Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes
2.1.1 Definisi Diabetes
Diabetes melitus, atau hanya diabetes, adalah penyakit kronis yang terjadi
ketika pankreas tidak lagi mampu untuk memproduksi insulin, atau ketika tubuh
tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang
disintesis oleh pankreas, yang berperan untuk membantu glukosa untuk masuk ke
dalam sel-sel tubuh dari aliran darah. Semua makanan karbohidrat dipecah
menjadi glukosa dalam darah.
Ketidakmampuan untuk memproduksi insulin atau menggunakannya
secara
efektif
menyebabkan
kadar
glukosa
dalam
darah
meningkat
(hiperglikemia). Kondisi ini dalam jangka panjang bisa merusakkan tubuh dan
menyebabkan kegagalan organ dan jaringan (IDF, 2013)
2.1.2 Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus
Tabel 2.1 Klasifikasi etiologis Diabete Mellitus
Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus
ke defisiensi insulin absolut
Tipe 2
-
Autoimun
-
Idiopatik
Bervariasi,
mulai
yang
dominan
resistansi insulin desertai defisiensi
insulin relative sampai yang dominan
defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain
-
Defek genetik fungsi beta
-
Defek genetik kerja insulin
Universitas Sumatera Utara
7
-
Penyakit eksokrin pankreas
-
Endokrinopati
-
Karena obat atau zat kimia
-
Infeksi
-
Sebab imunologi yang jarang
-
Sindrom
genetik
lain
yang
berkaitan dengan DM
Diabetes melitus gestasional
Sumber : PERKENI, 2011
2.1.3 Diagnosis Diabetes
Menurut PERKENI (2011), Diagnosis DM ditegakkan atas dasar
pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes.
Keluhan klasik DM ada seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain pula berupa lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau 2.
glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
DM. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah
pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –
199 mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Universitas Sumatera Utara
8
Tabel 2.2 Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL.
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan wawktu makan terakhir ATAU
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar gula plasma 2 jam TTGO ≥200mg/dL
TTGO yang dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke
dalam air
Sumber : Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2, 2011.
2.1.4 Pengertian Prediabetes
Seorang dalam fase prediabetes mempunyai kadar gula darah yang lebih
tinggi dari normal tapi tidak mencapai tahap diagnosa diabetes. Dalam kata lain,
kadar gula darahnya di antara batas normal dan batas di mana kita katakan
seseorang itu mengalami diabetes. Apabila tidak dilakukan perubahan gaya hidup
kepada yang lebih sehat maka sekitar 15 – 30% dari golongan prediabetes ini akan
menjadi golongan diabetik dalam jangka waktu 5 tahun ke depan (Centers for
Disease Control and Prevention). Menurut Caballero (2007), prediabetes adalah
satu kondisi di mana tubuh menjadi resistan terhadap efek insulin yang kemudian
menyebabkan glukosa tidak ditranspor keluar dari aliran darah seperti normal. Hal
ini apabila berlanjutan akan meningkatkan risiko seseorang mendapatkan penyakit
jantung, stroke dan juga diabetes tipe 2.
Universitas Sumatera Utara
9
Normal
Prediabetes
Diabetes
KGD Puasa (mg/dL)
70 – 99
100 – 125
>126
OGTT (mg/dL)
<140
140 – 199
>200
Sumber : Caballero, 2007
2.1.5 Pencegahan Diabetes Tipe-2
Kemungkinan golongan prediabetes menderita diabetes tipe 2 ke depan
adalah 5 – 15 kali lipat lebih besar daripada golongan dengan kadar glukosa
darah normal. Seseorang yang mengambil langkah untuk mencegah diabetes tipe
2 juga mencegah kemungkinan terjadi komplikasi diabetes seperti penyakit
jantung, stroke, penyakit ginjal, gangguan visual, kerusakan saraf, dan masalah
kesehatan lainnya. Adalah penting untuk mengetahui awal jika seseorang itu
menderita prediabetes atau diabetes tipe 2, karena penanganan dini dapat
mencegah komplikasi serius tadi (Center for Disease Control and Prevention).
Gambar 2.1 Algoritma pencegahan DM Tipe-2
Sumber : Konsensus Pencegahan dan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2011.
Universitas Sumatera Utara
10
Upaya mencegah ini sejajar dengan Pencegahan Primer dari diabetes tipe2 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Tipe 2 (2011). Pencegahan
primer ini ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka
yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat diabetes dan juga
kelompok intoleransi glukosa. Menurut sumber yang sama, faktor risiko diabetes
dibagi dua yaitu yang tidak bisa domodifikasi dan yang bisa dimodifikasi.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
-
Ras dan etnik
-
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
-
Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan diabetes
-
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat
pernah menderita Diabetes Gestasional
-
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir
dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan
bayi lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
-
Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m²)
-
Kurangnya aktivitas fisik
-
Hipertensi (> 140/90mmHg)
-
Dislipidemia (HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL)
-
Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes dan diabetes tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
-
Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
-
Penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki
Universitas Sumatera Utara
11
riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung coroner
(PJK), atau Peripheral Arterial Disease (PAD)
Menurut konsensus tersebut lagi intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan
yang mendahului timbulnya diabetes. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada
tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan The
American
Diabetes
Association
(ADA).
Sebelumnya
istilah
untuk
menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Diagnosis
intoleransi glukosa ditegakkan dengan pmeriksaan OGTT setelah puasa 8 jam.
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah
menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini
-
Glukosa darah puasa antara 100 – 125mg/dL
-
Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (OGTT) antara 140 –
199mg/dL.
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan
pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko
tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain :
1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai
risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat
badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena
diabetes tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian
menunjukkan penurunan berat badan 5 – 10% dapat mencegah atau
memperlambat munculnya DM tipe 2.
2. Diet sehat.
a. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai
risiko.
b. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan
ideal.
c. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara
terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak
(peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.
d. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.
Universitas Sumatera Utara
12
3. Latihan jasmani
a. Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa
darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta
dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.
b. Latihan jasmani yang dianjurkan:
i. Dikerjakan
sedikitnya
selama
150
menit/minggu
dengan latihan aerobic sedang (mencapat 50 – 70%
denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu
dengan latihan aerobic berat (mencapat denyut jantung
>70% maksimal) Latihan jasmani dibagi menjadi 3 – 4
kali aktivitas/minggu
4. Menghentikan merokok. Merokok merupakan salah satu risiko
timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun merokok tidak
berkaitan langsung dengan timbulnya intolerasi glukosa, tetapi
merokok
dapat
memperberat
komplikasi
kardiovaskular
dari
intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2.
Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan
perubahan gaya hidup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta
melakukan latihan jasmani yang cukup dan teratur. Hasil penelitian Diabetes
Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup lebih efektif
untuk mencegah munculnya diabetes tiper 2 dibandingkan dengan penggunaan
obat-obatan. Penurunan berat badan sebesar 5 – 10% disertai dengan latihan
jasmani teratur mampu mengurangi risiko timbulnya diabetes tipe 2 sebesar 58%.
Sedangkan penggunaan obat (seperti metformin, tiazolidindion, acarbose) hanya
mampu menurunkan risiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut
untuk penanganan intoleransi glukosa masih menjadi kontroversi. Bila disertai
dengan obesitas, hipertensi, dan dislipidemia, dilakukan pengedalian berat badan,
tekanan darah dan profil lemak sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan.
Selain itu, penyuluhan juga ditujukan kepada perencanaan kebijakan
kesehatan agar memahami dampak sosioekonomi penyakit ini dan pentingnya
penyediaan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer.
Universitas Sumatera Utara
13
Pencegahan sekunder pula adalah upaya mencegah timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Pencegahan sekunder dilakukan dengan
pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal
pengelolaan penyakit DM. Penyuluhan tetap memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam
menujuk perilaku yang sehat. Contoh penyulit DM yang sering terjadi adalah
penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada
penyangdang diabetes. Selain pengobatan terhadap kadar glukosa darah yang
tnggi, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta
pemberian antiplatelet juga penting dalam usaha menurunkan risiko timbulnya
kelainan kardiovaskular pada pasien diabetes.
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok peyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin. Sebagai contoh,
aspirin dosis rendah dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang
sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Upaya ini memerlukan
pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antara disiplin yang terkait, terutama
di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin
sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
2.1.6 Pengelolaan Diabetes Tipe-2
Penatalaksaan DM dilakukan atas dasar 4 pilar yaitu edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
Universitas Sumatera Utara
14
berat (ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria), insulin dapat segera diberikan.
Gambar 2.2 Algoritma pengelolaan DM Tipe-2 tanpa disertai dekompensasi.
Sumber : Konsensus Pencegahan dan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2011.
2.2 Puskesmas
Puskesmas atau Pusat Kesehatan Masyarakat berperan sebagai sarana
pelayanan kesehatan strata pertama yang merupakan bagian dari upaya kesehatan
Sistem Kesehatan Nasional (Sistem Kesehatan Nasional, 2009). Pelayanan
kesehatan strata pertama berarti pelayanan yang mendayagunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar yang ditujukan kepada masyarakat.
Selain itu, Puskesmas juga berperan sebagai unit pelaksana teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah kecamatan. Dengan kata
lain, Puskesmas menjadi tempat rujukan primer masyarakat di suatu kecamatan
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar.
Visi dari Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju
terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Misi dari Puskesmas antara lain :
Universitas Sumatera Utara
15
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di
wilayah kerjanya.
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat beserta lingkungannya.
Tujuan
adanya
Puskesmas
ada
untuk
mendukung
tercapainya
tujuan
pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas.
Menurut Sistem Kesehatan Nasional (2009), pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan oleh penduduk meningkat dari 15,1% pada tahun 1996
menjadi 33,7% pada tahun 2006. Begitupula kunjungan baru (contact rate) ke
fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi
41,8% pada tahun 2007. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Puskesmas
kini memainkan peran yang makin besar terhadap masyarakat.
Gambar 2.3 Rasio Puskesmas Terhadap 100.000 Penduduk Tahun 2004 - 2009
per 100.000 penduduk
3,9
3,8
3,7
3,6
3,5
3,4
3,3
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Pusdasure, Kemenkes RI
Peningkatan jumlah Puskesmas di Provinsi Sumatera Utara dari 503 buah
pada tahun 2010 kepada 550 buah pada tahun 2012 membuktikan upaya Sistem
Universitas Sumatera Utara
16
Kesehatan Nasional dalam mencapai matlamat terwujudnya Indonesia Sehat
2010. Rasio Puskesmas terhadap jumlah penduduk yang juga bertambah dari 3,48
per 100.000 penduduk pada tahun 2004 menjadi 3,80 per 100.000 penduduk pada
tahun 2009 mengindikasi peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan.
Tabel 2.3 Jumlah Puskesmas di Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2010-2012.
Tahun
2010
2011
2012
Jumlah Puskesmas
504
542
550
Sumber : Depkes RI 2010-2012
2.3 Mutu Pelayanan
2.3.1 Pengertian Mutu
Juran (2002) mengatakan bahwa definisi kualitas bisa dibagi dua. Definisi
kualitas yang pertama yaitu fitur-fitur produk yang memenuhi kebutuhan
pelanggan yang kemudian memberikan kepuasan pelanggan. Dalam pengertian
ini, makna kualitas berorientasi pada pendapatan atau income. Tujuan kualitas
tinggi tersebut adalah untuk memberikan kepuasan pelanggan yang lebih besar
dan untuk meningkatkan pendapatan. Tinggi kualitas dalam pengertian ini akan
meningkatkan biaya.
Definisi kedua dari kualitas menurut Juran berarti kebebasan dari
kekurangan, atau kebebasan dari kesalahan yang memerlukan pengulangan kerja
(rework) atau yang menghasilkan kegagalan lapangan, ketidakpuasan pelanggan,
tuntutan pelanggan dan sebagainya. Dalam pengertian ini, arti kualitas
berorientasi pada biaya, di mana kualitas yang lebih tinggi akan mengurangkan
biaya.
Crosby (1986) mengdefinisikan mutu sebagai derajat kemampuan suatu
produk atau jasa untuk memenuhi kepuasan pemakai dan penghasilnya (Evans
dan Lindsay, 2007).
2.3.2 Mutu pelayanan
Mutu atau kualitas pelayanan didefinisikan sebagai perbedaan antara
harapan pelanggan terhadap pelayanan dengan persepsi pelayanan yang diterima
Universitas Sumatera Utara
17
olehnya. Ini berarti apabila harapan pelanggan lebih tinggi dari prestasi pelayanan,
kualitas pelayanan adalah tidak begitu baik dan akan terjadi ketidakpuasan
pelanggan terhadap pelayanan tersebut. Mutu pelayanan terdiri dari 5 dimensi :
bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness),
jaminan (assurance), dan empati (empathy), (Parasuraman, Zeithaml dan Berry,
1985).
2.4 Kepuasan Pelanggan
Menurut Hill dan Alexander (2006), kepuasan pelanggan merupakan
ukuran seberapa hasil produk total suatu organisasi atau perusahaan terlaksana
dalam hubungannya dengan harapan pelanggan. Kotler (2000) mengdefinisikan
kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang disebabkan dari
perbandingan kinerja produk yang dirasakan dengan harapannya.
Dehghan (2006) mengemukakan bahwa suatu konstruksi hubungan
kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan dapat dibuat. Dehghan menduga
bahwa kepuasan pelanggan juga dipengaruhi lima faktor berikut :
a. Inti produk layanan
b. Unsur manusia dalam pelayanan
c. Sistematisasi pelayanan (unsur non manusia)
d. Bukti fisik pelayanan
e. Tanggung jawab sosial
Dehghan (2006) dan Negi (2009) berpendapat bahwa mutu pelayanan
mendahului kepuasan pelanggan. Parasuraman, Zeithml dan Berry (1985)
menyarankan bahwa bila kualitas pelayanan yang dirasakan tinggi, kepuasan
pelanggan meningkat. Kenyataan ini sejalan dengan kenyataan Saravana dan Rao
(2007) dan Lee (2000) yang mengakui bahwa kepuasan pelanggan tergantung
pada tingkat kualitas layanan yang disediakan oleh penyedia layanan (Daniel dan
Berinyuy, 2010).
Universitas Sumatera Utara
18
Bagan 2.4.1 Kerangka Pemikiran Mutu Pelayanan dan Kepuasan Pelanggan.
Bukti fisik (Tangibles)
Keandalan (Reliability)
Daya Tanggap (Responsiveness)
Jaminan (Assurance)
Empati (Empathy)
Kinerja pelayanan
Harapan terhadap pelayanan
Mutu Pelayanan
Kepuasan Pelanggan
Sumber : Daniel dan Berinyuy (2010)
Universitas Sumatera Utara
19
2.5 Gap Model
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) telah mengembangkan suatu
model konsep dari kualitas pelayanan di mana mereka menemukan 5 kesenjangan
atau gap yang bisa mempengaruhi evaluasi pelanggan terhadap kualitas
pelayanan.
Bagan 2.5.1 Model Kualitas Pelayanan (Service Quality Model)
Sumber : Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985)
Universitas Sumatera Utara
20
Gap 1 :
Kesenjangan antara harapan konsumen dengan persepsi manajemen
terhadap harapan konsumen.
-
Penyedia pelayanan tidak mungkin selalu mengerti apa
yang suatu pelayanan harus memiliki dalam rangka
memenuhi kebutuhan konsumen dan tingkat kinerja yang
dibutuhkan untuk memberi pelayanan kualitas tinggi.
Gap 2 :
Kesenjangan antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas
pelayanan.
-
Kesenjangan
ini
muncul
ketika
perusahaan
mengidentifikasi apa yang konsumen inginkan, tetapi
tidak punya sarana untuk mencapai harapan konsumen.
-
Beberapa faktor yang mempengaruhi kesenjangan ini
termasuk
keterbatasan
sumber
daya,
kondisi
perekonomian dan ketidakpedulian manajemen. Hal ini
dapat
mempengaruhi
pelayanan
persepsi
kualitas
konsumen.
Gap 3 :
Kesenjangan antara spesifikasi pelayanan dengan penyampaian
pelayanan.
-
Perusahaan bisa memiliki pedoman untuk melakukan
pelayanan dengan baik dan melayani konsumen dengan
baik dan benar tapi ini tidak berarti kinerja kualitas
pelayanan
pelayanan
tinggi
terjamin.
Karyawan
memainkan peran penting dalam menjamin kualitas
persepsi pelayanan yang baik. Hal ini mempengaruhi
peberian layanan yang berdampak pada cara konsumen
merasakan kualitas pelayanan.
Gap 4 :
Kesenjangan antara penyampaian pelayanan dengan komunikasi
eksternal.
-
Komunikasi eksternal dapat mempengaruhi harapan
konsumen dari layanan dan juga persepsi konsumen
terhadap layanan yang disampaikan.
Universitas Sumatera Utara
21
Gap 5 :
Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dengan layanan yang
dirasakan.
-
Ditemukan bahwa kunci untuk memastikan kualitas
pelayanan yang baik adalah mencapai atau melebihi apa
yang konsumen harapkan dari layanan.
Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) kemudiannya mengembangkan model
SERVQUAL, suatu kerangka bertujuan untuk evaluasi persepsi pelanggan
terhadap kualitas pelayanan.
2.6 SERVQUAL
SERVQUAL adalah
sebuah
kerangka
yang dikembangkan
oleh
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada tahun 1988 yang bertujuan untuk
mengevaluasi kualitas pelayanan bagi mana-mana industri jasa. Pengukuran
kualitas pelayanan dari SERVQUAL dilakukan berdasarkan 5 dimensi kualitas
pelayanan yang telah diidentifikasi yaitu bukti fisik (tangibles), keandalan
(reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati
(empathy). Kelima dimensi tersebut bisa dinilai melalui beberapa hal seperti
berikut :
Bukti fisik (Tangibles)
:
Fasilitas fisik, peralatan, penampilan staf, dll.
Keandalan (Reliability)
:
Kemampuan untuk menunaikan pelayanan seperti
yang dijanjikan secara akurat
Daya tanggap
:
(Responsiveness)
Suatu
kebijakan
untuk
membantu
dan
memberikan pelayanan yang cepat dan tepat serta
informasi yang jelas pada pasien
Jaminan (Assurance)
:
Kemampuan
staf
untuk
menimbulkan
rasa
percaya dan keyakinan pelanggan
Empati (Empathy)
:
Perhatian yang tulus kepada pelanggan yang
bersifat individual atau pribadi yang berupaya
dalam memahami keinginan pasien
Universitas Sumatera Utara
22
Kelima dimensi SERVQUAL apabila digunakan dalam sebuah pelayanan
kesehatan dapat diinterpretasi sebagai berikut:
Tabel 2.4 Definisi dimensi SERVQUAL pada pelayanan kesehatan
No. Dimensi SERVQUAL Definisi pada pelayanan kesehatan
1
2
3
4
5
Bukti fisik

Ketersediaan peralatan medis
(Tangibles)

Kebersihan dan ketenangan ruangan pasien

Pilihan menu dan porsi

Perabot yang tersedia di ruangan pasien

Ketersediaan listrik untuk darurat

Laboratorium patologi

Kinerja karyawan
Keandalan

Kecepatan layanan
(Reliability)

Kecepatan pendaftaran

Akurasi pengobatan
Daya Tanggap

Kecepatan respon terhadap keluhan
(Responsiveness)

Kepedulian kepada pasien

Keinginan untuk membantu

Keprihatinan terhadap pasien

Sikap perawat terhadap pasien

Keamanan kamar

Kemudahan komunikasi

Perhatian dan kesabaran dari perawat
Jaminan (Assurance)
Empati (Empathy)
Sumber : Amjeriya dan Malviya, 2012
Universitas Sumatera Utara
23
Metode SERVQUAL pada asalnya terdiri dari 22 item atau pertanyaaan
berhubungan tentang harapan pelanggan terhadap pelbagai aspek kualitas
pelayanan dan persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang mereka terima dari
penyedia pelayanan. Penilaian kedua hal tersebut dilakukan menggunakan skala
Likert. Perbedaan antara harapan dan persepsi pelanggan terhadap pelayanan
disebut sebagai gap yang merupakan determinan terhadap persepsi pelanggan
terhadap kualitas pelayanan. Lima dimensi yang sama digunakan untuk mengukur
kualitas pelayanan dan juga kepuasan pelanggan karena keduanya berhubungan
erat (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988). Pendekatan metode SERVQUAL
mengukur Gap 5 dengan mengintegrasikan kedua konstruksi (kualitas pelayanan
dan kepuasan pelanggan) atas dasar di mana disarankan bahwa persepsi kualitas
pelayanan akan membawa kepada kepuasan (Negi, 2009) dalam (Daniel dan
Berinyuy, 2010).
Bagan
2.6.1
Mengukur
Kualitas
Pelayanan
menggunakan
metode
SERVQUAL.
Sumber : Daniel dan Berinyuy, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Download