BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kajian Teori Tentang Anak Tunagrahita a. Definisi Anak Tunagrahita Istilah mengenai tunagrahita ringan sering disebut dengan anak mampu didik. Pada kalangan pendidik di Amerika (American Education) adalah educable mentally retarded jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya mampu didik. Definisi mengenai tunagrahita atau gangguan intelektual menurut American Psychiactric Association (APA, 2013:33) menuliskan bahwa: “ Intellectual disability (intellectual development disorder) is a disorder with onset during the developmental period that includes both intellectual and adaptive functioning deficits in conceptual, social, and oractical domains. The following three criteria must be met: (A) Deficits in intellectual functions, such as reasoning, problem solving, planning, abstract thinking, judgment, academic learning, and learning from experience, confirmed by both clinical assessment and individualized, standarized intelligence testing. (B) Deficits in adaptive functioning that result in failure to meet developmental and sociocultural standards for personal independence and social responsibility. Without ongoing support, the adaptive deficits limit functioning in one or more activities of daily life, such as communication, social participation, and independent living, across multiple environments, such as home, school, work, and community.(C) Onset of intellectual and adaptive deficits during the developmental period.” Berdasarkan hambatan pengertian intelektual tersebut (gangguan dapat dimaknai perkembangan bahwa intelektual) merupakan gangguan yang terjadi selama periode perkembangan, yang meliputi terganggunya fungsi intelektual dan fungsi adaptif pada ranah konsep sosial dan praktik bina diri yang rendah. Berdasarkan 8 9 pendapat-pendapat para ahli seseorang dikatakan tunagrahita apabila memenuhi tiga kriteria yaitu pertama, kurangnya fungsi intelektual seperti: pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, kemampuan akademik dan non akademik dan ini telah dibuktikan melalui proses assessmen den tes inteligensi. Kriteria kedua adalah kurangnya fungsi adaptif yang menyebabkan keterbatasan aktivitas sehari-hari seperti komunikasi, partisipasi sosial dan mengurus diri sendiri yang terjadi di beberapa lingkungan seperti, rumah, sekolah, lingkungan kerja dan tempat bermainnya. Kriteria yang ketiga adalah masalah fungsi intelektual dan fungsi adaptif terjadi selama masa perkembangan. Kemis & Rosnawati (2013:10) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita adalah individu dengan fungsi intelektualnya yang lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku, kekurangan dalam perilaku adaptif dan terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Menurut Direktorat PLB (2004) dalam Haenudin (2013:16) anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterlambatan dalam perkembangan mental dibawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus. Menurut Wiyani (2014:102) anak retardasi mental ringan (mild mental retardation) adalah anak yang mampu didik (debil). Mereka tidak dapat mengikuti program sekolah biasa, tetapi masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pendidikan. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak dengan retardasi mental ringan antara lain: membaca, menulis, mengeja, menghitung, menyesuaikan diri, tidak bergantung dengan orang lain, dan dapat memiliki keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. 10 Menurut penjelasan para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang secara mengalami gangguan pada fungsi intelektual sehingga berpengaruh pada perkembangan mental, menurut tes inteligensi baku memiliki IQ 70 kebawah. seseorang dikatakan tunagrahita apabila memenuhi tiga kriteria yaitu pertama, kurangnya fungsi intelektual, kriteria kedua adalah kurangnya fungsi adaptif yang menyebabkan keterbatasan aktivitas sehari-hari. Kriteria yang ketiga adalah masalah fungsi intelektual dan fungsi adaptif terjadi selama masa perkembangan, maka dari itu memerlukan pendidikan khusus untuk menunjang kemampuankemampuan yang dapat dikembangkan. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak dengan tetardasi mental ringan antara lain: membaca, menulis, mengeja, menghitung, menyesuaikan diri, tidak bergantung dengan orang lain, dan dapat memiliki keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari Berdasarkan penjelasan tersebut anak tunagrahita ringan (debil) adalah anak yang secara nyata mengalami kekurangan dan hambatan dalam inteligensi, perilaku adaptif perkembangan, yang terjadi pada masa yakni dari usia 0-18 tahun sehimgga, mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik dan non akademik serta aktivitas sehari-hari di lingkungan sekolah, rumah, tempat kerja atau bermain. Hambatan lain juga berpengaruh terhadap komunikasi maupun sosial, namun anak tunagrahita ringan masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pendidikan. b. Penyebab Anak Tunagrahita Banyak sebab yang menyertai anak menjadi tunagrahita, berbagai faktor dapat menjadi penyebab ketunagrahitaan pada anak. Penyebab tunagrahita diungkapkan Kemis & Rosnawati ( 2013:15) dapat dirinci sebagai berikut: 1) Genetik Kerusakan/kelainnan Biokimiawi, Abnormalitas Kromosomal 11 2) Faktor yang terjadi sebelum lahir (pre-natal) a) Infeksi Rubella (cacar) b) Faktor Rhesus (Rh) 3) Kelahiran (natal) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran 4) Setelah lahir (post-natal) akibat infeksi misalnya: meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan protein 5) Faktor sosio-kultural atau sosial budaya lingkungan 6) Gangguan metabolism/nutrisi Pendapat lain menurut Wiyani (2014:104) penyebab retardasi mental secara umum dapat dibagi menjadi tiga penyebab: 1) Penyebab Pre – natal Ada empat kelainan yang dapat terjadi pada masa pre – natal yang dapat menyebabkan retardasi mental, antara lain: a) Kelainan Kromosom Kelainan kromosom yang dapat menyebabkan retardasi mental adalah trisomi 18 atau sindrom Edward, dan trisomi13 atau sindrom Patau, sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner. Selain itu, kelainan kromosom – X yang tergolong cukup sering menyebabkan retardasi mental adalah FragileX syndrome, sindrom ini dibawa oleh ibu. b) Kelainan Metabolik Ada lima kelainan metabolik yang dapat menyebabkan retardasi mental. Pertama, Phenylketonuria merupakan kelainan metabolik yang mana tubuh tidak dapat mengubah asam amino galaktosemia, fenilalanin merupakan menjadi gangguan tirosin. Kedua, metabolik yang disebabkan tubuh tidak dapat menggunakan galaktosa yang dimakan. Ketiga, penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy, merupakan gangguan meyabolisme lemak. 12 Keempat, hipotiroid kongental, merupakan defisiensi hormon tiroid bawaan. Kelima, defiensi yodium. c) Infeksi Merupakan peradangan yang diderita oleh seorang individu. Ada dua infeksi yang menyebabkan retardasi mental, yaitu infeksi rubela (campak Jerman) dan infeksi cytomegalovirus. d) Intoksikasi Fetal alchohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan intoksikasi (kemabukan atau keracunan) alkohol pada janin karena ibu hamil minum minuman mengandung alkohol. 2) Penyebab Perinatal Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa bayi lahir prematur dan jika bayi semakin rendah berat lahirnya semakin banyak pula kelainan yang dialaminya baik fisik atau mentalnya. Asfiksa, hipoglikemia, perdarahan, intraventrikular, kernikterus dan meningitis juga dapat menimbulkan kerusakan otak dan menjadi penyebab tibulnya retardasi mental. 3) Penyebab Post – natal Faktor-faktor post-natal seperti infeksi, trauma, malnutrisi, intoksikasi, kejang, dapat menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental. Dari beberapa kajian yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyebab anak mengalami tunagrahita disebabkan oleh faktor yang terjadi saat masa kehamilan, faktor yang terjadi saat proses kelahiran, serta faktor yang terjadi setelah proses kelahiran. Adapun faktor yang terjadi pada masa kehamilan seperti, kelainan genetik atau infeksi dari penyakit. Faktor yang terjadi saat proses kelahiran meliputi bayi lahir prematur dan berat badan bayi rendah. Faktor yang terjadi setelah proses kelahiran seperti infeksi, trauma, malnitrisi serta gangguan metabolisme. 13 c. Klasifikasi Anak Tunagrahita Pengklasifikasian anak tunagrahita perlu dilakukan untuk memudahkan guru dalam menyusun program layanan atau pendidikan dan melaksanakannya secara tepat. Sistem klasifikasi memandang variasi anak tunagrahita dari berbagai sudut pandang. Rata – rata pengukuran inteligensi dengan tes Standford Binet dan Skala Weschler (WISC). Klasifikasi yang dikemukakan oleh Shertzer dan Stone dalam Wantah (2007:8-9) sebagai berikut: 1) Slow learner, dengan IQ 71-79 2) Tunagrahita mampu didik, dengan IQ 55-70 3) Tunagrahita mampu latih, dengan IQ 35-54 4) Tunagrahita mampu rawat, dengan IQ dibawah 34 Selain itu menurut Japan League for Mentally Retarded dalam Wiyani (2014:101) anak dengan retardasi mental memiliki fungsi intelektual di bawah IQ 70 berdasarkan tes inteligensi baku, kekurangan dalam perilaku adaptif serta terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Tingkat retardasi mental ringan, kategori pendidikan mampu didik dengan IQ 69 – 55. 2) Tingkat retardasi mental sedang, kategori pendidikan mampu latih dengan IQ 54 – 40. 3) Tingkat retardasi mental berat, kategori pendidikan mampu latih dengan bantuan dengan IQ 39 – 25. 4) Tingkat retardasi mental parah, kategori pendidikan mampu rawat dengan IQ 24 – 0. Klasifikasi lain dikemukakan oleh Triman dalam Mumpuniarti (2007:14) sebagai berikut: 1) Borderline, dengan IQ 71-85. 2) Tunagrahita ringan (mild mental retardation), dengan IQ 50-70. 14 3) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation), dengan IQ 36-49. 4) Tunagrahita berat (severe mental retardation), dengan IQ 20-35. 5) Tunagrahita sangat berat (profound mental retardation), dengan IQ 0-19. Pendapat lain menurut American Psychiactric Association (APA, 2013:33) “The various levels of severely are defined on the basis of adaptive functioning, and not IQ scores, because it is adaptive functioning that determines the level of supports required. Moreover, IQ measures are less valid in the lower end of the IQ range”. Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pengklasifikasian dari anak dengan hambatan intelektual berdasarkan fungsi adaptif bukan berdasarkan IQ, karena fungsi adaptif menentukan dukungan yang diperlukan oleh anak. Selain itu, terkadang kisaran IQ kurang valid. Penjelasan para ahli mengenai tunagrahita dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki beberapa klasifikasi yakni tunagrahita dengan tingkat perbatasan atau lamban belajar, tunagrahita dengan tingkat ringan atau mampu didik yang memiliki IQ antara 50-75, tunagrahita dengan tingkat sedang atau mampu latih yang memiliki IQ antara 30-55 , tunagrahita dengan tingkat berat atau mampu latih dengan bantuan memiliki IQ antara 20-40 dan tunagrahita dengan tingkat parah atau mampu rawat memiliki IQ di bawah 20. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam perilaku adaptif serta terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak tunagrahita ringan adalah anak yang memiliki IQ dengan rentang 50-75 yang berpengaruh terhadap kemampuan atau perilaku adaptif yang terjadi pada masa konsepsi hingga usia 18 tahun. 15 d. Karakteristik Anak Tunagrahita Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku dan fungsi individu anak tunagrahita, misalnya usia kronologis, berat ringannya kelainan, faktor penyebab, dan kesempatan pendidikan. Karakteristik anak tunagrahita secara umum menurut Haenudin (2013:24) adalah sebagai berikut: 1) Karakteristik belajar Hal yang paling umum untuk menentukan karakteristik seseorang yang mengalami ketunagrahitaan adalalah adanya kelainan fungsi kognitif, berikut beberapa karakteristik belajar anak tunagrahita: a) Perhatian. Anak tunagrahita cenderung mengalami kesulitan dalam memfokuskan perhatian, mempertahankannya, dan memilih berbagai rangsangan yang sesuai serta kurang perhatian terhadap tugas. b) Daya ingat Daya ingat anak tunagrahita dapat dikatakan bahwa semakin berat ketunagrahitannya maka akan semakin kurang kemampuan daya ingatnya. c) Kinerja akademik Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam kinerja akademis yang terlihat pada berbagai bidang pengajaran. d) Perkembangan bahasa Anak tunagrahita mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya, mereka juga mengalami kesulitan untuk mempelajari kata-kata yang bersifat abstrak. 2) Karateristik sosial dan perilaku Anak tunagrahita biasanya memiliki kemampuan interpersonal yang buruk, dan kurang memiliki kemampuan penyesuaian sosial, akibatnya mereka sering dihadapkan pada penolakan lingkungan. Keterbatasan kemampuan sosial yang dimilki 16 menimbulkan kesulitan yang signifikan dalam memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam lingkungan. Selain itu menurut Kemis & Rosnawati (2013:17-18) beberapa karakteristik mengenai tunagrahita ringan yakni lamban dalam mempelajari hal-hal baru serta kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal baru. Menurut Amin (1995:37) anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang dalam perbendaharaan kata-kata. Mereka mengalami kesukaran dalam berfikir mengenai hal-hal yang abstrak, namun masih bisa mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah umum maupun sekolah khusus. Mumpuniarti (2000:41) menyatakan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan dapat ditinjau secara fisik, psikis, dan sosial yang diuraikan sebagai berikut: 1) Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik. 2) Karakteristik psikis sukar berpikir abstrak dan logis, kurang dalam kemampuan analisa, assosiasi lemah kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai hal yang baik dan buruk. 3) Karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan diri di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh. Penjelasan menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa anak dapat dikatakan tunagrahita memiliki kelambatan pada kemampuan belajarnya meliputi: perhatian, daya ingat, kinerja akademik, dan kelambatan perkembangan bahasa. Selain itu, anak tunagrahita juga mengalami masalah dalam sosial dan perilaku yang mana anak tunagrahita ringan memiliki keterbatasan dalam hal tersebut untuk turut serta aktif dalam lingkungan sosial dan masyarakat. Semakin 17 parah tingkat ketunagrahitaan anak maka semakin berat pula tingkat kesukaran yang dialami anak. Dari penjelasan-penjelasan para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan memiliki kesukaran terhadap hal-hal yang abstrak, perhatian, daya ingat, kinerja akademik, kurang dalam perbendaharaan kata-kata karena terkait pada kemampuan inteligensi yang rendah namun, masih bisa mengikuti pelajaran kademik sekolah umum maupun sekolah khusus. Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, kemampuan sosial anak tunagrahita ringan baik karena mampu bergaul tidak hanya terbatas lingkup keluarga serta dapat mandiri. e. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Ringan Masa perkembangan perkembangan anak normal dengan anak tunagrahita ringan berbeda. Usia perkembangan mental anak tunagrahita ringan dewasa sama dengan usia anak normal 12 tahun. Jika anak normal perkembangan kognitifnya melalui belajar menggunakan kaidah atau strategi memecahkan masalah, namun pada anak tunagrahita perkembangan sebagai hasil belajar yang bersifat trial and eror demikian karena kemampuan berpikir anak tunagrahita rendah yang berakibat sulit memahami keadaan lingkungan sehingga kurang mampu mereaksi lingkungan. Mumpuniarti, (2000:64). Sejalan dengan pendapat di atas menurut Kemis & Rosnawati (2013:22) bahwa anak tunagrahita dalam mempelajari sesuatu kerap kali melakukannya dengan coba-coba (trial and error). Mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, tidak dapat melihat objek yang dipelajari secara gestalt. Akibat dari kondisi ini mereka mengalami kesulitan dalam memahami hubungan sebab akibat. Alimin dalam Kemis & Rosnawati (2013:27-30) anak tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin dalam salah satu atau lebih proses kognitif seperti: 18 persepsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi dan penalaran. Dalam DSM-V (2013:34) menjelaskan bahwa: “Deficits in intellectual functions, such as reasoning, problem solving, planning, abstract thingking, judgment, academic learning, and learning from experience, confirmed by both clinical assesment and individualized, standardized intelligence testing. Conceptual domain for school-age children and adults, there are difficulties in learning academic skills involving reading, writing, arithmatic, time or money, with support needed in one or more areas to meet age-related expectation”. Definisi kemampuan kognitif anak tunagrahita menurut DSM-V (2013:34) dapat dimaknai bahwa anak tunagrahita mengalami defisit fungsi intelektetual seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, kemampuan akademik, dan pengalaman belajar, didapat dari asessmen klinik dan individual, serta standar pengujian kecerdasan. Pada bidang konseptual tunagrahita ringan usia sekolah dan dewasa mereka mengalami kesulitan dalam pembelajaran akademik termasuk kemampuan membaca, menulis, aritmatika, waktu dan uang. Menurut penjelasan-penjelasan dari beberapa ahli maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masa perkembangan anak normal dengan anak tunagrahita berbeda. Anak tunagrahita ringan sulit untuk memahami kaidah dalam belajar sehingga mengalami kesulitan dalam memahami hubungan sebab-akibat. Anak tunagrahita hambatan dalam kognitif mengalami berlaku untuk tunagrahita usia sekolah maupun dewasa yang mana mempengaruhi persespsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi, dan penalaran. f. Perkembangan Sosial Anak Tunagrahita Ringan Menurut Chaplin dalam Wati (2012:4) anak tunagrahita tidak mengetahui bagaimana yang benar bergaul dengan teman sebayanya, seperti melakukan aktivitas bergurau dengan teman-temannya, berbicara dengan guru dengan bahasa yang kurang atau tidak sopan, 19 suka menggertak baik ucapan maupun perbuatan, bersikap menyerang dan merusak. Penyesuaian diri merupakan variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan, namun tidak sepenuhnya berlaku pada anak tunagrahita. Menurut Grossman dalam jurnal Mayasari & Wijiastuti (2013) tunagrahita itu mengacu pada fungsi intelektual yang nyata berada dibawah rata-rat bersamaan dengan kekurangan dalam adaptasi dan tingkah laku serta dampak lain yang menyertainya. Pendapat mengenai kemampuan sosial anak tunagrahita ringan menurut American Psychiactric Association (APA, 2013:34) “Compared with typically developing agemates the individual is immature in social interactions. For example there may be difficulty in accurately perceiving peer’s social cues. Communication, conversation, and language are more concrete or immature than expected for age. These may be difficulties are regulating emotion and behavior in age-appropriate fashion; these difficulties are noticed by peer’s in social situations. There is limited understanding of risk in social situations, social judgment is immature for age, and the person is at risk of being manipulated by other (gullibility).” Berdasarkan pengertian di atas dapat dimaknai bahwa dibandingkan dengan anak seusianya anak tunagrahita ringan belum mengalami kematangan dalam interaksi sosialnya. Contohnya, mereka mungkin tidak memahami isyarat sosial. Komunikasi, percakapan dan bahasa butuh konsentrasi lebih atau belum matang dibandingkan dengan anak seusianya. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan usianya. Mereka kekurangan dalam memahami situasi sosial, penilaian sosial di usianya, dan anak ini memiliki resiko dimanipulasi oleh orang lain (mudah tertipu). Dari penjabaran para ahli tersebut anak tunagrahita mengalami masalah pada bidang interaksi sosialnya, hal tersebut merupakan dampak dari kemampuan kognitif anak tunagrahita ringan yang secara 20 nyata di bawah rata-rata. Mereka kurang atau belum memiliki kesadaran terhadap lingkungan sosialnya. Sering kali anak tunagrahita tidak mampu mengontrol emosi dan tingkah laku jika dibandingkan dengan anak seusianya belum mengalami kematangan. Perkembangan sosial dan interaksi anak tunagrahita ringan belum mengalami kematangan jika dibandingkan dengan anak seusianya. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami masalah yang terjadi dalam kehidupan sosialnya atau bahkan tidak mengalami kesadaraan dalam lingkungan sosial. Jika dibandingkan dengan anak normal seusianya anak tunagrahita ringan memiliki perbedaan perkembangan sosial di bawah usia anak normal. Dalam memahami situasi sosial, komunikasi, percakapan dan bahasa anak tunagrahita ringan juga mengalami kesulitan. Hal tersebut terjadi karena dampak kemampuan anak tunagrahita yang memang secara nyata dibawah rata-rata. 2. Kajian tentang Prestasi Belajar IPS Anak Tunagrahita Ringan a. Prestasi Belajar Belajar merupakan perubahan fungsional berdasarkan praktik atau pengalaman lapangan dengan proses perkayaan materi pengetahuan (material) dan atau perkayaan pola-pola (respon) yang akhirnya tertuang pada perilaku baru (behavior). Dalam hal belajar tentu tidak lepas dari materi apa yang diberikan. Keberhasilan suatu materi atau metode yang di berikan guru sebelumnya dapat di buktikan salah satunya dengan prestasi belajar. Berikut adalah ulasan prestasi belajar dari beberapa ahli. Menurut Hamdani (2011:138) prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam berbagai bentuk seperti simbol, huruf ataupun kalimat yang menceritakan dari hasil yang dicapai oleh setiap anak pada waktu tertentu. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar 21 yakni faktor internal dan faktor eksternal yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari siswa, yang antara lain sebagai berikut: a) Kecerdasan (inteligensi), adalah kemampuan belajar disertai dengan kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Jadi inteligensi sebenarnya bukan hanya persoalan kualitas otak namun juga kualitas organ tubuh lainnya. b) Faktor jasmaniah atau faktor fisiologis, kondisi jasmaniah atau fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampan hasil belajar anak. c) Sikap, dalam diri siswa harus ada sikap positif (menerima) kepada sesama atau kepada gurunya. Sikap positif akan menggerakkan untuk belajar sebaliknya negatif, maka tidak akan mempunyai kemauan untuk belajar. d) Minat, memiliki pengaruh yang besar terhadap hasil belajarnya, apabila seseorang memiliki minat yang tinggi terhadap sesuatu, akan terus berusaha untuk melakukan hingga tercapai apa yang dikehendakinya. e) Bakat, memiliki pengaruh terhadap tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Dalam proses belajar bakat memiliki peranan penting terutama belajar keterampilan. 2) Faktor eksternal Faktor eksternal terdiri atas dua macam, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan nonsosial. Selanjutnya dijabarkan sebagai berikut: a) Keadaan keluarga, merupakan lingkungan terkecil dalam masyarakat dan lembaga pendidikan pertama dan utama. 22 Tugas utama dalam keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Jika keluarga memberikan lingkungan belajar yang nyaman maka, anak belajar dengan baik. Jadi, orangtua ada baiknya menyadari bahwa pendidikan dimulai dari keluarga. b) Keadaan sekolah, lingkungan sekolah yang baik dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat. Keadaan sekolah ini meliputi cara penyajian pelajaran, hubungan guru dengan siswa, alat-alat pelajaran, dan kurikulum. c) Lingkungan masyarakat, lingkungan alam sekitar sangat berpengaruh terhadap perkembangan pribadi anak sebab dalam kehidupan sehari-hari anak akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan tempat ia berada. Oleh karena itu, apabila seorang siswa bertempat tinggal di suatu lingkungan yang mendorong untuk rajin belajar, kemungkinan besar hal tersebut akan membawa pengaruh pada dirinya. Prestasi belajar menurut Makmun (2004:159) prestasi belajar dalam bidang tertentu yang mana dapat ditransferkan ke bidangbidang lain. Adapun pengaruh prestasi belajar dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: 1) Adanya motivasi, siswa harus menghendaki sesuatu (the learner must want something). 2) Adanya perhatian dan mengetahui sasaran (clue), siswa harus memperhatikan sesuatu (the learner must notice something). 3) Adanya usaha (response), siswa harus melakukan sesuatu (the learner must do something). 4) Adanya pemantapan hasil (reinforcement) siswa harus memperoleh sesuatu (the learner must get something). Penelitian dari Armani tahun 2014 yang berjudul “Metode Edutainment untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara di Sekolah 23 Dasar”. Penelitian ini menjelaskan bahwa penelitian ini menggunakan metode deskriptif bentuk penilaiannya berupa penelitian tindakakn kelas. Faktor yang mempengaruhi dalam meningkatkan kemampuan siswa yakni mengenai kemampuan guru merencanakan pembelajaran, kemampuan guru melaksanakan pembelajaran, dan kemampuan berbicara siswa. Penjabaran dari masing-masing ahli dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil dari penilaian dan pengukuran proses belajar dapat dinyatakan dalam bentuk angka, kalimat atau huruf yang mana dapat di transferkan ke dalam bidang-bidang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor dalam diri yang dimiliki oleh seorang anak tersebut serta faktor dari lingkungan baik keluarga, sekolah ataupun masyarakat dimana anak itu berada. Faktor-faktor tersebut secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi seorang anak. Selain faktir tersebut, kemampuan guru merencanakan pembelajaran dan kemampuan guru melaksanakan pembelajaran juga turut andil dalam peningkatan prestasi belajar siswa. b. Pembelajaran IPS untuk Anak Tunagrahita Ringan Ilmu pengetahuan sosial, sering disebut dengan IPS adalah ilmu yang mengkaji mengenai masalah disiplin ilmu sosial serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah untuk memberi wawasan dan pemahaman mendalam kepada peserta didik. Luasnya kajian IPS mencakup berbagai kehidupan yang berbagai aspek majemuk baik hubungan sosial, ekonomi, psikologi, budaya, sejarah maupun politik, semua dipelajari dalam ilmu sosial. Pembelajaran IPS memiliki tujuan mengembangkan potensi peserta didik agar memahami masalah yang ada di lingkungannya dan mengerti mengenai masalah yang ada di lingkungannya. (Susanto, 2013:145). Anak tunagrahita belajar IPS agar mengerti dan memahami dengan lingkungan sekitar. IPS merupakan ilmu sosial 24 yang diterapkan langsung ke dalam kehidupan nyata yang mana manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas orang atau lingkungan sekitar. Prinsip dari bidang ilmu pengetahuan sosial bagi tunagrahita ringan dimaksudkan agar anak mampu berperan serta dalam lingkungan masyarakat dan mampu menghayati konsep bersamasama, bergiliran, bekerjasama, memahami tanggung jawab dalam batas yang diakui, mengerti kewajiban, penghargaan akan hak milik, serta kebiasaan dalam untuk dapat menghormati orang lain. (Mumpuniarti, 2007:157) Materi pembelajaran IPS untuk anak tunagrahita ringan harus memuat kajian manusia, tempat dan lingkungan, sistem sosial dan budaya. Peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu untuk menjadi warga yang baik (BNSP,2006:91). Menurut BNSP untuk SDLB C (2006:91): “pada hakikatnya Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tingkat SDLB menjadi suatu mata pelajaran yang dapat mengantarkan peserta didik untuk dapat menjawab masalah-masalah mendasar tentang individu, masyarakat, pranata sosial, problem sosial, perubahan sosial, dan kehidupan berbangsari waktu ke waktu". Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelajaran IPS untuk anak tunagrahita ringan lebih menekankan pada pengalaman, materi pelajaran dikaitkan dengan kehidupan sosial atau kehidupan sehari-hari untuk membantu peserta didik menghadapi lingkungan sosial yang nyata. c. Ruang Lingkup IPS Menurut Saidiharjo dalam (Hidayati, 2002:17) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang diperuntukkan pendidikan dasar dan menengah merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan memodifikasi dari disiplin bidang akademis serta ilmu sosial murni. Selanjutnya, disusun dan disesuaikan secara ilmiah untuk pendidikan 25 dasar dan menengah dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila. Menurut Hidayati (2002:14-16) pembelajaran IPS pada saat sekarang memiliki beberapa ciri khusus antara lain: 1) Pada masyarakat demokratis pengajaran IPS memiliki tujuan untuk menjadikan warga negara yang baik. 2) Pembelajaran IPS bukan hanya sekedar ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan di sekolah, karena pembelajaran IPS selain mencaku pengetahuan (knowledge) dan metode analisis ilmiah dari ilmu-imu sosial juga mencakup komponen-komponen lain seperti: pendidikan, etika, pertimbangan filsafat, agama, sosial, serta bahan pengetahuan dari sumber-sumber disiplin lainnya. 3) Pendidikan “nilai” merupakan komponen yang utama dari pembelajaran IPS. 4) Komponen keterampilan dasar (basic skill) yang didalamnya mencakup keterampilan berfikir (intelektual), keterampilan inquiry dalam ilmu-ilmu sosial, keterampilan studi (akademis), dan keterampilan sosial juga diajarkan dalam pembelajaran IPS. Agar siswa dapat mencapai tujuan sebagai warga negara yang baik. 5) Strategi pembelajaran IPS menekankan model-model pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam belajar seperti belajar aktif, strategi pembelajaran konsep, model klarifikasi nilai, dan sebagainya. Penjelasan dari beberapa ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran IPS bagi pendidikan dasar merupakan penyederhanaan dari ilmu sosial yang menyangkut dari beberapa bidang pendidikan, etika, pertimbangan filsafat, agama, sosial, serta bahan pengetahuan lainnya. Pembelajaran IPS yang diberikan bahwasanya mengandung komponen nilai dan keterampilan dasar 26 yang menyangkut masalah akademis, keduanya menekankan model pembelajaran siswa berperan aktif. Pembelajaran IPS tersebut memiliki tujuan utama yakni agar siswa dapat mencapai tujuan sebagai warga negara yang baik dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila. d. Materi Kegiatan Ekonomi Kelas IV di SLB C Menurut Samlawi & Maftuh (1999:14) tugas utama ilmu ekonomi adalah menjelaskan persamaan-persamaan esensial dan hakikat perbedaan-perbedaan dalam kehidupan ekonomi. Penjelasan tersebut diberikan kepada masyarakat yang beda itu, sehingga seseorang dapat memahami dengan baik tentang kondisi dimana mereka berada dan memahami mengenai apapun mengenai masalah yang terjadi disekitarnya. Pembelajaran IPS untuk anak tunagrahita ringan di kelas IV adalah seperti yang telah ada dalam BNSP (2006:91) dan yang disesuaikan dengan kurikulum KTSP untuk SLB adalah salah satunya materi yang tercantum dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Standar Kompetensi: 3. Memahami istilah-istilah dalam bidang ekonomi. Kompetensi Dasar: 3.1 Mengenal tempat-tempat kegiatan ekonomi. Dalam penelitian ini penulis memilih materi kegiatan ekonomi, dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pengetian kegiatan ekonomi berupa jual beli secara mendasar 2) Macam-macam tempat jual beli tradisional dan modern 3) Macam-macam tempat jual beli di lingkungan rumah dan sekolah 4) Contoh barang yang dijual belikan di tempat kegiatan ekonomi 27 3. Kajian Tentang Metode Edutainment Pada Anak Tunagrahita Ringan a. Metode Edutainment Ada berbagai upaya untuk menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan dalam dunia pendidikan. Proses pembelajaran dapat dilakukan semenarik mungkin namun tidak menghilangkan kaidah belajar yang sesungguhnya. Penggunaan metode pembelajaran yang menarik dimaksudkan untuk menarik minat peserta didik agar dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik, salah satunya dapat menggunakan metode edutainment. Edutainment terdiri atas dua kata yakni, education yang berarti pendidikan dan entertainment yang berarti hiburan. Dari segi bahasa dapat dimaknai bahwa edutainment merupakan pendidikan yang menyenangkan. Definisi edutainment merupakan suatu proses pembelajaran yang didesain dengan memadukan antara muatan pendidikan dan hiburan. Metode edutainment, dapat dilakukan dengan menyelipkan humor dan permainan (games) atau dapat juga dengan menggunakan metode bermain peran (roleplay), demonstrasi, dan multimedia, Suyadi (2010:35). Pemaparan mengenai metode edutainment menurut Fadillah,dkk.(2013:2-6). Konsep metode edutainment berupaya untuk menciptakan suatu pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik. Tujuan dari edutainment agar peserta didik dapat mengikuti dan mengalami proses pembelajaran dalam suasana gembira, menyenangkan, menghibur, dan mencerdaskan. Dalam konteks ini dapat dimaknai bahwa belajar berbasis edutainment harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan, aman, nyaman, membangkitkan peserta didik. Menurut Hamid (2011:8) proses belajar mengajar harus mampu menciptakan interaksi yang baik antara guru dan para siswanya. Dengan begitu, mereka akan merasa dihargai dan dilibatkan, sehigga 28 timbul perasaan senang saat pelajaran berlangsung. Hal ini yang mendasari adanya metode edutainment. Edutainment adalah suatu cara untuk membuat proses pendidikan dan pengajaran sehingga berlangsung menyenangkan, sehingga para siswa dapat dengan mudah menangkap esensi dari pembelajaran. Wahyuni dan Joko Siswanto tahun 2010 dalam jurnalnya yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Fisika Melalui Model Pembelajaran Edutainment dengan Metode Kuis Galileo di SMP Negeri 2 Kaliwungu”. Penelitian ini menjelaskan proses pembelajaran fisika dengan metode kuis, pembelajaran edutainment melalui kuis galileo yang menekankan pentingnya berinteraksi, meyakinkan yang lain, dan meyakinkan persepsi, namun siswa masih belum memahami seutuhnya. Setelah kedua siklus berjalan, kerjasama antar siswa dalam kelompok meningkat yang berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Kesimpulan keseluruhannya adalah dari penelitian tindakan kelas ini pembelajaran IPA fisika dengan model pembelajaran edutainment dengan kuis galileo dapat meningkatkan aktifitas belajar kelompok, mengerjakan tugas, berfikir bersama. Penelitian dari Lina Mufidah (2013) dengan judul “Pengaruh Metode Edutainment Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Teknik-Teknik Dasar Memasak di SMK Negeri 2 Godean” menyimpulkan bahwa penggunaan metode edutainment dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Perbedaan hasil belajar sebelum dan sesudah pembelajaran dengan hasil nilai rata-rata pretest 14, sedangkan nilai rata-rata posttest 24,3 sedangkan nilai t hitung pretest sebesar 9.771 sedangkan t hitung posttest sebesar 4.838 dan lebih besar dari t tabel pada taraf signifikansi 5% (2,402) dengan demikian simpulannya terdapat perbedaan hasil belajar siswa sebelum dan sesudah pembelajaran yang menggunakan metode edutainment. Dapat disimpulkan bahwa edutainment merupakan metode pembelajaran yang menggabungkan antara pendidikan dan hiburan 29 semenarik mungkin sehingga tercipta yang suasana gembira, menyenangkan, menghibur, dan mencerdaskan. Jika semua dapat terlaksana maka proses penerimaan materi yang diberikan oleh guru dapat berlangsung dengan mudah terserap. Penggunaan metode edutainment dapat dilakukan dengan menyelipkan humor dan permainan (games) atau dapat juga dengan menggunakan metode bermain peran (roleplay), demonstrasi, dan multimedia. Edutainment dalam penelitian ini difokuskan menggunakan multimedia berupa foto gambar, video, menjodohkan gambar dan microsoft powerpoint yang terdapat slide memuat gambar, dan aktivitas pembelajaran yang menyenangkan yang disesuaikan dengan materi IPS. b. Metode Edutainment untuk Anak Tunagrahita Ringan Edutainment adalah metode yang didesain sedemikian rupa sehingga muatan pendidikan dan bermain terkombinasi dengan harmonis. Perpaduan antara belajar dan bermain ini mengacu pada sifat alamiah anak yang dunianya adalah dunia bermain. Karakteristik anak tunagrahita ringan yang memiliki usia mental maksimal sama dengan anak normal usia 12 tahun, usia tersebut masih tergolong anak-anak, maka diperlukan pembelajaran yang menyenangkan seperti metode edutainment, sehingga anak tidak mudah bosan. Dikarenakan anak tunagrahita ringan lebih banyak belajar melalui visualnya. Pembelajaran anak tunagrahita harus dibantu dengan menggunakan media minimal gambar atau media visual, sehingga kognisi anak dapat terlatih. Hal tersebut dapat dilakukan dengan metode edutainment (Rustin & Yuliyati, 2014:5). Adapun pendapat lain menurut Dandashi, et al. (2014:7-8) menyatakan bahwa: “children with intellectual disability (ID) often have several characteristics, which hold back their development. They have less than average IQ, difficulties with speech, poor memorization, attention, perception, and thingking skills. They 30 often have difficulties with social adjustment, which causes them to be aloof and agresive and have low esteem and emotional imbalance. In this problem use an edutainment with a multimedia-based learning model to help children with intellectual disability overcome their cognitive challenges. Edutainment with a multimedia-based learning have the potential to help the children with disability to learn, communicate, play, and be more independent in their lives. The collected result demonstrate positive impact for the children’s cognitive capabilities in terms of scores, understanding guidilines, coordination, concentration, communication, and memorization skills”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa anak yang memiliki gangguan intelektual memiliki beberapa karakteristik yang menghambat perkembangan mereka. Mereka memiliki IQ dibawah rata-rata, kesulitan dengan komunikasi, lemah dalam menghafal, persepsi dan keterampilan berpikir. Mereka sering memiliki kesulitan dalam penyesuaian sosial yang menyebabkan mereka suka menyendiri, memiliki harga diri yang rendah dan ketidakseimbangan emosional. Dalam masalah ini menggunakan edutainment dengan model pembelajaran berbasis multimedia untuk membantu anak-anak dengan hambatan intelektual mengatasi masalah kognitif mereka. Edutainment dengan menggunakan model pembelajaran berbasis multimedia dapat membantu anak-anak dengan hambatan intelektual untuk belajar, berkomunikasi, bermain, dan lebih mandiri dalam kehidupan mereka. Hasil yang dikumpulkan menunjukkan dampak positif bagi kemampuan kognitif anak-anak dalam hal nilai, pedoman pemahaman, koordinasi, konsentrasi, komunikasi dan kemampuan menghafal. Dari pendapat yang sudah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa metode edutainment merupakan pembelajaran yang memadukan antara pemberian materi ajar dan bermain. Karakteristik anak tunagrahita ringan yang mana usia mental maksimal sama dengan anak normal usia 12 tahun, usia tersebut masih tergolong 31 anak-anak, maka diperlukan pembelajaran yang menyenangkan agar anak tidak mudah bosan. Metode edutainment yang diberikan kepada anak tunagrahita bertujuan untuk membantu mereka dengan hambatan intelektual dan sosial untuk belajar, berkomunikasi dengan baik, bermain dan kemandirian dalam kehidupan sosial. Edutainment yang menggabungkan unsur belajar dan bermain dapat membantu agar anak tunagrahita merasa tertarik dan tidak merasa bosan dalam belajar. Dari hal tersebut dapat meningkatkan hasil belajar anak meski tidak terlalu signifikan. c. Langkah-langkah Penggunaan Metode Edutainment pada Pembelajaran IPS Pemilihan metode pembelajaran harus sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Ketepatan (efektivitas) penggunaan metode pembelajaran bergantung pada kesesuaian metode pembelajaran dengan beberpa faktor, yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, kemampuan guru, kondisi siswa, sumber atau fasilitas, situasi kondisi dan waktu. Penelitian ini menggunakan metode edutainment yang dikemas dalam bentuk multimedia. Multimedia dibedakan menjadi beberapa jenis, dalam hal ini peneliti menggunakan multimedia berupa multimedia audio, media visual, vidio, gambar, dan animasi sebagai software utama. Pemanfaatan Microsoft Powerpoint dipilih oleh peneliti karena dianggap praktis, dinamis, dan sangat menarik. Langkah-langkah penggunaan metode edutainment dalam pembelajaran IPS anak tunagrahita secara singkat sebagai berikut: 1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang akan dicapai. 2) Guru menyiapkan materi yang akan disampaikan berupa kegiatan ekonomi yang ditayangkan di layar. 3) Guru menunjuk atau memanggil siswa secara acak untuk memilih gambar tempat-tempat kegiatan ekonomi. 32 4) Guru mengajukan pertanyaan dan mendorong siswa untuk menyampaikan pendapat mengenai gambar yang telah dipilih. 5) Dari pendapat yang dipaparkan oleh siswa maka guru akan mengembangkan materi dan menanamkan konsep yang akan dicapai. 6) Kesimpulan kegiatan pembelajaran. B. Kerangka Berpikir Anak tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam berpikir abstrak karena taraf inteligensi yang berada dibawah rata-rata. Pengaruh rendahnya taraf inteligensi tidak hanya menghambat kemampuan berpikir abstrak namun juga daya ingat yang rendah. Proses penerimaan materi belajar yang diberikan oleh guru tidak dapat terserap dengan baik. Proses pembelajaran jika hanya menggunkan ceramah kurang dapat meringankan masalah yang dihadapi peserta didik tunagrahita terkait dengan penerimaan materi. Pembelajaran IPS yang pada umumnya berisi hafalan dan teori yang menghasilkan prestasi belajar siswa kurang memuaskan. Maka dari itu diperlukan metode alternatif untuk upaya peningkatan prestasi belajar IPS materi kegiatan ekonomi fokus materi pengenalan tempattempat ekonomi dengan menggunakan metode edutainment yang dikemas semenarik mungkin diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar IPS materi kegiatan ekonomi fokus materi pengenalan tempat-tempat kegiatan ekonomi. 33 Proses pembelajaran IPS materi kegiatan ekonomi siswa tunagrahita ringan kelas IV di SLB Wiyata Dharma I Sleman Pembelajaran belum menerapkan metode edutainment Prestasi belajar IPS siswa tunagrahita ringan kelas IV di SLB Wiyata Dharma 1 Sleman masih rendah Penerapan metode edutainment Prestasi belajar IPS materi kegiatan ekonomi siswa tunagrahita ringan kelas IV di SLB Wiyata Dharma I Sleman meningkat Gambar 2.1. Kerangka Berpikir C. Hipotesis Sebuah penelitian haruslah terdapat suatu hipotesis. Sugiyono (2013:96) menjelaskan bahwa “ hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan”. Purwanto dan Sulistyastuti (2007:137) menjelaskan bahwa “ hipotesis adalah pernyataan atau tuduhan sementara masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu benar) sehingga harus diuji secara empiris. Hipotesis itu sendiri harus konsisten dengan teori yang penulis paparkan di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: Metode Edutainment efektif meningkatkan prestasi belajar IPS materi kegiatan ekonomi pada siswa tunagrahita ringan kelas IV SLB Wiyata Dharma I Sleman tahun ajaran 2015/2016.