8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Aktivitas Oral

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Aktivitas Oral
Siswa memiliki jenis aktivitas belajar yang beragam dan menuntut setiap
guru untuk mampu merencanakan kegiatan pembelajaran yang bervariasi
sehingga siswa tidak merasa bosan. Guru harus mampu menimbulkan aktivitas
siswa pada proses pembelajaran. Siswa akan bertanya, mengajukan pendapat dan
berdiskusi dengan guru, bertindak, menjalankan perintah, melaksanakan tugas,
membuat grafik, diagram, serta membuat intisari dari pelajaran. Siswa yang
menjadi partisipan aktif akan memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
baik. Pembelajar harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas proses belajar tidak
mungkin terjadi. Sardiman (2011) menyatakan bahwa dalam belajar sangat
diperlukan adanya aktivitas, tanpa adanya aktivitas belajar tidak mungkin
berlangsung dengan baik.
Aktivitas
belajar
adalah
kegiatan
dan
kesibukan
dalam
proses
pembelajaran. Aktivitas peserta didik merupakan hal yang sangat penting dan
perlu diperhatikan oleh guru dalam proses belajar agar mendapat hasil yang
optimal. Prinsip dari suatu proses pembelajaran adalah berbuat untuk mengubah
tingkah laku pembelajar. Aktivitas belajar siswa dapat berpengaruh terhadap
proses perubahan tingkah lakunya (Sardiman, 2011).
Perubahan tingkah laku yang baru diperoleh melalui proses belajar sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto,
2003). Perubahan tingkah laku merupakan tujuan dari pembelajaran, sehingga
perbedaan aktivitas belajar dapat berpengaruh terhadap proses perubahan tingkah
laku siswa dalam proses pembelajaran (Sardiman, 2011). Perubahan tingkah laku
dalam pembelajaran dapat ditunjukkan dengan adanya keterlibatan siswa.
Keterlibatan siswa menurut Usman (2009) diperbaiki dengan memberikan
kesempatan dan waktu yang lebih banyak dan efektif kepada siswa untuk belajar
secara mandiri dan menemukan sendiri konsep materi, mengajak siwa untuk
8
9
terlibat dalam kegiatan eksperimen, percobaan, praktikum, tanya jawab maupun
diskusi. Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran juga membutuhkan
penerapan model pembelajaran yang mengakomodasi kegiatan siswa secara aktif
melakukan
berbagai
aktivitas-aktivitas
belajar
yang
menunjang
proses
pembelajaran. Proses pembelajaran dapat mempengaruhi keaktifan siswa secara
langsung dalam pembelajaran.
Keaktifan siswa menurut Sardiman (2011) dapat digolongkan menjadi 8
jenis aktivitas sebagai berikut: a) Visual activities, yang termasuk di dalamnya
misalnya: membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan
orang lain; b) Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya,
memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi,
interupsi; c) Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian,
percakapan, diskusi, pidato, music; d) Writing activities, misalnya menulis cerita,
karangan,
laporan,
angket,
menyalin;
e)
Drawing
activities,
misalnya
menggambar, membuat grafik, peta, diagram; f) Motor activities, yang termasuk
di dalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model,
mereparasi, bermain, berkebun, beternak; g) Mental activities, sebagai contoh
misalnya: menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat
hubungan, mengambil keputusan; h) Emotional ectivities, seperti misalnya
menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang,
gugup.
Kriteria aktivitas belajar siswa dapat digolongkan menurut tingkatannya
sesuai dengan nilai yang diperoleh, yaitu: a) Baik: apabila aktivitas belajar siswa
mencapai lebih dari 75%; b) Cukup baik: apabila aktivitas belajar siswa mencapai
antara 56 – 75%; c) Kurang baik: apabila aktivitas belajar siswa mencapai antara
40 – 55%; d) Tidak baik: apabila aktivitas belajar siswa mencapai kurang dari
40%. Keberhasilan suatu pembelajaran menurut Mulyasa (2006) adalah
setidaknya 75% siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran melalui
adanya aktivitas-aktivitas belajar.
Aktivitas belajar merupakan penekanan pembelajaran kompetensi, yaitu
proses pembelajaran yang dilakukan menekankan tercapainya suatu tujuan yang
10
dapat berupa indikator yang dikehendaki (Yamin, 2007). Aktivitas belajar siswa
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas oral siswa dalam belajar
biologi yang meliputi 2 kategori yaitu; a) kategori menjawab dapat dirinci ke
dalam 2 sub kategori yaitu; jawaban kepada pengajar dan jawaban kepada
pembelajar lain; b) Kategori berbicara/bertanya/berkomentar dapat dirinci ke
dalam 2 sub kategori, yaitu; pembelajar berbicara/bertanya kepada pengajar dan
pembelajar berbicara (bertanya atau berkomentar) kepada pembelajar lain
(Herlanti, 2006).
Menurut Reid (2009), berbicara tidak bisa dipandang remeh, sehingga
penting untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk berbicara. Beberapa
orang tidak menyadari permasalahan sampai mereka benar-benar mengatakannya.
Adanya oral activities siswa seperti mengemukakan suatu fakta atau prinsip,
menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan memberi saran,
mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi, siswa akan
mengalami proses berpikir. Menurut Khodijah (2014), berpikir merupakan proses
penting yang terjadi di dalam belajar, karena tanpa berpikir atau memikirkan apa
yang dipelajari seseorang tidak akan memperoleh pemahaman dan pengetahuan
tentang apa yang dipelajarinya selama proses pembelajaran.
Proses pembelajaran yang baik harus selalu menampakkan oral activities
dalam berbagai bentuk kegiatan, baik segi fisik yang mudah diamati seperti
membaca, bertanya, mengamati, melakukan percobaan, maupu kegiatan mental
yang sulit diamati, seperti membandingkan konsep, menyimpulkan hasil
percobaan dan aktivitas-aktivitas mental yang lain (Omodora, 2013). Siswa yang
bersifat partisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran lebih baik dibandingkan
siswa pasif menerima konsep dari guru. Siswa seharusnya terlibat dalam banyak
aktivitas yang dapat meningkatkan keterampilan. Aspek oral activities seperti
bertanya atau menjawab berbagai petanyaan menjadikan pengetahuan yang
diperoleh peserta didik akan lebih meninggalkan kesan. Peserta didik akan
mengingat dengan apa yang telah ditanyakan, dengan jawaban yang telah
diberikan gurunya.
11
2. Profil Interaksi Oral Siswa dan Guru
a. Profil Oral berdasarkan VICS Flanders
Interaksi lisan antara guru dan siswa akan berlangsung secara terus
menerus di dalam kelas. Profil interaksi lisan antara guru dengan siswa telah
dirumuskan oleh Flander dalam Verbal Interaction Category System (VICS)
atau sistem interaksi kategori verbal. Sistem VICS Flanders menggunakan
skala tunggal yang terdiri atas 10 kategori untuk memetakan kejadiankejadian interaksi dalam proses belajar mengajar. Ke-10 kategori tersebut
dapat dirinci lebih jauh kedalam tiga sub kategori masing-masing
berhubungan dengan perilaku mengajar, perilaku pembelajaran, dan keadaan
kelas non-interaktif. Subkategori perilaku pengajar dibagi lebih jauh kedalam
pengaruh langsung dan pengaruh tak langsung (Iksan, 2011). Fungsi dari
skema VICS Flnders menurut Inamullah (2008) adalah untuk menganalisis
dan mengetahui peningkatan keterampilan guru saat mengajar. VICS Flanders
dapat digunakan untuk mengkategorikan kuantitas oral siswa di dalam kelas.
Fungsi VICS Flanders adalah untuk mengetahui sifat dominasi guru di kelas
yang mengakibatkan pasifnya siswa selama pembelajaran.
Skema VICS Flanders dapat digunakan untuk melihat dan memahami
pola interaksi yang terjadi selama proses belajar mengajar. VICS Flanders
merupakan gambaran kegiatan interaksi yang terjadi didalam kelas antara
guru dengan siswa. Skema VICS Flanders dapat digunakan untuk mengukur
lisan siswa berdasarkan 2 kategori yaitu: (1) kategori menjawab dapat dirinci
ke dalam 2 sub kategori yaitu jawaban kepada pengajar dan jawaban kepada
pembelajar lain; (2) Kategori berbicara/bertanya/berkomentar dapat dirinci ke
dalam 2 sub kategori yaitu pembelajar berbicara/bertanya kepada pengajar
dan pembelajar berbicara (bertanya atau berkomentar) kepada pembelajar lain
(Herlanti, 2006). Menurut Simon dan Boyer VICS adalah skema yang dapat
digunakan untuk melihat dan memahami pola interaksi yang terjadi selama
proses belajar mengajar. VICS merupakan gambaran kegiatan interaksi yang
terjadi didalam kelas antara guru dengan siswa. Rincian VICS menurut
Flanders ditampilkan pada Tabel 2.1.
12
Tabel 2.1. Kategori Skema VICS Flanders
Pengajar
DIMENSI
A. Mulai
NO
1
KATEGORI DAN DESKRIPSI
Menyajikan informasi atau pendapat, digunakan apabila pengajar
menyajikan konten, fakta atau opini, ekplanasi, diskusi, dan pertanyaan
retorika juga termasuk.
2
Memberikan arahan, digunakan apabila pengajar memberikan perintah,
arahan, atau petunjuk agar pembelajar melakukan mematuhinya. Contoh:
coba lihat halaman 14.
Mengajukan pertanyaan sempit, digunakan apabila jawaban pertanyaan
diperkirakan mudah dijawab oleh pembelajar. Ini mencakup drill tanya
jawab yang menghendaki jawaban satu atau dua kata. Contoh: Apakah ini
benar?
Mengajukan pertanyaan luas, digunakan bilamana suatu pertanyaan agak
terbuka menghendaki pemikiran, atau mengesankan sebagai suatu
pendapat atau perasaan. Contoh: Mengapa kamu pikir model gelombang
dapat menjelaskan dengan memuaskan.
5a. Menerima pendapat, digunakan apabila pengajar menerima,
memantulkan, menjelaskan, atau memuji pendapat pembelajar. Juga
jika pengajar mengulangi, menyimpulkan, atau mengomentari
pendapat pembelajar. Contoh: bagus, itu jawaban yang cukup baik.
3
4
Menjawab
6. Menolak
5. Menerima
B.
A. Menjawab
7.
5b
.
5c.
Menerima perilaku, digunakan apabila pengajar menerima dan
menggiatkan perilaku. Contoh: hasil percobaanmu bagus!
Menerima perasaan, digunakan bilamana pengajar merefleksikan
perasaan pembelajar, atau menjawab perasaan dengan
menyenangkan. Contoh: tidak heran kamu kecewa.
6a. Menolak ide, digunakan apabila pengajar menolak, mengeritik,
mengabaikkan, atau kurang menggiatkan ide pembelajar. Contoh:itu
tidak benar!
6b Menolak perilaku, digunakan apabila pengajar mengomentari atau
.
mengeritik untuk menekan perilaku pembelajar yang kurang
diterima. Contoh: duduk. Apa yang kamu kerjakan?
6c. Menolak perasaan, digunakan untuk mengabaikkan pertanyaan atau
perasaan pembelajar. Contoh: Apa kamu tidak malu, jangan libatkan
perasaanmu!
Jawaban kepada pengajar
7a.
Pembelajar
8
C.
Berbicara/b
ertanya/ber
komentar
LAINNYA
9
10
11
12
(Sumber: Herlanti, 2006)
Dapat diprediksi, biasanya mengikuti kategori 3
dan bersifat pendek, apakah simbol atom carbon?
Jawaban C
7b.
Tidak dapat memprediksi, biasanya mengikuti
kategori 4, atau juga 3: Apakah yang
menyebabkan bengkok tersebut? Dijawab:
sebabnya tidak satu. Atau mungkin banyak sebab.
Jawaban kepada pembelajar lain, digunakan apabila seorang pembelajar
menjawab pembelajar lain.
Bicara/bertanya kepada pengajar, pembelajar membuka pembicaraan
kepada pengajar.
Bicara (bertanya atau berkomentar) kepada pembelajar lain, pembelajar
membuka pembicaraan (pertanyaan atau komentar) kepada pembelajar
lain)
Senyap, karena adanya kegiatan membaca, atau latihan. Jika berlangsung
lama, dibuat catatan dipinggir tabel
Kebingungan, terjadi keributan yang mencolok, dan kegaduhan, tidak
seperti direncanakan.
13
Tabel 2.2. Matriks Hubungan antarkategori VICS
Pengajar
1
2
3
4
5a
Pembelajar
Dimensi Pengajar
1
2
3
A
4
5a
5b
5c
D
6a
6b
6c
7a
7b
K
8
9
P
10
11
12
(Sumber: Herlanti, 2006)
5b
5c
6a
6b
6c
Pembelajar
7a
7b
B
8
9
10
11
12
C
E
F
G
H
I
J
L
M
Q
R
N
S
O
T
U
Pengertian daerah-daerah (A-U) yang terdapat dalam matriks hubungan
antar kategori pada Tabel 2. dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) daerah A
merupakan daerah orientasi guru atau daerah informing, interaksi yang
digambarkannya adalah interaksi satu arah, guru menginformasikan dan siswa
mendengarkan. Jika daerah ini menunjukkan frekuensi tinggi dibandingkan daerah
lainnya maka hal itu mengindikasikan bahwa guru mendominasi pembelajaran;
(2) daerah B merupakan daerah yang menggambarkan bagaimana guru menerima
atau menolak pendapat, perilaku, perasaan siswa yang direspon guru dengan
pemberian informasi, perintah atau pertanyaan kepada siswa; (3) daerah C
merupakan daerah yang menggambarkan bagaimanan siswa-siswa memberikan
aksi berupa jawaban atau pendapat yang direspon guru dengan pemberian
informasi, perintah, atau pertanyaan; (4) daerah D merupakan daerah yang
menggambarkan bagaimana guru memberikan aksi berupa penyajian informasi,
arahan atau pertanyaan yang direspon guru dan menerima pendapat atau menolak
pendapat siswa; (5) daerah E, G, L, Q merupakan daerah yang menggambarkan
14
bagaimana guru menerima respon, ide atau perilaku siswa. Jika frekuensi daerahdaerah ini tinggi maka hal itu mengindikasikan bahwa guru memberikan dorongan
yang memadai untuk meningkatkan keaktifan siswa; (6) daearah F merupakan
daerah yang menggambarkan bagaimana guru menolak pendapat atau perilaku
siswa kemudian menerimanya; (7) daerah H merupakan daerah yang
menggambarkan bagaimana guru menerima pendapat atau perilaku siswa
kemudian menolaknya; (8) daerah I, J, M, dan R merupakan daerah yang
menggambarkan sejauh mana guru menolak pendapat dan perilaku siswa, jika
frekuensi daerah-daerah tersebut yang tinggi. Hal itu menggambarkan bahwa guru
kurang mendorong siswa untuk berinisiasi; (9) daerah N, O, S, dan T merupakan
daerah inisiasi siswa, jika frekuensi daerah-daerah ini tinggi maka hal itu
menggambarkan terjadinya diskusi antar sesama siswa; (10) daerah K merupakan
daerah yang menggambarkan siswa memberi jawaban-jawaban respon terhadap
pertanyaan-pertanyaan atau informasi guru; (11) daerah P merupakan daerah yang
menggambarkan siswa mengambil inisiatif untuk mengajukan pendapat atau
pertanyaan kepada guru; (12) daerah U merupakan daerah yang menggambarkan
keadaan kelas diam (senyap) atau terjadi keributan atau kejadian-kejadian lain
yang tidak direncanakan sebelumnya (Herlanti, 2006).
b. Pengelompokan Oral Activities berdasarkan Harper
Harper, et al (2003) menyusun tahap pertanyaan lisan berdasarkan
pada tingkat kesukaran pelajar memahami suatu konsep yang dimulai dari
tingkatan yang paling rendah kesukarannya untuk pelajar memahami suatu
perkara hingga ke tingkatan yang paling tinggi kesukarannya. Pelajar yang
bertanya dengan pertanyaan lisan pada tingkatan yang tinggi menunjukkan
pemahaman
tentang
konsep
tersebut
lebih
mendalam.
Tabel
2.3.
menunjukkan hierarki pertanyan lisan berdasarkan pada tingkatan kesukaran
pemahaman terhadap suatu konsep.
15
Tabel 2.3. Tingkatan Kesukaran Pertanyaan Lisan yang diutarakan Pelajar
Tingkatan
Pertanyaan
Lisan
Minimum
Rendah
Sedang
Tinggi
Deskripsi
Contoh
Pertanyaan lisan berkaitan masalah
definisi. Apa ini?
Pelajar menghadapai masalah dalam
memahami apa yang hendak diterangkan
oleh guru. Apa yang guru hendak
terangkan?
Apakah tujuan eksperimen ini
dijalankan?
Pelajar menghadapi kesukaran dalam
cara kerja, bagaimana untuk melakukan
eksperimen.
Pelajar ingin mengetahui bagaimana
suatu konsep itu berkaitan dengan
konsep yang lain.
Saya masih bingung untuk
memilih sistem yang sesuai
untuh diagram ini.
Apa kaitannya tarikan grafitasi
pada bumi dengan bumi
mengelilingi matahari?
(Sumber: Harper, 2003)
c. Pengelompokan Oral Activities berdasarkan Zohar dan Flora
Aspek mengemukakan pendapat menurut Zohar & Flora (2002),
dibagi menjadi beberapa kategori. Rincian kategori mengemukkakan
pendapat menurut Zohar ditampilkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Aspek Mengemukakan Pendapat
Penjelasan
Kategori
Explicit conclusion Pernyataan yang menunjukkan kesimpulan yang
tegas
Justification
Berupa pernyataan atau pembenaran
Concession
Berupa pernyataan kelonggaran
Opposition
Berupa pernyataan pertentangan
Counter opposition Berupa pernyataan menjawab pertentangan
(Sumber: Zohar, 2002)
3. Pendekatan Konstruksivisme dan Kontekstual
Pendekatan pembelajaran ialah suatu jalan yang akan ditempuh oleh guru
dan siswa dalam pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan. Pendekatan
merupakan cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian untuk
dapat mengembangkan keaktifan belajar sehingga tujuan pengajaran dapat
tercapai (Sagala, 2009). Pendekatan kontekstual dan konstruktivisme merupakan
16
pendekatan yang dianggap paling tepat untuk diterapkan dan dijadikan sebagai
solusi untuk dapat meningkatkan keaktifan siswa terutama oral activities siswa.
a. Pendekatan Konstruksivisme
Pendekatan konsruksivisme merupakan salah satu pendekatan yang
memandang anak sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan
melalui
interaksi
dengan
lingkungannya.
Pendekatan
konstruksivisme menekankan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Siswa harus lebih aktif untuk
membangun struktur pengetahuannya. Siswa tidak diharapkan sebagai botolbotol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan
kehendak guru dalam proses pembelajaran (Daryanto, 2013).
Proses pembelajaran yang dikehendaki oleh guru adalah siswa
mampu mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri melalui objek, fenomena,
pengalaman, dan lingkungan mereka melalui penerapan sebuah pendekatan
konstruksivisme. Pendekatan konstruksivisme menekankan pentingnya siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif siswa dalam
proses belajar mengajar, sehingga rasa ingin tahu siswa lebih berkembang
(Trianto, 2007a). Pendekatan konstruksivisme merupakan pendekatann yang
menempatkan peserta didik untuk membangun pengetahuannya sendiri secara
aktif.
b. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey
(1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa
yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan
atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini
menekankan
pada
transfer
ilmu
pengetahuan,
mengumpulkan
dan
menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara
individu maupun kelompok. Fungsi dari pendekatan kontekstual adalah siswa
menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan
di kehidupan nyata dan memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar
(Daryanto, 2013).
17
Fungsi pendekatan kontekstual menurut Mulyasa (2006) adalah
menjadikan siswa lebh aktif dan mampu mengatur diri sendiri sehingga dapat
mengembangkan minat pada peserta didik dan mampu bekerja sendiri
maupun dalam kelompok. Penerapan pendekatan kontekstual menjadikan
proses belajar mengajar di kelas menjadi menarik dan menyenangkan dan
mendorong keaktivan siswa. Melalui pendekatan kontekstual siswa
diharapkan belajar melalui pengalaman, dan bukan lagi hanya menghapal,
karena pengetahuan bukanlah hanya seperangkat fakta dan konsep yang siap
diterima, tetapi sesuatu yang harus direkonstruksi sendiri oleh siswa
(Johnson, 2006). Pendekatan kontektual menekankan pada keterkaitan antara
materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata,
sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses
penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan
merasakan pentingnya belajar, dan mereka akan memperoleh makna yang
lebih mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Pembelajaran kontektual
mendorong peserta didik memahami hakekat, makna, dan manfaat belajar,
sehingga memungkinkan mereka rajin dan termotivasi senantiasa belajar,
bahkan kecanduan belajar (Mulyasa, 2006)
4. Metode Diskusi dan Investigasi
a. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah cara penyampaian bahan pelajaran yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengumpulkan
pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan
masalah Metode diskusi adalah suatu metode yang melibatkan dua atau lebih
individu yang berintegrasi secara verbal. Metode diskusi dapat merangsang
siswa dalam belajar dan berpikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya.
Diskusi mengandung unsur-unsur demokratis, berbeda dengan ceramah,
diskusi tidak diarahkan oleh guru, siswa-siswa diberi kesempatan untuk
mengembangkan ide-ide mereka sendiri (Anitah, 2009).
18
Siswa diberi banyak kesempatan untuk melakukan tanya jawab supaya
tidak terjebak pada jalan pemikiran sendiri, yang kadang salah, penuh
prasangka dan sempit, karena dengan diskusi peserta didik dapat
mempertimbangkan alasan orang lain (Suryosubroto, 2007). Metode diskusi
ini merupakan metode pembelajaran yang mengarahkan pembelajaran untuk
berpusat kepada siswa. Penerapan metode diskusi bertujuan supaya peserta
didik aktif dan memperoleh pengetahuan berdasarkan hasil temuannya
sendiri. Metode diskusi memberikan peluang untuk menciptakan suasana
aktif dan menyenangkan saat pembelajaran. Pembelajaran yang menggunakan
metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif (Gagne &
Briggs, 1979).
b. Metode Investigasi
Penerapan metode investigasi dilakukan dengan cara melibatkan
peserta didik dalam kegiatan investigasi suatu tema, kasus, atau topik tertentu.
Metode investigasi mampu melatih keterampilan bekerja secara ilmiah,
berkomunikasi dan bekerjasama dalam kelompok. Metode investigasi dapat
meningkatkan
aspek-aspek
keterampilan
termasuk
keterampilan
berkomunikasi. Metode ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar dengan mempraktikkan keterampilan berkomunikasi, belajar berfikir
rasional, memahami proses
komunikasi yang benar dan bagaiman cara
belajar yang baik (Anitah, 2009).
5. Model yang Diterapkan
a. Karakteristik Model Discovery Learning
Discovery learning berasal dari kata “discover” yang berasal dari
bahasa latin “discooperire” yang artinya adalah menemukan atau mencari
tahu tentang fakta dan kenyataan (Seel, 2012). Menurut Janine (2004),
karakteristik model Discovery learning adalah fokus pembelajaran terletak
pada sebuah penemuan konsep-konsep dari hasil observasi, penelitian,
maupun percobaan. Discovery learning merupakan model pembelajaran
berdasarkan pada aktivitas penemuan yang bersifat student centered dengan
19
melibatkan partisipasi aktif siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator bagi
siswa, dengan memberikan stimulus berupa fenomena-fenomena yang
menarik minat siswa dengan kegiatan penemuan dan pemecahan masalah
selama proses pembelajaran (Nbina, 2013).
Discovery learning adalah model pembelajaran yang berpusat pada
siswa (student centered) yang melatihkan kemandirian untuk meningkatkan
ketrampilan dan proses kognitif. Model tersebut melibatkan partisipasi aktif
siswa untuk mengamati, merumuskan, menggolongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, serta menarik kesimpulan yang mendorong siswa menemukan
konsep dan prinsip materi melalui proses mentalnya sendiri selama proses
pembelajaran berlangsung (Holmes, 2000). Discovery learning menurut
Gijlers & de Jong (2005) memiliki kelebihan, yaitu dapat meningkatkan
keaktifan siswa dan kemampuan siswa dalam bertanya selama proses
pembelajaran. Discovery learning dapat dijadikan sebagai alternatif
pembelajaran yang mengakomodasi kegiatan belajar siswa, sehingga melalui
penerapan model discovery learning, oral activities siswa dapat meningkat.
Discovery learning menurut Balim (2009) merupakan suatu model
dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan siswa dan
kemampuan siswa dalam bertanya dibandingkan dengan penggunaan motode
tradisional. Discovery learning terdiri dari kegiatan yang meliputi kegiatan
eksplorasi
dan
pemecahan
masalah
untuk
mengintegrasikan
dan
mengeneralisasikan pengetahuan, dan bertujuan untuk membangun dan
mendorong pemahaman baru yang didasari pada pengalaman yang nyata
(Castillo, 2008). Discovery learning merupakan pembelajaran yang dilakukan
dengan mengkonstruksi atau membangun fenomena dan pengetahuan melalui
penyelidikan dengan prosedur metode ilmiah untuk menemukan suatu
pemahaman dalam pembelajaran (Klahr & Nigam, 2004). Discovery learning
menurut Bruner dalam Cruisckshank, Jenkinks, dan Metcalf (2009) bertujuan
memberikan
kesempatan
siswa
mengoleksi,
mengorganisasi,
dan
menganalisis data atau bahan yang dipelajari untuk kemudian digeneralisasi
menjadi suatu bentuk akhir. Discovery adalah proses pembelajaran yang
20
menitikberatkan pada proses mental intelektual peserta didik dalam
memecahkan berbagai persoalan sehingga menemukan suatu konsep yang
bisa diterapkan dilapangan (Ilahi, 2012).
Discovery Learning menekankan pada aktivitas belajar siswa dan
guru, siswa sebagai subjek utama berperan aktif untuk bertanya, demonstrasi,
dan menunjukkan kuantitas dan kualitas aktivitas belajar yang tinggi dalam
pembelajaran dengan kegiatan praktek laboratorium, pengamatan lapangan,
dan kegiatan diskusi kelas (Oloyede, 2010). Pembelajaran dengan
menggunakan model discovery learning dalam proses belajar mengajar terdiri
dari pusat pembelajaranyang meliputi menurunkan hipotesis, mendesain
eksperimen, dan menginterpretasi data (Swaak, et al., 2004).
b. Sintaks Model Discovery Learning
Prinsip discovery learning menurut Smaldino, et al., (2011) hampir
sama dengan inquiry learning. Sistem pembelajaran menggunakan inquirydiscovery learning adalah guru menyajikan materi pelajaran tidak dalam
bentuk final, namun siswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan
sendiri suatu konsep materi pelajaran dengan menggunakan teknik
pendekatan pemecahan masalah (problem solving technique) yang diawali
dengan kegiatan merumuskan masalah. Kedua model memilki tujuan yang
sama, yaitu untuk memacu pemahaman konsep materi yang lebih mendalam
melalui keterlibatan secara langsung.
Discovery learning menurut Vermaans (2003) memiliki 5 tahapan,
yaitu orientation, hypothesis generation, hypothesis testing, conclusion, dan
regulation. Fase orientation adalah fase guru menstimulus rasa ingin tahu
siswa dengan memberikan fenomena-fenomena masalah sehingga siswa
tertarik mengikuti pembelajaran, mengajak siswa berpikir dan merumuskan
masalah yang sedang dipelajari. Fase hypothesis generation adalah fase siswa
membuat hipotesis atau jawaban sementara dari masalah yang telah temukan
bersama dengan kegiatan kajian literatur. Fase hypothesis testing adalah tahap
siswa
melakukan
kegiatan
praktikum
dan
pengamatan
objek,
menginterpretasi data dan menyajikan data. Fase conclusion adalah fase siswa
21
menarik kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan. Fase regulation adalah
fase siswa menyampaikan hasil dari kegiatan yang dilakukan dan kesimpulan
konsep yang diperoleh, serta evaluasi proses pembelajaran. Langkah-langkah
model discovery learning disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel.2.5. Langkah-langkah Discovery Learning
LangkahKegiatan Siswa
Kegiatan Guru
langkah
Orientation
Mengamati fenomena-fenomena Memberikan fenomenayang ada, membangun konsep
fenomena dan contoh-contoh
awal dan merumuskan masalah permasalahan sehingga siswa
berdasarkan permasalahan yang bisa merumuskan masalah.
ditemukan
Hypothesis
Membuat hipotesis dari rumusan Membimbing siswa untuk
masalah yang telah dibuat
generation
membuat hipotesis
dengan kegiatan kajian literature
Memfasilitasi dan
Hypothesis
Menguji hipotesis dengan
percobaan dan pengamtan,
mengarahkan siswa selama
testing
menganalisis data hasil
kegiatan praktikum
percobaan dan menyajikan data
Conclusion
Menyimpulkan hasil kegiatan
Mengajak siswa
menyimpulkan dan
membangun konsep
Regulation
Mengkomunikasikan hasil
Mengkonfirmasi hasil belajar
percobaan, dan konsep yang
siswa dan memberikan
evaluasi
diperoleh serta mengerjakan
evaluasi.
(Sumber: Veermans, 2003)
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Discovery Learning
Model pembelajaran discovery Learning memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan discovery learning menurut Coffey (2009) antara lain:
meningkatkan oral activities dalam poses pembelajaran, meningkatkan
motivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, mendorong
sikap
mandiridalam
belajar,
serta
mengembangkan
kreativitas
dan
keterampilan menyelesaikan masalah (problem solving). Kelebihan discovery
learning menurut Smaldino, at al., (2011) adalah melibatkan siswa dalam
proses pembelajaran melalui langkah-langkah yang berulang, sehingga
memudahkan siswa untuk meresapi makna dari pembelajaran, dan kendala
22
siswa dalampembelajaran. Discovery learning menurut Cruisckshank, at a.,
(2009) memiliki kelebihan, yaitu mengakomodasi siswa mengembangkan
keterampilan berpikir tinggi meliputi analisis, evaluasi, dan sintesis melalui
proses membangun pengetahuan yang dipelajari. Hasil penelitian yang
mendukung
dilakukan oleh Purwanto (2012) yang menyatakan bahwa
discovery learning mempunyai kelebihan, yaitu menjadikan siswa lebih aktif
dalam pembelajaran, siswa memahami benar konsep yang telah dipelajari,
serta jawaban yang diperoleh menimbulkan rasa puas siswa.
Model discovery learning pada dasarnya sangat cocok diterapkan pada
pembelajaran IPA, karena karakteristik pembelajaran IPA khususnya biologi
lebih menekankan pada aspek proses yang dilakukan dengan praktikum dan
percobaan yang merupakan salah satu komponen dari discovery, yaitu
menemukan dengan cara membuktikan melalui praktikum atau pengamatan
Discovery
objek.
learning
menuntut
siswa
untuk
menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan pemikirannya sendiri, sehingga apabila
dilakukan secara terus menerus dapat meningkatkan keaktifan dan
keterampilan berpikir siswa.
Kekurangan discovery learning menurut Smaldino, at al., (2011)
adalah faktor waktu, belajar penemuan memerlukan banyak waktu karena
dimulai
dari perumusan
masalah
kemudian
diikuti
dengan proses
penyelidikan untuk menemukan konsep.
6. Kerangka Berpikir
Proses belajar mengajar yang baik adalah proses belajar mengajar yang
melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Siswa diarahkan untuk
menemukan konsep pembelajaran yang ingin dicapai. Peran guru hanya sebagai
motivator dan fasilitator. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar siswa, siswa
diberi kesempatan untuk meningkatkan oral activities dalam proses belajar
mengajar.
Permasalahan dalam proses belajar mengajar biologi di kelas X MIA 4
SMA Negeri 2 Karanganyar tahun ajaran 2015/2016 menunjukkan bahwa oral
23
activities siswa masih rendah. Hasil observasi lanjutan dengan meggunakan
indikator aktivitas belajar sebanyak 6 kali observasi ditemukan fakta bahwa ratarata
aspek oral activities siswa cukup rendah sebesar 18,73 %. Observasi
membuktikan bahwa kemampuan oral activities siswa saat pembelajaran dengan
variasi model pembelajaran konvensional tergolong rendah. Oral activites yang
cukup rendah kemungkinan disebabkan oleh guru yang masih cenderung
mendominasi selama proses pembelajaran berlangsung. Guru sering bertindak
sebagai penceramah dan menganggap siswa sebagai botol kosong yang siap diisi
dengan pengertian sebanyak-banyaknya. Akar masalah lain yang ditemukan
selama proses pembelajaran adalah
guru sering menggunakaan
model
pembelajaran ceramah.
Frekuensi penggunaan model ceramah dalam pembelajaran lebih banyak,
yang diketahui dari observasi yang telah dilakukan sebanyak 6 kali. Penggunaan
model pembelajaran ceramah menjadikan aktivitas siswa cenderung mencatat dan
mendengarkan karena tidak adanya interaksi antara guru dengan siswa. Pola
interaksi antara guru dengan siswa dapat diketahui dengan melakukan observasi
lanjutan. Hasil observasi lanjutan dengan skema VICS Flanders menunjukkan
bahwa: siswa mengajukan pertanyaan atau pendapat kepada guru sebesar 8,89%,
siswa memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan atau informasi dari
guru sebesar 11,11%, diskusi antar siswa sebesar 2,22%, dan interaksi satu arah
dari guru ke siswa sebesar 55,55%. Hasil analisis dengan skema VICS Flanders
menunjukkan bahwa proses mengajar di kelas X MIA 4 cenderung didominasi
guru. Guru kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengeluarkan pendapat dan duapertiga lokasi waktu pembelajaran dihabiskakn
oleh guru untuk menjelaskan materi.
Solusi yang efektif dalam mengatasi masalah yang teridentifikasi adalah
melalui penerapan pendekatan, metode, dan model pembelajaran yang dinilai
cocok dan efektif. Pendekatan yang paling efektif dalam mengatasi masalah ini
adalah pendekatan kontekstual dan konstruksivisme karena kedua pendekatan ini
diduga dapat meningkatkan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar
mengajar. Pendekatan kontekstual dan konstruksivisme menekankan siswa untuk
24
mengkonstruksi
pengetahuan
mereka
sendiri
melalui
objek,
fenomena,
pengalaman, dan lingkungan siswa. Kedua pendekatan dapat mencapai tujuan
optimal jika ditunjang dengan penggunaan metode yang tepat pula. Metode
investigasi dan diskusi merupakan metode yang paling tepat, karena kedua metode
ini memberikan peluang kepada siswa untuk menciptakan pembelajaran yang
interaktif dengan bekerja secara ilmiah. Metode pembelajaran tersebut perlu
dikembangkan dalam sebuah sintaks yang diformulasikkan dalam sebuah model
pembelajaran. Model pembelajaran discovery learning dinilai tepat untuk
mendorong siswa untuk lebih aktif. Oral activities siswa dapat diakomodasi dari
sintak yang yang ada di dalam model dicovery learning melalui kegiatan
berdiskusi.
25
B. Kerangka Berpikir
Harapan
 Pembelajaran biologi yang
bersifat
kontekstual
melalui investigasi dan
diskusi sehingga siswa
aktif
terlibat
dalam
pembelajaran
 Pembelajaran dengan pola
interaksi student center.
 Komunikasi banyak arah
Kondisi
 metode ceramah masih dominan (mendengarkan
48,64% dan mencatat 64,86%).
 minat siswa dalam mengikuti pelajaran biologi
kurang (mengobrol dengan teman sebanyak
13,51%).
 kemampuan Oral Activities siswa yang rendah
(aktivitas bertanya 16,21%).
Observasi Lanjutan pada
Pembelajaran dengan Variasi
Model Konvensional
visual activities 60,26%, oral
activities 18,73%, listening activities
61,61%, writing activities 61,65%,
mental activities 39,63%, dan
emotional
activities
43,24%
(Sardiman, 2011).
Masalah yang Dipilih
Kemampuan Oral activities
rendah
Hasil Analisis VICS Flander
Frekuensi terjadinya interaksi satu
arah sebesar 55,56%.
Akibat
 aktivitas siswa mencatat dan
mendengarkan
 keaktifan siswa khususnya oral
activities rendah
SOLUSI
Pendekatan
 Kontekstual
 konstruksivisme
Metode
 Investigasi
 Diskusi
Model
Discovery learning
Sintak Discovery
orientation, hypothesis
generation, hypothesis
testing, conclusion, dan
regulation. Veermans (2003)
Akar masalah
 Guru cenderung mendominasi selama
proses pembelajaran.
 Guru kurang memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengeluarkan
pendapatnya.
 Frekuensi guru menggunakan model
ceramah lebih banyak.
 Pembelajaran berorientasi Teacher
Centered Learning (TCL).
Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir
Target
Terjadi
peningkatan Oral
activities siswa
dalam
pembelajaran
biologi
26
C. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan penelitian adalah penerapan model discovery learning
dapat meningkatkan oral activities siswa Kelas X MIA 4 SMA Negeri 2
Karanganyar Tahun Pelajaran 2015/2016
Download