BAB V KESIMPULAN • Kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa merupakan satu masa yang tidak dapat dihilangkan dari sejarah bangsa Indonesia, bahkan sejumlah bangsa di beberapa belahan dunia. Nusantara adalah salah satu wilayah yang tidak luput dari kolonialisme bangsa Eropa, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Hindia Belanda oleh bangsa kolonial. Pembentukan tanah koloni di wilayah Hindia Belanda membutuhkan banyak sumber daya manusia, baik sebagai tenaga kerja profesional maupun sebagai tentara kolonial. Sumber daya manusia tersebut di didatangkan dari Eropa, maka sejak itu banyak bangsa Eropa yang bermigrasi ke wilayah Hindia Belanda. • Kedatangan pegawai-pegawai Eropa ke Hindia Belanda sejak awal abad ke-17 tidak dapat terlepas dari masalah-masalah sosial. Pegawai-pegawai Eropa yang bermigrasi ke Hindia Belanda kebanyakan merupakan lakilaki lajang yang mencoba peruntungan nasib di tanah koloni. Mereka datang ke Hindia Belanda tanpa disertai keluarga, selain Karen perjalanan ke Hindia Belanda yang sangat jauh hingga membutuhkan waktu berbulan-bulan, kehidupan di Hindia Belanda masih sangat berat. Kehidupan di Hindia Belanda masih jauh dari modern, fasilitas yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Eropa yang mewah. Pegawai-pegawai Eropa tersebut hanya bertujuan mengumpulkan harta 140 141 sebanyak-banyaknya, setelah itu mereka akan pulang ke negeri asal tanpa berniat untuk menetap di negeri koloni. • Kesendirian pegawai-pegawai Eropa yang tanpa ditemani keluarga maupun isteri di Hindia Belanda memunculkan masalah baru di dalam masyarakat, yaitu praktik pergundikan. Laki-laki Eropa akan mengambil seorang perempuan pribumi untuk menemani dan melayaninya dalam hal kebutuhan rumah tangga. Perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh laki-laki Eropa biasa disebut dengan ‘nyai’. Pengambilan nyai dilakukan karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa didatangkan ke Hindia Belanda. Seorang nyai akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga hingga pemuas kebutuhan seksual tuan Eropanya. • Seorang nyai dapat disuruh pergi kapan pun sang laki-laki Eropa menginginkannya, hal ini dikarenakan di dalam praktik pergundikan tidak terdapat ikatan pernikahan yang sah. Pengusiran ini dapat dilakukan meskipun hubungan pergundikan telah menghasilkan seorang anak. Hubungan yang demikian memposisikan nyai dalam ketidakpastian, hingga terkadang seorang nyai akan berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya membuat tuan Eropanya selalu menginginkannya. • Fenomena kehadiran seorang nyai di tengah-tengah masyarakat Eropa ini bukan berarti tidak menjadi kekhawatiran tersendiri. Tumbuh kuatnya praktik pergundikan di Hindia Belanda bukan dikarenakan dukungan oleh pemerintah maupun masyarakat. Justru karena beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan pada waktu itu yang mempengaruhi 142 pesatnya pertumbuhan pergundikan hungga berabad-abad lamanya. Peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda mengenai pergundikan sering berubah-ubah dan tidak konsisten. Ada masanya praktik pergundikan benar-benar ditentang dengan keras, namun dengan alasan menguntungkan pihak kolonial, pergundikan tidak dilarang bahkan dianjurkan. Kebijakan tersebut antara lain kebijakan oleh Jan Pieterszoon Coen, salah satu gubernur jenderal VOC. Coen sangat menentang adanya praktik pergundikan di Hindia Belanda karena dianggap sebagai tindakan yang tidak pantas. Coen berambisi untuk membangun koloni kulit putih di tanah jajahan, tanpa adanya percampuran dengan pribumi. Terdapat beberapa peraturan kolonial mengenai perkawinan campuran, yaitu Staatsblad 1898 No. 158 Besluit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23, S 1898/158. • Praktik pergundikan banyak terjadi dalam beberapa tempat yang memang pada saat itu menjadi pusat-pusat pemerintahan atau perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Setiap tempat mempunyai karakteristik yang berbeda, baik itu dalam pengambilan seorang nyai atau perlakuan terhadap nyai. Perlakuan terhadap nyai ini akan berpengaruh terhadap peranan nyai itu sendiri. Tempat-tempat tersebut antara lain dalam dunia masyarakat sipil, di perkebunan-perkebunan swasta, serta di dalam tangsi-tangsi militer yang menjadi basis keamanan dan pertahan pemerintah kolonial Belanda. 143 • Kebiasaan di antara orang-orang Eropa untuk tidak memanggil nyai yang hidup bersama menggunakan mereka nama dengan kelompok. nama Hak depannya, tersebut namun dapat cukup menjelaskan bagaimana hubungan di antara tuan Eropa dengan sang nyai. Di tengah mayarakat sipil, para nyai sering dipanggil Mina. Di dalam tangsi-tangsi militer, mereka disebut Sarina, sedangkan di perkebunan seorang nyai dipanggil dengan sebutan Kartina. Kebanyakan anak yang lahir dari hubungan pergundikan baru mengetahui nama asli ibu mereka ketika sudah dewasa dan membaca akta pengakuan mereka. Sebelumnya mereka hanya mendengar sebutan kelompok yang digunakan oleh ayah mereka. • Orang Eropa dikenal sebagai kelas sosial tertinggi yang sennatiasa menjaga eksklusivitas dengan membatasi hubungan dengan kelas sosial yang lebih rendah dalam tatanan masyarakat koloni. Pembatasan hubungan dengan kelas sosial yang lebih rendah ternyata tidak dapat dipertahankan oleh orang Eropa. Interaksi sosial antarkelas dalam kehidupan sehari-hari sangat mustahil dihindari. Interaksi sosial yang terpaksa terjadi atau terjadi secara alami dalam jangka waktu yang sangat lama akhirnya membentuk kebiasan-kebiasaan atau budaya baru. Kebiasaan yang lahir dari dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Eropa dengan budaya pribumi. Secara perlahan-perlahan budaya baru tersebut akhirnya diterima oleh masyarakat Eropa sendiri maupun pribumi. • Proses percampuran antara budaya pribumi dengan budaya Belanda yang dilahirkan wujud atau budaya baru tersebut kemudian dinamakan 144 kebudayaan Indis. Kelestarian kebudayaan Indis pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat pendukungnya yang mewujudkan gaya hidup, meliputi seni bangunan, cara berpakaian, bahasa, dan kebiasaan makan. Keberadaan budaya Indis adalah saling membutuhkan, tergantung, dan menghidupi antar-keduanya. • Kebudayaan Indis muncul secara alami, laki-laki Eropa mengawini perempuan-perempuan pribumi dan orang Eropa mengadopsi kebiasaan orang pribumi, juga sebaliknya. Hubungan yang tidak dapat dihindari ini akhirnya menuntut adanya perubahan dalam gaya hidup seperti bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat, perabot rumah tangga, pekerjaan, kesenian, religi, dan penghargaan atas waktu. • Kehidupan bersama antara laki-laki Eropa dan perempuan pribumi telah memunculkan pengaruh tersendiri bagi perkembangan kehidupan keduanya, terutama bagi para laki-laki yang kemudian lebih banyak terkena pengaruh budaya si perempuan pribumi. Fenomena perkawinan campuran yang telah melahirkan pembauran kebudayaan antara kebudayaan pribumi dan Belanda, di samping membawa ide dan pranata Barat ke Jawa, ketika itu orang-orang Belanda beradaptasi pula dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat pribumi. Sementara itu, kehidupan elite pribumi pun ikut dipengaruhi budaya Indis. Akses hubungan dengan orang-orang Belanda menjadi faktor masuknya pengaruh budaya Indis dalam kehidupan para elite pribumi tersebut. 145 • Para nyai biasanya dibiasakan oleh Tuan Eropanya untuk menjalani kehidupan keseharian dalam suasana Eropa. Misalnya, mereka diajari berbahasa asing, membaca buku-buku asing, hingga beretika hidup barat. Proses pembaratan memang terjadi dalam kehidupan para nyai ini, nyainyai inilah perempuan-perempuan maju di zamannya. Seorang nyai akan mendampingi tuan mereka dalam pergaulan, tidak seperti perempuanperempuan pribumi yang bersembunyi di balik dinding kamar atau dapur untuk mencuri dengar pembicaraan kaum lelaki dengan tamu-tamu. Nyai merupakan perempuan-perempuan pertama yang terpenetrasi oleh kebudayaan baru yang dibawa tuan Eropanya. Peranan nyai sebagai mediator budaya Jawa dan Eropa dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain rijsttafel (kebiasaan makan), busana, bahasa, dan gaya hidup. DAFTAR PUSTAKA Arsip : Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 158 Tahun 1898 Buku : Ankersmith. 1984. Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arief Budiman. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosilogi Tentang Peranan Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Bedjo Riyanto. 2000. Iklan dan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915). Yogyakarta: Tarawang Press. Blusse, Leonard. 2004. Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Boomgard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV. _________. 1989. Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java 1795-1880. Amsterdam: Free University Press. Breman, Jan. 1997. Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Abad ke 20. Jakarta: Grafiti Press. Brousson, Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20: Gedenschriften van Een Oud Kolonial. Jakarta: Massup. Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Djilid 1. Jakarta: Negara Pradnjaparamita. Capt. R. P. Suyono. 2005. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial: Penelusuran Kepustakaan Sejarah. Jakarta: Grasindo. Creutzberg dan van Laanen. 1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. Djoko Soekiman. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu. 146 147 Fadly Rahman. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gautama. 1973. Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran (Staatsblad 1898 No 158). Bandung: Penerbit Alumni. Gouda, Frances. 1995. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Hayu Adi Darmarastri. 2006. Nyai Batavia. Yogyakarta: Grafindo Litera Media. Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Helius Sjamsuddin dan Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud. Hull, Terence H., Endang S. dan Gavin W. Jones. 1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Ingleson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu. Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Kessel, Ineke Van. 2011. Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945. Jakarta: Komunitas Bambu. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2009. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mukhlis PaEni. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-Norma dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan. _______. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan. Parakitri T. Simbolon. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Petrik Matanasi. 2007. KNIL: Koninklijk Nederlandsche Indische Leger Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: MedPress. _______. 2011. Sejarah Militer: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Narasi. 148 Pramoedya Ananta Toer. 2005. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara. Rahmat Ali. 2000. Nyai Dasima: Tragedi Wanita Asal Desa Kuripan. Jakarta: Grasindo. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Rush, James R. Jawa Tempo Doeloe: 650 Tahun Bertemu Dunia Barat 13301985. Jakarta: Komunitas Bambu. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. _______. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Scholten, Elsbeth Locher and Anke Niehof. 1987. Indonesian Women in Focus: Past and Present Notions. U.S.A: Foris Publications. Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali. Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyono. R. P. 2004. Seks Kekerasan Pada Zaman Kolonial: Penelusuran Kepustakaan Sejarah. Jakarta: Grasindo. Gautama, S. 1973. Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran (Staatsblad 1898 No 158). Bandung: Penerbit Alumni. Paulus, B. P. 1979. Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda. Bandung: Penerbit Alumni. Taylor, Jean Gelman. 1983. The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia. England: The University of Wisconsin Press. Thanh dan Dam Truong. 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Volkstelling 1930. 1934 Deel II Inheemsche Bevolking Van West-Java en Batavia: Census of 1930 In Netherlands India Volume I. Batavia: Departement Van Economische Zaken. _______. 1934. Deel II Inheensche Bevolking van Midden-Java En De Vorstenlanden: Census of 1930 In Netherlands India Volume II Native 149 Population In Midden-Java And Natives States Of Java. Batavia: Departement Van Economische Zaken. _______. 1934. Dell III Inheemsche Bevolking Van Oost-Java: Census of 1930 In Netherlands India Volume III Native Population In Eas-Java. Batavia: Departement Van Economische Zaken. Vreede, Cora dan De Stuers. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Wieringa, Saskia E. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galangpress. Wertheim, W. F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Artikel dan Jurnal: Hayu Adi Darmarastri. “Keberadaan Nyai di Batavia 1870-1928”. Lembaran Sejarah Vol. 4 No. 2. 2002. Linda Christanty. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”. Prisma No. 10 Tahun XXIII Oktober 1994, hlm. 21-35. Onghokham. “Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”. Prisma No. 7 Tahun XX, Juli 1991, hlm. 15-23. Siti Utami Dewi Ningrum. “Sarina dan Tentara Kolonial: Kekerasan terhadap Nyai Tangsi pada Masa Kolonial Hindia Belanda di Jawa”. Histma Vol.3/Desember 2013, hlm. 45-59. Wieranta. “ Nyai Dasima dan Cerminan Posisi Wanita”. Basis Juni 1990 XXXIX 6, hlm. 258-263. Tesis dan Skripsi: Angger Tondo Asmoro. “Kesetiaan dan Resistensi: Pernyaian di Batavia, 18801900”. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM 2012. Dwi Ratna Nurhajarini. “Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa di Kota Yogyakarta pada Awal Abad XX Sampai Akhir Masa Kolonial”. Program Pasca Sarjana UGM 2003. Lukitaningsih. “Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 19001940”. Program Pasca Sarjana UGM 2003. Mutiah Amini. “Kehidupan Perempuan Di Tengah Perubahan Kota Surabaya Pada Awal Abad ke-20”. Tesis Pascasarjana UGM 2003. 150 Siti Utami Dewi Ningrum. “Perempuan-Perempuan Dalam Kehidupan Sosial Tentara Kolonial di Jawa, 1830-1942”. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM 2013. Internet: Digital Image Library. Tersedia pada media-kitlv.nl/all-media, diakses pada tanggal 21 Mei 2014, pukul 19.14 WIB. Encyclopedia. Politik Etis. Tersedia www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2406/Politik-Etis, pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 14.35 WIB. pada diakses