1 PENDAPAT ULAMA TERHADAP WANITA HAID BERADA DI DALAM MASJID Oleh : Sanawiah Dosen Tetep Yayasan FAI UM Palangkaraya ABSTRAK “Pendapat Ulama Terhadap Wanita Haid Berada di dalam Masjid”. Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui pandangan ulama mazhab berbeda terhadap wanita yang haid berada di dalam masjid.2 Untuk menyikapi perbedaan pendapat para ulama mazhab terhadap wanita haid berada di dalam masjid. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, bentuk penelitiannya studi kepustakaan, Adapun hasil penelitian ini dapat disimpulkan Tantang masalah wanita haid masuk ke masjid kita mendapatkan beragam pendapat.1 Masing-masing ulama mengemukakan pendapatnya yang saling berbeda satu sama lain dengan dalildalilnya masing-masing. Dari semua pendapat dan dalil mereka yang berbeda-beda itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun dalil yang Shahih dan kuat yang melarang wanita haid masuk kedalam masjid. 2 Dalil paling kuat yang bisa menjadi dasar dan landasan diperbolehkannya wanita haid masuk ke masjid adalah bahwa Nabi Muhammad saw, pernah memperbolehkan Aisyah r.a yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjidil Haram. Dalam hadits tersebut disebutkan pula, bahwa beliau hanya melarang Aisyiyah r.a untuk mengerjakan tawaf. Saran : Masih banyak dalil lain yang menjelaskan diperbolehkannya seorang wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid. Meskipun demikian, siapapun berhak memilih pendapat mana yang ia yakini dengan cara memohon petunjuk Allah SWT. Kata Kunci : Wanita Haid 1 A. Latar Belakang Apa, bagaimana, hukum wanita haid masuk masjid ? pertanyaan-pertanyan inilah yang sering di lontarkan teman-teman, masyarakat kepada penulis, membuat penulis harus menjawab dengan dasar hukum yang jelas, dengan adanya perbedaanperbedaaan pendapat atau khilafiah di kalangan ulama. ada yang membolehkan, ada yang tmembolehkan dengan syarat, dan ada pula yg tidak membolehkannya. Sekarang, mari kita kupas bersama-sama melalui dalil-dalil yg ada dan mari kita kaji dengan seksama perbedaan pendapat tersebut. Seperti halnya pada hukum membaca al-Qur`an bagi wanita yang sedang haid, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum masuk masjid dan berdiam diri di dalamnya bagi wanita yang haid. Sebagian ulama seperti Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haidh dan orang yang sedang junub untuk berdiam diri di masjid. Dalilnya adalah sabda Nabi saw. kepada ‘Aisyah ra.: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shafa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)” Sabda Nabi saw. kepada Aisyah itu hanya mengandung larangan bagi wanita yang sedang haid untuk melakukan thawaf, dan sama sekali tidak mengandung larangan untuk masuk ke dalam masjid. Artinya, bagi wanita yang haidh, hanya thawaf saja yang dilarang, sedangkan perbuatan-perbuatan lainnya termasuk masuk ke dalam masjid dan berdiam di dalamnya dibolehkan. Selain itu, ada sebuah riwayat 2 yang menyebutkan bahwa ada seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada masa Nabi saw., tetapi tidak ada satu dalil pun yang menyatakan bahwa beliau memerintahkan wanita itu untuk meninggalkan masjid saat dia sedang haid. Sebagian ulama yang lain melarang seorang wanita yang sedang haidh untuk masuk dan duduk di dalam masjid dengan alasan: Yang artinya “Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haid dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain) Berdasarkan hadits tersebut, jumhur ulama termasuk 4 imam madzhab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali dan Imam Hanafi) melarang wanita yang sedang haid untuk masuk dan berdiam diri di dalam masjid. Yang dimaksud berdiam diri di dalam masjid adalah seperti duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Hal ini tidak dibolehkan. Adapun jika seorang wanita yang sedang haid hanya sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena ada suatu keperluan tertentu, maka hal seperti itu dibolehkan, tetapi dengan catatan tidak ada kekhawatiran wanita itu akan mengotori masjid dengan darah haidhnya. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw. pernah memerintah Aisyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Saat itu, Aisyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Mendengar itu, Rasulullah saw. pun bersabda: ”Sesungguhnya haidmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim). Dengan adanya perbedaan pendapat seperti disebutkan di atas, dimana masingmasing kelompok memiliki pendapat yang didasarkan pada hadits-hadits Nabi saw., 3 Sedangkan masjid secara bahasa adalah tempat untuk bersujud, untuk menyembah kepada Allah SWT, jadi dari pengertian di atas maka mesjid harus digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT, dan tidak diperbolehkan digunakan untuk berebuat dosa kepada Allah SWT. Sedangkan secara umum masjid adalah tempat suci umat Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat kegiatan keagamaan, kemasyrakatan yang harus dibina, dipelihara dan dikembangkan secara teratur dan terencana. Untuk menyemarakan siar Islam, meningkatkan semarak keagamaan dan menyemarakan kualitas umat Islam dalam mengabdi kepada Allah SWT, sehingga partisipasi dan tanggung jawab umat Islam terhadap pembangunan bangsa akan lebih besar.1 Singkatnya masjid adalah tempat dimana diajarkan, dibentuk, ditumbuhkan dan dikembangkan dunia pikiran dan dunia rasa Islam.2 Dalam pengertian lain juga dijelaskan bahwasanya masjid adalah rumah tempat ibadah umat muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan masjid berukuran kecil juga di sebut dengan musholla, lamggar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Seperti kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur’an sering dilaksanakan di masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemeliteran. 1 Sidi Gazalba. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna 1998, hlm. 118. 2 Drs Sidi Gazalba. Mesjid....... hlm. 39. 4 Masjid dari kata kerja sajada dan berubah menjadi nama tempat (isim makan). Masjid secra fisik adalah bagunan yang merupakan tempat untuk shalat dan sujud serta ingat kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda nabi yang berbunyi: ٍ ْﺤﻨَ ِﻔ ﱡﻰ َﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣﺔُ ﺑْ ُﻦ َ ﺲ اﻟ َ َُﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ُزَﻫ ْﻴـ ُﺮ ﺑْ ُﻦ َﺣ ْﺮب َﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ﻋُ َﻤ ُﺮ ﺑْ ُﻦ ﻳُﻮﻧ ٍ َِﻋ ﱠﻤﺎ ٍر ﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ إِ ْﺳﺤﺎ ُق ﺑْﻦ أَﺑِﻰ ﻃَﻠْﺤﺔَ ﺣ ﱠﺪﺛَﻨِﻰ أَﻧَﺲ ﺑْﻦ ﻣﺎﻟ ﻚ َو ُﻫ َﻮ َﻋ ﱡﻢ َ َ ُ ُ َ َ َ ُ ِ ﺎل ﺑَـ ْﻴـﻨَﻤﺎ ﻧَ ْﺤﻦ ﻓِﻰ اﻟْﻤﺴ ِﺠ ِﺪ َﻣ َﻊ ر ُﺳ ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ َ َ َ َإِ ْﺳ َﺤﺎ َق ﻗ َْ ُ ِ ﺎب ر ُﺳ ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ َ ﻮل ﻓِﻰ اﻟ َْﻤ ْﺴ ِﺠ ِﺪ ﻓَـ َﻘ ُ ُﺎم ﻳَـﺒ ْ ﺎل أ َ وﺳﻠﻢ إِ ْذ َﺟﺎءَ أَ ْﻋ َﺮاﺑِ ﱞﻰ ﻓَـ َﻘ َ ُ َﺻ َﺤ » ﻮل اﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ُ ﺎل َر ُﺳ َ َﺎل ﻗ َ َ ﻗ.ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َﻣ ْﻪ َﻣ ْﻪ ﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ َ ﺛُ ﱠﻢ إِ ﱠن َر ُﺳ.ﺎل َ َ ﻓَـﺘَـ َﺮُﻛﻮﻩُ َﺣﺘﱠﻰ ﺑ.« ُﻻَ ﺗُـ ْﺰِرُﻣﻮﻩُ َدﻋُﻮﻩ ِ ﺎل ﻟَﻪُ » إِ ﱠن َﻫ ِﺬﻩِ اﻟْﻤﺴ ﺸ ْﻰ ٍء ِﻣ ْﻦ َﻫ َﺬا اﻟْﺒَـ ْﻮِل َ وﺳﻠﻢ َد َﻋﺎﻩُ ﻓَـ َﻘ َ ِﺢ ﻟ ْ َﺎﺟ َﺪ ﻻَ ﺗ ُ ُﺼﻠ ََ ِ ِِ ِ ِ ﺼﻼَةِ وﻗِﺮاءةِ اﻟْ ُﻘﺮ أ َْو َﻛ َﻤﺎ.« آن ْ َ َ َ َوﻻَ اﻟْ َﻘ َﺬ ِر إِﻧﱠ َﻤﺎ ﻫ َﻰ ﻟﺬ ْﻛ ِﺮ اﻟﻠﱠﻪ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ َواﻟ ﱠ ِﺎل ﻓَﺄَﻣﺮ رﺟﻼ ِﻣﻦ اﻟْ َﻘﻮ ِ ُ ﺎل رﺳ ﺎء ﺠ ﻓ م َ َ ْ َ ً ُ َ َ َ َ َ ﻗ.ﻮل اﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ُ َ َ َﻗ َ .ﺸﻨﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َ َﺑِ َﺪﻟْ ٍﻮ ِﻣ ْﻦ َﻣ ٍﺎء ﻓ Artinya:”Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Har’ab telah menceritakan kepada kami Umar bin Yunus al Hanafi telah menceritakan kepada kami Iqrimah bin Amar telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Abi Thalhah telah menceritakan kepadaku Anas bin Malik dan dia adalah paman Ishaq dia berkata “ ketika kami berada di dalam masjid bersama Rasulullah SAW tiba-tiba datanglah seseorang Arab dari Bad’ui kemudian dia berdiri dan kencing di dalam masjid”. Para sahabat berkata “Jangan” (kata larangan) maka Rasulullah SAW bersabda: “jangan kalian mencegah atau mencela, selesaikan saja dia kencing” maka para sahabat membiarkannya sampai dia selesai kencingnya, kemudia Rasulullah SAW memanggil Arab Bad’ui tersebut lalu beliau bersabda: “sesungguhnya masjid-masjid ini tidak baik digunakan sesuatu seperti kencing (buang air kecil) dan membuang kotoran, sesungguhnya masjid-masjid ini hanya digunakan untuk 5 berzikir kepada Allah SWT dan sholat serta membaca Al Qur’an” atau seperti ini beliau bersabda Rasulullah SAW lalu memerintahkan kepada seorang laki-laki dari suatu kaum, maka laki-laki tersebut datang dengan membawa ember yang berisikan air kemudian diapun menyiramnya pada tempat di mana dia kencing”. (HR. Muslim) 3 Masjid juga merupakan tempat yang paling banyak dikumandangkan nama Allah SWT melalui Azan, Qomat, Tasbih, Tahmid, Tahlil Istigfar, dan ucapan lain yang dianjurkan dibaca di masjid sebagai bagian dari lafaz yang berkaitan dengan penggunaan asma Allah SWT.4 Ada yang berpendapat batas yang dilarang adalah ruang utama solat, manakala ruang serambi di sekeliling ruang utama solat dibolehkan. Lazimnya ruang utama solat adalah yang berlapik permaidani. Maka wanita yang didatangi haid tidak boleh duduk di ruang utama solat, tetapi boleh duduk di serambi yang mengelilingi ruang utama solat. Ini menghairankan saya kerana bukankah kedua-dua kawasan tersebut sebenarnya masuk dalam batas masjid? Ada yang berpendapat batas yang dilarang adalah dewan solat, manakala dewan serbaguna yang lazimnya terletak di tingkat bawah dewan solat dibolehkan. Pendapat sebegini lazimnya diamalkan di masjid-masjid yang bertingkat. Maka wanita yang didatangi haid tidak boleh naik ke tingkat dewan solat, tetapi boleh ke tingkat dewan serbaguna yang terletak di bawahnya. Ada yang berpendapat, batas yang dilarang hanya bangunan masjid manakala bangunan di perkarangan masjid dibolehkan. Maka dibina bangunan tambahan 3 Imam An Nawawi, Shahih Muslim. Darus Sunnah, no. 225, hlm. 215. Moh. E. Ayub, Muhsin MK, Ramlan Marjoned, ManajemenMmesjid, Jakarta: Gema Insane Press, 1996, hlm. 7. 4 6 beserta bilik-bilik kuliah agar dapat dihadiri oleh para hadirin wanita yang didatangi haid..” Sekali pun letaknya di perkarangan, ia termasuk sebahagian daripada masjid. Ada yang membedakan antara masjid dan surau. Masjid adalah binaan besar yang dilaksanakan solat Jumaat di dalamnya. Surau pula adalah binaan kecil yang tidak dilaksanakan solat Jumaat di dalamnya. Maka masjid dilarang bagi wanita yang didatangi haid sementara surau dibolehkan. Ini turut menghirankan saya kerana tidak wujud petunjuk jelas bagi membedakan antara masjid dan surau. Lebih dari itu kebanyakan surau, Ini menghairankan saya kerana bukankah kedua-dua tingkat tersebut sebenarnya tetap masuk dalam batas masjid? kelengkapannya jauh lebih besar dan canggih berbanding masjid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Zaman dahulu. Dari latar belakang inilah penulis membuat judul penelitian sebagai berikut: “PENDAPAT ULAMA MAZHAB TERHADAP WANITA HAID DI DALAM MASJID”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Apa pandangan ulama mazhab terhadap wanita yang haid berada di dalam masjid? 2. Bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat para ulama mazhab terhadap wanita haid berada di dalam masjid? 7 C. Tujuan Penelitian Melihat dari permasalahan yang ada maka penelitian ini memliki beberapa tujuan yaitu: 1. Untuk mengetahui pandangan ulama mazhab berbeda terhadap wanita yang haid berada di dalam masjid. 2. Untuk menyikapi perbedaan pendapat para ulama mazhab terhadap wanita haid berada di dalam masjid. D. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Teoritik 1. Pengertian Pandangan Pandangan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer adalah berasal dari kata “pandang” yang artinya penglihatan pada objek secara tetap dan berlangsung agak lama; sementara kata “memandang” adalah mengarahkan penglihatan mata ke suatu objek tertentu, sedangkan kata “pandangan” adalah pendapat terhadap suatu objek berdasarkan proses pemikiran.5 Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pandangan adalah suatu reaksi baik dalam artian menanggapi atau berpendapat, tetapi timbulnya pendapat tersebut adalah berdasarkan proses pemikiran yang betul-betul dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah. Berdasarkan hal tersebut, tentunya makna persepsi dan makna pandangan sudah tentu dapat dibedakan. Kemudian, berdasarkan pengertian pandangan di atas, maka yang dikehendaki dalam tulisan ini adalah adanya data-data yang dinyatakan oleh ulama-ulama kota 5 Iilham. MM, Kamus Bahasa.hlm. 120. 8 Palangka Raya sebagai jawaban atau pendapat secara antusias dan dapat memberikan pencerahan kepada semua kalangan terutama Penghulu yang mengerti masalah hukum Islam. 2. Pengertian Ulama Ulama dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer adalah orang alim, orang yang berilmu terutama tentang imu agama Islam dalam Islam.6 Sedangkan dalam Kamus Almunawir Arab Indonesia Terlengkap, kata ulama adalah “bentuk jama” dari kata “ilm”, yang artinya adalah orang yang terpelajar, yang memiliki pengetahuan atau ahli dibidang ilmu agama Islam. Pengertian Ulama secara harfiyah adalah “orang-orang yang memiliki ilmu”. Dari pengertian secara harfiyah dapat disimpulkan bahwa ulama adalah: a. Orang Muslim yang menguasai ilmu agama Islam.b.Muslim yang memahami syariat Islam secara menyeluruh (kaaffah) sebagaimana terangkum dalam Al-Quran danHadits.c. Menjadi teladan umat Islam dalam memahami serta mengamalkannya. Dalm pengertian yang lain juga disebutkan bahwasanya Ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti 6 Iilham. MM, Kamus Bahasa.....hlm. 143. 9 ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.7 3. Pengertian Haid Secara bahasa, kata haid adalah masdar (infinite noun) dari kata haadha, yang artinya; mengalir.8 Oleh sebab itu, apabila terjadi banjir pada suatu lembah, maka orang Arab menyebutnya sebagai haadha al-waadi.9 Jika disebutkan, perempuan haid artinya perempuan yang darahnya mengalir. Kata tunggal dari haid itu adalah haydhah, sedangakan jamaknya (pluralnya) adalah haid, atau haydhaat sedangkan hiyadh adalah darah haid.10 Secara istilah, yang dimaksud dengan haid adalah; darah alami yang keluar dari seorang perempuan sehat, tanpa adanya sebab melahirkan, darah ini berasal dari dasar rahim yang biasa di alami oleh kaum perempuan jika ia telah baligh. Dan darah tersebut keluar dalam masa tertentu. Kebiasaanya, warna darah haid adalah hitam, sangat panas, terasa sakit, dan berbau busuk. Dan dalam pengertian yang lain disebutkan bahwa haid ialah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah baligh yang mana keluarnya tiap-tiap bulan sedikitnya satu hari satu malam dan umumnya tujuh hari lamanya.11 7 Rahmiati dan Nor Hamdan, Dinamika Peran Ulama Dalam Politik Praktis, Antasari Press: Banjarmasin, 2006, hlm. 115. 8 Ust. Nur Kholis, Kamus Praktis. Jakarta: 2004. 9 Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu.Gema Insani. Depok: 2007, hlm. 508. 10 Samson Rahman, MA. Tafsir Wanita Pustaka Al-Kausar 2004, hlm. 82. 11 Ilmin Yuntafa’u Bihi, Himpunan Hukum Islam, Pustaka Ilmu, jakarta: 2009, hlm. 56. 10 Tanda-tanda seseorang yang sudah akhil baligh ialah: a. Menurut para psycholog (ahli ilmu jiwa) orang dikatakan dewasa apabila ia sudah berusia 16-17 tahun bagi laki-laki dan 14-15 tahun bagi wanita. b. Menurut para Ulama Islam orang dikatakan baligh apabila ia telah datang haidh bagi perempuan walaupun belum sampai 15 tahun. c. Telah bermimpi bersetubuh, baik laki-laki maupun perempuan. Umumnya pendapat para psycholog dan Ulama Islam ini tidak bertentangan. Masalah ini juga terdapat dalam beberapa hadits. Di antaranya adalah kata Aisyah, “Perempuan dibagi kapas (yang dimasukkan ke dalam kemaluannya untuk menguji apakah masih ada darah atau tidak). Jika terdapat warna kuning dan keruh, maka itu adalah dari darah haid.” Lalu Aisyah berkata lagi, “Tunggulah hingga engkau mendapati air putih,”12 maksudnya ialah hingga suci dari haid. Bukti yang mengatakan bahwa warna kuning dan keruh setelah masa haid tidak dianggap haidh ialah kata-kata Ummu Athiyah, “Kami tidak menganggap apa-apa terhadap darah berwarna kuning dan keruh setelah suci dari haid.”13 Kadangkala haid itu bersambung dan kadangkala terputus. Jika bersambung, maka hukumnya telah jelas yang berlaku padanya. Namun jika terputus-putus; dimana dia melihat darah sehari kemudian suci sehari, atau melihat darah dua hari kemudian suci dua hari, maka jika demikian, sesungguhnya ketentuan bagi dia adalah meninggalkan shalat pada saat ada darah, kemudian mandi pada saat tidak ada darah, dan mengerjakan shalat. 12 13 Riwayat Imam Malik Riwayat Abu Dawud dan al-Bukhari 11 Untuk itu masa-masa di mana dia mengeluarkan darah, itulah dihitung, sedangkan masa-masa suci yang berseling itu tidak dihitung. Dan jangan pula dihitung dalam iddah. Haid itu sebagai sesuatu yang Allah ciptakan untuk wanita dan merupakan tabiat alami yang biasa terjadi dari mereka. Hukum berkenaan haid dalam firman Allah SWT, QS Al Baqarah (2) 222: Artinya:“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri, dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci, apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.14 (QS Al Baqarah(2) 222) Maksud ayat ini adalah larangan menyetubuhi wanita di waktu haid, keculali Ia sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar. 14 Al Baqarah [2]: 222 12 E. PEMBAHASAN 1. Pandangan ulama mazhab terhadap wanita yang haid berada di dalam masjid. a. Madzhab Imam Syafi’i Diharamkan bagi orang yang junub dan haid berdiam diri di dalam masjid, baik dalam keadaan duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia telah berwudhu atau dalam keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan baginya melewati dengan tidak berdiam diri (mendiami), apakah dalam keadaan ada kepentingan atau tidak. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (Q.S an-Nisa’:43). b. Madzhab Imam Hambali Madzhab ini sependapat dengan madzhab imam Syafi’i, hanya saja mereka membolehkan berlalu saja manakala ada kepentingan tertentu, seperti mengambil sesuatu, meninggalkan sesuatu, atau karena merupakan jalan. Adapun selain yang demikian maka tidak boleh.15 Mereka juga beralasan dengan ayat (Q.S an-Nisa’:43) 15 Al-Mughni, Ibnu Qadamah, Jilid 1, hlm. 200-201. 13 Artinya “. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. Anisa (4) 43.) [penjelasan tafsir] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi. Ayat ini bukan larangan wanita haid masuk masjid. Sebagaimana hadis Hasrah dan hadis ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu”.16 Mereka juga melarang bagi seorang wanita haid sekedar berlalu saja kalau dikhawatirkan akan mengotori masjid. Hal ini menunjukkan isyarat kesepakatan (ijma’) mereka dalam masalah ini, di mana yang demikian merupakan pengkhususan dari dalil yang bermakna umum. Dan disamping juga dengan berwudhu maka hukum hadast besar 16 Riwayat Muslim dan Turmudzi, No. 134, Abu Dawud, No. 261, An-Nasa’i, No. 272, dan Ibnu Majah, No. 632. 14 (junub) menjadi lebih ringan sebagaimana tayamum manakala tidak mendapati air berdasarkan perintah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang junub agar berwudhu apabila ingin tidur, dan dianjurkan apabila hendak makan dan mengulangi hubungan suami istri (jima’). Adapun wanita yang sedang haid maka tidak diperbolehkan berdiam diri di masjid, karena berwudhunya dalam kondisi demikian tidak sah.17 Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga. c. Madzhab Imam Hanafi dan Imam Maliki Mereka berpendapat bahwa orang junub diharamkan menetap masjid atau hanya sekedar lewat dalam kondisi dan dalam bentuk apapun. Mereka beralasan dengan hadis Jasyrah dan hadis Abu Sa’id al-Khudriy, dan mereka berkomentar bahwa hadis yang diriwayatkan oleh keduanya adalah merupakan dalil Imam Syafi’i perihal diperbolehkannya orang junub masuk masjid secara muthlaq walaupun hanya berjalan, (karena di dalamnya tidak ada isyarat yang membedakan antara berjalan melewati dengan berdiam diri atau menetap). Adapun Madzhab Hanafi membolehkan baginya melewati jika mengharuskanya lewat, dengan cara berwudhu atau tayamum lalu lewat, sebagaimana pendapat ini dinukil dari Sufyan al-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih juga.18 17 18 Al-Mughniy, Ibnu Qatamah, Jilid 1, hlm. 135-137. Al-Muhallaa, Jilid II, h. 184-187 dan Al-Mujmu’, Jilid I, hlm. 173. 15 1. Menyikapi perbedaan pendapat para ulama mazhab terhadap wanita haid berada di dalam masjid. Amalan Ibadah yang diharamkan selama haid dan nifas adalah, shalat, puasa, bersetubuh, thawaf, sedangkan perkara yang boleh dikerjakan oleh wanita yang sedang haid adalah : berzikir dan membaca Al-qur’an, menurut pendapat yang paling kuat, seorang wanita yang sedang haid dan junub boleh berzikir dan membaca AlQur’an. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Abu Hanafiah. Imam Ayafi’i dan Ahmad. Adapun dalil pendukungnya adalah yang diriwayatkan oleh Ummu Arhiyyah yang artinya : “pada suatu kesempatan Hari raya, kami dahulu pernah diperintahkan untuk pergi kemasjid untuk menghadiri shalt Ied (edt). Bahka semua wanita pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid pun diperintahkan untuk pergi menghadiri shalat ied. Wanita-wanita yang sedang haid itu di tempatkan di berisan belakang dan mereka ikut serta berzikhir dan berdo’a memohon berkah dan kesucian pada hari itu” (HR.Bukhari, Muslim, Abu Daud) Hadits tersebut dengan sanagat gamblang menyebutkan bahwasanya kaum wanita yang sedang haid pun, pada zaman Nabi SAW, dulu diperbolehkan bertakbir dan berzikir pada Allah SWT. Dalil ini juga bisa dengan hadits yang menyebutkan bahwa ketika Aisyah r.a menjalankan ibadah haji tiba-tiba mengalami haid dan Rasulullah saw. berkata dengan artinya: ”Kerjakanlah segala hal yang dikerjakan oleh orang-orang yang melakukan haji. Namun jangan engkau thawaf di Baitullah sampai engkau telah suci” (HR, Bukhari) 16 Dan sebagaimana kita maklumi, diantara amalan-amalan yang dikerjakan para jamaah haji adalah membaca Al-Qur’an dan berzikir kepada Allah. Atas dasar itu maka wanita yang sedang haid pun tidak dilarang untuk tetap berzikir dan membaca Al-Quran. Tentang masalah ini, dalam kitab al-Muhalla, Ibnu Hazm juga menerangkan seperti ini: “ membaca Al-Qur’an,, sujud tilawah, memegang mushaf, dan berzikir kepada Allah SWT, merupakan amalan-amalan yang disunahkan kepada kaum wanita yang sedang haid dan mereka akan mendapatkan pahala karenanya. Barang siapa melarang wanita haid haid untuk mengerjakan hal-hal tersebut, maka ia harus bisa mendatangkan dalil yang Shahih dan kuat. (Abdul Malik Kamil ibnu as-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita, hal 86.) 17 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tantang masalah wanita haid masuk ke masjid kita mendapatkan beragam pendapat. Masing-masing ulama mengemukakan pendapatnya yang saling berbeda satu sama lain dengan dalil-dalilnya masing-masing. Dari semua pendapat dan dalil mereka yang berbeda-beda itu dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun dalil yang Shahih dan kuat yang melarang wanita haid masuk kedalam masjid. 2. Dalil paling kuat yang bisa menjadi dasar dan landasan diperbolehkannya wanita haid masuk ke masjid adalah bahwa Nabi Muhammad saw, pernah memperbolehkan Aisyah r.a yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjidil Haram. Dalam hadits tersebut disebutkan pula, bahwa beliau hanya melarang Aisyiyah r.a untuk mengerjakan tawaf. B. Saran Masih banyak dalil lain yang menjelaskan diperbolehkannya seorang wanita yang sedang haid masuk ke dalam masjid. Meskipun demikian, siapapun berhak memilih pendapat mana yang ia yakini dengan cara memohon petunjuk Allah SWT. 18 19 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Abdul Malik Kamil ibnu as-Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita, Jakarta : Madina, 2011. Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Ibadah, Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2003. Al-Asqalani Ibnu Hajar, Terjemah Fathul Baari Jilid 1, Pustaka Azzam: Jakarta, 2006. Ayub, Moh.E, Muhsin MK, Ramlan Marjoned, Manajemen Mesjid, Jakarta: Game Insane Press, 1996. Az Zarnuzi, Ta’limul Muta’allim, Surabaya: Al-Hidayah. 2002 Bisri, Cik Hasan, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian Dan Penulisan Skripsi, Ulul Albab:Bandung Depag, RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Indah Press. Dwisang, Evi Luvina, Kamus Lengkap Bahasa Idonesia, Tanggerang: Karisma Publising Group, 2009. Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989, Cet.5. Iilham. MM, Kamus Bahasa Indonesia, Mitra Jaya: Juni 2010. Kahar Massyhur. Bulughul Maram, Jakarta: PT. Melton Putra. 1992. Kustono, Rahasia-Rahasia Wanita, Pemulang Tanggerang Banten: Shuhuf Media Insani 2011. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosda Karaya. 2002. Muhammad Faud Abdul Baqi, Al Lu’lu Wal Marjan, alih bahasa Tim Penerjemah Aqwam. Jakarta: Ummul Qura. Nurhamid, Nur Rohim (Pen), Pedoman Amaliah Ibadat, Semarang: CV.Wicaksana, 1989. Qodir, Abdul, Metodologi Riset Kualitatif: Panduan Dasar Melakukan Penelitian Kancah, Palangka Raya: Tanpa Penerbit. 1999 Rahmiati dan Nor Hamdan, Dinamika Peran Ulama Dalam Politik Praktis, Antasari Press: Banjarmasin, 2006 20 Samson Rahman, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2003. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press Syahrudin, Hanafie, Abdullah Abud s, Mimbar Mesjid, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1986. Syaukani, Imam Asy. Nailul Authar (Himpunan Hadits-Hadits Hukum), Surabaya: PT. Bina Ilmu. 2001. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 1, Jakarta: Gema Insani, 2010. B. Internet Imron Rosadi http://balimuslim.com/tetang mesjid. Diunduh pada tanggal 01 Februari 2010 http://www.artikel.majlisasmanabawi.net/kamus-spiritual/arti-ulama-pengertian-ulama. 21