I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo adalah salah satu jenis hibrida lele yang diintroduksi ke Indonesia dari Taiwan. Pertama masuk ke Indonesia ikan lele ini bernama ilmiah Clarias fuscus dengan nama populer king catfish yang berarti raja ikan lele. Ikan ini mempunyai kelebihan yaitu pertumbuhannya cepat dan mencapai ukuran yang besar dalam waktu pemeliharaan yang relatif singkat, oleh karena cepat tumbuh dan cepat besar sehingga diberi nama lele dumbo (Suyanto, 1992). Budidaya ikan lele saat ini berkembang menjadi budidaya intensif karena semakin tingginya permintaan ikan lele dipasaran. Kondisi ini tentunya akan memperbesar peluang berjangkitnya wabah penyakit pada ikan. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri menjadi salah satu kendala budidaya ikan lele karena dapat menyebabkan kematian serta telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Bakteri yang paling sering menginfeksi ikan lele adalah Aeromonas sp. (Simanjuntak, 1989). Jenis bakteri yang diisolasi dari daerah yang pertama kali terserang wabah bercak merah di Bogor pada tahun 1980 adalah Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. (Angka et al., 1982). Aeromonas sp. merupakan bakteri patogen dan sering menjadi penyebab penyakit pada ikan-ikan air tawar (Angka et al., 2004a). Bakteri ini juga patogen terhadap amphibi, reptil, burung, mamalia dan manusia (Popoff 1984 dalam Angka et al., 2004a). Penyakit yang sering ditemukan menginfeksi ikan-ikan air tawar, termasuk lele dumbo adalah penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) dikenal juga sebagai penyakit bercak merah (red spot disease) disebabkan bakteri Aeromonas hydrophila (Angka et al., 2004b). Ikan-ikan dari golongan Siluridea, Ictaluridae, Clariidae, Cyprinidae, dan Centrachidae juga rentan terhadap penyakit ini (Plumb, 1999). Penyakit dengan gejala klinis peradangan dan borok ulcerative dermatitis dilaporkan menginfeksi ikan mas di Yugoslavia, Polandia dan Jerman, goldfish di Amerika Serikat dan Salmon di Kanada (Angka et al., 1981). Penyakit bercak merah dengan gejala haemorrhagic septicaemia sering timbul sebagai wabah di Asia Tenggara sampai sekarang. Di Indonesia, wabah bercak merah bermula terjadi bulan September 1980 bersamaan dengan datangnya 1 ikan mas yang baru diimpor dari Taiwan. Pada bulan Oktober 1980 wabah yang disebabkan Aeromonas hydrophila telah meluas di Kodya dan Kabupaten Bogor menyebabkan 430,4 ton ikan-ikan air tawar terserang penyakit bercak merah dengan angka kematian ikan 82,288 ton dan sampai bulan Desember 1980 seluruh propinsi Jawa Barat telah menjadi daerah wabah dengan jumlah ikan yang mati 95,382 ton dan yang terinfeksi 519,382 ton (Angka et al., 1981). Selanjutnya di Malaysia dan Thailand, wabah bercak merah terjadi pada tahun 1981, disusul Burma dan Philipina tahun 1985, lalu Sri Langka tahun 1987 serta Bangladesh, India dan Nepal tahun 1988 (Roberts et al., 1992 dalam Angka et al., 2004b). Pengendalian perluasan penyakit harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah berjangkitnya wabah penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi. Pengelolaan kesehatan ikan, terutama upaya untuk mencegah penyakit merupakan langkah bijaksana dalam penanggulangan terjadinya penyakit karena lebih mudah dan murah, dibandingkan kegiatan pengobatan ketika ikan sudah mengalami sakit. Upaya pengendalian penyakit MAS pada budidaya ikan, sampai saat ini masih menggunakan antibiotik. Namun, menurut Alifuddin (2000) pemakaian antibiotik untuk jangka panjang, tidak terkontrol dan tidak tepat dosis dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak ini bukan saja dikhawatirkan dengan munculnya strainstrain bakteri resisten terhadap antibiotik yang dapat membahayakan manusia (zoonotik), tetapi juga dapat mencemari lingkungan perairan, bahkan berdampak pada kesehatan dengan adanya residu kimia dari antibiotik pada produk perikanan yang dikonsumsi. Antibiotik adalah obat impor yang mahal, sehingga pada skala kolam penggunaan antibiotik menyebabkan biaya yang tinggi sehingga kurang efisien (Mariyono dan Sundana, 2002; Angka et al., 2004b). Untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan antibiotik, sehingga perlu dicari alternatif pengobatan yang efektif, murah, aman terhadap manusia dan ramah lingkungan. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit ikan pada sistem budidaya sedang diarahkan pada penggunaan imunostimulan dari bahan alami yang terbukti efektif dan aman untuk manusia dan lingkungan. Fitofarmaka atau obat herbal adalah obat alamiah yang bahan bakunya disarikan dari tanaman untuk digunakan dalam pengobatan (Anonimous, 2004). Terdapat lebih kurang 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan sekitar 54 % di 2 antaranya terdapat di hutan-hutan tropika. Namun hanya sekitar 0.3 % dari jumlah tumbuhan tersebut yang telah diselidiki manfaatnya oleh peneliti. Sebagai negara yang beriklim tropis, hutan tropika Indonesia ditumbuhi lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi yang sangat potensial dikembangkan sebagai obat herbal (Inayah dan Ernayenti, 2007). Fitofarmaka memiliki kelebihan karena murah, mudah didapat, aman dan efektif sehingga telah lama dimanfaatkan sebagai obat pada manusia, tetapi belum banyak digunakan dalam pengelolaan kesehatan ikan. Paci-paci (Leucas lavandulaefolia) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang banyak tumbuh liar di sawah, kebun, di tanah kering sepanjang tepi jalan, tanah terlantar dan kadang ditanam di pekarangan sebagai tanaman obat. Penelitian tentang tumbuhan ini belum banyak dilakukan, namun secara empiris paci-paci untuk pengobatan tradisional telah terbukti mampu mengobati berbagai macam penyakit pada manusia (Anonimous, 2005a). Sedangkan petani ikan biasa menggunakan paci-paci untuk mengobati penyakit borok pada ikan gurame dan lele dumbo dengan cara merendam seluruh tanaman paci-paci segar pada kolamkolam pemeliharaan ikan yang terserang penyakit. Dari hasil penelitian yang terbatas kandungan kimia dari ekstrak paci-paci diketahui mengandung senyawa aktif yang bersifat antimikroba, antiinflamasi, antioksida, bersifat sebagai detoksifikasi racun dan mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit. Senyawa aktif dalam daun dan akar paci-paci terdiri atas minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin (Anonimous, 2005a), alkaloid (Anonimous, 2006a) dan metanol (Mukherjee et al., 1997a) adalah senyawa toksik yang memiliki aktivitas antibakteri sehingga diharapkan mampu menjadi alternatif bahan alami sebagai pencegahan dan pengobatan infeksi penyakit MAS dalam pengelolaan kesehatan untuk kegiatan budidaya ikan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah pengujian secara in vivo untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun paci-paci (Leucas lavandulaefolia) sebagai imunostimulan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila ditinjau dari patologi makro dan parameter hematologi ikan lele dumbo (Clarias sp.). 3