bagian awal - perpus iain salatiga

advertisement
MAKNA RITUAL KEJAWEN
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
DI DESA JUMO KECAMATAN KEDUNGJATI
KABUPATEN GROBOGAN
TAHUN 2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh :
EKO HARYANTO
NIM. 12107004
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
TAHUN 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama
: Eko Haryanto
NIM
: 12107004
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Judul
: MAKNA RITUAL KEJAWEN PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM DI DESA JUMO
KECAMATAN KEDUNGJATI KABUPATEN
GROBOGAN TAHUN 2009
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 15 Januari 2010
Pembimbing
Drs. JUZ’AN, M.Hum
NIP. 19611024 198903 1 002
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323 706, 323 433 Salatiga 50721
Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi Saudara Eko Haryanto dengan Nomor Induk Mahasiswa 12107004 yang
berjudul Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam Di Desa Jumo
Kecamatan
Kedungjati
Kabupaten
Grobogan
Tahun
2009
telah
dimunaqosahkan dalam Sida ng Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada Sabtu, 13 Maret 2010 dan telah
diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I.).
Salatiga, 27 Rabiul Awal 1431 H.
13 Maret 2010 M.
Panitia Ujian
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
DR.Imam Sutomo, M.Ag
NIP. 19580827 198303 1 002
Dr. H.Muh Saerozi, M.Ag
NIP. 19660215 199103 1 001
Penguji I
Penguji II
Dr. Adang Kuswaya, M.Ag
NIP. 19720531 199803 1 002
Dra. Siti Asdiqoh, M.Si
NIP. 19680812 199403 2 003
Dosen Pembimbing
Drs. Djuz’an, M.Hum
NIP. 19611024 198903 1 002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Eko Haryanto
NIM
: 12107004
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 15 Januari 2010
Yang menyatakan,
Eko Haryanto
MOTTO
“ Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi
manusia yang berguna, karena Kegagalan terbesar adalah apabila kita tidak pernah
mencoba. Namun jika kita meremehkan pekerjaan itulah jaminan kegagalan “
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
 Tuhan Yang Maha Esa
 Untuk Bapak dan Ibuku Djumi‟an dan Nariyah yang slalu memberikan do‟a
 Kedua adik ku Erna Wahyuningsih dan Tri Wahyu Utomo
 Dosen pembimbingku Drs. Djuz‟an, M.Hum dan Dra. Maryatin.
 Sahabat-sahabatku di Blok D Luqman, Andik, Ipul, Hadi, Ugi, Ghoni dan
 Teman spesialku Umi Hani‟ah yang selalu setia “ menungguku”.
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi
beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan penutup
para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia dari
masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya yang
lurus.
Skripsi yang berjudul “Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di
Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan tahun 2009” ini, diajukan
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam( S.PdI ) pada Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga.
Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan Apa bentuk ritual Kejawen yang
ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan Apa pandangan para
Tokoh terhadap ritual Kejawen.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yang terhormat Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag
2. Yang terhormat Bpk. Drs. Djuz‟an, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang
telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis
dalam penulisan skripsi ini.
3. yang terhormat Dra. Maryatin yang telah berkenan meluangkan waktu dan
pikiran untuk memberi masukan dan nasehat kepada penulis.
4. Ibu Maslikhah, M.Si dosen STAIN Salatiga, yang telah memberikan motivasi,
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Ayahku tercinta Bpk. Djumi‟an dan Ibuku tersayang Ibu Nariyah yang telah
mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi kepada penulis, baik
moral maupun spiritual
Umi Hani‟ah yang slalu menungguku dengan sabar dan tulus.
6.
7. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini, khususnya IMM Cabang Salatiga, Perum BTN Blok D (Luqman
Gentho, Andik, Tuan Muda Ipul), Kepala Desa Jumo Bpk. Harnomo, Pak
Manaf dan Ibu Musripah di SMA Muhammadiyah Gubug, Mas
Agus
Humanis, Lion dan Teman-teman seperjuangan yang tidak tersebut namanya
satu persatu.
Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan
mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal
„alamin
Salatiga 13 Maret 2010
Penulis
Eko Haryanto
NIM 12107004
ABSTRAKSI
Haryanto, Eko.2009. Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam
di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan.
Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Kata kunci: Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan
Penelitian ini membahas tentang Makna Ritual Kejawen Perspektif
Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan.
Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Apa bentuk ritual Kejawen
yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati-Grobogan, nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan apa pandangan para
Tokoh terhadap ritual Kejawen, adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati,
Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan
apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen.
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka kehadiran peneliti di lapangan
sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen
lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta
terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para
informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data
tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa
dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan
dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu
mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari
ananlisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan
pengamatan triangulasi.
Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tradisi
Kejawen di Desa Jumo relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dan
keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Kejawen merupakan
kewajiban yang harus ditunaikan dan menurut warga masyarakat Jumo banyak sekali
berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana
untuk memohon hajad (keinginan) agar Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rejeki
dan keselamatan kepada masyarakat Nilai pendidikan dalam tradisi Kejawen adalah
dengan adanya kebersamaan tanpa memandang status sosial, karena dihadapan Tuhan
semua manusia adalah sama.
Nilai sosial pada Ritual Kejawen adalah bahwa perayaan tradisi tersebut akan
mendatangkan suatu pengaruh yang kuat berkenaan dengan kehidupan sosial budaya.
nilai religius pada tradisi Kejawen adalah untuk lebih meningkatkan kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena telah diiberi berkah serta pertolongan di masa sekarang dan akan datang.
Dampak dalam bidang ekonomi pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena telah diberi berkah dan pertolongan selama satu tahun dan mengharap ditahun
yang akan datang menjadi lebih baik. Dampak dalam bidang sosial budaya yaitu
adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi
Kejawen ini dapat mempersatukan kelompok-kelompok dalam ikatan yang paling
erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola
hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. Dampak dalam
bidang religius yaitu pemahaman masyarakat terhadap tradisi Kejawen, merupakan
ajaran turun temurun dari para leluhur dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan Yang
Maha Esa.
DAFTAR INFORMAN
1. Bapak Harnomo Kepala Desa Jumo
2. Bapak K. Kahono Tokoh Pendidikan
3. Bapak H. Jasmo Tokoh Pendidikan
4. Bapak KH. Multazam Tokoh Agama
5. Bapak K. Rondin Tokoh Agama
6. Bapak HM. Suryadi S.Ag Tokoh Pendidikan
7. Bapak KH. Abdur Razak Tokoh Agama
8. Bapak H. Mashuri Tokoh Agama
9. Bapak Suhardi tokoh Pendidikan
10. Bapak Wursriyanto tokoh Pendidikan
11. Bapak H. Sambudi Kaurs Kesra (modin)
12. Bapak Sofanduri A.Ma Tokoh spiritual serta tokoh Pendidikan
13. KH. Sururi Tokoh Agama
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO .........................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN ..............................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...........................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................. x
DAFTAR INFORMAN ......................................................................................... xii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 5
E. Penegasan Istilah ............................................................................ 6
F. Metode Penelitian ........................................................................... 7
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................... 7
2. Kehadiran Peneliti .................................................................... 7
3. Lokasi Penelitian ...................................................................... 7
4. Sumber Data ............................................................................. 7
5. Prosedur Pengumpulan Data ..................................................... 10
6. Analisis Data ............................................................................. 12
7. Pengecekan Keabsahan Data ..................................................... 13
8. Tahap-tahap Penelitian .............................................................. 14
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Ritual Kejawen …………………………………………………… 17
1.
Pengertian Ritual Kejawen …………………………………... 17
2.
Aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam ………... 20
3.
Bentuk-bentuk Ritual Kejawen ……………………………… 26
4.
Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual
Kejawen ..................................................................................... 34
5.
Tujuan Pelaksanaan Ritual Kejawen ………………………… 36
B. Pendidikan ……………………………………………………….. 41
1.
Pengertian Pendidikan ………………………………………. 41
2.
Batasan Pendidikan ………………………………………...... 42
3.
Tujuan Pendidikan …………………………………………... 43
4.
Unsur-unsur Pendidikan …………………………………….. 44
5.
Tri Pusat Pendidikan ………………………………………… 45
6.
Bentuk-bentuk Pendidikan …………………………………... 48
C. Hubungan antara Ritual Kejawen dengan Pendidikan …………… 49
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data ……………………………………………………... 50
1. Gambaran Umum Lokasi …………………………………….. 50
2. Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di
Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan …………………………... 53
B. Temuan Penelitian ………………………………………………... 55
1.
Bentuk-bentuk Ritual kejawen di Desa Jumo, Kec.
Kedungjati, Kab. Grobogan ………………………….............. 55
2.
Faktor pendukung dan penghambat adnya Ritual Kejawen …. 66
3.
Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan
tentang Ritual Kejawen yang ada di lingkungan
masyarakatnya ………………………………………………
69
BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………………….
73
BAB V PENUTUP ……………………………………………………… 86
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 86
B. Saran …………………………………………………………….. 89
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kesatuan yang meliputi wilayah dari Sabang
sampai Merauke yang terdiri dari pulau pulau besar dan kecil, tanahnya subur
kaya flora dan fauna serta sumber alamnya. Tanah air Indonesia terkenal
kesuburan dan kekayaannya, srhingga bangsa lain tertarik dan berupaya untuk
menguasai, hal ini terbukti bahwa tanah air kita pernah dijajah bangsa lain
selama bertahun-tahun..
Wilayah Indonesia yang sangat luas telah dihuni suku bangsa yang
tersebar ke seluruh pelosok tanah air secara tidak merata. Penduduk
menempati wilayah yang berbeda-beda sehingga menjadikan wilayah
peradaban yang dimilikinya beraneka ragam, yang kemudian menjadi modal
dasar pembangunan nasional. Dari persebaran yang tidak merata tersebut,
Pulau Jawa adalah pulau yang paling padat penduduknya dibandingkan
dengan jumlah penduduk di pulau lainnya. Di Pulau Jawa ini tidak hanya
didiami oleh suku bangsa Jawa saja, melainkan juga suku-suku bangsa
lainnya.
Pada dasarnya masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan,
tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi
dengan peradaban yang berbeda-beda. Kita dapat melihat Paham kejawen
tidak dapat terlepas dari kehidupan orang Jawa. Paham ini sering di
identikkan dengan Mistisisme. Menurut Tim penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007:749), “Mistisisme adalah ajaran yang menyatakan ada hal-hal
yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang bersifat gaib. Meskipun tidak
seluruhnya anggapan ini benar, tetapi memang dunia kejawen tidak dapat
dilepaskan dari mistis dan mistis juga merupakan bagian dari kejawen.
Sebelum datangnya agama Hindu dan Budha di Jawa, orang Jawa
telah mengenal suatu keyakinan yang bersifat sinkritisme, yaitu Animisme
dan Dinamisme. Di sinilah akar permasalahannya dari keyakinan orang Jawa
hingga saat ini, sedangkan ajaran Hindu atau Budha hanya sebagai pewarna
saja. Dan masuknya agama-agama wahyu termasuk agama Islam ternyata
tidak mematikan keyakinan dan paham ini. Ia tetap berjalan secara pasang
surut mengikuti perubahan waktu dan perkembangan jaman. Bahkan ajaran
Hindu dan Budha mengokohkan keyakinan Animisme dan Dinamisme. Hal
itu terwujud dalam bentuk kepercayaan adanya danyang-danyang yang berarti
hantu penjaga (rumah, pohon dsb) di tempat-tempat tertentu dan percaya
adanya dewa-dewa yang menguasai tempat-tempat di bagian bumi ini.
Sesudah masuknya Islam di tanah Jawa pada abad XV justru semakin
memberi corak tumbuhnya paham kejawen yang bibit-bibitnya telah turun
temurun dan telah diwariskan kepada anak cucu, sehingga menimbulkan
fenomena budaya baru yaitu percampuran antara kejawen dengan Islam. Hal
ini dapat dicontohkan berkembangnya seni budaya pewayangan dari wali
songo sebagai media dakwah Islam. Jadi, “Wayang memang merupakan seni
pentas yang paling jitu menjadi sarana hiburan yang sekaligus menjadi
wasilah memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa yang dipandang luhur.
Dalam pertunjukan wayang diekspresikan tata karma feudal yang halus yang
berlaku dikraton” (Simuh, 1999:119). Dengan demikian para wali adalah
tokoh penyebar Ajaran Agama Islam yang berdakwah melalui seni, selain
disukai masyarkat Jawa sebagai hiburan pada jaman dulu mereka juga
mendapatkan makna yang disampaikan oleh wali melalui pertunjukan wayang
tersebut.
Menurut Koentjaraningrat (1984:5), “Kebudayaan itu mempunyai paling
sedikit tiga wujud, ialah:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai satu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia”.
Wujud pertama sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto,
wujud kedua bersifat tentang pola tingkah laku manusia dan bisa
diobservasi, difoto dan didokumentasi. Sedangkan wujud ketiga adalah
merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan karya
manusia dalam masyarakat, hal ini berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat
diraba.
Walaupun
demikian
masyarakat
Jawa
cenderung
mengaplikasi keyakinan ke arah mistis.
Lain halnya dalam kehidupan masyarakat
di desa Jumo, dari
beberapa warga tidak menjalankan ritual yang ada di masyarakat
setempat, mereka beranggapan bahwa kegiatan itu kuno, tidak
menguntungkan dan membuang waktu saja sehingga kerab kali kegiatan
hanya diikuti 80 % dari jumlah penduduk yang ada di desa Jumo,
Kedungjati – Grobogan.
Faktor yang mempengaruhi mereka untuk tidak menjalankan ritual
karena kurang kesadaran dari pribadi, pendidikan yang rendah dan tidak
adanya usaha untuk melestarikan budaya bangsa yang telah turun
temurun. padahal makna yang terkandung dalam ritual tersebut
mengambil peranan penting dalam keseimbangan antar sesama warga
yang keseimbangan itu berbentuk keharmonisan, kerukunan dan
kenyamanan.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut penulis mencoba
mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi yang
berjudul:
“Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa
Jumo, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan Tahun 2009”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka
yang menjadi topik permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa
Jumo, Kedungjati, Grobogan?
2. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen di Desa
Jumo, Kedungjati, Grobogan?
3. Apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen yang ada di Desa
Jumo, Kedungjati, Grobogan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan
masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual
kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan?
3. Untuk mengetahui apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen
tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian, diharapkan nantinya dapat berguna yaitu sebagai
berikut:
1. Bagi Pemerintah, Hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan
nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia.
2. Bagi Masyarakat, Sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan
masyarkat agar tetap menjaga tradisi peninggalan orang-orang Jawa yang
ada sampai saat ini.
3. Bagi STAIN Salatiga, Untuk memperkaya perbendaharaan perpustakan di
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
4. Bagi Peneliti, Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan
dan bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman, suharsono dan Ana Retnoningsih
(2005) menyatkan:
1. Makna adalah arti atau maksud dari suatu kata.
2. Ritual adalah berkenaan dengan ritus: tata cara dalam upacara keagamaan.
Dan menurut Tim Dosen FIP(1998:02) menyatakan:
3. Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untu
membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan
kebudayaan. Sedangkan menurut Sudirman Dkk (1991:04), “Pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi
dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi
dalam arti mental”.
Jadi yang di maksud makna Ritual Kejawen perspektif Pendidikan
Islam adalah nilai-nilai Pendidikan Islam dalam sebuah ritual Kejawen
sehingga mampu menjadikan manusia untuk lebih dewasa atau mencapai
tingkat hidup dan penghidupan yang lebih baik untuk mencapai
kebahagian dunia dan akhirat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian di bagi menjadi delapan tahap, yaitu:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “ Makna Ritual
Kejawen Perspektif Pendidikan Islam yang ada di desa Jumo Kecamatan
Kedungjati Kabupaten Grobogan”, dengan menggunakan jenis pendekatan
kualitatif. Dengan demikian, “ Pendekatan kualitatif adalah jenis
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai
(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau dengan
cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran)”(Djuanidi Ghani,1997:11).
Dalam pendekatan kualitatif ini semua data diperoleh dalam
bentuk kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, Lexy J. Moleong (2000:4-8) menyatakan
Ciri-ciri pendekatan kualitatif sebagai berikut:
a. Mempunyai latar alamiah
b. Manusia sebagai alat
c. Memakai metode kualitatif
d. Analisa data secara induktif
e. Lebih mementingkan proses daripada hasil
f. Penulisan bersifat deskriptif
g. Teori dari dasar (grounded thory)
h. adanya “batas” yang ditentukan oleh “focus”
i.
Adanya khusus untuk keabsahan data
j.
Desain yang bersifat sementara
k. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Untuk memperoleh data tentang “ Makna Ritual Kejawen
Perspektif Pendidikan yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati
Kabupaten Grobogan” diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh
karena itu, kegiatan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun jenis
penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Menurut sumadi
Suryabrata (1998:19), ” Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
bermaksud untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai
situasi kejadian-kejadian”.
Sedangkan tujuan
penelitian deskriptif
menurut Husain Umar (1999:29), ” Tujuan penelitian deskriptif adalah
untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat
researh dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala
tertentu”.
Berdasarkan
pendapat
diatas,
pendekatan
kaulitatif
ini
dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada
saat penelitian berlangsung, yaitu tentang ” Makna Ritual Kejawen
Perspektif Pendidikan yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati
Kabupaten Grobogan”.
2. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka semua fakta berupa
kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah diamati dan
dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk
selanjutnya ditelaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran
peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak
langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari
hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di desa Jumo, Kecamatan Kedungjati,
Kab. Grobogan, Jawa Tengah, Sebuah desa terpencil yang sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Uniknya para warga
masih memegang tradisi kejawen yang sampai sekarang masih lestari, hal
ini juga menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian di desa
tersebut.
4. Sumber Data
Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy Moleong (2000:112), ”
Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Data
dalam penelitian ini adalah semua data atau informasi yang diperoleh dari
informan yang dianggap penting, selain itu data juga dihasilkan dari
dokumentasi yang menunjang. Adapun yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
a. Kata-kata atau Tindakan
Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan /
responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain datadata tersebut berupa keterangan dari para informan dari beberapa
pihak diantaranya: Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang
penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan.
b. Data Tertulis (Dokumentasi)
Data yang berbentuk tulisan diperoleh dari pejabat desa dan
dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan dengan subjek
penelitian.
c. Foto
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh
beberapa foto tentang ” Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan
Islam yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten
Grobogan”.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka
langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan seperangkat
metode yang sesuai dengan objek dan karakteristik materal yang diangkat.
Hal ini dimaksudkan agar sebuah metode penelitian rasional dan terarah
maka peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data seperti yang
tersebut di bawah ini:
a. Observasi
Menurut Hadari Nawawi (1990:100), “Observasi biasa
diartikan sebagai pengamatan dan percatatan secara
sisitematik
terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusah
mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari
Jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku,
kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama
beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi
dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna
penemuan
data
analisis.
Metode observasi
digunakan untuk
mengamati bentuk ritual Kejawen di Desa Jumo, Kedungjati,
Grobogan.
b. Wawancara atau Interviu
Wawancara identik dengan pengumpulan data dengan bertanya
langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber. Jadi, “Interviu
adalah
usaha
mengumpulkan
informasi
dengan
mengajukan
pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula” (Hadari
Nawawi, 1990:111). Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan
tatap muka antara penulis dengan sumber informasi. Metode
wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang bentuk
Kejawen dan maknanya dari peneliti terhadap perangkat desa, para
tokoh agama dan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan.
c. Dokumen
Dalam memperluas pengumpulan data, tehknik ini sangat
dibutuhkan. Jadi, “Tehnik ini adalah cara pengumpulan data melalui
peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga
buku-buku
berhubungan
tentang
dengan
pendapat,
masalah
teori,
dalil/hukum-hukum
penyelidikan”(Hadari
yang
Nawawi,
1990:133). Metode ini digunakan untuk lebih memperluas pengamatan
dan pengumpulan data terhadap sesuatu yang diselidiki oleh peneliti.
6. Analisis Data
Menurut Noeng Muhadjir (1996:104) mengatakan, “Analisis data
merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan
hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman
penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan
bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut,
analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”.
Sedangkan Menurut Imam Suprayogo dan Tobroni (2001:192),
“Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah
peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah
mengumpulkan data yang dapat dianalisis”. Kegiatan-kegiatan analisis
selama penulis mengumpulkan data meliputi:
a. Menetapkan fokus penelitian
b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah
terkumpul
c. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan
temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya
d. Pengembangan
pertanyaan-pertanyaan
analitik
dalam
pengumpulan data berikutnya; dan
e. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya.
rangka
Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap
menganalisis data, sebagai tatap akhir suatu penelitian maka penulis
menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua
yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang
sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik
kesimpulan (verifikasi)” (Milles, 1992:16-18).
Dengan
demikian,
penulis
akan
menunjukkan
laporan
penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan
gambaran penyajian laporan tersebut. Data yang penulis mungkin
berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen
pribadi, dan sebagainya.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan
data
dalam
penelitian
menggunakan Kriteria kreadibilitas.
ini
Hal ini
ditentukan
dalam
dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan
kenyataan yang ada dalam latar penelitian. Menurut Lexy J. Moloeng
(2000:175-178) mengatakan, Pemeriksaan keabsahan data yaitu:
a. Perpanjangan keikutsertaan
b. Ketekunan pengamatan
c. Triangulasi
d. Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi
e. Analisis kasus negatif
f. Kecakupan referensional
g. Pengecekan anggota
h. Uraian rinci
i.
Auditing
8. Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:
a. Tahap pra lapangan
1) Mengajukan judul penelitian
2) Menyusun proposal penelitian
3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing
b. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi:
1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian
2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus
penelitian
3) Pencatatn data yang telah dikumpulkan
c. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:
1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian
2) Pengecekan keabsahan data
d. Tahap penulisan laporan penelitian
1) Penulisan hasil penelitian
2) Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing
3) Perbaikan hasil konsultasi
4) Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian
5) Ujian munaqosah skripsi
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistem pembahasan penulisan skripsi ini, penulis mengajukan
pembahasan dari beberapa bab yang berisi tentang keterkaitan tentang studi
kasus yang penulis teliti, penulis memberikan gambaran sebagai berikut:
Adapun pembahasan dalam skripsi ini: Pada BAB I berisi
Pendahuluan, yang memuat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah dan Metode
Penelitian. Metode penelitian berisi: Pendekatan dan Jenis Penelitian,
Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan
Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
Pada BAB II berisi Kajian Pustaka, yang memuat: yang pertama
adalah Ritual Kejawen, Ritual Kejawen itu sendiri mencakup: Pengertian
Ritual Kejawen, Aspek-aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam,
Bentuk-bentuk ritual Kejawen, Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk
Ritual Kejawen dan Tujuan pelaksanaan Ritual Kejawen, yang kedua adalah
Pendidikan, pendidikan itu sendiri mencakup: Pengertian Pendidikan, Batasan
Pendidikan,
Tujuan Pendidikan,
Unsur-unsur
Pendidikan,
Tri Pusat
Pendidikan, Bentuk-bentuk Pendidikan dan Hubungan antara bentuk-bentuk
ritual kejawen dengan pendidikan.
Pada BAB III berisi Paparan Data dan Temuan Penelitian yang
mencakup: Paparan Data berisi Gambaran Umum Lokasi dan Latar Belakang
adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan dan
Temuan Penelitian berisi Bentuk-bentuk Ritual Kejawen di Desa Jumo,
Kedungjati, Grobogan, Faktor pendukung dan penghambat adanya Ritual
Kejawen dan Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang
Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya.
Sedangkan BAB IV berisi Pembahasan, BAB V berisi Penutup yang
mencakup: Kesimpulan dan Saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ritual Kejawen
1. Pengertian Ritual Kejawen
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara
antropologi budaya adalah orang-orang yang di dalam kehidupan
kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam
dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang
bertempat tinggal di daerah Jawa tengah, secara geografis suku bangsa
Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Masyarakat Jawa sejak jaman pra-sejarah memiliki kepercayaan
animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya ruh atau jiwa pada
benda-benda, tumbuhan ataupun hewan. Mereka beranggapan bahwa di
dalam benda-benda atau tumbuhan tersebut memiliki kekuatan ghaib.
”Mereka juga mempercayai jika suatu peristiwa dialami oleh seseorang,
orang cenderung menghubungkanya dengan apa yang telah terjadi dan
dihayatinya dulu. Tidak jarang pula hal itu dilihat sebagai suatu tanda atau
peringatan akan terjadinya sesuatu di masa datang”( Hans J. Daeng,
2000:79). Pola pikir seperti ini oleh masyarakat Jawa mendorong manusia
agar lebih hati-hati dalam bertingkahlaku agar selaras dan harmonis dalam
menjalani kehidupan ini.
Ada dua faktor yang menyebabkan keyakinan atau paham kejawen
ini masih berlangsung sampai sekarang ini, yaitu :
a. Faktor Intern
Hal ini tidak terlepas dari sikap hidup orang Jawa yang telah
meyakini betul dengan nilai-nilai kejawen. Orang Islam tradisional
menganggap kejawen adalah merupakan kelengkapan utama dalam
kehidupan sehari-hari. Dan belum lengkap dalam menjalankan agama
Islam tanpa dicampuri dengan nilai-ailai ajaran Kejawen. Mereka
kalangan orang Jawa masih banyak melakukan ritual-ritual kuno
seperti ciri magis pewayangan, pengorbanan kerbau atau hewan
tertentu bahkan ketika mereka sudah menyatakan ke-Islamannya.
Karena itu mereka menjalankan agama hanya sebatas pada
pelaksanaan syari‟at rukun Islam yang lima. Sedangkan mereka butuh
ketenangan batin dan media atau sarana mendekatkan diri kepada
Tuhan.
b. Faktor Ekstern.
Hal ini banyak diwarnai oleh perjalanan sejarah Jawa. Selain di
dalam buku Horoskop Jawa (Primbon) disebutkan adanya larangan
keras untuk mantu atau menggelar hajatan (pernikahan) di bulan Suro
pada hari senin dan selasa. Atau pada tanggal 6, 11, 13, 14, 17, 18, 27
yang mereka sebut sebagai tanggal-tanggal naas atau sial. Paham
Kejawen justru dikokohkan oleh Islam yang diajarkan oleh para
Walisongo. Antara lain Tawassul. Pengkultusan orang-orang tertentu,
larangan menyembelih hewan tertentu (Baca : Sapi) karena untuk
menghormati ajaran Hindu dan lain sebagainya.
Menurut Ragil Pamungkas (2006:31-32), ”Dalam Agama Islam
tidak mengajarkan sesembahan terhadap benda-benda selain hanya kepada
Allah SWT. Akan tetapi setelah Islam masuk di tanah Jawa, para
Walisongo tidak menghilangkan budaya-budaya asli orang Jawa
melainkan para Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam
upacara atau ritual tersebut dengan mengganti keberadaan sesaji dengan
penyajian baru seperti menu tumpeng dan kenduri”. Contoh dari ritualritual asli Jawa yang telah dimasuki ajaran-ajaran Islam di antaranya
seperti upacara : Mitung Dino, Patang Puluh Dino, Nyatus, Mendak,
Nyewu, dan lain-lain.
Pada dasarnya adat Kejawen mengajarkan manusia untuk lebih
mendekatkan diri pada Tuhan, menghormati antar sesama manusia, dan
mahkluk-makhluk lainnya. Secara garis besar dapat penulis simpulkan
bahwa kejawen berisi pengungkapan seseorang yang ingin dekat dengan
Tuhan melalui berbagai cara yang telah turun- temurun diwariskan dari
orang-orang Jawa agar hidupnya selaras, harmonis dan bahagia.
Penulis menemukan sesuatu yang unik dari tradisi sawanan oleh
warga desa Jumo, kecamatan Kedungjati kabupaten Grobogan, sawan ini
terdiri dari daun alang-alang, kencur, dlingu, bawang putih dan merah
serta garam selanjutnya ditumpu hingga lembut. Fungsi sawan ini oleh
warga desa Jumo diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit, tak
heran orang yang sakit panas, demam dan penyakit kulit seperti dompo,
seluruh badanya dioles sawan hingga rata di seluruh badan maka apa yang
terjadi si penderita panasnya atau demamnya menurun. Hal ini
menunjukkan Ilmu medis yang dimiliki orang Jawa sangat mujarab yang
belum tentu dengan Ilmu kedokteran dapat menyembuhkan orang sakit.
2. Aspek-aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam
Tradisi dari orang jawa merupakan proses akulturasi antara budaya
Jawa dan Islam, Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek
kepercayaan dan Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek
ritual, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Proses akulturasi budaya Jawa dan Islam
Dalam proses akulturasi ini ada 2 pendekatan mengenai
bagaimana cara yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat di serap
menjadi bagian dari budaya Jawa. Yang pertama : Islamisasi kultur
Jawa mulai pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak
bercorak Islam baik secara formal maupun secara substansial yang
ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam,
pengambilan, peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai
kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai
aspek kehidupan.
Pendekatan kedua : Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai
upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan
kedalam budaya Jawa. Maksudnya disini adalah meskipun istilahistilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang
dikandungannya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi menJawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya
orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada
polarisasi Islam kejawen atau Jawa yang ke-Islaman sehingga timbul
istilah Jawa atau Islam kejawen, sebagai contoh penggunaan sebutan
Jawa In pandum yang pada hakekatnya terjemah dari tawakal.
Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua
kecenderungan itu merupakan strategi yang sering diambil ketika dua
kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai dengan
watak orang Jawa yang cenderung bersikap moderat serta
mengutamakan keselarasan. Dari percampuran kedua budaya tersebut.
penulis memiliki penilaian yaitu ketika dimensi keberagaman orang
Islam Jawa termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, saya
menilai bahwa percampuran itu masih sebatas pada segi-segi lahiriyah
sehingga Islam seakan hanya sebagai kulitnya saja, sedangkan nilainilai esensialnya adalah Jawa.
b. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam aspek Kepercayaan.
Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek
kepercayaan dan memiliki keyakinan, terutama kepercayaan terhadap
sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam
aspek fundamental terumuskan dalam aqidah atau keimanan sehingga
terdapatlah rukun iman yang harus dipercayai oleh orang muslim.
Kemudian dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan pada
ajaran hindu terdapat kepercayaan adanya para dewata, terhadap kitabkitab suci, para resi, roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara),
hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Dalam agama budha
terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan),
yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha
(pemadam keinginan), dan morga (jalan kelepasan).
Adapun pada agama primitif sebagai orang Jawa sebelum
kedatangan hindu ataupun budha terdapat kepercayaan animisme dan
dinamisme. Kepercayaan-kepercayaan dari agama hindu, budha,
maupun animisme dan dinamisme ini dalam proses perkembangan
Islam berinteraksi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam,
yang meliputi pada aspek keTuhanan, prinsip ajaran Islam telah
tercampur dengan berbagai unsur kepercayaan hindu, budha maupun
kepercayaan primitif. Contohnya seperti sebutan Allah SWT. Orang
Islam kejawen menyebut Tuhan sebagai istilah Gusti Allah dua istilah
ini merupakan gabungan kata dari bahasa Jawa dan bahasa arab. Kata
Gusti dalam bahasa Jawa berarti pihak yang dihormati, dijunjung, dan
diharap-harapkan dapat memberikan pengayoman dan perlindungan,
sedangkan kata Allah diambil dari bahasa arab yang berarti nama dari
Tuhan dalam agama Islam.
Dalam kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada
agama Islam, tetapi juga ada dalam agama hindu maupun kepercayaan
primitif dan tampaknya telah saling mengisi. Namun setan, jin (Islam)
dan raksa (hindu) telah dikategorikan sebagai jenis makhluk halus atau
roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma seperti manusia atau
hewan. Terdapat pula sejumlah nama makhluk halus, setan-setan
berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan Dharat, Setan Bisu,
Setan Mbelis, Dhemit, Memedi, dan lain-lain. Adapun setan yang
sejenis kelamin wanita seperti Wewe, Kuntil Anak dan Sundel
Bolong, Tuyul dan lain-lain.
c. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam aspek Ritual
Ritual atau ritualistic adalah kegiatan yang meliputi berbagai
bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun Islam yaitu,
syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji. Agama Islam mengajarkan
kepada pemeluknya supaya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic
diatas. Dalam ritual sholat dan puasa, selain terdapat sholat wajib lima
waktu dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula sholat-sholat
dan puasa sunnah. Yang intisari dari sholat adalah doa yang
ditunjukkan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk
pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
Dalam do‟a dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas,
mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang
Jawa, hidup ini penuh dengan upacara baik upacara-upacara yang
berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya
dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai saat
kematiannya. Selain itu ada juga upacara-upacara yang di lakukan
berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah
contohnya, para petani, pedagang, nelayan, dan upacara-upacara yang
berhubungan dengan tempat tinggal, contoh pindah rumah,
membangun gedung untuk berbagai keperluan dan meresmikan rumah
tinggal. Berbagai macam upacara-upacara di atas dilakukan dalam
rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang
tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan
kehidupan manusia.
Dalam kepercayaan orang Jawa, upacara dilakukan dengan
dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang
disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, makhluk-makhluk
halus, dewa-dewa) tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya
senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah Islam datang , secara luwes
Islam memberikan warna baru dalam upacara-upacara itu dengan
sebutan kenduren atau selamatan. Dalam upacara selamatan ini yang
pokok adalah pembacaan do‟a yang dipimpin oleh kiai atau moden.
Seperti halnya dikatakan oleh Niels Mulder (1999:34) bahwa:
Dalam selamatan ini terdapat seperangkat makanan yang
dihidangkan kepada peserta selamatan, serta makanan yang di bawa
pulang ke rumah yang disebut berkat. Bisa dikatakan bahwa itu
merupakan wujud dari kerukunan yaitu cara untuk menciptakan relasi
yang harmonis antara orang-orang dekat, yang tidak harus intim/akrab,
tetapi yang cukup dekat untuk harus hidup bersama satu sama lain.
Selain tatanan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai yang
dapat diambil dari tradisi Kejawen cukup besar. Karena dapat
mempengaruhi pola pikir manusia. Semula orang yang angkuh dan
sombong dengan tetangganya dapat luntur dan membaur.
Kebersamaan adalah kunci utama dalam pergaulan dan saling merasa
memiliki untuk berbagi tanpa membedakan kaya atau miskin,
sehingga kesenjangan sosial dan perselisihan terhindarkan Dengan
pola inti yang serupa itulah nilai-nilai Islam telah merasuki
pelaksanaan upacara selamatan dalam berbagai bentuknya.
Kita dapat melihat Budaya Jawa sangat luwes menerima
kehadiran budaya apa saja terutama dalam bentuk-bentuk ritual
Kejawen serta sudah terbukti menyatu dalam tradisi yang selalu
dilakukan secara rutin di tengah masyarakat Jawa.
3. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen
a. Upacara Tinkeban atau Mitoni
Berkaitan dengan upacara tingkeban atau mitoni,
Koentjaraningrat (1994: 350-351) menyatakan sebagai berikut:
Upacara pertama yang dinamakan tingkeban diadakan saat
kandungan berumur tujuh bulan, yang antara lain terdiri dari suatu
slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan
ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam laukpauk, dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda pula.
Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu harus mematuhi
berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu
sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan
ucapan mantera-mantera. Adapun larangan untuk makan berbagai
makanan tertentu, seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan
yang berpatil, dan buah-buah yang letak bijinya melintang, sebenarnya
sudah mulai sejak awal kehamilanya, Orang-orang tua seringkali
memberikan makna yang berbeda terhadap berbagai pantangan
makanan itu yang hampir semuanya mempunyai arti simbolik yang
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan serta berdasarkan
asosiasi pikiran yang sederhana. Buah-buahan dengan biji-biji yang
tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi letak yang salah
dari si jabang bayi.
Dengan demikian masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam
menjaga bayi yang di kandung oleh seorang ibu agar tidak terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan seperti cacat fisik.
b. Upacara Kelahiran
Pada hari kelahiran bayi diadakan suatu slametan pemberian
nama, yaitu slametan brokohan. Koenjtaraningrat (1994: 354) juga
menyatakan:
Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari,. Dalam upacara
ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Dalam upacara Islam
santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan
hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak laki-laki) dan 1 ekor
kambing (untuk anak perempuan).
c.
Upacara Sunatan
Menurut M. Afnan Chafidh dan A. Ma‟ruf Asrori
(2006:63),”Menurut bahasa, khitan berarti memotong kuluf (kulit)
yang menutupi kepala penis. Sedangkan menurut istilah syarak, khitan
adalah memotong bulatan kulit di ujung hasafah, yaitu tempat
pemotongan penis”.
Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Dalam
pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri yang berbeda-beda.
Ada yang melaksanakan khitan antara usia empat sampai delapan
tahun, dan pada masyarakat lain dilaksanakan ketika anak berusia
antara 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk
perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan
atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang
Islam. Karena itu sering kali sunatan disebut selam, sehingga
mengkhitankan dikatakan nyelameken, yang mengandung makna
mengIslamkan (ngIslamake). Walaupun demikian hukum Islam
menganjurkan agar sunatan di lakukan pada saat seorang anak
berumur tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu. Berkaitan
dengan hal tersebut Koentjaraningrat (1994:357-358) menyatakan
sebagai berikut:
Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha
mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada harihari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hari
keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain, upacara
sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pria berumur
empat sampai tujuh tahun; akan tetapi keluarga-keluarga penganut
agami Jawi pada umumnya menghubungkan sunatan dengan umur
akil baliq, di samping sebagai peresmian masuk Islam, dan karena itu
mengadakanya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan
16 tahun.
d. Upacara Pernikahan
Dalam setiap daerah di Jawa Tengah, pernikahan merupakan
ritual yang sangat penting sehingga sebelum diadakanya pesta
perayaan pernikahan para keluarga dan kerabat sangat sibuk
mempersiapkan segala kelengkapan dalam perayaang pernikahan
tersebut. Hal ini dikatakan oleh koenjtaraningrat (1994:130), “Upacara
pernikahan anak wanita yang pertama terutama merupakan kejadian
yang sangat penting dalam suatu keluarga. Sudah berminggu-minggu
sebelumnya keluarga mempelai wanita sibuk melakukan berbagai
persiapkan untuk perayaan itu”. Upacara ini bukan sekedar pesta,
Tradisi seperti ini dianggap penting dan seolah-olah menjadi wajib
oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam tujuan yang berbeda di
seluruh Jawa Tengah. Jadi, “Semua kegiatan dilakukan oleh para
kerabat, berbagai hidangan slametan, upacara siraman, upacara merias
pengantin wanita (paes), perayaan midadareni pada malam menjelang
hari pernikahan dan sebagainya, yang telah dideskripsi mengenai suatu
pernikahan Di desa, juga dijalankan pada pernikahan keluarga
priyayi”(Koentjaraningrat, 1994:259). Agar upacara berjalan mulus
dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji kepada
kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka.
Beberapa selamatan yang dilaksanakan dalam upacara
perkawinan di antaranya: selamatan hari sebelum pernikahan atau
pada hari sebelum upacara pemberian seserahan (pemberian mahar)
ditunjukkan untuk mendapatkan keberuntungan bagi kedua pengantin.
Selamatan pada malam sebelum dilangsungkannya pernikahan (malam
widadaren) dan pada malam sesudah pernikahan diadakan sesajian
yang dinamakan selamatan penganten. Dengan membaca do‟a qunut
dan menggunakan beras kuning , ayam bersantan dan makanan
pelengkap lainnya. Setelah 3\4 hari setelah pernikahan diadakan
selamatan bagi atau peserta susulan yaitu Ngunduh mantu yang lebih
bersifat keagamaan yang bertujuan untuk mendapatkan berkah dari
Allah dan Nabi Muhammad. Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan
pasti kita jumpai symbol-simbol yang mempunyai makna tertentu
seperti janur kuning dan macam-macam sesaji. Disebelah kanankiri‟gapura‟janur kuning, terlihat pula ada tebu, cengkir, dan pisang
raja yang diikat pada dua tiang didepan ruang pertemuan resepsi.
Berkaitan dengan itu Wawan Susetya (2007: 33-34) menerangkan:
Pertama, pisang raja maknanya sangat jelas sebagai simbolik
dari Raja. Artinya, pernikahan atau perkawinan dalam kehidupan
manusia merupakan salah satu tahap yang paling penting dari tiga
proses perjalanan: kelahiran, perkawinan dan kematianya. Dan, sang
mempelai didudukan di „singgasana rinengga‟ dengan pakaian ala raja
dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan dan kegembiraan.
Kedua, tebu. Orang Jawa mengartikan dengan ungkapan mantebing
kalbu (mantapnya hati/kalbu), karena Tanaman tebu rasanya manis
dan menyegarkan. Ketiga, cengkir (buah kelapa yang masih muda);
maknanya adalah kencenging piker (pikiran yang lurus). Dengan
berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian
kritis dalam memepertahankan pernikahanya, sehingga mampu
menghadapi suka maupun duka bersama dalam mengarungi kehidupan
berumah-tangga.
Sedangkan Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (2007:33-34)
mengatakan bahwa:
Sepasang pohon pisang raja yang berbuah maknanya adalah
agar mempelai kelak menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga,
lingkungan dan bangsa. Sedangkan sepasang tebu maknanya adalah
dari mempelai diharapkan agar sagala sesuatu yang sudah dipikir
matang-matang dikerjakan atau dilaksanakan dengan tekat yang bulat
pantang mundur.
e. Upacara Kematian
Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan
orang mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani,
mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan,
diadakan selamatan mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina
(empat puluh hari), nyatus (seratus hari) mendak sepisan (satu tahun),
mendak pinda (dua tahun) dan yang terakhir nyewu atau nguwis-uwisi.
Selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang
berkenaan dengan keramatan bulan-bulan hijriah seperti: upacara
ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan,
Sawalan dan sedekah haji.
f. Nyadran
Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:246),
“Nyadran berarti melaksanakan upacara „sadran‟ atau „sadranan‟ yang
sampai saat ini masih terkenal dalam masyarkat Jawa dan dilakukanya
dengan patuh. Upacara ini dilaksanakan dalam bulan Ruwah atau
Sya‟ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa didalam
bulan puasa (Ramdhan)”. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan,
antara lain :
1) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka
mempersiapkan ibadah puasa.
2) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak,
apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan.
3) Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak
atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang
melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih). Menurut Mark R.
Woodward (199:121), “Ziarah kubur itu diperbolehkan asal tidak
meminta berkah atau pemberian dari orang yang sudah mati,
melainkan makna ziarah kubur adalah cara yang tepat agar
manusia ingat dengan kematian”. Jadi, “manfaat menabur bunga
adalah seketika menyebarkan bau segar di makam yang biasanya
kurang nyaman baunya. Ditambah pula dengan bau kemenyan
yang menyentak hidung sekaligus mengubah suasana kuburan
yang sepi dan terkesan angker menjadi tenang dan seriuskhidmat”. (Karkoyo Kamajaya 1995:253).
g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Sapar dan Rajab
yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan,
selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a
bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang
dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen Ruwatan berarti
pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini terbebas dari sukerta atau
kekotoran.
Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara
lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang
putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri).
Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala
(simbol kejahatan). Prosesi ruwatan diawali dengan menyiapkan
sesajen di altar berukuran besar, sedikitnya 60 jenis sesajen. Seluruh
bahan yang digunakan menggunakan hasil bumi. Ada buah-buahan,
sayuran, tumpeng berukuran besar dan peralatan para petani. Masingmasing bagian sesajen memiliki makna khusus.
Dua sesajen paling menonjol tumpeng lanang dan wadon.
Tumpeng lanang terbuat dari buah-buahan, tumpeng wadon dari nasi
dan sayur-sayuran. Jadi, ”Menu tumpeng yang telah disediakan
ditujukan untuk menyampaikan pesan dari wali untuk selalu
mengingat kepada Tuhan. Contoh adanya apem dalam tumpeng
tersebut. Apem diambil dari kata “ampun” yang berarti manusia
diarahkan unuk meminta ampun atas segala dosa yang pernah
diperbuatnya”(Ragil Pamungkas, 2006:33).
h. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian
Ritual ini dilakukan saat panen tiba tepatnya saat menuai padi
disawah dengan perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah
terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung (ayam kampung
yang telah di bakar dengan bumbu) dan buah-buahan. Setelah siap
maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah
dengan dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai acara yang
kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masing-masing
buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil pertanian.
Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan
hasil pertanian. Menurut Suwardi Endraswara (2003:13), ”Slametan
adalah manifestasi kultur Jawa asli. Di dalamnya lengkap dengan
symbol-simbol sesaji, serta menggunakan mantra-mantra tertentu.
Karenanya, slametan boleh dikatakan merupakan wujud tindakan
ritual dengan teks-teks religi terdahulu”. Jadi tradisi Slametan tidak
akan pernah mati dalam setiap kehidupan Orang Jawa.
4. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen
UUD 1945 Pasal 32 yang isinya Pemerintah memajukan kebudayaan
Nasional Indonesia artinya Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama yang asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia terhitung sebagai kebudayaan
bangsa. Berhubungan dengan hal tersebut, Karkono Kamajaya
Partokusumo (1995:259) menyatakan sebagai berikut:
Usaha kebudayaan harus menuju kearah adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing
yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri.
Menurut hemat saya Tradisionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan
Islam dan tidak pula harus menghambat modernisme. Tradisi juga tidak
perlu ditentang, diuber-uber, dicurigai, diolok-olok sebagai hal yang harus
diberantas dan dianggap menghambat kemajuan.
Disisi lain Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:286)
mencermati bahwa:
Konsep kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas tidak hanya
mencakup unsur-unsur yang material, akan tetapi juga yang imaterial. Ini
mengandung arti, kebudayaan Jawa tidak dilihat secara konvensional,
terbatas pada segi-segi sastra, seni dan sejarah, akan tetapi juga segi-segi
yang lebih luas meliputi filsafat, religi, tradisi, hukum, politik, ekonomi,
teknik, teknologi, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Sedangkan Kuntowijoyo (1991:228-229) menyatakan sebagai
berikut:
Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep
sentral yang berisi ajaran bawa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu ,
dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhya kepada-Nya. Jadi tujuan
manusia adalah mengabdikan diri pada Allah SWT, yang merupakan
kunci dari seluruh ajaran Islam. Akan tetapi sistem Tauhid ini mengarah
kepada perbuatan dan tindakan manusia; keduanya merupakan suatu
kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh sebab itu konsep tentang Iman dan
Tauhid harus di aktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan, contoh:
perintah zakat. Tujuan utama bersifat humanistik, artinya manusia harus
patuh dan memusatkan diri pada Tuhan dan tujuanya untuk kepentingan
mansuia.
Disisi lain kuntowijoyo (1991:235) berpendapat bahwa:
Kebudayaan yang ada di indonesia itu banyak sekali menyerap
konsep-konsep dan simbol-simbol Islam sehingga seringkali tampak
bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam
kebudayaan di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa banyak mengadopsi
konsep-komsep Islam. Kita juga melihat ekspresi-ekspresi ritual oleh
orang Jawa, sebagai contoh: Upacara „Pangiwahan‟, upacara itu di
maksudkan agar manusia menjadi „wiwoho‟, menjadi mulia. Jadi misalnya
kita harus memuliakan kelahiran, perkawinan atau bahkan kematian.
Semua ritual itu di maksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan
manusia bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan ini jelas-jelas
diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai mahluk
yang mulia.
Kuntowijoyo menambahkan, pengaruh Islam juga sangat terasa
dalam upacara-upacara sosial dan kesenian tanpa menghilangkan unsurunsur budaya Jawa. Misalkan Terbangan, Qasidah dan Gambus, jenisjenis musik ini belum pernah dikenal sebelum terjadinya penyebaran
Islam di Indonesia. Kita bisa melihat seni tembang dalam jenis laras
madya yang meskipun menggunakan teks-teks Jawa tetapi berisi
shalawatan, atau semacam puji-pujian kepada Nabi.
5. Tujuan pelaksanaan Ritual Kejawen
Dalam ajaran Kejawen juga terdapat dua bentuk ancaman besar
yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat
menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni: hawa nafsu dan
pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu yakni mengontrol
nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri
manusia, dan melepas pamrihnya.
Menurut pandangan kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan
kasar menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada
dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena
menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada
gunanya. Lebih lanjut, nafsu akan lebih berbahaya karena mampu
menutup akal budi. Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segisegi
halusnya.
Manusia
semakin
mengancam
lingkungannya,
menimbulkan konflik, ketegangan dan merusak ketentraman yang
mengganggu stabilitas kebangsaan.
Kesimpulanya adala bahwa Ajaran Kejawen berisi kaidah-kaidah
budi pekerti yang luhur, maka untuk menciptakan seperti yang diajarkan
oleh orang Jawa, manusia diajari untuk mengendalikan nafsu yang berisi
kesabaran,
pengendalian
diri,
tidak
sombong,
bertanggungjawab,
dermawan, dsb. Untuk mengimbangi agar nafsu terkontrol yang perlu
dilakukan oleh puasa, giat menolong, mengubur nafsu (riak, takabur,
sombong, sok pamer, bahkan angkuh tidak mau menghormati orang lain).
Setelah mempelajari nafsu dalam diri maka yang disoroti dari
ajaran Kejawen adalah pamrih, yang merupakan ancaman kedua bagi
manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan
kepentingan diri pribadi secara egois. Hal ini juga dapat kita katakan
sebagai bentuk mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat,
mengacaukan ketentraman hubungan antar individu karena tindakan tidak
menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya, serta pamrih juga akan
membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Secara
nalar pamrih tidak bisa menimbulkan perasaan puas yang mendalam, yang
ada hanyalah selalu merasa kurang dan kurang dalam memenuhi
kebuTuhannya sendiri.
Pamrih
itu
seperti
apa,
sehingga
manusia
tidak
bisa
menyempurnakan ketulusan ibadahnya kepada Allah SWT. Untuk itu dari
hasil wawancara penting penulis definisikan bentuk-bentuk yang dibagi
dalam tiga bentuk nafsu.
1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni nafsu golek menange
dhewe, selalu ingin menangnya sendiri tanpa peduli akibatnya.
2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar, yakni nafsu golek
benere dhewe.
3. Nafsu selalu mementingkan kebuTuhannya sendiri, yakni nafsu golek
butuhe dhewe, kelakuan buruk seperti itu disebut juga aji mumpung,
misalnya mumpung berkuasa lantas melakukan korupsi, tanpa peduli
nasib orang lain.
Di dalam pamrih sendiri menurut KH. Sururi wawancara pada
tanggal 27 Juli 2009 jam 15.00 WIB mengatakan,”Terdapat beberapa
definisi nafsu yang terkandung di dalamnya, yaitu:
a. Pamrih karena pekerjaannya
Yakni nafsu seseorang ingin diberikan imbalan lebih karena
pekerjaannya, padahal pekerjaan itu belum tentu bagus atau
memuaskan.
b. Pamrih atas kesombongan harta yang dimilikinya.
Yakni seseorang yang telah berzakat paling banyak dalam
mengeluarkan hartanya, orang itu meminta agar namanya di
umumkan kepada orang banyak, agar terkenal dan terlihat
dermawan dst”.
Setelah beberapa uraian di atas puncak dari kebudayaan Jawa
tertuju kepada Allah SWT, manusia selalu ingin mencari tujuan hidupnya
untuk selalu menyempurnakan ibadah dan akhlaqnya. Agar selalu dapat
ridho Allah SWT melalui upacara-upacara adat itulah manusia tidak
sengaja melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, misalkan kepada
manusia; ritual dapat mendekatkan diri kepada lingkungan warga sehingga
tercipta kerukunan dan ketentraman, bukankah Allah SWT menyayangi
manusia untuk berbuat baik asal tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
Islam.
Dapat penulis simpulkan, ritual Kejawen merupakan pembentukan
sikap dan mental. Mulai dari pengendalian nafsu maupun ungkapan
syukur dan melakukan pemujaan tertinggi pada Tuhan Pencipta Alam.
Walaupun seringkali manusia Jawa berbeda-beda dalam tata cara
mengungkapkannya yang jelas secara normatif tidak membentuk pola
pikir yang dapat menyesatkan manusia serta tidak menuju dalam bentuk
kemusyrikan.
Sebenarnya filosofi Jawa memiliki paham yang sangat luhur. Salah
satunya, sudah seperti penulis uraikan di atas yaitu menciptakan
kerukunan dan kedamaian. Di mata Tuhan, tiap insan dipandang sama,
tidak dikenal agama dan tingkat sosialnya, semuanya sama dan kembali
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan itu melambangkan keaslian
masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan budi pekerti luhur. Untuk
mengerti tujuan hidup, seseorang wajib memahami asal kehidupan ini dan
bagaimana menyesuaikan diri agar hidup selaras dan harmonis dengan
makhluk ciptaan Tuhan serta menganggap diri sebagai pelayan Tuhan.
Jadi, ”Perjalanan menuju Tuhan harus ditempuh dengan seperangkat laku.
Laku merupakan jalan untuk menempuh kehidupan spiritualitas yang
tertinggi, yaitu penyatuan hamba dengan Tuhannya (manunggaling
kawula gusti). Penyatuan hamba dengan Tuhan dan hakikat hidup manusia
adalah sejalan dengan apa yang telah Tuhan Tetapkan dan ini merupakan
tujuan utama masyarakat Jawa”(Suwardi Endraswara, 2003:135).
Dalam Islam, sumber kehidupan spiritualitas yang tinggi adalah
Iman. Islam sebagai agama dakwah memiliki nilai asasi dalam kehidupan
umat manusia, yaitu meletakan nilai-nilai KeTuhanan atau Iman. Kita
mengetahui Tuhan adalah asal dan tujuan, dan bahkan pencipta semua
wujud yang lahir dan batin, dan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya.
Oleh sebab itu manusia harus melakukan perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam Filosofi Jawa memiliki paham yang sangat luhur. Salah
satunya, menciptakan kerukunan dan kedamaian. Di mata Tuhan, tiap
insan dipandang sama, tidak dikenal agama dan tingkat sosialnya.
Semuanya sama dan kembali pada Yang Esa. Keyakinan inilah yang
diajarkan kepada para penganut kejawen. Paham ini melambangkan
keaslian masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan budi pekerti luhur.
Tiap orang diartikan sebagai pelayan Tuhan, tidak ada lawan. Yang ada
hanyalah sikap sama dan saling menghargai. Mereka yang mengikuti
paham kejawen diwajibkan memahani seluruh jati diri dan makna
hidupnya. Dengan cara inilah seseorang akan mengerti ke mana akan pergi
dan dari mana asalnya. Untuk mengerti tujuan hidup, seseorang wajib
memahami asal kehidupan ini. Kita berasal dari satu unsur, yakni Tuhan
Yang Maha Esa.
B. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Menurut Tim Dosen Fakultas ILmu Pendidikan IKIP Malang
(1988:2-7), “ Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai
usaha manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai di
dalam masyarkat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun
sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau
berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan
pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada
hakekatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya”.
Menurut buku Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR
RI NO.IV/MPR/73) dikatakan bahwa, “ Pendidikan pada hakekatnya
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di
dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. (Sutari Imam
Bernadib,1982:29). Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan adalah daya
upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar
dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan
anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (Choirul Mahfud,
2006:33). Jadi , Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah
sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap
untuk masa yang akan datang. Pendidikan juga berarti usaha , pengaruh,
perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada
kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
2. Batasan Pendidikan
Dibawah ini penulis kemukakan beberapa batasan pendidikan:
a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan
sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang
lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari
generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu
nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran,
rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan
sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada
terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi
melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum
dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah
dewasa atas usaha sendiri.
c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai
suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar
menjadi warga negara yang baik.
d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai
kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar
utuk bekerja.
Pembekalan dasar
berupa pembentukan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi
misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok
dalam kehidupan manusia.
3. Tujuan Pendidikan
Kohsntamm seorang ahli pendidikan menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan ialah membantu seseorang dalam upaya proses pemanusiaandiri sendiri untuk mencapai ketentraman batin yang paling dalam, tanpa
mengganggu atau tanpa membebani orang lain”(Kartini
Kartono,1992:219). Namun secara garis besar Tujuan pendidikan memuat
gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah
untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah
kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin
dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
4. Unsur-unsur Pendidikan
Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:
a. Subjek yang dibimbing (peserta didik).
Menurut pengertian secara khusus, peserta didik dapat di artikan orang
yang belum dewasa atau orang yang masih menjadi tanggungjawab
pendidik (Sutari Imam Barnadib, 1982:39). Dalam hal ini Peserta
didik berstatus sebagai subjek didik. Ciri khas peserta didik yang perlu
dipahami oleh pendidik ialah:
1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas,
sehingga merupakan insan yang unik.
2) Individu yang sedang berkembang.
3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan
manusiawi.
4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri
b. Orang yang membimbing (pendidik)
Pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang
lebih tinggi (Sutari Imam Barnadib, 1982:38). Disisi lain Yang
dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik
mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru,
pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal
balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan
pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh
melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode,
serta alat-alat pendidikan.
d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
g. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan
pendidikan)
5. Tri Pusat Pendidikan
Faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah
lingkungan, meliputi kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara-cara
tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan dan
perkembangan.
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap
kedewasaan, namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu
pengaruhnya yang sangat besar terhadap perkembangan kita, sebab
bagaimanapun kita tinggal dalam satu lingkungan yang disadari atau tidak
pasti akan mempengaruhi pola pemikiran kita. Pada dasarnya lingkungan
mencakup lingkungan Pendidikan, lingkungan budaya, dan lingkungan
sosial.
Lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat
dalam proses pendidikan(pakaian, keadaan rumah, alat permainan, bukubuku, alat peraga, dll) dinamakan lingkungan pendidikan.
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu kita
dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya
berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai
tujuan pendidikan yang optimal.
a. Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal,
yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang
bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat,
melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan
baik. Pendidikan keluarga berfungsi:
1) Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak
2) Menjamin kehidupan emosional anak
3) Menanamkan dasar pendidikan moral
4) Memberikan dasar pendidikan sosial.
5) Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak.
b. Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua
dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai
macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah.
Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka
diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai
lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut;
1) Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang
baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
2) Sekolah
memberikan pendidikan untuk
kehidupan di
dalam
masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
3) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti
membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain
sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
4) Di
sekolah
diberikan
pelajaran
etika,
membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.
keagamaan,
estetika,
c. Masyarakat
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan
lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam
masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu
setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan
sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut
tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam
masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan
kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan),
sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan. Jadi,
Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan kontribusi yang
besar dalam ketiga kegiatan pendidikan, yakni:
1) pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya
2) pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan
3) pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan
6. Bentuk-bentuk Pendidikan
Bentuk-bentuk Pendidikan meliputi prndidikan formal, nonformal, dan informal sebagai sebuah sistem. Pendidikan formal yang
sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang
pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan
nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna
terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan
yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan
informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan
karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran
pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada
sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan.
C. Hubungan antara Ritual Kejawen dengan Pendidikan
Hubungan antara bentuk-bentuk ritual kejawen dengan pendidikan
sebagai berikut:
1. Mengenalkan kegenerasi muda agar hidup sesuai dengan norma dan nilainilai yang berlaku dimasyarakat
2. Ritual Kejawen dapat dimanifestasikan sebagai sarana sosialisasi antar
masyarakat sehingga tercipta kerukunan dan kenyamanan.
3. Melindungi setiap individu dari rasa ragu dan bahaya dengan
mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik.
4. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mencapai
kebahagian dunia dan akhirat.
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data
1. Gambaran Umum Lokasi
Seperti dikatakan oleh Kepala Desa Bapak Harnomo
wawancara pada tanggal 24 Juni 2009 Jam 14.00 WIB, ”Nama desa
Jumo diambil dari nama seseorang yang termasuk sesepuh Desa. Dia
bernama mbah Jumo seseorang yang pertama kali tinggal di Desa
Jumo”. Dahulu desa Jumo merupakan area Hutan yang dominan
ditumbuhi pohon Jati, namun pada awal tahun 2000 terjadi penjarahan
kayu jati secara besar-besaran sehingga mengakibatkan hutan gundul
dan sering terjadi banjir saat musim penghujan. Sejak saat itu di desa
Jumo yang semula berhawa sejuk berubah menjadi panas.
Desa Jumo merupakan daerah pedesaan dengan memiliki 6
dusun di antaranya dukuh Dawung, Krangkong, Persen, Gajahmati,
Karangrandu dan Kebonagung. Masyarakat hidup dari pertanian
dengan kondisi tanah tadah hujan yang sangat sempit dan tidak
mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit pula para
warganya peralihan profesi ke arah wirausaha, merantau dan bagi yang
tidak memiliki ladang mereka bekerja sebagai buruh tani.
Adapun desa Jumo termasuk dalam wilayah Kecamatan
Kedungjati Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, letaknya ditengah-
tengah area desa Bringin kabupaten Semarang sebelah utara dan
sebelah
selatan
berbatasan
dengan
desa
Kapung
kecamatan
Tanggungharjo.
Pada Tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 4.287 jiwa
terdiri dari 2.097 jumlah laki-laki dan 2.190 jumlah perempuan yang
terbagi dari 9 RT dan 28 RW. Infra struktur rumah warga 90% terbuat
dari kayu berlantai tanah atau kayu papan (trompo) sedangkan sekitar
10% merupakan bangunan penting desa Jumo terbuat dari tembok
misalkan: Sekolahan, Kantor Kelurahan, Puskesmas dan Masjid.
Warga desa menganggap rumah yang terbuat dari kayu atau papan
mudah dijual sewaktu-waktu dan dapat dipindah-pindah dari satu
tempat ketempat lainya.
Pada umumnya setiap rumah yang ada di desa Jumo tempat
MCK kurang memadai bahkan ada rumah warga yang tidak memiliki
WC serta kurang memperhatikan penerangan dan ventilasi yang cukup
sebagai rumah sehat. Adapun jumlah warga yang bermata pencaharian
sebagai petani sekitar 80% dan untuk 20% dibagi atas buruh, merantau
dan berdagang. Secara geografis wilayah desa Jumo dibatasi oleh:
a. Desa Kalimaro sebelah utara
b. Desa Penadaran sebelah timur
c. Desa Mliwang sebelah barat
d. Desa Kapung sebelah selatan
Untuk jarak desa Jumo ke selatan Kota Purwodadi-Grobogan
sejauh 30 km sedangkan kearah utara desa Bringin-Semarang yang
jaraknya 25 km. Desa dialiri listrik dimulai pada tahun 1992 itupun
masih terbatas hanya daerah-daerah yang ada dipinggir jalan raya.
Kondisi fisik jalan raya di desa itu belum pernah di aspal sampai
sekarang (Juli 2009) jadi saat terjadi musim penghujan kondisi jalan
raya sangat becek dan banyak terdapat lubang serta terdapat genangan
air ditengah-tengah badan jalan sehingga mengganggu aktifitas. Tidak
ada kasus sosial dari tahun ketahun tetapi sering terjadi penebangan
kayu secara illegal di hutan oleh warga sekitar dan tidak adanya
Reboisasi Hutan.
Pendidikan formal warga 80 % lulus SD, 15% SMP/SMA dan
5% Perguruan Tinggi. Sehingga terlihat jelas dari SDM yang dimiliki
masyarakatnya dan tidak adanya keahlian khusus oleh warga maka
jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah
bertani.
Di desa terpencil ini sarana pendidikan meliputi 3 buah TK, 3
buah SD, 1 Madrasah Diniyah dan 1 buah SMP serta memiliki
beberapa sarana peribadatan umat Islam karena mayoritas Agama
masyarakat desa Jumo adalah Islam maka disitu terdapat 6 buah
Masjid dan 13 Mushola/ langgar. Kepala desa jumo bapak Harnomo
mengatakan para warga mayoritas beragama Islam, maka setiap Dusun
memiliki satu Buah masjid dan beberapa mushola agar masyarakat
dapat beribadah secara nyaman karena dekat atau mudah di jangkau
dengan berjalan kaki. Masyarakat juga rutin melakukan kegiatan yang
bernuansa Islami seperti Tahlilan, Pengajian, Manakib, Kenduren,
Yasinan dll. Untuk jadwal yasinan disetiap RT yaitu kelompok Ibu-ibu
di laksanakan pada hari kamis malam atau malam jum‟at di rumah
warga secara bergiliran dari rumah ke rumah dengan di pimpin oleh
seorang ustadz yang bertugas sebagai pembawa do‟a. isi dari kegiatan
itu adalah tahlilan, membaca surat Yasin dan pembacaan do‟a.
Kegiatan religi lainya adalah pengajian yang di hadiri khusus
ibi-ibu satu kelurahan yang di adakan setiap minggu pon dalam
kalender Jawa. Pada hari tersebut kurang lebih 280 jamaah yang hadir
dibagi dari 6 dusun. sedangkan manakib adalah kegiatan untuk lakilaki dilaksanakan pada senin malam ba‟da magrib yang inti kegiatanya
sama dengan yasinan.
2. Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo,
Kedungjati, Grobogan
Hampir Pandangan hidup orang Jawa sama disetiap daerah
wilayah Jawa Tengah sama yaitu menekankan ketentraman batin,
keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa
yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan
masyarakat dibawah semesta alam. Pandangan tersebut memiliki
gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada
gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya hal
itu memberikan suatu pemikiran secara umum sebagai suatu badan
pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan
kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah
suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan
gaya hidup. Orang Jawa juga menganggap bahwa pokok kehidupan
dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan
sebelumnya jadi mereka harus menanggung kesulitan hidupnya
dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat
dengan kepercayaan mereka pada bimbingan dari Tuhan sehingga
menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman.
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang
mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, Kesadaran akan budaya ini
sering kali mereka tetapkan sebagai sumber kebanggaan dan identitas
kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa
secara mendalam sebagai kejawen. Tetapi Pemahaman orang Jawa
Kejawen juga ditentukan oleh kepercayaan mereka pada berbagai
macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya
seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah secara
tidak sengaja. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen
memberi sesajen yang dipercaya dapat menghindari kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan
tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi, aneka
makanan bahkan bunga tujuh rupa.
B. Temuan Penelitian
1. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen di Desa Jumo, Kec. Kedungjati,
Kab. Grobogan
Setelah terjun kelapangan di desa Jumo,
Kedungjati,
Grobogan. Penulis menemukan bentuk-bentuk ritual kejawen beserta
nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual Kejawen tersebut
sebagai berikut:
a. Upacara Tinkeban atau Mitoni
Sebelum upacara tinkeban atau mitoni di adakan slametan
4 bulanan yaitu ketika janin dalam kandungan berumur 4 Bulan
(roh datang ke bayi) isi sajian dalam slametan berupa telur bebek 4
buah, nasi kluban, buah-buahan, tumpeng. Dan di hidangkan untuk
tamu undangan setelah selaesai tamu undanagan di berikan Berkat.
Di desa Jumo Upacara tingkeban diadakan saat kandungan
ibu hamil
berumur tujuh bulan, di dalam tingkeban terdapat
slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk
slametan ini terdiri dari nasi tumpeng dengan tujuh macam laukpauk, dawet, jajanan pasar dan rujak yang terdiri dari buah-buahan
yang di beli dari pasar tradisional.
Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu
melaksanakan
berbagai syarat seperti mencuci rambutnya
seminggu sekali serta mandi dengan air kembang mawar. Di
sarankan seorang calon ibu untuk makan berbagai makanan
tertentu yang mengandung protein yang tinggi seperti makanan
dari laut. Adapun Pantangan yang
di tujukan kepada seorang
suami untuk tidak membunuh hewan apapun kerena untuk
menghindari cacat fisik terhadap si jabang bayi.
Menurut Ibu Maspiyah pada wawancara tanggal 26 Juni
2009, Jam 16.35 WIB mengatakan, ” Pelajaran yang dapat dicerna
adalah dapat memberikan sugesti rasa suka cita pada calon ibu
yang lain karena sebentar lagi akan lahir bayi yang lucu”. Beliau
juga menambahkan, dengan adanya tradisi itu juga dapat menjaga
silaturahmi antar warga karena dapat berkumpul walaupun hanya
sekedar pitonan.
b. Upacara Kelahiran
Masyarkat Jumo merayakan slametan brokohan pada hari
kelahiran bayi dan di adakan pemberian nama si jabang bayi,
Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari, Dalam
upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri
nama. Mereka juga mengundang warga untuk di adakan tahlilan
dan mendo‟akan si jabang bayi agar menjadi anak yang soleh dan
solehah. Sedangkan Dalam upacara Islam santri, upacara ini
disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan
hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak laki-laki)
dan 1 ekor kambing (untuk anak perempuan). memberikan nasi
dan kluban untuk di hidangkan pada anak-anak kecil. Menurut
Janatun pada wawancara tanggal 01 Agustus 2010 jam 11.00 WIB
mengatakan “ Kelahiran bayi akan mengajarkan kita tentang rasa
syukur atas karunia Tuhan atas di berikan kebahagian dengan
hadirnya si Bayi serta akan timbul rasa bahagia. Sehingga timbul
rasa perhatian dan menjaga si bayi dengan suka cita”.
c. Upacara Sunatan
Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan.
Untuk masyarakat desa Jumo khitan biasanya dilakukan untuk
anak laki-laki yang sudah tamat sekolah dasar atau berumur 12
sampai 13 tahun. Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat
mempunyai ciri yang berbeda-beda. Pelaksanaan khitan sebagai
bentuk perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum
Islam,
sunatan
atau
khitanan
ini
merupakan
pernyataan
pengukuhan sebagai orang Islam. Karena itu sering kali sunatan
disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelameken,
yang mengandung makna mengIslamkan (ngIslamake). Walaupun
demikian hukum Islam menganjurkan agar sunatan di lakukan
pada saat seorang anak berumur tujuh hari, asalkan tidak
membahayakan anak itu.
Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha
mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada
hari-hari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya
pada hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain,
upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak
pria berumur empat sampai tujuh tahun.
Adat yang ada di desa Jumo slametan untuk khitanan
biasanya di adakan pesta yang cukup meriah sebagai tanda dan
pemberitahuan bahwa anak tersebut telah memasuki dunia remaja,
dalam acara tersebut turut serta mengundang beberapa sahabat,
kerabat bahkan sesepuh desa untuk tahlil bersama dan mendo‟akan
anak agar menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Menurut
Yuslan Pada wawancara tanggal 01 Agustus 2009 jam 13.25 WIB
mengatakan ” Dengan adanya khitanan ini anak diajarkan
penyesuain diri karena
ditandainya supitan alat kelaimin dan itu
menunjukan bahwa ia sudah balig tidak seperti anak kecil lagi, jadi
sikap dan perkataan dia dengan secepatnya akan menirukan gaya
orang dewasa”.
d. Upacara Pernikahan
Persepektif Masyarakat Jawa Upacara pernikahan anak
wanita yang pertama merupakan kejadian yang sangat penting
dalam suatu keluarga. Sudah
berminggu-minggu sebelumnya
keluarga mempelai wanita sibuk melakukan berbagai persiapkan
untuk perayaan itu.
Upacara ini bukan sekedar pesta, Tradisi
seperti ini dianggap penting dan seolah-olah menjadi wajib oleh
masyarakat Jawa dengan berbagai macam tujuan yang berbeda di
seluruh Jawa Tengah. Semua kegiatan dilakukan oleh para kerabat,
berbagai hidangan slametan, upacara siraman, upacara dan merias
pengantin wanita (paes). Beberapa selamatan yang dilaksanakan
dalam upacara perkawinan di antaranya: selamatan hari sebelum
pernikahan atau pada hari sebelum upacara pemberian seserahan
(pemberian
mahar)
ditunjukkan
untuk
mendapatkan
keberuntungan bagi kedua pengantin. Selamatan pada malam
sebelum dilangsungkannya pernikahan (malam widadaren) dan
pada
malam sesudah pernikahan diadakan sesajian
yang
dinamakan selamatan penganten atau majemuk.
Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti terdapat
symbol-simbol yang mempunyai makna tertentu, Kita sering
melihat keberadaan janur kuning dalam suatu pernikahan, biasanya
di letakkan di gang masuk rumah yang sedang mengadakan
hajatan pernikahan, menurut masyarakat Desa Jumo Janur kuning
itu perlambang pemberitahuan bahwa ada yang sedang melakukan
pernikahan atau woro-woro yang di sertai pesta. Mereka juga
menyiapkan Tuwuhan sebagai tolak balak yang berisi pisang raja 1
jodoh (2 pohon) dengan buah pisangnya ditutup karung. Tuwuhan
di letakkan di Gapura yang sudah di siapkan, posisinya di dirikan
tepat di depan rumah atau pintu masuk, modelnya: disetiap sisi di
letakkan pisang, tebu, cengkir, ikatan padi, daun kluweh dan
puring-puring yang tersusun dari daun yang ada di makam. Pisang
raja merupakan simbol pengantin sebagai raja sehari dengan
berpakaian ala Raja dan permaisuri. Adapun Tebu sebagai simbol
agar dalam hubungan kedua mempelai dapat terjaga dan
pernikahan
menjadikan
semangat
untuk
menjalani
hidup.
Sedangkan cengkir menurut warga desa Jumo adalah kejernihan
berpikir agar dalam berumah tangga kedua mempelai saling setia
sampai tua dan selalu menciptakan kebahagiaan. Ikatan padi di
artikan sebagai simbol satu kesatuan kedua mempelai agar selalu
menjaga dan melengkapi dalam suasana senang atau duka. Daun
Kluweh dan puring-puring di artikan pernikahan sebagai ajang
kehidupan baru serta luasnya perjalanan hidup berumah tangga
agar kedua mempelai saling menjaga dan melengkapi kekuranagan
yang ada dalam berkeluarga mengingat rintangan dan cobaan
begitu besar.
Biasanya saat pernikahan kedua mempelai di rias dan
berpakain seperti raja yang duduk dalam singgasana, Dalam tata
rias tersebut kedua mempelai dilakukan Kerik rambut yang
bermakna menghilangkan kesukaran agar bersih dan kelihatan
tampan dan cantik. Untuk mempelai putri di pasang Cunduk
mentul di atas rambut yang jumlahnya harus ganjil terbuat dari
perak keemasan, kemudian Brasutah letaknya melingakar diatas
kepala terbuat dari kembang melati dan kanthil dan Pengasih di
letakkan di bagian kiri melingkupi telinga panjangnya sampai ke
dada. Melati dan kanthil mempunyai makna harum yang khas serta
agar
mempelai putri kelihatan lebih anggun dan cantik
mempesona.
Di desa Jumo Ritual Balangan suruh oleh pengantin
mempunyai arti kesusu arep weruh (kedua mempelai di simbolkan
tidak sabar ingin segera bertemu. Adapun Midak telur (menginjak
telur) diartikan semua permasalahan mempelai sudah ambyar atau
bubar seperti hancurnya telur sehingga dalam berkeluarga dapat
langgeng. Mempelai putri juga melakukan siraman air kembang ke
kaki mempelai pria biasa disebut
Wijikan kakung
yang
mempunyai simbol bentuk pengabdian mempelai putri ke putra.
Setelah itu pengantin putra melakukan ritual Kacar-kucur isinya
beras kapurata (beras, palawija dan uang receh) di berikan ke
mempelai putri sebagai hasil pangan dan kerja keras suami.
Setelah ritual pernikahan usai dilakukan boyongan yaitu
pengantin putri di bawa kerumah pengantin putra, dalam
perjalanan ke rumah pihak keluarga membuang ayam di jembatan
yang di lewati oleh kedua mempelai yang maknanya buang sial,
agar mereka selalu dalam keadaan bahagia. Agar upacara berjalan
mulus dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji
kepada kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka,
beberapa tempat yang di anggap penting, yaitu:
1) Sesaji yang di letakkan di perempatan jalan Desa.
Hal ini di maknai sebagai wujud pengabdian dan
penghormatan kedua orang tua dan mertua yang masih hidup.
Ketika sudah meninggal bentuk penghormatanya adalah tahlilan,
do‟a.
2) Sesaji yang diletakkan di dekat sumber air seperti sumur atau
sungai. Dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada pembantu
saat acara itu berlangsung yaitu tukang masak, pembuat minum
untuk tamu dll.
3) Sesaji yang di letakkan di bawah pohon besar.
Maknanya adalah bentuk penghormatan kepada sang
pemimpin desa yaitu lurah, moden dan kadus. Mereka dianggap
sangat penting karena telah mendo‟akan dan merestui acara yang
diadakan oleh tuan rumah. Mereka juga di punjung artinya di
berikan makanan yang berisi ingkung dan lain-lain.
4) Sesaji yang di letakkan jembatan.
Arti dari jembatan dalam masyarakat Jawa bermakana
sebagai penghubung. Makna sesaji ynag di letakkan adalah bentuk
terima kasih kepada seseorang yang telah menjodohkan kedua
mempelai. Bisa di katakan makjomblang. Menurut Ragil
Pamungkas (2006:70), “Keberadaan sesaji tidak bisa di tinggalkan.
Keberadaan sesaji adalah dukungan dalam menguasai kemampuan
atau kekuatan gaib”.
e. Upacara Kematian
Upacara
ini
dilakukan
pada
saat
mempersiapkan
penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan.
Mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah
sepekan, diadakan selamatan mitung dina (tujuh hari), matang
puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari) mendak
sepisan (satu tahun), mendak pinda (dua tahun) dan yang terakhir
nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran
hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan
bulan-bulan hijriah seperti: upacara ba‟da besar, dina wekasan,
Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah
haji.
f. Nyadran
Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (Jawa) atau
sya‟ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai
dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual
yang dilakukan warga desa Jumo antara lain :
1) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam
rangka mempersiapkan ibadah puasa.
2) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian :
kolak, apem, ketan dan ambeng.
3) Berziarah.
Menurut H. Sambudi pada wawancara tanggal 05 Agustus
2009 jam 16.00 WIB mengatakan ”Berziarah kemakam leluhur
atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa bahkan
keluarga yang sudah meninggal serta nyekar tabur bunga (biasanya
kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih)”.
g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan warga pada bulan
Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau
rikat
kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara
tumpengan dan do‟a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan
masih banyak dipegang dan dilestarikan. Jadi, menurut K.
Sofyanduri pada wawancara tanggal 28 Agusutus 2009 jam 20.00
WIB mengatakan ”Dalam kegiatan itu juga diadakan bersih
kampung dengan bertujuan agar desa lebih indah dan enak
dipandang. Sebelum ritual di laksanakan mereka terlebih dahulu
menyiapkan nasi ambengan dengan terdiri dari nasi, ikan asin,
kluban (terbuat dari daun singkong dan papaya) dan ingkung
(ayam kampung yang telah di panggang) lalu dimakan bersama
setelah selesai berdo‟a dan bersih-bersih”.
h. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian
Masyrakat Jawa sering juga melakukan Ritual ini saat
panen
tiba
tepatnya
saat
menuai
padi
disawah
dengan
perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah terlebih dulu
disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung (ayam kampung yang
telah di bakar dengan bumbu) dan buah-buahan. Setelah siap maka
acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah dengan
dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai acara yang
kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masingmasing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen
hasil pertanian.
Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah
slametan hasil pertanian yang artinya ungkapan rasa syukur atas
panen yang melimpah yang di berikan oleh Allah SWT. Dan para
warga juga tidak akan lupa diri dengan hasil panen sehingga
memunculkan rasa selalu ingat Gusti Allah Sang Pencipta Alam.
i.
Ritual Selamatan pendirian Rumah
Menurut Bapak Wursriyanto wawancara pada tanggal 16
Agustus 2009 jam 12.00 WIB berpendapat bahwa, “Pada
umumnya dalam pendirian Rumah warga Desa Jumo selalu
bergotong royong tanpa mengenal imbal jasa, sebelum acara
pendirian rumah mereka ngepung jenang abang, setelah rangka
luar bangunan rumah berdiri diletakkan ikatan padi , pisang 1
tundung yang sudah masam dan 2 buah kelapa”.
Ikatan padi tersebut mempunyai arti agar bangunan rumah
kokoh seperti ikatan padi yang kuat sehingga tidak mudah roboh.
Buah pisang memiliki arti agar yang menghuni rumah nanti di beri
rejeki yang melimpah di manapun saat mereka bekerja mengingat
buah pisang dapat tumbuh dimanapun berada. Sedangkan buah
kelapa memiliki arti agar rumah terhindar dari musibah seperti
kerasnya buah kelapa yang sulit di belah (sulit di belah hanya
dengan tangan kosong).
j.
Ritual Selamatan Pembelian Mobil/Kendaraan Bermotor
Ritual ini dilakukan warga ketika seseorang telah membeli
Mobil atau kendaraan bermotor, terlebih dahulu mereka membeli
bunga mawar, kendi (tempat air minum) berukuran kecil dan
jajanan pasar berupa makanan dan buah-buahan. Jadi, menurut
Suhardi wawancara pada tanggal 16 Agustus 2009 jam 13.15 WIB
mengatakan, “Setelah semua syarat terkumpul bunga mawar
tersebut di masukan dalam kendi yang berisi air lalu mengundang
warga 4 atau 5 orang untuk ikut mendo‟akan setelah air yang ada
dalam kendi yang berisi bunga mawar tersebut di siramkan
keseluruh kendaraan”. Ritual ini bertujuan agar sang pengendara
terhindar dari musibah atau kecelakaan, sedangkan makanan dan
buah-buahan tadi disajikan kepada warga yang di undang dan
dimakan bersama setelah pembacaan do‟a.
2. Faktor pendukung dan penghambat adanya Ritual Kejawen
Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara yang
berjumlah lebih dari 100 juta jiwa dari sekitar lebih dari 220 juta
masyarakat Indonesia. Lebih dari 85% di antara mereka memeluk
agama Islam. Dalam prakteknya, terdapat suatu garis pemisah kultural
yang menyolok antara mereka yang secara serius melakukan
kewajiban-kewajiban agama Islam dan mereka yang tidak mengatur
hidupnya menurut kaidah-kaidah formal agama Islam. Golongan ini
mengikuti tradisi pikiran kejawèn yang pertama-tama diilhami oleh
buah pikiran Jawa Kuno dan budaya Hindu-Budhis serta unsur-unsur
tambahan dari agama Islam. Pikiran kejawèn ini mempunyai suatu ciri
religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang ada turut ambil
bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada suatu
prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup
manusia
Banyak faktor yang mendukung adanya ritual Kejawen di
daerah pedesaan diantaranya masih adanya sesepuh desa yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa yang telah
diwariskan
turun-temurun dari nenek moyang, mereka beranggapan ritual-ritual
tersebut memiliki banyak makna yang pada intinya ingin mendekatkan
diri dengan Tuhan Sang Pencipta Alam.
Hal ini dapat dilihat Pada masyarakat Jawa, seorang anak
diberi contoh-contoh mendasar bagi kehidupan sosial dan diajari
bagaimana harus bertingkah laku. Anak ditunjukkan akan sesuatu
yang paling dasar dari semua nilai, yaitu tatanan yang baik dan
keseluruhan strategi tindakan untuk mempertahankan tatanan itu.
Sedangkan tatanan itu mencakup hubungan selaras dan harmonis.
Hubungan semacam itu akan terjadi bila orang tahu kedudukan mereka
masing-masing kesabaran, kerendahan hati, penerimaan, kesopanan,
dan lain-lain.
Orang diajari nilai rukun, untuk mengesampingkan perbedaan,
untuk berkompromi, untuk hidup bersahabat dan untuk menyesuaikan
diri dengan kehendak orang lain. Perspektif ini adalah bentuk
pemahaman masyarakat yang bersifat normatif artinya semua bentuk
ibadah dan perilaku masyarakat Jawa tertuju pada ajaran-ajaran AlQur‟an dan Sunnah Nabi yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsipprinsip dasar. Nilai-nilai moral tersebut tercermin pada perilaku
manusia
hubunganya
dengan
kehidupan
sehari-hari,
manusia
diarahkan bagaimana hidup berdampingan dengan makhluk lain
ciptaan Allah SWT agar tercipta
kebahagiaan, keamanan dan
kesejahteraan. Maka prinsip terpenting dalam kehidupan orang Jawa
adalah bagaimana cara beribadah untuk mencapai kesempurnaan
keimanan dan ketaqwaan agar mendapat Ridlo dari Sang pencipta
yaitu Allah SWT. Sedangkan Faktor lain yang mendukung adanya
ritual Kejawen masih berkembang adalah adanya akulturasi budaya,
antara Kejawen dengan Islam. Hal ini dapat kita lihat contohnya
kenduren, mitung dino dsb.
Faktor penghambat ritual Kejawen adalah anggapan bahwa
ritual kejawen yang ada tidak praktis lagi dan tidak efesien, sehingga
banyak masyarakat yang meninggalkanya serta enggan untuk
mengikuti adat yang ada di Desa sendiri, mereka juga beranggapan
bahwa hal seperti itu kuno identik dengan mistis. Banyak juga yang
beranggapan bahwa tradisi Jawa itu dengan berbagai bentuknya di
maknai secara simbolis artinya bahwa Kejawen tidak mempunyai
manfaat secara rasional tidak bisa dirasakan pada waktu ritual kejawen
berlangsung.
Selama penelitian, penulis menemukan banyak juga sebagian
warga yang tidak mau tahu masalah ritual-ritual tersebut, mereka
beranggapan hal itu hanya buang-buang waktu dan tidak ada gunanya
sama sekali. Padahal kalau kita cermati banyak sekali ragam budaya
Jawa termasuk budaya yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan.
Perlu kita ketahui bahwa dunia itu identik dengan surga dan
neraka. Keduanya adalah suatu bentuk imbalan dan hukuman dari
Allah kepada manusia atas semua perbuatannya di dunia. Oleh sebab
itu manusia mempunyai konsekuensi untuk berbuat kebaikan
sebanyak-banyaknya selama hidup di dunia. Hanya dengan itulah dia
akan mendapatkan tiket kebahagiaan di kehidupan akhirat nanti. Suatu
kehidupan, yang menurut al-Qur‟an, sangat penting karena alasan
keadilan dan moral sebagai konstitusi relitas tindakan manusia.
3. Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang
Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya.
Masyarakat di desa Jumo sangat menjunjung tinggi adanya
ritual Skejawen yang telah ada sejak dahulu yang lestari dari leluhur
hingga sekarang. Mereka beranggapan bahwa budaya itu merupakan
identitas sebagai orang Jawa dan sebagai generasinya maka kita tidak
boleh menghapusnya dari kehidupan sehari-hari, justru yang harus kita
lakukan adalah meneruskan tradisi dari leluhur yang telah ada.
Menurut HM. Suryadi wawancara pada tanggal 03 September
2009 jam 15.00 WIB mengatakan, “Salah satu „ulama desa Jumo
mengatakan: Bentuk-bentuk ritual kejawen yang ada di desa jumo
merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan rasa sembah diri
yang tertinggi kepada Allah SWT. Sedangkan makna sosialnya adalah
mempererat tali persaudaraan antar warga tanpa membedakan status
sosialnya. Contohnya: Kenduri, selain kita berdo‟a kepada Allah SWT
kita juga dapat bertemu dengan warga, sehingga terjalin kerukunan
dan kedamaian”. Dalam hal ini KH. Abdur Razak wawancara pada
tanggal 05 September 2009 jam 14.30 WIB berpendapat, “Tradisi
yang sudah ada ini banyak mengandung manfaatnya, perlu kita contoh
dan mewariskanya pada anak cucu kita. Jangan melihat sisi luarnya
atau bentuk ritualnya akan tetapi pahamilah dari hakika dan tujuanya”.
Kemudian menrurut H. Mashuri wawancara pada tanggal 19
September 2009 jam 12.00 WIB mengatakan, “Sebagian wilayah di
tanah Jawa, Tradisi kejawen di hapus artinya tidak di laksanakan lagi
kerena mereka menganggap sebagian tradisi orang Jawa adalah bentuk
kemusyrikan. Menurut saya itu kurang tepat karena setiap tradisi dan
budaya di dunia ini mempunyai maksud dan tujuan agar kehidupan
manusia lebih baik”.
Di hari berikutnya penulis mewawancarai KH. Multazam
wawancara pada tanggal 19 September 2009 jam 11.00 WIB beliau
berpendapat, “Kehidupan manusia tanpa symbol maka tidak akan
terjadi kedisiplinan dan terputusnya komunikasi. Seharusnya kita
bersyukur dengan adanya peninggalan dari orang Jawa terdahulu
berupa ritual ataupun tradisi, dapat saya Contohkan: di desa Jumo
hampir setiap masjid dan mushola terdapat kentongan yang terbuat
dari batang pohon bambu itu maknanya ada dalam bunyi kentongan,
selain sebagai alat memberitahukan warga waktunya shalat juga
berfungsi menyampaikan pesan sesuai bunyi ketukanya misalkan
memberitahukan
datangnya
banjir,
kebakaran,
kematian
dan
sebagainya”.
Jadi, “Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa,
khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa
Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu
misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan
asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat
rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Selain itu puasa juga
sebagai benteng agar manusia dalam menjalankan kehidupan ini
dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga
tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai menurut K. Rondin pada
wawancara tanggal 20 September 2009 jam 16.00 WIB.
Dalam kesempatan lain K. Kahono dalam wawancara pada
tanggal 20 September 2009 jam 19.20 WIB berpendapat bahwa,
”Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada
nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam
dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai
sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara
peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal
dunia, yaitu pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 dari kematiannya.
Acara ritual ini dalam tradisi sekarang di sebut selamatan, sebuah kata
yang diderivasi dari bahasa Arab yaitu Islam, ‟salam‟ dan ‟salamah‟
yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga
sering dikaitkan dengan istilah tahlilan atau tahlil yaitu membaca
kalimat Thayyibah ‟La ilaha illa Allah‟ secara bersama-sama sebagai
cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid”.
Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam
juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Menyangkut
hal itu H. Jasmo dalam wawancara pada tanggal 22 September 2009
jam 20.43 WIB berpendapat, ”Sekarang kita dapat melihat bentuk
arsitektur bangunan masjid sebagian masih berbentuk pure atau candi,
kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah „gapura‟ nama yang
diambil dari bahasa Arab ‟ghofura‟ yang berarti pengampunan”.
BAB IV
PEMBAHASAN
Kumpulan data yang dianalisa dalam skripsi ini bersumber dari hasil
wawancara Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap
mampu untuk memberikan keterangan yang relevan, dilengkapi dengan dokumen
yang ada. Mengacu pada fokus peneltian dalam skripsi ini, maka penulis akan
menganalisa dan menyajikanya secara sistematis tentang makna ritual Kejawen
perspektif Pendidikan.
Setelah terjun kelapangan di desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. Penulis
menemukan bentuk-bentuk ritual kejawen
dihubungkan dengan kajian teori,
maka hasilnya sebagai berikut:
A. Bentuk-bentuk ritual Kejawen
1. Upacara Tinkeban atau Mitoni
Di desa Jumo Upacara tingkeban diadakan saat kandungan ibu
hamil berumur tujuh bulan, di dalam tingkeban terdapat slametan yang
dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini terdiri dari nasi
tumpeng dengan tujuh macam lauk-pauk, dawet, jajanan pasar dan rujak
yang terdiri dari buah-buahan yang dibeli dari pasar tradisional.
Berkaitan dengan upacara tingkeban atau mitoni, Koentjaraningrat
(1994: 350-351) menyatakan sebagai berikut:
Upacara pertama yang dinamakan tingkeban diadakan saat
kandungan berumur tujuh bulan, yang antara lain terdiri dari suatu
slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini
terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam lauk-pauk, dan
tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda pula. Sejak
diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu harus mematuhi berbagai
syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan
air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan manteramantera. Adapun larangan untuk makan berbagai makanan tertentu,
seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan yang berpatil, dan
buah-buah yang letak bijinya melintang, sebenarnya sudah mulai sejak
awal kehamilanya, Orang-orang tua seringkali memberikan makna yang
berbeda terhadap berbagai pantangan makanan itu yang hampir semuanya
mempunyai arti simbolik yang berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan serta berdasarkan asosiasi pikiran yang sederhana. Buahbuahan dengan biji-biji yang tersusun melintang dianggap dapat
mempengaruhi letak yang salah dari si jabang bayi.
Dengan demikian
masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam
menjaga bayi yang di kandung oleh seorang ibu agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan seperti cacat fisik. Dalam wawancara yang penulis
lakukan kepada Ibu Hartatik (18:2009) mengatakan, “ Makna sebenarnya
dalam tingkeban itu adalah agar anak sehat fisik maupun mental kelak
ketika dia lahir. Kita harus hati-hati menjaga seorang anak walaupun
masih dalam kandungan” Jadi, temuan dilapangan dengan kajian teori
letak persamaanya pada pelaksanaan dan maksud diadkan tinkeban atau
mitoni
2. Upacara Kelahiran
Masyarakat Jumo merayakan slametan brokohan pada hari kelahiran bayi dan di
adakan pemberian nama si jabang bayi, Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur
tujuh hari, Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian diberi nama.
Mereka juga mengundang warga untuk di adakan tahlilan dan mendo‟akan si jabang bayi
agar menjadi anak yang soleh dan solehah. Kemudian dari kajian pustaka
Koenjtaraningrat (1994: 354) juga menyatakan:
Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari,. Dalam
upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Dalam
upacara Islam santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya
penyembelihan hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak lakilaki) dan 1 ekor kambing (untuk anak perempuan).
Menurut Ibu Sripit (18:2009), “Upacara ini dilakukan untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Karena si jabang bayi
telah terlahir dalam keadan selamat dan tidak cacat. Kalau aqiqah menurut
ajaran Islam jika bayi terlahir laki-laki maka penyembelihan harus 2 ekor
kambing dan 1 ekor kambing untuk anak perempuan”. Jadi, upacara
kelahiran antara temuan dan kajian pustaka memiliki penjabaran yang
sama.
3. Upacara Sunatan
Untuk masyarakat desa Jumo menurut Bapak Sugi (19:2009) berpendapat,
“Khitan biasanya dilakukan untuk anak laki-laki yang sudah tamat sekolah dasar atau
berumur 12 sampai 13 tahun” . Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri
yang berbeda-beda. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk perwujudan secara nyata
mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan
pengukuhan sebagai orang Islam. Berkaitan dengan hal tersebut Koentjaraningrat
(1994:357-358) menyatakan sebagai berikut:
Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha
mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada
hari-hari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya
pada hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain,
upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak
pria berumur empat sampai tujuh tahun; akan tetapi keluargakeluarga penganut agami Jawi pada umumnya menghubungkan
sunatan dengan umur akil baliq, di samping sebagai peresmian
masuk Islam, dan karena itu mengadakanya pada waktu seorang
anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun.
Karena
itu sering kali
mengkhitankan dikatakan
mengIslamkan
sunatan disebut
nyelameken,
(ngIslamake).
Walaupun
yang
selam,
sehingga
mengandung
demikian
hukum
makna
Islam
menganjurkan agar sunatan dilakukan pada saat seorang anak berumur
tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu.
Jadi, penjelasan antara temuan dan kajian teori memiliki kesamaan
dari umur anak sampai maksud dan tujuan khitan itu sendiri.
4. Upacara Pernikahan
Dalam pernikahan Semua kegiatan dilakukan oleh para kerabat,
berbagai hidangan slametan, upacara siraman, upacara dan merias
pengantin wanita (paes).
Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti terdapat symbolsimbol yang mempunyai makna tertentu, Kita sering melihat keberadaan
janur kuning dalam suatu pernikahan, biasanya di letakkan di gang masuk
rumah yang sedang mengadakan hajatan pernikahan, menurut Ibu Surtikah
(17:2009) mengatakan, “Janur kuning itu perlambang pemberitahuan
bahwa ada yang sedang melakukan pernikahan atau woro-woro yang di
sertai pesta”. Ibu Rohmiyati (17:2009) menambahkan “Mereka juga
menyiapkan Tuwuhan sebagai tolak balak yang berisi pisang raja 1 jodoh
(2 pohon) dengan buah pisangnya ditutup karung. Tuwuhan di letakkan di
Gapura yang sudah di siapkan, posisinya di dirikan tepat di depan rumah
atau pintu masuk, modelnya: disetiap sisi di letakkan pisang, tebu,
cengkir, ikatan padi, daun kluweh dan puring-puring yang tersusun dari
daun yang ada di makam”.
Pisang raja merupakan simbol pengantin sebagai raja sehari
dengan berpakaian ala Raja dan permaisuri. Adapun Tebu sebagai simbol
agar dalam hubungan kedua mempelai dapat terjaga dan pernikahan
menjadikan semangat untuk menjalani hidup. Sedangkan “Cengkir adalah
kejernihan berpikir agar dalam berumah tangga kedua mempelai saling
setia sampai tua dan selalu menciptakan kebahagiaan.
Ikatan padi di
artikan sebagai simbol satu kesatuan kedua mempelai agar selalu menjaga
dan melengkapi dalam suasana senang atau duka. Daun Kluweh dan
puring-puring di artikan pernikahan sebagai ajang kehidupan baru serta
luasnya perjalanan hidup berumah tangga agar kedua mempelai saling
menjaga dan melengkapi kekuranagan yang ada dalam berkeluarga
mengingat rintangan dan cobaan begitu besar” (Yuslan,17:2009).
Biasanya saat pernikahan kedua mempelai di rias dan berpakain
seperti raja yang duduk dalam singgasana, Dalam tata rias tersebut kedua
mempelai dilakukan Kerik rambut yang bermakna menghilangkan
kesukaran agar bersih dan kelihatan tampan dan cantik. Untuk mempelai
putri di pasang Cunduk mentul di atas rambut yang jumlahnya harus ganjil
terbuat dari perak keemasan, kemudian Brasutah letaknya melingakar
diatas kepala terbuat dari kembang melati dan kanthil dan Pengasih di
letakkan di bagian kiri melingkupi telinga panjangnya sampai ke dada.
Melati dan kanthil mempunyai makna harum yang khas serta agar
mempelai putri kelihatan lebih anggun dan cantik mempesona.
Di desa Jumo Ritual Balangan suruh oleh pengantin mempunyai
arti kesusu arep weruh (kedua mempelai di simbolkan tidak sabar ingin
segera bertemu. Adapun Midak telur (menginjak telur) diartikan semua
permasalahan mempelai sudah ambyar atau bubar seperti hancurnya telur
sehingga dalam berkeluarga dapat langgeng. Mempelai putri juga
melakukan siraman air kembang ke kaki mempelai pria biasa disebut
Wijikan kakung yang mempunyai simbol bentuk pengabdian mempelai
putri ke putra. Setelah itu pengantin putra melakukan ritual Kacar-kucur
isinya beras kapurata (beras, palawija dan uang receh) di berikan ke
mempelai putri sebagai hasil pangan dan kerja keras suami.
Setelah ritual pernikahan usai dilakukan boyongan yaitu pengantin
putri di bawa kerumah pengantin putra, dalam perjalanan ke rumah pihak
keluarga membuang ayam di jembatan yang di lewati oleh kedua
mempelai yang maknanya buang sial, agar mereka selalu dalam keadaan
bahagia. Agar upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai,
Orang Jawa memberi sesaji kepada kekuatan tidak tampak yang ada di
sekitar mereka, beberapa tempat yang di anggap penting, yaitu:
5) Sesaji yang di letakkan di perempatan jalan Desa.
Hal ini di maknai sebagai wujud pengabdian dan penghormatan
kedua orang tua dan mertua yang masih hidup. Ketika sudah
meninggal bentuk penghormatanya adalah tahlilan, do‟a.
6) Sesaji yang diletakkan di dekat sumber air seperti sumur atau sungai.
Dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada pembantu saat acara
itu berlangsung yaitu tukang masak, pembuat minum untuk tamu dll.
7) Sesaji yang di letakkan di bawah pohon besar.
Maknanya
adalah
bentuk
penghormatan
kepada
sang
pemimpin desa yaitu lurah, moden dan kadus. Mereka dianggap sangat
penting karena telah mendo‟akan dan merestui acara yang diadakan
oleh tuan rumah. Mereka juga di punjung artinya di berikan makanan
yang berisi ingkung dll.
8) Sesaji yang di letakkan jembatan.
Arti dari jembatan dalam masyarakat Jawa bermakana sebagai
penghubung. Makna sesaji ynag di letakkan adalah bentuk terima
kasih kepada seseorang yang telah menjodohkan kedua mempelai.
Bisa di katakan makjomblang. Menurut Ragil Pamungkas (2006:70),
“Keberadaan sesaji tidak bisa di tinggalkan. Keberadaan sesaji adalah
dukungan dalam menguasai kemampuan atau kekuatan gaib”.
Berkaitan
dengan
itu
Wawan
Susetya
(2007:
33-34)
menerangkan:
Pertama, pisang raja maknanya sangat jelas sebagai
simbolik dari Raja. Artinya, pernikahan atau perkawinan dalam
kehidupan manusia merupakan salah satu tahap yang paling
penting dari tiga proses perjalanan: kelahiran, perkawinan dan
kematianya. Dan, sang mempelai didudukan di „singgasana
rinengga‟ dengan pakaian ala raja dan permaisuri yang penuh
aura kewibawaan dan kegembiraan. Kedua, tebu. Orang Jawa
mengartikan dengan ungkapan mantebing kalbu (mantapnya
hati/kalbu), karena Tanaman tebu rasanya manis dan
menyegarkan. Ketiga, cengkir (buah kelapa yang masih muda);
maknanya adalah kencenging piker (pikiran yang lurus).
Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu
melewati ujian kritis dalam memepertahankan pernikahanya,
sehingga mampu menghadapi suka maupun duka bersama
dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga.
Sedangkan Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (2007:33-34)
mengatakan bahwa:
Sepasang pohon pisang raja yang berbuah maknanya
adalah agar mempelai kelak menjadi pemimpin yang baik bagi
keluarga, lingkungan dan bangsa. Sedangkan sepasang tebu
maknanya adalah dari mempelai diharapkan agar sagala
sesuatu yang sudah dipikir matang-matang dikerjakan atau
dilaksanakan dengan tekat yang bulat pantang mundur.
Dalam hal ini temuan dilapangan sudah dijelaskan dalam
kajian pustaka, artinya antara temuan dan teori saling berhubungan.
5. Upacara Kematian
Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang
mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani, mensholati dan
pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan, diadakan selamatan mitung
dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus
hari) mendak sepisan (satu tahun), mendak pinda (dua tahun) dan yang
terakhir nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran
hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan bulanbulan hijriah seperti: upacara ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan,
Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah haji.
6. Nyadran
Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (Jawa) atau sya‟ban
(Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan
menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan
warga desa Jumo antara lain :
4) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka
mempersiapkan ibadah puasa.
5) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak,
apem, ketan dan ambeng.
6) Berziarah.
Menurut H. Sambudi (20:2009), ”Berziarah kemakam leluhur
atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa bahkan keluarga
yang sudah meninggal serta nyekar tabur bunga (biasanya kembang
melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih)”. Menurut Karkono
Kamajaya Partokusumo (1995:246), “Nyadran berarti melaksanakan
upacara „sadran‟ atau „sadranan‟ yang sampai saat ini masih terkenal
dalam masyarkat Jawa dan dilakukanya dengan patuh. Upacara ini
dilaksanakan dalam bulan Ruwah atau Sya‟ban sesudah tanggal 15
hingga menjelang ibadah puasa didalam bulan puasa (Ramdhan)”.
Kurang sempurna kalau ritual nyadran ini tanpa Berziarah kemakam
leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga
nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni,
kantil dan telasih).
Menurut Mark R. Woodward (199:121), “Ziarah kubur itu
diperbolehkan asal tidak meminta berkah atau pemberian dari orang
yang sudah mati, melainkan makna ziarah kubur adalah cara yang
tepat agar manusia ingat dengan kematian”. Kita cermati, Pada
dasarnya temuan dilapangan dan kajian pustaka memiliki kesamaan,
antara tujuan dan manfaat.
7. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan warga pada bulan Sapar dan
Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan,
selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a bersama.
Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan
dilestarikan. Jadi, ”Dalam kegiatan itu juga diadakan bersih kampung
dengan bertujuan agar desa lebih indah dan enak dipandang. Sebelum
ritual di laksanakan mereka terlebih dahulu menyiapkan nasi ambengan
sebagai ganti tumpeng dengan terdiri dari nasi, ikan asin, kluban (terbuat
dari daun singkong dan papaya) dan ingkung (ayam kampung yang telah
di panggang) lalu dimakan bersama setelah selesai berdo‟a dan bersihbersih”(K. Sofyanduri, 28:2009). Jadi,
”Menu tumpeng yang telah
disediakan ditujukan untuk menyampaikan pesan dari wali untuk selalu
mengingat kepada Tuhan. Contoh adanya apem dalam tumpeng tersebut.
Apem diambil dari kata “ampun” yang berarti manusia diarahkan unuk
meminta ampun atas segala dosa yang pernah diperbuatnya”(Ragil
Pamungkas, 2006:33)
8. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian
Bapak Narko (17:2009) berkata,”Ritual ini dilakukan saat panen
tiba tepatnya saat menuai padi disawah dengan perlengkapan tradisional.
Sebelum pergi kesawah terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa
ingkung (ayam kampung yang telah di bakar dengan bumbu) dan buahbuahan. Setelah siap maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di
tengah sawah dengan dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai
acara yang kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masingmasing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil
pertanian”.
Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan
hasil pertanian yang artinya ungkapan rasa syukur atas panen yang
melimpah yang di berikan oleh Allah SWT. Dan para warga juga tidak
akan lupa diri dengan hasil panen sehingga memunculkan rasa selalu ingat
Gusti Allah Sang Pencipta Alam.
9. Ritual Selamatan pendirian Rumah
Menurut Bapak Wursriyanto (29:2009), “Pada umumnya dalam
pendirian Rumah warga Desa Jumo selalu bergotong royong tanpa
mengenal imbal jasa, sebelum acara pendirian rumah mereka ngepung
jenang abang, setelah rangka luar bangunan rumah berdiri diletakkan
ikatan padi , pisang 1 tundung yang sudah masam dan 2 buah kelapa”..
Ikatan padi tersebut mempunyai arti agar bangunan rumah kokoh
seperti ikatan padi yang kuat sehingga tidak mudah roboh. Buah pisang
memiliki arti agar yang menghuni rumah nanti di beri rejeki yang
melimpah di manapun saat mereka bekerja mengingat buah pisang dapat
tumbuh dimanapun berada. Sedangkan buah kelapa memiliki arti agar
rumah terhindar dari musibah seperti kerasnya buah kelapa yang sulit di
belah (sulit di belah hanya dengan tangan kosong).
B. Nilai-nilai Pendidikan dalam ritual Kejawen.
Secara umum nilai-nilai yang terkandung dalam ritual kejawen sebagai
berikut:
a. Menimbulkan sikap yang toleran antar komponen masyarakat serta saling
melengkapi dalam keadaan suka maupun duka sehingga akan timbul dalam
hati sikap berbagi, merasakan penderitaan orang lain
b. Membersihkan diri lahir dan bathin
c. Membina kerukunan antar komponen masyarakat untuk saling bekerjasama
dan mengajarkan pada anak-anak kita ke hal-hal yang positif.
d. Mentransfer Budaya baru atau pewarisan Budaya yang bersifat religi
kepada anak.
e. Syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan.
f. Agar kita hati-hati dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sehingga
terhindar dari segala yang merugikan diri kita.
g. Mampu menguatkan mental manusia untuk berkumpul bermasyarakat dan
menjaga keharmonisan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan
:
1. Bentuk-bentuk ritual kejawen di desa Jumo, Kedungjati, Grobogan beserta
nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual Kejawen tersebut
sebagai diantaranya:
a. Upacara Tinkeban atau Mitoni
Maknanya adalah dapat memberikan sugesti rasa suka cita pada
calon ibu dan warga lain karena sebentar lagi akan lahir bayi yang lucu
serta dengan adanya tradisi itu juga dapat menjaga silaturahmi antar
warga karena dapat berkumpul.
b. Upacara Kelahiran
Bermakna bahwa kelahiran bayi akan mengajarkan kita tentang
rasa syukur atas karunia Tuhan atas di berikan kebahagian dengan
hadirnya si Bayi Sehingga timbul rasa perhatian dan menjaga si bayi
dengan suka cita karena hal itu dianggap sebagai amanah dari Allah
SWT.
c. Upacara Sunatan
Makna khitan selain membaktis seseorang untuk memperdalam
ajaran Islam juga dengan adanya khitanan ini anak diajarkan penyesuain
diri karena
ditandainya supitan alat kelaimin dan itu menunjukan
bahwa ia sudah balig tidak seperti anak kecil lagi, jadi sikap dan
perkataan dia dengan secepatnya akan menirukan gaya orang dewasa hal
ini juga menjadi anjuran dari Nabi Muhammad SAW.
d. Upacara Pernikahan
Selain menjalan kan sunnah dari Rasul, pernikahan juga akan
mengajarkan manusia bagaimana seorang laki-laki menjadi pemimpin
dan seorang istri menjadi pendamping juga dengan pernikahan itu
sendiri agar terhindar dari perzinaan.
e. Upacara Kematian
Maknanya adalah menimbulkan sikap yang toleran antar
komponen masyarakat serta saling melengkapi dalam keadaan suka
maupun duka sehingga akan timbul dalam hati sikap berbagi, merasakan
penderitaan orang lain dan mengingatkan kita akan kematian.
f. Nyadran
Nyadran
mengandung
makna
pembersihan
diri
dengan
mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah
puasa serta mendoakan orang yang sudah meninggal sebagai wujud
bakti kita kepada kerabat, tetangga bahkan orangtua.
g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa
Makna pendidikan Islam yang dapat diambil adalah membina
kerukunan antar komponen masyarakat untuk saling bekerjasama dan
mengajarkan pada anak-anak kita untuk menjaga lingkungan agar lebih
bersih, indah dan terhindar dari segala penyakit.
h. Ritual Selamatan pendirian Rumah
Makna yang dapat diambil adalah membina kerukunan antar
komponen masyarakat untuk saling bekerjasama tanpa mengenal status
sosialnya dan memberikan motivasi untuk saling mengahargai antar
warga sehingga dapat melunturkan dendam.
i. Ritual Selamatan Pembelian Mobil/Kendaraan Bermotor
Ritual ini bermakna agar sang pengendara terhindar dari musibah
atau kecelakaan. Hal itu akan mempengaruhi mental si pengendara agar
selalu berhati-hati saat mengemudikan kendaraanya.
2. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen
Karkono Kamajaya Partokusumo menyatakan Tradisionalisme
tidak perlu dipertentangkan dengan Islam dan tidak pula harus
menghambat modernisme. Tradisi juga tidak perlu ditentang, diuberuber, dicurigai, diolok-olok sebagai hal yang harus diberantas dan
dianggap menghambat kemajuan. Sedangkan Kuntowojoyo berpendapat
Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam
kebudayaan di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa banyak mengadopsi
konsep-komsep Islam. Kita juga melihat ekspresi-ekspresi ritual oleh
orang Jawa, sebagai contoh: Upacara „Pangiwahan‟, upacara itu di
maksudkan agar manusia menjadi „wiwoho‟, menjadi mulia. Jadi
misalnya kita harus memuliakan kelahiran, perkawinan atau bahkan
kematian.
B. Saran
Diharapkan
studi tentang
Makna
Ritual
Kejawen perspektif
Pendidikan didesa Jumo, Kedungjati, Grobogan ini, dapat disempurnakan
dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain, sehingga dapat
memberikan gambaran yang lengkap pada makna ritual kejawen perspektif
pendidikan yang berupa Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam ritual
Kejawen tersebut. Untuk itu pengharapan penulis sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah bersama warga
masyarakat
diharapkan terus
melestarikan kebiasaan orang-orang tua yang sudah turun-temurun sebagai
sarana
yang
efektif
bagi
penduduknya
untuk
berinteraksi
dan
berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan.
2. Pelaksanaan bentuk tradisi yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan
bukan dilaksanakan guna menyekutukan Tuhan, melainkan sebagai sarana
untuk mensyukuri nikmat pemberian Tuhan. Oleh karena itu warga
masyarakat Sekar khususnya diharapkan mampu mengambil nilai-nilai
positif yang terdapat dalam setiap tradisi.
3. Kewajiban bagi setiap generasi adalah untuk mempersiapkan generasi
penerus lebih berkualitas, dan pada saatnya nanti generasi penerus benarbenar siap mengambil alih dan meneruskan tugas serta peranan generasi
sebelumnya dan dengan demikian terjalinlah kelangsungan hidup dan
eksistensi bangsa dari masa ke masa.
4. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama yaitu,
Makna Ritual Kejawen perspektif pendidikan supaya mengambil tema
yang lain agar lebih inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan dan
pengetahuan bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Sutari Imam. 1986. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)-IKIP.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.
Jakarta: PT.Pradnya Paramita.
Chafidh, Muhammad Afnan dan A. Ma‟ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan
Prosesi Kelahiran, Perkawinan dan Kematian. Surabaya: Khalista.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Ghani, Djunaidi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif: prosedur, tehnik dan
teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu.
Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lely J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya.
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubabahan Budaya Jawa,
Muangthai dan Filipina, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Milles, Mattew B. dkk. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta: PT. UI Press.
Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pamungkas, Ragil. 2006. Lelaku dan Tirakat : Cara Orang Jawa Menggapai
Kesempurnaan Hidup. Yogyakarta: Narasi.
Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduanya dengan
Islam. Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia.
Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tassawuf
Islam
ke Mistik Jawa.
Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya.
Suharsono dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sudirman Dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Susetya, Wawan. 2007. Ular-Ular Manten: Wejangan Perkawinan Adat Jawa.
Yogyakarta: Narasi.
Syam, Muhammad Noor Dkk. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Tim Penyusun FIP. 1998. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Tim penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Jakarta: Balai
Pustaka.
Umar , Husain. 1999. Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta:PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Walgito, Bimo. 1991. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar) edisi revisi. Yogyakarta
Andi Offset.
Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa: Kesalihan Normatif Versus Kebatinan.
Yogyakarta: LKIS.
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Eko Haryanto
NIM
: 12107004
Tempat/Tgl.lahir
: Grobogan, 07 Desember 1986
Alamat
: Dsn. Dawung RT 01/02 Ds. Jumo, Kedungjati - Grobogan
Pendidikan
:
1. TK Dharma Wanita Jumo (1993-1994)
2. Sekolah Dasar di SD Negeri Jumo I (1994-1999).
3. SMP Negeri I Kedungjati (1999-2002).
4. SMA Muhammadiyah Gubug (2002-2005)
5. Diploma II PGA Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga (2005-2007)
Download