BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diare Diare (diarrheal disease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus. Diare adalah suatu keadaan kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui tinja, sehingga terjadi perubahan konsistensi tinja (lembek dan cair), hal ini disebabkan oleh hipersekresi ataupun gangguan absorpsi (mukosa rusak, area absorpsi yang berkurang, hiperosmolaritas dan lain-lain). Diagnosis kerja diare akut secara epidemilogik di masyarakat, berarti berak lembek cair samapai cair sebanyak ≥ 3 kali perhari. Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten. Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2007a), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari. Diare pada bayi dan anak, keadaan ini dapat diukur dengan jumlah feses yang lebih banyak dari 10 g/kgBB/24 jam atau melewati batas normal pada dewasa 200g/24 jam. Dasar semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus, perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara pasif dan hal ini ditentukan oleh aliran secara aktif maupun pasif, terutama natrium, klorida dan glukosa. 7 8 Jenis – jenis Diare 2.2 Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu: 1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. 2. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah. 3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. 4. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat Sedangkan menurut Depkes RI (2007b), berdasarkan jenis diare dibagi menjadi empat yaitu : 1. Diare Akut Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi penyebab utama kematian pada penderita diare. 2. Disentri Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibatnya adalah anoreksia, penurunan berat badan cepat dan kemungkinan terjadi komplikasi pada mukosa. 3. Diare Persisten Diare persisten yaitu, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibatnya penurunan berat badan dan gangguan metabolisme. 4. Diare dengan masalah lain Diare akut dan persisten sering juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi dan penyakit lain. 9 Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak yang terjadi pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung terus menerus selama lebih dari 2 minggu. Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002). Diare mengakibatkan terjadinya: 1. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, dan asidosis metabolik. 2. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal. 3. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008). 10 Sedangkan diare akut dapat mengakibatkan : 1. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia 2. Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah 3. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto, 2002). 2.3 Penyebab Diare Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: 1. Infeksi yang dapat disebabkan oleh : a) Bakteri, misalnya : Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan aeromonas; bakteri penyebab infeksi diare antara lain Salmonella, Shigella, dan E. coli. Shigella, yang sering menyebar melaui orang ke orang, dapat merusak dinding saluran pencernaan dan menyebabkan semacam luka yang berdarah. Sedikit saja jumlah bakteri Shigella yang diperlukan agar terjadi infeksi. Paling tidak lima kelas bakteri E. coli sering menyebabkan infeksi diare pada anak-anak. Bakteri E. coli ini menyerang langsung dinding saluran pencernaan atau menghasilkan suatu racun yang dapat 11 mengiritasi saluran pencernaan. Akibatnya anak akan sakit. Infeksi karena E. coli ini sering menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi kotoran manusia dan daging yang dimasak kurang matang. b) Virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan adenovirus. c) Parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto. Infeksi parasit walaupun jarang dijumpai juga dapat menyebabkan diare. Parasit penyebab diare umumnya adalah Giardia karena parasit ini mampu hidup di tempat-tempatdimana kuman lain tidak dapat hidup. Infeksi akibat Giardia dapat menyebabkan diare yang kronik. 2. Alergi Alergi terhadap makanan tertentu seperti laktosa susu yang dijumpai pada susu kaleng atau dapat juga karena alergi terhadap susu sapi. 3. Malabsorbsi Malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktosa atau akibat garam magnesium yang terjadi karena diare osmotik yaitu bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. 4. Keracunan yang dapat disebabkan oleh : a) Keracunan bahan kimiawi b) Keracunan oleh bahan yang dikandung dan diproduksi oleh jazad renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran. 12 5. Immunodefisiensi Immunodefisiensi terjadi pada orang yang menderita penyakit HIV/AIDS dimana infeksi HIV menyebabkan sistem imun penderita menjadi lemah dan penderita lebih mudah untuk terkena infeksi yang secara normalnya bisa dilawan. Pertahanan tubuh terhadap infeksi dan penyakit dimusnahkan oleh HIV dengan cara memusnahkan CD4+ dan ini menghilangkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi akibatnya penderita mengalami infeksi opportunistik. Antara infeksi opportunistik yang menyebabkan infeksi gastrointestinal hingga menyebabkan diare kronik pada HIV adalah Cryptosporidiosis yaitu sejenis parasit. Symptom yang dapat disebabkannya adalah keram lambung, nausea, lemah, berat badan menurun, hilang selera makan, muntah, dan dehidrasi (Coffey, 2009). 6. Sebab-sebab lain seperti imunisasi dimana diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. 2.4 Patofisiologi Diare Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transportasi terhadap air dan elektrolit pada saluran cerna. Beberapa gangguan yang menyebabkan terjadinya diare yaitu sebagai berikut : 1. Diare osmotik Diare osmotik dapat terjadi dalam beberapa keadaan yaitu : a) Intoleransi makanan, yaitu apabila seseorang mengkonsumsi berbagai jenis makanan dalam jumlah besar sekaligus. 13 b) Waktu pengosongan lambung yang cepat, yaitu terjadi pada pasien yang sudah mengalami gastrektomi atau gastroenterostomi, dimana makanan yang masih hipertonik akan masuk ke usus halus akibatnya timbul sekresi air dan elektrolit ke usus yang mengakibatkan volume isi usus halus bertambah dengan tiba-tiba sehingga menimbulkan distensi usus. Distensi usus mengakibatkan diare berat yang disertai hipovomik intravaskuler. c) Defisiensi enzim, misalnya enzim laktase yaitu enzim yang disekresi oleh intestin untuk mencerna disakrida laktase menjadi monosakarida glukose dan galaktose. Enzim laktase diproduksi dan disekresi oleh sel epitel usus halus sejak dalam kandungan dan diproduksi maksimum pada waktu lahir sampai usia anak-anak dan menurun sejalan dengan pertambahan usia. 2. Diare sekretorik Pada diare jenis ini terjadi peningkatan sekresi cairan dan elektrolit yang ditimbulkan oleh dua kemungkinan yaitu diare sekretorik aktif dan diare sekretorik pasif. Diare sekretorik pasif disebabkan oleh tekanan hidrostatik dalam jaringan karena terjadi pada ekspansi air dari jaringan ke lumen usus. Sedangkan diare sekretorik aktif terjadi bila terdapat gangguan aliran (absorpsi) dari lumen ke dalam plasma atau percepatan cairan dari plasma ke lumen. Kedua jenis diare sekretorik ini menyebabkan ketidakseimbangan dimana aliran sekresi lebih banyak daripada aliran absorpsi sehingga menimbulkan diare. 14 3. Diare akibat gangguan absorpsi elektrolit. Diare jenis ini disebabkan oleh kerusakan di atas vili mukosa usus, sehingga terjadi gangguan absorpsi elektrolit dan air yang mengakibatkan terjadinya diare. Diare ini banyak terjadi pada kondisi infeksi/malnutrisi dan kerusakan sel epitel. Malnutrisi adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan sel epitel yang baru ada yang rusak sehingga jika jumlah sel yang rusak lebih banyak maka makanan menjadi susah diabsorpsi 4. Diare akibat hipermotilitas (hiperperistaltik) Dimana terjadi pacuan dari neuron dan hormonal menyebabkan motilitas meningkat (misalnya makanan menjadi lebih cepat turun sehingga jumlah makanan yang diabsorbsi menurun) akibatnya gangguan absorbsi terganggu. 2.5 Gejala Diare Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi tiga kali atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai : muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi. Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja 15 mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare. Bila penderita banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya. Kehilangan cairan akibat diare menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat. Tanda-tanda dehidrasi pada anak yaitu : 1. Tanpa dehidrasi : keadaan umum baik, mata normal, air mata ada, mulut dan lidah basah, rasa haus ada dan minum seperti biasa, turgor kulit kembali cepat. 2. Dehidrasi ringan-sedang : keadaan umum gelisah, rewel, mata normal, air mata tidak ada, mulut dan lidah kering, rasa haus ada dan ingin minum terus, turgor kulit kembali lambat. 3. Dehidrasi berat : keadaan umum lemah, lunglai, tidak sadar, mata sangat cekung dan kering, air mata tidak ada, mulut dan lidah sangat kering, rasa haus ada tetapi tidak bisa minum, turgor kulit kembali sangat lambat (Subijanto,dkk, 2000) 16 2.6 Pengobatan dan Perawatan Diare Penanggulangan diare berdasarkan tingkat dehidrasi (Depkes RI, 2010) yaitu : 1. Rencana terapi A, untuk diare tanpa dehidrasi Pada bayi, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang utama. Berikan ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap pemberian. Jika bayi memperoleh ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan namun jika bayi tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan satu atau lebih cairan berikut : oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang. 2. Rencana terapi B, untuk diare dengan dehidrasi ringan-sedang a. Jumlah oralit yang diperlukan 3 jam pertama : 75 ml/kgBB Mulailah memberi makan segera setelah anak ingin makan dan lanjutkan pemberian ASI b. Berikan tablet zinc selama 10 hari c. Setelah 3 jam, ulangi penilaian derajat dehidrasinya dan pilih rencana terapi yang sesuai 3. Rencana terapi C, untuk diare dengan dehidrasi berat Pada keadaan ini anak memerlukan perhatian yang lebih khusus dan berikan cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, berikan oralit melalui mulut, sementara infus disiapkan. Berikan 100 ml/kgBB cairan ringer laktat atau ringer asetat (atau jika tidak tersedia, gunakan larutan NaCl) yaitu dosis pemberian cairan untuk umur kurang dari 1 tahun adalah 30ml/kgBB untuk 1 jam yang pertama dan seterusnya diberikan 17 75ml/kgBB setiap 5 jam. Dosis pemberian cairan untuk anak 1-4 tahun adalah 30ml/kgBB untuk ½ jam yang pertama dan seterusnya diberikan 70ml/kgBB setiap 2 ½ jam. 2.7 Lama Rawat Inap dan Perawatan Diare di Rumah Sakit Rawat inap (opname) adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien oleh tenaga kesehatan profesional akibat penyakit tertentu, di mana pasien diinapkan di suatu ruangan di rumah sakit . Ruang rawat inap adalah ruang tempat pasien dirawat. Ruangan ini dulunya sering hanya berupa bangsal yang dihuni oleh banyak orang sekaligus. Saat ini, ruang rawat inap di banyak rumah sakit sudah sangat mirip dengan kamar-kamar hotel. Pasien yang berobat jalan di Unit Rawat Jalan, akan mendapatkan surat rawat dari dokter yang merawatnya, bila pasien tersebut memerlukan perawatan di dalam rumah sakit, atau menginap di rumah sakit (Wikipedia, 2011). ALOS merupakan indikator untuk mengukur rata-rata lama waktu pasien mendapat perawatan. ALOS yaitu rata – rata jumlah hari pasien rawat inap tinggal di rumah sakit, tidak termasuk bayi lahir. Standar efisiensi ALOS 3 – 12 hari dan ALOS dianjurkan serendah mungkin tanpa mempengaruhi kualitas pelayanan perawatan. Standar ALOS menurut Depkes RI tahun 2009 untuk perawatan pasien diare di rumah sakit adalah 4 hari. Lama rawat diare menunjukkan periode waktu saat bentuk tinja cair dan frekuensi yang lebih dari biasanya sampai konsistensi tinja lembek atau padat berbentuk (dihitung dari waktu menderita diare di rumah sampai diare berhenti di rumah sakit). 18 Perawatan pasien diare diawali dengan pemeriksaan pasien diare yaitu dengan diagnosis pada diare. Langkah-langkah diagnosis sebagai berikut: 1. Anamnesis Anamnesis yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: a. Umur b. Jenis kelamin c. Frekuensi diare d. Lamanya diare 2. Pemeriksaan fisik 3. Laboratorium a. Tinja b. Darah c. Kultur tinja maupun darah d. Serologi 4. Endoskopi Setelah anamnesis dan diagnose, dilakukan tatalaksana dan pengobatan diare tergantung penyebabnya, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang merupakan tindakan penanganan terpenting pada muntah dan diare akut. Pada berbagai kasus hanya tindakan ini yang diperlukan. Penggantian cairan dan elektrolit harus diberikan secara intravena. Pada penderita-penderita dehidrasi berat, syok hipovolemik dan muntah hebat, pemberian cairan dan elektrolit harus didasarkan atas hasil tes-tes laboratorium. Kebanyakan kasus penyakit diare akut, fungsi pencernaan usus tetap normal, maka penggantian cairan secara per oral cukup berguna bagi penderita yang tidak muntah dan tidak 19 mengalami dehidrasi berat. Gula (glukosa atau fruktosa) harus disertakan pula dalam larutan elektrolit untuk memberikan cukup kalori dan meningkatkan absorbsi (Trunkey et al., 1995). Sedangkan standar pelayanan medis untuk perawatan pasien diare akut di BRSU Tabanan adalah sebagai berikut : 1. Diare akut dengan kriteria diagnostik berupa mencret, ubun-ubun cekung, mulut/bibir kering, turgor menurun, nadi cepat, mata cekung, nafas cepat dan dalam. 2. Diagnosis banding : mencret psikologi yang disebabkan oleh Shigella, V.cholera, Salmonela, E.rotavirus, Campilobacter. 3. Pemeriksaan penunjang berupa : kultur tinja, pemeriksaan rutin tinja, bila perlu analisis gas darah/elektrolit. 4. Konsultasi kepada Dokter Spesialis Anak, standar tenaga medik : Dokter Umum. 5. Perawatan RS : rawat inap apabila terdapat dehidrasi berat. 6. Terapi pengobatan : rehidrasi oral/parenteral, antibiotik atas indikasi, diet. 7. Penyulit : asidosis, hipokalemi, renjatan, hipernatremi, kejang. 8. Informed consent : tertulis, diperlukan untuk tindakan pungsi lumbal. 9. Lama perawatan 3 – 5 hari, masa pemulihan 2 – 3 minggu. 10. Luaran/output yang diharapkan : sembuh total (SPM BRSU Tabanan, 2011). 20 2.8 Konsep Dasar Timbulnya Penyakit Dalam pandangan Epidemiologi Klasik dikenal “Segitiga Epidemilogi” (epidemiologic triangle) yang digunakan untuk menganalisis terjadinya penyakit. Segitiga ini terdiri atas pejamu (host), agent (agent) dan lingkungan (environment). PEJAMU AGENT LINGKUNGAN Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi Konsep ini bermula dari upaya untuk menjelaskan proses timbulnya penyakit menular dengan unsur-unsur mikrobiologi yang infeksius sebagai agent, namun selanjutnya dapat pula digunakan untuk menjelaskan proses timbulnya penyakit tidak dengan memperluas pengertian “agent”. Dalam konsep ini faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Agent penyakit (faktor etiologi) a. Zat nutrisi ekses (kolesterol) / defisiensi (protein) b. Agent kimiawi zat toksik (CO) / alergen (obat) c. Agent fisik (radiasi) d. Agent infeksius 2. Faktor pejamu (faktor intrinsik) mempengaruhi pajanan, kerentanan, respons terhadap agent 21 a. Genetik (buta warna) b. Usia c. Jenis kelamin d. Ras e. Status fisiologis (kehamilan) f. Status imunologis (hipersensitivitas) g. Penyakit lain yang sudah ada sebelumnya h. Perilaku manusia (diet) 3. Faktor lingkungan (faktor ekstrinsik) mempengaruhi keberadaan agent, pajanan atau kerentanan agent. a. Lingkungan fisik (iklim) b. Lingkungan biologis - Populasi manusia (kepadatan penduduk) - Flora (sumber makanan) - Fauna (vektor arthropoda) c. Lingkungan sosial ekonomi - Pekerjaan (pajanan terhadap zat kimia) - Urbanisasi dan perkembangan ekonomi (kehidupan perkotaan) - Bencana dan musibah (banjir) 22 2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Rawat Inap Pasien Diare 1. Umur Umur anak adalah lama hidup anak yang dihitung berdasarkan sejak bulan kehidupan sampai bulan pada saat dilakukan penelitian. Penyakit diare merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Dari daftar urutan penyebab kunjungan puskesmas/balai pengobatan hampir selalu termasuk dalam 3 penyebab utama. Dengan demikian di Indonesia diperkirakan ditemukan penderita diare sekitar 60 juta setiap tahunnya, sebagian besar (70-80%) adalah umur < 5 tahun. Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari suatu kesehatan manusia karena : a. Ada kaitan dengan daya tahan tubuh. Pada umumnya daya tahan tubuh orang dewasa lebih kuat daripada daya tahan bayi atau anak-anak. b. Ada kaitannya dengan ancaman terhadap kesehatan. Orang dewasa yang karena pekerjaannya ada kemungkinan menghadapi ancaman penyakit yang lebih besar daripada anak-anak. c. Ada kaitannya dengan anak-anak, maka orang dewasa lebih banyak yang merokok dan atau minum minuman beralkohol, sehingga kemungkinan terkena penyakit akibat merokok dan alkohol juga lebih besar. Pengaruh umur tampak jelas pada manifestasi diare. Komplikasi lebih banyak terjadi pada umur di bawah 2 bulan secara bermakna dan makin muda umur bayi makin lama kesembuhan klinik diarenya. Kerusakan mukosa usus yang menimbulkan diare dapat terjadi karena gangguan integritas mukosa usus yang banyak dipengaruhi dan dipertahankan oleh sistem imunologik intestinal serta regenerasi epitel usus yang pada masa bayi muda masih terbatas kemampuannya. 23 Hasil penelitian Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie menunjukkan bahwa diare terbanyak diderita oleh anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan. 2. Status Gizi Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi. Metode penilaian tersebut adalah : konsumsi makanan, pemeriksaan laboratorium, pengukuran antropometri dan pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Status gizi pada balita berkaitan dengan jumlah dan susunan diet makanan sehari-hari yang dikonsumsi. Jenis makanan masyarakat Indonesia sangat bervariasi tergantung dari tersedianya jenis dan jumlah bahan pangan yang tersedia. Selain itu juga tergantung pada kebiasaan dan tradisi setempat yang pada umumnya cenderung mengkonsumsi karbohidrat tinggi seperti nasi, jagung, ketela dan lain-lain, sementara itu untuk kandungan protein, lemak, mineral dan vitamin masih kurang. Hal ini juga berkaitan dengan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat, sehingga daya beli masyarakat rendah. Semua itu bila berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya kekurangan nutrisi baik kualitas maupun kuantitas sehingga pada akhirnya akan terjadi gangguan nutrisi khususnya kekurangan gizi. 24 Status gizi pada balita berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit, karena beberapa zat gizi ada yang berguna untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Semua kondisi tersebut, baik oleh karena defisiensi makanan, penyakit infeksi dan keterbelakangan serta berbagai perilaku lain yang tidak sehat pada akhirnya akan bermuara pada gangguan kesehatan dan berbagai jenis patologi, salah satunya infeksi bakteri yang menyebabkan penyakit diare. Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan produksi antibodi serta terjadinya atropi pada dinding usus yang menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami. Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang. Pada penderita gizi buruk dan malnutrisi, serangan diare terjadi lebih sering dan lebih lama. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan semakin berat diare yang dideritanya. Malnutrisi menyebabkan kerusakan barier mukosa sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Malnutrisi juga mengganggu produksi dan maturasi dari enterosit-enterosit baru sehingga merubah morfologi intestinal. Diare pada anak dengan malnutrisi dan gizi buruk cenderung lebih berat, lebih lama dan angka kematiannya lebih tinggi dibandingkan dengan diare pada anak dengan gizi baik (Suharyono, 2002). 25 3. Tingkat Dehidrasi Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya. Kehilangan cairan akibat diare menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat. Semakin berat tingkat dehidrasi yaitu dengan gejala lemah, tidak sadar, tidak mau minum, kelopak mata sangat cekung, sangat kering, kulit pucat, berat badan turun >10% dari berat badan sebelumnya, akan memperparah diare yang dialami oleh bayi dan balita. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto (2011) yaitu penelitian observasional analitik pada 102 anak berusia antara 1 bulan sampai 5 tahun, yang menderita diare akut dengan atau tanpa dehidrasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik dan RSU. dr. Pirngadi, Medan, Sumatera Utara, pada bulan Juni sampai Agustus 2010. Hasil penelitian Ariyanto (2011) menunjukkan bahwa dari 118 kasus diare akut, dieksklusikan 16 orang dan tinggal 102 anak yang diteliti selama dirawat di rumah sakit dan dijumpai kasus diare akut tanpa dehidrasi sebanyak 1 (1%), diare akut dengan dehidrasi ringansedang sebanyak 89 (87,3%), diare akut dengan dehidrasi berat sebanyak 12 (11,7%), dan lama masa rawat di rumah sakit atau length of stay (mean ± SD) adalah sebagai berikut, tanpa dehidrasi 76 ± 0 jam, dehidrasi ringan-sedang 65,4 ± 16,61 jam ( 95% CI : 61,91 – 68,90), dehidrasi berat 71,17 ± 17,35 jam ( 95% CI : 60,15 – 82,19). Kesimpulan penelitian tersebut adalah tidak ada perbedaan bermakna antara lama masa rawat di rumah sakit dengan derajat dehidrasi akibat diare akut pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. 26 Hasil penelitian di atas bertentangan dengan teori yang penulis dapatkan sebelumnya, oleh karena itu penulis meneliti variabel bebas tingkat dehidrasi terhadap lama rawat inap bayi dan balita penderita diare akut. 4. Riwayat Pemberian ASI Eksklusif Menurut Depkes RI (2005), ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi tanpa makanan dan minuman lain kecuali sirup obat dan vitamin dalam bentuk tetes, untuk jangka waktu bayi sampai umur enam bulan. Sedangkan Roesli (2000) menyatakan definisi yang sama dengan WHO dimana pemberian ASI Eksklusif artinya bayi hanya diberikan ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, teh, air putih juga tambahan makanan padat seperti pisang, bubur, pepaya, susu, biskuit, bubur nasi maupun tim sampai bayi berusia enam bulan. Manfaat ASI bagi bayi adalah ASI mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Kolostrum yang terkandung dalam ASI mengandung zat kekebaalan 10-17 kali lebih banyak daripada susu matang. ASI eksklusif membantu melindungi bayi dari diare, sindrom Sudden Infant Death (SID), penyakit infeksi telinga, batuk, pilek dan penyakit alergi (Roesli, 2000). Pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI eksklusif pada enam bulan pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes RI, 2000). 27 Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan. Pemberian ASI dapat memperpendek lama rawat inap bayi yang menderita diare karena : 1. ASI bersih dan bebas bakteria sehingga tidak membuat bayi sakit. 2. ASI mengandung antibodi (zat kekebalan) imunoglobulin terhadap bakteri infeksi. Hal ini akan membantu melindungi bayi sampai bayi bisa membuat antibodinya sendiri. 3. ASI mengandung sel darah putih (leukosit) hidup yang membantu memerangi infeksi. 4. ASI mengandung zat yang disebut faktor bifidus yang membantu bakteria khusus, yaitu laktobacillus bifidus, tumbuh dalam usus halus bayi. Laktobacillus bitidus mencegah bakteria berbahaya lainnya tumbuh dan menyebabkan diare. 5. ASI mengandung laktoferin yang mengikat zat besi. Hal ini mencegah pertumbuhan beberapa bakteria berbahaya yang memerlukan zat besi. 5. Kelas Ruangan Perawatan Kelas perawatan adalah tingkatan fasilitas ruangan perawatan yang dipilih oleh pasien disesuaikan dengan pendapatan yang dimiliki, semakin baik 28 fasilitasnya maka nilai nominal yang dikeluarkan semakin tinggi (Anjaryani, 2009). Secara umum kelas ruangan perawatan dibedakan menurut fasilitas yang disediakan, yaitu sebagai berikut : 1. Kelas III : Satu kamar 5-6 Pasien (satu tempat tidur 1 pasien) Kipas angin 2. Kelas II : Satu kamar 3-4 Pasien (satu tempat tidur 1 pasien) Kipas angin 3. Kelas I : Satu kamar 2 Pasien (satu tempat tidur 1 pasien) Kamar mandi di dalam 4. Madyatama : 2.10 Satu kamar 1 pasien TV, AC, Kulkas, Intercom, Telpon, sofa Kamar mandi di dalam Sentral gas medik Metode Survival Analysis Analisis kesintasan (Survival Analysis) merupakan analisis statistika khusus yang digunakan untuk menganalisis data yang variabelnya berkaitan dengan waktu hingga munculnya suatu peristiwa. Armitage dan Berry (1987) mengatakan bahwa analisis kesintasan merupakan analisis yang melibatkan uji statistik untuk menganalisis data yang variabelnya berkaitan dengan waktu atau 29 lamanya waktu sampai terjadinya peristiwa tertentu. Analisis kesintasan ialah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data yang outcome variabel yang diteliti adalah waktu hingga suatu peristiwa muncul. Waktu kesintasan dapat didefinisikan sebagai waktu dari awal observasi hingga terjadinya peristiwa, dapat dalam hari, bulan, maupun tahun. Peristiwa tersebut dapat berupa perkembangan suatu penyakit, respon terhadap perawatan, kambuhnya suatu penyakit, kematian atau peristiwa lain yang dipilih sesuai dengan kepentingan si peneliti. Oleh karena itu waktu kesintasan dapat berupa waktu sembuhnya dari penyakit, waktu dari memulai perawatan hingga terjadi respon, dan waktu hingga terjadi kematian. Dalam menentukan waktu kesintasan, T, terdapat 3 elemen dasar yang diperlukan yaitu : 1. Waktu awal (time origin) 2. Peristiwa akhir/waktu akhir (failure event) 3. Skala waktu sebagai satuan pengukuran waktu T (lama waktu) waktu awal waktu akhir Gambar 2.2 Elemen dasar analisis kesintasan T adalah lama dari waktu awal (time origin) misalnya dari lahir hingga terjadi peristiwa tertentu misalnya kematian dalam tahun (skala waktu). Waktu awal harus didefinisikan dengan jelas, namun tidak harus waktu kelahiran misalnya waktu awal melakukan perawatan atau awal didiagnosa penyakit tertentu 30 (untuk percobaan klinis). Begitu juga waktu akhir harus didefinisikan secara jelas tidak harus kematian, misalnya waktu terjadinya struk, atau waktu kambuhnya penyakit. Analisis kesintasan memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai berikut : 1. Mengestimasi dan mengiterpretasikan fungsi kesintasan dan/atau fungsi hazard 2. Membandingkan fungsi kesintasan dan/atau fungsi hazard pada 2 kelompok atau lebih 3. Mengestimasi hubungan antara variabel penjelas dengan waktu kesintasan 2.10.1 Life Table Tabel kematian atau Life Table adalah suatu metode analisis data longitudinal mengenai pola kematian menurut umur. Metode ini dapat dipakai mengukur lama hidup atau yang lebih dikenal dengan harapan hidup atau expectation of life pada setiap umur dari suatu kelompok penduduk dengan karakteristik sama yang dikenal dengan kohort. Selain itu, metode ini memberlakukan kejadian tertutup, yaitu terhadap kematian yang dipantau dari setiap anggota kohort sampai semuanya mengalami kematian (Widarsa, 2009). 2.10.2 Data Tersensored (Censored) Perbedaan antara analisis kesintasan dengan analisis statistika lainnya ialah terdapatnya suatu peristiwa yang lama waktu terjadinya terhadap objek adalah bervariasi. Selain itu adanya kemungkinan beberapa objek yang waktu sampai terjadinya peristiwa tidak diobservasi secara penuh (sensor). Data 31 dikatakan tersensor jika observasi waktu kesintasan hanya sebagian, tidak sampai failure event. Penyebab terjadinya data tersensor antara lain : 1. Loss to follow up, terjadi bila objek pindah, meninggal atau menolak untuk berpartisipasi 2. Drop out, terjadi bila perlakuan dihentikan karena alasan tertentu 3. Termination of study, terjadi bila masa penelitian berakhir sementara objek yang diobservasi belum mencapai failure event 4. Death, jika penyebab kematian bukan dibawah penyelidikan (misalnya bunuh diri) Sedangkan menurut Kleinbaum dan Klein (2005) ada 3 alasan umum terjadinya penyensor, yaitu: 1. Objek tidak mengalami peristiwa sebelum masa penelitian berakhir 2. Objek hilang selama masa follow-up ketika masa penelitian 3. Objek ditarik dari penelitian karena kematian (jika kematian bukan peristiwa yang diobservasi) atau disebabkan alasan lain. Situasi ini diilustrasikan dengan grafik di bawah ini. Grafik menggambarkan beberapa orang atau objek yang diikuti. 𝑋 menyatakan orang atau objek yang mendapatkan peristiwa. 32 2 A 4 6 8 10 12 X B C Penelitian berakhir dikeluarkan D Penelitian berakhir E hilang F X Gambar 2.3 Grafik data tersensor 1. Left-censored, observasi dikatakan left-cencored jika objek yang diobservasi mengalami peristiwa di bawah waktu yang telah ditetapkan atau ketika masa observasi belum selesai 2. Right-censored, obsevasi dikatakan right-cencored jika objek masih hidup atau masih beroperasi ketika masa observasi telah selesai 3. Interval-censored, ketika objek mengalami peristiwa diantara interval waktu tertentu maka observasi dikatakan interval-censored. Menurut Lee dan Wang (2003) ada 3 tipe penyensoran data, yaitu: 1. Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa 33 observasi selesai, dan sebagian lagi mengalami peristiwa diluar yang ditetapkan 2. Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak mengalami peristiwa disensor 3. Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek berbeda-beda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored 2.10.3 Kaplan Meier Prosedur Kaplan-Meier yang pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Meier pada tahun 1958 untuk menganalisis harapan hidup untuk periode waktu tertentu dari sebuah penelitian kohort atau eksperimental (follow-up study). Metode ini juga disebut sebagai the product-limit method of estimating survival probabilities karena probabilitas harapan hidup sampai waktu tertentu merupakan perkalian probabilitas dari waktu ke waktu. Kaplan-Meier survival analysis (KMSA) adalah metode untuk membuat table dan grafik fungsi harapan hidup (survival function) atau fungsi kematian kasar (hazard function) untuk lama waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event data). Waktu terjadinya kondisi yang diteliti, misalnya waktu terjadinya kematian, waktu mulai hilangnya gejala tertentu, dan lainnya. Metode ini tidak didisain untuk menganalisis efek dari variable kovariat, tetapi metode KMSA merupakan prosedur deskriptif untuk data lama waktu terjadinya suatu kondisi (time to event data) bila waktu hanya satu-satunya variabel yang berperan. Bila ada faktor kovariat selain waktu yang dianggap berperan terhadap lama waktu timbulnya 34 kondisi yang diteliti, maka hasil analisis KMSA akan bias akibat adanya efek dari faktor kovariat tersebut. Bila terdapat faktor kovariat yang mempengaruhi lama waktu terjadinya kondisi yang diteliti, metode analisis yang dapat dipakai adalah Regresi Cox sedangkan metode KMSA masih perlu dilakukan sebagai langkah awal dari analisis Regresi Cox. Sebenarnya metode life-table sama dengan Kaplan-Meier, namun pada life-table objek diklasifikasi berdasarkan karakteristik tertentu yang masingmasing karakteristik disusun dengan interval dengan menganggap peluang terjadinya efek selama masa interval adalah konstan, sehingga data yang diperoleh akan lebih umum. Sedangkan pada metode Kaplan-Meier objek dianalisis sesuai dengan waktu aslinya masing-masing. Hal ini mengakibatkan proporsi kesintasan yang pasti karena menggunakan waktu kesintasan secara tepat sehingga diperoleh data yang lebih akurat. Selain itu Kaplan-Meier merupakan metode yang digunakan ketika tidak ada model yang layak untuk data kesintasan. Selama hampir 4 dekade metode estimasi Kaplan-Meier merupakan salah satu dari kunci metode statistika untuk analisis data kesintasan tersensor, estimasi Kaplan-Meier dikenal juga dengan estimasi product-limit. Metode analisis Kaplan-Meier dipakai untuk membandingkan proporsi survival dua grup misalnya membandingkan proporsi survival antara kanker cervik statdium I dan II (low grade) dengan stadium III dan IV (high grade) atau membandingkan lama rawat antara kelompok pasien diare yang diberikan probiotik dengan kelompok yang tidak mendapat probiotik. 35 2.10.4 Prosedur Penghitungan Analisis Kaplan Meier Terdapat beberapa statistik yang perlu dihitung dalam analisis KMSA yang meliputi Pt adalah proporsi survival dari sample untuk lama waktu tertentu (t), St adalah harapan hidup sampai waktu ke t, median harapan hidup, angka harapan hidup sampai 5 tahun, mean harapan hidup, rerata kematian kasar (average hazard rate), grafik proporsi survival kumulatif (the cumulative survival proportion), dan log rank test untuk menguji signifikansi perbedaan proporsi survival dari dua grup yang dibandingkan. 1. Proporsi survival Proporsi survival dipakai untuk memperkirakan probabilitas survival pada propulasi sampai kurun waktu pengamatan t yang besarnya dapat dihitung dari jumlah yang masih hidup sampai akhir waktu ke t dibagi jumlah yang masih hidup pada waktu t-1 (atau awal waktu t). Misalnya pada nol bulan yang hidup 100 dan sampai akhir waktu pengamatan ke 1 bulan tinggal 90, maka proporsi survival sampai 1 bulan pengamatan adalah: Jumlah sample yang hidup sampai t pengamatan P(t=1) = ------------------------------------------------------------------Jumlah sample yang hidup pada waktu pengamatan t-1 90 P(t=1) = ------- = 0,90 100 2. Probabilitas survival sampai waktu pengamatan ke t Probabilitas survival sampai waktu pengamatan ke t (St) diperkirakan sama dengan hasil perkalian proporsi survival dari waktu ke waktu sampai waktu pengamatan ke t = k dengan rumus perhitungan: 36 S(t=k) = P(t=0) x P(t=1) x P(t=2) x .....x P(t=k) 3. Median lama survival (survival time) Median harapan hidup ditentukan dari waktu pengamatan dimana angka proporsi survival kumulatif terletak di waktu pengamatan yang ke 50%. 4. Angka harapan hidup lima tahun (five years survival rate) Angka harapan hidup lima tahun dapat langsung didapat dari angka proporsi survival kumulatif sampai pengamatan ke 5 tahun (60 bulan). 5. Rerata lama survival (survival time) Angka rerata harapan hidup dihitung dari total waktu pengamatan dari semua sampel dibagi jumlah sampel. Misalnya jumlah sampel n = 3, sampel ke 1 diamati sampai 3 bulan dan dia mati, sampel ke 2 diamati sampai 6 bulan kemudian dia drop out, sampel yang ke 3 diamati sampai 1 bulan dia mati, maka rerata survival time adalah: 3+6+1 Rerata waktu survival = --------------- = 3,33 bulan 3 2.10.5 Uji Log Rank Pada statistika, uji log rank (uji Mantel-Cox) ialah sebuah uji kemaknaan untuk membandingkan fungsi kesintasan diantara 2 kelompok. Uji ini merupakan uji statistik non-parametrik dan sesuai digunakan ketika data tidak simetris yaitu data miring ke kanan. Selain itu uji log rank banyak digunakan dalam uji klinis untuk melihat efisiensi dari suatu perawatan baru yang dibandingkan dengan perawatan yang lama apabila yang diukur adalah waktu hingga terjadi sebuah peristiwa. 37 Log rank test dipergunakan untuk menguji hipotesis perbedaan proporsi survival dua kelompok, misalnya antara kelompok kanker stadium awal (low grade) dengan kanker stadium lanjut (high grade). Prinsip log rank test sama dengan Mantel-Haenzel Test yang merupakan analisis strata dan dalam hal ini stratanya adalah waktu. Langkah pengujian adalah sebagai berikut. 1. Untuk setiap strata dibuat tabel 2 x 2 dimana baris pertama berisikan data yang meninggal dan baris ke dua data yang hidup, kolom pertama Grup A dan kolom ke dua Grup B seperti contoh berikut. Tabel 2.1 Tabel contingensi untuk stratum waktu pengamatan ke t (k) Status Grup A Grup B Total Jml meninggal (dx) ak bk ak + bk Jml hidup (n’x - dx) ck dk ck + dk ak +ck bk +dk nk Jml at risk (n’x) 2. Menghitung nilai ekspektasi sel ak yaitu sebagai berikut : (ak + bk) x (ak + ck) Eak = ------------------------nk 3. Menghitung varian stratum ke t(k) yaitu sebagai berikut : (ak + bk)(ck + dk)(ak + ck)(bk + dk) Vk = -----------------------------------------nk2 (nk -1) 4. Menghitung nilai Chi-square adalah sebagai berikut : a E V 2 X 2 k MH ak k 38 2.10.6 Regresi Cox Analisis Regresi Cox (proportional hazard) merupakan analisis yang digunakan untuk menganalisa data waktu kejadian dan untuk mengetahui hubungan waktu kejadian dengan salah satu variabel bebasnya. Cox Regression dipakai bila akan mempelajari pengaruh variabel bebas X dan beberapa variabel covariat (pengganggu) terhadap variabel tergantung Y “time-until-event data”. Misalnya akan mempelajari efektivitas dua jenis obat (variabel bebas X1) mencegah kambuhnya imfark jantung berikutnya dalam bulan (variabel tergantung Y) dan beberapa variabel covariat seperti tekanan darah sistolik (variabel X2), riwayat keluarga menderita penyakit jantung (variabel X3), berat badan (variabel X4), Indek masa tubuh (variabel X5), dan umur (variabel X6). Model Regresi Cox mengasumsikan bahwa variabel covariat memberikan efek meningkatkan atau mengurangi hazard pada orang tertentu dibandingkan dengan akan base line value. Misalnya untuk contol trial klinik di atas akan dipelajari k variabel covariat pada setiap subjek penelitian dan ho (ti) adalah base line hazard, maka model Regresi Coxnya menjadi: h(ti) = ho(ti) exp ( 1zi1 + 2zi2 + ......+ kzik) Keterangan: h(ti) : hazard pada waktu (ti) h0(ti); base line hazard pada waktu (ti) k : koefisien regresi zik : risk faktor 39 Koefisien regresi k menggambarkan perubahan hazard akibat faktor risiko ke k. Dari rumus di atas diketahui bahwa exponential koefisien regresi di atas merupakan ratio dari hazard. Oleh karena itulah metode ini disebut metode proportional hazard regression. Hazard ratio ini mirip dengan Odd Ratio pada logistic regression. Rumus di atas dapat diubah menjadi seperti di bawah ini. h(t i ) exp( 1 z i1 2 z i 2 ........ k z ik ) h0 (t i ) Penghitungan koefisien regresi k agar menggunakan software statistik yang ada seperti SPSS, karena tidak ada satu rumus langsung yang dapat dipakai. Output komputer biasanya meliputi koefisien regresi, standar error, hazard ratio dan confidence interval. Grafik fungsi hazard dan survival juga dapat dijumpai pada output komputer.