Briefing Paper Pelanggaran HAM di Sektor HTI 2014 Menjadi Wayang, Bukan Dalang: Kegagalan Pemerintahan SBY Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Lima ratus ribu hingga satu juta hektar hutan lenyap setiap tahunnya dengan menyisakan kerusakan lingkungan serta konflik yang menimpa masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Salah satu pendorong deforestasi terbesar adalah tanaman kayu untuk industri kertas dan bubur kayu (Hutan Tanaman Industri/HTI). Meski permintaan internasional untuk menurunkan emisi telah ditanggapi dengan baik oleh Pemerintah Indonesia melalui diterbitkannya Instruksi Presiden untuk moratorium izin di hutan alam primer dan lahan gambut, seperti dikemukakan Greenpeace (2012), deforestasi terus belanjut sebesar 6 juta hektar pada masa moratorium diterbitkan melalui dikeluarkannya berbagai izin di kawasan hutan. Lebih parah lagi, dikeluarkannya izin-izin tersebut tidak melihat fakta di lapangan bahwa terjadi kontestasi atas kepemilikan lahan. Melalui klaim kawasan hutan negara, wilayah kelola masyarakat seringkali tidak diakui dan hal ini berimplikasi serius bagi perlindungan hak asasi mereka sebagai warga negara. Pada saat yang sama, Indonesia telah berkomitmen untuk memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect), dan menghormati (to respect) HAM asasi manusia dengan menerjemahkan deklarasi HAM internasional ke dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. Indonesia juga sudah mengikatkan diri pada Kovenan Internasional Hak SIpil dan Politik serta Kovenan Intersional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan meratifikasikan keduanya UU No. 12 Tahun 2005 dan UU No. 11 Tahun 2005. Pelanggaran yang dilakukan Negara dalam kaitannya dengan Korporasi di Sektor SDA Dalam konteks yang dipaparkan di atas, sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) kategori hak asasi manusia yang patut diduga telah dilanggar oleh institusi negara dalam bersama-sama dengan korporasi di sektor HTI , baik hak yang terdapat dalam instrumen HAM internasional, hukum nasional nasional maupun standar-standar sukarela yang berlaku. Pertama, pelanggaran hak untuk memberikan persetujuan bebas tanpa paksaan. Banyak ijin-ijin HTI dikeluarkan oleh pemerintah tanpa melalui proses partisipasi yang layak dari masyarakat yang terkena dampak. Alih-alih mendapatkan persetujuan bebas tanpa paksaan, pejabat publik maupun perusahaan hanya melakukan sosialisasi atau konsultasi yang tidak berpengaruh terhadap hasil akhir. Kedua, pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Deforestasi atau degradasi hutan yang dilakukan oleh perusahaan HTI telah merusak ruang hidup masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada hasil hutan, baik kayu maupun non-kayu. Tengok kabut asap yang terjadi di Riau, penanaman akasia di ekosistem gambut dalam yang melepas berton-ton emisi karbon ke udara. Penghabisan hutan alam juga menghilangkan keanekaragaman hayati dan menghilangkan habitat bagi satwa liar. Akibat konsesi HTI di Riau, harimau, gajah, dan manusia saling berkonflik untuk memperebutkan ruang hidup. Briefing Paper Pelanggaran HAM di Sektor HTI 2014 Ketiga, pelanggaran hak atas kepemilikan. Mendasari tindakannya pada alas hak tertulis yang tidak selalu dimiliki warga, perusahaan berupaya mencaplok begitu saja wilayah-wilayah kelola masyarakat yang seharusnya dilindungi dan diakui pemerintah sebagai hak (milik) warga berdasarkan sejarah pemanfaatannya selain juga dikarenakan kewajiban negara untuk menyediakan hak dasar bagi warga negaranya. Keempat, pelanggaran hak atas peningkatan taraf hidup yang layak. Dirampasnya sumber-sumber kehidupan warga seperti kepemilikan atas tanah dan akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam pada gilirannya merupakan pelanggaran terhadap hak atas peningkatan taraf hidup yang layak. Perusahaan berkontribusi terhadap pelanggaran ini karena mengucilkan warga dari mata pencaharian yang utama, dan pada gilirannya menyebabkan ketergantungan ekonomi bagi warga yang memutuskan untuk tetap tinggal di wilayah asalnya, hal mana dimanfaatkan perusahaan untuk berlaku tidak adil dalam hal pembagian keuntungan dengan masyarakat. Kelima, pelanggaran hak atas rasa aman. Kasus-kasus sumber daya alam yang berujung pada kriminalisasi masyarakat sudah menjadi rahasia umum. Dalam gradasi yang paling parah, konflik SDA berujung pada penghilangan nyawa. Perusahaan dengan dukungan aparat pemerintah merupakan aktor yang harus dimintai pertanggungjawaban atas hal ini dikarenakan tindakan kekerasan yang dilakukan telah menciptakan teror dan trauma yang menghantui masyarakat sehingga tidak lagi dapat menikmati haknya sebagai manusia ideal. Keenam, pelanggaran Hak atas perlindungan hukum dan mendapat perlakuan yang adil. Dalam menghadapi, tak jarang perusahaan-perusahaan dibantu aparat penegak hukum melakukan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan protes dengan dalih anarkis. Warga ditangkapi, ditahan, bahkan banyak yang dipenjarakan. Harapan masyarakat bagi negara untuk memenuhi rasa keadilannya justru kandas saat diperhadapkan dengan hukum. Negara Mesti Berkuasa atas Pasar Melalui pemaparan di atas, teramati bahwa posisi negara terhadap korporasi yang menindas sangat lemah. Aparat negara ‘direlakan’ untuk melindungi korporasi, sementara warga negaranya terus dimiskinkan. Komitmen negara terhadap pertumbuhan ekonomi juga ditunjukkan melalui berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat luas, semisal MP3EI. Menghormati hak asasi manusia bukanlah komitmen optional. Hal ini merupakan kewajiban berbagai pihak, termasuk korporasi. Sementara itu, negara memiliki kewajiban yang lebih besar, yakni mencakup melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, serta memulihkan hak-hak yang telah dilanggar. Oleh karena itu, pemerintah yang baru hendaknya mematahkan pola pelanggaran HAM dengan negara kembali mengambil alih perannya sebagai dalang dalam mekanisme pasar di Indonesia. Due diligence yang berbasis HAM sebagaimana direkomendasikan dalam Ruggie Principle1 perlu dilakukan oleh korporasi dengan diwajibkan oleh negara. Sembari memperkuat sistem birokrasi untuk tidak membuka 1 Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia Briefing Paper Pelanggaran HAM di Sektor HTI 2014 ruang dilakukannya korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk bisnis di sektor SDA yang sangat rentan berujung pada pelanggaran hak-hak asasi manusia. Selain daripada itu, ada berberapa keuntungan bagi pemerintah jika mengakui dan menghormati hak atas tanah dan berbagai hak asasi manusia lain yang dilindungi dalam ketentuan hukum nasional maupun internasional – nilai lebih dalam daya saing dan akses terhadap produk bubur kayu dan kertas (pulp and paper) Indonesia di pasar international. Saat ini, ada kesadaran dan perhatian yang meluas akan konflik tanah dan HAM dari perusahaan-perusahaan pembeli di seluruh dunia. Mulai dari Disney hingga Fuji Xerox dan Nestle, perusahaan-perusahaan raksasa pembeli kertas kini menghindari produkproduk yang dihasilkan dengan tidak mengindahkan hak-hak asasi manusia. Pemerintahan baru yang mensyarakatkan industri bubur kayu dan kertas untuk menghindari dilakukannya perampasan lahan dan pelanggaran HAM dan mengarahkan industri untuk meninggalkan rekam jejak yang baik dapat menciptakan atmosfir yang lebih kondusif bagi produksi Indonesia untuk diterima di pasar internasional. Penyusun: 1. HuMa 2. Wahana Bumi Hijau (WBH) 3. Scale Up 4. Rainforest Action Network (RAN) 5. Forest Peoples Program (FPP) 6. Independent Mediator Network (IMN) IMN (Independent Mediator Network)