Urgensi Perlindungan Hukum Pelaut Indonesia Menghadapi Berbagai Permasalahan Global M. S y a m s u d i n1 Abstrak Globalisasi telah membawa permasalahan besar di sektor maritim Indonesia, terutama terhadap keberadaan pelaut-pelaut Indonesia. Menghadapai hal tersebut pelaut Indonesia terancam akan tersingkir dari kompetisi dengan pelaut-pelaut asing. Hal ini disebabkan kualitas SDM pelaut Indonesia rendah dalam hal etos kerja, lemahnya penguasaan bahasa asing, dan kurangnya disiplin kerja. Isu-isu yang dihadapi pelaut Indonesia di mata masyarakat internasional juga menunjukkan hal-hal yang negatif seperti adanya Isu Black List, High-Risk Area, dan Penerapan Seafarers Identity Document. Isu-isu ini telah menyulitkan posisi pelaut Indonesia di kancah perdaganngan internasional. Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan untuk melindungi pelaut Indonesia terkait dengan peluang ketersediaan lapangan kerja di kapal, sebagai sumber devisa negara, pekerjaan pelaut yang penuh risiko, dan kebijakan penerapan asas cabotage secara utuh dalam posisi Indonesia sebagai negara maritim. Kata-kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pelaut Indonesia, Permasalahan Global Pendahuluan Di lingkungan masyarakat internasional, Indonesia telah dikenal sebagai negara maritim. Hal ini ditunjukkan dengan luas wilayah Indonesia sekitar 7,7 juta kilometer persegi, terdiri atas 75 persen teritorial laut (5,8 juta km2) dan 25 persen teritorial daratan (1,9 juta km2). Luas teritorial laut tersebut terdiri atas 2,8 juta km2 perairan nusantara (perairan kepulauan) dan 0,3 juta km2 laut territorial, serta 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE). Jumlah pulau besar dan kecil mencapai kurang lebih 17.548 buah. Potensi besar ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan teritorial laut terluas di dunia dan keseluruhan garis pantai sepanjang 80.791 km atau 50.494 mil.2 1 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, email: [email protected]; HP.08562880013 2 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2004. “Studi Penerapan Asas Cabotage Dalam Pelayaran Nasional.” Laporan Akhir Penelitian. Jakarta. Hlm.1 1 Di era global seperti sekarang ini, sektor maritim memainkan peranan yang sangat penting dan strategis dalam berbagai macam aktivitas, baik politik, ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan serta aktivitas yang berkaitan dengan hubungan antar pulau dan antar negara, khususnya dalam bidang perdagangan nasional maupun internasional. Pertumbuhan volume perdagangan internasional dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat proses globalisasi telah menuntut perlunya pengembangan sektor kemaritiman agar dapat beroperasi secara efektif dan efisien sehingga dapat bersaing dengan negara-negara lain.3 Sebagai dampak dari globalisasi dan perdagangan dunia (bebas) telah membawa perubahan besar bagi sektor maritim Indonesia. Dampak tersebut mengakibatkan pula perkembangan yang pesat di bidang teknologi industri maritim. Keadaan tersebut membawa kecenderungan dalam hal penggunaan sarana transportasi, jenis kemasan dan kapasitas angkut yang semakin besar. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaut dengan kualitas dan kuantitas pekerjaan yang semakin besar. Dengan demikian diperlukan tenaga profesional yang mampu melaksanakan fungsi dan jenis pekerjaan yang melebihi kondisi di era sebelumnya. 4 Beberapa permasalahan dan isu-isu strategis yang diperkirakan akan mempengaruhi aktivitas pelaut Indonesia di era globalisasi mencakup antara lain : 1. Persaingan global. Globalisasi telah membuat batas antar negara semakin kabur. Perlindungan terhadap produk dalam negeri melalui proses monopoli kini semakin ditentang oleh dunia internasional. Perjanjian perdagangan bebas seperti Asean Free Trade Area (AFTA), kesepakatan pasar bebas dunia melalui General Agreemenet on Tariffs and Trade (GATT) menentang proteksi yang diberlakukan oleh suatu negara atas intervensi pasar 3 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. “Studi Kebutuhan SDM Transportasi Laut”. Laporan Akhir Penelitian. Jakarta. Hlm.1 4 Ibid. Hlm.2. 2 oleh negara lain. Setelah diberlakukannya perjanjian tersebut maka suatu unit pemerintahan di suatu negara akan mendapat tekanan yang semakin keras dari negara lain. 2. Lingkungan sosial. Perubahan masyarakat akibat globalisasi telah menyebabkan karyawan atau pegawai suatu unit pemerintahan atau perusahaan menuntut perlakuan yang lebih baik. Hak-hak asasi manusia yang sebelumnya kurang diperhatikan oleh pihak organisasi kini semakin dituntut, (karyawan golongan paling rendah, penghasilannya seringkali berada di bawah upah minimum regional). Demikian pula dengan kesadaran masyarakat akan pelayanan pada masyarakat telah membuat organisasi harus lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan. 3. Lingkungan politik. Kondisi politik suatu negara sangat mempengaruhi pertumbuhan bisnis. Suatu negara yang situasi politiknya agak kacau menyebabkan para investor asing takut menanamkan modalnya. Kekacauan politik yang menimbulkan kerusuhan sosial akan mematikan usaha bisnis. Pengalaman kerusuhan politik di Indonesia telah menyebabkan banyak pemodal melarikan modalnya mereka ke luar negeri. Selain itu, perusakan pabrik dan alat-alat kerja telah menyebabkan banyak pabrik tutup. 4. Perubahan undang-undang. Banyak sekali peraturan-peraturan baru yang muncul dalam berbagai aspek operasi organisasi. Misalnya kehadiran UU No.25 tahun 1998 tentang Serikat Pekerja menyebabkan organisasi semakin sulit untuk mengelola karyawan. Kalau semula organisasi perusahaan hanya memiliki satu organisasi karyawan (SPSI), kini karyawan memiliki peluang untuk bergabung pada banyak serikat pekerja seperti itu, atau mungkin membuat organisasi baru. 3 5. Lingkungan teknologi. Kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah merubah secara mendasar cara pengelolaan organisasi. Kehadiran komputer dengan tingkat kecanggihan yang semakin meningkat menyebabkan semakin banyak pekerjaan diganti oleh komputer. Selain itu, kegiatan organisasi semakin diwarnai oleh persaingan kecepatan waktu (real-time), Penggunaan internet, web-site, lokal area network (LAN) semakin marak dalam dunia organisasi. Organisasi harus berpacu untuk mengikuti perkembangan teknologi. Kalau tidak, bisa dipastikan akan ketinggalan.5 Menurut HRP Poernomo Soedewo6, di tengah kompetisi ketat dengan perusahaan pelayaran dan ekspedisi asing, pengusaha bidang jasa pelayaran dan ekspedisi laut pada umumnya menghadapi kendala keterbatasan sumber daya manusia (SDM), terutama menghadapi kemungkinan maraknya usaha jasa forwader dan ekspedisi asing setelah datangnya era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA). Dari segi SDM sektor usaha ini masih memprihatinkan. Menurut Arifin Hamzah7, pendidikan dan pelatihan diperlukan untuk meningkatkan SDM jasa pelayaran dan ekspedisi laut. Kompetitor yang patut diwaspadai menjelang datangnya AFTA adalah perusahaan pelayaran dan ekspedisi dari Singapura. Pasalnya, selama ini Singapura telah membuktikan diri sebagai negara yang dapat berkembang sebagai pelabuhan transit bagi jasa pelayaran dan ekspedisi laut. Dari semua negara, Singapura adalah negara yang perlu diwaspai. Kalau negara lain tidak begitu masalah. Tetapi, jangan karena ketakutan itu justru kita tidak berbuat apa pun. Kita harus melawan mereka dengan strategi training khusus dan perang pelayanan. 5 Djamaludin Ancok, 2004. Psikologi Terapan. Yogyakarta : Darussalam offset. Hlm.20 Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Gabungan Forwader dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Jatim. Dalam Kompas 19 Agustus 2002. 7 Direktur PT Bandar Kusuma Jaya, Dalam Kompas 19 Agustus 2002. 6 4 Menurut Rudhy Wisaksono8, dalam era perdagangan bebas kualitas pelayanan menjadi hal utama yang mendasari konsumen untuk memilih menggunakan jasa pelayaran dan ekspedisi asing atau lokal. Namun sayangnya, pengusaha jasa lokal belum begitu mengutamakan pelayanan untuk memuaskan konsumen. Padahal, pelayanan seputar ekspor-impor itu justru memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan pemasukan dari jasa ekspedisi itu sendiri. Untuk mengatasi persaingan yang semakin ketat, maka pemerintah Indonesia perlu melakukan peningkatan pembinaan disiplin, dan kualitas, khususnya bagi para pelaut. Selain itu pemerintah dan instansi lainnya termasuk Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) perlu segera merumuskan law of seamen seperti di Filipina. Untuk menunjang kelancaran lalu lintas kapal di laut, maka diperlukan adanya awak kapal yang berkeahlian, berkemampuan dan terampil. Dengan demikian setiap kapal yang akan berlayar harus diawaki dengan awak kapal yang cukup dan cakap untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya dengan mempertimbangkan besaran kapal, tata susunan kapal dan daerah pelayaran. Atas dasar hal tersebut, maka diperlukan institusi-institusi pendidikan kepelautan yang kompeten untuk menciptakan pelaut Indonesia yang profesional, yaitu cakap dan terampil, berwatak serta memiliki sikap mandiri, serta diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan pelayaran nasional atau asing. Menghadapai era global ke depan, pembangunan di sektor kelautan perlu diupayakan agar dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif, handal, dan berkualitas melalui serangkaian kebijaksanaan dan program yang dilakukan secara menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan termasuk di dalamnya kebijaksanaan mengenai pengembangan SDM yang mampu bersaing secara nasional maupun internasional. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dikaji kebutuhan-kebutuhan 8 Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Indonesia National Shipowners Association (INSA) Surabaya. Dalam Kompas 19 Agustus 2002. 5 SDM pelaut Indonesia dalam rangka mengantisipasi perkembangan kebutuhan pasar tenaga kerja dalam dan luar negeri khususnya bagi para pelaut Indonesia. Perkembangan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang teknologi informasi (Information Technology) juga harus mendapat porsi pendidikan dan perhatian yang besar dalam rangka pengembangan SDM pelaut tersebut, sehingga tenaga-tenaga yang berprofesi di bidang tersebut memiliki penguasaan teknologi informasi, berwawasan global, kosmopolitan yang pada akhirnya akan memberikan kinerja yang baik dan dapat bersaing di dunia internasional. Berbagai Permasalahan yang Dihadapi Pelaut Indonesia Pada masa global ini pelaut Indonesia banyak dihadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan. Kemampuan yang dimiliki tenaga pelaut Indonesia untuk menembus pasar global terancam bakal tersingkir. Hal ini disebabkan karena etos kerja pelaut Indonesia di luar negeri dinilai telah menurun. Padahal, sebelumnya hampir semua kapal asing mempekerjakan pelaut dari Indonesia. Pelaut Indonesia dikenal memiliki etos kerja yang tinggi, taat perintah, penyabar dan pekerja keras. Tetapi penilaian tersebut, kini telah berubah karena berbagai tindakan tidak disiplin, di antaranya sering berbuat onar dan tidak ada penegakan hukum dari pemerintah maupun oleh asosiasi pelaut di Indonesia. 9 Di samping tidak disiplin dalam bekerja, kualitas pelaut Indonesia saat ini juga dianggap menurun, terbukti ketika Hanjin Container Lines perusahaan pelayaran terbesar di Korea Selatan membutuhkan 90 orang pelaut, setelah dilakukan tes, hanya 45 orang yang mampu mencapai nilai 70 dan dianggap layak untuk mengisi lowongan yang tersedia, sedangkan yang lainnya tidak mampu mencapai skor yang lebih tinggi, penyebabnya adalah kebanyakan pelaut Indonesia tidak menguasai pengetahuan maritim, terutama dalam penguasaan Bahasa Inggris. Banyak pelaut Indonesia yang gagal tes untuk bekerja di kapal asing karena lemahnya penguasaan bahasa asing, rendahnya tingkat disiplin dan faktor 9 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Op.Cit. Hlm.76. 6 keluarga. Ini juga sebagai indikator masih lemahnya pendidikan pelaut di Indonesia jika diukur dari terserapnya pelaut Indonesia di pasar luar negeri atau internasional.10 Di samping rendahnya kualitas, pelaut Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini harus bersaing dengan pelaut Filipina yang gencar mengekspor pelaut-pelautnya yang lebih berkualitas dan dapat berkomunikasi dengan mudah karena menguasai bahasa Inggris. Di samping itu mereka telah memiliki The Law of Seamen yang dikeluarkan oleh Philippine Overseas Employment Agency yang antara lain memuat tentang tata tertib bekerja sebagai pelaut, sehingga para pelaut yang terbukti berbuat onar akan dicabut ijin kerjanya.11 Kualitas pendidikan pelaut di Indonesia juga masih menunjukkan banyak kelemahan, meskipun pemerintah pernah mendapatkan bantuan dari luar negeri untuk membeli peralatan sekitar US$520 juta. Jika dibandingkan dengan Pilipina, pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat ketinggalan. Pada tahun 2004, pelaut Indonesia hanya kurang lebih 20.000 (duapuluh ribu) orang sedangkan Pilipina sebanyak 400.000 (empat ratus ribu) orang (Maritim, 2004). Pada tahun 1994 jumlahnya sekitar 15.000 orang, di mana sekitar 10.179 orang bekerja di luar PKL (Pejanjian Kerja Laut) yang sah. Namun keberangkatan mereka ke luar negeri resmi karena menggunakan paspor RI.12 Berbagai isu-isu yang juga menghantui pelaut Indonesia di mata masyarakat internasional dapat ditunjukkan sebagai berikut : 1) Adanya Isu Black List. Isu black list pelaut Indonesia oleh Amerika Serikat pada dasarnya berawal dari surat edaran International Transport Worker Federation (ITF) yang bermarkas di London pada tanggal 31 Maret 2005. Isi surat edaran itu adalah bahwa Information on the Coast Guard - CBP (Customs and Border Protection) Memorandum of Agreement and Standard Operating Procedures (SOP) regarding the Detention of Certain High-Risk 10 Op.Cit. Op.Cit. 12 Safril, KA. 2000. Jurnal Penelitian Vol.2 No. 1 Agustus 2000. Hlm.25. 11 7 Crewmembers yang diterbitkan oleh Pemerintah USA dan didistribusi oleh the Steamship Association of Lousiana. Belum diketahui kapan SOP ini akan mulai diberlakukan, namun dapat dipastikan bahwa biaya penjagaan high-risk crewmember adalah US$ 36/jam untuk minimal 2 orang security guards, dan komponen biaya ini bisa membuat daya saing pelaut Indonesia merosot. Contoh : Salah satu perusahaan Belanda (Nedlloyd) mendapat kesulitan karena mempekerjakan pelaut Indonesia pada 11 kapal niaganya yang melayari trayek Eropa-Amerika. Annex VI dari SOP tersebut berisi daftar negara dari Federal Register tanggal 16 Januari 2003, sebagai berikut: Afghanistan, Algeria, Bahrain, Bangladesh, Egypt, Eritrea, Indonesia, Iran, Iraq, Jordan, Kuwait, Lebanon, Libya, Morocco, North Korea, Oman, Pakistan, Qatar, Saudi Arabia, Somalia, Sudan, Syria, Tunisia, United Arab Emirates, Yemen. Padahal untuk proyek Modernization of Seafarers Training Centre, Indonesia memakai kontraktor Amerika Serikat (Ship Analytic) yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri dari US Exim Bank sebesar US$ 53,8 juta. 2) Adanya Isu High-Risk Area. Sebagai bahan pertimbangan, perlu diketahui bahwa di tempat lain, pada tanggal 24 April 2003, Lloyd's Register menerbitkan modul Company Security Officer Course dengan salah satu pokok bahasan berjudul "Marine Security", dengan sub pokok bahasan "Marine Hot Spots" yang antara lain mengemukakan bahwa "High risk areas" adalah: Cuba and West Indies, Dominican Republic, Peru, Brazil, Columbia, Senegal, Togo, Bangladesh, Somalia, Tazmania, Persian Gulf, Indonesia, Philippines, dan Vietnam. Kriteria yang dipakai oleh Lloyd’s Register antara lain increased piracy attack, physical force, dan high state of alert. Merupakan kenyataan, statistik menunjukkan bahwa angka piracy attack di perairan kita pada paska krisis ekonomi dan moneter relatif meningkat dan membahayakan jiwa pelaut. Selain itu, physical force dipakai dalam kasus Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Papua, dan sejarah menunjukkan bahwa pada periode sebelum 2003, pergantian kepala negara selalu disertai pergolakan. Contoh : Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur. Kemudian high state of alert menunjukkan bahwa ‘Bom Bali’ menewaskan lebih dari 190 orang. 8 3) Adanya Isu Penerapan Seafarers Identity Document The Seafarers Identity Document (SID) atau Kartu Identitas Pelaut adalah semacam kartu identitas khusus pelaut yang dibuat memakai biometric finger scan standard yang tujuannya untuk melindungi pelaut dari tindakan diskriminasi karena adanya isu ancaman keamanan (security threat). Kartu ini tidak bisa dijadikan pengganti passport atau Buku Pelaut, namun dapat dijadikan pegangan yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah benar-benar pelaut yang tak terkait dengan terorisme. Pada tanggal 10 Desember 2004, Pemerintah RI telah mengirim surat No. B.1079/SJ/KLN-XII/04 tentang “Submission to Competent Authorities of the ILO Convention No. 185 concerning Seafarers’ Identity Document” kepada Sekretariat ILO di Jenewa, yang intinya menyampaikan keinginan RI untuk meratifikasi Konvensi tersebut. Pada tanggal 4 April 2005, pihak USTDA (US Trade and Development Agency) menyatakan kesediaan memberi bantuan hibah (grant aid) untuk keperluan pelaksanaan feasibility study penerapan SID di Indonesia yang akan dilakukan oleh konsultan Amerika Serikat (AS), dengan syarat bahwa kontraktor AS harus diizinkan untuk mengikuti pelelangan infra-struktur SID. AS tidak berminat meratifikasi Konvensi ILO No. 185 tentang SID karena standar keamanan SID di bawah standar US Homeland Security. Dari isu-isu di atas, dapat diketahui bahwa terdapat anggapan bahwa Indonesia adalah high risk area dengan high risk crew member. Istilah high risk bisa dipersepsikan identikal dengan black list tetapi bukan merupakan larangan bagi pelaut Indonesia untuk memasuki perairan AS, walaupun pada kenyataannya pelaut Indonesia tidak diperbolehkan turun dari kapal ke darat di semua pelabuhan di AS. Penerapan SID belum merupakan jaminan bahwa pelaut Indonesia terbebas dari kategori high risk crewmember. Namun tanpa menerapkan SID, daya saing pelaut Indonesia semakin merosot. 13 9 Urgensi Perlindungan Hukum Pelaut Indonesia Di era global ini, pelaut Indonesia sangat penting untuk mendapatkan perlindungan hukum. Urgensi perlindungan hukum pelaut indonesia didasarkan pada dasar-dasar pemikiran sebagai berikut: 1. Terkait dengan Peluang Ketersediaan Lapangan Kerja di Laut. Dengan membandingkan perkembangan jumlah kapal yang tersedia dengan perkiraan tenaga kerja (pelaut) di atas kapal, dapat digambarkan jumlah tenaga kerja (pelaut) yang dibutuhkan (lihat tabel di bawah). Dengan mengasumsikan tenaga kerja (pelaut) dalam satu kapal sekitar 60 orang untuk kapal yang besar dan 12 orang untuk kapal yang kecil, maka tenaga kerja yang ada di atas kapal diperkirakan sekitar 148.929 orang untuk tahun 2005. 14 Dengan asumsi bahwa tingkat pertumbuhan kapal setiap tahun sebesar 7,8 % maka ini setara dengan angkatan kerja setiap tahun sekitar 11.600 orang. Dari data yang ada bahwa jumlah lulusan setiap tahun untuk Sekolah Menengah Pelayaran adalah 5.934 orang dan untuk Perguruan Tinggi ada sebanyak 2.877 orang, maka angka ini masih berada di bawah kebutuhan pertumbuhan angkatan kerja di atas kapal (8.811 orang < 11.600 orang). 15 13 Dokumen Dirjen Perhungan Laut Departemen Perhubungan RI, 2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Op.Cit. Hlm. 78. 15 Loc.cit. 14 10 Tabel 1. Perkembangan Jumlah Kapal Dan Perkiraan Tenaga Kerja yang Dibutuhkan Tipe Kapal 1. General Cargo Jumlah Kapal Maret Septem. 2005 2005 Prediksi Tenaga Kerja 1.388 1.420 63.900 107 111 3.330 3. Roro 60 74 1.480 4. Bulk Carrier 22 22 440 233 321 12.840 1.448 1.537 26.129 229 247 12.350 1.357 1.536 12.288 9. Landing Craft 214 253 2.024 10. Fishing Vessel 874 874 10.488 11. Kapal Wisata 57 61 3.660 5.989 6.456 148.929 2. Container 5. Tanker 6. Barge ( Tongkang ) 7. Passenger ( Penumpang ) 8. Tug Boat TOTAL Sumber : Kantor Dirjendhubla Dephub RI 2005 dan data olahan. Lebih lanjut, jika dilihat kebutuhan tenaga kerja yang lebiih rinci bahwa dalam setiap kapal diisi oleh 20% lulusan akademi dan 80% lulusan sekolah menengah, maka jumlah tenaga ini setara dengan 2.320 orang dan 9.280 orang (2.877 > 2.320 dan 5.934 < 9.280). Análisis selanjutnya dengan peluang meraih tenaga kerja di kapal bebendera asing yang berlayar di kawasan Indonesia sebesar 25 % saja, dan dengan asumsi pertumbuhan kapal asing yang sama dengan kapal Indonesia maka peluang untuk tenaga kerja lulusan sekolah maritim setiap tahun setara dengan angkatan kerja sekitar 2.470 orang. Kesimpulan dari analisis ini adalah bahwa jumlah lulusan sekolah maritim yang ada diseluruh Indonesia masih mempunyai peluang kerja yang sangat bagus. Ketersediaan lapangan kerja dengan 11 jumlah lulusan masih belum berimbang dalam artian jumlah lulusan lebih sedikit dibanding dengan ketersediaan lowongan kerja. Akhir-akhir ini, terutama pada saat Indonesia mengalami masa krisis moneter, bekerja di kapal sebagai pelaut menjadi salah satu alternatif. Meskipun di sisi lain pihak industri perusahaan pelayaran di Indonesia juga mengalami dampak krisis, akan tetapi animo masyarakat untuk menjadi pelaut masih relatif tinggi. Hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya sekolah-sekolah pelayaran yang berdiri, baik di tingkat SPM (Sekolah Pelayaran Menengah) maupun perguruan tinggi. Tentunya masyarakat sangat menaruh harapan dengan masuk di sekolah pelayaran kelak kemudian mudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai. Namun kenyataannya tidak demikian, SPM maupun akademi pelayaran yang jumlahnya kurang lebih 131 yang setiap tahun dapat mencetak ribuan calon pelaut, selepas pendidikan hanya sedikit yang dapat tertampung di perusahaan pelayaran, karena kondisi perusahaan pelayaran nasional mengalami keterpurukan. Selain itu juga disinyalir masih banyak sekolah pelayaran yang belum sepenuhnya memenuhi stándar yang dipersyaratkan oleh IMO (International Maritim Organization). Dari kurang lebih 131 akademi maritim/ pelayaran yang ada, baru 17 yang diakaui oleh IMO. Dari 17 itu, 6 di antaranya lembaga pendidikan milik pemerintah dan 11 lainnya milik swasta.16 Hal ini berarti sebagian besar pendidikan pelayaran hanya sebagai ajang bisnis, tanpa memikirkan produk lulusan yang dihasilkannya. Selama pendidikan, para anak didik juga mengalami kesulitan untuk praktek, karena kurangnya kapal untuk menampung mereka. Kalaupun ada mereka harus antri untuk praktek di kapal-kapal konvensional. Padahal untuk bekerja di luar negeri mereka harus punya pengalaman di kapal-kapal modern dengan teknologi canggih. Pada tahun 2002, jumlah pelaut anggota KPI yang bekerja di kapal-kapal asing maupun nasional berjumlah kurang lebih 7.124 orang. Selama tahun 2003 mengalami 12 peningkatan, yaitu kurang lebih 8.330 orang, baik tingkat perwira maupun bawahan. Pada umumnya mereka bekerja di kapal pesiar di bagian hotel maupun katering (3.784 orang). Mereka yang bekerja di kapal asing sudah mendapatkan gaji stándar ILO. Gaji minimal pelaut di kapal asing berkisar US$465 per bulan, dan ditambah insentif lainnya sehingga dapat mencapai sekitar US$817. Untuk perwira gaji minimal US$781 dan ditambah insentif menjadi US$1.371 per bulan. Bahkan yang sudah menjadi master (setingkat MPB I) gaji minimalnya US$2.172 ditambah insentif menjadi US$4.418 per bulan. Sementara itu pelaut yang bekerja di kapal-kapal nasional gajinya jauh lebih kecil. Untuk perwira antara 2-5 juta per bulan. Untuk bawahan ada yang gajinya hanya 200 ribu per bulan. 17 2. Terkait dengan Devisa Negara Dalam konteks negara maritime seperti Indonesia, kedudukan pelaut menjadi hal yang sangat penting karena industri maritim berkembang dengan sangat pesat, dan ada puluhan konvensi internasional serta ratusan codes yang harus diimplementasi oleh RI. Hal ini dikarenakan di negara lain yang berhadapan dengan PSCO (Port Sate Control Officer) adalah Pelaut. Pelaut jugalah yang bernavigasi di laut dengan mengikuti COLREG 1972, bukan petugas Flag State atau para instruktur dari sekolah pelayaran. Di samping itu, seorang sailor (kelasi) yang bekerja di perusahaan asing (sebagai contoh: di kapal MV. Maasdam, Holland America Line, dapat memperoleh pendapatan bersih US$ 474,30 per bulan). Artinya, pelaut bawahan pun bisa menjadi pemasok devisa negara yang sangat potensial. Dengan catatan bahwa pelaut ini harus bersertifikasi sesuai dengan ketentuan standar internasional agar dapat diterima secara luas dan mudah di lapangan pekerjaannya. 18 3. Terkait dengan Risiko dan Tantangan Kerja Pelaut Risiko pada saat pelaut bekerja di kapal tinggi. Ketika kapal tenggelam karena terjangan hurricane yang menjadi korban adalah pelaut, bukan petugas Flag State atau para 16 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Op.Cit. Hlm.80. Majalah Maritim, No.297 th VI Edisi 25-31 Mei 2004 18 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. Op.Cit. Hlm 81. 17 13 instruktur dari sekolah pelayaran. Menyadari akan hal tersebut tantangan untuk menyelamatkan pelaut tidaklah ringan. Sebagai contoh dalam mengantisipasi isu terorisme pada akhir tahun 2004, ILO (International Labour Organization) menerbitkan draft “Maritime Labour Convention, 2005” dan ILO Convention No. 185 tentang “Seafarers’ Identify Document (SID)”. Dalam hal ini, Pemerintah RI sangat berkepentingan untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 185 tentang SID kepada Sekretariat ILO di Jenewa.19 Pada saat ini pelaut juga menghadapi tantangan kerja yang berat. Tantangan itu misalnya adalah European Communities atau Masyarakat Eropa telah menerbitkan Directive of the European Parliament and of the Council on "the minimum level of training of seafarers”, yang pada 17 November 2003 diamandemen dengan Directive 2003/103/EC. Pesan dari directive tersebut adalah jika pelaut non-EU termasuk Indonesia ingin bekerja di kapal milik EU, maka Indonesia harus memenuhi ketentuan EU. Menghadapi risiko dan tantangan kerja pelaut sekaligus untuk meningkatkan kualitas pelaut Indonesia, telah diterbitkan SKB 3 Menteri (DEPHUB, DEPDIKNAS, DEPNAKERTRANS) tanggal 11 September 2003 tentang “Sistem Standar Mutu Kepelautan Indonesia” yang dikenal dengan sebutan National QSS (Quality Standard System). Namun komitemen ini pun tidak lepas dari masalah internal yang harus dihadapi oleh pengelola lembaga diklat yang bekerja di lapangan. Sulitnya mencapai standar untuk mendapatkan pengesahan program dari Ditjen Perhubungan Laut bagi para pengelola lembaga diklat, sering kali dianggap sebagai contoh klasik birokrasi yang sibuk melayani dirinya sendiri.20 4. Terkait dengan Kebijakan Penerapan Asas Cabotage secara Penuh Penerapan asas cabotage secara utuh dan konsekuen sangatlah penting bagi sektor pelayaran Indonesia. Hal ini disebabkan transportasi laut dalam negeri mempunyai peranan sangat strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Selain berperan 19 Majalah Suara, 2004 dalam www.diklatdephub.go.id 14 dalam bidang ekonomi, armada niaga nasional dapat pula meningkatkan mobilitas dan interaksi sosial dan budaya antar warga bangsa Indonesia, mendukung pelaksanaan administrasi pemerintahan seluruh wilayah Indonesia dan sebagai penjembatan penghubung dan sarana integrasi wilayah Indonesia sebagai perwujudan konsep Wawasan Nusantara. Armada niaga nasional dapat pula menjadi komponen pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat dimobolisasikan sebagai pendukung pertahanan Negara di laut apabila negara dalam keadaan bahaya, seperti tercantum dalam UU No.3 Th.2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.27 Th.1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Oleh karena itu, pelayaran nasional harus dipegang oleh bangsa dan kapal Indonesia sendiri dengan mengimplementasikan asas cabotage secara utuh. Asas cabotage merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum laut internasional,21 terutama hukum pengangkutan laut. Asas ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri adalah sepenuhnya hak negara pantai. Negara pantai berhak melarang kapal-kapal laut asing berlayar dan berdagang sepanjang pantai dalam wilayah perairan negara pantai yang bersangkutan. Asas ini sering diartikan sebagai pelayaran niaga nasional dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain dalam wilayah suatu negara.22 Penerapan asas cabotage ini didukung oleh ketentuan Hukum Laut Internasional, berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara pantai atas wilayah lautnya. Oleh karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan suatu negara tanpa ijin dan alasan yang sah, misalnya untuk lintas damai, lintas alur laut kepulauan, lintas transit selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, pemberian bantuan keselamatan jiwa manusia, serta alasan 20 Makalah Sambutan Dirjen Perhubungan Laut Pada Munas II APPMI. Asas lain yang juga dikenal adalah asas Fair Share (asas pembagian muatan secara wajar) yaitu bahwa kapal-kapal dalam negeri atau kapal-kapal yang dioperasionalkan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri mempunyai hak untuk mengangkut bagian yang wajar dari muatan-muatan yang diangkut ke / dari luar negeri. 22 M. Hussen Umar. 2001. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia. Buku 2. Jakarta : Pusataka Sinar Harapan. Hlm.13. 21 15 yang sah dan dilakukan dengan cara yang benar tanpa melakukan tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara pantai. Dasar dan kepentingan utama penerapan asas cabotage adalah : (1) Untuk menjamin dan melindungi infrastruktur pembangunan kelautan nasional terutama pada saat negara dalam keadaan darurat, dibandingkan jika infrastruktur itu dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik; (2) Untuk membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan angkutan laut dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan lainnya; (3) Untuk mendukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi nasional; (4) Armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem pertahanan negara yang siap dimobilisasi ketika negara dalam keadaan darurat. Tujuan penerapan asas cabotage adalah : (1) Mencegah/mengurangi ketergantungan kepada pelayaran kapal-kapal asing; (2) Memperlancar arus barang/jasa dan manusia ke seluruh wilayah nusantara secara luas dengan pelayanan maksimal akan tetapi dengan harga yang wajar, termasuk ke daerah-daerah terpencil. (3) Salah satu upaya penyedia kesempatan kerja bagi warga negara; (4) Sebagai andalan dan penunjang sistem Pertahanan dan Keamanan Nasional (Hankamnas). Pada saat ini, terutama menghadapi era perdagangan bebas, di kalangan para pelaku usaha di bidang pelayaran terdapat anggapan yang keliru bahwa penerapan asas cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku global dan diterapkan oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi perdagangan. Anggapan yang keliru itu membuat pelaku usaha pelayaran domestik sering mendapat perlakuan yang kurang adil, terutama dari perusahaan-perusahaan pelayaran asing.23 Pada saat ini kondisi pelayaran nasional Indonesia mengalami keterpurukan. Keterpurukan itu telah lama menjadi kerisauan para pelaku usaha pelayaran domestik Indonesia. Sampai saat ini pemerintah selaku regulator belum juga mengambil langkah- 16 langkah mendasar dan tegas untuk memperbaiki kondisi pelayaran nasional. Padahal, pelayaran memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor ini merupakan bagian dari infrastruktur dan berperan sebagai industri jasa yang strategis, serta mampu menghasilkan devisa bagi negara. Namun, seluruh potensi itu belum termanfaatkan dengan baik. Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih banyak dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Di sisi lain share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen, siasanya dikuasai oleh kapal-kapal asing. 24 Simpulan Di era global seperti sekarang ini, sektor maritim memainkan peranan yang sangat penting dan strategis dalam berbagai macam aktivitas, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta aktivitas yang berkaitan dengan hubungan antar pulau dan antar negara, khususnya dalam bidang perdagangan nasional maupun internasional. Dampak dari globalisasi dan perdagangan dunia (bebas) telah membawa perubahan besar bagi sektor maritim Indonesia, terutama di bidang teknologi industri maritim dan keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaut Indonesia. Menghadapai globalisasi dan perdagangan bebas pelaut Indonesia terancam akan tersingkir dari pelaut asing. Hal ini disebabkan karena kualitas SDM yang rendah dalam hal etos kerja, penguasaan bahasa asing, dan kurangnya disiplin kerja. Isu-isu yang dihadapi pelaut Indonesia di mata masyarakat internasional yang menunjukkan persepsi negatif terhadap pelaut Indonesia antara lain ditunjukkan dengan adanya Isu Black List, High-Risk 23 24 Gatot Widakdo, Kompas, 12 Agustus 2004. Gatot Widakdo, “Perbankan Acuh, Industri Pelayaran Membangun Kapal di Luar Negeri”, Kompas, 12 Agustus 2004. 17 Area, dan Penerapan Seafarers Identity Document. Isu-isu ini menyulitkan posisi pelaut Indonesia di kancah internasional. Pemerintah Indonesia sangat berkepentingan untuk melindungi secara hukum pelaut Indonesia. Hal ini didasarkan pada kepentingan-kepentingan antara lain : terkait dengan peluang ketersediaan lapangan kerja di kapal, sebagai sumber devisa negara, pekerjaan pelaut yang penuh risiko, dan kebijakan penerapan asas cabotage secara utuh sebagai negara maritim yang mempunyai hak ekslusif. Referensi : Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2004. “Studi Penerapan Asas Cabotage Dalam Pelayaran Nasional.” Laporan Akhir Penelitian. Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perhubungan RI, 2005. “Studi Kebutuhan SDM tarnsportasi Laut”. Laporan Akhir Penelitian. Jakarta; Djamaludin Ancok,2004. Psikologi Terapan. Yogyakarta : Darussalam offset; M. Hussen Umar. 2001. Hukum Maritim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia. Buku 2. Jakarta : Pusataka Sinar Harapan; Pelindo, PT, 2000, Pelayaran dan Perkapalan, PT Pelindo, Jakarta; Pusdiklat Ahli Pelayaran, (1985), Bangunan Kapal untuk Strata A, Pusdiklat Ahli Pelayaran, Surabaya; Suyono. RP. 2001. Shipping, Pengangkutan intermodal, Ekspor Impor Melalui Laut. Jakarta : PPM; Safril, KA. 2000. Jurnal Penelitian Vol.2 No. 1 Agustus 2000; Majalah Maritim, No.297 th VI Edisi 25-31 Mei 2004; Kompas, 12 Agustus 2004; Kompas 19 Agustus 2002; www.diklatdephub.go.id., (2004). Changes of Paradigm. Oleh: Kepala Badan Diklat Perhubungan pada Rapat Dinas Diklat Tahun 2004;