analisis nilai ekonomi penggunaan lahan

advertisement
ANALISIS NILAI EKONOMI PENGGUNAAN LAHAN
PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK
Maria
Rubiyanti
Sony Heru Priyanto
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah sebagai sumber daya alam adalah unsur dan tumpuan harapan utama bagi
semua mahluk hidup, terutama kehidupan maupun keberlangsungan hidup umat
manusia. Semua segi dalam kehidupan manusia selalu berkaitan dengan tanah, baik
langsung maupun tidak langsung. Kehidupan manusia sangat bergantung pada
sumberdaya alam tersebut dengan segala kandungannya yang kini semakin sulit
didapatkan atau langka (Sitorus, 2005).
Dewasa ini, sistem penggunaan lahan organik mulai berkembang seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak pertanian anorganik baik bagi
kesehatan manusia maupun lingkungan. Kebutuhan penggunaan lahan pertanian yang
semakin meningkat, akan berdampak pada tingkat pendapatan penduduk sekitar.
Penggunaan lahan anorganik ditandai dengan pemakaian pupuk dan bahan-bahan kimia
lainnya memberikan dampak yang sangat merugikan seperti pencemaran lingkungan.
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, maka perlu dikembangkan penggunaan
lahan pertanian organik yang berlandasan teknologi alternatif berupa unsur hara dengan
menggunakan sisa bahan organik sebagai pupuk, dan mengurangi pemakaian bahanbahan kimia.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana penggunaan lahan pertanian organik dan anorganik yang ditinjau dari
tingkat kesuburan tanah, pengairan, lokasi?
2. Berapa besar nilai ekonomi yang berkaitan dengan penggunaan lahan pertanian
organik dan anorganik?
3. Berapa besar investasi (nilai tanah) pertanian organik dan anorganik dimasa
mendatang?
4.
8
Tujuan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disampaikan sebelumnya,
maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui penggunaan lahan pertanian organik dan anorganik yang ditinjau
dari tingkat kesuburan tanah, pengairan atau air dan lokasi.
2. Mengetahui besarnya nilai ekonomi yang berkaitan dengan penggunaan lahan
pertanian organik dan anorganik.
3. Mengetahui besarnya investasi (nilai tanah) pertanian organik dan anorganik
dimasa mendatang.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian skripsi dilaksanakan pada bulan 21 Desember 2012 sampai 20 Januari
2013 berlokasi di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu wilayah penghasil sayuran organik dan
anorganik.
Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan menggunakan
metode penelitian studi kasus komparatif, dimana kasus yang akan diteliti yaitu
membandingkan lahan pertanian organik dengan lahan anorganik disekitar lahan
organik yang relevan berdasarkan tingkat kesuburan tanah, pengairan, lokasi, nilai
ekonomi, dan investasi.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan wawancara dengan partisipan,
observasi dan dokumentasi. Sedangkan data sekunder yang digunakan berasal dari
instansi terkait penelitian seperti Balai Penelitian Bogor, serta data dari berbagai studi
literatur yang dapat mendukung penelitian. Data-data pendukung untuk melengkapi
hasil wawancara, meliputi catatan penelitian dan data relevan lain untuk penelitian ini.
Teknik Penentuan Partisipan dan Key informant
Partisipan yang dipakai adalah 4 orang yang terdiri dari, 1 manajer lahan organik
dan 1 pemilik lahan anorganik (penentuan nilai investasi tanah), dan 2 orang pengelola
lahan organik dan anorganik dengan dua komoditas yang sama yaitu brokoli dan wortel
di Kecamatan Megamendung yang sudah bekerja selama lebih dari 1 tahun. Kemudian
9
untuk lebih memperjelas data yang diambil, maka penulis juga akan mewawancarai
beberapa key informant yang merupakan sumber kunci untuk membantu dalam
memperjelas hasil yang telah diperoleh dari para partisipan. Key informant yang akan
diwawancarai antara lain, mandor lapangan, petugas penyuluh lapangan yang bertugas
di daerah Kecamatan Megamendung dan perangkat desa atau wakil kepala desa yang
ada di Kecamatan Megamendung. Dalam penentuan partisipan serta key informant,
dilakukan secara sengaja (purposive) yang mengacu pada tujuan penelitian (Soekartawi,
2002). Hal tersebut bisa dilihat berdasarkan tabel dibawah.
10
9
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipakai adalah diskriptif kualitatif. Dimana nanti hasil
dari penelitian yang didapat akan diolah dan dideskripsikan sesuai dengan tujuan
penelitian yang ingin dicapai. Hasil yang ada akan diolah dengan analisis naratif yang
dianggap sebagai cerita yang diambil untuk disajikan atau diedit dari urutan kejadian,
dimana unsur-unsur yang dijelaskan dan diceritakan kembali. Diskriptif struktur naratif
berdasarkan tindakan pilihan, dan kesulitan pada pengambilan suatu data (Iyan, 2010).
Untuk data yang bersifat kuantitatif akan dianalisis dengan alat analisis software
Microsoft Excel 2007, rumus analisis yang dapat membantu dalam pengelola data
kuantitatif adalah sebagai berikut (Suratiyah, 2003):
Analisis data
Pendapatan (TR) = Q x P
Biaya produksi (TC) = VC + FC
Untuk perhitungan biaya tetap berupa
biaya penyusutan dengan menggunakan
metode garis lurus adalah sebagi berikut.
Penyusutan:
1
Harga peroleh
Umur ekonomis
Keuntungan petani (π) = TR - TC
Keterangan
Q: harga / Rp
P: volume/ unit
VC: biaya variabel (Rp/ Ha/mt)
FC: biaya tetap (Rp/ Ha/mt)
Satuan biaya penyusutan (Rp/th)
Satuan umur ekonomis (th)
Satuan harga peroleh (Rp)
π = keuntungan petani
TR = pendapatan (RP/ Ha/ mt)
TC = biaya yang dikeluarkan (RP/ Ha/ mt)
Uji Keabsahan Data
Untuk memastikan kebenaran dari hasil yang diperoleh, digunakan uji keabsahan
data dengan teknik triangulasi. Teknik ini merupakan cara yang paling umum digunakan
bagi peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif. Pengujian dengan teknik
trianggulasi penggumpulan data, waktu dan sumber yang dilalukan dengan cara mencari
informasi dari orang lain yang tentunya mengetahui serta paham akan objek yang
sedang diteliti (Sutopo, 2006).
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Desa Sukagalih terletak di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Desa
tersebut merupakan salah satu wilayah penghasil budidaya sayuran organik dan
anorganik, dengan luas wilayah 247.220 hektar. Desa Sukagalih terdiri dari 2 dusun, 4
rukun warga dan 20 rukun tetangga. Adapun dusun yang terdapat di Desa Sukagalih
yaitu Dusun Lemah Nendeut dan Dusun Bojong Keji. Desa Sukagalih memiliki batasbatas wilyah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Sukakarya
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Kuta
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan PTPN VIII Gunung Mas
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Sukamanah dan Desa Sukaresmi.
Desa Sukagalih memiliki ketinggian 850 m di atas permukaan laut, yang
memiliki topografri perbukitan sampai dengan pegunungan. Suhu udara rata-rata harian
berkisar antara 20,8-24,8 0C, dengan curah hujan rata-rata 2.145 mm per tahun (Wijayanti,
2009).
4.3.
Penggunaan Lahan Pertanian Organik dan Anorganik
4.3.1. Tingkat Kesuburan Tanah
Desa Sukagalih merupakan daerah berbukit, dengan kemiringan lereng dari 0 45o. Jenis tanah andosol yang memiliki warna coklat, berasal dari sisa abu vulkanik dari
letusan gunung berapi. Tanah tersebut subur dan bertekstur gembur, sehingga petani
mudah dalam pengolahannya ringan dicangkul dan pori-pori tanahnya memudahkan
sirkulasi udara masuk keakar tanaman, karena mengandung unsur hara (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, 1993).
Menurut Effendi dalam Nindiasari (2012) kesuburan tanah adalah suatu keadaan
tanah dimana tata air, udara dan unsur hara dalam keadaan cukup seimbang dan tersedia
sesuai kebutuhan tanaman, baik fisik, kimia dan biologi tanah. Didalam penelitian ini
hanya dapat melihat pada tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh keadaan fisika dapat
dilihat pada tabel 4.1, dan kimia yang dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :
11
12
Tabel 4.1 Sifat Fisika Tanah
Contoh
tanah
Kedalaman
Porisitas
tanah
Tekstur tanah
Drainase
Volume (%)
Pasir
Debu
Liat
Cepat
Lambat
Air tersedia
Volume (%)
Organik
20 cm
62,8%
59%
29%
12%
31,2%
5%
7,4%
Anorganik
20cm
61,8%
27%
51%
22%
22,1%
6,0%
12,1%
Sumber: Balai Penelitian Bogor, 2013
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa adanya kesamaan dan perbedaan antara
kedua lahan tersebut. Lahan organik dan anorganik memiliki kesamaan kedalaman
lapisan olah 20 cm dibawah permukaan tanah. Adanya perbedaan yang dapat dilihat dari
porisitas tanah, tekstur tanah, drainase dan air yang tersedia didalam tanah kedua lahan
tersebut berbeda. Pada lahan pertanian organik kandungan pasirnya lebih tinggi,
sehingga draenase tanahnya lebih cepat dibandingkan anorganik. Porisitas tanah organik
berpasir yang mempunyai sifat tanah mudah merembes air, sedangkan tanah anorganik
porisitas tanahnya yang berdebu dan liat ini mudah menangkap air hujan, dan sulit
merembeskan air. Hal ini sesuai dengan Anonim (2013), bahwa porositas tanah berpasir
mempunyai sifat mudah merembes air dan gerakan udara didalam tanah menjadi lebih
lancar. Sebaliknya tanah berliat atau berdebu memiliki porositas yang bersifat mudah
menangkap air hujan, tetapi sulit merembeskan air dan gerakan udara lebih terbatas.
Pada lahan organik yang kandungan pasir lebih tinggi (59%) memiliki drainase yang
cepat untuk menyerap air, dibandingkan drainase lahan anorganik dengan kandungan
debu dan liat tinggi yang menyebabkan penyerapan air didalam tanah anorganik
terhambat, sehingga pemberian air berlebih sering kali mengakibatkan genangan air
diatas permukaan tanah. Lahan organik cenderung membutuhkan air lebih banyak
dibandingkan lahan anoganik, karena ketersediaan air didalam tanah lebih sedikit
dibandingkan anorganik, dan sistem drainase tanah organik yang lebih baik
dibandingkan anorganik. Hal ini seiring dengan pendapat yang menyatakan bahwa,
tanah dengan dominan berpasir cenderung rendah melepas unsur-unsur hara yang
dibutuhkan tanaman, draenase dan aerasi pada tanah berpasir cukup baik (Anonim,
2013). Hal ini juga serupa dengan peryataan dari Bapak Jaya sebagai berikut:
“Tentang pengolahan tanah disini sangat mudah bila dicangkul, diwaktu musim kemarau
maupun penghujan. Lapisan olah tidak lebih dari 20 cm. Tanahnya temasuk gembur dan
berpasir.”
Bapak Asep selaku Key informant mengenai hal diatas:
“Kalau pengolahan tanah disini mudah, apa lagi pada musim hujan rub sedangkan musim
kemarau sama saja cuman bila dicangkul banyak pasir. Kedalaman lapisan olah bila
dicangkul antara 20-an cm. Sedangkan tanah ini termasuk tanah gembur dan berpasir.”
13
Perbandingan lahan anorganik tentang pengolahan tanah tersebut dapat dilihat dari
pernyataan Bapak Mumuh sebagai berikut :
“Musim kemarau teh, pengolahan tanah mudah bila dicangkul, kedalaman lapisan olah
tanahnya mencapai 20cm-½ m tanah gembur.”
Bapak Asep selaku Key informant mengenai hal diatas:
“Gini rubi dilahan milik Ibu Magdalena ini tanahnya bila diolah hampir sama dilahan
organik yang ada dibawah, bila diolah mudah karena tanahnya masih tergolong gembur,
terutama pada musim penghujan dan tidak begitu sulit waktu dicangkul. Lapisan olah tanah
bila dicangkul 20-an cm.”
Tabel 4.2 Sifat Kimia Tanah
Contoh tanah
pH
Volume (%)
Bahan Organik
C
N
Unsur Hara
P
K
Organik
5,9
4,38%
0,50%
39%
1,18%
Anorganik
4,9
3,32%
0,34%
5,5%
0,45%
Sumber: Balai Penelitian Bogor, 2012
Menentukan mudah tidaknya unsur hara diserap oleh tanaman dapat diketahui
melalui nilai pH (keasaman tanah), pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar
tanaman pada pH tanah netral 6-7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara
mudah larut dalam air. Sedangkan pH tanah organik mendekati pH netral dengan pH 5,9
dan lahan anorganik tidak bisa dibilang pH netral, karena lahan anorganik hanya
memiliki pH 4,9. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam
tanah (Nindiasari, 2012). Berikut ini dapat dilihat dari pernyataan Bapak Asep, tentang
pH lahan organik dan anorganik sebagai berikut :
“Kalau syarat tumbuh tanaman yang baik, memiliki pH tanah antara 6-7, ph rendah dapat
ditingkatkan dengan menebarkan kapur pertanian, sedangkan pH tanah yang terlalu tinggi
dapat diturunkan dengan penambahan sulfur.”
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kandungan C-organik dalam tanah organik
sebesar 4,38%, sedangkan tanah anorganik sekitar 3, 32% lebih rendah dari tanah
organik. Lahan organik memiliki mikroorganisme yang lebih aktif dibandingkan
anorganik sehingga semakin subur tanah tersebut, sedangkan pada lahan anorganik
kandungan C-organik rendah dapat dikatakan sebagai bentuk kerusakan tanah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hanafiah (2005), bahwa bahan organik dapat menentukan
tingkat kesuburan tanah, semakin tinggi bahan organik akan semakin subur tanah
tersebut. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah
untuk mendukung tanaman, unsur hara yang berperan penting dalam komposisi
biokimia bahan organik seperti karbon (C: 4,4%), sehingga jika kadar bahan organik
tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
14
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan
tanah yang umum terjadi.
Bahan organik tanah juga merupakan salah satu indikator kesehatan tanah. Tanah
yang sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar 5%. Meskipun kandungan
bahan organik tanah mineral sedikit (+4%) tetapi memegang peranan penting dalam
menentukan kesuburan tanah. Sedangkan tanah yang tidak sehat memiliki kandungan
bahan organik yang rendah. Karbon diperlukan mikroorganisme sebagai sumber energi
dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Apabila ketersediaan karbon rendah
tidak cukup senyawa sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan mikroorganisme
untuk mengikat seluruh nitrogen bebas. Apabila ketersediaan karbon berlebihan (C/N >
40) jumlah nitrogen sangat terbatas sehingga menjadi faktor pembatas pertumbuhan
organisme. Berikut ini pernyataan Bapak Asep, tentang bahan organik berikut :
“Bahan organik yang ada didalam tanah, sangat berpengaruh pada tingkat kesuburan
tanah. Semakin mikroorganismenya tinggi maka, semakin subur tanah itu karena
mikroorganismenya semakin aktif (berkembang) didalam tanah.”
Tanah yang subur bagi tanaman yang memiliki unsur hara (Nitrogen (N), Posfor
(P) dan Kalium (K)) yang tergolong tinggi antara N: 46%, P: 36%, dan K: 52%, serta
unsur N, P, K dikatakan cukup antara 30% (Kurnianti, 2012). Hasil penelitian yang
diperoleh, kandungan P pada lahan organik mencapai 39%, nilai yang tergolong tinggi.
Berbeda halnya kandungan P pada lahan anorganik menunjukkan nilai yang sangat
rendah yaitu 5,5%. Berikut ini dapat dilihat dari pernyataan. Bapak Asep, tentang unsur
hara lahan organik dan anorganik sebagai berikut :
“Kekurangan unsur hara terutama unsur nitrogen, posfor, dan kalium pada tanah akan
mengakibatkan lambatnya proses pertumbuhan tanaman sehingga hasil panen yang tidak
maksimal, banyaknya buah dan batang yang mati, serta banyaknya tanaman yang kerdil.”
4.3.2 Pengairan
Kebutuhan akan air untuk pertanian sangat diperlukan, adanya ketersediaan
pengairan dapat diperoleh dari sumber mata air langsung dari pegunungan, sungai
maupun sumur dan saluran yang ada di wilayah setempat. Berikut ini pernyataan petani
mengenai ketersediaan air yang ada di lahan pertanian organik dan anorganik, dapat
dilihat berdasarkan tabel 4.3 sebagai berikut.
15
Tabel 4.3. Pengairan Lahan Organik dan Anorganik
Pengairan
Organik
Sumber air
- Saluran irigrasi
- Kemudahan
- Sulit
- Kebutuhan air
- Banyak
Sumber: Data Primer, 2012
-
Anorganik
- Pegunungan
- Mudah
- Sedikit
Pada tabel diatas terlihat pengairan lahan organik didapatkan dari saluran irigrasi
setempat, sedangkan pengairan lahan anorganik didapatkan dari sumber mata air
pegunungan langsung. Berikut ini peryataan dari petani organik Bapak Jaya mengenai
hal tersebut:
“Air yang ada untuk pengairan lahan diperoleh dari saluran irigrasi setempat.”
Bapak Agus selaku Key informant mengenai hal diatas:
“Pengairan lahan pertanian disini, didapatkan dari saluran irigrasi setempat, akan tetapi
pengairan yang ada dibagi antara kebutuhan pertanian dan kebutuhan rumah tangga.”
Bapak Mumuh tentang pengairan lahan anorganik sebagai berikut:
“Pengairan di lahan milik Ibu Magdalena ini diperoleh dari sumber mata air pegunungan
yang ditampung dalam kolam.”
Bapak Yana selaku Key informant mengenai hal diatas:
“lahan ini mendapatkan pengairan dari sumber pegunungan langsung, dan ditampung dalam
kolam.”
Pada musim kemarau untuk mendapatkan pengairan lahan organik mengalami
kesulitan, karena pengairan yang ada sangat diutamakan untuk kebutuhan rumah tangga,
sehingga petani organik membuat bak penampung air untuk memenuhi kebutuhan
pengairan lahan pertanian. Sedangkan pengairan lahan anorganik mudah didapatkan,
karena pengairan yang ada hanya khusus milik pribadi. Berikut pernyataan petani
organik Bapak Jaya mengenai hal tersebut:
“Lahan disini sulit untuk mendapatkan pengairan, walau sumber pengairan disini banyak,
pengairan yang ada diutamakan untuk kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan masyarakat
disekitarnya. Adanya kendala yang sering dihadapi pada saat musim kemarau, pengairan
yang ada dirasa kurang sehingga untuk mengatasinya dibuat bak penampungan dari
plastik.”
Bapak Agus selaku Key informant mengenai hal diatas:
“Pengairan lahan pertanian disini, diperoleh dari adanya saluran irigrasi setempat. Pada
musim kemarau pengairan yang ada dibagi antara kebutuhan pertanian, kebutuhan rumah
tangga, dan adanya kendala pengairan yang dihadapi pada musim kemarau sudah bisa
diatasi dengan menambah bak penampungan air terbuat dari plastik.”
Pernyataan dari petani anorganik dari Bapak Mumuh sebagai berikut:
“Pengairan yang ada disini mudah untuk mendapatkannya, tanpa ikut saluran pengairan
orang lain.”
Bapak Yana selaku Key informant mengenai hal diatas:
“Lahan sangat mudah untuk mendapatkan pengairan, tanpa ikut saluran pengairan orang
lain, sehingga kebutuhan pengairan pertanian lahan tercukupi.”
16
Pada penelitian ini, kebutuhan air yang digunakan untuk lahan organik lebih
banyak dibandingkan lahan anorganik, karena lahan organik memiliki kandungan pasir
yang tinggi (59%) sehingga daya tahan air ini rendah. Hal ini tidak sejalan dengan
pendapat Suwito (2012), bahwa lahan organik membutuhkan pengairan yang lebih
sedikit dibandingkan lahan anorganik. Dalam penelitiannya tanah tersusun dari 50% liat,
pasir, humus dan bahan organik, serta 50% katung udara yang dapat menahan dan
menampung air lebih banyak, sehingga tanah lebih mudah menyerap air ketika musim
hujan.
4.3.3 Lokasi
Penentuan lokasi usahatani oleh pemilik lahan didasari berbagai alasan. Pada
lahan organik, mengakui bahwa pada dasarnya letak lahan yang datar menjadi
pilihannya oleh karena lahan datar lebih mudah diolah dan harganya dimasa yang akan
datang relatife lebih tinggi dibandingkan lahan yang miring. Sedangkan lahan pertanian
anorganik, pada dasarnya hanya dipilih karena harga lahannya yang relatif murah.
Lokasi usahatani dalam penelitian ini, dibedakan menjadi dua yaitu terletak
pada lahan datar dan lahan miring. Berdasarkan hasil yang diperoleh, lahan pertanian
organik mudah diolah, sedangkan lahan anorganik tidak mudah diolah. Dilihat dari segi
keefektivannya maka kedua lahan ini bisa digunakan untuk lahan pertanian. Namun
pada lahan miring, biaya untuk pengolahannya justru akan lebih mahal dibandingkan
dengan lahan datar, walaupun kedua tanah tersebut sama-sama merupakan tanah subur.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bapak Lim Pok Thyim:
“Alasan saya memilih lokasi lahan ini karena lahan datar sehingga pengolahan tanah cukup
mudah. Adapun peluang usaha terutama untuk para petani, membuat pendapatan mereka
semakin meningkat. Kelebihan lokasi disini adalah adanya jaringan yang dekat
mempermudah memasarkan produk sayuran seperti didaerah Bogor, Jakarta dan sekitarnya.
“
Pernyataan dari Ibu Magdalena mengenai hal tersebut :
“Pemilihan lokasi ini untuk usahatani awalnya tidak sengaja, karena posisi lahan hendak
dijual dengan harga yang relatif murah dengan bentuk lahan terasering. Peluang usaha
dalam pemasarannya sangat mudah karena banyaknya tengkulak misalnya saom irwan
sebagai perantara penjualan sayuran didaerah sekitar, dan mudah mendapatkan bibit untuk
budidaya sayuran. Kelebihan tidak sulit untuk mendapatkan air .”
Dalam kegiatan pertanian, untuk mendapatkan hasil yang baik tentunya harus
pula didukung oleh sistem pengelolahan yang baik pula. Oleh karena itu pembuatan
teras perlu dilakukan pada tanah yang letaknya miring. Maksudnya adalah untuk
mengurangi kecepatan air yang mengalir di atas permukaannya. Air yang mengalir di
17
tempat yang miring, jika tidak dibuat teras-teras, dapat menyebabkan terkikisnya lapisan
permukaan tanah. Sedang lapisan permukaan tanah merupakan lapisan subur yang
paling dibutuhkan oleh tanaman (Anonim, 2013). Berdasarkan teori tersebut maka
penyiapan lahan miring sebagai lahan pertanian membutuhkan biaya yang cukup besar.
Oleh karena biaya yang dikeluarkan untuk penyiapan lahan cukup besar, maka harga
jual tanah pada lokasi tersebut sebelum diolah akan lebih rendah dibandingkan dengan
lahan datar. Hal ini untuk melihat lokasi sebagai letak usahatani dapat dilihat pada
gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Lokasi Usahatani Organik dan Anorganik
Lahan Organik
Lahan Anorganik
Pada gambar diatas penataan bedengan kedua lahan tersebut memiliki perbedaan
dalam pengelolahan lahan, yaitu lahan organik yang terlihat rapi dengan bedengan
tersusun rata dan pengelolahan dimanfaatkan dengan baik sehingga tidak ada lahan yang
kosong. Sedangkan lahan anorganik dalam pengelolahan bedengan tidak teratur, dan
sebagian besar lahan tidak diolah serta dibiarkan begitu saja.
4.4. Perbandingan Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Antara Organik dan
Anorganik
Nilai ekonomi penggunaan lahan yang dihitung dari nilai keuntungan antara kedua
komoditas sayuran, yaitu komoditas Brokoli dan Wortel yang diperoleh dari pendapatan
dikurangi dengan biaya produksi selama satu musim tanam terakhir. Hal ini, dapat
dilihat berdasarkan tabel 4.4 sebagai berikut.
18
Tabel 4.4. Analisis Nilai Ekonomi Brokoli (Brassica oleraceae) dan Wortel (Daucus
carota) di lahan Organik dan Anorganik dengan Luas Lahan 1 ha per
Musim Tanam
No
1
2
3
4
5
Uraian
Biaya Tetap
(FC)
Biaya
Variabel (VC)
Total Biaya
(TC=FC+VC)
Pendapatan
(TR = Q* P)
Keuntungan
(π = TR - TC)
Organik ( Rp)
Brokoli
Anorganik (Rp)
Organik (Rp)
Wortel
Anorganik (Rp)
Rp
2.753.000,00
Rp
738.000,00
Rp
3.671.000,00
Rp
738.000,00
Rp
79.481.000,00
Rp
82.117.000,00
Rp
95.048.000,00
Rp
97.238.000,00
Rp
82.234.000,00
Rp
82.855.000,00
Rp
98.719.000,00
Rp
97.976.000,00
Rp
200.000.000,00
Rp
100.000.000,00
Rp
70.000.000,00
Rp
60.000.000,00
Rp
117.766.000,00
Rp
17.145.000,00
Rp
-28.719.000,00
Rp
-37.976.000,00
Sumber: Data Sekunder, 2013
Hasil diatas terlihat adanya perbandingan yang lebih besar antara nilai
keuntungan pada komoditas Brokoli organik dibandingkan anorganik, serta kerugian
pada komoditas Wortel organik lebih rendah dibandingkan anorganik. Brokoli organik
memiliki keuntungan lebih besar, dikarenakan harga Brokoli organik lebih mahal
dibandingkan harga Brokoli anorganik, dan jumlah tanaman Brokoli organik lebih
banyak dibandingkan anorganik. Kerugian Wortel organik lebih rendah dikarenakan,
dalam pembuatan pupuk dan pestisida yang dibutuhkan menggunakan sebagian besar
dari tanaman (sisa-sisa sayuran) dan kotoran hewan, sehingga biaya yang dikeluarkan
untuk pemeliharaan tanaman lebih murah. Kerugian Wortel pada kedua lahan
diakibatkan tanaman Wortel tidak cocok ditanam didaerah tersebut, karena tanaman
Wortel memiliki akar pendek, cuaca yang relatif tidak mendukung, suhu dan
kelembaban udara yang sering berubah-rubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak
Asep sebagai berikut:
“Di daerah ini tidak cocok ditanami tanaman wortel, karena dengan musim yang selalu
berubah-rubah, curah hujan yang tinggi, kelembaban udara yang tidak mendukung serta
tanaman wortel sendiri yang memiliki akar pendek.”
Kualitas sayuran organik pada penelitian ini sangat baik, sayuran tahan lama,
sebaliknya kualitas sayuran anorganik cukup baik serta sayuran yang dihasilkan tidak
tahan lama. Berikut ini rekapan data hasil wawancara dengan para petani berdasarkan
kualitas produk yang dihasilkan di lahan organik, dapat dilihat dari pernyataan Bapak
Jaya sebagai berikut:
“Sayuran organik seperti Brokoli organik tahan lama antara 4-5 hari, kalau Wortel juga
begitu, kalo ukuran sayuran yang dijual cukup seragam dan jarang adanya kenaikan harga
sayuran. Menurut saya kualitas produksi sayuran ya mbak sangat baik dan tingkat
kerusakan produk antara 5%.“
Pernyataan Bapak Mumuh tentang hal tersebut:
“Sayuran tidak tahan lama apalagi Brokoli cepat layu dan kusam dan Wortel biasanya 3hari
sudah mulai keriput bila tidak disimpan di kulkas. Ukuran sayuran yang dijual tidak
19
seragam dan jarang adanya kenaikan harga sayuran, serta Kualitas produksi cukup baik ya
dan tingkat kerusakan produk antara 10% .“
Menurut Reshinta (2013), kualitas sayuran organik lebih tahan lama (5-7 hari)
dibandingkan sayuran anorganik, karena sayuran organik tidak dibentuk menggunakan
pupuk kimia, pestisida kimia serta bahan kimia lainnya. Hal ini sesuai dengan kutipan
diatas, bahwa sayuran organik yang memiliki daya tahan lama dibandingkan dengan
sayuran anorganik.
4.5.
Investasi (Nilai Tanah)
Penggunaan lahan pertanian organik dan anorganik sebagai bentuk investasi
dalam jangka waktu yang lama, diharapkan dapat memberikan nilai tanah yang tinggi
dari masa kemasa. Investasi disini adalah tanah yang akan mendapatkan keuntungan
yang tinggi bila dijual dan disewakan yang dilihat dari tingkat kesuburan tanahnya.
Hasil pernyataan partisipan dan key informant tentang investasi tersebut dapat dilihat
pada tabel 4.5 dibawah ini.
Tabel 4.5. Investasi Lahan Organik dan Anorganik
Investasi
- Nilai jual
- Sewa tanah
Organik
10 tahun yang lalu Rp 30.000,00/ m²
5 tahun yang lalu Rp 60.000,00/ m²
Tahun ini Rp 80.000,00/ m²
Asumsi 5 tahun yang akan datang
Rp150.000,00
m²,
rata-rata
kenaikannya 40%
- Tinggi
- Mahal
-
Anorganik
10 tahun yang lalu Rp 25.000,00m²
5 tahun yang lalu Rp 40.000,00/ m²
Tahun ini Rp 60.000,00/ m²
Asumsi untuk 5 tahun yang akan
datang Rp 100.000,00, rata-rata
kenaikannya 25%
- Rendah
- Murah
-
Sumber: Data Primer, 2012
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ricardo dalam Pambudi (2008) yang
menyatakan bahwa, semakin subur tanah maka semakin tinggi harga jual dan sewa
tanah tersebut, makin tinggi harga komoditas yang dihasilkan di lahan pertanian tersebut
maka makin tinggi pula harga jual dan sewa tanah. Hal ini sesuai dengan teori diatas,
bahwa lahan organik memiliki nilai jual lebih tinggi dan harga sewa lebih mahal
dibandingkan dengan lahan anorganik, serta tingginya harga setiap komoditas yang
dihasilkan atau diusahakan di lahan organik lebih tinggi harganya dibandingkan
komoditas anorganik. Lahan organik bila dijual harganya mahal dan harga sewa
tanahnya pun makin tinggi, berdasarkan tabel diatas pada lahan organik diperkuat dari
pernyataan Bapak Lim Pok Thyim, sebagai berikut ini:
“Harga sewa lahan organik terhitung mahal ya mbak, tahun ini mencapai Rp 4.000.000,00
per hektar per tahun. Sedangkan harga jual tahun ini pun termasuk tinggi mencapai Rp
80.000,00 per meter persegi, 5 tahun lalu sekisar Rp 60.000,00 per meter persegi, dan 10
tahun lalu sekisar Rp 30.000,00 per meter persegi, untuk 5 tahun yang akan datang kira-kira
mencapai Rp150.000,00 per meter persegi.”
Bapak Ubedilah selaku key informant mengenai hal diatas:
20
“Harga sewa lahan organik cukup mahal ya sekitar Rp 4.000.000,00 per hektar per tahun.
Harga jual tanah sekarang pun tinggi mencapai Rp 75.000,00-Rp 80.000,00 per meter
persegi, 5 tahun lalu sekisar Rp 60.000,00 per meter persegi, dan untuk 10 tahun lalu Rp
30.000,00-Rp 40.000,00 per meter persegi.”
Berdasarkan hasil tersebut, harga tanah anorganik lebih murah dan harga sewa
tanah pun bernilai rendah. Berikut ini pernyataan dari Ibu Magdalena:
“wah harga sewa lahan ini (lahan anorganik) sekitar Rp 3.000.000,00 per hektar per tahun.
Harga jual tanah tahun ini juga mencapai Rp 60.000,00 per meter persegi, buat 5 tahun lalu
sekitar Rp 40.000,00 per meter persegi, dan 10 tahun lalu sekisar Rp 25.000,00 per meter
persegi, untuk harga jual 5 tahun yang akan datang mencapai Rp 100.000,00 per meter
persegi .”
Bapak Ubedilah selaku key informant mengenai hal diatas:
“Harga sewa lahan anorganik masih rendah (murah) dibandingkan lahan organik yang
memiliki harga sewa yang mahal, lahan ini bila disewa sekitar Rp 3.000.000,00 per hektar
per tahun. Harga jual tanah sekarang juga rendah (murah) mencapai Rp 60.000,00 per
meter persegi, buat 5 tahun lalu Rp 40.000,00 per meter persegi, dan 10 tahun lalu Rp
25.000,00 per meter persegi.”
Hasil diatas terdapat perbedaan nilai jual lahan organik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan anorganik. Hal ini dapat diketahui juga, bahwa harga sewa
lahan organik lebih mahal dibandingkan anorganik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dilihat dari tingkat kesuburan tanahnya, lahan pertanian organik memiliki
kandungan C-organik sebesar 4,38% dan lahan pertanian anorganik sebesar
3,32%. Dari segi pengairan, lahan organik membutuhkan banyak air, dan
pengairan yang didapatkan dari saluran irigrasi setempat. Lahan organik sulit
mendapatkan pengairan, sehingga memanfaatkan bak penampung air pada
musim penghujan. Sedangkan pertanian anorganik pengairan diperoleh dari
sumber mata air pegunungan langsung, lahan membutuhkan sedikit air dan
mudah mendapatkan pengairan. Lokasi lahan organik dengan letak lahan yang
datar lebih mudah diolah, pembuatan bedengan tersusun rata dan rapi.
Sedangkan lahan anorganik yang letak lahannya berupa terasering atau miring
dalam pengolahannya tidak mudah, dan pembuatan bedengan tidak tersusun rata.
2. Nilai ekonomi pada pertanian organik ditinjau dari segi keuntunganya lebih
tinggi dibandingkan pertanian anorganik.
3. Besarnya investasi (nilai tanah) lahan organik lebih tinggi dibandingkan lahan
anorganik.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui nilai ekonomi lahan di
daerah sekitar yang gitinjau dari segi lokasi (jarak lokasi dengan pasar, sarana
prasarana)
2. Dari segi agrobisnis, perlu dilakukan sosialisasi dari berbagai pihak diantaranya
pemerintah dan masyarakat mengenai efek dari pertanian organik dan anorganik.
21
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Narilla, Novi. 2002. Studi Keterkaitan Antara Nilai Manfaat Lahan (Land Rent)
dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Tesis.
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2013. Pembuatan Teras Bangku Sebagai Usaha Konservasi Tanah Pada
Lahan Potensial di Daerah Pegunungan. Diakses pada: 15 juni 2013 (12:21)
http://iputuyuliawan0731.blogspot.com/2013/01/pembuatan-teras-bangkusebagai-usaha_19.html.
Anonim. 2013. Indahnya Nuansa Cerita Dalam Pengetahuan Dunia. Diakses pada:
15 juni 2013 (21:11). http://ansoriipb.blogspot.com/2013/01/pengaruh-teksturtanah-terhadap_4958.html.
Arsyad. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bandung : Penerbit ITB.
Balai Penelitian Bogor. 2013. Hasil Analisis Contoh Fisika tanah. Bogor: Balittanah.
Balai Penelitian Bogor. 2012. Hasil Analisis Contoh Kimia tanah. Bogor: Balittanah.
Hanafiah, K. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Grapindo. Jakarta
Hakim, Nurhajati, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung. Universitas
Lampung
Iyan Afriani H.S. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Diakses pada: 19 Mei 2013
(22:01).http://my.opera.com/abdulqodir/blog/2010/05/19/metode-penelitiankualitatif.
Kurnianti,
Novik.
2012.
Definisi
Unsur
Hara.
http://petunjukbudidaya.blogspot.com/2012/12/defisiensi-unsur-hara.html.
6
Desember 2012.
Laporan dan Peta Tanah Semi Detail DAS Cisadane Hulu, 1992. Pusat penelitian Tanah
dan Agroklimat, 1993
Manuhutu, 2005. Pertanian Organik. Kanisius: Yogyakarta.
Novik Kurnianti. 2012. Definisi Unsur Hara. Diakses pada: 6 Desember 2012
(22:17).http://petunjukbudidaya.blogspot.com/2012/12/defisiensi-unsurhara.html.
Nindiasari, Effendi, Syarif, dkk. 2012. Kesuburan Tanah. Diakses pada: 18 Desember
2012
(14:15).
http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com/2011/06/kesuburantanah.html
Pambudi, Andika, Ricardo, David. 2008. Analisis nilai ekonomi lahan (land rent) pada
lahan pertanian dan pemukiman dikecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rahardi. F. 2000. Agribisnis Tanaman Buah. Cetakan 8. Jakarta : Penebar Swadaya.
Reshinta, Reisa. 2013. Kandungan dan Manfaat Pupuk NPK. Diakses pada: 14 April
2013
(23:00).
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/04/15/kandungan-manfaatpupuk-npk-551131.html.
Setiadi, Nugroho. 2003, Perilaku Konsumen: Konsep dan Implilasi Untuk Strategi dan
Penelitian Bisnis Pemasaran. Prenada Media, Jakarta.
Suwito, Joko, 2012. Pertanian Organik. Diakses pada: 04 Mei 2012 (19:20).
http://ambilonia.blogspot.com/p/teknologi.html.
Sitorus, S.R.P. 2005. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium
Perencanaan Pembangunan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Siswanto, Eddy. 2007. Kajian Harga Lahan dan Kondisi Lokasi Lahan Pemukiman Di
Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara. Program Pasca Sarjana
Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro
Semarang.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta. 110 hlm.
Suratiyah, Ken. 2008. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suratiyah, K. 2003. usahatani. Diktat. Diterbitkan Untuk Kalangan Sendiri. Program
Studi Agribisnis. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan
Teoritis. PAU-UGM. Yogyakarta.
Supranto, J. 2000. Metode Ramalan Kualitatif: Untuk Perencanaan Ekonomi dan Bisnis.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Susilawati. 2011. Budidaya sayuran organik menuju hidup sehat. Diakses pada: 13
Desember 2012 (12:02). http://epetani.deptan.go.id/budidaya/budidaya-sayuranorganik-menuju-hidup-sehat-1851.
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Penerbit Universitas
Sebelas Maret.
Sukirno, S. 1990. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta : Grafika
Wurjanto, Andojo, dkk. 2006 Modul Perhitungan Debit Andalan Sungai. Penerbit ITB,
Bandung.
Wijayanti, Retno. 2009. Strategi Pengembangan Usaha Sayuran Organik. (Studi Kasus
: Kelompok Tani Putera Alam Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung,
Kabuaten Bogor). Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Prosiding
Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”:
Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 - 120. Hasil Kerja
sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan anugerahNya
kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan hasil kegiatan Skripsi dengan
judul “Analisis Nilai Ekonomi Penggunaan Lahan Pertanian Organik dan Anorganik di Desa
Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor” dengan baik. Skripsi ini disusun
dalam rangka memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pertanian
program Strata Satu di Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
atas bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM., selaku Dekan Fakultas Pertanian dan Bisnis
UKSW Salatiga sekaligus selaku pembimbing satu dalam penyusunan skripsi ini.
2. Maria SP, MP, selaku Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian dan Bisnis
UKSW Salatiga dan pembimbing ke dua dalam menyusun skripsi ini.
3. Balai Penelitian Bogor, beserta para partisipan dan key informant yang membantu
penulis dalam mencari data sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik.
4. Bapak, Ibu, kakak dan adik yang selalu dan tanpa henti mendoakan dan memberikan
dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Teman-teman angkatan 2009 yang selalu menemani penulis dalam menjalani berbagai
suasana dan situasi, sehingga penulis bisa terus semangat.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penulisan skripsi ini.
Salatiga,
Penulis
Download