tasawuf dan seni musik

advertisement
Tasawuf dan Seni Musik
TASAWUF DAN SENI MUSIK
(Studi Pemikiran Abū Hāmid Al-Gazāli tentang Musik
Spiritual)
Abdul Aziz
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Abstrak
Mendengarkan musik berarti membuka diri terhadap suatu
pengaruh, kepada suatu vibrasi dari asal usul super human
“yang menghasilkan suara” untuk membangkitkan gaung suara
dalam diri, dari satu wilayah primordial dan untuk
membangkitkan sebuah kerinduan dalam diri untuk bersatu
dengan esensinya sendiri. Musik memiliki banyak manfaat bagi
kehidupan spiritualitas. Al Ghazali berpendapat bahwa musik
dapat menghilangkan tabir hati, serta mampu menggelorakan
rasa cinta yang mendalam kepada Ilahi, sehingga mampu
mengantarkan seorang sufi kederajat kesempurnaan dan
menjadikannya sampai ketingkat yang tertinggi (musyahadah).
Artikel ini ingin mendeskripsikan pandangan Al-Ghazali tentang
musik kaitannya dengan kehidupan spiritualitas manusia.
Kata Kunci: Al-samā‘, Musik, Tasawuf, Mukāsyafat
A. Pendahuluan
Ajaran tasawuf yang paling urgen adalah proses penyucian
jiwa atau batin. Dan salah satu cara bentuk penyucian jiwa yang
digunakan oleh para sufi adalah dengan musik spiritual atau
dalam istilah tasawuf dikenal dengan as-samā‘, yaitu
mendengarkan musik yang indah sebagai alat purifikasi.1 Musik
adalah salah satu media penyucian jiwa sekaligus bisa menjadi
media pengenalan unsur rohani dari diri seseorang. Hal ini
terjadi karena cara yang digunakan oleh musik tidak hanya
menyentuh, tetapi sekaligus dapat meresap dan merasuk jiwa
dan hati pendengarnya.
1
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi
Oleh Ahmad Al-Gazāli, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), 2.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
57
Abdul Azis
Menurut Ihwān as-Şāfa,2 saat mendengarkan musik yang
indah, maka jiwa manusia akan terangkat tinggi menjulang ke
alam rūhani.3 Hal ini terjadi karena seni musik merupakan
kesenian yang keindahannya dapat dinikmati melalui indera
pendengaran dan telah ada sejak zaman sebelum datangnya
Islam.
Di Jazirah Arab, ada banyak ragam cara untuk menikmati
seni musik yang indah sesuai dengan kondisi hati para
penikmatnya. Bahkan tak sedikit orang banyak menikmati
musik sebagai media untuk bersenang-senang dengan cara
berpesta pora. Di tempat-tempat pertunjukan musik, mereka
menari-nari dalam keadaan mabuk menikmati lagu-lagu yang
dilantunkan oleh para pemusik yang kesemuanya adalah wanita
hamba sahaya (budak). Tidak ada pemusik laki-laki atau orang
merdeka, karena bagi mereka menjadi pemusik dianggap
sebagai aib bagi orang merdeka dan kaum laki-laki terhormat.4
Dalam sejarah peradaban manusia, tidak dikenalnya ada sebuah
komunitas yang tidak mengenal dunia musik. Dalam sejarahnya,
musik telah berkembang sejalan dengan perkembangan zaman
dan peradaban manusia itu sendiri. Musik adalah perilaku sosial
yang kompleks dan universal. Musik dimiliki oleh setiap
masyarakat, dan setiap anggota masyarakat adalah “musikal”.5
Dalam perkembangan, musik secara umum berkembang
sangat pesat dan sangat manggiurkan para generasi muda. Saat
ini telah banyak sekali bermunculan berbagai genre musik yang
berbeda-beda, di mulai dari genre rock, heavy metal, reggae,
jazz, pop, hip metal, hip hop, R&B, dangdut dan lain-lain. Tidak
hanya genre yang berbeda, syair-syair yang dinyanyikan pun
berbeda-beda. Ada yang syairnya bertema percintaan, pemujaan
terhadap obat-obatan terlarang, kebebasan seksual, serta
pengkultusan dan lain sebagainya. Bahkan dalam genre tertentu
2
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 161.
3
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), 234.
4
Yusuf Al-Qardhawy, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H. Ahmad
Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar Mustafa, (Bandung: Mujahid Press,
2003), 9-10.
5
Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003), 7-8.
58 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
ada yang secara terang-terangan memproklamirkan anti Tuhan
atas nama kebebasan.6
Perkembangan dunia musik yang semakin maju telah
menjadikan dunia musik menjadi sebuah industri untuk
pemenuhan kebutuhan ekonomi yang menggiurkan bahkan kini
telah menjadi pujaan berbagai kalangan. Seperti yang terjadi di
Barat yang telah memiliki pasar di dunia internasional. Musik
kembali menjadi sesuatu yang identik dengan perbuaatanperbuatan yang dilakukan oleh masyarakat jahīliyah. Saat ini
jika kita menyaksikan berbagai media, nampak tidak sulit
menemukan sajian musik yang digunakan untuk menari erotis,
melupakan norma-norma masyarakat dan hanya menuruti hawa
nafsu. Gejala sindrom tersebut terjadi karena musik modern
yang dimainkan bertentangan dengan pakem musik yang pernah
mereka pelajari.7
Keberadaan agama sebagai salah satu tanda perkembangan
peradaban manusia, ternyata memiliki hubungan yang nyata
dengan musik. Dalam agama Kristen misalnya, musik dikenal
sebagai salah satu bagian penting untuk melaksanakan ritualritual keagamaan. John Chrysostom, seorang pemuka agama
Kristen yang hidup pada abad 4 M mengatakan: “Tiada sesuatu,
selain aransemen musik dan nyanyian agama, yang dapat
meninggikan derajat akal, memberinya sayap untuk
meninggalkan bumi dan melepaskannya dari belenggu jasmani
serta menghiasinya dengan rasa cinta kepada kearifan”.8
Hal yang sama juga terjadi dalam sejarah agama Hindu di
India yang meyakini bahwa awal kehidupan adalah rūh, dengan
itu maka ilmu pengetahuan, kesenian (termasuk musik), filsafat
dan kebatinan diarahkan untuk satu tujuan yang sama, yaitu
kehidupan spiritual. Bahkan dalam sejarahnya, keberadaan
musik kuno India, merupakan salah satu budaya yang
diwariskan secara turun temurun oleh pemeluk agama Hindu.9
6
Alwi Shihab, Islam…, 234.
Djohan, Psikologi…, 107.
8
Alwi Shihab, Islam…, 234.
9
Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono,
Fungki Kusnaendi Timur, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 67.
7
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
59
Abdul Azis
Hal yang sama juga terjadi di dunia Islam. Perkembangan
musik dalam budaya Islam sendiri juga beragam. Ada musik
yang disebut musik sufi, ada musik yang biasa ditampilkan
untuk hadirin di sebuah pengajian atau majelis ta‘līm, ada juga
musik “Islami” yang menembus dunia industri, seperti
kelompok nasyid Snada, Raihan dan lain-lain.10 Dari gambaran
di atas, ternyata dalam sejarahnya dapat disimpulkan bahwa
musik dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbagai macam
tujuan. Dari tujuan sebagai media untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan, mejadikan sebagai hiburan, bermotif ekonomi,
bahkan ada juga yang menggunakan musik sebagai menu untuk
pemenuhan hawa nafsu belaka. Adanya berbagai motif di atas
yang kemudian menjadi permasalahan dalam masyarakat
muslim masa kini. Salah satu permasalahan yang muncul adalah
terkait dengan bagaimana hukum musik itu sendiri dalam
Islam?”.11
Dalam menjawab permasalahan di atas ternyata cukup
beraneka ragam. Sebagian kalangan ada yang membuka
telinganya lebar-lebar terhadap setiap lagu dan warna musik,
dengan alasan bahwa mendengar musik itu sesuatu yang indah
dan baik bagi hamba Allah dan Allah membolehkannya.
Sebagian yang lain dengan nada mengharamkan. Menurut
mereka musik atau lagu adalah berasal dari setan. Karena itu, ia
akan menghalangi manusia untuk berżikir kepada Allah dan
mengerjakan shalat. Apalagi yang didengar itu adalah suara
perempuan, karena suara perempuan dengan tidak menyanyi
saja adalah aurat. Ada juga kelompok muslim yang ragu untuk
menentukan hukum musik. Mereka hanya mengikuti salah satu
pendapat sesuai kebutuhan mereka, sehingga mereka selalu
berubah-ubah pandangan terhadap hukum musik dan lagu.12
Adanya pendapat yang mengharamkan musik dengan cara
mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh
musik sebagai alasan keharamannya. Mereka menyebut
kebiasaan-kebiasaan jelek yang biasa diringi musik, dan musik
10
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 12.
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Seni, terj. Zuhairi Misrawi, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2000), 39.
12
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Seni, 40-41.
11
60 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
lebih memiliki keburukan daripada kebaikannya, karena itu
musik dilarang. Mereka juga beralasan bahwa sya’ir musik
dapat mengurangi gairah jiwa untuk melakukan tugas-tugas
keagamaan, bahkan bisa mendorong manusia untuk mencari
kepuasan-kepuasan di luar Islam, misalnya mabuk-mabukan.13
Salah seorang ulama bernama Ibn al-Jauzi ( 510 H/1116 M
- 597 H/1200M ), yang merupakan seorang ahli fiqih Hanbali
mengatakan bahwa musik itu memiliki dua akibat yang sangat
jelek; Pertama, menjadikan hati jauh dari pancaran cahaya Allah
dan rahmat-Nya; Kedua, mendorong manusia untuk terperdaya
oleh kebahagiaan semu dan duniawi. Hal ini beralasan karena
orang yang sangat asyik menikmati musik dapat mengakibatkan
perbuatan seperti orang mabuk, menggeleng-gelengkan kepala,
bertepuk tangan, menginjak-injakkan kaki ke tanah, dan
gerakan-gerakan yang biasa dilakukan orang mabuk lainnya.
Maka Ibn al-Jauzi menyamakan hukum musik dengan minuman
keras, yaitu haram.14
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah,15adalah salah satu ulama’ yang
menentang keras penggunaan musik dan tidak hanya
mengharamkan musik yang biasa digunakan oleh orang zindiq,
tetapi ia juga mengharamkan musik yang digunakan oleh para
sufi (as-samā‘). Dalam kitabnya Igāśatu Lahfān min Maqāyidi
Syaiţan, ia menentang as-samā‘ dengan alasan agar para sufi
tidak memasukkan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah
dan Rasul-Nya ke dalam agama Islam.16 Lebih tegas lagi Ibn alQayyim menyatakan :
”Dan dari sebagian tipu daya musuh-musuh Allah yang
memperdaya orang yang sedikit ilmunya, akal dan agamanya, dan juga
mengalahkan hati orang-orang yang bodoh, adalah nyanyian dengan
siulan dan tepukan tangan, juga nyanyian dengan alat-alat yang
diharamkan yang menghalangi hati dari al-Qur’an dan menjadikannya
bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan, nyanyian itu adalah
qur’annya setan dan penghalang kuat antara manusia dengan Allah
Yang Maha Pengasih”. Nyanyian adalah jimat bagi orang yang
melakukan liwaţ (homo seksual) dan zīna, dan dengan nyanyian itu
13
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 3.
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 4.
15
“Ibn al-Kaiyim al-Djawziya”dalam : HAR. Gib dan JH. Kramers
(ed.), Shorter Encyclopedia Of Islam, (Leiden: EJ. Brill, 1974), 149.
16
Yusuf al-Qardhawy, Nasyid Versus..., 51.
14
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
61
Abdul Azis
setan membisikkan pada jiwa mereka penyerupaan yang batil seakan
kelihatan bagus sehingga manusia itu menerima bisikannya dan
menjadikan al-Qur’an jauh.17
Pendapat Ibn al-Qayyim di atas ternyata mendapat
bantahan, terutama mereka para penggemar musik sufi. Mereka
menyatakan bahwa para auliyā’ dan şālihīn telah mendatangi
tempat-tempat dimana musik dinyanyikan. Adanya berbagai
sanggahan terhadap pendapat Ibn al-Qayyim di atas kemudian di
jawab olehnya dengan mengatakan dalam kitabnya:
“Apabila beralasan bahwa tempat nyanyian ini dihadiri pula oleh
para şālihīn yang tidak diragukan lagi ketinggian derajatnya, seperti
al-Junaid dan sahabat-sahabatnya asy-Syibli, Yūsuf Ibn Husain arRāzi dan yang sebelumnya seperti Żu an-Nūn al-Mişri dan yang
lainnya, bagaimana mungkin kamu menyalahkan dan mengingkari
mereka?.” 18
Pendapat mengenai keharaman musik juga pernah
diutarakan oleh Ibn Taimiyah, al-Qurtūbi dan ulama’ fiqih
lainnya, dan dikuatkan lagi dengan argumentasi bahwa sahabat
Uśman ibn ‘Affān, Abdullah ibn Ummār, Anas ibn Mālik, dan
juga beberapa tābi’īn, yaitu Sa’īd ibn al-Musayyāb, al-Qāsim
ibn Muhammad dan Qatādah, tidak berkenan mendengarkan
musik.19
Adanya berbagai hukuman terkait keharaman musik di atas
ternyata tidak menghilangkan beberapa kalangan yang
menghalakan musik. Bahkan para ulama’ yang menghalalkan
musik semakin banyak, di antaranya adalah para filosof Islam
dan para tokoh spiritual Islam. Al-Kindi20 (filosof Islam abad 9),
merupakan seorang pemikir yang pertama kali memiliki
perhatian khusus mengenai musik. Ia menggunakan musik tidak
hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagi obat untuk penyakit
jiwa dan raga. Al-Farābi21 (filosof Islam abad ke 10), pernah
membuat buku tentang teori musiknya yang berjudul Kitāb al17
Yusuf al-Qardhawy, Nasyid Versus..., 52.
Yusuf al-Qardhawy, Nasyid Versus..., 56-57.
19
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 5.
20
Cyril Glasse, “Al-Kindi” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam…,
18
217.
21
Cyril Glasse, ”Al-Farabi” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam…,
86.
62 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
Musīqa al-Kabīr. Ibn Sina22 (filosof Islam abad ke 11), dalam
dua buah bukunya, yaitu asy-Syifā’ dan an-Najdāt, menulis satu
bab khusus yang membicarakan tentang musik. Kemudian Ibn
Bajjah23(filosof Islam abad ke 12), seorang filosof Islam dari
Andalusia, pernah mengarang sebuah buku tentang musik yang
juga diberi judul Kitab al-Musīqa, yang menurut sejarah buku
ini sangat terkenal di Barat sebagaimana Kitab al-Musīqa
karangan al-Farabi yang terkenal di Timur. Sedangkan para
ulama’ sufi yang membahas musik dan menggunakannya antara
lain: Abū Naşr as-Sarāj, Abd al-Kārim Ibn Hawāzīn, alQusyairi, al-Hujwīri, Abū Hāmid al-Gazāli, Ahmād al-Gazāli,
Jalāl ad-Dīn Rūmi dan masih banyak lagi.24
Banyaknya para ulama yang melegalkan musik seperti di
atas merupakan bukti, bahwa tidak ada kaum yang
meninggalkan musik di dunia. Ini membuktikan bahwa musik
merupakan kesenian yang memiliki pengaruh yang luar biasa
dalam perkembangan kehidupan spiritual manusia. Untuk itu
maka para sufi menggunakan musik, sebagai salah satu
kreatifitas seni masyarakat yang setiap kaum di dunia ini
mengenalnya, untuk menyucikan jiwa. Bahkan al-Gazāli dengan
ekstrim menyebut orang yang tidak normal, kurang akal dan
jauh dari rohani kepada orang yang hatinya tidak tergerak oleh
keindahan musik yang dikembangkan oleh para sufi.25
Bagi para sufi kesenian musik adalah kesenian paling suci;
dengan bantuan musik mereka dapat melakukan meditasi,
dengan memainkan musik tertentu yang memberikan efek
tertentu bagi perkembangan individu. Bahkan salah seorang sufi
besar bernama Jalāl ad-Dīn Rūmi,26 biasa menggunakan musik
22
Cyril Glasse, “Ibn Sina”dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam…,
23
Cyril Glasse, “Ibn Bajjah” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam…,
24
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam…,
153.
146.
7-10.
25
Al-Gazāli, Mutiara Ihya’ ‘Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan,
(Bandung: Mizan, 2002), 172.
26
“Djalal ad-Din Rumi” dalam HAR. Gib dan JH. Kramers (ed.),
Shorter Encyclopedia…, 83.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
63
Abdul Azis
untuk meditasinya. Dengan bantuan musik dia menenangkan
diri dan mengendalikan aktifitas tubuh dan pikiran.27
Para sufi dalam sejarahnya sangat mencintai musik, mereka
menganggap musik adalah makanan rūh. Para sufi
menggunakan musik bukan untuk kesenangan, tapi pemurnian,
do’a kepada Tuhan. Bahkan sebuah tarekat terbesar di India,
yaitu Tarekat Sufi Chistiyah, menggunakan musik sebagai cara
utama untuk pemurnian (penyucian jiwa) mereka. Imam AlGazāli adalah seorang pemikir Islam yang memiliki kekhasan
dalam pemikirannya karena ia berhasil menyajikan dua hal
pemikirannya, yaitu dunia mistik dan teologis dalam konteksnya
dengan mempertahankan konsep sufi,28 bahkan ia
membicarakan musik (as-samā‘) secara rinci dan menyeluruh
dalam salah satu bab dari sebuah buku karya besarnya; Ihyā’
‘Ulūm ad-Dīn.
Imam Al-Gazāli, adalah seorang ulaman yang sukar
ditemukan bandingannya, Seorang peneliti Protestant bernama
Zwemmer, menganggap al-Gazāli adalah salah seorang
penyempurna agama Islam setelah Rasulullah saw karena
kehebatan al-Gazāli dalam menguraikan ajaran agama, selain
Imam Bukhari sebagai pengumpul hadiś nabi.29 Bahkan ia
dengan nada cukup berani mengatakan bahwa jika masih ada
nabi setelah Rasulullah saw. Al-Gazāli-lah orangnya.30
Jika kita membaca berbagai karya yang ditulis oleh AlGazāli ternyata cukup beragam. Karya-karyanya membentang
luas dari persoalan fisik hingga metafisik; kajian-kajian
eksoteris (syari’ah) hingga kajian-kajian esoteris (tasawuf).
Bahkan ia membahas secara menyeluruh pesoalan-persoalan
fiqih, ushul fiqih, logika, pengobatan, psikologi, pendidikan,
sosial ekonomi, politik, etika, filsafat, metafisika, teologi,
eskatologi, dan tasawuf. Karena itu wajar jika banyak atribut
telah disandangnya, dari mulai atribut sebagai teolog, filosof dan
27
Inayat Khan, Dimensi Mistik..., 65.
Idries Shah, Mahkota Sufi, terj. M. Hidayatullah dan Roudlon S.Ag.,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 197.
29
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta, Pustaka Panji Mas, 1994), 120.
30
“Pengantar Penerbit” dalam Al-Gazāli, Samudera Pemikiran AlGazāli, terj. Kamran As’ad Irsyadi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), xi.
28
64 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
lain-lain, namun pada dasarnya ia lebih dikenal sebagai seorang
sufi agung. Sebagai seorang sufi sejati, ia menolak pendapatpendapat yang mengharamkan musik sebagai alat penyucian
jiwa. Dalam Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ia menjelaskan pemikiranya
tentang as-samā‘ secara luas dalam satu bab khusus yaitu kitāb
adāb as-samā‘ wa al-wajd.
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah;
Bagaimana pemikiran Abu Hamid Al-Gazali tentang musik
spiritual yang tertuang dalam karya-karyanya?
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka ada
seperangkat metode yang penulis gunakan. Adapun metode
yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah: a). Metode
Telaah Pustaka,31 b). Metode Deskriptif,32 Tahap berikutnya
adalah mengolah data dengan menggunakan metode analisis,
yang dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah
dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti
dan menggabūngkan beberapa pengertian, diharapkan akan
didapatkan pengetahuan baru untuk pemahaman dan kejelasan
arti yang dipahami.33 Metode-metode pada tahapan ini adalah:
a). Reinterpretasi Historis dan Interpretasi Sosiologis; b).
Metode ini berarti menafsirkan ulang sejarah dan menafsirkan
sosiologi dari mana sebuah teori atau konsepsi berasal, tepatnya,
membuat interpretasi atas interpretasi.34 Metode ini akan
digunakan terutama pada bab II; c). Content Analysis (Analisis
Isi).
B. Konsep As-Sama’ Menurut Al-Gazali
Mengenai musik spiritual yang dibahas dalam penelitian ini
adalah musik spiritual yang berkembang dalam dunia spiritual
Islam, yaitu musik yang digunakan oleh para sufi, yang lebih
dikenal dengan istilah as-sama’. As-sama’ secara bahasa berasal
dari bahasa Arab; sama’, sam’, sami’a, yang berarti mendengar
31
Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1992),
63.
32
Consevela G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin
Tawu, ( Jakarta: UI-Press, 1993), 24.
33
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 1997), 39-62.
34
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, 89.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
65
Abdul Azis
(to hear).35 Dalam kamus al-Munjid kata as-sama’ diartikan
sebagai mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat
diartikan al-gina’ (nyanyian/musik). Kata as-sama’, dalam
bahasa Arab Klasik bisa berarti nyanyian/musik atau alat
musik.36 Kemudian istilah ini dikenal sebagai sebutan untuk
penggunaan musik oleh para sufi sebagai sarana pencarian
Tuhan, atau sebagai alat bantu kontemplatif.37
Para sarjana Barat kebanyakan mengartikan as-sama‘
dengan listening to music and singing, spiritual music, dan
spiritual concert. Ini karena para sarjana barat itu melihat
bentuk lahiriah dari praktek as-sama’, yang berupa kegiatan
mendengarkan sya’ir, nyanyian yang diiringi instrumen musik
secara berkelompok (konser musik).38
Secara substansial praktek as-sama’ merupakan salah satu
dari pengalaman mistis para sufi, yang menurut William James,
pengalaman mistis itu memiliki empat karakteristik yaitu:
1. Tidak dapat dilukiskan.
2. Kebenarannya tidak dapat diragukan lagi oleh para
penempuhnya.
3. Merupakan kondisi spiritualitas yang cepat sirna namun
berkesan sangat kuat.
4. Merupakan kondisi pasif yang datang dari anugerah
Tuhan, oleh karena itu as-sama’ dalam kalangan sufi
memiliki arti yang beragam dan penjelasannya melalui
bahasa tidak pernah sampai pada deskripsi realitas
sebenarnya.39
Żu an-Nun al-Mişri berpendapat bahwa mendengarkan
musik adalah sentuhan dari Allah yang membangkitkan hati
menuju Allah, kecuali mereka yang mendengarkan dengan nafsu
maka ia termasuk orang sesat (zindiq). Kemudian al-Qusyairi
35
J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic,
(Beirut: Libririe Du Liban, dan London: Mac Donald & Evans LTD, 1980),
430.
36
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 12-13.
37
Cyril Glasse, “as-sama‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam
Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
352.
38
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 17.
39
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 15-16.
66 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
juga memberikan penjelasan dalam risalahnya tentang as-sama’
dengan mengatakan bahwa as-sama’ adalah menemukan
berbagai rahasia yang tersembunyi (al-guyub) melalui
pendengaran hati, dengan pemahaman hati nurani terhadap
hakekat Tuhan yang dituju (al-murad).
Dalam beberapa sumber tentang tasawuf, as-sama’ dapat
diartikan secara eksoterik, sebagai kegiatan mendengarkan
musik atau nyanyian atau sya’ir (lagu-lagu) untuk mencapai
derajat ekstase (wajd).40 Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’,
setelah mengutip beberapa pendapat tentang hal-ihwal wajd,
mengatakan, wajd adalah salah suatu keadaan yang dihasilkan
oleh sama’, ia berupa warid41 (intuisi) dari Allah SWT yang
datang kepada jiwa pendengarnya. Keadaan itu ada yang
mengarah kepada mukasyafat dan musyahadat, dan ada yang
mengarah pada perubahan pada ahwal, seperti rasa rindu, takut,
dan lain-lain. Keadaan itu juga dapat membakar hati dan
membersihkannya dari karat-karat nafsu yang sebagaimana api
yang membakar dan menghilangkan karat-karat besi.
Perubahan-perubahan yang terjadi ketika wajd juga nampak
pada keadaan lahir. Ada yang sampai menangis, berteriak,
bahkan ada yang naik terbang beberapa meter dari permukaan
bumi.
Elemen sentral yang menjadikan praktek spiritual ini
disebut musik sufi adalah: di dalamnya terdapat ritual yang
menggunakan suara manusia yang membacakan sya’ir-sya’ir
40
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 16.
41
Banyak tarekat-tarekat yang menjadikan sama’ sebagai media
zikirnya, seperti Tarekat al-Mawlawiyah, Alawiyah, Sanusiyah, dan lain-lain.
Yang disebut pertama adalah tarekat yang berdiri di Anatolia (Asia Kecil)
Turki pada Abad ketiga belas. Sampai sekarang merupakan tarekat yang
berpengaruh di sana. Asal-muasal tarekat ini menggunakan sama’ sebagi
sarana zikir mempunyai kisah yang unik. Pendiri tareakat ini, Jalaluddin
Rumi (604 H/1207 M-672H/1273 M), pada suatu hari dia mengunjungi
sahabatnya Husamuddin, seorang pandai besi dan emas. Di depan kedai
sahabatnya itu, Rumi tiba-tiba terpesona mendengar pukulan palu berulangulang pada landasan besi. Dia seakan mendengar seruan, “Allah!, Allah!,
Allah!” berulang-ulang. Dengan spontan dia menari berputar-putar sehingga
menjadi wajd. Sejak itulah ia mengajarkan tari berputar seperti gasing kepada
para pengikutnya disertai iringan musik dan pembacaan sajak.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
67
Abdul Azis
yang ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muhammad dan para wali.42
Kekuatan utama yang menghidupkan musik dalam praktek assama’ adalah manifestasi kata-kata Tuhan secara esensial. Kata
itu mengingatkan manusia terhadap suatu kondisi sebelum
penciptaan, masih bersatu dengan jiwa universal, terpancar dari
cahaya original.43
Penekanan pada As-sama adalah pengalaman menyimak
(sya’ir) daripada menikmati pertunjukkan musiknya, karena
bagi sufi musik hanyalah sebagai media saja dan bukan
dijadikan sebagai yang utama. Sedangkan bagi mereka yang
lebih berfokus pada manifestasi lahir musik dari pada bentuk
batinnya adalah orang-orang yang tertipu. Efek dari sama’ jika
dilakukan dengan benar, adalah ekstasi (majdzub).44 Karena
pengaruh sama’ kadang-kadang seorang sufi mampu bertahan
berhari-hari tidak makan. Penyebabnya, ruh dan hati mereka
sudah makan berbagai pengalaman mistik yang tidak kelihatan
(al-waridat al-ghaibiyah). Kondisi yang serupa ini tidak di
ingkari oleh mereka yang memiliki pengalaman keagamaan.45
Kondisi demikian mungkin akan terasa aneh menurut
pendapat kaum awam bahwa para sufi, dalam melakukan sama’
lebih cenderung menggunakan sya’ir, zikir, nyanyian, dan
sebagainya dari pada al-Qur’an. Secara psikologis, fenomena ini
sebenarnya dapat disejajarkan dengan kondisi rindu berat akan
lebih cenderung memuji-muji yang dicintai melalui lagu-lagu,
syair yang mengisyaratkan sifat, bentuk kesempurnaan yang
terdapat pada yang dicintai dibandingkan dengan ketertarikan
mereka terhadap membaca pesan-pesan yang disampaikan oleh
sang Kekasih. Dengan mendengarkan atau mendendangkan
melodi cinta, kecintaan yang terpendam dalam lubuk hati
semakin menguat, dan selanjutnya dia akan masuk dalam
42
Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar,
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 254.
43
Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam
Seyyed Hossein Nasr, (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam,
Manifestasi, terj. M. Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S. Nasrullah, Dodi
Salman, Kamarudin SF., (Bandung: Mizan, 2003), 608-609
44
Carl W Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2003), 232-236.
45
Muhayya, Bersufi Melalui Musik, 93.
68 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
kondisi ekstasi. Ekstasi ini semakin kuat, manakala melodimelodi cinta tersebut diiringi dengan tabuhan intrumen music
yang indah. Demikian kondisi orang sufi yang sedang
mendendangkan dan mendengarkan melodi cintanya.
Seorang ahli fikih pernah mengkritik Rumi karena tarian
mistiknya yang dianggap menyimpang dari aturan syariat
(bid’ah). Dengan cerdik, Rumi yang juga ahli fikih balik
bertanya kepada pengkritiknya tadi:
“Seumpama aku tidak menemukan sesuatu yang halal untuk
dimakan, sementara tubuh jasmaniku sudah sangat kritis
dan akan mati kecuali dengan makan yang haram, bolehkah
aku makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang
ahli
fiqh
tersebut
menjawab,
“Boleh,
dengan
mengemukakan kaedah Ushul al-fiqh, al-darurah tubi’ih almahzurah”. Rumi kemudian menimpali bahwa tubuh
ruhaninya sangat dahaga dan akan mati jika tanpa tarian.
Kalau tubuh jasmani saja diperbolehkan untuk memakan
sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh ruhani?
Itupun seandainya tarian itu diharamkan. Demikian menurut
Rumi, yang baginya sama’ adalah sesuatu santapan ruhani
seperti halnya zikir”.
a. Tingkatan Spiritualitas Dalam Melakukan Musik
Spiritual
Ada berbagai gambaran dan penjelasan mengenai tingkatan
spiritualitas yang dialami oleh para sufi dalam perjalanan
menuju persatuan dengan Tuhan, namun secara ringkas
tingkatan-tingkatan tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan
utama.
1. Penyusutan (qabd), di mana dalam tingkatan ini aspek
tertentu dari jiwa manusia harus mati. Tingkatan ini
berhubungan dengan kezuhudan dan kesalehan serta
manifestasi atau teofani (tajalli) Nama-Nama Tuhan.
2. Perluasan (basţ), yaitu aspek dari jiwa manusia
mengalami perluasan sehingga melampaui batasbatasnya sendiri hingga alam semesta berada di
pelukannya. Tingkatan ini diiringi rasa gembira dan
ekstase serta merupakan manifestasi dari Nama-Nama
Tuhan.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
69
Abdul Azis
3. Persatuan dengan Yang Maha Benar (wişāl bi al-Haqq).
Pada tingkatan ini para ahli ma‘rifat telah melewati
seluruh tingkatan (maqām) lainnya dan dapat
merenungkan Wajah Kekasih.46
Ibn Ajibah,47 seorang sufi dari tarekat Syażiliyah,
merangkum ajaran-ajaran spiritual dari beberapa guru sufi
dengan menggambarkan empat tingkatan yang berurutan dari
sebuah pendekatan untuk mencapai ekstase dalam menggunakan
as-samā‘.
1. Tawajjud (mencari ekstase). Yaitu orang yang telah
bersumpah menolak dunia secara total, kemudian ia
menari, bergerak ritmis dan sebagainya secara metodis,
meniru tampilan emosi ekstase (wajd) mensimulasikan
ekstase dan mengulang gerakan-gerakannya untuk
merespon panggilan batin.48
2. Wajd (ekstase emosi), yaitu dalam diri seseorang
mendengar apa yang menimpa hati dan menguasainya
secara tiba-tiba tanpa orang harus mengupayakannya,
bisa berupa hasrat yang menggairahkan dan
menggelisahkan,
atau
satu
kecemasan
yang
49
menakutkan.
3. Wijdan (ekstase pertemuan). Tingkatan ini dicapai ketika
seseorang telah merasakan indahnya kehadiran yang
semakin lama dan sering disertai dengan mabuk dan
pingsan50
4. Wujūd puncak dari ritual ini, dan Ibn Ajibah
mengatakan: “Ketika pertemuan ini selesai sampai rasa
pingsan dan segala halangan lenyap, dan segala
pengetahuan dan meditasi tersucikan, terjadilah ekstasi
(wujūd), satu saat yang disinggung oleh al-Junaid dalam
sya’ir berikut :
46
Seyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs Sutejo,
(Bandung: Mizan, 1987), 180-183.
47
Ahmad Ibn ‘Ajibah, (1160-1224 H/1747-2809 M) “Catatan-catatan”
dalam Seyyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis…, 725.
48
Seyyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis…, 607-608.
49
Seyyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis…, 607-608.
50
Seyyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis…, 607-608.
70 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
“Ekstasiku adalah ketika aku memindah diriku dari
eksistensi melalui anugerah dari Dia yang menunjukkan
padaku kehadiran.”51
Secara keseluruhan wajd atau ecstasy dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu yang bathil dan yang benar. Diantara
keduanya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang
sangat prinsipil. Keduanya samasama menghasilkan gerakan
lahir, sama- Sama mempengaruhi bathing dan sama- sama dapat
mengubah kondisi mental seseorang. Adapun perbedaannya,
pertama, ecstasy atau wajd yang bathil muncul dari dorongan
hawa nafsu, sedangkan ecstasy yang haq muncul dari keinginan
hati. Ecstasy atau wajd yang pertama ada pada siapa saja yang
batinnya masih bergantung dengan selain Allah, sedangkan
ecstasy atau wajd jenis kedua ada pada siapa saja yang hatinya
hanya mencintai Allah. Kedua, pada jenis ecstasy atau wajd
pertama pelakunya tertutup hijab nafsi yang bersifat materi,
sedangkan ecstasy atau wajd yang kedua tertutup oleh hijab
qalbi, yang bersifat samawi.
Ecstasy atau wajd dari segi tingkatan merupakan derajat
pertama bagi orang yang mencapai kelas khusus. Proses wajd ini
bermula dari menghilangkan tabir, kemudian musyahadah
kepada Allah disertai pemahaman terhadap hal yang ghaib dan
bisikan sirr, derajat fana’an alnafs. Ada perbedaan pendapat
apakah wajd itu lebih tinggi tingkatanya dari pada wujud atau
sebaliknya ? Sebagian tokoh sufi termasuk al- Junaid,
berpendapat bahwa wajd lebih sempurna dari pada wujud karena
menemukan wajd Allah itu tidak memiliki batas akhir. Karena
itu, wajd adalah sifat dari seorang ‘arif, sedangkan wujud bagi
sifat pemula. Sebagian ulama’ sufi lain termasuk syibli
berpendapat sebaliknya, dengan alasan bahwa dalam wujud
seorang sufi menikmati karunia Allah, sedangkan dalam wajd
dia berada pada proses mencari karunia Allah. Karena itu, wujud
adalah derajat seorang arif, sedangkan wajd adalah bagi orang
awam.
Dalam pandangan al-Ghazali, perbedaan pendapat tersebut
disebabkan karena adanya perbedaan dalam mengartikan makna
wajd. Bagi kelompok pertama, kata wajd diartikan menemukan
51
Seyyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis…, 607-608.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
71
Abdul Azis
Allah, sedangkan pada kelompok yang kedua, wajd diartikan
menemukan karunia Allah. Dengan demikian, perbedaan diatas
merupakan perbedaan etimologi dan bukan pada esensinya.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa wujud merupakan hal
yang lebih khusus dari pada wajd dan wijdan karena wujud
selalu bersamaan dengan musyahadah, dan orang- orang yang
mengalami wujud akan mengalami fana’. Dalam kondisi mental
seperti ini orang- orang sufi berada antara sadar dan tidak. Ia
sadar akan kebersamaannya dengan Allah pada saat yang
bersamaan, ia tidak sadar terhadap dirinya karena dominasi
pengaruh Allah.13 Dalam terminologi tasawuf dijumpai istilah
tawajud, wajd dan wujud. Ketiga istilah tersebut menunjuk pada
tingkatan spiritualitas atau hal yang dirasakan oleh seorang sufi
tatkala melakukan al- Sama’. Diumpamakan sebagai tahap
melihat lautan, wajd memasukinya dan wujud menyelam
kedalamnya. Bahwa tawajud adalah awal dari wajd, dan wujud
merupakan akhir dari keduanya. Tawajud diartikan sebagai
upaya yang sungguh- Sungguh untuk mewujudkan wajd dengan
cara berkontemplasi atas kemurahan- kemurahan, ayat- ayat
Allah, pertemuan dan persatuan dengannya, dan haus dengan
berbagai amalan yang dilakukan oleh orang- orang suci. Dengan
demikian seorang sufi akan lebih peka dalam menerima dan
memahami serta mencerna iluminasi Tuhan. Secara simbolik
tawajud dapat digambarkan sebagai berikut : wajd yang menjadi
sasaran tawajud itu menyerupai akal potensial yang ada pada
anak kecil, akal tersebut tidak akan menjadi aktual kecuali jika
ada stimulus yang datang dari luar, dan stimulus itu adalah AlSama’ (mendengarkan musik), dzikir, al- Qur’an dan lain
sebagainya.
b. Tingkatan Pendengar Dalam Musik Spiritual
Ihwan as-Safa berpendapat bahwa yang membedakan musik
dengan seni-seni yang lain adalah bahwa substansi yang
kepadanya bekerja, yaitu jiwa-jiwa pendengarnya, sebagaimana
unsur yang dipakainya, not-not dan irama, itu berhubungan
dengan sesuatu yang sangat halus dan material. Musik memilki
predikat kemuliaan tertinggi karena di dalammya terdapat
kekuatan semangat (ta’śīr) yang dapat menerbangkan jiwa yang
telah teratur proporsinya untuk masuk kedalam wadah tempat
72 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
jiwa-jiwa itu dahulunya berasal.52 Pengaruh yang ditanamkan
oleh irama dan melodi dari seorang musikus dalam jiwa
pendengarnya itu beragam. Kesenangan yang ditarik jiwa-jiwa
dari irama-irama dan melodi, serta cara jiwa-jiwa tersebut
menariknya juga beragam dan berbeda-beda. Itu tergantung
pada tingkatan yang didalamnya terdapat jiwa bersemayam
dalam wilayah gnosis (al-ma‘ārif) dan pada sifat baik perilaku
yang menjadi objek permanen dari cintanya. Maka, ketika setiap
jiwa mendengarkan gambaran-gambaran yang sesuai dengan
objek dari kegembiraannya, kesenangannya, akan merasa
senang dan gembira dalam bayangan bahwa musik itu terbuat
dari yang dicintainya.53
Mendengarkan musik dalam perspektif sufi memiliki
derajat yang berbeda-beda. Al-Junaid54 berpendapat, terdapat
tiga tingkatan pendengar musik, yaitu : awam, zahid dan ‘arif.
Derajat pertama (awam) diharamkan mengikuti as-sama’ karena
mereka belum bersih dari dorongan hawa nafsu. Drajat kedua
(zahid) dimubahkan dalam mendengar musik (as-sama’), karena
orang zahid berhasil melakukan mujahadah. Kemudian derajat
ketiga (‘arif) sangat dianjurkan untuk melakukan as-sama’.
Namun pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat Abū Bakr
al-Kattani, di mana ia membagi tingkatan pendengar musik ke
dalam lima tingkatan, yaitu: awam, murid, ’auliya’, ‘arifīn dan
ahli haqiiqah.55
52
Musik memiliki kekuatan untuk membawa jiwa pendengar ke dalam
suatu kondisi kesadaran atau kondisi lainnya. Fabien Maman (seorang ahli
terapi musik) mengatakan: “Benih spiritual ditemukan dalam tubuh manusia,
terletak pada inti sel dalam spiral DNA dan telah dianugerahkan oleh Sang
Pencipta. Ketika penelitian saintifik dilakukan, kekuatan spiritual dan
ekspresi artistik bekerja sama. Ini adalah janji vibrator sebagai karunia dari
musik alam”. Djohan, Psikologi…, 222.
53
Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam
Seyyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis…, 602-603.
54
Abū al-Qain ibn Muhammad (w. 292 H/910 M), berkaitan dengan
keadaan para sufi yang mAbūk cinta, ia mengatakan: “keadaan mabuk adalah
permainan anak kecil, sedangkan ketenangan hati merupakan peperangan
yang mematikan bagi orang dewasa”. Cyril Glasse, “al-Junayd” dalam Cyril
Glasse, Ensiklopedi Islam…, 195.
55
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 48.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
73
Abdul Azis
Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa derajat sufi dalam
mendengar musik spiritual tergantung dengan bagaimana cara
yang digunakan oleh orang yang mendengarkan. Dari sudut
pandang ini, musik spiritual dibagi menjadi tiga jenis, yaitu;
pertama musik bagi kaum awam, di mana kaum awam ini
mendengar melalui sifat dasar, dan ini adalah kemiskinan.
Kedua adalah musik bagi kaum elit (khawash); yang mendengar
musik dengan hati, sehingga mereka berada dalam pencarian.
Ketiga adalah musik bagi kalangan elitnya elit (khawash alkhawash); yang mendengarkan musik dengan jiwa sehingga
mereka berada dalam cinta.56
Para ahli ma‘rifat memiliki bermacam-macam cara dalam
mendengarakan musik spiritual: ada yang menggunakan bantuan
tingkatan spiritual (maqam); ada yang dengan bantuan keadaan
spiritual (hal); lainnya lagi dengan penyingkapan spiuritual
(mukasyafah); dan sebagiannya lagi dengan bantuan penyaksian
spiritual (musyahadah). Mereka yang mendengarkan menurut
maqam, maka mereka berada dalam celaan. Apabila mereka
mendengar menurut hāl, mereka tengah kembali. Bagi mereka
yang mendengar menurut mukasyafah, maka ia berada dalam
persatuan (wişal). Dan jika mereka mendengar sesuai dengan
musyahadah, mereka tenggelam dalam keindahan Tuhan.57
Al Ghazali didalam kitab kimiya’ al-sa’adat pada bab yang
berjudul ‘pembahasan tentang mendengarkan musik (sama’) dan
56
Imam Junaid sebenarnya melakukan aktivitas sama’ seperti juga Imam
Sahal at-Tasturi dan Imam Sari as-Saqati, hanya saja beliau melarang kepada
seorang murid yang notabene belum memiliki kekuatan spiritual seperti
mereka. Karena itu, Abul Abbas Khidir AS. ditanya tentang kontroversi
sama’, beliau manjawab, “Ia adalah sesuatu yang dapat membersihkan
kesalahan, tapi hanya ulama yang bisa selamat di atasnya.” Ada yang
mengatakan bahwa sama’ hanyalah boleh dilakukan oleh para ‘arifin yang
sudah stabil, bukan seorang murid pemula. Jadi, bukan sembarang orang
yang bisa menjadikan sama’ sebagai sarana dan media untuk taqarrub
kepada Allah SWT. Hanyalah jiwa yang mulia dan bersih hatinya dari
kotoran serta terbebas dari belenggu hawa nafsu. Sedangkan tujuan utama
sama’ adalah taqarrub kepada Allah SWT dengan bisa mencapai wajd.
Sementara itu, bukan hanya dengan sama’ untuk mencapai wajd, masih
banyak cara yang lain, seperti membaca dan mendengarkan al-Quran, zikir,
dan lain-lain. Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan…, 174.
57
Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan…, 172.
74 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
penjelasan tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang.
Al Ghazali berkata;
“Ketahuilah bahwa Tuhan, yang Maha Agung, memiliki
rahasia dalam hati manusia yang tersembunyi sebagaimana
api dalam besi. Seperti rahasia api yang mewujud dan
tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka dengan
mendengarkan musik yang menyenangkan dan harmonis
menyebabkan esensi (hati) manusia bergerak serta
mewujudkan sesuatu dalam diri tanpa disadarinya. Alasan
untuk ini adalah adanya hubungan antara esensi hati
(nurani) manusia dengan dunia transeden (alam arwah),
yang disebut alam ruh (arwah). Dunia transeden adalah
dunia kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber
kecantikan dan keindahan adalah keselarasan(tanaasub).
Semua yang selaras mewujudkan keindahan didunia karena
seluruh kecantikan, keindahan, dan keselarasan yang dapat
diamati di dunia ini adalah pantulan kecantikan dan
keindahan dunia tersebut (alam arwah). Karena itu,
nyanyian yang menyenangkan dan harmonis mempunyai
kemiripan tertentu dengan keajaiban dunia tersebut (alam
arwah), dan kerenanya timbullah kesadaran dalam hati, dan
juga gerakan (harakat) serta gairah, dan sangat mungkin
diri manusia sendiri tidak mengetahuinya. Maka inilah
kebenaran bagi hati manusia, yang sederhana, yang bebas
dari
berbagai
cinta
dan
gairah
yang
dapat
mempengaruhinya. Namun, apabila tidak bebas dari hal-hal
itu, dan ia terisi sesuatu, maka sesuatu itu akan bergerak dan
berpengaruh sebagaimana api yang kian berkobar.
Mendengarkan musik (sama’) penting bagi seseorang yang
hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api
asmara kian berkobar; namun bagi yang hatinya dipenuhi
kecintaan kepada yang fana (hubbu dunya) , mendengarkan
musik merupakan racun yang mematikan, dan karenanya
haram baginya.58
58
Al Ghazali, Kimiya’ al Sa’adah, Dalam Majmu’ah al-Rasa’il, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), 79.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
75
Abdul Azis
Menurut Ahmad al-Gazali, as-sama’ memiliki seratus
faedah dan memiliki seratus ribu kondisi spiritual (ahwal) yang
dapat dirasakan oleh para sufi,59 karena musik sendiri memiliki
fungsi yang penting dalam perjalanan spiritualitas mereka.
Secara psikologis musik dapat mengantarkan jiwa pendengar
untuk berpulang ke alam ide universal (‘alam an-nafs), yaitu
alam di mana seluruh jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa
yang berasal dari kenikmatan bersifat rohani.60 Asy-Syāżili61
berpendapat bahwa musik memiliki beberapa fungsi, yaitu;
menyejukkan batin para sufi yang sedang mengarungi
perjalanan spiritualitas, membangkitkan roh para wali, dapat
menyejukkan roh-roh, meringankan belenggu (dalam perjalanan
spiritualitas),
menghilangkan
kesedihan
dan
dapat
62
mendatangkan kebahagiaan.
Ahmad al-Gazali dalam kitab Bawariq al-‘Ilma’ Fi al-Radd
‘Ala Man Yuharrim as-sama‘ Bi al-Ijma‘ menjabarkan beberapa
fungsi as-sama‘ yang telah dimanfaatkan oleh para sufi dalam
perjalanan spiritualnya. Fungsi as-samā‘ itu antara lain:
a. Menghilangkan sampah batin sekaligus dapat melahirkan
dampak penyaksian terhadap Allah dalam hati
b. Dapat menguatkan hati (al-qalb)dan cahaya rohani
(sirr)63
c. Melepaskan seorang sufi dari urusan-urusan yang
bersifat lahiriah dan membuat seorang sufi cenderung
untuk menerima cahaya dan rahasia-rahasia batin
d. Dapat membahagiakan hati dan roh.64
Namun selain fungsi yang bermanfaat bagi sufi itu, di sisi
lain musik dapat menyebabkan keburukan bagi pendengarnya.
59
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 95.
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 31-32.
61
Nama aslinya Abū Hasan Ali ibn Abdullah Asy-Syāżili (596-656
H/1196-1258 M), pendiri tarekat Syāżiliyah. Cyril Glasse, “asy-Syazili”
dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam …, 376.
62
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 32.
63
Sirr adalah pusat spiritual, merupakan akal (intelect) yang bertempat
di hati secara simbolik. Para mistikus mengatakan bahwa di pusat inilah
tempat terjadinya penyatuan (ittihād) dengan Tuhan. Cyril Glasse, “assirr”dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam …, 366.
64
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 95-96.
60
76 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
Asy-Syibli (seorang sufi wafat tahun 334 H) memberi
peringatan; “Mendengarkan musik secara lahiriah adalah godaan
dan secara batiniah merupakan pelajaran. Siapa yang mengenal
tanda-tanda mistis (isyārah) boleh mendengarkan pelajaran itu.
Jika tidak dapat (dan ia mendengarkan), maka ia telah
mengundang godaan dan membiarkan dirinya terkena
bencana”.65
Secara psikologis terdapat hubungan saling mempengaruhi
antara musik dengan kondisi jiwa. Suatu saat musik dapat
mempengaruhi kondisi jiwa, disaat lain terjadi sebaliknya.66
c. Implemantasi Pemikiran Al-Gazali Tentang as-Sama’
Dalam Masyarakat
Berkaitan dengan persoalan ini, ada sebuah pertanyaan yang
perlu dijawab, yaitu mengapa para sufi lebih cenderung
menggunakan syair, nyanyian dan sebagainya sebagai sarana alSama’ dari pada al- Qur’an ?Muhaya menyertakan jawaban AlSarraj persoalan ini dengan mengemukakan beberapa alasan.
Pertama, al- Qur’an itu sifat Allah sehingga tidak boleh dihiasi
dengan lagu- lagu atau alat musik. Kedua, hati seorang mu’min
tidak akan mampu menampung dan menerima kehebatan
pengaruh al- Qur’an, karena jika al- Qur’an diturunkan diatas
gunung, maka gunung tersebut akan tunduk dan terpecah belah
disebabkan takutnya kepada Allah. Ketiga, sering kita
mengetahui orang membaca al- Qur’an sampai selesai, tetapi ia
tidak mendapatkan sesuatu yang dapat melunakkan hati, lain
halnya jika itu dilantunkan dengan suara yang bagus dan lagu
yang indah, maka hatinya menjadi lunak dan ia pun menikmati
bacaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa sentuhan yang dapat
melunakkan hati datang dari selain al- Qur’an, yaitu lagu dan
suara yang indah.
Menurut penulis, ada dua hal utama yang mesti kita
perhitungkan kalau kita memperbincangkan musik. Pertama,
musik punya unsur- unsure kuat dalam mempengaruhi manusia,
sehingga perannya sering hanya dilihat dan terlibat dalam fungsi
hiburan dan hura- hura semata. Kedua, titik berat pada segi
fungsi tersebut dapat mengakibatkan kesalahpahaman yang
65
66
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 33-34.
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, 35.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
77
Abdul Azis
fatal. Yakni musik hanya dapat dilihat dari segi luarnya. Inilah
yang pada gilirannya memahami pemahaman terhadap esensi
dan makna musik itu sendiri.
Disini perlu ditekankan bahwa Musik adalah bunyi yang
diatur menjadi pola yang dapat menyenangkan telinga atau
mengkomunikasikan perasaan atau suasana hati. Musik
mempunyai ritme, melodi dan harmoni yang memberikan
kedalaman dan memungkinkan penggunaan beberapa instrumen
atau bunyi-bunyian. Musik adalah kesenangan, penghubung
spiritual antar jiwa dan pikiran. Musik dapat menyetir hati untuk
berontak dan bekerja seperti obat perangsang atau obat
penenang bagi emosi manusia yang kompleks.67
Menurut Djohan, seorang dosen musik di Institut Seni
Indonesia dalam bukunya yang berjudul Psikologi Musik
menuliskan bahwa Indonesia ini adalah negara “miskin” dan
hanya dapat menggunakan musik sebagai hiburan, belum
mampu melihat prospek musik dari aspek manfaat. Ini adalah
cara yang sangat kuno dalam menikmati musik, bahkan bisa
disebut “primitif”. Dengan demikian ilmu musik (musikologi) di
Indonesia jika tidak diperhatikan maka musik di Indonesia tidak
lebih dari sesuatu yang tak berguna dan sia-sia, melihat di
negara-negara maju musik sudah dapat dimanfaatkan dalam
berbagai kepentingan umum.8 Dengan demikian tidak ada jalan
67
Secara sosiologis,musik berfungsi sebagai berikut: Pertama,
Psikologis (kejiwaan), karya musik dapat mempengaruhi jiwa manusia,
mampu membangkitkan semangat atau melemahkan semangat, misalnya
pada lagu- lagu perjuangan, kebangsaan. Kedua Pedagogis (mendidik), karya
musik dapat dipakai dan amat penting dipakai sebagai perantara didalam
pendidikan, misalnya lagu- lagu anak- anak, nadhom pada sekolahsekolah
madrasah tradisional, dan lainnya. Ketiga, Sosiologis, musik oleh manusia
dijadikan kawan yang dapat yang dapat membantu atau sebagai perantara
dalam kehidupan sehari- hari, misalnya lagu bekerja, untuk keagamaan,
iringan tari, drama, film, peragaan pakaian, pengobatan, pesta, radio, dan tv
bahkan politik. Keempat, Kultural (kebudayaan), musik merupakan salah satu
hasil kebudayaan manusia. Usik dapat merupakan suatu hasil kebudayaan
yang mempunyai nilai seni tinggi, misalnya karya JS Bach, W.A. Mozart, L.
Van Beethoven, H. Berlioz dll. Kelima, Historis (sejarah), didalam tingkatan
(nilai) perkembangan peradaban manusia, meskipun tidak ketinggalan di
dalam terikutsertaan untuk menentukan tingkatan peradaban manusia pada
umumnya. Jadi kaerya musik merupakan salah satu tiang unsur didalam
menegakkan sejarah manusia.(Prier: 1990: 19)
78 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
lain untuk menghindari kesia-siaan dalam musik kecuali
mempelajari musik secara benar, mengingat bahwa musik
bagaimanapun juga tidak bisa dipisahkan dari setiap
perkembangan peradaban manusia.
Umat Islam mengalami zaman yang biasa disebut dengan
Era Globalisasi, suatu masa di mana segala aspek kehidupan
dirubah, dirombak dan ditingkatkan secara menyeluruh.
Pemikiran Muhaya sekarang tidak lagi menjadi prioritas secara
politis. Kondisi sosial, budaya dan politik sudah berbeda.
Perkembangan musik sekarang tidak seperti sembilan abad lalu.
Musik kini telah menjadi hasil produksi, dan dapat dikonsumsi
oleh setiap orang, bahkan bisa tanpa mengeluarkan biaya.
Dalam VCD, DVD, televisi, radio, kaset, MP3, dan berbagai
teknologi audio visual, musik ada di manamana. Setiap hari di
berbagai sudut dunia. Setiap saat ada alunan musik yang
disajikan oleh jutaan stasiun radio dan televisi di seluruh dunia.
Ada lagi pembajakan CD dan kaset yang keberadaannya
menguntungkan sebagian orang dan merugikan sebagian yang
lain. Musik di berbagai belahan dunia dikembangkan dan
dimanfaatkan dalam berbagai macam aspek kehidupan (musik
terapi, musik meditatif, dan lain-lain), sehingga memunculkan
kajian ilmiah yang menjadi bukti adanya perkembangan ilmu
musik (musikologi).
Dalam kontek masyarakat Islam tidaklah terbatas pada
memperhatikan satu segi saja, pendidikan Islam tidak
mengkhususkan perhatiannya pada aspek rohani atau akhlak saja
seperti yang dipentingkan oleh orang-orang sufi dan ahli akhlak
dan tidak pula membatasi usahanya pada pembinaan akal dan
pikiran seperti yang dipentingkan oleh filosof dan orang-orang
yang mengutamakan akal. Pada hakekatnya pendidikan Islam
mementingkan keseluruhan aspek-aspek dan ingin mewujudkan
semua macam pendidikan secara utuh. Islam menyeimbangkan
antara akal dan perasaan, antara benda dan ruh, antara teori dan
praktek, antara individu dan masyarakat, antara hak dan
kewajiban yang bersumber pada al-Qur'an dan hadits. Muhaya
pun mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
zaman memang berubah, dan perubahan itu merupakan relasi
yang tidak mengganti esensi pengetahuan itu sendiri.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
79
Abdul Azis
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya
komunikasi bebas lintas negara, menerobos berbagai pelosok
perkampungan di pedesaan dan menelusup di gang-gang sempit
di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual
(televisi, internet, dan lain-lain). Masyarakat Muslim di
Indonesia, sekarang dihadapkan pada kenyataan bahwa
perkembangan music semakin luas dan tanpa batas.
Fenomena modern yang terjadi di awal millennium ketiga
ini popular dengan sebutan globalisasi. Sebagai akibatnya media
ini khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh
di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan
atau sebaliknya merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi
atau mengontrol pola pikir seseorang oleh mereka yang
mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut memiliki
perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam
memberikan kriteria nilai-nilai moral, antara nilai baik dan
buruk, antara kebenaran sejati dan artifisial. Keadaan ini dengan
jelas mengubah apresiasi selera dan persepsi makna musik. Dulu
musik bersifat renungan (kontemplasi) kini bersifat gairah
(sensasi), dari sesuatu yang menyentuh perasaan (etik) kini
menjadi sesuatu yang menyentuh rangsangan (sensualitas).68
Al Ghazali dengan pemikirannya tentang bersufi melalui
musik dan wajd-nya, merupakan salah satu sumber yang bisa
dijadikan rujukan untuk menghidupkan nilai-nilai spiritual yang
ada dalam musik. Tetapi melihat keadaan musik masa kini yang
bentuknya kurang lebih seperti yang dijelaskan di atas berarti
akan butuh pembicaraan yang cukup panjang. Konsep bersufi
melalui musik sangat luas, mulai dari pembahasan musik
sebagai ekspresi tabiat manusia atas keindahan hingga musik
sebagai alat purifikasi jiwa menuju Tuhan.
Dengan demikian masyarakat yakin bahwa sudah
selayaknya pemikiran Muhaya diimplementasikan dalam
pembelajaran, karena adanya hubungan yang kuat antara musik
dan emosi. Musik di dalam ruang kelas dapat membantu
menciptakan keadaan emosi positif yang kondusif bagi
pendidikan. Otak anda mempunyai tiga bagian dasar: batang
atau otak reptil, Sistem limbic atau otak mamalia, dan
68
Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003), 114-115.
80 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
neokorteks. Masing- masing mempunyai bagian juga
mempunyai struktur saraf tertentu dan mengatur tugas- tugas
yang harus dilakukan. Reptil berkaitan dengan insting, Limbik
merupakan bagian yang penting dalam mempertahankan hidup
manusia karena merupakan panel kontrol utama anda yang
menggunakan informasi dari indera pendengaran, penglihatan,
sensasi tubuh, indera peraba dan penciuman sebagai input nya.
Kemudian informasi tersebut didistribusikan ke bagian pemikir
didalam otak anda, yaitu neo korteks.
C. Penutup
Akhirnya dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan
bahwa dalam music as-Sama’ pemikiran al-Ghazali bercorak
mistis dan filosofis. Mistis karena konsep yang ia tawarkan
adalah sebuah konsep tasawuf. Filosofis karena ia tidak hanya
menjelaskan konsep musik dari satu sudut pandang tetapi dari
berbagai sudut pandang dan sangat luas. Ia tidak hanya
membicarakan musik dalam kapasitasnya sebagai seorang sufi
tetapi juga dalam kapasitasnya sebagai pembaharu di dunia
Islam yang mempertimbangkan syari’at dan etika.
Menurut al-Ghazali musik merupakan perpaduan antara
unsur material dengan immaterial, ia tersusun dari elemenelemen yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Karenanya musik
mempunyai kekuatan untuk menspiritualkan hal yang materi dan
sebaliknya, mematerikan hal yang spiritual. Di sini ditegaskan
bahwa musik dan kesannya yang memabukkan itu bukanlah
tujuan akhir dari metode spiritual ini. Musik hanya sebagai
media, sebagaimana orang ber-dzikir dengan tasbih. Ketika
orang telah sampai pada keadaan wajd yang sejati, maka orang
itu tidak butuh lagi dengan musik, karena yang ada dalam
dirinya adalah mukasyafah dan keadaan-keadaan (ahwal) yang
sifatnya terpuji. Tidak lain itu dikarenakan cintanya dan
kerinduannya kepada al-Haqq. Orang yang telah menjadi syaikh
dan memimpin suatu majelis tidak boleh dengan hal-nya terbang
sendiri menuju Tuhan. Seorang syaikh harus bisa menyesuaikan
dengan kondisi majelis yang ia pimpin, karena jika tidak maka
sangat mungkin akan terjadi kesalahan yang dapat membuat
murid/mustami‘ tidak dapat mengendalikan dirinya dan ia
masuk ke dalam kesia-siaan dan lubang dosa.
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
81
Abdul Azis
Akhirnya, mendengarkan musik berarti membuka diri
terhadap suatu pengaruh, kepada suatu vibrasi dari asal usul
super human “yang menghasilkan suara” untuk membangkitkan
gaung suara dalam diri, dari satu wilayah primordial dan untuk
membangkitkan sebuah kerinduan dalam diri untuk bersatu
dengan esensinya sendiri.
Bagaimanapun musik memiliki banyak manfaat bagi
kehidupan spiritualitas. Sehingga bagi mereka yang dapat
memanfaatkan musik spiritual menganggap penggunaan musik
tidaklah selalu haram karena telah terbukti dapat membantu
meningkatkan pengalaman spiritual dan kondisi spiritual. Al
Ghazali berpendapat bahwa musik dapat menghilangkan tabir
hati, serta mampu menggelorakan rasa cinta yang mendalam
kepada Ilahi, sehingga mampu mengantarkan seorang sufi
kederajat kesempurnaan dan menjadikannya sampai ketingkat
yang tertinggi (musyahadah).Persoalan tentang hukum al-Sama’
(mendengarkan musik) merupakan hal yang belum terjawab
secara memuaskan, bahkan menurut hemat penulis tidaka akan
pernah selesai manakala hanya didekati dengan menggunakan
pendekatan normatif semata.
Dengan demikian, memainkan alat musik apa pun,
adalah mubah. Inilah hukum asalnya, sesuai kaidah fiqih : Alashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalilu at-tahrim
(Hukum asal benda adalah boleh selama tidak terdapat dalil
yang mengharamkannya). Maka jika ada dalil syar'i tertentu
yang mengharamkan, pada saat itu suatu alat musik hukumnya
haram dimainkan. Misalnya:
a. Jika suatu alat musik diduga kuat akan mengantarkan pada
perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya
kewajiban, hukumnya haram. Sebab kaidah fiqih
menetapkan: al-wasilah ila al-haram haram (Segala sesuatu
perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga).
Misalnya saja alat musik yang dimainkan mengakibatkan
ikhtilath (campur baur pria wanita) atau dilalaikannya shalat
wajib.
b. Jika suatu alat musik digunakan untuk mengiringi lagu yang
syairnya bertentangan dengan Islam, hukumnya haram.
Karena itu syair yang dinyanyikan wajib syair Islami atau
yang dibolehkan Islam. Jika suatu alat musik digunakan
82 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
mengiringi lagu yang syairnya tidak dibolehkan Islam,
misalnya menyerukan nasionalisme, hukumnya haram.
c. Jika suatu alat musik digunakan secara khusus oleh orang
kafir dalam upacara keagamaan mereka, hukumnya haram.
Sebab haram hukumnya muslim menyerupai orang kafir
(tasyabbuh bil-kuffar), sesuai hadits Nabi SAW,
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk ke
dalam golongan mereka." (HR. Abu Dawud).
Daftar Pustaka
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan
Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, (Yogyakarta: Gama
Media, 2003)
Al-Gazāli, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Libanon: Dar al-Ma’rifah,
Juz.II, tt.)
Al-Gazāli, Mutiara Ihya’ ‘Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan,
(Bandung: Mizan, 2002)
Al-Gazāli, Samudera Pemikiran Al-Gazāli, terj. Kamran As’ad
Irsyadi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
Al Ghazali, Kimiya’ al Sa’adah, Dalam Majmu’ah al-Rasa’il,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), 79.
Al-Attas, Al-Naquib, Syekh Muhammad, Islam dan
Sekularisme,(Bandung: Penerbit Pustaka Salman
ITB,1978)
Al-Mukaffi, Abdurahman, Raport Merah AA GYM, MQ
Dipenjara Tasawuf, (Jakarta: Darul Falah, 2003)
Al-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Seni, terj. Zuhairi Misrawi,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000)
______, Yusuf, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H. Ahmad
Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar Mustafa,
(Bandung: Mujahid Press, 2003)
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Thoumy, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Prisma Sophie, 2002)
Ansari, Muhammad Abdul Haq, Merajut Tradisi Syari’ah dan
Sufisme,Mengkaji Gagasan Mujaddid Syeih Ahmad Sir
Hindi, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997)
Anwar, Saifudin, M.A Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1998)
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
83
Abdul Azis
AR, Muhammad., Pendidikan di Alaf Baru Rekonstruksi Atas
Moralitas pendidikan, (Yogyakarta : Prisma Sophie,
2002).
Ash shiddieqy,Hasbi, Teungku, Muhammad, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,(Semarang:
Pustaka Rizki putra, 1997)
As-Syarkawy, Muhammad Abdullah, Sufisme dan Akal, trj. Hali
Al-Kaf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003)
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999)
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 1990)
Consevela G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, terj.
Alimuddin Tawu, ( Jakarta: UI-Press, 1993)
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A
Masudi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003)
Glasse, Cyril, “Ihwan as-Safa” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi
Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996)
Haskiah, Raski, Mustain, (Jakarta: PSM UIN Syarif
Hidayatullah, 2002)
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta, Pustaka
Panji Mas, 1994)
HAR. Gib dan JH. Kramers (ed.), Shorter Encyclopedia Of
Islam, (Leiden: EJ. Brill, 1974)
Idries Shah, Mahkota Sufi, terj. M. Hidayatullah dan Roudlon
S.Ag., (Surabaya: Risalah Gusti, 2000)
Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono,
Fungki Kusnaendi Timur, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2002)
Khan, Haszrat Inayat, Dimensi Mistik Musik Dan Bunyi,
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002)
Khan, Pir Vilayat Inayat, Membangkitkan Kesadaran Spiritual,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)
Nasr, Sayyed Hossein, Islamic Art and Spirituality, terj. Sutedjo,
(Bandung: Mizan,1993)
_______, Spiritualitas Dan Seni Isam, terj, Sutedjo, (Bandung:
Mizan, 1994)
84 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Tasawuf dan Seni Musik
_______, Menjelajah dunia Modern , (Bandung: Mizan,1995)
Pasiak, Taufik, Revolusi
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:
Rake Serasin, cet. 7, 1996)
Saifudin Anwar, MA. Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1998)
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada 1997)
Sumadi Surya Barata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, tt)
Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Rineka Cipta,
1992)
Subarisman, Muharso, Apresiasi Musik, (Semarang: Sendra
Tasik IKIP Semarang, 1999) Sudarto, Metodologi
Penelitian Filsafat, PT. (Jakarta: Raja Grafindo Persada
1997)
Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Rineka Cipta,
1992)
Syukur, Amin,Metodologi Studi Islam, (Semarang: Gunung Jati
dan IAIN Walisongo Press, 1998)
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi
Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992)
Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Seni, terj. Zuhairi Misrawi,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000)
Yusuf Al-Qardhawy, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, terj. H.
Ahmad Fulex Bisri, H. Awan Sumarna, H Anwar
Mustafa, (Bandung: Mujahid Press, 2003)
J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic,
(Beirut: Libririe Du Liban, dan London: Mac Donald &
Evans LTD, 1980), hlm. 430
Cyril Glasse, “as-sama‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam
Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 352
Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar,
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 254
Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam”
dalam Seyyed Hossein Nasr, (ed.), Ensiklopedi Tematis
Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M. Sholihin Ariyanto,
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
85
Abdul Azis
Ruslani, M.S. Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin SF.,
(Bandung: Mizan, 2003).
86 TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Download