BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nutrisi tanah merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan tanaman. Nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman biasanya diserap dari mineral yang ada dalam tanah. Terdapat enam belas unsur nutrisi yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Unsur-unsur ini dibagi menjadi kelompok makronutrisi yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup besar yaitu C (karbon), H (hidrogen), O (oksigen), N (nitrogen), P (fosfor), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium) dan S (sulfur). Dan kelompok mikronutrisi yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah kecil yaitu Zn (seng), Mn (mangan), Fe (besi), Cu (tembaga), B (boron), Mo (molibdenum) dan Cl (klor). Meskipun unsur mikronutrisi dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit, jika keberadaan salah satu unsur diantaranya berkurang akan berakibat pada penurunan hasil panen. Unsur Fe merupakan salah satu unsur mikronutrisi yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang relatif cukup besar yaitu sekitar 100 ppm (Epstein dalam Marcshner, 2012). Peran unsur Fe pada pertumbuhan tanaman antara lain produksi klorofil dan sistem transpor elektron pada kloroplas dan mitokondria dalam protein sitokrom. Unsur Fe yang diserap oleh tanaman berada dalam bentuk Fe(III) dan Fe(II) bergantung pada jenis tanaman. Fe(III) diserap dengan bantuan asam sitrat sedangkan Fe(II) diserap tanaman dengan nikotianamin. Keberadaan unsur Fe yang dapat diserap tanaman dapat berkurang bila tanah memiliki pH yang tinggi, pH yang rendah dan pada tanah berkapur. Perubahan morfologi yang dialami tanaman ketika kekurangan unsur Fe antara lain daun muda tanaman menjadi kuning dan aktivitas fotosintesis tanaman menurun. Di sisi lain, kelebihan unsur Fe pada tanaman dapat menstimulasi penyerapan cahaya matahari berlebihan dan akhirnya dapat merusak tanaman. Unsur mikronutrisi lain yang juga esensial bagi tanaman yaitu Cu. Epstein (dalam Marcshner, 2012) menyebutkan bahwa konsentrasi rerata unsur Cu yang 1 2 dibutuhkan tanaman selama bertumbuh yaitu sekitar 6 ppm. Peran unsur Cu pada tanaman yaitu (1) metabolisme makronutrisi C dan N, (2) transpor elektron pada fotosistem I dan II, dan (3) pembentukan dinding sel. Keberadaan unsur Cu yang dapat diserap tanaman dapat berkurang pada tanah yang mengandung jumlah bahan organik tinggi. Perubahan morfologi yang dialami tanaman yang kekurangan unsur Cu yaitu daun yang berbercak dan lambat tumbuh. Sebaliknya, kelebihan penyerapan unsur Cu oleh tanaman akan menghambat pertumbuhan akar tanaman. Identifikasi status nutrisi tanaman dapat diamati pada morfologi daun. Marchner (2012) menyatakan bahwa dapat terjadi interaksi antar nutrisi dalam tanah yang dapat mempengaruhi tingkat penyerapan nutrisi lainnya pada tanaman. McBride and Martinez (2000) dan Kumar dkk. (2009), menemukan bahwa unsur Cu mereduksi penyerapan unsur Fe pada tanaman jagung dan gandum. Oleh karena itu, adanya pupuk yang mampu mengemban beberapa unsur mikronutrisi tanpa menyebabkan efek induksi negatif terhadap unsur mikronutrisi lainnya sangat diperlukan. Pupuk merupakan sumber nutrisi alternatif tanaman yang menjadi hal penting dalam pertanian modern saat ini. Secara umum, pupuk dapat diklasifikasikan menjadi pupuk organik dan pupuk kimia (anorganik). Nutrisi dalam pupuk organik berasal dari olahan bahan alami seperti daun kering dan kotoran hewan. Nutrisi dalam pupuk kimia berasal dari garam anorganik tertentu. Pupuk kimia memiliki keuntungan seperti masa produksi yang cepat dan harga yang terjangkau. Pupuk jenis ini dapat diserap tanaman lebih cepat karena memiliki kelarutan yang tinggi. Namun kelarutannya yang tinggi seringkali menimbulkan efek negatif pada tanaman. Pada daerah dengan curah hujan yang rendah, nutrisi yang diemban oleh pupuk kimia akan menumpuk dalam tanah. Nutrisi yang melimpah ini akan diserap tanaman secara berlebihan. Hal ini dapat menimbulkan beragam efek keracunan pada tanaman bergantung unsur nutrisi yang diserap secara berlebihan. Sedangkan penggunaan pupuk kimia di daerah bercurah hujan tinggi menyebabkan nutrisi yang diembannya mudah terbawa aliran air hujan. Hal ini dapat menyebabkan tanaman mengalami kekurangan 3 (defisiensi) nutrisi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengontrol pola pelepasan nutrisi pupuk yang diberikan pada tanaman. Pupuk lepas lambat merupakan pupuk yang pola pelepasan nutrisinya lebih lambat dari pupuk kimia. Kelebihannya antara lain menyediakan jumlah nutrisi optimum untuk pertumbuhan tanaman dengan pelepasan lambat dan bersifat ramah lingkungan terhadap air, tanah dan lingkungan. Pupuk lepas lambat terdiri atas material pengemban dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Material pengemban dapat menurunkan tingkat kelarutan nutrisi yang diemban (Trenkel, 2010). Perkembangan terakhir mengenai pupuk lepas lambat telah dilakukan oleh Wang dkk. (2013) dan Wangwang dkk. (2013) yang memanfaatkan resin urea-formaldehida dan bentonit masing-masing sebagai material pelepas lambat nutrisi K dan N. Selanjutnya, Bandhyopadhyay dkk. (2014) menggunakan matriks polifosfat untuk lepas lambat mikronutrisi Zn, Fe, Mn dan Cu. Namun, bahan resin yang digunakan kurang ekonomis sedangkan matriks polifosfat bersifat kurang ramah lingkungan. Alginat merupakan suatu polimer alam yang dapat diisolasi dari alga coklat dan bakteri. Alginat memiliki kapasitas adsorpsi kation yang sangat baik, biokompatibilitas tinggi dan tidak membutuhkan prosedur tambahan sebelum dimanfaatkan lebih lanjut. Beberapa kelebihan ini membuat alginat banyak dimanfaatkan dalam bidang medis dan sistem penghantaran obat. Namun, polimer alginat mudah mengalami kerusakan pada pH rendah yang menyebabkan kation yang diikat mudah lepas. Oleh karena itu, alginat dapat dimanfaatkan sebagai material pengemban pada pupuk lepas lambat dengan cara dipadukan dengan material lain yang tahan terhadap kondisi tersebut. Bentonit merupakan material lempung yang memiliki kapasitas penukar kation yang cukup baik. Liu dkk (2016) mengungkapkan bahwa bentonit memiliki kapasitas retensi logam seperti Pb, Cu dan Zn dalam konsentrasi tinggi dalam tanah yang cukup baik dibandingkan dengan kaolin. Selain itu, bentonit juga bersifat ramah lingkungan dan bernilai ekonomis tinggi. Komposit alginat/bentonit telah diterapkan di beberapa bidang seperti adsorben zat warna kristal violet (Oladipo and Gazi, 2014) dan adsorben metilen 4 biru (Benhouria dkk., 2015). Sedangkan di bidang pertanian, komposit ini dimanfaatkan sebagai herbisida lepas terkendali (Céspedez dkk., 2013) dan pupuk lepas lambat mikroba (He dkk., 2015). Sifat pelepasan lambat herbisida dan mikroba yang baik dari komposit bentukan alginat/bentonit ditentukan oleh kandungan bentonit yang tinggi. Tetapi, pemanfaatan komposit alginat/bentonit sebagai sistem lepas lambat mikronutrisi belum banyak diteliti. Penelitian ini difokuskan pada sintesis komposit lepas lambat Fe(III) dan Cu(II) dengan material pengemban alginat dan bentonit. Komposit yang dibuat diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk lepas lambat Fe dan Cu yang larut pada asam sitrat. Sifat lepas lambat komposit alginat/bentonit-Fe(III)-Cu(II) diuji dalam asam sitrat. Pengujian sifat lepas lambat ion Fe(III) dan ion Cu(II) dilakukan pada komposit dengan rasio berat dominan alginat dan komposit dengan rasio berat dominan bentonit. I.2 Tujuan Penelitian a. Preparasi dan karakterisasi komposit alginat/bentonit-Fe(III)-Cu(II) dengan konsentrasi awal Cu(II) bervariasi. b. Mempelajari pengaruh kenaikan konsentrasi Cu(II) terhadap jumlah Fe(III) dan Cu(II) yang terikat pada komposit alginat/bentonit-Fe(III)-Cu(II). c. Mempelajari pengaruh kenaikan konsentrasi Cu(II) terhadap laju pelepasan Fe(III) dan Cu(II) pada komposit alginat/bentonit-Fe(III)-Cu(II). I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi baru mengenai: a. Pemanfaatan material alginat dan bentonit yang mengemban dua logam sebagai pupuk lepas lambat multi mikronutrisi. b. Pemanfaatan komposit alginat/bentonit sebagai pupuk lepas lambat pada tanaman padi