu rata-rata bulan terdingin kurang dari - 3°C. Pada kelima daerah iklim tersebut masih memiliki variasinya yang dapat diperinci lagi menjadi beberapa macam iklim, yaitu: 1. Daerah iklim A, terbagi menjadi empat macam iklim, yaitu sebagai berikut: - Af = Iklim panas hujan tropika. - As = Iklim savana dengan musim panas kering. - Aw = Iklim savana dengan musim dingin kering. - Am = Iklim antaranya, musim kering hanya sebentar. 2. Daerah iklim B, terbagi menjadi dua macam iklim, yaitu: - Bs = Iklim steppa, merupakan peralihan dari iklim gurun (BW) dan iklim lembap dari iklim A, C, dan D. - BW = Iklim Gurun. 3. Daerah iklim C, terbagi menjadi tiga macam iklim, yaitu: - Cs = Iklim sedang (laut) dengan musim panas yang kering atau iklim lembap agak panas kering. - Cw = Iklim sedang (laut) dengan musim dingin yang kering atau iklim lembap dan sejuk. - Cf = Iklim sedang (darat) dengan hujan pada semua bulan. 4. Daerah iklim D, terbagi dua macam iklim, yaitu: - Dw = Iklim sedang (darat) dengan musim dingin yang kering. - Df = Iklim sedang (darat) dengan musim dingin yang lembab. 5. Daerah iklim E, terbagi menjadi 2 macam iklim, yaitu: - ET = Iklim tundra, temperatur bulan terpanas antara 0( sampai 10(C. - Ef = Iklim salju , iklim dimana terdapat es abadi. Menurut Koppen di Indonesia terdapat tipe-tipe iklim Af, Aw, Am, C, dan D. Af dan Am = terdapat di daerah Indonesia bagian barat, tengah, dan utara, seperti Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Utara. Aw = terdapat di Indonesia yang letaknya dekat dengan benua Australia seperti daerah-daerah di Nusa Tenggara, Kepulauan Aru, dan Irian Jaya pantai selatan. C = pada di hutan-hutan daerah pegunungan. D = terdapat di pegunungan salju Irian Jaya. Menurut para ahli ekologi bahwa setiap ada kenaikan altitute 1000 m untuk daerah tropis akan terjadi penurunan temperatur 5 - 70C. Terjadinya zonasi pembentukan hutan dari dataran rendah, dataran tinggi sampai pegunungan di Indonesia disebabMATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 240 kan akibat perbedaan temperatur dan kelembaban udara. Semakin semakin tinggi suatu titik dari permukaan laut, maka makin rendah temperatur udara, dan sebaliknya makin tinggi kelembaban udaranya. Pembagian tipe dari zonasi hutan yang dipengaruhi iklim diakibatkan oleh terjadinya perbendaan suhu dan kelembaban udara. Tabel dibawah menunjukkan hubungan suhu dan curah hujan dengan tipe hutan. Tabel 22. Hubungan antara suhudan curah hujan dengan tipe-tipe hutan Curah Hujan Curah hujan tahunan N>5(T+14)cm Hujan dan keadaan kering saling bergantian < 5 bulan kering, N<5(T+14)cm >2(T+14)cm 220C – 280C Tropika Panas 0 – 800 m dpl Hutan Tropika Rendah, selalu hijau Hutan Tropika basah, selalu hijau pada musim hujan untuk dataran rendah Hujan dan keadaan kering Hutan Tropika saling bergan-tian, waktu Kering, hijau pada kering >5 bln. musim hujan untuk N<2(T+14)cm dataran rendah Suhu (Temperatur) 140C – 220C Tropika Campuran 800 – 2100 m dpl Hutan Tropika Dataran Rendah, selalu hijau 100C – 140C Tropika Dingin 2100 – 2200 m dpl Hutan Tropika Dataran Pegunungan, selalu hijau Hutan Tropika Hutan Tropika Basah Basah, hijau di yang selalu hijau musim hujan untuk pada musim hujan, dataran tinggi atau Hutan Gunung / pegunungan rendah Kabut) Hutan Tropika Hutan Tropika Kering, hijau pada Kering, hijau pada musim hujan untuk musim hujan untuk dataran tinggi atau hutan daerah pegunungan rendah pegunungan Sumber :Bratawinata, A. A.,1998 1. Hutan Musim ( Monsoon Forest) dan Savana Penyebaran daerah hutan musim meliputi wilayah negara yang beriklim musim (monsoom), yaitu India, Myammar, Indonesia, Afrika Timur, dan Australia Utara (Vickery, 1984). Ekosistem hutan musim merupakan ekosistem hutan campuran yang berada di daerah beriklim musom (monsoon), yaitu daerah dengan perbedaan antara musim kering dan basah. Tipe hutan ini umumnya dijumpai pada daerah yang beriklim tipe C dan D (tipe iklim menurut klasifikasi Scmidt dan Fergusson) dan rata-rata suhu bulanan berkisar 21 - 320C (Santoso, 1996). Di Indonesia hutan musim dijumpai di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur), di Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Vegetasi yang umum di ekosistem hutan musim di dominasi oleh spesies-spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kering sehingga tipe hutan musim disebut juga hutan gugur daun atau deciduous forest (Vickery, 1984). Pada tipe hutan ini umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk (satu startum) dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang tindih, sehingga banyak sinar matahari yang dapat masuk hutan sampai ke lantai hutan, apalagi di saat sedang gugur daun. Hal ini memungkinkan berkembangnya spesies semak dan herba yang menutupi lantai hutan secara rapat, sehingga menyulitkan orang untuk masuk ke dalam hutan. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 241 Pada musim kering, mayoritas pepohonan di hutan musim menggugurkan semua daunnya, tetapi lamanya daun gugur tergantung pada persedian air dalam tanah, dan hal demikian itu dapat berbeda antar tempat dalam hutan yang sama. Tempattempat yang ada di pinggir sungai yang selalu cukup air, menyebabkan daun pohon gugur selalu bergantian, bahkan disini tidak setiap spesies pohon menggugurkan semua daunnya. Pada akhir musim kering, banyak dijumpai pohon yang mulai berbunga, dimana transpirasi bunga relatif sangat kecil, sehingga tidak mengganggu keseimbangan air dalam tumbuhan. Kemudian setelah masuk musim hujan, pepohonan mampu memproduksi daun baru, buah, dan biji, sepanjang air tanah tersedia. Bunga yang dihasilkan pohon di hutan musim sering berukuran besar dan memiliki warna terang. Bunga pohon hutan musim umumnya kelihatan pada bagian luar tajuk, sehingga mudah dilihat oleh binatang atau serangga penyerbuk. Spesies pepohonan yang ada di ekosistem hutan musim antara lain, Tectona grandis, Dalbergia latifolia, Acacia leucophloea, Schleicera oleasa, Eucalyptus alba, Santalum albun, Albizzia chinensis, dan Timonius cerysus (Arief, 1994). Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan musim dibedakan menjadi dia zona atau wilayah berikut (Santoso, 1996; Ditjen Kehutanan, 1976) : a. Zona 1 : Zona Hutan Musim Bawah : dinamakan hutan musim bawah karena terletak pada ketinggian tempat 0 – 1.000 m dpl. Spesies pohon merupakan ciri khas tipe ekosistem hutan musim bawah di daerah Jawa antara lain Tectona grandis, Acacia leucophloea, Actinophora fragrans, Azadirachta indica, Caesalpinia digyna, Albizzia chenensis . Di Nusa Tenggara dijumpai spesies pohon yang menjadi ciri khas hutan musim, yaitu Eucalyptus alba dan Santalum album, sedang pohon hutan musim yang khas di Maluku dan Irian adalah Melaleuca leucadendron, Eucalyptus spp, Corypha utan, Timonius cerycus, dan Banksia dentata. b. Zona 2 : Zona Hutan Musim Tengah dan Atas : dinamakan hutan musim tengah dan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000 – 4.100 m dari permukaan laut. Spesies pohon yang merupakan ciri khas ekosistem hutan musim tengah dan atas adalah sebagai berikut. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat pohon Casuarina junghuhniana sebagai spesies pohon dominan dan khas untuk tipe ekosistem hutan musim tengah dan atas. Hutan musim tengah dan atas di daerah Indonesia Timur mengandung spesies pohon khas yaitu Eucalyptus spp, untuk hutan musim tengah dan atas di daerah Sumatra yaitu Pinus merkusii. Hutan musim disebut juga dengan hutan Humida yang hijau, berdaun lebat, rimbun di musim hujan, akan tetapi gugur daun di musim kemarau. Musim kering dapat mencapai 6 - 7 bulan pertahun, lebih panjang dari pada musim hujan. Umumnya jenis tanah adalah momorilonit (grumusol), dimana jenis tanah ini jika pada musim hujan akan menjadi elastis dan mengembang, akan tetapi di musim kemarau pecah-pecah. Hutan musim di Indonesia tersebar di sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, sebagian kecil Sulawesi, Maluku dan sedikit di Papua. Ciri hunan musim adalah sangat miskin akan jenis pohon, kaya belukar, biomassa rendah, gugur daun musim MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 242 kering, lapisan tajuk pendek dan relatif sederhana, lapisan tajuk jarang menyambung, terutama lapisan A dan B., ukuran daun kecil-kecil. Savana juga merupakan tipe hutan musim, dimana jumlah bulan kering pertahun lebih panjang dibandingkan dengan hutan musim. Vegetasi savana didominasi oleh semak, belukar, vegetasi pohon sangat sedikit. Tabel 23 dibawah ini menyajikan jenis-jenis pohon pada daerah hutan tipe musim (monsoom) : Tabel 23. Jenis tumbuhan pada hutan tipe musim Acacia leucoploea Butea monosperma Homalium tomentosum A. tomentosa Caesalpinia digyna Melia azadirach Albizia chinensis Cassia pestula Tamarindus indicus A. lebbektoides Carypha elata Tectona grandis Azadirachta indica Dalbergia latifolia Santallum album Borassus flabellifex Garuga floribunda Sedangkan jenis yang khusus di jumpai di Maluku, Papua dan NTT adalah : Eucalyptus deglupta, Eucalyptus alba dan Eucalyptus urophylla. Di Flores dan Jawa Tengah adalah Casuarina junghuniana, dan di NTT adalah Santalum album, Melaleuca spp dan Borassus spp. 2. Hutan Hujan Tropis Basah Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi lahan yang terletak pada 100 LU – 100LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan antara 2000 - 4000 mm pertahun, rata-rata suhu 250C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80% (Vickery, 1984) Hutan hujan tropis biasa juga disebut Hutan Basah Tropis (Tropical Rain Forest atau Tropical Humid Forest). Biome hutan hujan tropis menurut ahli astronomi terletak pada bentangan geografis antara 23o 27’ LU dan 23o 27’ LS, dengan kisaran rata-rata temperatur antara 200C - 320C. Menurut Wiener (1975), daerah tropis mencapai luasan 47% dari luas daratan bumi. Lebih lanjut Troll (1961), menjelaskan ciri-ciri umum hutan hujan tropis berdasarkan atas iklim, yaitu : a. Fluktuasi temperatur hariannya lebih besar dibanding fluktuasi temperatur bulanan dan tahunannya, sedangkan fluktuasi temperatur tahunan daerah tropis lebih kecil dibanding dengan fluktuasi temperatur tahunan dari pada daerah luar tropis. b. Periodisitas cahaya, yaitu perbandingan antara waktu antara siang (terang) dan malam (gelap) relatif seimbang lamanya yaitu 12 jam siang dan 12 jam malam. c. Curah hujan pertahun di kawasan hutan hujan tropis sangat tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya diluar tropis, ini disebabkan terjadinya karena angin pasak utara dan pasat selatan berkumpul di daerah tropis dan mengakibatkan akumulasi awan dan titik-titik bakal air hujan. Tingginya curah hujan ini dapat menimbulkan tingginya kelembaban udara dibandingkan daerah di luar tropis. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 243 Myrtaceae - Fagaceae, Ericaceae Lauraceae 2000 m dpl, T = 150C H=90%, CH = 2000 mm/th - - Araucariaceae Myrtaceae, Fagaceae 1600 m dpl, T = 180C H=96%, CH = 2000 mm/th Myrtaceae, Fagaceae - Lauraceae 1300 m dpl, T = 200C H = 88%, CH = 2270 mm/th - Myrtaceae, Fagaceae Lauraceae, Euphorbiaceae 900 m dpl, T = 220C H = 85%, CH = 2200 mm/th -- - Dipterocarpaceae Lauraceae 300 m dpl, T = 290C H = 75%, CH = 2000 mm/th 0 m dpl 0 Gambar 47. Komposisi Vegetasi Berdasarkan Zonasi Ketinggian Sumber : Bratawinata, A. A., 1998 MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 244 Vegetasi Hutan Hujan Tropis Basah Formasi hutan ini dijumpai di daerah tropis yang sangat basah, dimana curah hujannya relatif sangat tinggi dan potensial ratio evaporasi kecil. Formasi hujan hujan tropis ini menyebar mulai dari Amerika Tengah dan Selatan (Latin), Afrika Bagian Barat, Asia Tenggara, Australia Timur Laut (Richards, 1975). Ciri umum wilayah hutan hujan tropis basah : - Kekayaan jenis vegetasi tinggi, dan tidak dijumpai di luar formasi hutan tropis. - Liana berkayu berukuran besar melimpah - Banyak dijumpai pohon-pohon besar yang menguasai tajuk lapisan atas. - Tegakan selalu hijau dalam arti tegakan tidak menggugurkan daun secara massal dan periodik - Tegakan pohon umumnya sangat kompleks yang terdiri dari tegakan pohon, semak, belukar, liana, epifit dan parasit. - Kelas ukuran daun dominan termasuk kelas mesophyl (klasifikasi Raunkiers) - Banyak jenis-jenis pohon yang berakar banir yang tinggi dan lebar-lebar. - Lapisan tajuk secara vertikal lengkap (sempurna, yaitu A, B, C, D dan E) Gambar 48. Sirkulasi Angin Pasat Utara dan Pasat Selatan di Ekuator (Daerah tropis) dan Curah Hujan. Tabel 24. Hubungan Antara Zona Vegetasi Tropis dan Lamanya Bulan Basah dan Kering (Lauer, 1952) Lama Bulan Basah 12 – 9 1/2 9 ½-7 7 – 4 1/2 4 ½-2 2-1 1-0 Zona Vegetasi Lama Bulan Kering Hutan hujan yang selalu hijau Hutan tropika basah gugur daun (hijau pada musim hujan)= savana lembab Hutan tropika kering gugur daun (hujan pada musim hujan)= savana kering Hutan tropika hutan duri = savana berduri Hutan steppe vegetasi menjalar / padang pasir Padang Pasir 0 – 2 1/2 2½-5 5 – 7 1/2 7 ½ - 10 10 - 11 11 - 12 Sumber :Bratawinata, A.A., 1998 MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 245 Tabel 25. Klasifikasi Berdasarkan Luas Areal Daun dari Raunkiaer’s Klasifikasi Kelas Ukuran Luas Daun Leptophyll Nanophyll Microphyll Mesophyll Macrophyll Megaphyll Lebih kecil dari 25 mm2 Antara 25 – 225 mm2 Antara 225 – 2025 mm2 Antara 2025 – 18225 mm2 Antara 18225 – 164025 mm2 Lebih besar dari 164025 mm2 Physiognomi (Life Form) Vegetasi Hutan Hujan Tropika Basah Physiognomi, merupakan gambaran umum tegakan pohon tidak hanya bertalian dengan komposisi jenis tapi juga hubungannya dengan jenis kehidupan vegetasi dan dimensi-dimensi lainnya. Life form (bentuk kehidupan) vegetasi untuk hutan hujan tropika basah, sebagai berikut : a. Autotrophic Plants (Tumbuhan berhijau daun atau berklorofil) - Secara mekanik tumbuhan bebas hidup (tidak ketergantungan vegetasi lain = independent plants) : pohon dan pohon kecil serta semak belukar - Secara mekanis tumbuh ketergantungan kepada individu lain : liana, pencekik, epifit dan parasit b. Heteroptophic Plants (Tumbuhan tanpa hijau daun / klorofil) : saprophyt dan parasit Stratifikasi Struktur umum dari semua hutan hujan tropis terwujud dari gambaran umum arsitekturnya, yaitu statifikasi dari tegakan pohon. Staratifikasi tegakan merupakan lapisan atau strata tajuk pohon dari susunan satu di atas dan lainnya (lapisan, tingkatan kanopi) tingkatan yang paling atas disebut stratum atas (stratum A) dibawahnya stratum B, C, D, dan E. Stratum paling atas (stratum A) di hujan ropika dataran rendah bisa mencapai ketinggian antara 25 – 50 meter atau lebih. Lapisan paling bawah atau stratum E yang merupakan lapisan vegetasi lantai hutan yang terdiri dari seedling dan semak belukar. Pada umumnya stratum A memiliki tajuk yang saling menyambung sedemikian rupa sehingga seakan menutupi lapisan dibawahnya. Jenis habitus kehidupan vegetasi hutan tropika basah a. Epifit : umumnya di daerah tropis lebih dari 10% dari pohon-pohon dalam hutan ditumbuhi epifit, misalnya anggrek, paku-pakuan, lumut-lumutan. b. Parasit : jenis parasit terbagi dua golongan yaitu parasit akar contohnya Raflesia arnoldi dan semi parasit yang tumbuh di cabang pohon, seperti Loranthaceae (benalu) c. Mikoriza : merupakan jamur yang bersimbiose dengan akar pohon. Di Indonesia umumnya tanah relatif miskin akan hara mineral, maka tidak mengherankan bahwa pohon tropik, akarnya mengandung mikoriza dan diperkirakan lebih dari 90% dari jenis-jenis pohon tropika mengandung mikoriza pada akarnya. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 246 d. e. f. g. h. Gambar 48. Gambaran stratifikasi tumbuhan stratum A, B, C. Semak (Schrub) : merupakan tumbuhan berkayu berupa pohon kecil yang tingginya kurang dari atau lebih kurang 7 meter, sudah berbunga dan berbuah. Belukar (Herbs) : umumnya terdiri dari tumbuhan kecil berkayu atau tidak berkayu, pendek termasuk rumput-rumputan. Liana : tumbuhan mermbat umumnya berkayu, tumbuh secara mekanis bergantung pada tumbuhan lain (dependent) untuk membelit atau bersandar. Seedling dan Sapling : semai (seedling) adalah anakan pohon yang termuda dimana tinggi batangnya baru mencapai kurang dari 1,5 meter. Sapihan / pancang (sapling) adalah anakan pohon muda dimana tinggi batang mulai dari 1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm. Pohon (Trees) : tumbuhan berkayu dimana keadaan dewasa tinggi batangnya melebihi 7 meter, sudah berbunga dan berbuah. Tipe Hutan Hujan Tropis Berdasarkan Ketinggian Tempat (Dpl) Faktor-faktor yang terdapat di dalam suatu ekosistem hutan adalah : a. Faktor abiotik seperti iklim (temperatur, kelembaban, angin, cahaya, curah hujan dll.) dan faktor edaphit ( tanah, batuan pasir dan air). b. Faktor biotik adalah tumbuhan itu sendiri yang saling berinteraksi, berserta hewan yang terdapat di dalamnya. Iklim Iklim mikro F L O R A Tanah Batuan Vegetasi Gambar 49. Bagan interaksi faktor abiotik & biotik dalam ekosistem hutan MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 247 Sebaran Jenis Dipterocapaceae Shorea Parashorea Hopea Dipterocarpus Dryobalanops anisopthera Vatica Cotyllelobium Upuna Suatu kawasan hutan akan dipengaruhi oleh faktor edaphit dan faktor iklim sebagai faktor dominan yang bisa menghasilkan beberapa tipe hutan : 1. Tipe Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah (Lowland Forest) Jenis hutan dataran rendah terletak pada ketinggian antara 0 – 800 meter dpl. Faktor pembatas dari tipe hutan adalah temperatur dan kelembaban. Hutan hujan dataran rendah memiliki temperatur tinggi, kelembaban relatif rendah (60-70%), curah hujan tinggi dan faktor edapit sekunder. Di wilayah Asia Tenggara hutan hujan tropika dataran rendah lebih dikenal dengan nama Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah, hal ini disebabkan penyebaran dan potensi jenis dari famili Dipterocarpaceae sangat mendominasi jika dibandingkan dengan jenis vegetasi lainnya. Ciri umum dari HutanTropika Dataran Rendah adalah kaya akan jenis pohon, liana, epifit dan semak belukar, bila dibandingkan dengan tipe hujan lainnya. Tegakan pohon selalu hijau, tidak menggugurkan daun secara musiman atau tahunan, sehingga dikenal dengan nama tipe hutan malar hijau (Evergreen Forest). Tumbuhan liana berkayu berukuran besar. Banyak dijumpai pohon dengan sistem perakaran banir (buttress), akar papan (plankroot), akar udara (air-root) dan akar tunjang (stil-troot). Tajuk tumbuhan tinggi dengan lapisan tajuk terkesan bersambungan, banyak pohon berdimensi besar dan daun berukuran lebar (mesophyll dan macrophyll). Banyak tumbuhan dijumpai berbuah pada batang (cauliflorae) seperti familia Euphorbiaceae, Moraceae, Annonaceae, dan Kurang dijumpai lumut dan ganggang. Tabel 26. Sebaran dan Potensi Jenis Dipterocarpaceae Dataran Randah Semg. Malaysia 58 3 10 34 2 7 29 2 0 Filipina 13 1 5 11 0 4 9 0 0 Sumatera 18 3 2 21 2 5 9 2 0 Kalimantan 123 6 12 49 9 7 35 6 1 Jawa 1 0 1 5 0 1 2 0 0 Sulawesi 1 0 1 0 0 1 1 0 0 Maluku 1 0 1 0 0 1 1 0 0 Papua / Nugini 0 0 3 0 0 1 1 0 0 Sumber :Bratawinata, A.A, 1998 Wyatts & Smith (1963) membagi tipe hutan tropis dataran rendah ke dalam assosiasi berdasarkan ketinggian tempat dan jenis-jenis yang mendominasinya sebagai berikut : MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 248 Tabel 27. Jenis tumbuhan dominan pada subtipe hutan tropis dataran rendah. Subtipe hutan tropis dataran rendah 1. Subtipe Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah (Lowland Dipterocarpaceae Forest) 0 – 300 m dpl 2. Subtipe Hutan Dataran Tinggi Menengah (Subhill /Collin Dipterocarp Forest) 300 – 800 m dpl Jenis-jenis yang mendominasi a. Meranti merah : Shorea laevis, Sh. Leprosula, Sh. ovalis b. Bangkirai / kayu tenggelam : Sh. balangeran, Sh. seminis, Sh. panvifolia c. Kapur : Dryobalanops spp d. Kempas : Koompassia spp e. Merbau : Intsia palembanica f. Keruing : Dipterocarpus cornutus g. Chengal : Balanopsus heimii h. Nemesu : Shorea pauciflora a. Seraya : Shorea curtisii b. Balau / meranti tenggelam : Shorea platicladus, Shorea. johoriensis c. Merpauh : Switonia specifera d. Keruing : Dipterocarpus spp e. Resak : Vatica resak, V. cuspidata f. Mengkulang : Tarrietia simpliciflora Sumber :Bratawinata, A. A 1998 Aston dalam Bratawinata, A. A (1998), berpendapat bahwa beberapa jenis pohon mempunyai niche ter-tentu di dalam tipe hutan tropika dataran rendah sbb : Tabel 28. Hubungan antara jenis dan niche Jenis Shorea parvifolia Dipterocarpus verucusus Dryobalanops lanceolata Dryobalanops aromatica Eusideroxylon zwegerii Cotylellebium burckii Cotylellobium malayanum Niche Habitat tanah liat berpasir Habitat tanah remah dan dalam, grainage baik, banyak dipunggung gunung Tumbuh baik pada tanah agak liat bergumpal, di daerah lereng Habitat tanah berpasir kuning dengan campuran material Single dominan di tanah liat berpasir lembab, penyebaran ulin Kalimantan dan Sumatera Habitat tanah kering tegar, tanah berliat bergumpal di punggung tebing. Habitat tanah berlumpur bergumpal tipis di atas punggung dataran tinggi. Sumber :Bratawinata, A.A. 1998 2. Tipe Hutan Dataran Tinggi (Collin Forest = Hill Forest) Tipe hutan dataran tinggi terletak pada ketinggian antara 800 –1300 m dpl. Van Steenis (1972), hutan dataran tinggi (Collin Forest) atau dikenal pula Hutan Dipterocarpaceae Dataran Tinggi, karena merupakan niche bagi tumbuhan Shorea platyclados (Dipterocarpaceae), terutama ditinjau dari ukuran dimensi batangnya dengan diameter besar dan tinggi, serta ukuran tajuk sangat mendominasi tajuk tegakan. Tipe hutan MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 249 ini dipengaruhi oleh faktor iklim, terutama temperatur yang rendah dan kelembaban udara yang relatif tinggi, sedangkan faktor edafit / tanah merupakan faktor sekunder. Ciri umum hutan dataran tinggi adalah jumlah vegetasi pohon mulai berkurang bila dibandingkan dengan tipe hutan dataran rendah, masih dijumpai pohon berdimensi besar seperti Shorea platyclados dan Agathis borneoensis. Lapisan tajuk paling atas tidak menyambung antar tajuk. Tidak dijumpai adanya tumbuhan berakar banir, jangkar, papan, tetapi sistem perakarannya kokoh. Cauliflora jarang dijumpai, liana berkayu ukuran besar kurang, lumut dilantai hutan dan di batang pohon tumbuh subur, ganggang pohon bergelantungan diranting mulai banyak. Banyak dijumpai bambu kecil yang membelit di pohon, tumbuhan epifit di batang dan ranting pohon tumbuh subur terutama paku-pakuan jenis Asplenium spp, Drynaria spp, Polypodium spp., demikian pula jenis anggrek Gramatophyllum spp dan Dendrobium spp. Jenis-jenis pohon yang mendominasi yaitu Shorea platyclados, Magnolia elegans, Dacryodes spp, dan Agathis borneoensis. Dll. 3. Tipe Hutan Sub Pegunungan & Pegunungan (SubMontane & Montane Forest) Tipe hutan sub pegunungan dan pegunungan terletak pada ketinggian antara 1300 – 2000 meter dpl. Semakin tinggi kedudukan suatu tipe hutan dari permukaan laut, maka semakin kuat pengaruh iklim (temperatur rendah dan kelembaban udara tinggi). Tipe hutan pegunungan ini dikenal dengan sebutan Cloud Forest atau Wolke Wald, karena hampir setiap saat hutan tersebut dislimuti oleh kabut. Adapun ciri-ciri umum dari vegetasi hutan sub pegunungan sebagai berikut : lapisan tegakan hampir seragam atau stratifikasi tajuk cenderung seragam /sederhana. Lapisan tajuk bagian atas bersambung dengan lapisan tajuk dibawahnya. Tegakan pohon pendek, kadangkala dijumpai tegakan agatis Agathis borneoensis yang tinggi dengan diameter besar. Sistem akar banir/akar papan cenderung tidak dijumpai, tetapi sietem perakaran tumbuhan disini kokoh. Miskin akan jenis pohon dan liana bila dibandingkan dengan jenis hutan collin. Ukuran daun umumnya termasuk mesophyll kadang microphyll. Tumbuhan lumut dan ganggang dijumpai melimpah, cauliflorae tidak dijumpai, tumbuhan bambu kecil yang merambat dipohon banyak dijumpai. Vegetasi dominan adalah Quercus sp, Eugenia sp, Lithocarpus bennetii. Beberapa jenis tumbuhan yang berassosiasi yang terdapat di hutan pegunungan dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel 29. Sebaran assosiasi tumbuhan hutan pegunungan di Indonesia Assosiasi Ketinggian dpl Daerah Sebaran Pinus merkusii (tusam) 1500 dpl Aceh dan Sumatera Barat Assosiasi Agathis spp 1500 dpl Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Irian Jaya / Papua Assosiasi Jenis lainnya : Podocarpus spp Duabanga molucana Araucaria spp 1500 dpl MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Jawa Barat, Sulawesi Sumbawa (puncak Tambora) Papua MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 250 Casuarina Junghuniana Albizia montana Anaphalis javanica Jawa Jawa Jawa Sumber :Bratawinata, A. A., 1998 Jenis tumbuhan yang toleran pada ketinggian sampai dengan 2000 dpl adalah Podocarpus spp, Dacrydium spp, Vaccinum spp, beberapa suku dari famili Ericaceae. Perbandingan jenis-jenis tumbuhan dominan dari tipe-tipe hutan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 30. Tipe hutan dan tumbuhannya berdasarkan ketinggian (dpl) Tipe Hutan Dataran Rendah Tinggi dpl 300 m Dataran Tinggi 600 m Dataran Tinggi 990 m Dataran Tinggi 1560 m MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Jenis Shorea laevis S. leprosula S. parvifolia Dipterocarpus cornutus D. caudatus Litsea sp Eugenia spp Eusideroxylon zwagrii Palaquuium hexandrum Diospyros macrophylla Quercus argentata Q. sundaica Eugenia sebulanensis E. acutangulum Litsea sp Elatriospernum tapos Aglia tamentosa Mallotus leptophyllum Ochanostahcys amentaceae Eugenia rostata E. acuminatum Litsea salmonea Quercus sundaica Castanopsis tungurut Litsea spp Aporusa stellifera Madhuca sericea Canarium patentivernum Shorea platyclados Agathis borneoensis Eugenia tripinata E. cuprea E. spicata E. jamboloides Litsea lancilimba Lithocarpus conocarpus L. bennetti Castanopsis tungurut Ficus beccarii Famili Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Lauraceae Myrtaceae Lauraceae Sapoteceae Ebenaceae Fagaceae Fagaceae Myrtaceae Myrtaceae Lauraceae Euphorbiaceae Meliaceae Euphorbiaceae Olacaceae Myrtaceae Myrtaceae Lauraceae Fagaceae Fagaceae Lauraceae Euphprbiaceae Sapotaceae Burceraceae Dipterocarpaceae Araucariaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Lauraceae Fagaceae Fagaceae Fagaceae Moraceae MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 251 Hutan Gunung 2000 m Castanopsis tungurut Eugenia calvinii E. corymbifera E. spicata Polyosma spp Litsea lancilimba Vaccinium simulans V. laurifolium Nastika trichotoma Engelhardia serrata Fagaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Saxifragaceae Lauraceae Ericaceae Ericareae Connaceae Junglandaceae Sumber :Bratawinata, A. A.,1998 Perbandingan karakeristik tipe hutan berdasarkan zonasi pada hutan hujan tropika sebagai berikut : Tabel 31. Karakteristik tumbuhan pada tipe hujan tropika berdasarkan ketinggian dpl Karakteristik Tinggi Tajuk Pohon besar Tinggi pohon Ukuran daun Banir Cauliflora Liana kayu Ephifit berkayu Ephifit tidak berkayu Lumut Ganggang Tipe Hutan Hujan Tropika Dataran rendah Sub. Pegunungan Pegunungan 25 – 45 m 15 – 33 m 15 – 18 m banyak Kadang-kadang Tidak ada 60 m 35 m 26 m Macrophyll Mesophyll Microphyll Banyak Kadang-kadang Tidak ada Banyak Kurang Tidak ada Berlimpah Kadang-kadang Jarang dijumpai banyak banyak Kadang-kadang Jarang dijumpai Kadang-kadang Banyak Jarang dijumpai Kadang-kadang Berlimpah Hampir tidak dijumpai Kadang-kadang Berlimpah Sumber :Bratawinata, A. A., 1998 MASSERHEBUNGS EFFECT DAN MONTAIN MASSELEVATION EFFECT a. Masserhebungs Effect (van Steenis 1975) Merupakan pengaruh yang datangnya dari tempat yang tinggi (pegunungan) terhadap tempat rendah yang berdekatan. Contoh : Ericaceae pada umumnya hidup di pegunungan tinggi, akan tetapi dapat hidup di puncak gunung yang lebih rendah di dekat pegunungan tinggi yang berada di dekatnya. b. Montain Masselevation Effect (van Steenis 1975) Merupakan pengaruh yang datangnya dari tebing yang berdekatan dari gunung yang satu kepada tebing gunung yang lainnya yang berdekatan dan berhadapan. PRODUKTIVITAS HUTAN HUJAN TROPIS Hutan hujan tropis adalah hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi sebagaimana yang digambarkan oleh Resosoedarmo et al., (1986) melalui hujan hujan tropis primer pegunungan di Cibodas, yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan berbunga dan paku-pakuan sebanyak 333 pada daerah seluas 1 ha, di MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 252 ketinggian 1500 m dari permukaan laut. Di antara jenis tumbuhan tersebut, 73 jenis diantaranya adalah jenis pohon dengan kerapatan sebesar 233 pohon/ha. Sifat menyolok lainnya dari hutan ini menurut penulis yang sama, adalah besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas biomassa yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis. Menurut Weaner dan Clement (1980) kecuali produktivitas vegetasi yang sangat tinggi, tanah di daerah tropis tidaklah terlalu subur kecuali lahan-lahan yang tersusun atas tanah alluvial baru dan tanah vulkanik. Sifat tanah di hutan hujan tropis yang miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas tumbuhan yang sangat tinggi. Namun demikian produktivitas yang sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat (Resosoedarmo et al., 1986). 1. Kondisi Umum Hutan Hujan Tropis. Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu wilayah yang terletak di antara 23027’ LU dan 23027’ LS (Weidelt, 1995). Wilayah hutan hujan tropis mencakup ± 30 % dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. (Ewusie.,1980) Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun (Walter, 1981). 2. Produktivitas Ekosistem Dunia dan Kaitannya dengan Hutan Hujan Tropis. Total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis perunit area perunit waktu di sebut produktivitas primer kotor, namun demikian tidak semua energi yang dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa, tetapi sebagian dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktivitas primer bersih dengan demikian adalah hasil fotosintesis dikurangi dengan respirasi (Barbour et al., 1987). Jika Tabel 32 dibawah ini diperhatikan dengan seksama maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi di banding wilayah lain, yang mencapai 1000 - 3500 g/m2/tahun, disusul hutan musim tropis yang mencapai 1000 - 2500 g/m2/tahun. Daratan yang memiliki produktivitas te-rendah adalah gurun dan semak-gurun yang hanya berkisar 10 - 250 g/m2/ tahun. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 253 Tabel 32. Produktivitas Primer Biosfer Tipe Ekosistem Hutan Hujan Tropis Hutan Musim Tropis Hutan Iklim Sedang: Selalu Hijau Luruh Hutan Boreal Savana Padang Rumput Iklim Sedang Tundra dan Alpin Gurun dan Semak Gurun Produktivitas Primer Bersih (Bahan Kering) Kisaran Normal (g/m2/tahun) 1000-3500 1000-2500 600-2500 600-2500 400-2000 200-2000 200-1500 10-400 10-250 Sumber: Whittaker dan Likens (1975). 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Hujan Tropis. Produktivitas merupakan parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985). a. Suhu dan Cahaya Matahari Suhu udara di daerah dataran rendah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara 20 - 28 0 C (Walter, 1981). Radiasi global bervariasi berdasarkan keadaan atmosfer, lintang, dan ketinggian (Whittaker, 1973). Suhu udara di daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai sampai mencapai titik beku (00C) namun pada daerah yang sangat tinggi terkadang, tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku (Warsito, 1999). Suhu rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 270C, dan kisaran suhu bulanan berkisar 24 - 280C, yang dengan demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih kecil dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100. Suhu maksimum jarang mencapai 380C juga jarang turun di bawah 200C (Mabberly, 1983). Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutup ke wilayah ekuator (Barbour et al, 1987), namun untuk daerah hutan hujan tropis suhu bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh (Walter, 1981). Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah tropika menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya dibanding deMATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 254 ngan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada atmosfer yang lebih tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika), mengurangi jumlah sinar yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan tropis, antara 56 - 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi) (Sanches, 1992). Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tetumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches (1992) menaksir hasil tanaman pangan yang mungkin, berdasarkan jalur lintang. Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah hutan hujan tropis berkemungkinan memberikan hasil lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan mengandaikan tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan panen tahunan rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan. Kira-kira setengah dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang menguntungkan dari segi ekonomi. b. Curah Hujan Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara bulan basah (Sanches, 1992). Kondisi ini menjadikan wilayah ini memiliki curah hujan yang merata hampir sepanjang tahun yang sangat mendukung produktivitas yang tinggi. Hujan selain berfungsi sebagai sumber air, juga sebagai sumber hara. Banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi kilat atau badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan (Whitmore,1986). Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan adalah K, Ca, dan Mg (Kenworty dalam Whitmore ,1986) Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas, vegetasi curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat (Resosoedarmo et al., 1986). Menurut Barbour et al, (1987) mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem, dan hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah unsur Ca dan K. c. Interaksi Antara Suhu dan Curah Hujan. Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan berlangsung jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di dunia yang memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan tropis, tetapi memiliki produktivitas yang rendah (Woodweell, 1967). Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembapan yang sangat ideal bagi vegetasi hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas. Warsito (1999) menjelaskan bahwa kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya hari hujan, terdapatnya air yang tergenang, dan suhu. Sumber utama air dalam atmosfer adalah hasil MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 255 dari penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air tanah lainnya serta transpirasi dari tumbuhan. Menurut Jordan (1995), tingginya kelembapan pada gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral-mineral dalam tanah atau lapisan batuan, yang mengakibatkan terlepas unsur-unsur hara. Hara ini ada yang dapat dengan segera diserap oleh tumbuhan. d. Produktivitas Serasah Karena produktivitas serasah tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak. Tabel 33. Laju Produktivitas Serasah Di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia Ekosistem Lokasi Produktivitas Serasah (g/m/tahun) Hutan hujan tropis Thailand 2322 Hutan iklim sedang Di beberapa lokasi 1200 Savana kering Rusia 290 Hutan oak Rusia 350 Taiga Rusia 250-300 Hutan musim tropis Pantai Gading 440 Herba perennial Jepang 1484 Prairi Amerika Serikat 520 Sumber: Dikompilasi dari Jordan (1971) Produktivitas serasah yang tinggi ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Hutan hujan tropis yang selalu hijau (Bray dan Gorham, 1964), dan (2) Iklim, sebagai mana yang diperlihatkan oleh oleh Ewusie (1990) yang membandingkan produktivitas tahunan serasah di 4 zone iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10,2 t/ha/tahun; 5,6 t/ha/tahun; 3,1 ton /ha/tahun; dan 1,1 t/ha/tahun. Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem lainnya. Tabel 34. Laju Dekomposisi Serasah di Beberapa Tipe Ekosistem Dunia Iklim Ekosistem dan Lokasi Laju Dekomposisi (% /hari) Tropis Sedang Hutan Hujan Tropis Padang Rumput Hutan oak di : Minnesota Missouri New Jersey 0,45 0,30 0,0 18 0,095 0,018 Sumber : Barbour et al, 1987. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 256 Menurut Resosoedarmo et al., (1986) hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. e. Tahap Suksesi Komunitas Produktivitas vegetasi juga mengikuti pola perubahan yang terjadi selama suksesi. Gradasi peningkatan produktivitas vegetasi selama masa awal suksesi, diikuti degan mulai menurunnya produktivitas vegetasi setelah mencapai puncak. Botkin et al., dalam Barbour at al., (1987), membuat suatu model untuk memprediksi pertumbuhan biomassa tegakan hutan dan menemukan bahwa tegakan mencapai puncak pertumbuhannya pada usia sekitar 200 tahun, dan kemudian berkurang 30 - 40% setelah usia tersebut. Menurut Barbour at al., (1987) penurunan ini disebabkan karena: (1) Proporsi alokasi produktivitas primer bersih yang sangat besar ke struktur biomassa non fosintesis, (2) Keterbatas tajuk pohon dan orientasi daun, (3) Terikatnya hara di dalam struktur biomassa pohon (4) Menurunnya efisiensi fotosintesis dari individu pohon yang telah tua. f. Tanah. Tanah adalah faktor di daerah tropisyang tidak mendukung tingginya produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan hujan tropis adalah tanah yang berumur sangat tua, kecuali tanah vulkanik. Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama sekali pada ta-nah disini, dan kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode Tertiary (Walter, 1981). Pencucian terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca++, dan NH4 + akan bergabung dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) . Tanah yang memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez, 1992). Tipe hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut Klasifikasi Schmidt dan Fergusson) atau berada pada daerah yang selalu basah, dengan tanah jenis podsol, latosol. Alluvial, dan regosol memiliki drainase yang baik. Ion hara yang bermuatan positif pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 257 mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah. Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah. Karakteristik dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan tercuci dari horizon tanah. Namun kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air. Sumber hidrogen lainnya berasal dari transformasi Nitrogen. Selama masa penguraian bahan organik, nitrogen yang terikat secara organik pada bahan tersebut di konversi menjadi ammonium (NH4) yang kemudian akan diserap oleh tumbuhan atau dikonversi menjadi Nitrat (NO3) melalui proses nitrifikasi. Hidrogen yang dibebaskan dari proses ini dapat menggantikan kation hara yang dapat dipertukarkan dipermukaan tanah, dan ion nitrat yang tersedia kemudian akan bereaksi dengan kation hara tersebut. Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985). Laju pelapukan yang tinggi juga berpotensi tinggi untuk terjadi di kawasan hutan hujan tropis yang juga dipicu oleh kelembapan dan panas yang tinggi yang berlangsung sepanjang tahun. Pelapukan terjadi ketika hidrogen di dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral di dalam tanah atau lapisan bebatuan, sehingga unsur-unsur hara dapat tersingkirkan. Hal ini misalnya dapat terlihat pada feldspar yang terdapat dalam aluminosilikat (senyawa aluminium dan silikat) yang mengandung hara-hara seperti Na, K, dan Ca. Jika feldspar terhidrolisasi, maka hara-hara tersebut akan di keluarkan dari aluminosilikat. Hara yang terlarut ini kemudian dapat diadsorpsi oleh koloida tanah, dan kemudian digunakan oleh tumbuhan, atau hilang dari ekosistem lewat pencucian(Jordan, 1985). Karakteristik dari tanah seperti tekstur, hara, dan kedalaman telah banyak dibahas sebagai komponen yang penting dalam menentukan hubungan kompetisi dan laju pertumbuhan dari tumbuhan di berbagai kondisi lingkungan. Namun menurut Pastor dan Bockheim dalam Barbour at al., (1987), merupakan hal yang sulit untuk mentranslasikan pengaruh edafik pada studi-studi produktivitas. Hal ini disebabkan karena tidak semua spesies memiliki kebutuhan hara yang sama untuk memproduksi sejumlah MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 258 biomassa dengan ukuran yang sama. Pengaruh edafik mungkin akan tertutupi jika spesies yang tumbuh pada lingkungan miskin hara memiliki efisisensi pemanfaatan hara yang tinggi. Pada lingkungan yang demikian ini, baik komposisi spesies maupun produktivitas dapat dipengaruhi dengan modifikasi rezim hara. g. Herbivora Herbivora adalah faktor biotik yang mempengaruhi produktivitas vegetasi. Sekitar 10% dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat (Barbour at al., 1987). Oleh kaena produktivitas yang tinggi, maka dapat di antisipasi adanya potensi yang tinggi untuk terjadi serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada, sekurang-kurangnya di hutan yang tumbuh secara alami, adanya serangan insekta pada areal berskala luas (Lugo et al., dalam Jordan, 1985). Walau pun demikian defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan, 1985). Menurut penulis yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Ba-nyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora. h. Sistem Konservasi Hara Curah hujan yang sangat tinggi seperti dikemukakan di atas selain memberi dampak positif juga berdampak negatif karena mudahnya hara hilang dari ekosistem akibat pencucian. Tanpa mekanisme konservasi hara yang tepat, ekosistem hutan hujan tropis tidak dapat mempertahankan produktivitasnya yang tinggi. Rupanya mekanisme tersebut telah terdapat pada komponen-komponen yang menyusun ekosistem hutan hujan tropis. Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan hujan tropis yang memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Nye dan Thinker dalam Jordan (1985), meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam tanah, dan mereka menemukan bahwa tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak. Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati, dan organisme pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai di sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam pohon daripada ke organisme lain atau tercuci keluar dari sistem. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan tropis, hara jarang sekali tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan atau oleh mikroorganisme. Pergerakan hara yang demikian ini juga ditunjang oleh keber-adaan berbagai organisme yang hidup maupun mati seperti bryophyta, lichens, lumut, broMATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 259 melia, paku-pakuan, anggrek, dan epifit lainnya yang sangat banyak terdapat pada tajuk pohon. Organisme ini mampu menyerap haranya sendiri dari lingkungan sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa merusak tumbuhan inangnya. Pada saat organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang dikandungnya juga akan terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang sangat banyak terdapat di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh morfologi akar udara yang memiliki banyak sekali akar-akar halus di permukaannya, juga banyak dari akar ini dapat berasosiasi dengan jamur membentuk endomikoriza, dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen. Kehadiran mikoriza juga sangat membantu tumbuhan memperoleh hara pada tanah yang miskin. Kimmins (1987) menjelaskan bahwa mikoriza adalah asosiasi antara jamur dan akar tumbuhan tinggi. Jamur-jamur ini menyelimuti akar tumbuhan dengan akar yang disebut hyphae. Hyphae kemudian berhubungan dengan sel-sel akar dan hasil metabolisme pun ditransfer di antara keduanya. Akar tumbuhan secara pasif akan terus-menerus mengeluarkan senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh jamur seperti asam amino yang kemudian diserap oleh jamur. Jamur, sebaliknya menyuplai tumbuhan dengan berbagai hara yang diperlukan. Jamur-jamur ini memperoleh hara tersebut dari penguraian maupun melalui fiksasi. MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 260 Tabel 35. Satuan-Satuan Ekosistem Daratan Di Indonesia (Sumber. Bratawinata, A. A., 1998) Tipe Ekosistem Nama Iklim Hutan hujan Selalu basah sampai kering tengah tahun; Q < 60 (tipe A, B, C); curah hujan per tahun 1300 – 7100 mm Sub Tipe Ekosistem Nama Ekosistem Hutan Hutan Hujan Hutan NonTanah Kering Dipterocarpace ae < 1000 Suhu Rerata (Co) 21 - 26 Hutan Dipetrocapacea e campuran Hutan Agathis campuran < 1000 21 - 26 < 3,33 < 2500 13 - 26 < 60 <5 26 < 60 Belukar < 1000 21 - 26 < 60 Hutan Fagaceae 1000 2000 21 - 28 <14,3 Hutan Pantai MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Karakteristik Ekosistem Tinggi dpl (m) Q Tanah < 33,3 Podsolit (m-k), latosol Podsolit, (m- k), latosol Podsolit, (m, k), latosol, podsol Regosol Podsolit, (m-K), latosol Andosol, Regosol, Tanah abu gunung MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK Takson khas / umum / dominan Anacardiaceae, Annonaceae, Burseraceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Guttiferae, Lauraceae, Leguminoceae, Moraceae, Muristicaceae, Palmae, Sapindaceae, Sterculaceae dll Dipterocapaceae (Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Shorea, Vatica) Agathis spp Baringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum, Casuarian equisetifalia, Hernandia peltata, Terminalia catappa, Guettarda speciosa, Pandanus tectorius Macaranga, Mallotus, Vitex, Trema, Melastoma, Enduspermun dsb Castanopsis, Lithocarpus, Quercus, Engelhardia, Podocarpus, Altingia, Magnoliaceae, Phyllociadus, Dacrydium. H a l a m a n | 261 Hutan Casuarina 1000 2000 11 - 21 < 60 Hutan Pinus 700 1000 18 - 21 < 60 Hutan Notofagus Hutan Ericaceae 1000 3000 1500 2400 1500 2400 2400 4000 4000 4500 11 - 21 < 14,3 18 - 23 < 14,3 11 - 18 <14,3 6 - 13 - <6 - Hutan Rawa air tawar < 100 26 < 33,3 Organos ol, Aluvial Hutan Rawa Gambut < 100 26 < 33,3 Organosol Hutan kerangas (Beath Forest) < 1000 23 - 26 < 60 Podosol Hutan Araucaria Hutan Konifer Semak Ericaceae Hutan Hujan tanah Rawa (permanen atau musiman) MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Andosol, Regosol, Litosol Andosol, Regosol, Litosol Regosol Litosol Regosol, Litosol Regosol, Litosol Regosol Litosol Litosol MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK Casuarian junghuniana Pinus merkusii Notofagus spp Rhododendron, Vaccinium, Laptospermun, Myrsine dsb Araucaria cunninghamii Podocarpus papuanus, Libocadrus, Dacrydium, Phulloidus Rhododendron, Vaccinium, Styphelia, Coprosma, Anaphalis dsb Baringtonia spciata, Campospermae, Cococeras, Alstonia, Gluta renghas, Lophopetalum, Mangifera gedebe, Pantaspadon, Metieui, Metroxylon, Pandanus Calophyllum, Combretocarpus rotundatus, Cratoxylum glaucum, Duriocarinatus, Tetramerista glabra, Tristania, Pholidocarpus, Melanorrhoca, Pandanus, Parastemon, Agathis, Shorea balangeran dsb. Dactylocladus, Iristania obovata, Shorea balangeran, Dacrudium H a l a m a n | 262 Hutan Musim Savana Padang Rumput Sangat kering Hutan Musim tengah tahun; Q > 60 (tipe DF); curah hujan per tahun 700 – 2900 mm Selalu basah sampai sangat kering, tengah tahun; Q = 0 (tipe A – F) curah hujan pertahun 700 – 7.100 mm Selalu basah sampai sangat kering tengah tahun, Q = 0 MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Sabana Padang Rumput Iklim Basah Hutan Melaleuca (sekunder) Hutan Payau (Mangrove) Hutan musim gugur daun (dry decidupus forest) < 100 26 < 60,3 <5 > 22 < 60 < 800 > 22 > 60 Hutan Musin selalu hijau ( Dry evergreen) < 1200 > 20 > 60 Sabana Pohon dan Palma < 900 > 20 > 60 Sabana Casuarina 1500 2400 13 - 18 < 60 Padang Rumput Tanah Rendah < 1000 21 - 26 < 60 Organo sol Alluvial Aluvial ciatum, Cratoxylum glucum, Combretocarpus rotundatus, calophyllum dsb Melaleuca leucadendra Rhizopora, Bruguiera, Avicennia, Sonneratia dsb Meditera Protium javanicum, Tectona n (m-k), grandis, Salmalia malabarica, Rensina, Pterocarpus, Garuga floribunda, Regosol, Eucalyptus, Acacia cucophioca dsb. Litosol Meditera Schieicera oleosa, Schoutenia ovata, n (m-k), Tamarindus indica, Albizia Rensina, chinensis dsb regosol, Litosol Meditera Borassus, Corypha, Acacia, n (m-K), Eucalyptus, Casuarina, Themeda, Rensina, Heteropogon dsb regosol, Litosol Andosol, Casuarina, Themeda, Pennistum Regosol, dsb Litosol Podsolit Inperata cylindrica, Saccharum (m-k) spontaneum, Themeda vilosa Latosol, Litosol MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 263 (Tipe A -F), curah hujan per tahun 700 – 7.100 mm Rawa Rumput dan Terna Tanah Rendah < 100 26 < 60 Organos ol Alluvial Padang Rumput Pegunungan 1500 2400 18 - 23 < 60 Padang rumput berawa pegunungan Padang Rumput Alpin 15002400 18 - 23 < 60 Andosol, Regosol, Litosol Regosol Litosol 4000 4500 <6 - Litosol > 4500 >6 - Litosol < 900 < 22 < 60 Rumput dan Lumut Kerak Padang Padang Rumput Rumput Iklim Iklim Kering Kering MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS Panicum stagineum, Phraginites karka, Scipus, Cyperus, Cladium, Fimbristylis, Rhynchospora, Limnocharis, Equisetum, Monochoria, Ischaemum, Eichornia dsb. Festuca, Agrostis, Themeda, cymbopogon, Ichemum, Imperata dsb Phragmites, Panicum, Machaerina, Scirpus, Carex dsb Deschampsia, Festuca, Monostachya, Aulacolepis, Danthonia, Oreobolus, Scirpus, Potentilla, Ranyneulus, Epilobium, Sphagnum dsb Lumut kerak , Agrastis dsb Meditera Themeda, Heteropogon dsb n (m-k)) Regosol, Litosol Rensina MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 264 SOAL - SOAL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jelaskan ciri ekosistem Hutan Hujan Tropika…? Jelaskan ciri-ciri ekosistem Gambut dan contoh vegetasinya …? Jelaskan stratifikasi formasi Hutan Hujan Tropika…? Jelaskan tipe Hutan Edafik…? Jelaskan tipe Hutan Musim…? Jelaskan apa yang dimaksud phisiognomi pada Hutan Tropika Basah …? Jelaskan ciri khas Hutan Mangrove…? Jelaskan ciri ekosistem Estuaria…? Jelaskan ciri ekosistem Padang Lamun…? Jelaskan formasi vegetasi ekosistem Hutan Pantai dan contoh tumbuhannya…? Jelaskan dua tipe terbentuknya areal Gambut…? Jelaskan ciri Hutan Rawa dan contoh vegetasinya…? TUGAS PRESENTASI - Tipe-tipe hutan hujan tropis di Indonesia berdasarkan latitude, dan altitude serta karakteristik flora dan faunanya Catatan : Daftar Pustaka Dapat Dilihat Setelah BAB 11, Pada Halaman 265 MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK H a l a m a n | 265 MATERI KULIA EKOLOGI TUMBUHAN – BIOLOGI – FMIPA - UNHAS MUHAMMAD RUSLAN UMAR, DKK