MAKNA RITUAL KEJAWEN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DI DESA JUMO KECAMATAN KEDUNGJATI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2009 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh : EKO HARYANTO NIM. 12107004 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2010 PERSETUJUAN PEMBIMBING Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara: Nama : Eko Haryanto NIM : 12107004 Jurusan : Tarbiyah Program Studi : Pendidikan Agama Islam Judul : MAKNA RITUAL KEJAWEN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DI DESA JUMO KECAMATAN KEDUNGJATI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2009 Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan. Salatiga, 15 Januari 2010 Pembimbing Drs. JUZ’AN, M.Hum NIP. 19611024 198903 1 002 DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323 706, 323 433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected] PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi Saudara Eko Haryanto dengan Nomor Induk Mahasiswa 12107004 yang berjudul Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam Di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan Tahun 2009 telah dimunaqosahkan dalam Sida ng Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada Sabtu, 13 Maret 2010 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.). Salatiga, 27 Rabiul Awal 1431 H. 13 Maret 2010 M. Panitia Ujian Ketua Sidang Sekretaris Sidang DR.Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002 Dr. H.Muh Saerozi, M.Ag NIP. 19660215 199103 1 001 Penguji I Penguji II Dr. Adang Kuswaya, M.Ag NIP. 19720531 199803 1 002 Dra. Siti Asdiqoh, M.Si NIP. 19680812 199403 2 003 Dosen Pembimbing Drs. Djuz’an, M.Hum NIP. 19611024 198903 1 002 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Eko Haryanto NIM : 12107004 Jurusan : Tarbiyah Program Studi : Pendidikan Agama Islam Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, 15 Januari 2010 Yang menyatakan, Eko Haryanto MOTTO “ Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna, karena Kegagalan terbesar adalah apabila kita tidak pernah mencoba. Namun jika kita meremehkan pekerjaan itulah jaminan kegagalan “ PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Tuhan Yang Maha Esa Untuk Bapak dan Ibuku Djumi‟an dan Nariyah yang slalu memberikan do‟a Kedua adik ku Erna Wahyuningsih dan Tri Wahyu Utomo Dosen pembimbingku Drs. Djuz‟an, M.Hum dan Dra. Maryatin. Sahabat-sahabatku di Blok D Luqman, Andik, Ipul, Hadi, Ugi, Ghoni dan Teman spesialku Umi Hani‟ah yang selalu setia “ menungguku”. KATA PENGANTAR Bismillahir rahmanir rahim Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya yang lurus. Skripsi yang berjudul “Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan tahun 2009” ini, diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam( S.PdI ) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga. Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan Apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Yang terhormat Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag 2. Yang terhormat Bpk. Drs. Djuz‟an, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. yang terhormat Dra. Maryatin yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi masukan dan nasehat kepada penulis. 4. Ibu Maslikhah, M.Si dosen STAIN Salatiga, yang telah memberikan motivasi, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Ayahku tercinta Bpk. Djumi‟an dan Ibuku tersayang Ibu Nariyah yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi kepada penulis, baik moral maupun spiritual Umi Hani‟ah yang slalu menungguku dengan sabar dan tulus. 6. 7. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, khususnya IMM Cabang Salatiga, Perum BTN Blok D (Luqman Gentho, Andik, Tuan Muda Ipul), Kepala Desa Jumo Bpk. Harnomo, Pak Manaf dan Ibu Musripah di SMA Muhammadiyah Gubug, Mas Agus Humanis, Lion dan Teman-teman seperjuangan yang tidak tersebut namanya satu persatu. Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal „alamin Salatiga 13 Maret 2010 Penulis Eko Haryanto NIM 12107004 ABSTRAKSI Haryanto, Eko.2009. Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Kata kunci: Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Penelitian ini membahas tentang Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati-Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen, adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen. Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari ananlisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan pengamatan triangulasi. Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tradisi Kejawen di Desa Jumo relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dan keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Kejawen merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dan menurut warga masyarakat Jumo banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk memohon hajad (keinginan) agar Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat Nilai pendidikan dalam tradisi Kejawen adalah dengan adanya kebersamaan tanpa memandang status sosial, karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama. Nilai sosial pada Ritual Kejawen adalah bahwa perayaan tradisi tersebut akan mendatangkan suatu pengaruh yang kuat berkenaan dengan kehidupan sosial budaya. nilai religius pada tradisi Kejawen adalah untuk lebih meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diiberi berkah serta pertolongan di masa sekarang dan akan datang. Dampak dalam bidang ekonomi pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi berkah dan pertolongan selama satu tahun dan mengharap ditahun yang akan datang menjadi lebih baik. Dampak dalam bidang sosial budaya yaitu adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi Kejawen ini dapat mempersatukan kelompok-kelompok dalam ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. Dampak dalam bidang religius yaitu pemahaman masyarakat terhadap tradisi Kejawen, merupakan ajaran turun temurun dari para leluhur dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa. DAFTAR INFORMAN 1. Bapak Harnomo Kepala Desa Jumo 2. Bapak K. Kahono Tokoh Pendidikan 3. Bapak H. Jasmo Tokoh Pendidikan 4. Bapak KH. Multazam Tokoh Agama 5. Bapak K. Rondin Tokoh Agama 6. Bapak HM. Suryadi S.Ag Tokoh Pendidikan 7. Bapak KH. Abdur Razak Tokoh Agama 8. Bapak H. Mashuri Tokoh Agama 9. Bapak Suhardi tokoh Pendidikan 10. Bapak Wursriyanto tokoh Pendidikan 11. Bapak H. Sambudi Kaurs Kesra (modin) 12. Bapak Sofanduri A.Ma Tokoh spiritual serta tokoh Pendidikan 13. KH. Sururi Tokoh Agama DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR BERLOGO ......................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. v HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vii KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii ABSTRAK ............................................................................................................. x DAFTAR INFORMAN ......................................................................................... xii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 5 E. Penegasan Istilah ............................................................................ 6 F. Metode Penelitian ........................................................................... 7 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................... 7 2. Kehadiran Peneliti .................................................................... 7 3. Lokasi Penelitian ...................................................................... 7 4. Sumber Data ............................................................................. 7 5. Prosedur Pengumpulan Data ..................................................... 10 6. Analisis Data ............................................................................. 12 7. Pengecekan Keabsahan Data ..................................................... 13 8. Tahap-tahap Penelitian .............................................................. 14 G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Ritual Kejawen …………………………………………………… 17 1. Pengertian Ritual Kejawen …………………………………... 17 2. Aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam ………... 20 3. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen ……………………………… 26 4. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen ..................................................................................... 34 5. Tujuan Pelaksanaan Ritual Kejawen ………………………… 36 B. Pendidikan ……………………………………………………….. 41 1. Pengertian Pendidikan ………………………………………. 41 2. Batasan Pendidikan ………………………………………...... 42 3. Tujuan Pendidikan …………………………………………... 43 4. Unsur-unsur Pendidikan …………………………………….. 44 5. Tri Pusat Pendidikan ………………………………………… 45 6. Bentuk-bentuk Pendidikan …………………………………... 48 C. Hubungan antara Ritual Kejawen dengan Pendidikan …………… 49 BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data ……………………………………………………... 50 1. Gambaran Umum Lokasi …………………………………….. 50 2. Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan …………………………... 53 B. Temuan Penelitian ………………………………………………... 55 1. Bentuk-bentuk Ritual kejawen di Desa Jumo, Kec. Kedungjati, Kab. Grobogan ………………………….............. 55 2. Faktor pendukung dan penghambat adnya Ritual Kejawen …. 66 3. Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya ……………………………………………… 69 BAB IV PEMBAHASAN ………………………………………………. 73 BAB V PENUTUP ……………………………………………………… 86 A. Kesimpulan ……………………………………………………… 86 B. Saran …………………………………………………………….. 89 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesatuan yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari pulau pulau besar dan kecil, tanahnya subur kaya flora dan fauna serta sumber alamnya. Tanah air Indonesia terkenal kesuburan dan kekayaannya, srhingga bangsa lain tertarik dan berupaya untuk menguasai, hal ini terbukti bahwa tanah air kita pernah dijajah bangsa lain selama bertahun-tahun.. Wilayah Indonesia yang sangat luas telah dihuni suku bangsa yang tersebar ke seluruh pelosok tanah air secara tidak merata. Penduduk menempati wilayah yang berbeda-beda sehingga menjadikan wilayah peradaban yang dimilikinya beraneka ragam, yang kemudian menjadi modal dasar pembangunan nasional. Dari persebaran yang tidak merata tersebut, Pulau Jawa adalah pulau yang paling padat penduduknya dibandingkan dengan jumlah penduduk di pulau lainnya. Di Pulau Jawa ini tidak hanya didiami oleh suku bangsa Jawa saja, melainkan juga suku-suku bangsa lainnya. Pada dasarnya masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan, tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi dengan peradaban yang berbeda-beda. Kita dapat melihat Paham kejawen tidak dapat terlepas dari kehidupan orang Jawa. Paham ini sering di identikkan dengan Mistisisme. Menurut Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:749), “Mistisisme adalah ajaran yang menyatakan ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang bersifat gaib. Meskipun tidak seluruhnya anggapan ini benar, tetapi memang dunia kejawen tidak dapat dilepaskan dari mistis dan mistis juga merupakan bagian dari kejawen. Sebelum datangnya agama Hindu dan Budha di Jawa, orang Jawa telah mengenal suatu keyakinan yang bersifat sinkritisme, yaitu Animisme dan Dinamisme. Di sinilah akar permasalahannya dari keyakinan orang Jawa hingga saat ini, sedangkan ajaran Hindu atau Budha hanya sebagai pewarna saja. Dan masuknya agama-agama wahyu termasuk agama Islam ternyata tidak mematikan keyakinan dan paham ini. Ia tetap berjalan secara pasang surut mengikuti perubahan waktu dan perkembangan jaman. Bahkan ajaran Hindu dan Budha mengokohkan keyakinan Animisme dan Dinamisme. Hal itu terwujud dalam bentuk kepercayaan adanya danyang-danyang yang berarti hantu penjaga (rumah, pohon dsb) di tempat-tempat tertentu dan percaya adanya dewa-dewa yang menguasai tempat-tempat di bagian bumi ini. Sesudah masuknya Islam di tanah Jawa pada abad XV justru semakin memberi corak tumbuhnya paham kejawen yang bibit-bibitnya telah turun temurun dan telah diwariskan kepada anak cucu, sehingga menimbulkan fenomena budaya baru yaitu percampuran antara kejawen dengan Islam. Hal ini dapat dicontohkan berkembangnya seni budaya pewayangan dari wali songo sebagai media dakwah Islam. Jadi, “Wayang memang merupakan seni pentas yang paling jitu menjadi sarana hiburan yang sekaligus menjadi wasilah memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa yang dipandang luhur. Dalam pertunjukan wayang diekspresikan tata karma feudal yang halus yang berlaku dikraton” (Simuh, 1999:119). Dengan demikian para wali adalah tokoh penyebar Ajaran Agama Islam yang berdakwah melalui seni, selain disukai masyarkat Jawa sebagai hiburan pada jaman dulu mereka juga mendapatkan makna yang disampaikan oleh wali melalui pertunjukan wayang tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1984:5), “Kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai satu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia”. Wujud pertama sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto, wujud kedua bersifat tentang pola tingkah laku manusia dan bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi. Sedangkan wujud ketiga adalah merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, hal ini berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba. Walaupun demikian masyarakat Jawa cenderung mengaplikasi keyakinan ke arah mistis. Lain halnya dalam kehidupan masyarakat di desa Jumo, dari beberapa warga tidak menjalankan ritual yang ada di masyarakat setempat, mereka beranggapan bahwa kegiatan itu kuno, tidak menguntungkan dan membuang waktu saja sehingga kerab kali kegiatan hanya diikuti 80 % dari jumlah penduduk yang ada di desa Jumo, Kedungjati – Grobogan. Faktor yang mempengaruhi mereka untuk tidak menjalankan ritual karena kurang kesadaran dari pribadi, pendidikan yang rendah dan tidak adanya usaha untuk melestarikan budaya bangsa yang telah turun temurun. padahal makna yang terkandung dalam ritual tersebut mengambil peranan penting dalam keseimbangan antar sesama warga yang keseimbangan itu berbentuk keharmonisan, kerukunan dan kenyamanan. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut penulis mencoba mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul: “Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan Tahun 2009” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka yang menjadi topik permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan? 2. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan? 3. Apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. 2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan? 3. Untuk mengetahui apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen tersebut. D. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian, diharapkan nantinya dapat berguna yaitu sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah, Hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia. 2. Bagi Masyarakat, Sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan masyarkat agar tetap menjaga tradisi peninggalan orang-orang Jawa yang ada sampai saat ini. 3. Bagi STAIN Salatiga, Untuk memperkaya perbendaharaan perpustakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. 4. Bagi Peneliti, Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut. E. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman, suharsono dan Ana Retnoningsih (2005) menyatkan: 1. Makna adalah arti atau maksud dari suatu kata. 2. Ritual adalah berkenaan dengan ritus: tata cara dalam upacara keagamaan. Dan menurut Tim Dosen FIP(1998:02) menyatakan: 3. Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untu membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan menurut Sudirman Dkk (1991:04), “Pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental”. Jadi yang di maksud makna Ritual Kejawen perspektif Pendidikan Islam adalah nilai-nilai Pendidikan Islam dalam sebuah ritual Kejawen sehingga mampu menjadikan manusia untuk lebih dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih baik untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. F. Metode Penelitian Metode penelitian di bagi menjadi delapan tahap, yaitu: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “ Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan”, dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Dengan demikian, “ Pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran)”(Djuanidi Ghani,1997:11). Dalam pendekatan kualitatif ini semua data diperoleh dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, Lexy J. Moleong (2000:4-8) menyatakan Ciri-ciri pendekatan kualitatif sebagai berikut: a. Mempunyai latar alamiah b. Manusia sebagai alat c. Memakai metode kualitatif d. Analisa data secara induktif e. Lebih mementingkan proses daripada hasil f. Penulisan bersifat deskriptif g. Teori dari dasar (grounded thory) h. adanya “batas” yang ditentukan oleh “focus” i. Adanya khusus untuk keabsahan data j. Desain yang bersifat sementara k. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Untuk memperoleh data tentang “ Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan” diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh karena itu, kegiatan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Menurut sumadi Suryabrata (1998:19), ” Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai situasi kejadian-kejadian”. Sedangkan tujuan penelitian deskriptif menurut Husain Umar (1999:29), ” Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat researh dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala tertentu”. Berdasarkan pendapat diatas, pendekatan kaulitatif ini dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada saat penelitian berlangsung, yaitu tentang ” Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan”. 2. Kehadiran Peneliti Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka semua fakta berupa kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah diamati dan dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk selanjutnya ditelaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa Jumo, Kecamatan Kedungjati, Kab. Grobogan, Jawa Tengah, Sebuah desa terpencil yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Uniknya para warga masih memegang tradisi kejawen yang sampai sekarang masih lestari, hal ini juga menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian di desa tersebut. 4. Sumber Data Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy Moleong (2000:112), ” Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau informasi yang diperoleh dari informan yang dianggap penting, selain itu data juga dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Kata-kata atau Tindakan Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain datadata tersebut berupa keterangan dari para informan dari beberapa pihak diantaranya: Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan. b. Data Tertulis (Dokumentasi) Data yang berbentuk tulisan diperoleh dari pejabat desa dan dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan dengan subjek penelitian. c. Foto Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto tentang ” Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan”. 5. Prosedur Pengumpulan Data Agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan seperangkat metode yang sesuai dengan objek dan karakteristik materal yang diangkat. Hal ini dimaksudkan agar sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data seperti yang tersebut di bawah ini: a. Observasi Menurut Hadari Nawawi (1990:100), “Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan percatatan secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusah mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari Jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis. Metode observasi digunakan untuk mengamati bentuk ritual Kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. b. Wawancara atau Interviu Wawancara identik dengan pengumpulan data dengan bertanya langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber. Jadi, “Interviu adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula” (Hadari Nawawi, 1990:111). Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dengan sumber informasi. Metode wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang bentuk Kejawen dan maknanya dari peneliti terhadap perangkat desa, para tokoh agama dan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. c. Dokumen Dalam memperluas pengumpulan data, tehknik ini sangat dibutuhkan. Jadi, “Tehnik ini adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku berhubungan tentang dengan pendapat, masalah teori, dalil/hukum-hukum penyelidikan”(Hadari yang Nawawi, 1990:133). Metode ini digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap sesuatu yang diselidiki oleh peneliti. 6. Analisis Data Menurut Noeng Muhadjir (1996:104) mengatakan, “Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”. Sedangkan Menurut Imam Suprayogo dan Tobroni (2001:192), “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis”. Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi: a. Menetapkan fokus penelitian b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul c. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya d. Pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam pengumpulan data berikutnya; dan e. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya. rangka Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap menganalisis data, sebagai tatap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik kesimpulan (verifikasi)” (Milles, 1992:16-18). Dengan demikian, penulis akan menunjukkan laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data yang penulis mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya. 7. Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data dalam penelitian menggunakan Kriteria kreadibilitas. ini Hal ini ditentukan dalam dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian. Menurut Lexy J. Moloeng (2000:175-178) mengatakan, Pemeriksaan keabsahan data yaitu: a. Perpanjangan keikutsertaan b. Ketekunan pengamatan c. Triangulasi d. Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi e. Analisis kasus negatif f. Kecakupan referensional g. Pengecekan anggota h. Uraian rinci i. Auditing 8. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut: a. Tahap pra lapangan 1) Mengajukan judul penelitian 2) Menyusun proposal penelitian 3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi: 1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian 2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian 3) Pencatatn data yang telah dikumpulkan c. Tahap analisis data, meliputi kegiatan: 1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian 2) Pengecekan keabsahan data d. Tahap penulisan laporan penelitian 1) Penulisan hasil penelitian 2) Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing 3) Perbaikan hasil konsultasi 4) Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian 5) Ujian munaqosah skripsi G. Sistematika Penulisan Dalam sistem pembahasan penulisan skripsi ini, penulis mengajukan pembahasan dari beberapa bab yang berisi tentang keterkaitan tentang studi kasus yang penulis teliti, penulis memberikan gambaran sebagai berikut: Adapun pembahasan dalam skripsi ini: Pada BAB I berisi Pendahuluan, yang memuat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah dan Metode Penelitian. Metode penelitian berisi: Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan. Pada BAB II berisi Kajian Pustaka, yang memuat: yang pertama adalah Ritual Kejawen, Ritual Kejawen itu sendiri mencakup: Pengertian Ritual Kejawen, Aspek-aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam, Bentuk-bentuk ritual Kejawen, Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen dan Tujuan pelaksanaan Ritual Kejawen, yang kedua adalah Pendidikan, pendidikan itu sendiri mencakup: Pengertian Pendidikan, Batasan Pendidikan, Tujuan Pendidikan, Unsur-unsur Pendidikan, Tri Pusat Pendidikan, Bentuk-bentuk Pendidikan dan Hubungan antara bentuk-bentuk ritual kejawen dengan pendidikan. Pada BAB III berisi Paparan Data dan Temuan Penelitian yang mencakup: Paparan Data berisi Gambaran Umum Lokasi dan Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan dan Temuan Penelitian berisi Bentuk-bentuk Ritual Kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, Faktor pendukung dan penghambat adanya Ritual Kejawen dan Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya. Sedangkan BAB IV berisi Pembahasan, BAB V berisi Penutup yang mencakup: Kesimpulan dan Saran. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Ritual Kejawen 1. Pengertian Ritual Kejawen Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang di dalam kehidupan kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa tengah, secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri. Masyarakat Jawa sejak jaman pra-sejarah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya ruh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan ataupun hewan. Mereka beranggapan bahwa di dalam benda-benda atau tumbuhan tersebut memiliki kekuatan ghaib. ”Mereka juga mempercayai jika suatu peristiwa dialami oleh seseorang, orang cenderung menghubungkanya dengan apa yang telah terjadi dan dihayatinya dulu. Tidak jarang pula hal itu dilihat sebagai suatu tanda atau peringatan akan terjadinya sesuatu di masa datang”( Hans J. Daeng, 2000:79). Pola pikir seperti ini oleh masyarakat Jawa mendorong manusia agar lebih hati-hati dalam bertingkahlaku agar selaras dan harmonis dalam menjalani kehidupan ini. Ada dua faktor yang menyebabkan keyakinan atau paham kejawen ini masih berlangsung sampai sekarang ini, yaitu : a. Faktor Intern Hal ini tidak terlepas dari sikap hidup orang Jawa yang telah meyakini betul dengan nilai-nilai kejawen. Orang Islam tradisional menganggap kejawen adalah merupakan kelengkapan utama dalam kehidupan sehari-hari. Dan belum lengkap dalam menjalankan agama Islam tanpa dicampuri dengan nilai-ailai ajaran Kejawen. Mereka kalangan orang Jawa masih banyak melakukan ritual-ritual kuno seperti ciri magis pewayangan, pengorbanan kerbau atau hewan tertentu bahkan ketika mereka sudah menyatakan ke-Islamannya. Karena itu mereka menjalankan agama hanya sebatas pada pelaksanaan syari‟at rukun Islam yang lima. Sedangkan mereka butuh ketenangan batin dan media atau sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. b. Faktor Ekstern. Hal ini banyak diwarnai oleh perjalanan sejarah Jawa. Selain di dalam buku Horoskop Jawa (Primbon) disebutkan adanya larangan keras untuk mantu atau menggelar hajatan (pernikahan) di bulan Suro pada hari senin dan selasa. Atau pada tanggal 6, 11, 13, 14, 17, 18, 27 yang mereka sebut sebagai tanggal-tanggal naas atau sial. Paham Kejawen justru dikokohkan oleh Islam yang diajarkan oleh para Walisongo. Antara lain Tawassul. Pengkultusan orang-orang tertentu, larangan menyembelih hewan tertentu (Baca : Sapi) karena untuk menghormati ajaran Hindu dan lain sebagainya. Menurut Ragil Pamungkas (2006:31-32), ”Dalam Agama Islam tidak mengajarkan sesembahan terhadap benda-benda selain hanya kepada Allah SWT. Akan tetapi setelah Islam masuk di tanah Jawa, para Walisongo tidak menghilangkan budaya-budaya asli orang Jawa melainkan para Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam upacara atau ritual tersebut dengan mengganti keberadaan sesaji dengan penyajian baru seperti menu tumpeng dan kenduri”. Contoh dari ritualritual asli Jawa yang telah dimasuki ajaran-ajaran Islam di antaranya seperti upacara : Mitung Dino, Patang Puluh Dino, Nyatus, Mendak, Nyewu, dan lain-lain. Pada dasarnya adat Kejawen mengajarkan manusia untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan, menghormati antar sesama manusia, dan mahkluk-makhluk lainnya. Secara garis besar dapat penulis simpulkan bahwa kejawen berisi pengungkapan seseorang yang ingin dekat dengan Tuhan melalui berbagai cara yang telah turun- temurun diwariskan dari orang-orang Jawa agar hidupnya selaras, harmonis dan bahagia. Penulis menemukan sesuatu yang unik dari tradisi sawanan oleh warga desa Jumo, kecamatan Kedungjati kabupaten Grobogan, sawan ini terdiri dari daun alang-alang, kencur, dlingu, bawang putih dan merah serta garam selanjutnya ditumpu hingga lembut. Fungsi sawan ini oleh warga desa Jumo diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit, tak heran orang yang sakit panas, demam dan penyakit kulit seperti dompo, seluruh badanya dioles sawan hingga rata di seluruh badan maka apa yang terjadi si penderita panasnya atau demamnya menurun. Hal ini menunjukkan Ilmu medis yang dimiliki orang Jawa sangat mujarab yang belum tentu dengan Ilmu kedokteran dapat menyembuhkan orang sakit. 2. Aspek-aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam Tradisi dari orang jawa merupakan proses akulturasi antara budaya Jawa dan Islam, Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek ritual, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Proses akulturasi budaya Jawa dan Islam Dalam proses akulturasi ini ada 2 pendekatan mengenai bagaimana cara yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat di serap menjadi bagian dari budaya Jawa. Yang pertama : Islamisasi kultur Jawa mulai pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam baik secara formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan, peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Pendekatan kedua : Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa. Maksudnya disini adalah meskipun istilahistilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungannya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi menJawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawen atau Jawa yang ke-Islaman sehingga timbul istilah Jawa atau Islam kejawen, sebagai contoh penggunaan sebutan Jawa In pandum yang pada hakekatnya terjemah dari tawakal. Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan itu merupakan strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap moderat serta mengutamakan keselarasan. Dari percampuran kedua budaya tersebut. penulis memiliki penilaian yaitu ketika dimensi keberagaman orang Islam Jawa termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, saya menilai bahwa percampuran itu masih sebatas pada segi-segi lahiriyah sehingga Islam seakan hanya sebagai kulitnya saja, sedangkan nilainilai esensialnya adalah Jawa. b. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam aspek Kepercayaan. Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek kepercayaan dan memiliki keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental terumuskan dalam aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang harus dipercayai oleh orang muslim. Kemudian dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan pada ajaran hindu terdapat kepercayaan adanya para dewata, terhadap kitabkitab suci, para resi, roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Dalam agama budha terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadam keinginan), dan morga (jalan kelepasan). Adapun pada agama primitif sebagai orang Jawa sebelum kedatangan hindu ataupun budha terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan-kepercayaan dari agama hindu, budha, maupun animisme dan dinamisme ini dalam proses perkembangan Islam berinteraksi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam, yang meliputi pada aspek keTuhanan, prinsip ajaran Islam telah tercampur dengan berbagai unsur kepercayaan hindu, budha maupun kepercayaan primitif. Contohnya seperti sebutan Allah SWT. Orang Islam kejawen menyebut Tuhan sebagai istilah Gusti Allah dua istilah ini merupakan gabungan kata dari bahasa Jawa dan bahasa arab. Kata Gusti dalam bahasa Jawa berarti pihak yang dihormati, dijunjung, dan diharap-harapkan dapat memberikan pengayoman dan perlindungan, sedangkan kata Allah diambil dari bahasa arab yang berarti nama dari Tuhan dalam agama Islam. Dalam kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada agama Islam, tetapi juga ada dalam agama hindu maupun kepercayaan primitif dan tampaknya telah saling mengisi. Namun setan, jin (Islam) dan raksa (hindu) telah dikategorikan sebagai jenis makhluk halus atau roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma seperti manusia atau hewan. Terdapat pula sejumlah nama makhluk halus, setan-setan berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan Dharat, Setan Bisu, Setan Mbelis, Dhemit, Memedi, dan lain-lain. Adapun setan yang sejenis kelamin wanita seperti Wewe, Kuntil Anak dan Sundel Bolong, Tuyul dan lain-lain. c. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam aspek Ritual Ritual atau ritualistic adalah kegiatan yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun Islam yaitu, syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic diatas. Dalam ritual sholat dan puasa, selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula sholat-sholat dan puasa sunnah. Yang intisari dari sholat adalah doa yang ditunjukkan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. Dalam do‟a dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai saat kematiannya. Selain itu ada juga upacara-upacara yang di lakukan berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah contohnya, para petani, pedagang, nelayan, dan upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal, contoh pindah rumah, membangun gedung untuk berbagai keperluan dan meresmikan rumah tinggal. Berbagai macam upacara-upacara di atas dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan orang Jawa, upacara dilakukan dengan dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, makhluk-makhluk halus, dewa-dewa) tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah Islam datang , secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selamatan. Dalam upacara selamatan ini yang pokok adalah pembacaan do‟a yang dipimpin oleh kiai atau moden. Seperti halnya dikatakan oleh Niels Mulder (1999:34) bahwa: Dalam selamatan ini terdapat seperangkat makanan yang dihidangkan kepada peserta selamatan, serta makanan yang di bawa pulang ke rumah yang disebut berkat. Bisa dikatakan bahwa itu merupakan wujud dari kerukunan yaitu cara untuk menciptakan relasi yang harmonis antara orang-orang dekat, yang tidak harus intim/akrab, tetapi yang cukup dekat untuk harus hidup bersama satu sama lain. Selain tatanan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai yang dapat diambil dari tradisi Kejawen cukup besar. Karena dapat mempengaruhi pola pikir manusia. Semula orang yang angkuh dan sombong dengan tetangganya dapat luntur dan membaur. Kebersamaan adalah kunci utama dalam pergaulan dan saling merasa memiliki untuk berbagi tanpa membedakan kaya atau miskin, sehingga kesenjangan sosial dan perselisihan terhindarkan Dengan pola inti yang serupa itulah nilai-nilai Islam telah merasuki pelaksanaan upacara selamatan dalam berbagai bentuknya. Kita dapat melihat Budaya Jawa sangat luwes menerima kehadiran budaya apa saja terutama dalam bentuk-bentuk ritual Kejawen serta sudah terbukti menyatu dalam tradisi yang selalu dilakukan secara rutin di tengah masyarakat Jawa. 3. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen a. Upacara Tinkeban atau Mitoni Berkaitan dengan upacara tingkeban atau mitoni, Koentjaraningrat (1994: 350-351) menyatakan sebagai berikut: Upacara pertama yang dinamakan tingkeban diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan, yang antara lain terdiri dari suatu slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam laukpauk, dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda pula. Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan mantera-mantera. Adapun larangan untuk makan berbagai makanan tertentu, seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan yang berpatil, dan buah-buah yang letak bijinya melintang, sebenarnya sudah mulai sejak awal kehamilanya, Orang-orang tua seringkali memberikan makna yang berbeda terhadap berbagai pantangan makanan itu yang hampir semuanya mempunyai arti simbolik yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan serta berdasarkan asosiasi pikiran yang sederhana. Buah-buahan dengan biji-biji yang tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi letak yang salah dari si jabang bayi. Dengan demikian masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam menjaga bayi yang di kandung oleh seorang ibu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti cacat fisik. b. Upacara Kelahiran Pada hari kelahiran bayi diadakan suatu slametan pemberian nama, yaitu slametan brokohan. Koenjtaraningrat (1994: 354) juga menyatakan: Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari,. Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Dalam upacara Islam santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak laki-laki) dan 1 ekor kambing (untuk anak perempuan). c. Upacara Sunatan Menurut M. Afnan Chafidh dan A. Ma‟ruf Asrori (2006:63),”Menurut bahasa, khitan berarti memotong kuluf (kulit) yang menutupi kepala penis. Sedangkan menurut istilah syarak, khitan adalah memotong bulatan kulit di ujung hasafah, yaitu tempat pemotongan penis”. Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri yang berbeda-beda. Ada yang melaksanakan khitan antara usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat lain dilaksanakan ketika anak berusia antara 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Karena itu sering kali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelameken, yang mengandung makna mengIslamkan (ngIslamake). Walaupun demikian hukum Islam menganjurkan agar sunatan di lakukan pada saat seorang anak berumur tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu. Berkaitan dengan hal tersebut Koentjaraningrat (1994:357-358) menyatakan sebagai berikut: Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada harihari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain, upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pria berumur empat sampai tujuh tahun; akan tetapi keluarga-keluarga penganut agami Jawi pada umumnya menghubungkan sunatan dengan umur akil baliq, di samping sebagai peresmian masuk Islam, dan karena itu mengadakanya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun. d. Upacara Pernikahan Dalam setiap daerah di Jawa Tengah, pernikahan merupakan ritual yang sangat penting sehingga sebelum diadakanya pesta perayaan pernikahan para keluarga dan kerabat sangat sibuk mempersiapkan segala kelengkapan dalam perayaang pernikahan tersebut. Hal ini dikatakan oleh koenjtaraningrat (1994:130), “Upacara pernikahan anak wanita yang pertama terutama merupakan kejadian yang sangat penting dalam suatu keluarga. Sudah berminggu-minggu sebelumnya keluarga mempelai wanita sibuk melakukan berbagai persiapkan untuk perayaan itu”. Upacara ini bukan sekedar pesta, Tradisi seperti ini dianggap penting dan seolah-olah menjadi wajib oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam tujuan yang berbeda di seluruh Jawa Tengah. Jadi, “Semua kegiatan dilakukan oleh para kerabat, berbagai hidangan slametan, upacara siraman, upacara merias pengantin wanita (paes), perayaan midadareni pada malam menjelang hari pernikahan dan sebagainya, yang telah dideskripsi mengenai suatu pernikahan Di desa, juga dijalankan pada pernikahan keluarga priyayi”(Koentjaraningrat, 1994:259). Agar upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji kepada kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka. Beberapa selamatan yang dilaksanakan dalam upacara perkawinan di antaranya: selamatan hari sebelum pernikahan atau pada hari sebelum upacara pemberian seserahan (pemberian mahar) ditunjukkan untuk mendapatkan keberuntungan bagi kedua pengantin. Selamatan pada malam sebelum dilangsungkannya pernikahan (malam widadaren) dan pada malam sesudah pernikahan diadakan sesajian yang dinamakan selamatan penganten. Dengan membaca do‟a qunut dan menggunakan beras kuning , ayam bersantan dan makanan pelengkap lainnya. Setelah 3\4 hari setelah pernikahan diadakan selamatan bagi atau peserta susulan yaitu Ngunduh mantu yang lebih bersifat keagamaan yang bertujuan untuk mendapatkan berkah dari Allah dan Nabi Muhammad. Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti kita jumpai symbol-simbol yang mempunyai makna tertentu seperti janur kuning dan macam-macam sesaji. Disebelah kanankiri‟gapura‟janur kuning, terlihat pula ada tebu, cengkir, dan pisang raja yang diikat pada dua tiang didepan ruang pertemuan resepsi. Berkaitan dengan itu Wawan Susetya (2007: 33-34) menerangkan: Pertama, pisang raja maknanya sangat jelas sebagai simbolik dari Raja. Artinya, pernikahan atau perkawinan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan: kelahiran, perkawinan dan kematianya. Dan, sang mempelai didudukan di „singgasana rinengga‟ dengan pakaian ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan dan kegembiraan. Kedua, tebu. Orang Jawa mengartikan dengan ungkapan mantebing kalbu (mantapnya hati/kalbu), karena Tanaman tebu rasanya manis dan menyegarkan. Ketiga, cengkir (buah kelapa yang masih muda); maknanya adalah kencenging piker (pikiran yang lurus). Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam memepertahankan pernikahanya, sehingga mampu menghadapi suka maupun duka bersama dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga. Sedangkan Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (2007:33-34) mengatakan bahwa: Sepasang pohon pisang raja yang berbuah maknanya adalah agar mempelai kelak menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga, lingkungan dan bangsa. Sedangkan sepasang tebu maknanya adalah dari mempelai diharapkan agar sagala sesuatu yang sudah dipikir matang-matang dikerjakan atau dilaksanakan dengan tekat yang bulat pantang mundur. e. Upacara Kematian Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan, diadakan selamatan mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari) mendak sepisan (satu tahun), mendak pinda (dua tahun) dan yang terakhir nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan bulan-bulan hijriah seperti: upacara ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah haji. f. Nyadran Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:246), “Nyadran berarti melaksanakan upacara „sadran‟ atau „sadranan‟ yang sampai saat ini masih terkenal dalam masyarkat Jawa dan dilakukanya dengan patuh. Upacara ini dilaksanakan dalam bulan Ruwah atau Sya‟ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa didalam bulan puasa (Ramdhan)”. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain : 1) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa. 2) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan. 3) Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih). Menurut Mark R. Woodward (199:121), “Ziarah kubur itu diperbolehkan asal tidak meminta berkah atau pemberian dari orang yang sudah mati, melainkan makna ziarah kubur adalah cara yang tepat agar manusia ingat dengan kematian”. Jadi, “manfaat menabur bunga adalah seketika menyebarkan bau segar di makam yang biasanya kurang nyaman baunya. Ditambah pula dengan bau kemenyan yang menyentak hidung sekaligus mengubah suasana kuburan yang sepi dan terkesan angker menjadi tenang dan seriuskhidmat”. (Karkoyo Kamajaya 1995:253). g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen Ruwatan berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala (simbol kejahatan). Prosesi ruwatan diawali dengan menyiapkan sesajen di altar berukuran besar, sedikitnya 60 jenis sesajen. Seluruh bahan yang digunakan menggunakan hasil bumi. Ada buah-buahan, sayuran, tumpeng berukuran besar dan peralatan para petani. Masingmasing bagian sesajen memiliki makna khusus. Dua sesajen paling menonjol tumpeng lanang dan wadon. Tumpeng lanang terbuat dari buah-buahan, tumpeng wadon dari nasi dan sayur-sayuran. Jadi, ”Menu tumpeng yang telah disediakan ditujukan untuk menyampaikan pesan dari wali untuk selalu mengingat kepada Tuhan. Contoh adanya apem dalam tumpeng tersebut. Apem diambil dari kata “ampun” yang berarti manusia diarahkan unuk meminta ampun atas segala dosa yang pernah diperbuatnya”(Ragil Pamungkas, 2006:33). h. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian Ritual ini dilakukan saat panen tiba tepatnya saat menuai padi disawah dengan perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung (ayam kampung yang telah di bakar dengan bumbu) dan buah-buahan. Setelah siap maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah dengan dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai acara yang kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masing-masing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil pertanian. Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan hasil pertanian. Menurut Suwardi Endraswara (2003:13), ”Slametan adalah manifestasi kultur Jawa asli. Di dalamnya lengkap dengan symbol-simbol sesaji, serta menggunakan mantra-mantra tertentu. Karenanya, slametan boleh dikatakan merupakan wujud tindakan ritual dengan teks-teks religi terdahulu”. Jadi tradisi Slametan tidak akan pernah mati dalam setiap kehidupan Orang Jawa. 4. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen UUD 1945 Pasal 32 yang isinya Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia artinya Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama yang asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Berhubungan dengan hal tersebut, Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:259) menyatakan sebagai berikut: Usaha kebudayaan harus menuju kearah adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri. Menurut hemat saya Tradisionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan Islam dan tidak pula harus menghambat modernisme. Tradisi juga tidak perlu ditentang, diuber-uber, dicurigai, diolok-olok sebagai hal yang harus diberantas dan dianggap menghambat kemajuan. Disisi lain Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:286) mencermati bahwa: Konsep kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas tidak hanya mencakup unsur-unsur yang material, akan tetapi juga yang imaterial. Ini mengandung arti, kebudayaan Jawa tidak dilihat secara konvensional, terbatas pada segi-segi sastra, seni dan sejarah, akan tetapi juga segi-segi yang lebih luas meliputi filsafat, religi, tradisi, hukum, politik, ekonomi, teknik, teknologi, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Sedangkan Kuntowijoyo (1991:228-229) menyatakan sebagai berikut: Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bawa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu , dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhya kepada-Nya. Jadi tujuan manusia adalah mengabdikan diri pada Allah SWT, yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Akan tetapi sistem Tauhid ini mengarah kepada perbuatan dan tindakan manusia; keduanya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh sebab itu konsep tentang Iman dan Tauhid harus di aktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan, contoh: perintah zakat. Tujuan utama bersifat humanistik, artinya manusia harus patuh dan memusatkan diri pada Tuhan dan tujuanya untuk kepentingan mansuia. Disisi lain kuntowijoyo (1991:235) berpendapat bahwa: Kebudayaan yang ada di indonesia itu banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa banyak mengadopsi konsep-komsep Islam. Kita juga melihat ekspresi-ekspresi ritual oleh orang Jawa, sebagai contoh: Upacara „Pangiwahan‟, upacara itu di maksudkan agar manusia menjadi „wiwoho‟, menjadi mulia. Jadi misalnya kita harus memuliakan kelahiran, perkawinan atau bahkan kematian. Semua ritual itu di maksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai mahluk yang mulia. Kuntowijoyo menambahkan, pengaruh Islam juga sangat terasa dalam upacara-upacara sosial dan kesenian tanpa menghilangkan unsurunsur budaya Jawa. Misalkan Terbangan, Qasidah dan Gambus, jenisjenis musik ini belum pernah dikenal sebelum terjadinya penyebaran Islam di Indonesia. Kita bisa melihat seni tembang dalam jenis laras madya yang meskipun menggunakan teks-teks Jawa tetapi berisi shalawatan, atau semacam puji-pujian kepada Nabi. 5. Tujuan pelaksanaan Ritual Kejawen Dalam ajaran Kejawen juga terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni: hawa nafsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya. Menurut pandangan kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segisegi halusnya. Manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan dan merusak ketentraman yang mengganggu stabilitas kebangsaan. Kesimpulanya adala bahwa Ajaran Kejawen berisi kaidah-kaidah budi pekerti yang luhur, maka untuk menciptakan seperti yang diajarkan oleh orang Jawa, manusia diajari untuk mengendalikan nafsu yang berisi kesabaran, pengendalian diri, tidak sombong, bertanggungjawab, dermawan, dsb. Untuk mengimbangi agar nafsu terkontrol yang perlu dilakukan oleh puasa, giat menolong, mengubur nafsu (riak, takabur, sombong, sok pamer, bahkan angkuh tidak mau menghormati orang lain). Setelah mempelajari nafsu dalam diri maka yang disoroti dari ajaran Kejawen adalah pamrih, yang merupakan ancaman kedua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Hal ini juga dapat kita katakan sebagai bentuk mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat, mengacaukan ketentraman hubungan antar individu karena tindakan tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya, serta pamrih juga akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Secara nalar pamrih tidak bisa menimbulkan perasaan puas yang mendalam, yang ada hanyalah selalu merasa kurang dan kurang dalam memenuhi kebuTuhannya sendiri. Pamrih itu seperti apa, sehingga manusia tidak bisa menyempurnakan ketulusan ibadahnya kepada Allah SWT. Untuk itu dari hasil wawancara penting penulis definisikan bentuk-bentuk yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu. 1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni nafsu golek menange dhewe, selalu ingin menangnya sendiri tanpa peduli akibatnya. 2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar, yakni nafsu golek benere dhewe. 3. Nafsu selalu mementingkan kebuTuhannya sendiri, yakni nafsu golek butuhe dhewe, kelakuan buruk seperti itu disebut juga aji mumpung, misalnya mumpung berkuasa lantas melakukan korupsi, tanpa peduli nasib orang lain. Di dalam pamrih sendiri menurut KH. Sururi wawancara pada tanggal 27 Juli 2009 jam 15.00 WIB mengatakan,”Terdapat beberapa definisi nafsu yang terkandung di dalamnya, yaitu: a. Pamrih karena pekerjaannya Yakni nafsu seseorang ingin diberikan imbalan lebih karena pekerjaannya, padahal pekerjaan itu belum tentu bagus atau memuaskan. b. Pamrih atas kesombongan harta yang dimilikinya. Yakni seseorang yang telah berzakat paling banyak dalam mengeluarkan hartanya, orang itu meminta agar namanya di umumkan kepada orang banyak, agar terkenal dan terlihat dermawan dst”. Setelah beberapa uraian di atas puncak dari kebudayaan Jawa tertuju kepada Allah SWT, manusia selalu ingin mencari tujuan hidupnya untuk selalu menyempurnakan ibadah dan akhlaqnya. Agar selalu dapat ridho Allah SWT melalui upacara-upacara adat itulah manusia tidak sengaja melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, misalkan kepada manusia; ritual dapat mendekatkan diri kepada lingkungan warga sehingga tercipta kerukunan dan ketentraman, bukankah Allah SWT menyayangi manusia untuk berbuat baik asal tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam. Dapat penulis simpulkan, ritual Kejawen merupakan pembentukan sikap dan mental. Mulai dari pengendalian nafsu maupun ungkapan syukur dan melakukan pemujaan tertinggi pada Tuhan Pencipta Alam. Walaupun seringkali manusia Jawa berbeda-beda dalam tata cara mengungkapkannya yang jelas secara normatif tidak membentuk pola pikir yang dapat menyesatkan manusia serta tidak menuju dalam bentuk kemusyrikan. Sebenarnya filosofi Jawa memiliki paham yang sangat luhur. Salah satunya, sudah seperti penulis uraikan di atas yaitu menciptakan kerukunan dan kedamaian. Di mata Tuhan, tiap insan dipandang sama, tidak dikenal agama dan tingkat sosialnya, semuanya sama dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan itu melambangkan keaslian masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan budi pekerti luhur. Untuk mengerti tujuan hidup, seseorang wajib memahami asal kehidupan ini dan bagaimana menyesuaikan diri agar hidup selaras dan harmonis dengan makhluk ciptaan Tuhan serta menganggap diri sebagai pelayan Tuhan. Jadi, ”Perjalanan menuju Tuhan harus ditempuh dengan seperangkat laku. Laku merupakan jalan untuk menempuh kehidupan spiritualitas yang tertinggi, yaitu penyatuan hamba dengan Tuhannya (manunggaling kawula gusti). Penyatuan hamba dengan Tuhan dan hakikat hidup manusia adalah sejalan dengan apa yang telah Tuhan Tetapkan dan ini merupakan tujuan utama masyarakat Jawa”(Suwardi Endraswara, 2003:135). Dalam Islam, sumber kehidupan spiritualitas yang tinggi adalah Iman. Islam sebagai agama dakwah memiliki nilai asasi dalam kehidupan umat manusia, yaitu meletakan nilai-nilai KeTuhanan atau Iman. Kita mengetahui Tuhan adalah asal dan tujuan, dan bahkan pencipta semua wujud yang lahir dan batin, dan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya. Oleh sebab itu manusia harus melakukan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Filosofi Jawa memiliki paham yang sangat luhur. Salah satunya, menciptakan kerukunan dan kedamaian. Di mata Tuhan, tiap insan dipandang sama, tidak dikenal agama dan tingkat sosialnya. Semuanya sama dan kembali pada Yang Esa. Keyakinan inilah yang diajarkan kepada para penganut kejawen. Paham ini melambangkan keaslian masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan budi pekerti luhur. Tiap orang diartikan sebagai pelayan Tuhan, tidak ada lawan. Yang ada hanyalah sikap sama dan saling menghargai. Mereka yang mengikuti paham kejawen diwajibkan memahani seluruh jati diri dan makna hidupnya. Dengan cara inilah seseorang akan mengerti ke mana akan pergi dan dari mana asalnya. Untuk mengerti tujuan hidup, seseorang wajib memahami asal kehidupan ini. Kita berasal dari satu unsur, yakni Tuhan Yang Maha Esa. B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Menurut Tim Dosen Fakultas ILmu Pendidikan IKIP Malang (1988:2-7), “ Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarkat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya”. Menurut buku Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR RI NO.IV/MPR/73) dikatakan bahwa, “ Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. (Sutari Imam Bernadib,1982:29). Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (Choirul Mahfud, 2006:33). Jadi , Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang. Pendidikan juga berarti usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. 2. Batasan Pendidikan Dibawah ini penulis kemukakan beberapa batasan pendidikan: a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri. c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. 3. Tujuan Pendidikan Kohsntamm seorang ahli pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah membantu seseorang dalam upaya proses pemanusiaandiri sendiri untuk mencapai ketentraman batin yang paling dalam, tanpa mengganggu atau tanpa membebani orang lain”(Kartini Kartono,1992:219). Namun secara garis besar Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. 4. Unsur-unsur Pendidikan Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu: a. Subjek yang dibimbing (peserta didik). Menurut pengertian secara khusus, peserta didik dapat di artikan orang yang belum dewasa atau orang yang masih menjadi tanggungjawab pendidik (Sutari Imam Barnadib, 1982:39). Dalam hal ini Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah: 1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik. 2) Individu yang sedang berkembang. 3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. 4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri b. Orang yang membimbing (pendidik) Pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnadib, 1982:38). Disisi lain Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat. c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif) Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan. d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan) e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan) f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode) g. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan) 5. Tri Pusat Pendidikan Faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah lingkungan, meliputi kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan dan perkembangan. Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan, namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu pengaruhnya yang sangat besar terhadap perkembangan kita, sebab bagaimanapun kita tinggal dalam satu lingkungan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi pola pemikiran kita. Pada dasarnya lingkungan mencakup lingkungan Pendidikan, lingkungan budaya, dan lingkungan sosial. Lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan(pakaian, keadaan rumah, alat permainan, bukubuku, alat peraga, dll) dinamakan lingkungan pendidikan. Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu kita dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal. a. Keluarga Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik. Pendidikan keluarga berfungsi: 1) Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak 2) Menjamin kehidupan emosional anak 3) Menanamkan dasar pendidikan moral 4) Memberikan dasar pendidikan sosial. 5) Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak. b. Sekolah Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah. Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut; 1) Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik. 2) Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah. 3) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan. 4) Di sekolah diberikan pelajaran etika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya. keagamaan, estetika, c. Masyarakat Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas. Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan. Jadi, Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan kontribusi yang besar dalam ketiga kegiatan pendidikan, yakni: 1) pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya 2) pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan 3) pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan 6. Bentuk-bentuk Pendidikan Bentuk-bentuk Pendidikan meliputi prndidikan formal, nonformal, dan informal sebagai sebuah sistem. Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan. C. Hubungan antara Ritual Kejawen dengan Pendidikan Hubungan antara bentuk-bentuk ritual kejawen dengan pendidikan sebagai berikut: 1. Mengenalkan kegenerasi muda agar hidup sesuai dengan norma dan nilainilai yang berlaku dimasyarakat 2. Ritual Kejawen dapat dimanifestasikan sebagai sarana sosialisasi antar masyarakat sehingga tercipta kerukunan dan kenyamanan. 3. Melindungi setiap individu dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik. 4. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data 1. Gambaran Umum Lokasi Seperti dikatakan oleh Kepala Desa Bapak Harnomo wawancara pada tanggal 24 Juni 2009 Jam 14.00 WIB, ”Nama desa Jumo diambil dari nama seseorang yang termasuk sesepuh Desa. Dia bernama mbah Jumo seseorang yang pertama kali tinggal di Desa Jumo”. Dahulu desa Jumo merupakan area Hutan yang dominan ditumbuhi pohon Jati, namun pada awal tahun 2000 terjadi penjarahan kayu jati secara besar-besaran sehingga mengakibatkan hutan gundul dan sering terjadi banjir saat musim penghujan. Sejak saat itu di desa Jumo yang semula berhawa sejuk berubah menjadi panas. Desa Jumo merupakan daerah pedesaan dengan memiliki 6 dusun di antaranya dukuh Dawung, Krangkong, Persen, Gajahmati, Karangrandu dan Kebonagung. Masyarakat hidup dari pertanian dengan kondisi tanah tadah hujan yang sangat sempit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit pula para warganya peralihan profesi ke arah wirausaha, merantau dan bagi yang tidak memiliki ladang mereka bekerja sebagai buruh tani. Adapun desa Jumo termasuk dalam wilayah Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, letaknya ditengah- tengah area desa Bringin kabupaten Semarang sebelah utara dan sebelah selatan berbatasan dengan desa Kapung kecamatan Tanggungharjo. Pada Tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 4.287 jiwa terdiri dari 2.097 jumlah laki-laki dan 2.190 jumlah perempuan yang terbagi dari 9 RT dan 28 RW. Infra struktur rumah warga 90% terbuat dari kayu berlantai tanah atau kayu papan (trompo) sedangkan sekitar 10% merupakan bangunan penting desa Jumo terbuat dari tembok misalkan: Sekolahan, Kantor Kelurahan, Puskesmas dan Masjid. Warga desa menganggap rumah yang terbuat dari kayu atau papan mudah dijual sewaktu-waktu dan dapat dipindah-pindah dari satu tempat ketempat lainya. Pada umumnya setiap rumah yang ada di desa Jumo tempat MCK kurang memadai bahkan ada rumah warga yang tidak memiliki WC serta kurang memperhatikan penerangan dan ventilasi yang cukup sebagai rumah sehat. Adapun jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai petani sekitar 80% dan untuk 20% dibagi atas buruh, merantau dan berdagang. Secara geografis wilayah desa Jumo dibatasi oleh: a. Desa Kalimaro sebelah utara b. Desa Penadaran sebelah timur c. Desa Mliwang sebelah barat d. Desa Kapung sebelah selatan Untuk jarak desa Jumo ke selatan Kota Purwodadi-Grobogan sejauh 30 km sedangkan kearah utara desa Bringin-Semarang yang jaraknya 25 km. Desa dialiri listrik dimulai pada tahun 1992 itupun masih terbatas hanya daerah-daerah yang ada dipinggir jalan raya. Kondisi fisik jalan raya di desa itu belum pernah di aspal sampai sekarang (Juli 2009) jadi saat terjadi musim penghujan kondisi jalan raya sangat becek dan banyak terdapat lubang serta terdapat genangan air ditengah-tengah badan jalan sehingga mengganggu aktifitas. Tidak ada kasus sosial dari tahun ketahun tetapi sering terjadi penebangan kayu secara illegal di hutan oleh warga sekitar dan tidak adanya Reboisasi Hutan. Pendidikan formal warga 80 % lulus SD, 15% SMP/SMA dan 5% Perguruan Tinggi. Sehingga terlihat jelas dari SDM yang dimiliki masyarakatnya dan tidak adanya keahlian khusus oleh warga maka jalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah bertani. Di desa terpencil ini sarana pendidikan meliputi 3 buah TK, 3 buah SD, 1 Madrasah Diniyah dan 1 buah SMP serta memiliki beberapa sarana peribadatan umat Islam karena mayoritas Agama masyarakat desa Jumo adalah Islam maka disitu terdapat 6 buah Masjid dan 13 Mushola/ langgar. Kepala desa jumo bapak Harnomo mengatakan para warga mayoritas beragama Islam, maka setiap Dusun memiliki satu Buah masjid dan beberapa mushola agar masyarakat dapat beribadah secara nyaman karena dekat atau mudah di jangkau dengan berjalan kaki. Masyarakat juga rutin melakukan kegiatan yang bernuansa Islami seperti Tahlilan, Pengajian, Manakib, Kenduren, Yasinan dll. Untuk jadwal yasinan disetiap RT yaitu kelompok Ibu-ibu di laksanakan pada hari kamis malam atau malam jum‟at di rumah warga secara bergiliran dari rumah ke rumah dengan di pimpin oleh seorang ustadz yang bertugas sebagai pembawa do‟a. isi dari kegiatan itu adalah tahlilan, membaca surat Yasin dan pembacaan do‟a. Kegiatan religi lainya adalah pengajian yang di hadiri khusus ibi-ibu satu kelurahan yang di adakan setiap minggu pon dalam kalender Jawa. Pada hari tersebut kurang lebih 280 jamaah yang hadir dibagi dari 6 dusun. sedangkan manakib adalah kegiatan untuk lakilaki dilaksanakan pada senin malam ba‟da magrib yang inti kegiatanya sama dengan yasinan. 2. Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan Hampir Pandangan hidup orang Jawa sama disetiap daerah wilayah Jawa Tengah sama yaitu menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Pandangan tersebut memiliki gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya hal itu memberikan suatu pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup. Orang Jawa juga menganggap bahwa pokok kehidupan dan status dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka harus menanggung kesulitan hidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan dari Tuhan sehingga menimbulkan perasaan keagamaan dan rasa aman. Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, Kesadaran akan budaya ini sering kali mereka tetapkan sebagai sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa secara mendalam sebagai kejawen. Tetapi Pemahaman orang Jawa Kejawen juga ditentukan oleh kepercayaan mereka pada berbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah secara tidak sengaja. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen yang dipercaya dapat menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi, aneka makanan bahkan bunga tujuh rupa. B. Temuan Penelitian 1. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen di Desa Jumo, Kec. Kedungjati, Kab. Grobogan Setelah terjun kelapangan di desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. Penulis menemukan bentuk-bentuk ritual kejawen beserta nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual Kejawen tersebut sebagai berikut: a. Upacara Tinkeban atau Mitoni Sebelum upacara tinkeban atau mitoni di adakan slametan 4 bulanan yaitu ketika janin dalam kandungan berumur 4 Bulan (roh datang ke bayi) isi sajian dalam slametan berupa telur bebek 4 buah, nasi kluban, buah-buahan, tumpeng. Dan di hidangkan untuk tamu undangan setelah selaesai tamu undanagan di berikan Berkat. Di desa Jumo Upacara tingkeban diadakan saat kandungan ibu hamil berumur tujuh bulan, di dalam tingkeban terdapat slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini terdiri dari nasi tumpeng dengan tujuh macam laukpauk, dawet, jajanan pasar dan rujak yang terdiri dari buah-buahan yang di beli dari pasar tradisional. Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu melaksanakan berbagai syarat seperti mencuci rambutnya seminggu sekali serta mandi dengan air kembang mawar. Di sarankan seorang calon ibu untuk makan berbagai makanan tertentu yang mengandung protein yang tinggi seperti makanan dari laut. Adapun Pantangan yang di tujukan kepada seorang suami untuk tidak membunuh hewan apapun kerena untuk menghindari cacat fisik terhadap si jabang bayi. Menurut Ibu Maspiyah pada wawancara tanggal 26 Juni 2009, Jam 16.35 WIB mengatakan, ” Pelajaran yang dapat dicerna adalah dapat memberikan sugesti rasa suka cita pada calon ibu yang lain karena sebentar lagi akan lahir bayi yang lucu”. Beliau juga menambahkan, dengan adanya tradisi itu juga dapat menjaga silaturahmi antar warga karena dapat berkumpul walaupun hanya sekedar pitonan. b. Upacara Kelahiran Masyarkat Jumo merayakan slametan brokohan pada hari kelahiran bayi dan di adakan pemberian nama si jabang bayi, Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari, Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Mereka juga mengundang warga untuk di adakan tahlilan dan mendo‟akan si jabang bayi agar menjadi anak yang soleh dan solehah. Sedangkan Dalam upacara Islam santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak laki-laki) dan 1 ekor kambing (untuk anak perempuan). memberikan nasi dan kluban untuk di hidangkan pada anak-anak kecil. Menurut Janatun pada wawancara tanggal 01 Agustus 2010 jam 11.00 WIB mengatakan “ Kelahiran bayi akan mengajarkan kita tentang rasa syukur atas karunia Tuhan atas di berikan kebahagian dengan hadirnya si Bayi serta akan timbul rasa bahagia. Sehingga timbul rasa perhatian dan menjaga si bayi dengan suka cita”. c. Upacara Sunatan Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Untuk masyarakat desa Jumo khitan biasanya dilakukan untuk anak laki-laki yang sudah tamat sekolah dasar atau berumur 12 sampai 13 tahun. Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri yang berbeda-beda. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Karena itu sering kali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelameken, yang mengandung makna mengIslamkan (ngIslamake). Walaupun demikian hukum Islam menganjurkan agar sunatan di lakukan pada saat seorang anak berumur tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu. Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada hari-hari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain, upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pria berumur empat sampai tujuh tahun. Adat yang ada di desa Jumo slametan untuk khitanan biasanya di adakan pesta yang cukup meriah sebagai tanda dan pemberitahuan bahwa anak tersebut telah memasuki dunia remaja, dalam acara tersebut turut serta mengundang beberapa sahabat, kerabat bahkan sesepuh desa untuk tahlil bersama dan mendo‟akan anak agar menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Menurut Yuslan Pada wawancara tanggal 01 Agustus 2009 jam 13.25 WIB mengatakan ” Dengan adanya khitanan ini anak diajarkan penyesuain diri karena ditandainya supitan alat kelaimin dan itu menunjukan bahwa ia sudah balig tidak seperti anak kecil lagi, jadi sikap dan perkataan dia dengan secepatnya akan menirukan gaya orang dewasa”. d. Upacara Pernikahan Persepektif Masyarakat Jawa Upacara pernikahan anak wanita yang pertama merupakan kejadian yang sangat penting dalam suatu keluarga. Sudah berminggu-minggu sebelumnya keluarga mempelai wanita sibuk melakukan berbagai persiapkan untuk perayaan itu. Upacara ini bukan sekedar pesta, Tradisi seperti ini dianggap penting dan seolah-olah menjadi wajib oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam tujuan yang berbeda di seluruh Jawa Tengah. Semua kegiatan dilakukan oleh para kerabat, berbagai hidangan slametan, upacara siraman, upacara dan merias pengantin wanita (paes). Beberapa selamatan yang dilaksanakan dalam upacara perkawinan di antaranya: selamatan hari sebelum pernikahan atau pada hari sebelum upacara pemberian seserahan (pemberian mahar) ditunjukkan untuk mendapatkan keberuntungan bagi kedua pengantin. Selamatan pada malam sebelum dilangsungkannya pernikahan (malam widadaren) dan pada malam sesudah pernikahan diadakan sesajian yang dinamakan selamatan penganten atau majemuk. Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti terdapat symbol-simbol yang mempunyai makna tertentu, Kita sering melihat keberadaan janur kuning dalam suatu pernikahan, biasanya di letakkan di gang masuk rumah yang sedang mengadakan hajatan pernikahan, menurut masyarakat Desa Jumo Janur kuning itu perlambang pemberitahuan bahwa ada yang sedang melakukan pernikahan atau woro-woro yang di sertai pesta. Mereka juga menyiapkan Tuwuhan sebagai tolak balak yang berisi pisang raja 1 jodoh (2 pohon) dengan buah pisangnya ditutup karung. Tuwuhan di letakkan di Gapura yang sudah di siapkan, posisinya di dirikan tepat di depan rumah atau pintu masuk, modelnya: disetiap sisi di letakkan pisang, tebu, cengkir, ikatan padi, daun kluweh dan puring-puring yang tersusun dari daun yang ada di makam. Pisang raja merupakan simbol pengantin sebagai raja sehari dengan berpakaian ala Raja dan permaisuri. Adapun Tebu sebagai simbol agar dalam hubungan kedua mempelai dapat terjaga dan pernikahan menjadikan semangat untuk menjalani hidup. Sedangkan cengkir menurut warga desa Jumo adalah kejernihan berpikir agar dalam berumah tangga kedua mempelai saling setia sampai tua dan selalu menciptakan kebahagiaan. Ikatan padi di artikan sebagai simbol satu kesatuan kedua mempelai agar selalu menjaga dan melengkapi dalam suasana senang atau duka. Daun Kluweh dan puring-puring di artikan pernikahan sebagai ajang kehidupan baru serta luasnya perjalanan hidup berumah tangga agar kedua mempelai saling menjaga dan melengkapi kekuranagan yang ada dalam berkeluarga mengingat rintangan dan cobaan begitu besar. Biasanya saat pernikahan kedua mempelai di rias dan berpakain seperti raja yang duduk dalam singgasana, Dalam tata rias tersebut kedua mempelai dilakukan Kerik rambut yang bermakna menghilangkan kesukaran agar bersih dan kelihatan tampan dan cantik. Untuk mempelai putri di pasang Cunduk mentul di atas rambut yang jumlahnya harus ganjil terbuat dari perak keemasan, kemudian Brasutah letaknya melingakar diatas kepala terbuat dari kembang melati dan kanthil dan Pengasih di letakkan di bagian kiri melingkupi telinga panjangnya sampai ke dada. Melati dan kanthil mempunyai makna harum yang khas serta agar mempelai putri kelihatan lebih anggun dan cantik mempesona. Di desa Jumo Ritual Balangan suruh oleh pengantin mempunyai arti kesusu arep weruh (kedua mempelai di simbolkan tidak sabar ingin segera bertemu. Adapun Midak telur (menginjak telur) diartikan semua permasalahan mempelai sudah ambyar atau bubar seperti hancurnya telur sehingga dalam berkeluarga dapat langgeng. Mempelai putri juga melakukan siraman air kembang ke kaki mempelai pria biasa disebut Wijikan kakung yang mempunyai simbol bentuk pengabdian mempelai putri ke putra. Setelah itu pengantin putra melakukan ritual Kacar-kucur isinya beras kapurata (beras, palawija dan uang receh) di berikan ke mempelai putri sebagai hasil pangan dan kerja keras suami. Setelah ritual pernikahan usai dilakukan boyongan yaitu pengantin putri di bawa kerumah pengantin putra, dalam perjalanan ke rumah pihak keluarga membuang ayam di jembatan yang di lewati oleh kedua mempelai yang maknanya buang sial, agar mereka selalu dalam keadaan bahagia. Agar upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji kepada kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka, beberapa tempat yang di anggap penting, yaitu: 1) Sesaji yang di letakkan di perempatan jalan Desa. Hal ini di maknai sebagai wujud pengabdian dan penghormatan kedua orang tua dan mertua yang masih hidup. Ketika sudah meninggal bentuk penghormatanya adalah tahlilan, do‟a. 2) Sesaji yang diletakkan di dekat sumber air seperti sumur atau sungai. Dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada pembantu saat acara itu berlangsung yaitu tukang masak, pembuat minum untuk tamu dll. 3) Sesaji yang di letakkan di bawah pohon besar. Maknanya adalah bentuk penghormatan kepada sang pemimpin desa yaitu lurah, moden dan kadus. Mereka dianggap sangat penting karena telah mendo‟akan dan merestui acara yang diadakan oleh tuan rumah. Mereka juga di punjung artinya di berikan makanan yang berisi ingkung dan lain-lain. 4) Sesaji yang di letakkan jembatan. Arti dari jembatan dalam masyarakat Jawa bermakana sebagai penghubung. Makna sesaji ynag di letakkan adalah bentuk terima kasih kepada seseorang yang telah menjodohkan kedua mempelai. Bisa di katakan makjomblang. Menurut Ragil Pamungkas (2006:70), “Keberadaan sesaji tidak bisa di tinggalkan. Keberadaan sesaji adalah dukungan dalam menguasai kemampuan atau kekuatan gaib”. e. Upacara Kematian Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan, diadakan selamatan mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari) mendak sepisan (satu tahun), mendak pinda (dua tahun) dan yang terakhir nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan bulan-bulan hijriah seperti: upacara ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah haji. f. Nyadran Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (Jawa) atau sya‟ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan warga desa Jumo antara lain : 1) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa. 2) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan dan ambeng. 3) Berziarah. Menurut H. Sambudi pada wawancara tanggal 05 Agustus 2009 jam 16.00 WIB mengatakan ”Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa bahkan keluarga yang sudah meninggal serta nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih)”. g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan warga pada bulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Jadi, menurut K. Sofyanduri pada wawancara tanggal 28 Agusutus 2009 jam 20.00 WIB mengatakan ”Dalam kegiatan itu juga diadakan bersih kampung dengan bertujuan agar desa lebih indah dan enak dipandang. Sebelum ritual di laksanakan mereka terlebih dahulu menyiapkan nasi ambengan dengan terdiri dari nasi, ikan asin, kluban (terbuat dari daun singkong dan papaya) dan ingkung (ayam kampung yang telah di panggang) lalu dimakan bersama setelah selesai berdo‟a dan bersih-bersih”. h. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian Masyrakat Jawa sering juga melakukan Ritual ini saat panen tiba tepatnya saat menuai padi disawah dengan perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung (ayam kampung yang telah di bakar dengan bumbu) dan buah-buahan. Setelah siap maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah dengan dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai acara yang kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masingmasing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil pertanian. Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan hasil pertanian yang artinya ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah yang di berikan oleh Allah SWT. Dan para warga juga tidak akan lupa diri dengan hasil panen sehingga memunculkan rasa selalu ingat Gusti Allah Sang Pencipta Alam. i. Ritual Selamatan pendirian Rumah Menurut Bapak Wursriyanto wawancara pada tanggal 16 Agustus 2009 jam 12.00 WIB berpendapat bahwa, “Pada umumnya dalam pendirian Rumah warga Desa Jumo selalu bergotong royong tanpa mengenal imbal jasa, sebelum acara pendirian rumah mereka ngepung jenang abang, setelah rangka luar bangunan rumah berdiri diletakkan ikatan padi , pisang 1 tundung yang sudah masam dan 2 buah kelapa”. Ikatan padi tersebut mempunyai arti agar bangunan rumah kokoh seperti ikatan padi yang kuat sehingga tidak mudah roboh. Buah pisang memiliki arti agar yang menghuni rumah nanti di beri rejeki yang melimpah di manapun saat mereka bekerja mengingat buah pisang dapat tumbuh dimanapun berada. Sedangkan buah kelapa memiliki arti agar rumah terhindar dari musibah seperti kerasnya buah kelapa yang sulit di belah (sulit di belah hanya dengan tangan kosong). j. Ritual Selamatan Pembelian Mobil/Kendaraan Bermotor Ritual ini dilakukan warga ketika seseorang telah membeli Mobil atau kendaraan bermotor, terlebih dahulu mereka membeli bunga mawar, kendi (tempat air minum) berukuran kecil dan jajanan pasar berupa makanan dan buah-buahan. Jadi, menurut Suhardi wawancara pada tanggal 16 Agustus 2009 jam 13.15 WIB mengatakan, “Setelah semua syarat terkumpul bunga mawar tersebut di masukan dalam kendi yang berisi air lalu mengundang warga 4 atau 5 orang untuk ikut mendo‟akan setelah air yang ada dalam kendi yang berisi bunga mawar tersebut di siramkan keseluruh kendaraan”. Ritual ini bertujuan agar sang pengendara terhindar dari musibah atau kecelakaan, sedangkan makanan dan buah-buahan tadi disajikan kepada warga yang di undang dan dimakan bersama setelah pembacaan do‟a. 2. Faktor pendukung dan penghambat adanya Ritual Kejawen Jawa adalah kelompok etnik terbesar di Asia Tenggara yang berjumlah lebih dari 100 juta jiwa dari sekitar lebih dari 220 juta masyarakat Indonesia. Lebih dari 85% di antara mereka memeluk agama Islam. Dalam prakteknya, terdapat suatu garis pemisah kultural yang menyolok antara mereka yang secara serius melakukan kewajiban-kewajiban agama Islam dan mereka yang tidak mengatur hidupnya menurut kaidah-kaidah formal agama Islam. Golongan ini mengikuti tradisi pikiran kejawèn yang pertama-tama diilhami oleh buah pikiran Jawa Kuno dan budaya Hindu-Budhis serta unsur-unsur tambahan dari agama Islam. Pikiran kejawèn ini mempunyai suatu ciri religius mendalam, yaitu kesadaran bahwa semua yang ada turut ambil bagian dalam kesatuan eksistensi serta ketergantungan pada suatu prinsip kosmis yang meliputi segala-galanya dan yang mengatur hidup manusia Banyak faktor yang mendukung adanya ritual Kejawen di daerah pedesaan diantaranya masih adanya sesepuh desa yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa yang telah diwariskan turun-temurun dari nenek moyang, mereka beranggapan ritual-ritual tersebut memiliki banyak makna yang pada intinya ingin mendekatkan diri dengan Tuhan Sang Pencipta Alam. Hal ini dapat dilihat Pada masyarakat Jawa, seorang anak diberi contoh-contoh mendasar bagi kehidupan sosial dan diajari bagaimana harus bertingkah laku. Anak ditunjukkan akan sesuatu yang paling dasar dari semua nilai, yaitu tatanan yang baik dan keseluruhan strategi tindakan untuk mempertahankan tatanan itu. Sedangkan tatanan itu mencakup hubungan selaras dan harmonis. Hubungan semacam itu akan terjadi bila orang tahu kedudukan mereka masing-masing kesabaran, kerendahan hati, penerimaan, kesopanan, dan lain-lain. Orang diajari nilai rukun, untuk mengesampingkan perbedaan, untuk berkompromi, untuk hidup bersahabat dan untuk menyesuaikan diri dengan kehendak orang lain. Perspektif ini adalah bentuk pemahaman masyarakat yang bersifat normatif artinya semua bentuk ibadah dan perilaku masyarakat Jawa tertuju pada ajaran-ajaran AlQur‟an dan Sunnah Nabi yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsipprinsip dasar. Nilai-nilai moral tersebut tercermin pada perilaku manusia hubunganya dengan kehidupan sehari-hari, manusia diarahkan bagaimana hidup berdampingan dengan makhluk lain ciptaan Allah SWT agar tercipta kebahagiaan, keamanan dan kesejahteraan. Maka prinsip terpenting dalam kehidupan orang Jawa adalah bagaimana cara beribadah untuk mencapai kesempurnaan keimanan dan ketaqwaan agar mendapat Ridlo dari Sang pencipta yaitu Allah SWT. Sedangkan Faktor lain yang mendukung adanya ritual Kejawen masih berkembang adalah adanya akulturasi budaya, antara Kejawen dengan Islam. Hal ini dapat kita lihat contohnya kenduren, mitung dino dsb. Faktor penghambat ritual Kejawen adalah anggapan bahwa ritual kejawen yang ada tidak praktis lagi dan tidak efesien, sehingga banyak masyarakat yang meninggalkanya serta enggan untuk mengikuti adat yang ada di Desa sendiri, mereka juga beranggapan bahwa hal seperti itu kuno identik dengan mistis. Banyak juga yang beranggapan bahwa tradisi Jawa itu dengan berbagai bentuknya di maknai secara simbolis artinya bahwa Kejawen tidak mempunyai manfaat secara rasional tidak bisa dirasakan pada waktu ritual kejawen berlangsung. Selama penelitian, penulis menemukan banyak juga sebagian warga yang tidak mau tahu masalah ritual-ritual tersebut, mereka beranggapan hal itu hanya buang-buang waktu dan tidak ada gunanya sama sekali. Padahal kalau kita cermati banyak sekali ragam budaya Jawa termasuk budaya yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. Perlu kita ketahui bahwa dunia itu identik dengan surga dan neraka. Keduanya adalah suatu bentuk imbalan dan hukuman dari Allah kepada manusia atas semua perbuatannya di dunia. Oleh sebab itu manusia mempunyai konsekuensi untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya selama hidup di dunia. Hanya dengan itulah dia akan mendapatkan tiket kebahagiaan di kehidupan akhirat nanti. Suatu kehidupan, yang menurut al-Qur‟an, sangat penting karena alasan keadilan dan moral sebagai konstitusi relitas tindakan manusia. 3. Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya. Masyarakat di desa Jumo sangat menjunjung tinggi adanya ritual Skejawen yang telah ada sejak dahulu yang lestari dari leluhur hingga sekarang. Mereka beranggapan bahwa budaya itu merupakan identitas sebagai orang Jawa dan sebagai generasinya maka kita tidak boleh menghapusnya dari kehidupan sehari-hari, justru yang harus kita lakukan adalah meneruskan tradisi dari leluhur yang telah ada. Menurut HM. Suryadi wawancara pada tanggal 03 September 2009 jam 15.00 WIB mengatakan, “Salah satu „ulama desa Jumo mengatakan: Bentuk-bentuk ritual kejawen yang ada di desa jumo merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan rasa sembah diri yang tertinggi kepada Allah SWT. Sedangkan makna sosialnya adalah mempererat tali persaudaraan antar warga tanpa membedakan status sosialnya. Contohnya: Kenduri, selain kita berdo‟a kepada Allah SWT kita juga dapat bertemu dengan warga, sehingga terjalin kerukunan dan kedamaian”. Dalam hal ini KH. Abdur Razak wawancara pada tanggal 05 September 2009 jam 14.30 WIB berpendapat, “Tradisi yang sudah ada ini banyak mengandung manfaatnya, perlu kita contoh dan mewariskanya pada anak cucu kita. Jangan melihat sisi luarnya atau bentuk ritualnya akan tetapi pahamilah dari hakika dan tujuanya”. Kemudian menrurut H. Mashuri wawancara pada tanggal 19 September 2009 jam 12.00 WIB mengatakan, “Sebagian wilayah di tanah Jawa, Tradisi kejawen di hapus artinya tidak di laksanakan lagi kerena mereka menganggap sebagian tradisi orang Jawa adalah bentuk kemusyrikan. Menurut saya itu kurang tepat karena setiap tradisi dan budaya di dunia ini mempunyai maksud dan tujuan agar kehidupan manusia lebih baik”. Di hari berikutnya penulis mewawancarai KH. Multazam wawancara pada tanggal 19 September 2009 jam 11.00 WIB beliau berpendapat, “Kehidupan manusia tanpa symbol maka tidak akan terjadi kedisiplinan dan terputusnya komunikasi. Seharusnya kita bersyukur dengan adanya peninggalan dari orang Jawa terdahulu berupa ritual ataupun tradisi, dapat saya Contohkan: di desa Jumo hampir setiap masjid dan mushola terdapat kentongan yang terbuat dari batang pohon bambu itu maknanya ada dalam bunyi kentongan, selain sebagai alat memberitahukan warga waktunya shalat juga berfungsi menyampaikan pesan sesuai bunyi ketukanya misalkan memberitahukan datangnya banjir, kebakaran, kematian dan sebagainya”. Jadi, “Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir, semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Selain itu puasa juga sebagai benteng agar manusia dalam menjalankan kehidupan ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai menurut K. Rondin pada wawancara tanggal 20 September 2009 jam 16.00 WIB. Dalam kesempatan lain K. Kahono dalam wawancara pada tanggal 20 September 2009 jam 19.20 WIB berpendapat bahwa, ”Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh yang paling menonjol dan sampai sekarang masih menjadi polemik umat Islam adalah upacara peringatan untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, yaitu pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 dari kematiannya. Acara ritual ini dalam tradisi sekarang di sebut selamatan, sebuah kata yang diderivasi dari bahasa Arab yaitu Islam, ‟salam‟ dan ‟salamah‟ yang berarti memohon keselamatan dan kedamaian. Upacara ini juga sering dikaitkan dengan istilah tahlilan atau tahlil yaitu membaca kalimat Thayyibah ‟La ilaha illa Allah‟ secara bersama-sama sebagai cara efektif untuk menanamkan jiwa tauhid”. Di samping penciptaan ritus-ritus keagamaan, akulturasi Islam juga dibuat dalam bentuk simbol-simbol kebudayaan. Menyangkut hal itu H. Jasmo dalam wawancara pada tanggal 22 September 2009 jam 20.43 WIB berpendapat, ”Sekarang kita dapat melihat bentuk arsitektur bangunan masjid sebagian masih berbentuk pure atau candi, kemudian penamaan pintu gerbang dengan istilah „gapura‟ nama yang diambil dari bahasa Arab ‟ghofura‟ yang berarti pengampunan”. BAB IV PEMBAHASAN Kumpulan data yang dianalisa dalam skripsi ini bersumber dari hasil wawancara Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan, dilengkapi dengan dokumen yang ada. Mengacu pada fokus peneltian dalam skripsi ini, maka penulis akan menganalisa dan menyajikanya secara sistematis tentang makna ritual Kejawen perspektif Pendidikan. Setelah terjun kelapangan di desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. Penulis menemukan bentuk-bentuk ritual kejawen dihubungkan dengan kajian teori, maka hasilnya sebagai berikut: A. Bentuk-bentuk ritual Kejawen 1. Upacara Tinkeban atau Mitoni Di desa Jumo Upacara tingkeban diadakan saat kandungan ibu hamil berumur tujuh bulan, di dalam tingkeban terdapat slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini terdiri dari nasi tumpeng dengan tujuh macam lauk-pauk, dawet, jajanan pasar dan rujak yang terdiri dari buah-buahan yang dibeli dari pasar tradisional. Berkaitan dengan upacara tingkeban atau mitoni, Koentjaraningrat (1994: 350-351) menyatakan sebagai berikut: Upacara pertama yang dinamakan tingkeban diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan, yang antara lain terdiri dari suatu slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam lauk-pauk, dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda pula. Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan manteramantera. Adapun larangan untuk makan berbagai makanan tertentu, seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan yang berpatil, dan buah-buah yang letak bijinya melintang, sebenarnya sudah mulai sejak awal kehamilanya, Orang-orang tua seringkali memberikan makna yang berbeda terhadap berbagai pantangan makanan itu yang hampir semuanya mempunyai arti simbolik yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan serta berdasarkan asosiasi pikiran yang sederhana. Buahbuahan dengan biji-biji yang tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi letak yang salah dari si jabang bayi. Dengan demikian masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam menjaga bayi yang di kandung oleh seorang ibu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti cacat fisik. Dalam wawancara yang penulis lakukan kepada Ibu Hartatik (18:2009) mengatakan, “ Makna sebenarnya dalam tingkeban itu adalah agar anak sehat fisik maupun mental kelak ketika dia lahir. Kita harus hati-hati menjaga seorang anak walaupun masih dalam kandungan” Jadi, temuan dilapangan dengan kajian teori letak persamaanya pada pelaksanaan dan maksud diadkan tinkeban atau mitoni 2. Upacara Kelahiran Masyarakat Jumo merayakan slametan brokohan pada hari kelahiran bayi dan di adakan pemberian nama si jabang bayi, Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari, Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian diberi nama. Mereka juga mengundang warga untuk di adakan tahlilan dan mendo‟akan si jabang bayi agar menjadi anak yang soleh dan solehah. Kemudian dari kajian pustaka Koenjtaraningrat (1994: 354) juga menyatakan: Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari,. Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Dalam upacara Islam santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak lakilaki) dan 1 ekor kambing (untuk anak perempuan). Menurut Ibu Sripit (18:2009), “Upacara ini dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Karena si jabang bayi telah terlahir dalam keadan selamat dan tidak cacat. Kalau aqiqah menurut ajaran Islam jika bayi terlahir laki-laki maka penyembelihan harus 2 ekor kambing dan 1 ekor kambing untuk anak perempuan”. Jadi, upacara kelahiran antara temuan dan kajian pustaka memiliki penjabaran yang sama. 3. Upacara Sunatan Untuk masyarakat desa Jumo menurut Bapak Sugi (19:2009) berpendapat, “Khitan biasanya dilakukan untuk anak laki-laki yang sudah tamat sekolah dasar atau berumur 12 sampai 13 tahun” . Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri yang berbeda-beda. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Berkaitan dengan hal tersebut Koentjaraningrat (1994:357-358) menyatakan sebagai berikut: Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada hari-hari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain, upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pria berumur empat sampai tujuh tahun; akan tetapi keluargakeluarga penganut agami Jawi pada umumnya menghubungkan sunatan dengan umur akil baliq, di samping sebagai peresmian masuk Islam, dan karena itu mengadakanya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun. Karena itu sering kali mengkhitankan dikatakan mengIslamkan sunatan disebut nyelameken, (ngIslamake). Walaupun yang selam, sehingga mengandung demikian hukum makna Islam menganjurkan agar sunatan dilakukan pada saat seorang anak berumur tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu. Jadi, penjelasan antara temuan dan kajian teori memiliki kesamaan dari umur anak sampai maksud dan tujuan khitan itu sendiri. 4. Upacara Pernikahan Dalam pernikahan Semua kegiatan dilakukan oleh para kerabat, berbagai hidangan slametan, upacara siraman, upacara dan merias pengantin wanita (paes). Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti terdapat symbolsimbol yang mempunyai makna tertentu, Kita sering melihat keberadaan janur kuning dalam suatu pernikahan, biasanya di letakkan di gang masuk rumah yang sedang mengadakan hajatan pernikahan, menurut Ibu Surtikah (17:2009) mengatakan, “Janur kuning itu perlambang pemberitahuan bahwa ada yang sedang melakukan pernikahan atau woro-woro yang di sertai pesta”. Ibu Rohmiyati (17:2009) menambahkan “Mereka juga menyiapkan Tuwuhan sebagai tolak balak yang berisi pisang raja 1 jodoh (2 pohon) dengan buah pisangnya ditutup karung. Tuwuhan di letakkan di Gapura yang sudah di siapkan, posisinya di dirikan tepat di depan rumah atau pintu masuk, modelnya: disetiap sisi di letakkan pisang, tebu, cengkir, ikatan padi, daun kluweh dan puring-puring yang tersusun dari daun yang ada di makam”. Pisang raja merupakan simbol pengantin sebagai raja sehari dengan berpakaian ala Raja dan permaisuri. Adapun Tebu sebagai simbol agar dalam hubungan kedua mempelai dapat terjaga dan pernikahan menjadikan semangat untuk menjalani hidup. Sedangkan “Cengkir adalah kejernihan berpikir agar dalam berumah tangga kedua mempelai saling setia sampai tua dan selalu menciptakan kebahagiaan. Ikatan padi di artikan sebagai simbol satu kesatuan kedua mempelai agar selalu menjaga dan melengkapi dalam suasana senang atau duka. Daun Kluweh dan puring-puring di artikan pernikahan sebagai ajang kehidupan baru serta luasnya perjalanan hidup berumah tangga agar kedua mempelai saling menjaga dan melengkapi kekuranagan yang ada dalam berkeluarga mengingat rintangan dan cobaan begitu besar” (Yuslan,17:2009). Biasanya saat pernikahan kedua mempelai di rias dan berpakain seperti raja yang duduk dalam singgasana, Dalam tata rias tersebut kedua mempelai dilakukan Kerik rambut yang bermakna menghilangkan kesukaran agar bersih dan kelihatan tampan dan cantik. Untuk mempelai putri di pasang Cunduk mentul di atas rambut yang jumlahnya harus ganjil terbuat dari perak keemasan, kemudian Brasutah letaknya melingakar diatas kepala terbuat dari kembang melati dan kanthil dan Pengasih di letakkan di bagian kiri melingkupi telinga panjangnya sampai ke dada. Melati dan kanthil mempunyai makna harum yang khas serta agar mempelai putri kelihatan lebih anggun dan cantik mempesona. Di desa Jumo Ritual Balangan suruh oleh pengantin mempunyai arti kesusu arep weruh (kedua mempelai di simbolkan tidak sabar ingin segera bertemu. Adapun Midak telur (menginjak telur) diartikan semua permasalahan mempelai sudah ambyar atau bubar seperti hancurnya telur sehingga dalam berkeluarga dapat langgeng. Mempelai putri juga melakukan siraman air kembang ke kaki mempelai pria biasa disebut Wijikan kakung yang mempunyai simbol bentuk pengabdian mempelai putri ke putra. Setelah itu pengantin putra melakukan ritual Kacar-kucur isinya beras kapurata (beras, palawija dan uang receh) di berikan ke mempelai putri sebagai hasil pangan dan kerja keras suami. Setelah ritual pernikahan usai dilakukan boyongan yaitu pengantin putri di bawa kerumah pengantin putra, dalam perjalanan ke rumah pihak keluarga membuang ayam di jembatan yang di lewati oleh kedua mempelai yang maknanya buang sial, agar mereka selalu dalam keadaan bahagia. Agar upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji kepada kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka, beberapa tempat yang di anggap penting, yaitu: 5) Sesaji yang di letakkan di perempatan jalan Desa. Hal ini di maknai sebagai wujud pengabdian dan penghormatan kedua orang tua dan mertua yang masih hidup. Ketika sudah meninggal bentuk penghormatanya adalah tahlilan, do‟a. 6) Sesaji yang diletakkan di dekat sumber air seperti sumur atau sungai. Dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada pembantu saat acara itu berlangsung yaitu tukang masak, pembuat minum untuk tamu dll. 7) Sesaji yang di letakkan di bawah pohon besar. Maknanya adalah bentuk penghormatan kepada sang pemimpin desa yaitu lurah, moden dan kadus. Mereka dianggap sangat penting karena telah mendo‟akan dan merestui acara yang diadakan oleh tuan rumah. Mereka juga di punjung artinya di berikan makanan yang berisi ingkung dll. 8) Sesaji yang di letakkan jembatan. Arti dari jembatan dalam masyarakat Jawa bermakana sebagai penghubung. Makna sesaji ynag di letakkan adalah bentuk terima kasih kepada seseorang yang telah menjodohkan kedua mempelai. Bisa di katakan makjomblang. Menurut Ragil Pamungkas (2006:70), “Keberadaan sesaji tidak bisa di tinggalkan. Keberadaan sesaji adalah dukungan dalam menguasai kemampuan atau kekuatan gaib”. Berkaitan dengan itu Wawan Susetya (2007: 33-34) menerangkan: Pertama, pisang raja maknanya sangat jelas sebagai simbolik dari Raja. Artinya, pernikahan atau perkawinan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan: kelahiran, perkawinan dan kematianya. Dan, sang mempelai didudukan di „singgasana rinengga‟ dengan pakaian ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan dan kegembiraan. Kedua, tebu. Orang Jawa mengartikan dengan ungkapan mantebing kalbu (mantapnya hati/kalbu), karena Tanaman tebu rasanya manis dan menyegarkan. Ketiga, cengkir (buah kelapa yang masih muda); maknanya adalah kencenging piker (pikiran yang lurus). Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam memepertahankan pernikahanya, sehingga mampu menghadapi suka maupun duka bersama dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga. Sedangkan Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (2007:33-34) mengatakan bahwa: Sepasang pohon pisang raja yang berbuah maknanya adalah agar mempelai kelak menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga, lingkungan dan bangsa. Sedangkan sepasang tebu maknanya adalah dari mempelai diharapkan agar sagala sesuatu yang sudah dipikir matang-matang dikerjakan atau dilaksanakan dengan tekat yang bulat pantang mundur. Dalam hal ini temuan dilapangan sudah dijelaskan dalam kajian pustaka, artinya antara temuan dan teori saling berhubungan. 5. Upacara Kematian Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan, diadakan selamatan mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari) mendak sepisan (satu tahun), mendak pinda (dua tahun) dan yang terakhir nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan bulanbulan hijriah seperti: upacara ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah haji. 6. Nyadran Upacara ini dilaksanakan pada bulan ruah (Jawa) atau sya‟ban (Hijriyah) yang dilaksanakan sesudah tanggal 15 sampai dengan menjelang puasa Ramadhan. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan warga desa Jumo antara lain : 4) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa. 5) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan dan ambeng. 6) Berziarah. Menurut H. Sambudi (20:2009), ”Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa bahkan keluarga yang sudah meninggal serta nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih)”. Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:246), “Nyadran berarti melaksanakan upacara „sadran‟ atau „sadranan‟ yang sampai saat ini masih terkenal dalam masyarkat Jawa dan dilakukanya dengan patuh. Upacara ini dilaksanakan dalam bulan Ruwah atau Sya‟ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa didalam bulan puasa (Ramdhan)”. Kurang sempurna kalau ritual nyadran ini tanpa Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih). Menurut Mark R. Woodward (199:121), “Ziarah kubur itu diperbolehkan asal tidak meminta berkah atau pemberian dari orang yang sudah mati, melainkan makna ziarah kubur adalah cara yang tepat agar manusia ingat dengan kematian”. Kita cermati, Pada dasarnya temuan dilapangan dan kajian pustaka memiliki kesamaan, antara tujuan dan manfaat. 7. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan warga pada bulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Jadi, ”Dalam kegiatan itu juga diadakan bersih kampung dengan bertujuan agar desa lebih indah dan enak dipandang. Sebelum ritual di laksanakan mereka terlebih dahulu menyiapkan nasi ambengan sebagai ganti tumpeng dengan terdiri dari nasi, ikan asin, kluban (terbuat dari daun singkong dan papaya) dan ingkung (ayam kampung yang telah di panggang) lalu dimakan bersama setelah selesai berdo‟a dan bersihbersih”(K. Sofyanduri, 28:2009). Jadi, ”Menu tumpeng yang telah disediakan ditujukan untuk menyampaikan pesan dari wali untuk selalu mengingat kepada Tuhan. Contoh adanya apem dalam tumpeng tersebut. Apem diambil dari kata “ampun” yang berarti manusia diarahkan unuk meminta ampun atas segala dosa yang pernah diperbuatnya”(Ragil Pamungkas, 2006:33) 8. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian Bapak Narko (17:2009) berkata,”Ritual ini dilakukan saat panen tiba tepatnya saat menuai padi disawah dengan perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung (ayam kampung yang telah di bakar dengan bumbu) dan buahbuahan. Setelah siap maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah dengan dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai acara yang kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masingmasing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil pertanian”. Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan hasil pertanian yang artinya ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah yang di berikan oleh Allah SWT. Dan para warga juga tidak akan lupa diri dengan hasil panen sehingga memunculkan rasa selalu ingat Gusti Allah Sang Pencipta Alam. 9. Ritual Selamatan pendirian Rumah Menurut Bapak Wursriyanto (29:2009), “Pada umumnya dalam pendirian Rumah warga Desa Jumo selalu bergotong royong tanpa mengenal imbal jasa, sebelum acara pendirian rumah mereka ngepung jenang abang, setelah rangka luar bangunan rumah berdiri diletakkan ikatan padi , pisang 1 tundung yang sudah masam dan 2 buah kelapa”.. Ikatan padi tersebut mempunyai arti agar bangunan rumah kokoh seperti ikatan padi yang kuat sehingga tidak mudah roboh. Buah pisang memiliki arti agar yang menghuni rumah nanti di beri rejeki yang melimpah di manapun saat mereka bekerja mengingat buah pisang dapat tumbuh dimanapun berada. Sedangkan buah kelapa memiliki arti agar rumah terhindar dari musibah seperti kerasnya buah kelapa yang sulit di belah (sulit di belah hanya dengan tangan kosong). B. Nilai-nilai Pendidikan dalam ritual Kejawen. Secara umum nilai-nilai yang terkandung dalam ritual kejawen sebagai berikut: a. Menimbulkan sikap yang toleran antar komponen masyarakat serta saling melengkapi dalam keadaan suka maupun duka sehingga akan timbul dalam hati sikap berbagi, merasakan penderitaan orang lain b. Membersihkan diri lahir dan bathin c. Membina kerukunan antar komponen masyarakat untuk saling bekerjasama dan mengajarkan pada anak-anak kita ke hal-hal yang positif. d. Mentransfer Budaya baru atau pewarisan Budaya yang bersifat religi kepada anak. e. Syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan. f. Agar kita hati-hati dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sehingga terhindar dari segala yang merugikan diri kita. g. Mampu menguatkan mental manusia untuk berkumpul bermasyarakat dan menjaga keharmonisan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan : 1. Bentuk-bentuk ritual kejawen di desa Jumo, Kedungjati, Grobogan beserta nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ritual Kejawen tersebut sebagai diantaranya: a. Upacara Tinkeban atau Mitoni Maknanya adalah dapat memberikan sugesti rasa suka cita pada calon ibu dan warga lain karena sebentar lagi akan lahir bayi yang lucu serta dengan adanya tradisi itu juga dapat menjaga silaturahmi antar warga karena dapat berkumpul. b. Upacara Kelahiran Bermakna bahwa kelahiran bayi akan mengajarkan kita tentang rasa syukur atas karunia Tuhan atas di berikan kebahagian dengan hadirnya si Bayi Sehingga timbul rasa perhatian dan menjaga si bayi dengan suka cita karena hal itu dianggap sebagai amanah dari Allah SWT. c. Upacara Sunatan Makna khitan selain membaktis seseorang untuk memperdalam ajaran Islam juga dengan adanya khitanan ini anak diajarkan penyesuain diri karena ditandainya supitan alat kelaimin dan itu menunjukan bahwa ia sudah balig tidak seperti anak kecil lagi, jadi sikap dan perkataan dia dengan secepatnya akan menirukan gaya orang dewasa hal ini juga menjadi anjuran dari Nabi Muhammad SAW. d. Upacara Pernikahan Selain menjalan kan sunnah dari Rasul, pernikahan juga akan mengajarkan manusia bagaimana seorang laki-laki menjadi pemimpin dan seorang istri menjadi pendamping juga dengan pernikahan itu sendiri agar terhindar dari perzinaan. e. Upacara Kematian Maknanya adalah menimbulkan sikap yang toleran antar komponen masyarakat serta saling melengkapi dalam keadaan suka maupun duka sehingga akan timbul dalam hati sikap berbagi, merasakan penderitaan orang lain dan mengingatkan kita akan kematian. f. Nyadran Nyadran mengandung makna pembersihan diri dengan mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa serta mendoakan orang yang sudah meninggal sebagai wujud bakti kita kepada kerabat, tetangga bahkan orangtua. g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa Makna pendidikan Islam yang dapat diambil adalah membina kerukunan antar komponen masyarakat untuk saling bekerjasama dan mengajarkan pada anak-anak kita untuk menjaga lingkungan agar lebih bersih, indah dan terhindar dari segala penyakit. h. Ritual Selamatan pendirian Rumah Makna yang dapat diambil adalah membina kerukunan antar komponen masyarakat untuk saling bekerjasama tanpa mengenal status sosialnya dan memberikan motivasi untuk saling mengahargai antar warga sehingga dapat melunturkan dendam. i. Ritual Selamatan Pembelian Mobil/Kendaraan Bermotor Ritual ini bermakna agar sang pengendara terhindar dari musibah atau kecelakaan. Hal itu akan mempengaruhi mental si pengendara agar selalu berhati-hati saat mengemudikan kendaraanya. 2. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen Karkono Kamajaya Partokusumo menyatakan Tradisionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan Islam dan tidak pula harus menghambat modernisme. Tradisi juga tidak perlu ditentang, diuberuber, dicurigai, diolok-olok sebagai hal yang harus diberantas dan dianggap menghambat kemajuan. Sedangkan Kuntowojoyo berpendapat Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa banyak mengadopsi konsep-komsep Islam. Kita juga melihat ekspresi-ekspresi ritual oleh orang Jawa, sebagai contoh: Upacara „Pangiwahan‟, upacara itu di maksudkan agar manusia menjadi „wiwoho‟, menjadi mulia. Jadi misalnya kita harus memuliakan kelahiran, perkawinan atau bahkan kematian. B. Saran Diharapkan studi tentang Makna Ritual Kejawen perspektif Pendidikan didesa Jumo, Kedungjati, Grobogan ini, dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain, sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada makna ritual kejawen perspektif pendidikan yang berupa Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam ritual Kejawen tersebut. Untuk itu pengharapan penulis sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah bersama warga masyarakat diharapkan terus melestarikan kebiasaan orang-orang tua yang sudah turun-temurun sebagai sarana yang efektif bagi penduduknya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan. 2. Pelaksanaan bentuk tradisi yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan bukan dilaksanakan guna menyekutukan Tuhan, melainkan sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat pemberian Tuhan. Oleh karena itu warga masyarakat Sekar khususnya diharapkan mampu mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam setiap tradisi. 3. Kewajiban bagi setiap generasi adalah untuk mempersiapkan generasi penerus lebih berkualitas, dan pada saatnya nanti generasi penerus benarbenar siap mengambil alih dan meneruskan tugas serta peranan generasi sebelumnya dan dengan demikian terjalinlah kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa dari masa ke masa. 4. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama yaitu, Makna Ritual Kejawen perspektif pendidikan supaya mengambil tema yang lain agar lebih inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Barnadib, Sutari Imam. 1986. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)-IKIP. Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: PT.Pradnya Paramita. Chafidh, Muhammad Afnan dan A. Ma‟ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran, Perkawinan dan Kematian. Surabaya: Khalista. Daeng, Hans J. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi. Ghani, Djunaidi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif: prosedur, tehnik dan teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu. Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lely J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubabahan Budaya Jawa, Muangthai dan Filipina, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Milles, Mattew B. dkk. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta: PT. UI Press. Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pamungkas, Ragil. 2006. Lelaku dan Tirakat : Cara Orang Jawa Menggapai Kesempurnaan Hidup. Yogyakarta: Narasi. Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduanya dengan Islam. Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia. Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tassawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya. Suharsono dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya. Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sudirman Dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. Susetya, Wawan. 2007. Ular-Ular Manten: Wejangan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Narasi. Syam, Muhammad Noor Dkk. 1988. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Tim Penyusun FIP. 1998. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Tim penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Jakarta: Balai Pustaka. Umar , Husain. 1999. Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. Walgito, Bimo. 1991. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar) edisi revisi. Yogyakarta Andi Offset. Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa: Kesalihan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKIS. RIWAYAT HIDUP Nama : Eko Haryanto NIM : 12107004 Tempat/Tgl.lahir : Grobogan, 07 Desember 1986 Alamat : Dsn. Dawung RT 01/02 Ds. Jumo, Kedungjati - Grobogan Pendidikan : 1. TK Dharma Wanita Jumo (1993-1994) 2. Sekolah Dasar di SD Negeri Jumo I (1994-1999). 3. SMP Negeri I Kedungjati (1999-2002). 4. SMA Muhammadiyah Gubug (2002-2005) 5. Diploma II PGA Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga (2005-2007)