BAB1 PENDAHULUAN Sampai menjelang wafat, beliau tetap menjadi selebriti di media massa karena keberhasilannya, tetapi beliau tidak bisa menjadi pahlawan nasional, hanya pengadilan sejarah yang bisa menyelesaikan kasus Soeharto (Adam,2000) 1.1 Latar Belakang Masalah Tanggal 5 Juli tahun 1959 merupakan peristiwa yang bersejarah bagi kehidupan bangsa Indonesia, karena saat itu terjadi peristiwa sejarah yang luar biasa. Peristiwa tersebut adalah terjadinya Dekrit Presiden yang dikeluarkan berdasar hukum darurat negara (staat nood recht) yang berisi: “Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak berlakunya UndangUndang Dasar Sementara (UUDS/1950) serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)” yang mengakibatkan terjadi perubahan sistem ketatanegaraan sangat mendasar (Budiardjo, 1996:71). Diberlakukan kembali UUD 1945, adalah merupakan solusi terbaik setelah mengalami kebuntuan politik, karena Badan Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955 tidak mampu menyelesaikan tugas untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru, untuk mengganti UUDS/1950 (Anshari, 1986:123). Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik- baiknya oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan berbagai cara untuk menyusupkan ideologi pada pemerintahan Soekarno. Begitu kuatnya penyusupan ideologi sampai Soekarno (mantan Presiden Republik Indonesia pertama) terjebak dalam ideologi Komunis/Maxisme, dalam pernyatakannya, bahwa: ” …dus orang yang 1 menyatakan dirinya Marhaenisme tetapi tidak menjalankan Marxisme, mereka adalah Marhaenisme gadungan. Marhaenisme adalah Marxisme–Soekarnoisme, Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia dan itu paralel dengan Komunisme…” (Soerojo,1989:407). Selain itu melalui pendekatan yang intensif, akhirnya Soekarno pada tahun 1960 membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum tahun 1955, dan kemudian disusun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya didominasi oleh orang-orang komunis. Langkah selanjutnya, MPRS yang terbentuk melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang jumlah anggotanya dua kali dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah dilakukan perombakan, sehingga anggota yang diangkat oleh Presiden, juga didominasi oleh orang-orang komunis (Budiardjo,1996:69). Ini masa awal lahirnya Orde Lama di Indonesia, yaitu masa pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, yang ditandai dengan beberapa penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945. Beberapa penyimpangan terhadap UUD 1945 tersebut diantaranya; pembubaran DPR hasil pemilihan umum pengangkatan Soekarno tahun 1955, sebagai Presiden seumur hidup melalui ketetapan No.III/MPRS/1963 (Muhono, 166:526). Juga terjadi pergeseran peran DPR-GR yang dibentuk Pesiden menjadi pembantu pemerintah, yaitu dengan mengangkat ketua DPR sebagai menteri, sehingga telah menghapus fungsi control terhadap Pemerintah dan ditinggalkan doktrin Trias Politica (Budiardjo,1996:71). Penyimpangan lain terhadap UUD 1945 adalah dengan dibentuknya lembaga Negara yang inkonstitusinal, yaitu lembaga Front Nasional. Lembaga tersebut 2 kemudian dimanfaatkan oleh PKI, menjadi arena kegiatan yang mirip dengan strategi komunis internasional, dengan menggariskan Front Nasional sebagai langkah awal terbentuknya demokrasi rakyat seperti yang terjadi di negara-negara komunis. Situasi politik semakin tak terkendali, adu domba dan saling mencurigai antar elit politik semakin memanas. Politik Mercusuar untuk menggalang hubungan dengan luar negeri, yaitu RRT dan Uni Soviet melahirkan poros Jakarta-Peking dan Jakarta-Moskow, sedang kondisi ekonomi semakin merosot tajam, karena pemerintah lebih menjadikan rakyat menjadi basis politik daripada persoalan ekonomi (Budiardjo, 1996:22). Dalam kondisi kehidupan rakyat serba kekurangan, pihak komunis terus melakukan aksinya. Diantara aksi tersebut adalah dengan menghembuskan isu tentang terbentuknya “Dewan Jendral” (kelompok para Jendral), yang dituduh akan melakukan perebutan kekuasaan yang sah. Selanjutnya pihak PKI melakukan aksi tandingan dengan membentuk “Dewan Revolusi”, dengan tujuan membantu pemerintah yang sah, melindungi Soekarno serta seluruh ajaran- ajarannya. Dengan alasan akan dikudeta oleh Dewan Jendral, pihak PKI segera bergerak lebih dulu, dengan melakukan pemberontakan yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI (Adam, 2009:140). Gerakan tersebut berupa penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh orang jendral putraputra terbaik bangsa, kemudian dibuang di bekas sumur tua di Lubang Buaya. Bahwa kemudian muncul penafsiran yang berbeda tentang “dalang” peristiwa itu adalah sah-sah saja karena sudut pandang yang berbeda. Ada penafsiran yang menyatakan bahwa, dalang peristiwa G30S/PKI tersebut dilakukan oleh: “PKI, 3 Angkatan Darat, CIA, Soeharto, Soekarno Kudeta Merangkak MPRS”(Adam, 2009:33,140,153). Penjelasan tentang perbedaan penafsiran terhadap dalang peristiwa G30S/PKI akan dibahas lebih lanjut pada bab lain. Peristiwa G30S/PKI telah menimbulkan krisis politik yang berkepanjangan, akibat strategi politik yang menjadikan rakyat sebagai basis pejuangan politik, serta strategi “Sistem Ekonomi Terpimpin dan Demokrasi Terpimpin”. Krisis sosial budaya ikut juga kibatkan terjadi berkecamuk, sehingga menga- perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa, serta tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Krisis politik, ekonomi dan keamanan menimbulkan kekacauan luar biasa, dan terjadi pembantaian besar-besaran (sekitar 200.000 orang) antar kelompok elit politik yang saling curiga mencurigai atas terjadinya gerakan G30S/PKI serta berbagai krisis tersebut (Adam, 2009: 183). Kecuali itu juga tidak kurang 10.000 orang dibuang ke Pulau Buru tanpa melalui proses peradilan, karena diduga sebagai anggota komunis (Soerojo, 1989:272). Akhirnya Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Pangkostrad Letjen Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itulah sebagai tanda berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Krisis politik sebenarnya telah diawali sejak tahun 1960, yaitu sejak Soekarno ditetapkan menjadi Presiden seumur hidup oleh MPRS yang inkonstitusional. Ditambah lagi dengan sistem pemerintahannya yang otoriter, dan kemudian diakhiri dengan keluarnya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966 (Soerojo, 1989:366). Isu Dewan Jendral yang dihembuskan oleh pimpinan PKI membuat pemerintahan Soekarno semakin tidak menentu. Kelengahannya, dimanfaatkan 4 oleh PKI untuk melakukan coup d’etat (kudeta) dengan melakukan penculikan dan pembantaian para jendral putra-putra terbaik bangsa. Pemerintahan Orde Baru adalah rezim yang menggantikan sistem pemerintahan rezim Orde Lama, yaitu sistem pemerintahan yang bertujuan untuk melakukan penataan kembali, baik di bidang politik, pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. Orde Baru merupakan awal tumbangnya sistem pemerintahan rezim Orde Lama, yaitu masa kejayaan Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpin, dan ekonomi terpimpinnya. Berakhirnya Orde Lama yang diawali dengan krisis politik yang luar biasa dengan meletusnya peristiwa gerakan G30S/PKI, yang menimbulkan gelombang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa, pelajar dan pemuda selama lebih kurang 50 hari di ibukota Negara (Saelan, 2008:281). Dipelopori kekuatan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), aksi demontrasi dimulai tanggal 10 Januari 1966 yang terkenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan tersebut berisi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), membersihkan kabinet Dwikora dari unsur-unsur komunis dan perbaikan bidang ekonomi dengan cara menurunkan harga sembilan bahan pokok (Notosusanto, 1964:406). Akhirnya Supersemar memaksa Soekarno atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, mengeluarkan perintah kepada Letjen Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) untuk mengambil langkah-langkah dan segala tindakan yang perlu untuk mengatasi krisis. Surat perintah tersebut bertujuan untuk menjamin 5 keamanan, stabilitas jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden, serta demi keutuhan bangsa dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengamankan ajaran Pemimpin Besar Revolusi (Adam,2009:115). Melalui Supersemar, kekuasaan Soekarno sebagai Presiden akhirnya runtuh, dan runtuhnya kekuasaan Soekarno semakin nyata setelah secara yuridis formal dikeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 (Saelan, 2008:260). Berikutnya setelah mencabut kekuasaan Soekarno melalui MPRS tahun 1967, dilanjutkan dengan mengangkat Sidang Istimewa pengemban Supersemar (Letjen Soeharto) menjadi Pejabat Presiden. Selanjutnya pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, dengan ketetapan No. XLIV/MPRS/1968, tepat pada bulan Maret 1968 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengangkat Letjen Soeharto secara definitif ditetapkan menjadi Presiden kedua Republik Indonesia (Notosusanto, 1964:407). Itulah titik awal kejayaan pemerintahan Soeharto, dan berjalan terus dengan berbagai strategi yang dilakukan, dari masa ke masa terus bergulir, baik melalui sistem pemilihan umum (Pemilu), fusi partai politik, Dwi Fungsi ABRI dan lain-lain. Dalam Sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973 sampai tahun 1998, Soeharto selalu terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, karena Golkar sebagai mesin politik dalam Pemilu selalu menjadi single mayority. Proses strategi politik berikutnya adalah, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya sebagian dipilih melalui Pemilu dan sebagian lagi diangkat oleh Presiden, menjadi tidak berkutik dan selalu memilih Soeharto sebagai Presiden 6 (tabel 1.2). Akhirnya Soeharto mampu menggalang kekuatan dan dapat mempertahankan kekuasaan sampai 32 tahun, dengan berbagai cara dan strategi baik melalui struktur politik, jalur ABRI, Golkar dan Birokrat (jalur ABG), yang merupakan mesin politik Soeharto dalam menggilas habis lawan politiknya. Untuk melanggengkan kekuasaannya, Soeharto mulai melirik mekanisme sistem kepartaian yang merupakan sarana demokrasi dalam pelaksanaan pemilihan umum. Dimulai dari pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) tahun 1971 yang diikuti oleh 10 kontestan (9 Partai Politik dan 1 Golongan Karya), Soeharto dengan menggunakan kendaraan Golkar, terus membangun strategi untuk merebut kekuasaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam perolehan suara pada Pemilu tahun 1971, yang menunjukkan dominasi kemenangan mutlak (single mayority), dengan mengantongi 68,7% suara, atau 236 kursi di DPR dari jumlah 360 kursi DPR yang diperebutkan (Budiardjo, 1996:72). Menghadapi Pemilu tahun 1977, Soeharto mulai menggunakan jurus baru, yaitu dengan mengeluarkan Undang-Undang No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Undang-Undang No.3/1975 memuat tentang penyederhanaan (fusi) partai politik, yaitu yang semula ada 10 partai politik yang ikut dalam Pemilu pada tahun 1971, menjadi dua partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya (Golkar) pada Pemilu tahun 1977 (Mardjono, 1998:57). Penyederhanaan sistem kepartaian tersebut semakin memperkuat posisi Golkar sebagai mesin penggerak pemerintahan Soeharto, sehingga dalam Pemilu 7 tahun 1977 sampai dengan tahun 1997, untuk pemilihan anggota DPR selalu dimenangkan oleh Golkar. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perolehan suara Golkar pada Pemilu tahun 1971 sampai tahun 1997, dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini: Tabel 1.1 PEROLEHAN SUARA GOLKAR PADA PEMILU 1971-1997 No TAHUN PEROLEHAN PEROLEHAN PEMILU SUARA KURSI 1. Tahun 1971 68,07% 236 kursi 2. Tahun 1977 62,11% 232 kursi 3. Tahun 1982 64,31% 242 kursi 4. Tahun 1987 73,16% 292 kursi 5. Tahun 1992 68,10% 282 kursi 6. Tahun 1997 74,51% 325 kursi ------------------------------------------------------------------------------Sumber: Hasil Olahan Pemilu1971-1997 Kalau melihat perolehan suara pada Pemilu dan perolehan kursi di DPR dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1997, disimpulkan bahwa untuk sementara strategi yang dipakai Soeharto dalam memperkuat kekuasaannya melalui Pemilu dengan kendaraan politik Golkar, telah sukses meraih kemenangan yang signifikan. Proses selanjutnya, kaitannya dengan mekanisme pemilihan Presiden pada periode tahun 1971 sampai dengan tahun 1997 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sesuai dengan ketentuan Pasal 6 (ayat 2) Undang–Undang Dasar 1945. Kaitannya dengan susunan keanggotaan MPR menurut Pasal 2 (ayat 1) UUD 1945 (asli) dikatakan bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 8 ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan lembaga tertinggi negara, memiliki kekuasaan sangat besar mewakili seluruh komponen masyarakat Indonesia (pasal 1 ayat2 UUD 1945 asli). Sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai kekuasaan sangat besar, MPR berwenang memilih, mengangkat, melantik, dan menghentikan Presiden. MPR juga berwenang meminta pertanggung jawaban Presiden/Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945 asli). Komposisi keanggotaan MPR terdiri atas seluruh anggota DPR-RI, ditambah dengan utusan daerah-daerah dan wakil golongan-golongan (Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 asli). Keanggotaan DPR yang merupakan bagian dari anggota MPR, juga ditunjang 100 orang anggota ABRI yang juga diangkat langsung. Sedangkan anggota MPR dari utusan daerah-daerah adalah perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia, yang ditetapkan oleh DPRD Provinsi sebanyak masing-masing 5 orang wakil. Kalau waktu itu ada 27 propinsi. maka jumlah anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sebanyak 135 orang. Di samping itu masih ditambah lagi dengan anggota MPR yang langsung ditunjuk oleh Presiden adalah seluruh Gubernur Kepala Daerah Propinsi se Indonesia, para Panglima Komando Daerah Militer, para Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan para anggota Kabinet serta para istri menteri. Mereka itu sudah barang tentu adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Presiden (Syafiie,2002:42). Sedangkan wakil golongan terdiri atas kelompok buruh, nelayan, petani, organisasi wanita, cendekiawan, rohaniawan, 9 dan perwakilan orang cacat. Keberadaan Golkar yang merupakan penpanjangan tangan ABRI (khususnya Angkatan Darat), masih diperkuat lagi dengan masuknya para Pegawai Republik Indonesia yang tergabung dalam organisasi Korpri (Korp Pegawai Republik Indonesia), ibu-ibu DharmaWanita, ibu-ibu Dharma Pertiwi dan keluarganya, ikut memperkuat Golkar sebagai mesin politik Soeharto (Syafiie, 2002:31). Hasil pemilihan presiden oleh MPR melalui sidang umum MPR mulai tahun 1973 sampai dengan tahun 1998, selalu dimenangkan oleh Golkar dan memilih Soeharto menjadi presiden, lihat tabel 1.2 Tabel 1.2 HASIL SIDANG UMUM MPR TAHUN 1973-1998 No TAHUN SIDANG MPR 1. Tahun 1973 2. Tahun 1978 3. Tahun 1983 4. Tahun 1988 5. Tahun 1993 6. Tahun 1998 KETETAPAN MPR NOMOR IX/MPR/1973 X/MPR/1978 VI/MPR/1983 V/MPR/1988 IV/MPR/1993 IV/MPR/1998 PRESIDEN TERPILIH Soeharto Soeharto Soeharto Soeharto Soeharto Soeharto Sumber: Syafiie , (2002:31) Telah diuraikan di muka, bahwa pemerintahan Soeharto pada rezim “Orde Baru”, telah berjalan sejak tahun 1966 yaitu saat dikeluarkan Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966, dan berakhir sampai 21 Mei 1998, saat Soeharto menyerahkan jabatan presiden akibat revolusi rakyat dari segala elemen 10 masyarakat khususnya mahasiswa, dan digantikan oleh pemerintahan baru, yaitu rezim “Orde Reformasi”. Adapun agenda utama Orde Reformasi adalah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) Melakukan amandemen UUD 1945 Melaksanakan proses demokratisasi sesuai ketentuan UUD 1945 Melaksanakan otonomi daerah Menghapuskan dwi fungsi ABRI Memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) Menegakkan supremasi hukum di Indonesia (Dokumen ANRI) Pemerintahan baru di bawah B.J.Habibi, sebagai awal rezim pemerintahan Orde Reformasi tidak berjalan lama. Demikian juga pemerintahan di bawah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berduet dengan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Abdurahman Wahid hanya mampu bertahan sekitar dua tahun, karena dijatuhkan (di impeach) oleh MPR karena kasus Buloggate dan Bruneigate (Syafiie,2002:40). Setelah Abdurrahman Wahid jatuh, maka otomatis Megawati Soekarnoputri (wakil presiden), dilantik menjadi Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid sampai habis masa jabatannya. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 (ayat 1) UUD 1945, yang berbunyi : ” Jika Presiden mangkat, berhenti atau diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung diawali sejak Pemilu tahun 2004, dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Yusuf Kalla (SBY-YK). Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung ini sesuai dengan hasil amandemen UUD 11 1945 yang termuat dalam BAB VII B, Pasal 22 E (ayat 2) yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Masa Orde Reformasi berjalan sampai sekarang, dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 masih dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Budiono. Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998, pada prinsipnya bertujuan untuk membangun sistem dan mereformasi (menata kembali) di berbagai sektor pemerintahan, baik Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Sebagai agenda awal reformasi, MPR telah melakukan amandemen UUD 1945 sampai empat kali (lampiran7). Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perbandingan dan penjelasan antara masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, akan disampaikan dalam bab lain. Reformasi terkait dengan lembaga Eksekutif telah dilaksanakan amandemen, dengan melakukan pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung agar legitimasi pemerintah semakin kuat. Lembaga Legislatif juga melakukan reformasi terkait dengan sistem keanggotaan MPR, yang anggotanya terdiri atas seluruh anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Di samping itu juga menempatkan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara dan bukan Lembaga Tertinggi Negara lagi, sehinga tugas dan fungsinya juga berbeda. Amandemen terhadap lembaga Yudikatif dilakukan dengan melakukan revitalisasi 12 tugas Mahkamah Agung menjadi tiga badan, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) dengan fungsi yang berbedabeda. Proses amandemen dan tahapan-tahapan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat pada lampiran 7. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mereformasi sistem hukum untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal itu sesuai dengan cita-cita reformasi, yaitu penegakan hukum serta membangun stabilitas politik dan keamanan yang dinamis dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang mantap. Khusus untuk menangani korupsi telah dibentuk lembaga penegak hukum, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat sementara (Ad-Hoc). Meskipun masih terjadi korupsi disana-sini dalam penegakan hukum, dan banyak kasus pelanggaran hukum lain, seperti terjadinya makelar kasus (Markus) dan lain-lain, namun penegakan hukum bukan semata-mata hanya bisa dilihat dari sistemnya, tetapi lebih pada perilaku para penegak hukum, moral etika dan political will mereka sebagai pelaku dan pelaksana penegak hukum di negeri ini. Perlu diketahui bahwa kemenangan Golkar pada masa rezim Orde Baru yang menetapkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia sampai beberapa periode (32 tahun), akan menjadi pelajaran bagi pemimpin berikutnya. Hal ini terbukti bahwa meskipun jabatan presiden saat ini maksimal hanya dapat dipilih dua periode sesuai dengan pasal 7 UUD 1945 (hasil amandemen), namun masih 13 ada wacana dari partai politik pengusung yang ingin memperpanjang masa jabatan Susilo Bambang Yudhojono untuk menjabat Presiden lebih dari dua periode. Hal ini menimbulkan wacana baru untuk melanggengkan kekuasaan Presiden (seperti rezim Orde Baru), yang secara tidak langsung akan melegalkan pelanggaran terhadap UUD kembali. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum (recht staat), karena kekuasaan akan kembali menjadi raja, kekuasaan berada di atas hukum dan bukan kekuasaan yang tunduk pada hukum. Terjadi pula rekayasa kepemimpinan Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memperpanjang periode jabatan lebih dari dua kali masa jabatan. Rekayasa tersebut antara lain dengan cara merubah komposisi dari Kepala Daerah menjadi Wakil Kepala Daerah. Rekayasa seperti ini menjadi wacana/model pemerintahan saat ini baik di pusat maupun di daerah, yang merupakan dampak secara langsung model pemerintahan pada rezim Soeharto yang lalu, sehingga perlu diwaspadai agar tidak terus-menerus menjadi acuan bagi pemegang kekuasaan berikutnya. Namun proses reformasi yang digulirkan saat ini dianggap belum membawa perbaikan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu ditambah karut-marutnya manuver elit politik yang cenderung lebih mementingkan kekuasaan daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Akibatnya luka hati masyarakat karena ulah elit politik tersebut akhirnya berkulminasi pada kesadaran baru, bahwa rakyat merindukan kembali figur “Soeharto”, sekaligus 14 rezim pemerintahan Orde Baru. Proses “pencitraan ulang” rezim Soeharto ini tampaknya semakin terlihat indikasinya. Berbagai manuver yang dilakukan makin variatif, baik metode, ragam sasaran maupun instrumen yang digunakan. Kontroversi muncul antara yang pro dan kontra terhadap pemerintahan Soeharto pada rezim Orde Baru. Mereka yang pro, kembali memuji kehebatan strategi manajemen dan kepemimpinannya. Perilaku yang merakyat yaitu mau berkumpul dengan rakyat kecil di desa-desa, masuk ke pelosok-pelosok pedesaan, dalam acara “Klompencapir” dengan senyuman yang khas. Kesan rakyat pedesaan masih tertanam, dengan keberhasilan sang pemimpin, sehingga patut menyandang gelar “Bapak Pembangunan”, karena mampu berswasembada pangan saat kepemimpinannya genap 15 tahun. Kelompok cendekiawan tidak ketinggalan, masih banyak yang mengenang kepiawian Soeharto untuk memimpin Negara. Tidak sedikit di antara mereka yang bisa studi lanjut dengan beasiswa “Supersemar” dari yayasan yang didirikan dan dipimpin Soeharto. Buku-buku yang mengupas tentang keberhasilan Sang Jendaral Besar Soeharto saat ini masih bermunculan, seperti: Soeharto Tak Pernah Mati (Mubarok, 2009), Membongkar Manipulasi Sejarah (Adam, 2009) dan lain-lain. Terakhir pada tanggal 8 Juni 2011 di acara TV One diluncurkan buku berjudul: ” The Out Old Historis”, yang mengupas tentang sisi lain kehidupan Soeharto, dengan tampilan 113 cerita pribadinya (Thoyib, 2011). 15 Menjelang wafatnya sang maestro pemimpin rezim Orde Baru, sebagai mesin penggerak roda kekuasaan yang dianggap absulut ini tidak hanya dirasakan oleh kroni rezim Orde Baru. Di era reformasi sekarang ini pengaruh Soeharto masih sangat terasa kental. Sejak lengser dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998, pemberitaan seputar Soeharto selalu menarik. Mulai berita terkena stroke ringan tahun 1999, hingga dirawat kembali di rumah sakit yang sama tahun 2008, Soeharto tetap menjadi selebriti di berbagai media. Kondisi Soeharto yang semakin kritis menjelang wafatnya, bandara Adi Sumarno Solo sudah stand by sejak tanggal 4 Januari 2008, saat hari pertama dirawat di rumah sakit. Kondisi psikologis nasional terkait kesehatan Soeharto dirasakan di seluruh pelosok tanah air. Pengaruh Soeharto di kalangan rakyat bawah masih sangat kuat. Doa bersama terus mengalir, tahlilan dan lain-lain terdengar di seluruh pelosok pedesaan, di pesantren yang dilakukan oleh agamawan dan para tokoh politik. Semua mendoakan agar Soeharto lepas dari maut. Kegiatan kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Myanmar (Thein Sein) yang sedianya datang pertengahan Januari 2008 diperintahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk ditunda. Tidak hanya kroni yang selama ini pro Soeharto, tetapi lawan politiknya ikut “tersihir” melihat kondisi kesehatan Soeharto. Sungguh luar biasa daya magis Soeharto, mereka yang kritis, yang menghujat, yang membenci, namun akhirnya bersuara lain yaitu kompak “membela sang maestro” tirani masa Orde Baru ini (Mubarok,2008:36). 16 Mantan ketua Pengurus Besar-Nadlatul Ulama (PB-NU), K.H. Hasjim Muzadi ikut berdoa dan memberikan solusi atas kasus Soeharto. Secara khusus minta rakyat Indonesia mendoakan agar Soeharto diampuni segala dosanya, dan diterima segala amalnya. Masyarakat juga diminta memaafkan segala kesalahan Soeharto itu, tetapi tidak berarti beliau tidak bersalah, melainkan gerakan moral untuk perbaikan bangsa, karena secara legal formal tidak mungkin dilakukan. Kepada ahli waris berpesan agar seluruh hutangnya tetap diselesaikan, baik kepada orang lain maupun kepada Negara. Menurut ajaran Islam orang yang meninggal itu tidak boleh meninggalkan hutang, karena itu sepeninggal Soeharto ahli waris harus menyelesaikan semua hutang-hutangnya. Ahli waris harus membayar semua hutang orang yang meninggal, itu “ajaran agama” bukan “ajaran politik” dan berlaku bagi setiap muslim. Demikian tutur pengasuh pondok pesantren Al-Hikam Malang Jawa Timur (Mubarok, 2008:37). Itulah beberapa bukti keberhasilan strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru, yang telah mampu membangun negara ini. Selain mampu mewujudkan swasembada pangan, dan program keluarga berencana (kependudukan) sehingga mendapatkan penghargaan dari Unesco, pemerintahan Orde Baru juga telah mampu mewujudkan stabilitas nasional yang mantap, baik dibidang keamanan, sosial politik sehingga pembangunan berjalan lancar serta mampu mewujudkan kerjasama regional bangsa-bangsa di Asia Tenggara. 17 Dari sisi lain, terhadap pemerintahan Soeharto dianggap banyak melakukan korupsi, mengumpulkan kekayaan melalui beberapa yayasan yang dipimpin. Hujatan demi hujatan akhirnya menuju tuntutan agar Soeharto tetap diadili. Anggota Wantimpres tetap minta Soeharto diajukan ke pengadilan. Dugaan perdata penyalahgunaan dana melalui yayasan-yayasan yang dipimpin berkisar USD 420 juta, dan Rp 185,92 miliar, plus ganti rugi imateriil sebesar Rp10 trilyun (Mubarok, 2008:21). Menjelang skaratul maut, keluarga Cendana menawarkan akta perdamaian atas gugatan perdata oleh pemerintah. Tawaran disampaikan kuasa hukum Soeharto (O.C. Kaligis), dengan alasan kemanusiaan di saat kondisinya semakin drop, dan akhirnya keluarlah keputusan deponering (Mubarok, 2008:20). Meskipun banyak kalangan yang menolak deponering Soeharto, karena dianggap mencederai tujuan reformasi dan mengingkari ketetapan MPR No. XI/1998 (tentang pemberantasan korupsi), serta bertentangan dengan konstitusi. Diantara yang menolak deponering adalah J.Piliang peneliti senior bidang sosial politik CSIS, yang menyatakan bahwa “… jika pencabutan tuntutan terhadap Soeharto tanpa proses peradilan, justru akan menghancurkan kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono, penegakan hukum dan konstitusi di Indonesia…”(Mubarok, 2008: 34). Data empiris terhadap hasil survei dan hasil penelitian terdahulu terkait kepemimpinan Soeharto yang telah dilakukan, menujukkan berapa hasil sebagai berikut: 18 Pertama; Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada bulan Oktober 2007 dengan judul: “Prospek Kepemimpinan Nasional” (Evaluasi Publik 3 Tahun Presiden). Survei dilakukan terhadap sampel sebanyak 1300 responden (berusia 17 tahun, atau sudah menikah), menyimpulkan bahwa, ada empat kualifikasi syarat kepemimpinan nasional, yaitu: a) Kompetensi/pintar = 5%, b) Mampu mengambil keputusan dengan tepat dan tegas = 9%, c) Perhatian pada rakyat/empati= 24%, d) Jujur/bisa dipercaya/integritas= 62%. Untuk ini Soeharto masih menempati urutan nomor wahid, diantara Presiden dan para pemimpin nasional yang lain. Kedua; Tulisan Coen Holtzappel dalam Jurnal of Contempory Asia (vol.2 1979), menyatakan bahwa peristiwa G30S/PKI sebenarnya dipicu oleh konflik internal angkatan. Tiga angkatan tersebut yaitu pasukan Pringgodani, pasukan Pasopati dan pasukan Bimasakti. Coen mencurigai Mayor (udara) Suyono dan Syam Komaruzaman sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani (Angkatan Udara) dalam melakukan kudeta, yang mengakibatkan gugurnya beberapa perwira Angkatan Darat. Ketiga; Hasil survei Indo Barometer oleh Suryopratomo (16 Mei 2011), memberikan kesimpulan bahwa “Soeharto Pemimpin Terbaik” dibandingkan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (SBY-Boediono). Melihat dari 13 tahun setelah reformasi, dalam 18 bulan pemerintahan (SBY-Boediono) belum memenuhi harapan rakyat. Kaitannya dengan pemberantasan korupsi 19 sebagai agenda utama reformasi, SBY-Budiono banyak mengambil keputusan yang tidak tegas penuh keraguan dan terkesan tidak konsisten, selalu takut dengan resiko yang diambil. Akibatnya kasus korupsi, mafia pajak, mafia hukum, mafia peradilan dan lain-lain terus merebak dimana-mana. Dibandingkan dengan kepemimpinan Soeharto terlepas dari sikap otoriternya, Soeharto lebih tegas dan berani mengambil resiko setiap mengambil keputusan. Soeharto berani mengambil tanggungjawab atas perintah yang disampaikan kepada bawahan, tidak lempar batu sembunyi tangan. Soeharto terkenal sebagai sosok pemimpin yang efektif dan tegas dalam setiap mengambil keputusan, dan berani menerima risiko apapun atas tindakannya. Ke-empat; Abeng (1997) dalam “Manajemen Presiden Soeharto Penuturan 17 Menteri”, memberikan ulasan yang sangat menarik. Ulasan tersebut disimpulkan bahwa Soeharto adalah Presiden yang memiliki kompetensi sebagai pemimpin sejati sekaligus sebagai manajer professional. Sebagai mantan anggota ABRI, Soeharto mampu mengintegrasikan delapan azas kepemimpinan (Asta Gatra) dengan tiga azas kepemimpinan Ki Hajar Dwantoro (Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tutwuri handayani). Azas-azas kepemimpinan tersebut tergabung menjadi 11 azas kepemimpinan, dan sesuai dengan doktrin kepemimpinan ABRI (Abeng, 1997:186). Ke-lima; Wawancara dengan Radio Nederland pada tanggal 18 Oktober 2010 (Fedya Andina) dengan Wartawan Tempo (Ibrahim Isa), seputar rencana 20 penobatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Disimpulkan bahwa Soeharto tidak memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional, karena menurut Peraturan Presiden No: 33 Tahun 1964, tentang syarat sebagai Pahlawan Nasional. Diantara syarat tersebut antara lain; (a) warganegara yang dalam sejarahnya ambil bagian dalam perjuangan aktif membela bangsa dan negara, (b) dalam perjalanan hidupnya tidak boleh cacat dalam pelanggaran ini dan itu. Menurut Ibrahim Isa, Soeharto sebagai prajurit pernah melakukan pembangkangan terhadap atasannya. Pada tanggal 3 Oktober 1966 Soekarno mengangkat Jendral Pranoto Reksosamudro sebagai pimpinan Angkatan Darat menggantikan Jendral A. Jani yang terbunuh pada peristiwa G 30 S/PKI. Keputusan pengangkatan itu ditolak oleh Soeharto, dengan alasan jabatan itu sudah ditangannya sebagai penguasa keadaan. Penyataan yang sama juga pernah disampaikan oleh Inu Kencana Syafiie(Syafiie, 2002:30). Kedua, pada saat Soeharto menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, diduga melalukan penyelundupan bahanbahan ekspor Indonesia bersama Liem Sioe Liong, kemudian dicopot dari jabatannya. Jadi Soeharto dianggap tidak memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional (Isa, 2011:3). Alasan lain untuk menolak sebagai pahlawan national: pelanggaran HAM berat selama menjadi presiden, serta keterlibatannya korupsi besar-besaran (Isa,2011:2). Ke-enam; Jurnal Istiqlal (7 Juli 2000), tulisan Sulangkang Suwalu dengan judul: “Para Pendukung Soeharto Terus Pertahankan Tap No. XXV/MPRS/1966”. 21 Strategi Soeharto sudah dimulai sejak Sidang Kabinet tanggal 11 Maret 1966. Sebagai anggota kabinet, Soeharto sengaja tidak hadir dalam sidang kabinet tersebut. Menurut Frans Seda, beliau sengaja tidak hadir pada sidang tersebut, dan sengaja membuat panik Presiden dan para Menteri, dengan menggerakkan mahasiswa untuk demonstrasi di luar istana. Untuk melindungi para demonstran, Soeharto mengerahkan pasukan tanpa identitas. Akibatnya sidang kabinet kacau karena melihat ada pasukan tak dikenal yang mengepung istana. Akhirnya sidang diakhiri dan Soekarno segera meninggalkan Istana Negara Jakarta menuju Istana Bogor. Malam harinya Soeharto menugaskan tiga orang Jendral (M.Jusuf, Amir Mahmud dan Basuki Rakhmat) untuk menghadap Presiden dengan pesan agar beliau diberi kekuasaan yang lebih luas untuk pengamanan di Istana Negara, dan kemudian dibuatlah Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 tersebut. Ke-tujuh; Hakekat Supersemar adalah perintah pengamanan jalannya pemerintahan dan pengamanan pribadi Presiden Soekarno, jadi bukan pelimpahan wewenang (transfer of authority). Kebijakan Soeharto untuk mengambil langkahlangkah telah melampui batas kewenangannya. Hal itu pernah diperingatkan oleh Soekarno pada tanggal 13 Maret 1966, dengan mengirim surat lewat Letjen Leimena dan Brigjen Hartono. Setelah membaca surat itu, Soeharto berkata: ”sampaikan pada bapak Presiden, semua yang saya lakukan atas tanggung jawab saya sendiri”. Setelah mendengar jawaban Soeharto itu, Soekarno kembali menegaskan bahwa perintah kepada Letjen Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966 22 adalah penugasan administratif sehari-hari. Oleh karena itu harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada saya. Pada tanggal 12 Juni 1966, A.H.Nasution selaku ketua MPRS bersama Soeharto membawa Surat Perintah 11 Maret 1966 ke Sidang Umum MPRS, dan akhirnya keluarlah ketetapan No. IX/MPRS/1966, tentang pengangkatan pengemban Supersemar (Soeharto) sebagai Pejabat Presiden. Langkah berikutnya adalah dengan dipenuhinya usul DPR-GR (versi Soeharto) untuk mengadakan sidang istimewa, sidang dimulai tanggal 7 sampai dengan tanggal 12 Maret 1967. Sidang menghasilkan keputusan politik yang luar biasa, yaitu dikeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS1967 tentang pencabutan kekuasaan Soekarno, dan ketetapan No. XXXVI/MPRS1967 tentang larangan semua ajaran-ajarannya. Serangkaian strategi Soeharto untuk menyusun kekuatan dan mempertahankan kekuasaan tersebut kemudian dikenal dengan ”Kudeta Merangkak” sang Jendral Soeharto (Adam, 2009:33,147,153). Itulah beberapa survei dan hasil penelitian sebelumnya, terkait dengan kepemimpinan Soeharto. Diharapkan memformulasikan model kepemimpinan hasil penelitian ini mampu yang baru dan menyempurnakan hasil penelitian sebelumnya. Disamping itu “historical research” juga memiliki makna yang dalam, kaitannya dengan kasus penyesatan pernah terjadi (G30S/PKI tertulis G30S) saja, pada fakta sejarah yang buku sejarah nasional di sekolah. 23 Beberapa alasan inilah yang mendasari penelitian ini, sehingga sangat menarik untuk dikaji kembali, khususnya untuk menemukan formulasi baru strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto. Setiap pemimpin akan mengalami masa kejayaan dan masa krisis, ada kekurangan dan juga ada kelebihan. Keberhasilan yang dicapai Soeharto akan terus diteladani, dipertahankan dan disempurnakan, dan segala kekurangan akan menjadi pelajaran berharga buat generasi berikutnya untuk diperbaiki. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, untuk mengkaji dan menganalisis strategi manajemen Soeharto pada masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Bagaimana Soeharto sebagai seorang mantan militer mampu mengendalikan suatu pemerintahan yang saaat itu pada kondisi yang karut-marut berubah menjadi Negara yang mampu berswasembada pangan dalam waktu relatif singkat. Bagaimana Soeharto melakanakan prinsip-prinsip manajemen, seperti: membuat perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan dan pengelolaan (actuating) serta melakukan pengendalian (controlling). Kedua, untuk mengkaji dan menganalisis strategi kepemimpinan Soeharto pada masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Seperti diketahui bahwa kepemimpinan yang berhasil, adalah mereka yang mampu mengubah suatu organisasi dari situasi terpuruk menjadi mapan. Kepemimpinan adalah “kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang telah ditetapkan” (Robbins, 24 2008:49). Sedangkan Maxwell dalam Nawawi (2010b:165) mengatakan bahwa: “kepemimpinan itu kemampuan untuk memperoleh pengikut”. Untuk itu, maka agar supaya kepemimpinan itu mampu mempengaruhi orang lain untuk mendapatkan pengikut, maka diperlukan suatu strategi. Diantara strategi yang dilakukan oleh Soeharto untuk mempengaruhi pengikutnya adalah melalui: stuktur politik, jalur ABRI., Birokrat dan Golkar (ABG), lewat Partai politik dalam pemilihan umum, serta konstitusi ideologis. Oleh karenanya pada penelitian ini, untuk mengkaji dan menganalisis strategi kepemimpinan Soeharto adalah merupakan agenda yang sangat penting. 1.3 Manfaat Penelitian 1) Manfaat teoritis: a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu manajemen, khususnya bidang manajemen publik di Indonesia. b) Sebagai bahan kajian bagi mereka yang akan melakukan penelitian lebih lanjut, terkait dengan obyek penelitian tentang manajemen publik. 2) Manfaat praktis: a) Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi peneliti untuk memenuhi sebagian syarat dalam memperoleh gelar Doktor ilmu manajemen dalam bidang manajemen publik. 25 b) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah saat ini dan yang akan datang dalam mengimplementasikan hasil kajian ini. Hasil kajian diharapkan dapat menjadi acuan bagi penguasa yang akan datang, bagaimana Soeharto membangun ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan nasional dan sosial budaya berdasarkan visi, dan misi organisasi. c) Membuat kebijakan bagi pemerintah dalam menetapkan strategi kepemimpinan yang lebih terencana untuk menggerakkan sendi-sendi kehidupan organisasi negara, dalam mewujudkan tujuan Negara sebagai visi organisasi, serta mampu menciptakan pemerintahan yang stabil, efektif dan efisien. 1.4 Motivasi Penelitian Penelitian ini termotivasi oleh beberapa hal sebagai berikut. Pertama, menyadari adanya indikasi yang mendorong struktur politik, baik supra struktur maupun infra struktur yang ingin melanggengkan kekuasaan dan atau memperpanjang masa jabatan presiden lebih dari dua periode, sehingga cenderung terjadi penyimpangan terhadap hasil amandemen UUD 1945. Kedua, terdapat kontradiksi terhadap keberhasilan kepemimpinan Soeharto pada masa Pemerintahan Orde Baru, sehingga terjadi pro dan kontra terhadap keberhasilan kepemimpinannya. Ke-tiga, dimungkinkan pada suatu saat akan terjadi penyesatan fakta sejarah, sehingga dikhawatirkan pada waktu mendatang akan menimbulkan penyesatan pemahaman dari generasi yang akan datang. Ke-empat, keberhasilan kepemimpinan Soeharto yang telah dirasakan oleh seluruh rakyat 26 Indonesia, dan banyak mendapat penghargaan internasional, ternyata sampai sekarang Soeharto dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional. Beberapa motivasi inilah yang mendorong peneliti, guna mendapat pencerahan terhadap beberapa kemungkinan terjadi penyesatan fakta sejarah. 1.5 Pertanyaan Penelitian Setelah mengkaji tentang latar belakang mendorong penulis masalah penelitian, akhirnya untuk melakukan penelitian ini. Adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia? 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Adapun ruang lingkup kajian dibatasi sejak masa pemerintahan Soeharto yaitu sejak lahirnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) sampai Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia (21 Mei 1998). Ruang lingkup terkait lahirnya Supersemar, juga di awali sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI tahun 1965, karena perlu dikaji tentang siapa sebenarnya pelaku pada peristiwa tersebut, mengapa hal tersebut sampai terjadi, serta siapa saja sebenarnya yang ikut terlibat dan bagaimana keterlibatannya. Dengan mengkaji hal-hal tersebut, diharapkan seluruh bangsa Indonesia tetap waspada terhadap bahaya laten komunis, sehingga tidak akan terulang lagi pada masa yang akan datang. 27 28