SEKSUALISASI MEDIA DAN PERILAKU SEKSUAL ANAK DAN

advertisement
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
SEKSUALISASI MEDIA DAN PERILAKU SEKSUAL ANAK DAN
REMAJA
Aloysius Soesilo
Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana - Salatiga
Dipresentasikan dalam
Seminar dan Diskusi Ilmiah Psikologi Kesehatan
Seksualitas, kesehatan psikologis, dan teknologi
Fakultas Psikologi
Unika Soegijapranata – Semarang, 19 Juni 2014
1
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
2
Abstract
The focus of this article is on the presentation of sex and sexualized media and its
impact on young people. Discussions on sex or sexuality in the media are difficult to
be realized and complicated by conflicts of interest from a variety of perspective,
cultural, ideological, religious, and moral. Meanwhile, the increasing exposure of
young people to sexually explicit material has been cited as a significant influence on
their sexuality, sexual identity and health. This article presents some research
findings that highlight the intersection of these issues with the context of sexualized
media and culture. Our understanding of these studies would help us understand
how young people construct their sexuality, sexual identity , their engagement with,
and experiences, of sexualized culture from their own perspectives. Much can be
investigated in these topics, and some examples of research areas are presented
also in this article for future research.
Key words: teenagers, sexuality, sexualized media and culture
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
3
SEXUALISASI MEDIA DAN PERILAKU SEKSUAL ANAK DAN REMAJA
Ranah privat yang menyangkut seksualitas menjadi terbuka untuk publik
melalui media. Perdebatan mengenai sensor, moralitas sosial dan perlindungan anak
dan remaja dan sexual abuse dipicu oleh munculnya gambar dan tayangan seksual
lewat televisi, film, dan media cetak serta digital.
Menurut suvei oleh Time/CNN pada tahun 1998 (dalam Harris & Scott, 2002),
29% remaja di Amerika Serikat menyatakan TV sebagai sumber informasi yang
paling penting tentang seks. Dan angka ini melonjak dari 11% pada 1986. Sumber
yang paling banyak disebut adalah teman (45%), orangtua hanya 7% dan pendidikan
seks menduduki porsi yang lebih kecil, yaitu 3%. Barangkali keadaan yang lebiih
kurang sama juga terjadi Indonesia. Lalu menjadi kesempulan yang berlaku umum
bahwa dari masa kanak-kanak, lewat remaja dan menuju dewasa awal, orang lebih
belajar tentang seks dari media sebagai sumber informasi utama.
KARAKTERISTIK KONTEKS SEKSUAL DALAM MEDIA
Literatur membedakan antara materi seksual dengan kekerasan (violent
sexual material) dan materi seksual tanpa kekerasan (npnviolent sexual material).
Walaupun materi seksual tanpa kekerasan tidak mempertontonkan penyiksaan,
sadomasokisme, pukulan, dsb., jenis ini bisa saja mempresentasikan konten yang
menempatkan manusia pada posisi dikuasai, dihina, direndahkan, sekedar obyek
bagi yang lain. Pelaku (umumnya wanita) ditampilkan sebagai pihak yang menerima
perlakukan ini dan reseptif serta responsif terhadap tuntutan seksual si pria (Harris &
Scott, 2002). Seks dalam media tidak terbatas pada penggambaran eksplsit tentang
persetubuhan atau pose telanjang, tetapi juga sembarang representasi yang
mencitrakan perilaku, minat, atau motivasi seksual. Pencitraan seperti ini tersebar
luas dalam iklan dan berbagai jenis produk dari sabun mandi hingga ban mobil.
Media
dan
budaya
popular
di
Amerika
Serikat
dituduh
telah
ikut
bertanggungjawab atas apa yang disebut dengan ‘over-sexualizing girls’, di mana
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
4
anak perempuan belia dan seksi, atau remaja putri, ditampilkan dengan perilaku
seksual, tanpa takut dan malu dan ‘fun’ (American Psychological Association, 2007).
Media menyebarkan dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan mitos mengenai
seksualitas perempuan muda yang mengidealkan tubuh dan ‘ke-muda-an’ sebagai
hal yang ‘cool’ dan seksi. Sejumlah ahli berpendapat kultivikasi mitos semacam inilah
yang menguatkan gagasan mengenai eksibisionisme, manipulasi atensi pihak lawan
jenis, dan kemudahan terjadinya kekerasan seksual. Penggambaran demikian ini
kemudian berujung pada merongrong perkembangan seksual yang sehat pada
remaja putri dan menempatkan mereka pada ruang terbatas yang ditentukan oleh
ideologi tentang feminitas yang berfokus pada penampilan tubuh yang indah, muda
dan menawan. Selanjutnya pencitraan seperti ini menjadi bahan konsumsi yang laku
bagi media. Romansa percintaan diangkat sebagai sesuatu yang selayaknya diraih
oleh perempuan, dominasi kaum pria menjadi ternormalisasi, sementara itu perasaan
perempuan sendiri dikesampingkan.
SEKSUALISASI OBYEK DAN OBYEK SEKSUALISASI
Sebenarnya cukup problematik untuk mengartikan istilah “seksualisasi” atau
terseksualisasi”, karena sifat subektif dan ambigu yang terkandung di dalamnya.
Sebelum kita melihat lebih lanjut tentang seksualisasi, kita meluangkan waktu
sejenak untuk mengawali dengan pembahasan singkat tentang seksualitas. Ini
tidaklah mengherankan karena konsep seksualitas sendiri erat terjalin dengan setiap
disiplin apapun yang bisa kita bayangkan, sehingga seksualitas merupakan contoh
bahan studi yang paling interdisipliner (Noonan, 2007). Bagi Noonan, seksualitas
lebih dari sekedar aktivitas seksual. Dia bergerak dari hal yang paling remeh-sepele
ke hal yang paling mendalam, mencakup hampir semua aspek kehidupan manusia,
baik yang fisk (biomedis) maupun yang psikososial dan kultural.
Kendati istilah seksualisasi problematik untuk dirumuskan, tetapi, paling tidak apa
yang diupayakan oleh Bragg, Buckingham, Russell dan Willett (2011) untuk
mendeskripsikan makna istilah ini yang dikenakan pada berbagai benda atau produk
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
5
bisa membantu kita. Mereka membuat kategori yang luas dan inklusif mengenai
barang-barang secara potensial mempunyai makna atau dimaknai secara seksual.
(1) Barang/produk yang mempunyai rujukan pada praktek-praktek seksual melalui
gambar, kata-kata, or humor.
(2) Barang/benda yang nampaknya merujuk pada konteks seksual melalui
gambar, kata-kata, warna,dan corak; di mana familiaritas dengan suatu benda
bertolak dari konteks yang terseksualisasi.
(3) Barang-produk yang menekankan bagian-bagian tubuh dan bentuk-bentuk
tubuh yang secara kultural diasosiasikan dengan seksualitas dewasa.
(4) Barang/benda yang menjiplak mode atau style yang pada masanya
dipandang high fashion untuk orang dewasa. Produk ini mencakup barangbarang yang dipasarkan sedemikian rupa yang mengkombinasikan item-item
dari seksualitas dewasa yang diasosiakan dengan masa anak-anak,
sedemikian rupa sehingga menormalkan mereka sebagai barang untuk anak.
(5) Barang/produk yang merujuk pada stereotipe gender; misalnya dengan
berlebihan menekankan daya tarik fisik, mengasosiasikan perempuan dengan
cinta dan intimitas, atau mengasosiasikan pria dengan agresivitas dan
dominasi, lewat kata-kata, gambar, symbol atau aktivitas.
Riset
mengenai
mengindikasikan
bahwa
berkembangnya
perempuan
seksualitas
kaum
menginternalisasikan
perempuan
obyektifikasi-diri,
mengembangkan harga-diri (self-esteem) yang rendah, mereka meyakini bahwa
tubuh adalah situs feminitas dan daya tarik ketimbang kepribadian ataupun capaian
edukasional dan karier. Keindahan tubuh adalah jalan mudah menuju penerimaan
sosial, romansa dan status. Keyakinan demikian termanisfestasi dalam relasi sosial
kaum muda perempuan yang menuntut konformitas pada mitos tentang kecantikan,
kompetisi untuk meraup perhatian dari lawan jenis melalui seksualisasi-diri (Lemish,
2011). Dan apabila kemudian terjadi sexual harassment dan sexual abuse, sikap
masyarakat
yang
telah
dibentuk
oleh
pencitraan
semacam
ini
adalah
mempersalahkan korban (APA, 2007).
Persoalan ini menjadi semakin mendesak untuk memperoleh perhatian karena
berkembangnya begitu banyak cara dan corak teknologi komunikasi yang tersedia
dengan relatif mudah dilakukan oleh anak dan remaja. Konten seksual macam
pornografi menumpang dengan mudah dan tersebar dengan cepat. Sangsi sosial
tradisional tidak berdaya ketika berhadapan dengan konsumsi seperti ini. Eksposur
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
6
berulang-ulang terhadap kekerasn seksual bisa berakibat kehilangan kepekaan
(desensitisasi)
terhadap
kekerasan
terhadap
wanita
pada
umumnya
dan
penerimaan/sikap reseptif yang lebih besar terhadap peristiwa dan kisah perkosaan.
Ini tidaklah berarti bahwa kombinasi kekerasan dan seks akan membuat keadaan
lebih buruk daripada hanya satu saja yang terjadi, karena harus diperhitungkan
bagaimana peristiwa itu dilukiskan. Apabila wanita yang diserang dilukiskan sebagai
juga terangsang dan ikut menikmati, reaksi pemirsa akan berbeda bila sebaliknya
wanita tersebut digambarkan sebagai korban terror dan kebrutalan. Di samping itu,
ada fenomenon menarik yang dikemukakan oleh Harris dan Scott (2002), yakni thirdperson effect, artinya, kita percaya bahwa apa yang kita lihat lebih berpengaruh pada
diri orang lain ketimbang pada diri kita sendiri.
Kendati
terdengar
keluhan
dari
sekalangan
masyarakat
mengenai
meningkatnya seksualisasi konten media, namun banyak orang masih bungkam dan
enggan untuk berdiskusi mengenai seks dan seksualitas sebagai aspek yang sehat
dan positif dalam pertumbuihan dan perkembangan manusia. Banyak orangtua
merasa enggan dan jengah untuk terlibat dalam pendidikan seksualitas dengan
anak-anak mereka dan mereka berharap bahwa hal ini menjadi tugas pada pihak
lain. Sementara itu, program pendidikan seksualitas minim dilakukan oleh lembaga
pendidikan. Kalaupun dilakukan, program edukasi semacam ini kurang memberi
ruang bagi diskusi mengenai relasi dan intimitas antarpribadi, identitas dan hasrat
atau nafsu seksual, serta ‘pleasure.’ Sebagai konsekuensinya, anak-anak menerima
pesan ganda: sebagaimana mereka tumbuh dan berkembangn secara fisik menjadi
mahluk yang aktif secara seksual dan dikelilingi oleh stimulasi seksual, mereka tidak
menyadari rasa takut dan malu yang mengkarakterisasikan diskusi orang dewasa
mengenai seks dan seksualitas. Kepada anak sering dikatakan bahwa mereka
sebaiknya tidak menjadi seksual dan mereka diharapkan untuk tidak berbuat apapun
yang berhubungan dengan tubuh dan hasrat mereka.
Anak-anak, khususnya, perempuan,
diberi peran untuk mempertahankan
reputasi yang baik dengan menekan dorongan dan hasrat seksual, mengendalikan
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
7
pelepasan hasrat dari pihak lawannya, dan diajarkan untuk merasa bersalah apabila
pelanggaran ini terjadi.
Secara keseluruhan yang menjadi persoalan adalah bahwa pendidikan formal
atau
informal
tidak
menawarkan
pendidikan
seks
yang
efektif,
dengan
memperhatikan kebutuhan anak dan remaja sebagaimana mereka bertumbuh, dan
mediapun tidak mengisi kekosongan ini, untuk menjadi kekuatan sosialisasi. Jadi,
seks menjadi realm kehidupan yang dikenal oleh anak melalui media, namun media
tidak menjadi sarana untuk membawa pada realitas. Apa yang dikenal oleh anak
tentang seks berkembang seiring dengan lamanya mengonsumsi isi media di
tengah-tengah kekurangan akan tersedianya sumber-sumber informasi dan model
alternatif, jauh sebelum mereka terlibat dalam pengalaman seksual pertama.
PERSILANGAN SEKSUALITAS DAN PERILAKU SEKSUAL DAN
KESEHATAN
Banyak penyakit sosial seperti aktivitas seksual prematur, promiskuitas,
kehamilan remaja, dan penyebaran penyakit menular sering dikaitkan dengan
representasi seksual dalam berbagai media yang begitu mudah diakses oleh anak
hingga remaja. Aneka penyakit sosial ini dianggap ikut andil bagi terjadinya erosi
moralitas dan nilai-niali normatif keluarga dan masyarakat. Dalam media yang telah
terseksualisasikan, sosok anak ditampilkan sebagai obyek seksual yang merangsang
dan kemudian menjadi stimulus bagi fantasi dan aktivitas pedofilik (orang dewasa).
Kalangan pendidikan, orangtua, dan masyarakat pada umumnya telah
mengekspresikan keprihatinan mereka mengenai perilaku seksual remaja, berdasar
pada isu-isu kesehatan seperti meningkatnya penyakit yang ditularkan karena
hubungan seksual, serta keterlibatan remaja dalam pronografi. Pendidikan
seksualitas dan media literacy semakin dipandang sebagai faktor yang penting
dalam bagaimana kaum muda memperoleh pengetahuan mengenai seks dan
membentuk identitas seksual yang dewasa.
Walau penggambaran peilaku seksual anak dan remaja semacam ini adalah
hal yang sudah lama berlangsung, tetapi kini media semakin menempati posisi yang
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
8
penting dalam penyajian informasi tentang seks kepada kelompok usia bawah dan
memainkan peranan dalam pembentukan budaya seksual. Oleh karenanya sorotan
tajam semakin banyak diarahkan ke media. Pembicaraan atau bahkan perdebatan
mengenai seksualisasi media sebenarnya bisa dipahami bak dua sisi dari satu mata
uang. Satu sisi, ini mencerminkan kecurigaan dari pihak tradisi terhadap erosi nilainilai dan otoritas oleh teknologi media, seks, dan kaum muda. Pada sisi yang lain, ini
mencerminkan respons terhadap perubahan-perubahan nyata mengenai signifikansi
seks dalam kehidupanan masyarakat modern, di mana seks dipresentasikan sebagai
persoaaln kesenangan, kenikmatan, selera dan rekreasi personal. Situasi semacam
ini yang dilihat oleh Berstein (2007) ikut membawa pengaruh atas bagaimana
kehidupan kerja dan keluarga dikelola, dan bagaimana corak dan konten media telah
merasuki ranah kehidupan personal.
Studi yang dilakukan dari pendekatan Cultural Studies, yang melibatkan
proses mendengarkan anak-anak dan remaja, mendapati bahwa kelompok ini
berhubungan dengan media sebagai preferensi untuk sumber informasi dan
bimbingan tentang seks. Mereka menggunakan panayangan televise dan internet
mengenai seks dan seksualitas sebagai dasar untuk percakapanan mengenai
relevansinya dengan kehidupan mereka. Mereka mengakui bahwa mereka seringkali
mendapati materi seksual dalam media dan menghargai informasi yang diterima dari
sumber ini dan menggunakannya sebagai sumber belajar. Mereka sudah
memperlihatkan ketrampilan kritis dalam mengomentari dan mengkritisi konten
seksual dan mengevaluasinya lewat apa yang mereka persepsikan sebagai moralitas
sesual (Lemish, 2011).
Sebagai perbandingan dari pendekatan Cultural Studies, riset yang dilakukan
melalui efek media mengandaikan bahwa masa muda adalah periode yang polos
dan lugu dan pengetahuan seksual dapat berbahaya bagi remaja. Kewajaran dan
pentingnya perkembangan seksualitas pada anak dan remaja sekaligus juga
dibingkai sebagai problem sosial, khususnya bagi remaja putri. Resiko sebagai
akibat dari paparan berat terhadap seks media lebih ditekankan daripada peluang
dan potensi belajar atau pleasure yang bisa dicapai lewat penggambaran seksual.
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
Riset
mengenai
efek
kumulatif
menunjukkan
bahwa
anak
dan
9
remajja
menginternalisasikan sikap dan perilaku seksual dari penayangan yang telah
terdistorsi pada media komersial (Lemish, 2011).
Maraknya pornografi yang tersedia dalam berbagai corak media mempunyai
implikasi yang serius bagi perkembangan mahluk seksual yang sehat. Bagi Zillman,
Bryant, dan Huston (1994), material pornografis menyuguhkan model untuk berbagai
praktek seksual, memberi jalan bagi sikap untuk promiskuitas dan keyakinan yang
menyimpang mengenai peran seks dalam relasi manusia, menegakkan ekspektasi
mengenai capaian diri, mengobyektifkan wanita dan menyebarkan sikap negative
tentang
wanita,
serta
meremehkan
seriusnya
kejahatan
seksual
serta
konsekuensinya.
Lepas dari tradisi dan hampiran riset yang dianut, mayoritas pengamat dan
peneliti sepakat bahwa penggambaran oleh media mengenai seks mempunyai peran
yang sentral dalam perkembangan seksualitas remaja, dan dengan demikian
selayaknya dicermati dengan seksama. Di samping itu, telah nampak jelas bahwa
ada inter-relasi anatra seks dan sejumlah isu penting seperti kekerasan , emosi,
momitmen, keluarga, kehamilan dan pengasuhan anak, orientasi dan identitas
seksual. Semua isu ini membutuhkan atensi serius dari mereka yang berkepentingan
dengan peran media dalam mendukung perkembangan yang sehat bagi anak dan
remaja.
Ada keragaman opini mengenai corak dan praktek relasi seksual yang tepat
untuk dilihat oleh anak dan remaja. Keragaman ini bukan hanya bisa dijumpai pada
orangtua dan kaum dalam lingkup pendidikan, namun juga pada produser film dan tv
anak-anak yang diwawancara oleh Lemish (2011) dari sejumlah negara. Pandangan
mereka tidak hanya bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, tetapi
juga antar berbgaai kelompok dalam suatu budaya, seperti halnya ras, etnisitas,
kelas , tradisi, dan sejarah memempengaruhi keyakinan dan prakteks seputar
seksualitas. Sebagai satu contoh, apa yang relevan untuk budaya-budaya dalam
masyarakat maju yang kapitalis tidak perlu dirasakan relevan untuk masyarakatmasyarakat lainnya di bagian lain di dunia. Ada pendekatan yang lebih longgar dan
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
10
permisif di negara-negara Eropa (misalnya kelompok Nordik) mengenai apa yang
bisa ditayangkan dalam program-rpogram untuk pemirsa muda usia. Apabila
tayangan ini, di mana perilaku erotis, buka-bukaan, humor jorok dan percakapan
bebas tentang seks, ditonton oleh remaja di belahan dunia lain tentu akan
menimbulkan ketegangan dan pertentangan. Televisi di Amerika Serikat lebih
konservatif dan kurang permisif dibandingkan dengan kelompok negara-negara
disebut di atas. Sedangkan konten yang serupa akan dinilai terlalu vulgar dan tidak
senonoh oleh masyarakat di Afrika dan Asia. Dalam kultur yang konservatif,
pendidikan seks dan pembagian kondom untuk pencegahan penyakit bahkan bisa
diartikan sebagai bentuk legitimasi dan dorongan bagi perilaku seksual oleh remaja.
Maka diskursus mengenai seksualitas sebenarnya minim pada kultur yang
menentang segala intervensi semacam ini dalam kehidupanan anak dan remaja.
Sejajar dengan ini, keengganan kuat lainnya yang muncul dalam diskurus mengenai
homoseksualitas. Isu ini bukan hanya diperhadapkan dengan tabu tetapi juga
dengan sangsi-sangsi religius. Oleh karena itu seks dan seksualitas tetap harus
dijaga sebagai rahasia yang tidak selayaknya dipaparkan dan dibicarakan secara
terbuka. Seks dan seksualitas diposisikan sebagai ruang privat, sarat dengan
perasaan cemas, takut dan malu – oleh karena itu sebaiknya tetap diperlakukan
demikian. Orangtua tiba-tiba menjadi gagap ketika diperhadapkan pertanyaan
seksual oleh anak, dan sebagai ganti jawaban yang mencerahkan orangtua
menekan rasa ingin tahu anak untuk tidak bertanya macam-macam. Edukasi seksual
terkesan hanya terjadi dalam keluarga yang lebih terdidik dalam kelas sosial yang
lebih tinggi. Pesan yang ditanggap oleh umum dari kultur semacam ini adalah anak
dan remaja memiliki peluang terbatas untuk masuk dalam dialog terbuka dan santai
mengenai tubuh, dorongan, dan hasrat seksual mereka. Apa yang mereka ketahui,
alami dan rasakan pada giliran bukan datangnya dari orang dewasa, tetapi dari
pencarian dan penjelajahan sendiri.
EKSPOSUR TERHADAP KONTEN SEKSUAL DAN DAMPAKNYA
ATAS PERILAKU
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
11
Meningkatnya paparan terhadap materi yang eksplisit seksual menjadi satu
faktor yang berpengaruh atas seksualitas remaja dan kesehatan mereka. Dalam
konteks ini, amat menarik untuk diamati bagaimana perspektik remaja sendiri
mengenai
seksualitas,
identitas
seksual,
media
dan
budaya
yang
telah
terseksualisasi bersinggungan dengan kesehatan. Sayangnya, belum banyak riset
dilakukan seputar isu ini (Bale, 2011). Diskusi dan perbedaan bukan lagi pada terjadi
atau tidak terjadinya seksualisasi kultur dan media, karena eksistensi sudah amat
jelas. Pertanyaan lebih mengarah pada bagaimana eksistensi media dan kultur yang
telah mengalami seksualisasi ini dimaknai oleh masyarakat, khususnya remaja, dan
apa signifikansinya bagi mereka. Inilah yang dicoba diamati oleh Clare Bale,
khususnya mengenai relasi antara media dan kesehatan seksual remaja
sebagaimana diartikulasikan dalam kebijakan kesehatan masyarakat di Inggris. Bale
(2011) menyesalkan bahwa relasi antar kedua aspek ini lebih banyak dibingkai
dalam moralisme tersembunyi dibaliknya dan dengan fokus yang menitik-beratkan
pada eksposur dan efeknya, serta resiko seksual dan kerugiannya. Pembingkaian
cara pandang demikian ini menurut Bale justru membatasi dan mengerdilkan remaja
sebagai sexual agency, dan ini pada gilirannya berimplikasi pada ekspresi seksual
dan kesehatan mereka.
Peran dan dampak media di dalam membentuk seksualitas dan perilaku
seksual remaja telah menjadi fokus perdebatan dan konsultasi serta program
edukasi di banyak negara. Namun riset yang mendukung pandangan bahwa dampak
media atas kesehatan seksual adalah negati masih belum benar-benar konklusif.
Kebanyakan riset dalam area ini dilakukan dari pendekatan kuantitati yang bisa
diperdebatkan dari segi cocok, tepat dan layaknya. Menurut Bragg dan Buckingham
(2002), pendekatan ini mengandalkan model behavioristik untuk mengkaji efek, di
mana subyek dipersepsikan sebagai konsumen pasif. Kelemahan lainnya dalam
pendekatan ini adalah kurangnya presisi dalam mendefinisikan apa sebenarnya
representasi
yang
terseksualisasikan
dan
apa
representasi
seksual
serta
kecenderungan untuk mengabaikan konteks, makna, representasi, dan bagaimana
merumuskan persoalan riset. Riset oleh Bragg dan Buckingham menyimpulkan
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
12
bahwa anak-anak muda menggunakan pengalaman mereja sendiri dan identitas
mereka yang sedang terkembang untuk mnenginterpretasikan media. Partisipan
muda ini juga menggunakan nilai-nilai yang lebih luas seperti trust dan mutual
respect untuk memformulasikan sikap, keyakian dan nilai-nilai mereka sendiri dalam
membaca media. Masih sedikit perhatian diarahkan pada konteks kultural dan sosial
pada seksualitas, bagaimana makna seksual dibangun dan dinegosiasikan, dan
bagaimana remaja menginterpretsikan dan menggunakan konten seksual (Bragg,
Buckingham, Russell, & Willett, 2011).
Selain bahwa banyak riset tidak memberikan penjelasan yang memadai
mengenai dampak seksualisais kultur, hasil riset ini dianggap sebagai suara
autoritatif yang berpengaruh atas kebijakan sosial dan kesehatan. Bale (2011)
berpendapat bahwa hasil sering dipresentasikan dalam bentuk yang umum dan
berlaku untuk semua hal, dan bahkan kontradiktif. Begitu pula konklusi dan
rekomendasi yang dibuat. Kepustakaan yang persuasif dan komprehensif dalam
jumlah besar mencoba menunjukkan dampak negatif dari materi seksual yang
eksplisit atas fisiologi remaja serta berfungsinya kognitif-emosional dan sosial
mereka. Namun Atwood (2002) melihat bahwa hasil riset ini lebih mencerminkan
sikap dan nilai produsennya ketimbang relasi antara kaum muda dan media. Oleh
karena itu, Bale (2011) berupaya menempatkan risetnya pada persilangan antara
kesehatan masyarakat, sosiologi, media dan cultural studies. Risetnya bertujuan
untuk mengeksplorasi hubungan antara kultur yang telah terseksualisasikan dan
kesehatan remaja melalui metodologi kualitatif, yang secara eksplisit bertolak dari
pengalaman dan kisah/narasi mereka sendiri sebagai tema untuk analisis. Dari sini
Bale melihat bahwa daripada sekedar pasif terpapar (exposure) pada seksualisasi
kultur, remaja sebenarnya secara aktif mencermati teks seksual, termasuk
pornografi, dalam cara-cara dan alas an-alasan yang berbeda-beda.
Penggunaan istilah terpapar (eksposed atau exposure) di dalam konteks
kesehatan dan evidence-based medicine tidak mampu menangkap kompleksitas
cara dan alasan remaja dan dengan begitu mudah disalah-interpresikan. Remaja
mencari materi seksual bisa untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu mereka, atau
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
13
untuk membantu melakukan masturbasi, atau untuk menghilangkan kejenuhan. Ada
remaja yang mengakses materi seksual untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dan kepercayaan diri dalam hubungan dengan praktek dan pengalaman
seksual mereka. Namun ada pula yang ingin memperoleh dukungan sehubungan
dengan munculnya seksualitas mereka yang mereka rasakan tidak bisa dieksplorasi
dalam “kehidupan nyata.” Dalam hal ini Bale mengatakan bahwa reaks-reaksi
emosional yang negatif seperti cemas, takut, jijik, terhadap paparan materi seksual
muncul karena “reductive fallacy of exposure” (p. 308), yakni orang sudah kadung
berkeyakinan bahwa paparan akan berakibat buruk.
Temuan lain dari riset Bale adalah bagaimana remaja telah belajar dan
mengembangkan opini dan kapabilitas mereka dengan menggunakan pengalaman
dengan media dan dengan praktek seksual, bahwa kalaupun pengalaman ini
menyimpang dari apa yang mereka deskripsikan sebagai ideal mereka. Misalnya,
salah seorang partisipan putri mengungkapkan tentang pengalaman seksual
pertamanya yang dia sebenarnya nilai bukan sesuatu yang dia inginkan terjadi.
Sementara dia menyesali perbuatan ini, dia melihatnya sebagai bagian dari jalan
menuju perkembangan (rite of passage) yang harus dilalui yang memberikan
kontribusi bagi dirinya sebagai mahluk seksual (sense of sexual self); ia merasa lebih
jernih dan percaya diri dalam melihat relasi-relasi yang akan dibina di masa depan.
“Peer pressure” merupakan konsep kunci karena melalui pengalaman ini
tumbuh-kembang remaja dan apa yang mereka konsumsi harus dimengerti.
Terkadang keprihatinan mengenai ini dipresentasikan lebih besar dan lebih
berbahaya daripada pengaruh komersial atau pengaruh media (Bragg, Buckingham,
Russel, & Willet, 2011). Misalnya, seorang partisipan dalam riset Bragg dkk.,
membeli celana dalam yang sebenarnya dia rasakan tidak nyaman untuk dipakai.
Dia menjelaskan bahwa dia tetap membelinya karena banyak teman yang
memakainya, maka celana itu dianggap mode yang ngetren dan sekaligus tanda dari
meningkatnya usia ke jenjang lebih dewasa. Remaja pria sebenarnya juga
menghadapi isu yang serupa seperti remaja putri, namun pilihan-pilihan bagi pria
biasanya lebih terbatas, sehingga terkesan bahwa hanya remaja putrid yang “rewel”
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
14
dan jlemet soal pilihan pakaian atau aesori lainnya. Namun riset juga menemukan
pola konsumsi oleh remaja pria dipandang oleh orangtua sebagai kurang “liar”
dibandingkan dengan remaja aputri. Jadi ada dimensi gender dalam isu-isu
semacam ini.
Bertolak belakang dengan kesan promiskuitas yang diungkap dari media,
partisipan dalam riset Bale menunjukkan derajat yang tinggi menyangkut kecemasan
dan “kepolosan” (naivety) mereka tentang seks. Perasaan-perasaan semacam ini
tidak memperoleh porsi dalam pendidikan seksualitas, tidak pernah menjadi bagian
dalam diskusi dan representasi media, dan dengan demikian tidak mebantu remaja
mengembangkan rasa percaya-diri untuk sanggup mengambil keputusan ketika
mereka diperhadapkan dengan aktivitas seksual mereka pertama. Misalnya, seorang
partisipan mengungkapkan bahwa dia tidak memiliki ketrampilan untuk mengatakan
tidak kepada pacarnya pada hubungan seks pertama kali. Dia mendeskripsikan
dirinya sebagai terangsang dan membiarkan rangsangan itu ke tahap lebih lanjut,
tetapi pada saat yang sama dia tidak mengharapkan itu terjadi di situ dan saat itu. Ia
mengalami kesulitan untuk menegosiasilan perasaan dan kehendaknya, dan dia
merasa kalau sekiranya dia sebelumnya dibekali dengan cara-cara menghadapi
situasi seperti ini, dia akan merasa lebih siap.
Dalam mengisahkan seksualisasi kultur mereka, remaja, khususnya putrid,
juga mengungkapkan pengalaman mereka yang mengilutrasikan kekuatan normanorma etis-sosial, dan pertimbangan ini yang perlu bagi mereka untuk mencegah
kemungkinan konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya kehilangan nama
baik dan dicap sebagai ‘perempuan nakal’. Satu partisipan mengungkapkan
keinginannya yang besar untuk menjadi model seksi, tetapi dia takut akan
konsekuensi mengenai bagaimana orang memandang dirinya. Sedangkan partisipan
lain mengartikulasikan rasa frustasi atas kekangan-kekangan sosial atas kebebasan
untuk berekspreasi secara seksual..
Menurut Bale, yang menarik dari risetnya adalah bahwa tak seorang pun dari
21 partisipan ini (rentang usia : 16 – 19) mengangkat isu mengenai perasaan
tertekan untuk mejadi seksi, yang sesungguhnya menjadi fokus utama dalam
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
15
kebanyakan diskusi mengenai seksualisasi. Sebaliknya, kebanyakan dari partisipan
merasa ambivalen. Di satu pihak mereka mengatakan bahwa ingin lebih percaya-diri
mengenai tubuh dan penampilan mereka; pada sisi lain mereka tetap mendefinisikan
diri mereka sebagai berbeda dari wanita yang percaya diri dengan tubuh dan
seksualitasnya.
Bale beranggapan bahwa perilaku remaja ini nampaknya
menunjukkan regulasi-diri yang kuat dalam membuat pilihan antara romans dan
sekedar seks bebas dan dalam mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi negati
apabila memilih yang terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa moralitas dan
diskursus resiko masih dominan diperhadapkan dengan pendekatan yang sekedar
mengutamakan kenikmatan (pleasure) dan hak terhadap seksualitas dan kesehatan
seksual.
Berbicara mengenai kesehatan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari peran
dan tanggungjawab pemerintah dalam memperhatikan kebutuhan penting anak dan
remaja, baik secara individual dan kolektif. Kebijakan dan riset mengenai kesehatan
publik dirumuskan dalam kerangka-kerja seksualitas dan kesehatan seksual yang
normatif dengan pesan-pesan moral yang kental (moralizing). Dalam kerangka ini
definisi
kesehatan
seksual
difokuskan
pada
fungsi-fungsi
reproduktuf
dan
patologinya. Apakah kerangka-kerja dan definisi semacam ini konsisten atau cocok
dengan rumusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), barangkali masih bisa
didiskusikan dan diperdebatkan. Rumusan WHO sendiri mengenai kesehatan
seksual member tempat pada hak individu untuk bertindak dan berpartisipasi dalam
masyarakat.
Sexual health is a state of physical, emotional, mental and social well-being in
relation to sexuality; it is not merely the absence of disease, dysfunction or
infirmity. Sexual health requires a positive and respectful approach to sexuality
and sexual relationships, as well as the possibility of having pleasure and safe
sexual experiences, free of coercion, discrimination and violence. For sexual
health to be attained and maintained, the sexual rights of all persons must be
respected, protected and fulfilled (WHO, 2002, 5)
Temuan dari riset oleh Clare Bale mengajak kita untuk memposisikan seksualitas
remaja pada sexual health economy yang multidimensional, bukan sekedar
diskursus moralistik dan berbasis resiko. Artinya, pendekatan riset sebaiknya
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
16
menempatkan remaja sebagai subyek yang bertindak, berfungsi, mengambil
keputusan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Sudah banyak kecemasan dan
ketakutan menyangkut konsekuensi dan dampak msyarakat dan kultur yang telah
terseksualisasi atas remaja, khsususnya perempuan, dan berbagai kemungkinan hal
ini berkaitan erat dengan ketidaksetaraan gender, eksploitasi dan kekerasan seksual.
Pada kenyataannya kita menyaksikan bahwa banyak aspek dalam kehidupanan
telah terseksualisasi dan gaya hidup seksual telah menjadi komoditas. Pencitraan
dan diskursus mengenai tubuh yang seksi dan segalam yang membangkitkan nafsu
seksual lewat tubuh wanita ditawarkan kembali dalam bentuk pornografi, operasi
plastic, produk-produk kecantikan dan gaya-hidup muda dan urban, musik dan
berbagai asesoris untuk menopang citra ini. Inilah yang menjadi keprihatinan dari
Bale dan pengamat lain bahwa seksualisasis kultur ini kemudian digunakan untuk
menjual kesehatan seksual melalui presentasi seksual yang termuat dalam setiap
produk sebagai sarana untuk mencapai pemenuhan dan pemberdayaan seksual.
Bale mengutip ahli lain, Gill (2009), yang mengidentifikasikan bahwa portofolio estetik
perempuan yang dipresentasikan oleh media ini menjadi terbatas/sempit dan
mengenyampingkan siapa saja yang tidak memenuhi ukuran estetika yang telah
terseksualisasikan. Pada akhirnya, pemodelan dan pencitraan tubuh wanita secara
narsistik dalam praktek-praktek kultur masa kini bergerak menekan, membatasi dan
bahkan memojokkan dan merendahkan perempuan sendiri dalam banyak hal.
Fenomena semacam ini bukan hanya pengalaman eksklusif kaum hawa, tetapi juga
semua jenis kelamin.
Kendati
keprihatian
mengenai
kultur
seksual
remaja
sudah
lantang
diekspresikan, namun studi mengenai isu-isu ini sebenarnya masih amat terbatas di
Indonesia. Banyak area-area penting yang masih belum diselami oleh riset. Kesulitan
yang kelihatan jelas adalah tebalnya tabu dalam kultur kita untuk berbicara tentang
seks, di samping rasa cemas dan takut yang ada di balik tabu tersebut. Apa saja
area yang sebenarnya kita bisa kaji lebih dalam baik dalam disiplin psikologi maupun
lintas disiplin? Di bawah ini dikemukakan beberapa area penelitian berdasarkan apa
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
17
yang kemukakan oleh Attwood dan Smith (2011), dalam introduksi yang mereka tulis
untuk edisi khusus jurnal Sex Education.

Prevalensi mengenai asumsi-asumsi yang dipegang oleh masyarakat
majemuk mengenai perilaku seksual remaja, karakterisasi mengenai
kelompok usia muda ini (khususnya, perempuan) sebagai rusak dan bejat,
serta apa yang dewasa ini yang menjadi pembicaraan umum mengenai
seksualitas.

Kekawatiran, bahkan ketakutan, pada peneliti berhadapan dengan isu-isu
seputar seks yang dikarakterisasikan secara negatif; publikasi riset tentang
seks dipandang oleh publik sebagai publikasi yang tidak layak atau tidak
patut.

Pengetahuan actual anak dan remaja mengenai perilaku dan kultur seksual,
orientasi seksual, mengenai tubuh, hasrat, nafsu, dan cinta, serta relasi antar
jenis dan sesame jenis.

Ambivalensi dalam sikap remaja sendiri terhadap seks, pemahaman tentang
remaja sebagai penyumbang dan partisipan dalam kultur seksual,
pengalaman dalam seks yang dinilai baik dan yang beresiko, merugikan dan
menimbulkan penyesalan.

Norma, etika, representasi, dan praktek seksual yang berubah seiring dengan
perubahan ide dan perilaku seksual berdasarkan usia.

Pengembangan dan perumusan riset, kebijakan dan pedoman untuk bekerja
dengan anak-anak dan remaja, untuk kepentingan pendidikan dan
konseling/terapi.
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
18
KESIMPULAN
Satu sisi kebanyakan orang mengakui bahwa kultur dan media dewasa ini
sudah sarat dengan seks dan segala sesuatu yang berkonotasi seks. Namun, pada
sisi yang lain, tidaklah mudah mendefinisikan apa yang sesungguhnya makna
‘seksualisasi’ sendiri (atau bahkan ‘seksi’). Dalam semangat yang sama, makna dari
model peran yang baik dan seksualitas yang sehat masih menjadi bahan perdebatan
yang hangat. Hanya apabila konsep-konsep semacam ini mempunyai cukup
kejelasan bagi masyarakat umum, khususnya bagi anak dan remaja, maka edukasi
dalam konsumerisme dan media literacy bisa menjadi strategi yang secara potensial
bermanfaat. Seksualitas dan pengeathuan seksual merupakan aspek yang penting
aspek dalam mengartikan apa itu menjadi dewasa, tetapi juga apa itu menjadi
anak/remaja. Batas antara keduanya bukan berhimpitan, tetapi terdapat ruang yang
longgar dan justru transisi dari fase yang satu ke fase berikutnya menjadi krusial.
Nampaknya transisi dari anak/remaja ke status dewasa menjadi semakin ambigu dan
sekaligus lebih “ribet” dewasa ini dibandingkan dekade-dekade yang sudah lewat.
Anak-anak jaman ini sudah
relatif menguasai teknologi media yang mereka
pergunakan sehari-hari dalam dunia interaksi sosial, sementara itu orangtua mereka
masih belum paham bagaimana menggunakan internet atau HP. Sumber-sumber
informasi yang bisa diakses oleh anak-anak ini jauh lebih cepat dan luas daripada
apa yang bisa dituturkan dan dinasehatkan oleh orangtua. Sebagai konsekuensinya,
seksualitas dan perilaku seksual mereka bisa sangat kontras dengan apa yang
dianut oleh generasi orangtua. Oleh karena itu, riset mengenai dampak atau efek
teknologi media tidak bisa berangkat dari sekedar asumsi bahwa apa yang marak
dilihat dan didengar akan tentang seks akan berakibat negatif pada diri mereka.
Asumsi seperti ini seringkali tidak terlepas dari kecemasan dan
ketakutan orangtua/pendidik sendiri yang diproyeksikan pada anak-anak mereka.
Oleh karena itu, riset dan diskursus mengenai hal ini perlu berfokus pada isu-isu
yang lebih luas sebagaimana telah dibahas dalam tulisan ini. Seksualisasi media dan
seksualisasi masa muda barangkali tidak akan pernah sirna, begitu pula kebutuhan
Seksualisasi media dan perilaku seksual remaja
19
untuk terus menerus terlibat dalam respons dan dialog tentang isu-isu ini pada pihak
orangtua, pendidik, dan pembuat kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Association (2007). Report of the APA on the sexualization
of girls. http//www.apa.org/pi/wpo/sexualization.html.
Atwood, F. (2002). Reading porn: The paradigm shift in pornography research.
Sexualities, 1, 91-105.
Attwood, F., & Smith, C. (2011). Investigating young people’s sexual cultures: an
introduction. Sex Education, 3, 235-242.
Bale, C. (2011). Raunch or romance? Framing and interpreting the relationship
between sexualized culture and young people’s sexual health. Sex
Education, 3,303-313.
Berstein, E. (2007). Temporary yours: Sexual commerce in post-industrial culture.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Bragg, S., & Buckingham, D. (2002). Young people and sexual content on television:
A review of the research. London: Broadcasting Standards Commission.
Bragg, S., Buckingham, D., Russel, R., & Willett, R. (2011). Too much, too soon?
Children, ‘sexualization’ and consumer culture. Sex Education, 3, 279-292.
Harris, R.J., & Scott, C.L. (2002). Effects of sex in the media. Di dalam J. Bryant &
D. Zillmann (Eds.), Media effects : Advances in theory and research (pp. 307331) . Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Lemish, D. (2011). ‘Can’t talk about sex’:Producers of children’s television around the
world speak out. Sex Education, 3, 267-277.
Noonan, R.J. (2007). The psychology of sex: A mirror from the internet. Di dalam J.
Gackenbach (Ed.), psychology and the internet (2nd ed.) Academic Press.
World Health Organization (2002). Defining sexual health: Report of a technical
consultation on sexual health, 28-31 January 2002. Geneva: WHO.
http://www.who.int/reproductivehealth/publication.
Download