perbedaan fungsi seksual wanita pasca persalinan

advertisement
1
PERBEDAAN FUNGSI SEKSUAL WANITA PASCA
PERSALINAN PERVAGINAM DENGAN EPISIOTOMI
DAN SEKSIO SESAREA
dr. Made Darmayasa, Sp.OG(K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2013
2
RINGKASAN
Wanita
pada
satu
masa
dalam
hidupnya
kemungkinan
besar
akandihadapkan pada kehamilan yang kemudian akan diikuti dengan proses
persalinan. Proses persalinan memegang kontribusi yang cukup penting
dalamterjadinya disfungsi seksual pada wanita. Aspek ini sering kali terlupakan
olehpara klinisi dalam praktek sehari-hari, padahal masalah disfungsi seksual
padawanita ini sangat mempengaruhi kualitas hidup dari wanita tersebut yang
dapatberdampak pada pasangan pria dan kehidupan pernikahan.Untuk menilai
fungsi seksual wanita digunakan indeks fungsi seksual wanita atau Female Sexual
Function Index (FSFI), dimana skor total ≤ 26,55 dikatagorikan sebagai disfungsi
seksual.
Proses persalinan pada manusia terdiri dari persalinan pervaginam dan
perabdominal melalui operasi seksio sesarea. Meskipun bukan merupakan tindakan
rutin, sebagian besar persalinan pervaginam pertama kali (pada primigravida)
dilakukan tindakan episiotomi mediolateral, sebagai upaya profilaksis untuk
melindungi ibu dari trauma yang lebih luas, ataupun menghindari trauma yang
berlebihan pada kepala bayi. Disisi lain episiotomi sendiri dapat mengakibatkan
gangguan fungsi dasar panggul, lesi saraf pudenda, ataupun komplikasi lainnya
yang dapat berdampak pada fungsi seksual di kemudian hari. Sedangkan salah satu
manfaat yang dirasakan dari kelahiran seksio sesarea adalah sedikitnya paparan
terhadap otot-otot dasar panggul dari kerusakan mekanis, dan dengan demikian
diharapkan dapat melindungifungsi seksual.
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yang dilakukan
mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan September 2012, dan telah
terkumpul 86 orang pasien yang terdiri dari 43 pasca persalinan dengan episiotomi
dan 43 pasca persalinan dengan seksio sesarea.
Hasil penelitian terhadap karakteristik subyek kedua kelompok yaitu umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan
bayi lahir, perawatan medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan
masalah dalam keluarga, menunjukkan hal yang sama sehingga pengaruhnya
3
terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Rata-rata saat mulai hubungan seksual
pada kedua kelompok adalah tiga bulan pasca melahirkan, dimana secara statistik
keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, dengan p > 0,05.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan perbedaan yang tidak bermakna pada
domain rangsangan kedua kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea
masing-masing 4,90±1,45 dan 5,23±0,55 dengan p=0,160, dan domain lubrikasi
masing-masing 5,46±1,21 dan 5,83±0,50 dengan p=0,067. Sedangkan domain
yang lain menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu hasrat, masing-masing
4,70±1,15 dan 5,21±0,62 dengan p=0,014. Orgasme, masing-masing 5,43±1,27
dan 5,85±0,45 dengan p=0,045. Kepuasan, masing-masing 5,16±1,49 dan
5,75±0,56 dengan p=0,018. Nyeri, 5,06±1,62 dan 5,89±0,44 dengan p=0,02, serta
skor total FSFI, masing-masing 13,53±3,02 dan 14,90±0,96 dengan p=0,006. Di
samping uji perbedaan skor total FSFI, fungsi seksual antara kedua kelompok juga
dianalisis dengan uji Chi-square dan didapatkan pada kelompok pasca episiotomi
dengan disfungsi seksual sebanyak 8 orang (18,60%), sedangkan pada kelompok
pasca seksio sesarea sebanyak 1 orang (2,33%) dengan nilai p=0,030. Hal ini
berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual kelompok pasca
persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan kelompok pasca
seksio sesarea.
4
ABSTRAK
Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pasca persalinan
pervaginam dengan episiotomi dan seksio sesarea di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar.
Bahan dan cara kerja : Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional
analitik. Sampel diambil secara consecutive sampling dari bulan Oktober 2011
sampai dengan bulan September 2012. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi didapatkan 86 sampel, terdiri dari 43 pasca episitomi dan 43 pasca
seksio sesarea. Selanjutnya fungsi seksual dinilai dengan pengisian kuisioner FSFI
(Female Sexual Function Index). Skor total kuisioner dianalisis dengan uji tindependent, dan perbedaan fungsi seksual digunakan uji Chi-Square, dengan
tingkat kemaknaan α=0,05.
Hasil : Karakteristik subyek kedua kelompok menunjukkan hal yang sama
sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Rata-rata saat
mulai hubungan seksual pada kedua kelompok adalah tiga bulan pasca melahirkan,
dengan p > 0,05. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara kedua kelompok
pada domain rangsangan dan lubrikasi masing-masing dengan p=0,160, dan
p=0,067. Sedangkan domain yang lain menunjukkan perbedaan bermakna yaitu
hasrat (p=0,014), orgasme(p=0,045), kepuasan (p=0,018), nyeri (p=0,02), dan skor
total FSFI (p=0,006). Pada fungsi seksual kedua kelompok didapatkan disfungsi
seksual masing-masing 18,60% pada pasca episiotomi, dan 2,33% pada pasca
seksio sesarea, dengan nilai p=0,030. Hal ini berarti terdapat perbedaan yang
bermakna pada fungsi seksual kelompok pasca persalinan pervaginam dengan
episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio sesarea.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual wanita
pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio
sesarea.
Kata kunci : Episiotomi, seksio sesarea, fungsi seksual wanita.
5
ABSTRACT
Objective : To determine the difference of sexual function after vaginal delivery
with episiotomy and cesarean section in Sanglah hospital, Denpasar.
Material and method: This research was conducted using cross sectional analytic
method. Sample was collected using consecutive sampling, started from October
2011-September 2012. Eligible sample consist of 86 women, 43 post episiotomy
and 43 post cesarean section. Sexual function was assessed using FSFI (Female
Sexual Function Index). Total score was analyzed using independent t test and
difference of sexual function using chi square, with significance level was α=0,05.
Result : Subject characteristic in both group was not differ significantly, so the
impact on the result can be ignored. The average time to start sexual intercourse in
both group was 3 months after delivery (p>0,05). There was no significant
difference between two groups in sexual arousal and lubrication, with p value
0,160 and 0,67 respectively. It showed a significant difference on other domain,
which is desire (p=0,014), orgasm (p=0,045), satisfaction (p=0,018), pain (p=0,02),
and total FSFI score. Sexual dysfunction in episiotomy group was 18,60% and
2,33% in cesarean section group, with p value 0,030. This result showed a
significant difference in sexual function in both group, post vaginal delivery with
episiotomy and post cesarean section.
Conclusion : There was a significant difference in female sexual function in post
vaginal delivery with episiotomy compared with post cesarean section group.
Key word: Episiotomy, cesarean section, female sexual function
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepanjang sejarah,pembahasan tentangseksualitas wanitatelah banyak
dinyatakandalam
karya
tulissepertiKama
Sutra,
dan
digambarkan
dalamberbagaipatung-patung Venus danDewiKesuburan.Dalam beberapa tahun
terakhirtelah
banyaktulisan
Seksualitasadalah
yang
permasalahan
mengeksplorasiseksualitas
wanita.
komplekskarenameliputiberbagai
masalah,
perilaku,dan proses, termasuk identitasseksual dan perilakuseksual,fisiologis,
psikologis, sosial, budaya, politik, danaspek-aspekspiritual (religius)dari seksitu
sendiri.Namun persoalan seksualitas pasca persalinan masih sedikit yang
menelitinya.
Menurut World Health Organization(WHO), ''kesehatan seksual adalah
suatu keadaanfisik, emosional,mental dan kesejahteraan sosial yang stabil yang
berkaitan denganseksualitas, serta bukan hanya sekedar tidak adanya penyakit,
disfungsi,atau
padaera
kelemahan''(WHO,
1950-an
ketikaMasters
danfisiologiresponseksualmanusia
seksualsetelah
2002).Penelitian
dan
(Masters
melahirkanmerupakan
tentangseksualitasdimulai
Johnsonmenggambarkananatomi
dan
Johnson,
penelitian
baru
1960).Kesehatan
yang
cukup
menarik.Kehamilanitu sendiri dantransisi ke kondisi menjadi orang tua, serta
faktor-faktorlainnya, sangatberdampak padaseksualitas pasca persalinan. Penelitian
terbarutelah menunjukkanbahwa masalah kesehatanseksualdalamperiode pasca
7
persalinanmerupakan masalah yang umum terjadi, tetapi masih sangat sedikit yang
mendapatkan perhatian profesional(Glazener, 1997).
Sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh Consensus Development
Conference on Female Sexual Dysfunction, aspek fungsi seksual dibagi menjadi
empat kategori, yaitu: nyeri, keinginan, gairah, dan gangguan orgasme. Gangguan
nyeri seksual adalah kategori yang paling umum yang mempengaruhi wanita
dalam periode pasca persalinan. Nyeri perineum dan dispareunia adalah masalah
pascapersalinan yang sering terjadi dan mengganggu fungsi seksual yang normal,
yang biasanya terjadi akibat dari trauma perineum, episiotomi, dan instrumentasi
persalinan (Basson, R., dkk. 2000).
Episiotomi sendiri dapat mengakibatkan gangguan fungsi dasar panggul,
lesi pada saraf pudenda, hasil penjahitan yang asimetris, endometriosis, luka yang
melebar dengan perdarahan, infeksi, serta penyembuhan yang lebih lama, yang
semuanya dapat menyebabkan dispareunia ataupun gangguan fungsi seksual
lainnya dikemudian hari (Abdool, 2009).Disisi lain, salah satu manfaat yang
dirasakan dari kelahiran seksio sesarea adalah sedikitnya paparan terhadap otototot dasar panggul dari kerusakan mekanis, dan dengan demikian diharapkan dapat
melindungifungsi seksual. Bila dibandingkan dengan persalinan spontan vagina,
tampaknya logis untuk berasumsi bahwa wanita yang melahirkan melalui
seksiosaesarea akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami nyeri perineum,
sejak risiko persalinan dengan episiotomi ataupun dibantu ditiadakan(Glazener,
1997; Buhling, dkk., 2006). Namun demikian, seksio sesarea sendiri (terutama
yang non elektif) bukannya tanpa bahaya, bahkan terhadap seksualitas itu sendiri.
8
Komplikasi utama persalinan seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti
vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anesthesi,
perdarahan, infeksi, dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada persalinan
seksio sesarea dibandingkan persalinan pervaginam. Sulit untuk memastikan hal
tersebut terjadi apakah dikarenakan prosedur operasinya ataukah karena alasan
yang menyebabkan ibu hamil tersebut harus dioperasi (Rasjidi, 2009). Tetapi
secara umum, episiotomi ataupun seksio sesarea yang mengalami komplikasi akan
berdampak buruk terhadap kehidupan seksual wanita pasca persalinan, baik secara
fisik maupun psikis (Abdool, dkk., 2009).
Meskipun tidak merupakan prosedur rutin, sebagian besar persalinan
pervaginampada wanita primigravida di Rumah Sakit Sanglah dilakukan
episiotomi mediolateral. Sedangkan seksio sesarea non elektif tidak sedikit yang
berdampak pada fungsi seksual pasca persalinan, baik oleh karena kehamilan,
indikasi operasi, ataupun komplikasi yang ditimbulkannya. Sedikitnya perhatian
tentang seksualitas pada kedua kondisi diatas, dan belum pernah ada penelitian
tentang fungsi seksual wanita pasca persalinandi Rumah Sakit Sanglah Denpasar
mendasari penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan
episiotomi?
9
2. Bagaimanakah fungsi seksual wanita pasca seksio sesarea?
3. Apakah terdapat perbedaan fungsi seksual wanita pascapersalinan
pervaginam dengan episiotomidibandingkan pascaseksio sesarea?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual wanita pasca persalinan
pervaginam dengan episiotomi dibandingkan pasca seksio sesarea.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui saat mulainya hubungan seksual pertama kali pasca persalinan.
2. Mengetahui fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam dengan
episiotomi.
3. Mengetahui fungsi seksual wanita pasca seksio sesarea.
4. Mengetahui perbedaan fungsi seksual wanita pasca persalinan pervaginam
dengan episiotomi dibandingkan dengan seksio sesarea, berdasarkan
masing-masing domain dalam FSFI, skor total FSFI, dan ada tidaknya
disfungsi seksual.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat akademik
1.Mengetahui fungsi seksual wanita pasca melahirkan pervaginam dengan
episiotomi dibandingkan pasca seksio sesarea.
10
2. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi peneliti lain yang
inginmelakukan penelitian lebih lanjut.
1.4.2
Manfaat pelayanan
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian
tenaga medis dan petugas kesehatan lainnya terhadap kesehatan
seksualitas pasca persalinan.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Respon Normal Seksualitas Wanita
Pada dasarnya dorongan seksual (sexual desire) pria dan wanita sama saja,
yaitu dipengaruhi oleh hormon seks, faktor psikis, rangsangan seksual yang
diterima, dan pengalaman seksual sebelumnya. Kalau faktor-faktor tersebut
bersifat positif, dorongan seksual muncul dengan baik. Sebaliknya, bila faktor tadi
bersifat negatif, dorongan seksual menjadi terhambat. Jadi, bukan semata-mata
jenis kelamin pria atau perempuan yang menentukan perbedaan dorongan seksual
(Pangkahila, 2005; Windhu, 2009).
Karena rangsangan seksual, tubuh akan mengalami reaksi seksual yang
disebut siklus reaksi seksual. Reaksi seksual tidak hanya terjadi pada organ
kelamin saja, tetapi juga pada bagian tubuh yang lain. Bahkan, secara psikis juga
terjadi perubahan. Siklus reaksi seksual dibagi dalam empat fase, yaitu : fase
rangsangan (excitement phase), fase datar (plateu phase), fase orgasme (orgasm
phase), dan fase resolusi (resolution phase) (Masters dan Johnson, 1960).
Respon seksual pada wanita dapat timbul atau dimulai dengan hal-hal
sederhana, seperti tatapan mata yang penuh arti, kata-kata yang manis dan
menyenangkan, suasana romantis yang menimbulkan hasrat (desire). Tahapan
selanjutnya adalah perangsangan (arousal). Pada tahapan ini semua rangsangan
baik berupa sentuhan, ciuman, maupun bisikan dapat menyebabkan tegangnya
12
klitoris dan membesarnya vagina bagi wanita. Rangsangan seksual akan
mengakibatkan pelepasan Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP) yang akan
meningkatkan aliran darah ke vagina, dan peningkatan tekanan hidrostatik
sehingga terjadi proses transudasi dimana cairan masuk ke ruangan interstisial dan
terjadi lubrikasi vagina.Fase perangsangan pada wanita sangat variatif dan
biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan fase perangsangan
pada pria(Ottesen B., dkk, 1983; Levin R.J.).
Fase selanjutnya, terdapat peningkatan konsentrasi darah vena dalam
sepertiga luar lorong vagina dan perangsangan seksual lebih hebat. Keadaan ini
meningkatkan hasrat hingga mencapai puncak gairah yang disebut plateau. Otototot
vagina
akan
berkontraksi,
membuat
klitoris
semakin
tegang dan
kelenjarBartholin mensekresi cairan sehingga dinding vagina menjadi basah.
Bersamaan dengan itu payudara pun membesar dan menegang, sementara
rangsangan terasa menjalar ke seluruh bagian tubuh. Ini adalah tahapan terakhir
sebelum tercapainya orgasme(Windhu, 2009; Pratamagriya, 2009).
Fase berikutnya adalah fase orgasme yang sangat singkat dibandingkan fase
perangsangan dan plateau. Fase ini merupakan pelepasan dari ketegangan seksual.
Perlu diketahui bahwa fase orgasme ini dapat berlangsung tanpa adanya stimulasi
fisik yang nyata, misalnya melalui berbagai bentuk fantasi seksual. Fase ini
terpusat didaerah klitoris, vagina, dan uterus. Pada puncak fase gairah otot-otot
sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus mengalami kontraksi secara
ritmik dan menyebabkan terjadinya sebuah sensasi yang menyenangkan. Biasanya
terjadi lima sampai 12 kontraksi yang sinkron dengan jeda masing-masing
13
kontraksi sekitar satu detik. Kontraksi pada detik-detik pertama sangat kuat dan
jeda yang sangat singkat. Tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan
mencapai puncaknya dan kendali tonus otot-otot bergaris menjadi hilang (beberapa
wanita secara tidak sadar meluruskan jari-jari kakinya). Inilah yang disebut sebagai
suatu sexual climax atauorgasme. Seorang wanita dapat mengalami orgasme
berulangkali sebelum masuk kedalam fase resolusi(Windhu, 2009; Pratamagriya,
2009).
Gambar 2.1Respon seksual wanita
(Sumber : Pratamagriya, 2009)
Setelah orgasme berakhir, wanita tiba kembali pada tahap resolusi. Nafas,
detak jantung, dan tekanan darah menjadi normal dan teratur kembali secara
perlahan-lahan sehingga akhirnya wanita merasakan perasaan lega, nyaman, dan
kemudian diikuti perasaan mengantuk(Pratamagriya, 2009;Windhu, 2009).
14
Pada beberapa wanita rangsangan seksual yang cukup setelah fase orgasme,
dapat menyebabkan tertundanya fase resolusi ini, hal ini memungkinkan untuk
terjadinya orgasme multiple, seperti yang dikemukakan Master dan Jhonson pada
model liniernya (Gambar 2.2).
Orgasm
Plateu
Excitement
Gambar 2.2 Model respon seksual wanita oleh Masters dan Johnson
Dikutip dari : Masters, WH., Johnson, VE. 1960. The human female: anatomy
of sexual response. Minn Med. 43:31–6.
Keempat hal tersebut merupakan suatu gambaran dari respon seksual baik
pada pria maupun wanita. Model linier dari Masters dan Jhonson ini
menggambarkan variasi dari respon seksual wanita pada individu yang berbeda
atau pada individu yang sama namun pada kesempatan yang berbeda. A memiliki
transisi yang baik antara fase excitement, plateau, orgasm, multiple orgasm, dan
resolusi. B memiliki transisi yang baik hingga fase plateau namun tidak
mengalami orgasme. C memiliki pola yang berbeda, dengan fase excitement
15
hingga orgasme yang sangat singkat dan kemudian diikuti dengan fase resolusi
yang cepat (Masters, WH., Johnson, VE., 1960).
Basson (2004) juga mengajukan suatu model kontemporer yang tidak linier
dari respon seksual wanita yang disebut sebagai “sexual response circle”. Dalam
model respon seksualnya, Basson mengikut sertakan aspek psikologis dan sosial
sebagai bagian dari fungsi seksual wanita seperti keintiman dan kepuasan secara
emosional, begitu juga dengan dorongan seksual dan kepuasan secara fisik.
Gambar 2.3 Model non linier respon seksual wanita oleh Basson
Dikutip dari : Basson, R. dkk. 2004. Revised Definitions of Women’s Sexual
Dysfunction. Canada : Journal of Sexual Medicine, Vol. 1, No. 1: 40-8
Menurut Basson, fase perangsangan (arousal) pada wanita tidak selalu
didahului oleh hasrat (desire). Hasrat atau keinginan dalam berhubungan seksual
timbul setelah wanita tersebut mendapatkan atau terangsang secara seksual.Wanita
memiliki berbagai alasan untuk terlibat dalam aktifitas seksual, bukan hanya
semata-mata oleh karena kebutuhan atau keinginan sebagaimana dijabarkan dalam
16
model tradisional dari respon seksual wanita. Meskipun banyak wanita mengalami
keinginan dan ketertarikan spontan dalam aktifitas seksual, wanita yang
mengalami perpisahan dengan pasangannya atau dalam hubungan dengan
pasangan yang sudah berlangsung lama, wanita jarang berpikir atau mengalami
keinginan yang kuat untuk aktifitas seksual secara spontan. Pada kasus ini, masih
menurut Basson, kebutuhan untuk dekat secara emosional dan keintiman dapat
mempredisposisikan wanita untuk terlibat dalam aktifitas seksual. Dalam keadaan
ini wanita dapat dikatakan reseptif dalam aktifitas seksual namun tidak memulai
aktifitas seksual. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya keintiman, sentuhan,
percakapan, hal yang bersifat romantis atau stimulasi seksual, dapat menimbulkan
rangsangan seksual bagi wanita, dimana akibat dari rangsangan seksual ini maka
muncul keinginan untuk melanjutkan aktifitas seksual tersebut. Dalam perjalanan
mencapai kepuasan seksual, tujuan akhir dari aktifitas seksual pada wanita tidak
selalu semata-mata hanya orgasme, melainkan dapat berupa kepuasan personal
yang dapat bermanifestasi dalam bentuk fisik atau emosional. Orgasme merupakan
manifestasi secara fisik dari bentuk kepuasan seksual, sedangkan secara emosional
dapat berupa perasaan lebih intim, romantis, atau lebih dekat dengan pasangan
(Basson R., 2001; Whalton B. & Thorton T., 2003).
2.2 Pengukuran Kualitas Fungsi Seksual Wanita
Untuk menilai kualitas fungsi seksual wanita digunakan Indeks Fungsi
Seksual Wanita (Female Sexual Function Index/FSFI).FSFI adalah suatu
instrumen multidimensi berupa kuisioner yang bersifat self report yang telah teruji
17
validitas dan reliabilitasnya untuk mengukur fungsi seksual wanita. Kuesioner ini
telah digunakan sejak dirumuskannya di Amerika pada tahun 1982 di berbagai
institusi pendidikan dan kesehatan khususnya bidang psikiatri secara internasional.
Berdasarkan interprestasi klinik dari FSFI, fungsi seksual wanita terdiri dari enam
nilai yang dapat diukur yaitu :
1. Hasrat(desire), merupakan cerminan dasar psikologis tentang motivasi dan
dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk
melakukan aktivitas seksual.
2. Rangsangan(arousal), merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi
seksual dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual
melakukan hubungan seksual.
3. Lubrikasi(lubrication), merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang
dihasilkan oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin
yang terdapat diantara himen dan labia minora. Lubrikasi terjadi saat
wanita terstimulasi seksual baik stimulasi yang dilakukan secara fisik
maupun psikis.
4. Orgasme(orgasm), adalah puncak kenikmatan seksual yang ditandai
dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot
perineal dan organ reproduktif pelvis.
5. Kepuasan(satisfaction), merupakan kemampuan mencapai orgasme setiap
kali melakukan hubungan seksual. Kepuasan seksual dapat mengurangi
stress dan meningkatkan kedekatan hubungan emosional dengan pasangan.
18
6. Nyeri(pain), adalah nyeri saat melakukan hubungan seksual, baik yang
disebabkan kelainan fisik maupun psikologis(Rosen R, dkk. 2000).
FSFI dipilih dalam penelitian ini karena dirancang untuk pengukuran
psychometric, berlaku untuk semua bentuk disfungsi seksual perempuan terlepas
dari etiologinya, mudah untuk melakukan, dan mampu membedakan antara
populasi klinis dan nonklinis. Skor FSFI pada enam domain menggunakan analisis
faktor. Setiap domain akan menskoring pada skala nol sampai enam, dengan skor
yang lebih tinggi menunjukkan fungsi yang lebih baik. Untuk mendapatkan nilai
dari domain, sejumlah item individual yang terdapat dalam domain ditambahkan,
dan jumlah ini dikalikan dengan faktor domain. Domain skor keenam juga
ditambahkan untuk mendapatkan nilai skala penuh. Nilai nol pada masing-masing
domain menunjukkan responden tidak melakukan hubungan seksual pada empat
minggu terakhir, sedangkan total skor ≤ 26.55 diklasifikasikan sebagai suatu
disfungsi seksual. (Rosen R, dkk. 2000)
2.3 Jenis Disfungsi Seksual Wanita
Sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh Consensus Development
Conference on Female Sexual Dysfunction, aspek fungsi seksual dibagi menjadi
empat kategori, yaitu: nyeri, keinginan, gairah, dan gangguan orgasme seperti yang
ditunjukkan dalam tabel 2.1(Basson, dkk., 2000).
19
Tabel 2.1
Konsensus Sistem Klasifikasi Disfungsi Seksual Wanita
Gangguan nyeri
seksual
a) Dispareunia: nyeri genital rekuren atau persisten
yang berkaitan dengan hubungan seksual
b) Vaginismus: kejang berulang atau persisten dari otot
involunter pada sepertiga bagian bawah vagina yang
mengganggu penetrasi, serta menyebabkan stress
individual
c) Gangguan nyeri seksual lainnya: nyeri genital
rekuren atau persisten yang diinduksi oleh stimulasi
seksual noncoital, termasuk anatomi dan inflamasi
Gangguan hasrat
seksual hypoaktif
Suatu kondisi yang persisten atau berulang dari
penurunan atau tidak adanya fantasi seksual dan
hasrat untuk aktivitas seksual yang menyebabkan
stress individual
Gangguan Gairah
Ketidakmampuan yang persisten atau berulang untuk
mencapai atau mempertahankan aktivitas seksual
sampai selesai, pelumasan yang kurang memadai,
serta respon sexual yang tidak menggairahkan, yang
menyebabkan stress individual
Gangguan Orgasme
Kondisi yang persisten atau berulang dari
keterlambatan atau tidak adanya orgasme setelah
stimulasi dan gairah seksual yang cukup, yang
menyebabkan stress individual
Dikutip dari : Basson, R., dkk. 2000. Report of International Consensus
Development Conference on Sexual Dysfunction: definitions and classifications.J
Urol. 163: 888 – 93.
2.4 Disfungsi Seksual WanitaPasca Persalinan
2.4.1 Gangguan Nyeri Seksual
Gangguan nyeri seksual adalah kategori yang paling umum yang
mempengaruhi wanita dalam periode pasca persalinan. Gangguan nyeri seksual
dibagi menjadi dispareunia, vaginismus, dan gangguan nyeri lainnya. Penting
untuk dicatat bahwa gangguan dapat terjadi dalam urutan yang bervariasi dan
20
mungkin saling ketergantungan antara berbagai faktor (Basson, dkk., 2000; Barrett,
dkk.,2000; Oboro, dkk., 2002; Signorello, dkk., 2001).
Nyeri perineum dan dispareunia adalah masalah pascapersalinan yang
sering terjadi dan mengganggu fungsi seksual yang normal. Hal ini terjadi
biasanya akibat dari trauma perineum, episiotomi dan instrumentasi persalinan.
Faktor risiko lain termasuk luasnya trauma perineum, penjahitan perineum,
primiparitas, dan pemakaian Entonox (nitrous oxide, dalam 50% oksigen) untuk
analgesia. Hal yang penting diperhatikan adalah saat mulainya aktivitas seksual,
dimana dilaporkan pasca persalinan dengan perineum utuh akan memulai aktivitas
seksualnya lebih cepat daripada dengan cedera perineum (Glazener, CM., 1997;
Andrews, dkk.,2008).
2.4.2 Gangguan Hasrat Seksual Hipoaktif
Penelitian yang secara khusus mengevaluasi gangguan hasrat seksual
hipoaktif dalam periode pasca persalinan masih sangat terbatas. Dalam studi di
Nigeria, hilangnya hasrat seksual pada wanita pasca persalinan terjadi pada 61%
dan 26% masing-masing pada enam minggu dan enam bulan (Oboro, 2002).
Meskipun tampaknya bahwa keinginan seksual dapat meningkat seiring dengan
waktu, penting untuk dicatat bahwa keinginan itu juga dipengaruhi faktor
kehidupan lain seperti perubahan dalam bentuk tubuh, kesehatan mental ibu, dan
hubungan perkawinan.
21
2.4.3 Gangguan Gairah dan Orgasme
Terlepas dari berkurangnya vasodilatasi vagina secara fisiologis, faktor
risiko yang berkaitan dengan penurunan gairah seksual pasca persalinan juga
dipengaruhi oleh pengalaman buruk sebelumnya (seperti akibat dari dispareunia),
gangguan elastisitas vagina, kecemasan seksual, kelelahan, serta depresi. Faktor
risiko lain termasuk penggunaan obat-obatan seperti selective serotoninreuptake
inhibitor (Clayton, AH., dkk., 2002) dan kontrasepsi oral (Sanders, dkk., 2001;
Boyd, K., dkk. 2006). Kesulitan dalam mencapai orgasme dilaporkan sebesar 33%
pada tiga bulan dan 23% pada enam bulan pascapersalinan, dibandingkan dengan
hanya 14% yang mengalami masalah ini dalam tahun terakhir sebelum kehamilan
(Barrett, dkk., 2000).
2.5 Pengaruh Episiotomi terhadap Fungsi Seksual Pasca Persalinan
Episiotomi yang juga dikenal sebagai perineotomi adalah suatu tindakan
insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin
selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan
kulit sebelah depan perineum (Wiknjosastro, dkk., 2007).
Episiotomi dilakukan sebagai profilaksis terhadap trauma jaringan lunak.
Robekan vagina dapat terjadi selama persalinan, paling sering pada pembukaan
vagina saat kepala bayi melaluinya, terutama jika bayi turun dengan cepat. Indikasi
untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun pihak janin.
Indikasi janin diantaranya; sewaktu melahirkan janin prematur, yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin oleh karena
22
penekanan perineum yang terlalu lama, adanya late decelerations yang memanjang
atau fetal bradycardia pada fase aktif. Selain itu episiotomi juga dilakukan untuk
melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi
vakum, dan distosia bahu (janin besar). Sedangkan indikasi ibu untuk tindakan
episiotomi adalah; apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga
ditakuti akan terjadi robekan perineum, seperti pada primipara, persalinan
sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar. Dengan
episiotomi diharapkan tepi luka menjadi licin dan memudahkan dalam proses
penyembuhan.(Carroli, G., 2009; Wiknjosastro, dkk., 2007)
Insidens episiotomi di Amerika Serikat pada tahun 2000 pada persalinan
pervaginam adalah 19,4%, hal ini merupakan penurunan dramatis dari tahun 1983
dengan tingkat 69,4%. Kejadian yang lebih tinggi didapatkan pada perempuan
kulit putih (32,1%) dibandingkan perempuan Afrika Amerika (11,2%). Angka
episiotomi bervariasi menurut penyedia layanan kesehatan, dimana bidan memiliki
angka yang lebih rendah (25%) dibandingkan pasien dari dokter (40%). Sedangkan
di rumah sakit pendidikan kejadiannya lebih rendah (17%), dibandingkan dokter
praktek swasta adalah (66%) (Goldberg, 2002).Meskipun bukan merupakan
tindakan rutin, sebagian besar persalinan pervaginam pada primigravida di Rumah
Sakit Sanglah Denpasar dilakukan tindakan episiotomi mediolateralis.
Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat
juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal
jenis episiotomi yaitu episiotomi medialis, mediolateralis, lateralis, “J” shape, dan
Schuchardt(Benson, 1994; Sarmana, 2004).
23
Lateralis
“J” Shape
Schuchardt
Mediolateralis
Medialis
Gambar 2.4 Jenis Episiotomi
(Dikutip dari : Benson, 1994; Cuningham, 2010; Sarmana, 2004)
Pada teknik episiotomi medialis, sayatan dimulai pada garis tengah
komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter
ani. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah; perdarahan yang timbul dari
luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit
mengandung pembuluh darah, serta sayatan bersifat simetris dan anatomis
sehingga penjahitan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.
Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perineum
tingkat tiga atau empat
(Benson, 1994).
Pada episiotomi mediolateralis sayatan disini dimulai dari bagian belakang
introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat
dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang
melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan disini sengaja dilakukan
menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur perinei tingkat tiga. Perdarahan
luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya.
24
Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan
dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus
simetris (Wiknjosastro, dkk., 2007).
Teknik insisi lateralis, “J” shape, Schuchardt,saat ini sudah tidak dilakukan
lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar
kearah dimana terdapat pembuluh darah pudenda interna, sehingga dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu insisi ini juga dapat merusak
area kelenjar bartholin, dan parut yang ditimbulkannya dapat mengganggu pasien
(Benson, 1994; Wiknjosastro, dkk., 2007;Sarmana, 2004)
Tehnik penjahitan luka episiotomi sangat menentukan hasil penyembuhan
luka episiotomi, bahkan lebih penting dari jenis episiotomi itu sendiri. Penjahitan
biasanya dilakukan setelah plasenta lahir, kecuali bila timbul perdarahan yang
banyak dari luka episiotomi maka dilakukan dahulu hemostasis dengan mengklem
atau mengikat pembuluh darah yang terbuka. Beberapa prinsip dalam penjahitan
luka episiotomi yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut; (1) Penyingkapan
luka episiotomi yang adekuat dengan penerangan yang baik, sehingga restorasi
anatomi luka dapat dilakukan dengan baik. (2) Hemostasis yang baik dan
mencegah dead space. (3) Penggunaan benang jahitan yang mudah diabsorbsi. (4)
Pencegahan penembusan kulit oleh jahitan dan mencegah tegangan yang
berlebihan. (5) Jumlah jahitan dan simpul jahitan diusahakan seminimal mungkin.
(6) Hati-hati agar jahitan tidak menembus rektum. (7) Untuk mencegah kerusakan
jaringan, sebaiknya dipakai jarum atraumatik (Cuningham, 2010).
25
Gambar 2.5 Penjahitan Luka Episiotomi
(Dikutip dari : Cuningham, 2010)
Komplikasi dari tindakan episiotomi akan sangat mempengaruhi kehidupan
seksual wanita dikemudian hari. Beberapa kelainan dapat muncul berkaitan dengan
episiotomi, dari yang bersifat ringan sampai berat, bahkan fatal sampai
menimbulkan kematian (Tacker, Banta, 1983).
Gangguan dasar panggul adalah kondisi yang umum terjadi pada saat pasca
persalinan. Prevalensinya
diperkirakan sekitar 18,4% pada wanita primipara,
sedangkanpada multiparasebesar 24,6%. Hal ini cenderung menetap hingga enam
26
bulan pasca persalinan bahkan sampai satu tahun (40%), yang mempengaruhi
kehidupan seksual mereka.Dari kasus tersebut, hanya 4,49% yang mengunjungi
tempat pelayanan untuk rehabilitasi perineum. Studi elektromiografi dasar panggul
pada wanita tiga bulan pasca persalinan menunjukkan pemulihan tercepat pada
persalinan spontan dengan perineum utuh dan seksio sesarea dibandingkan
episiotomi. Persalinan pervaginam sendiri normalnya akan menyebabkan denervasi
parsial dasar panggul. Hal ini akan diperparah oleh lamanya partus kala II dan
berat bayi lahir(Bertozzi, dkk.,2011).
Lesi pada saraf pudenda sering terjadi pada episiotomi yang dilakukan
terlalu dalam ataupun meluas sampai derajat tiga atau empat. Penelitian
menunjukkan 16% tindakan episiotomi mengakibatkan lesi saraf pudenda. Lesi ini
akan menjelaskan terjadinya inkontinensia fekal dan urin setelah melahirkan.
Namun, penjelasan tentang konsekuensi ini lebih dipengaruhi oleh durasi kala II
persalinan, ruptur perineum yang parah, persalinan dengan instrumentasi, dan
peningkatan berat janin ketimbang episiotomi. Tetapi episiotomi yang meluas
sampai menimbulkan ruptur perineum derajat tiga atau empat, tetap akan
berpengaruh. Dalam review faktor yang terkait menunjukkan bahwa ketika ruptur
derajat tiga terjadi, 85% wanita memiliki cacat sfingteryangpersisten dan gejala
struktural yang menetap 50%, meskipun perbaikan primer telah dikerjakan (Harris,
2003).
Penjahitan yang kurang hati-hati dari luka episiotomi dapat mengakibatkan
vagina yang asimetris (32,9%). Hal ini disamping berdampak pada kosmetik,
lamanya penyembuhan luka dan infeksi, jaringan granulasi pada bagian luka yang
27
tidak menutup sempurna pernah dilaporkan menimbulkan Neuroma Traumatis di
lokasi episiotomi. Neuroma Traumatis merupakan tumor kecil pada tempat bekas
episiotomi dan terasa sakit yang menahun, hal ini sangat sering menimbulkan
dispareunia saat hubungan seksual (Dharmarathna, 2007; Harris, 2003).
Sayatan luka episiotomi pada dasarnya dibuat hanya sekedar mengurangi
tahanan perineum terhadap kepala bayi, sehingga luka diharapkan seminimal
mungkin dengan tepi yang licin sehingga mudah diperbaiki. Biasanya luka
episiotomi menimbulkaan laserasi perineum derajat dua. Namun hal ini kadang
meluas sehingga menimbulkan laserasi derajat tiga dan empat. Dalam analisis
retrospektif oleh Sultan, dkk. (1993),menyimpulkan bahwa episiotomi tidak selalu
mencegah robekan derajat ketiga dan menemukan faktor lain yang secara
bermakna dikaitkan dengan tingkat ketiga robekan, seperti forsep, primiparitas,
berat lahir empatkilogram atau lebih, dan presentasi occipitoposterior saat
melahirkan. Sehubungan dengan tindakan forceps, perineum lebih terlindungi pada
episiotomi
mediolateralis
dibandingkan
episiotomi
medialisataupun
tanpa
episiotomi.
Komplikasi yang ditimbulkan dari sayatan episiotomi dapat berupa luka
infeksi yang menjadi sangat parah (3%).Infeksi yang mengancam kehidupan ini
disebut Necrotizing Fasciitis dan Clostridial Myonecrosis yang mengandung
bakteri “pemakan daging”, sehingga luka menjadi sangat parah, sepsis, bahkan
kematian. Robekan yang meluas atau kerusakan jaringan dapat terjadi di luar
episiotomi itu sendiri. Dengan sendirinya hal ini akan berdampak pada lamanya
28
penyembuhan dari luka yag terbuka (dehiscence parsial) sebesar 14,5 (Tacker dan
Banta, 1983).
Komplikasi lain dari episiotomi, ditemukan sekitar 100 kasus pernah
dilaporkan terjadinya endometriosis pada tempat bekas sayatanepisiotomi. Hal ini
muncul beberapa bulan sampai beberapa tahun pasca persalinan. Gejala awal
berupa nyeri siklik saat menstruasi dan teraba masa yang membesar di daerah
perineum, kadang-kadang disertai perdarahan di daerah bekas episiotomi saat
menstruasi. Hal ini dimungkinkan terjadi oleh karena aliran lochiapasca persalinan
yang banyak mengandung sel-sel desidua dan kelenjar endometrium ikut
menempel pada luka episiotomi, yang tidak ditangani dengan baik. Adanya
endometriosis dan parut pada bekas luka episiotomi ikut memberikan dampak
terjadinya dispareunia pasca persalinan(Chen, dkk. 2012).
2.6 Pengaruh Seksio Sesarea terhadap Fungsi Seksual Pasca Persalinan
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro, dkk., 2007).
Secara epidemiologi, 30 tahun yang lalu satu dari 12 persalinan diakhiri
dengan seksio sesarea. Sekarang perbandingan ini adalah satu dari tiga persalinan.
Seksio sesarea umumnya merupakan suatu prosedur kedaruratan sebagai upaya
terakhir, sekarang seksio sesarea malahan ditawarkan sebagai pilihan pertama.
Untuk beberapa wanita seksio sesarea dianggap sebagai cara melahirkan yang baik,
tidak menyusahkan, meskipun diketahui tindakan ini ada bahayanya. Angka seksio
29
sesarea secara global menunjukkan kenaikan. Kelayakan kenaikan angka bedah
masih diperdebatkan, WHO/UNFPA/UNICEF mematok angka 15%, dibanyak
negara.Angka diatas 15% tidak mengurangi angka kematian ibu dan perinatal
(Cuningham, 2010). Di Indonesia angka seksio sesarea meningkat dari 17,0%
(tahun 2001) meningkat menjadi 27,3% (tahun 2006). Jadi selama lima tahun telah
terjadi peningkatan sebesar 60,6% meskipun Departemen Kesehatan telah
membatasi angka seksio sesarea untuk Rumah Sakit Pendidikan atau Pusat
Rujukan sebesar 20% dan RS Swasta sebesar 15% (Rasjidi, 2009). Angka untuk
masing-masing senter bervariasi, seperti Solo (55%) sedangkan di Rumah Sakit
Sanglah Denpasar, Karkata (1995) seperti dikutip dari Sarmana (2004) melaporkan
angka seksio sesarea sebesar 8,06% (1984) meningkat tajam menjadi 20,22%
(1994) dan 18,2% di tahun 2009.
Indikasi untuk dilakukannya seksio sesarea adalah adanya indikasi mutlak,
relatif, dan sosial. Indikasi mutlak dilakukannya seksio sesarea dibedakan menjadi
indikasi ibu, seperti panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal
karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan
obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik,
serta ruptur uteri membakat.
Sedangkan indikasi bayi, seperti kelainan letak,
gawat janin, gemeli dengan bayi pertama bukan presentasi kepala serta prolapsus
plasenta (Wiknjosastro, dkk., 2007; Rasjidi, 2009).
Indikasi relatif dilakukannya seksio sesarea adalah riwayat seksio sesarea
sebelumnya, presentasi bokong, distosia, penyakit kardiovaskuler dan diabetes,
ibu dengan HIV positif sebelum inpartu, perkembangan bayi yang terhambat, serta
30
tindakan untuk mencegah hipoksia janin seperti pada preeklampsi (Rasjidi, 2009).
Sementara indikasi sosial ditujukan bagi wanita yang takut melahirkan berdasarkan
pengalaman sebelumnya, wanita yang ingin seksio sesarea elektif karena takut
bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko
kerusakan dasar panggul, serta wanita yang takut terjadinya perubahan pada
tubuhnya atau negativesexuality image setelah melahirkan (Barrett, dkk., 2005;
Rasjidi, 2009).
Seksio sesarea biasanya tidak dilakukan pada kasus janin mati, syok,
ataupun anemia berat yang belum teratasi, kelainan kongenital berat (monster),
infeksi piogenik pada dinding abdomen, serta minimnya fasilitas operasi seksio
sesarea (Wiknjosastro, dkk., 2007).
Tidak ada statistik resmi yang menyatakan berapa wanita yang melakukan
persalinan dengan seksio sesarea sebagai pilihannya. Namun setiap SpOG pasti
menyetujui bahwa angka ini bertambah. Yang menarik adalah seksio sesarea yang
dilakukan pada primigravida, karena hal ini kecenderungan akan menyebabkan
seksio sesarea berikutnya. Demikian juga halnya dengan seksio sesarea primer
ataupun elektif. Istilah elektif membutuhkan klarifikasi, dimana yang dimaksudkan
disini adalah seksio sesarea yang indikasi ataupun alasan medik sudah ditentukan
sebelum persalinan (termasuk atas indikasi medik ataupun atas permintaan). Yang
terakhir inilah menjadi sorotan, karena jumlahnya makin meningkat. Seksio
sesarea elektif primer atas permintaan mengundang masalah yang pelik,
kontroversial dan memprihatinkan. Informasi yang didapat dari rekam medik
sering sulit ditentukan apakah seksio sesarea ini primer atau tidak (Rasjidi, 2009).
31
2.6.1 Teknik/Prosedur
Secara umum dikenal ada tiga teknik seksio sesarea, yaitu seksio sesarea
servikalis rendah, seksio sesarea klasik (korporal), dan histerektomi sesarea
(Gilstrap, 2002). Namun dalam penelitian ini kami akan membahas dua teknik
yang pertama saja, karena kami mengeksklusihisterektomi sesarea.
A. Seksio Sesarea Servikalis Rendah
Secara umum keuntungan dari teknik ini adalah vaskularisasi lebih sedikit
sehingga perdarahan menjadi minimal, lebih mudah diperbaiki, terletak pada uterus
yang paling kecil kemungkinan terjadinya ruptur pada kehamilan berikutnya,
proses penyembuhan yang lebih baik dengan komplikasi pasca operasi yang
minimal (misalnya perlekatan usus atau omentum di daerah insisi), serta implantasi
plasenta pada jaringan parut bekas insisi jarang terjadi pada kehamilan berikutnya.
(Wiknjosastro, dkk., 2007; Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010).
Prosedur untuk teknik ini yaitu pada prinsipnya, setelah dilakukan insisi
abdomen dengan menggunakan insisi transversal atau vertikal, segmen bawah
rahim digunting secara melintang untuk membuat bladder flap. Plika vesikouterina
ini dipisahkan dapat secara tumpul atau tajam kearah bawah dan samping.
Kemudian dibuat insisi sepanjang dua sampai tigasentimeter dengan skalpel
sepanjang satusentimeter dibawah insisi plika vesikouterina tadi hingga
teridentifikasi selaput ketuban. Arah insisi pada segmen bawah rahim dapat
dilakukan secara melintang (transversal) sesuai cara Kerr, atau vertikal sesuai cara
Kronig. Insisi diperlebar secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator.
Perluasan insisi pada uterus dapat secara tajam dengan gunting perban, atau secara
32
tumpul dengan jari telunjuk operator. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban
dipecahkan, janin dilahirkan dengan cara meluksir kepala. Tangan kanan operator
masuk kedalam uterus dibawah kepala bayi, lalu dengan perlahan diangkat untuk
mengeluarkannya melalui insisi uterus dan abdomen. Sementara itu tangan yang
bebas atau asisten mendorong uterus untuk membantu mengeluarkan bayi.
Terkadang forcep dibutuhkan. Pada presentasi bokong, penarikan pada pelvis
dilakukan dengan cara meletakkan jari diantara pangkal paha. Segera setelah
kepala bayi dikeluarkan, bersihkan jalan nafas (mulut terlebih dahulu). Bahu serta
badan janin dilahirkan dengan menarik kedua ketiaknya. Segera setelahnya
diberikan infus yang berisi dua ampul atau 20 unit oksitosin per liter kristaloid
dengan kecepatan tetesan 10 ml/menit hingga kontraksi uterus baik, selanjutnya
kecepatan dapat dikurangi. Tali pusat dijepit dan dipotong lalu plasenta dilahirkan
secara manual. Bayi kemudian diberikan kepada asisten untuk perawatan pediatri
lebih lanjut (Gilstrap, 2002; Rasjidi, 2009).
Pastikan kavum uteri telah bersih dari robekan membran, gumpalan darah,
sisa plasenta, dan jaringan. Identifikasi organ genetalia interna, dan hentikan
perdarahan yang terjadi, kemudiandilakukan penjahitan dinding abdomen secara
lapis demi lapis(Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010).
33
Gambar 2.6 Tehnik operasi seksio sesarea
(Dikutip dari : Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010)
34
B. Seksio Sesarea Klasik (Korporal)
Insisi secara klasik adalah suatu insisi vertikal pada korpus uteri diatas
segmen bawah uterus dan mencapai fundus uterus, tetapi insisi ini sudah jarang
digunakan. Indikasi dilakukannya seksio sesarea klasik adalah bila terjadi
kesukaran dalam memisahkan vesika urinaria untuk mencapai segmen bawah
rahim, misalnya karena ada perlekatan akibat pembedahan seksio sesarea
sebelumnya, adanya mioma yang menempati segmen bawah uterus, atau
keganasan, janin besar dengan letak lintang, serta plasenta previa dengan insersi
plasenta pada dinding depan segmen bawah rahim (Wiknjosastro, dkk., 2007;
Rasjidi, 2009; Cuningham, 2010).
Langkah awal operasi dilakukan seperti pada teknik servikalis rendah,
perbedaan hanya terdapat saat membuka uterus. Insisi uterus vertikal dibuat secara
tajam menggunakan skalpel dimulai serendah mungkin. Jika terdapat adesi,
eksposur yang kurang, tumor, atau plasenta perkreta, lakukan insisi setinggi diatas
vesika urinaria. Insisi diperlebar secara sagital dengan menggunakan gunting
perban hingga dirasakan cukup untuk melahirkan janin. Perdarahan yang banyak
sering terjadi pada miometrium. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban
dipecahkan. Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri.
Tali pusat dijepit dan dipotong antara kedua penjepit, lalu plasenta dilahirkan
secara manual (Gilstrap, 2002; Rasjidi, 2009).
Luka insisi segmen atas rahim dijahit kembali. Endometrium bersama
miometrium dijahit secara jelujur dengan benang catgut kromik 1-0. Selanjutnya
lapisan serosa uterus dapat ditutup dengan jahitan jelujur menggunakan catgut
35
kromik 2-0. Setelah dinding uterus selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi.
Rongga abdomen dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka dinding
abdomen dijahit (Rasjidi, 2009).
Gambar 2.7 Insisi uterus vertical
(Dikutip dari : Rasjidi, 2009)
2.6.2 Komplikasi dan Efek Persalinan Seksio Sesarea
Penelitian yang khusus mengevaluasi disfungsi seksual pada wanita yang
melahirkan dengan seksio sesarea masih sangat terbatas. Disisi lain, terdapat studi
yang berbeda dalam
hal metodologi dan desain penelitian (termasuk
primipara/multipara, jenis kuesioner yang digunakan, lamanya pengawasan
persalinan, indikasi seksio sesarea, serta perbandingan antara berbagai derajat
laserasi perineum) dan
tidak membedakan antara seksio sesarea elektif dan
emergensi(Glazener, 1997; Buhling, dkk., 2006).
Komplikasi utama persalinan seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ
seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi
anesthesi, perdarahan, infeksi, dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada
persalinan seksio sesarea dibandingkan persalinan pervaginam. Sulit untuk
36
memastikan hal tersebut terjadi apakah dikarenakan prosedur operasinya ataukah
karena alasan yang menyebabkan ibu hamil tersebut harus dioperasi (Rasjidi, 2009;
Cuningham, 2010).Takipneu sesaat pada bayi baru lahir lebih sering terjadi pada
persalinan seksio sesarea, dan kejadian trauma persalinanpun tidak dapat
disingkirkan. Risiko jangka panjang yang dapat terjadi adalah plasenta previa,
solusio plasenta, plasenta akreta, dan ruptur uteri. Suatu penyulit yang jarang tetapi
serius pada seksio sesarea adalah fasciitis nekrotikans. Goepfert dkk. (1997)
mengidentifikasi sembilan wanita dengan kasus ini didasarkan pada identifikasi
fasia nekrotik pada pasien dengan demam yang menjalani debridement luka pasca
operasi. Insiden penyulit ini diperkirakan sebesar dua per 1000 seksio sesarea.
Fasciitis rata-rata didiagnosis 10 hari setelah seksio sesarea dan infeksi ini sering
bersifat polimikroba. Satu wanita meninggal akibat sepsis. Baksu, dkk., (2007)
melaporkan, pada tiga bulan pasca persalinan, wanita yang telah menjalani bedah
sesar secara signifikan mengalami penurunan fungsi seksual, tetapi pada enam
bulan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan kondisi sebelum hamil.
2.7 Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadapSeksualitas Pasca
Persalinan
2.7.1 Faktor Fisiologis
a. Siklus menstruasi
Keadaan yang mungkin adalah dismenore (sakit waktu menstruasi) dan
menstruasi yang tidak teratur. Perdarahan bisa disebabkan oleh trauma,
37
polip, kanker, endometriosis, kanker endometrium, dan alat kontrasepsi
intrauterin (Boyd, K., dkk. 2006).
b. Kehamilan
Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada waktu hamil berbedabeda. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor fisik maupun emosi. Pada awal
kehamilan, rasa mual, pusing maupun perubahan-perubahan fisik seperti
membesarnya perut, bertambahnya berat badan, dan perasaan cepat lelah,
membuat wanita kehilangan selera untuk bermesraan dan bersanggama.
Keinginan berhubungan seks timbul dan meningkat pada trimester kedua
karena wanita telah bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kehamilannya.
Namun mendekati akhir masa kehamilan, dengan makin membesarnya
kehamilan dimana gerakan-gerakan bayi telah terasa, semua rasa tidak
nyaman kembali datang. Beberapa pasangan beranggapan bahwa sanggama
bisa membahayakan keadaan janin dalam kandungan karena membebani
uterus sehingga mereka tidak berani melakukan hubungan seksual. Segala
pengalaman buruk selama kehamilan dapat mempengaruhi fungsi seksual
pasca persalinan dikemudian hari (Tunardy, dkk., 2011).
c. Menyusui dan kontrasepsi estrogen
Aspek fisik maupun psikologis seksualitas dari seorang wanitaberubah
dengan aktivitas menyusui. Terdapat beberapa informasi yang masih
kontroversial antara pengaruh menyusui dan seksualitas. Sementara
beberapa penelitian melaporkan efek positif pada seksualitas, bukti-bukti
efek negatif juga tidak kalah banyak. Dalam sebuah studi kecil oleh Masters
38
dan Johnson, 24 wanita menyusui dilaporkansecara signifikan lebih tinggi
tingkat aktivitas seksualnya dibandingkan dengan mereka yang tidak hamil.
Peningkatan gairah seksual dan erotisme selama masa menyusui juga telah
dilaporkan (Abdool, dkk., 2009). Hal ini dapat dijelaskan dengan ukuran
payudara yang lebih besar, meningkatkan sensitivitas dan juga langsung
distimulasi oleh proses menyusui itu sendiri.
Bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menyusui, kebanyakan
studi melaporkan bahwa pemberian ASIjustru menurunkan keinginan
seksual pada wanita (Glazener,1997; LaMarre, dkk., 2003).Sedangkan
Avery dkk.(2000), menganalisis data dari 576 wanita primiparayang telah
menyelesaikan masa menyusui dan seksualitasnya kemudian diukur dengan
kuesioner (belum divalidasi) pada saat menyapih.Tindak lanjut melalui
wawancara telepon pada satu, tiga, enam, dan 12 bulan pascapersalinan
mengungkapkan bahwa wanita tidak mengalami gairah selama menyusui.
Alder (1986) meneliti hormon secara prospektif pada 25 wanita
primiparaselama enam bulan pascapersalinan dan menemukan bahwa
wanita menyusui memiliki testosteron dan androstenedion secara signifikan
lebih rendah. Hormon Estrogen dapat menurunkan kuantitas dan kualitas
ASI.Standar
perawatan
untuk
wanita
menyusuimenganjurkan
untukmenghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen, termasuk
kontrasepsi oral (kombinasi), dan vaginal ring kombinasi. Kontrasepsi
yang mengandung estrogen tidak boleh digunakan pada tiga sampai empat
minggu pascapersalinan pada wanita yang menyusui ataupun yang tidak
39
menyusui, untuk mengurangi risiko thromboemboli vena. Estrogen
menyebabkan berkurangnya pelendiran vagina sehingga memicu terjadinya
dispareunia dan ketidaknyamanan hubungan (Boyd, K., dkk. 2006).
2.7.2 Faktor Organik
Faktor organik yang akan mempengaruhi respon seksual, (contohnya pada
neuropathi diabetika), yang mempengaruhi saraf otonom genital, (contohnya pada
vulvektomi),
mempengaruhi
mobilitas,
(contohnya
pada
cerebrovascular
accident), terhambat oleh nyeri pada angina, terhambat oleh nyeri genital pada
endometriosis, terhambat karena penyakit kronis pada gagal ginjal, atau efek
samping pengobatan (Windhu, 2009; Kingberg, 2009).
2.7.3 Faktor Psikososial
a. Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks, mitos seksual,
kepercayaan seksual, perilaku, dan nilai-nilai yang berkembang dalam
keluarga, sosial, kultur, dan agama yang memberikan pengalaman
mengenai kebiasaan seksual yang dapat diterima seseorang. Contoh mitos
seksual diantaranya, wanita yang baik tidak memulai seks atau meminta
apa yang mereka inginkan, atau seks yang baik adalah selalu spontan, dan
wanita dianggap
bertanggung jawab terhadap
kemampuan
ereksi
pria(Pangkahila, 2005; Windhu, 2009).
b. Masalah
komunikasi,
masalah
hubungan
sehari-hari
yang
tidak
terselesaikan mungkin menyebabkan kemarahan dan rasa bersalah yang
40
berujung pada terjadinya hambatanterhadaphubungan seksual (Brtnicka,
dkk., 2009; Pangkahila, 2005; Windhu, 2009).
c. Pengalaman hidup di masa lalu dapat menyebabkan masalah seksual.
Banyak istri yang selalu gagal dalam mencapai orgasme setiap kali
berhubungan dengan suaminya. Pengalaman yang tidak menyenangkan ini
pada akhirnya dapat menimbulkan kekecewaan, yang dapat melenyapkan
dorongan seksual (Pangkahila, 2005; Windhu, 2009).
d. Harapan yang tidak realistis dan bertentangan. Masalah dapat muncul
ketika salah satu pasangan menginginkan seks lebih dari yang lainnya atau
harapan berlebihan memberi tekanan dan ketakutan jika gagal. Misalnya
keinginan seksual yang tidak berubah saat lelah, sakit, hamil, maupun
menginjak usia tua(Pangkahila, 2005; Windhu, 2009).
e. Depresi Pasca persalinan
Terdapat penelitian yang terbatas yang khusus meneliti hubungan antara
kesehatan seksual dan depresi.Dalam penelitian survei jarak jauh di
Australia yang mencakup 25 rumah sakit, Brown, dkk. (2000), meneliti
hubungan antara kesehatan fisik ibu dan masalah kesehatan emosional
dalam enam sampai sembilan bulan pascapersalinan dengan tingkat
tanggapan 62%. Kelelahan dan komunikasi yang bermasalah meningkat
tiga kali lipat bermakna pada wanita dengan skor >13 pada penilaian
dengan Edinburgh Postnatal Depression Scale (skor> 13 pada skala ini
dianggap sebagai kemungkinan depresi). Masalah seksual, inkontinensia,
nyeri pinggang, pilek dan penyakit ringan yang lebih dari biasanya,
41
meningkat lebih dari dua kali lipat pada wanita depresi. Penelitian lain oleh
Glazener (1997), menyebutkan bahwa masalah yang terkait dengan
hubungan seksual lebih sering dilaporkan oleh wanita yang mengalami
nyeri perineum, depresi, ataupun kelelahan.
Kualitas seksual wanita sebelum dan sesudah persalinan dipengaruhi oleh
banyak faktor. Faktor psikososial yang berkontribusi positif pada fungsi seksual
termasuk hubungan yang sehat dengan pasangan, kesehatan umum kedua
pasangan, bebas dari stress kehidupan, dan tidak ada kekhawatiran pada masalah
keuangan. Jika satu atau lebih faktor ini mempengaruhi secara negatif, maka akan
mengganggu fungsi seksual (Abdool, dkk., 2009).
42
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Telah diketahui bahwa persalinan akan membawa dampak terhadap
kehidupan dan fungsi seksual wanita pasca persalinan yang mengalaminya.
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap fungsi seksual wanita pasca
persalinan yang dihubungkan dengan cara persalinan. Secara umum didapatkan
bahwa semakin berat kerusakan dasar panggul dan perineum, maka dampak
terhadap fungsi seksual akan semakin buruk. Disamping itu, semakin berat
komplikasi persalinan ataupun komplikasi operatif, akan memperburuk kondisi
kesehatan dan seksualitasnya.
Episiotomi pada dasarnya dikerjakan untuk mengurangi tahanan perineum,
membuat tepi luka yang licin sehingga mudah diperbaiki, mencegah ruptur
perineum derajat tiga dan empat, mencegah inkontinensia fekal dan urin, serta
mengurangi dampak tahanan perineum yang terlalu lama pada bayi (terutama bayi
prematur dan gawat janin). Namun disisi lain tindakan episiotomi dengan ataupun
tanpa komplikasi dapat berpengaruh pada fungsi seksual dikemudian hari.
Pengaruh episiotomi terhadap fungsi seksual pasca persalinan sebagian besar
diakibatkan oleh komplikasinya yang seringkali terjadi oleh karena tindakan yang
kurang hati-hati, ataupun perawatan luka yang tidak baik. Persalinan dapat
menyebabkan denervasi parsial pada dasar panggul, ataupun kerusakan saraf
pudenda terutama saat kala II yang berlangsung lama. Hal ini akan diperparah oleh
43
tindakan episiotomi yang meluas sampai derajat tiga ataupun empat, sehingga akan
mengganggu fungsi otot-otot dasar panggul, mengakibatkan inkontinensia fekal
dan urin dikemudian hari. Ruptur yang meluas membuat perdarahan lebih banyak,
peluang infeksi meningkat, beberapa dapat menjadi berat (seperti Necrotizing
Fasciitis dan Clostridial Myonecrosis), sepsis, bahkan sampai kematian.
Menghindari segala ketakutan akan hal diatas, beberapa wanita kemudian
memilih persalinan dengan seksio sesarea, untuk mempertahankan kehidupan
seksualnya. Tanpa disadari seksio sesarea dengan ataupun tanpa indikasi medis
sebenarnya cukup banyak berpengaruh terhadap fungsi seksual pospartum,
terutama berkaitan dengan indikasi operasi serta komplikasinya. Komplikasi utama
persalinan seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan
uterus saat dilangsungkannya operasi, komplikasi anesthesi, kebutuhan perawatan
intensif, perdarahan yang lebih banyak, infeksi, dan tromboemboli, serta kebutuhan
akan perawatankembali setelah keluar dari rumah sakit. Kematian ibu lebih besar
pada persalinan seksio sesarea dibandingkan persalinan pervaginam. Nyeri
abdomen dan perlukaan organ dalam akan berpengaruh pada seksualitas tiga bulan
pasca persalinan. Efek persalinan itu sendiri pada fungsi seksual pasca
persalinanmenunjukkan faktor-faktor lain yang tidak berdiri sendiri, seperti umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, beban tanggungan biaya/asuransi, usia kehamilan,
berat badan bayi lahir, perawatan medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh
bayi, dan masalah dalam keluarga, yang turut berpengaruh terhadap kehidupan
seksual dalam enam bulan terakhir.
44
Dari uraian diatas dapat disusun suatu kerangka konsep penelitian seperti
berikut (Bagan 3.1).
Episotomi
Seksio Sesarea
 Denervasi parsial dasar panggul
 Lesi saraf pudenda
 Gangguan otot dasar panggul
 Inkontinensia fekal dan urin
 Ruptur yang meluas
 Lamanya penyembuhan luka
 Infeksi
 Perdarahan
 Neuroma traumatis
 Dispareunia
 Endometriosis episiotomi
 Parut perineum
 Umur
 Agama
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Tanggungan asuransi
 Usia kehamilan
 Berat badan bayi lahir
 Perawatan medis kembali
 Menyusui
 Bantuan pengasuh bayi
 Masalah dalam keluarga









Nyeri abdomen
Perlukaan vesika urinaria
Perlukaan uterus
Perdarahan banyak
Infeksi
Komplikasi anesthesi
Perawatan intensif
Penyakit tromboemboli
Lama rawat inap
Fungsi Seksual Wanita
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Hipotesis penelitian
Berdasarkan kerangka konsep dan kajian teori di atas dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut: terdapat perbedaan fungsi seksual pada wanita pasca
persalinan pervaginan dengan episiotomi dibandingkan pasca seksio sesarea.
45
BAB
IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah studi potong lintang analitik (crosssectional study).
4.2. Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah wanitapasca persalinan
pervaginam dengan episiotomi dan pasca seksio sesarea.
4.2.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah wanita pasca persalinan
pervaginam dengan episiotomi dan pasca seksio sesarea yang melahirkan diRumah
Sakit Sanglah dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012.
4.2.3 Kriteria Eligibilitas
Kriteria inklusi
:
1. Sudah menikah.
2. Pasca melahirkan pertama kali.
3. Riwayat persalinan pervaginam dengan episiotomi mediolateral.
4. Riwayat persalinan dengan seksio sesarea.
46
5. Bayi hidup saat penelitian/wawancara (enam bulan postpartum).
6. Tinggal bersama suami yang mampu melakukan hubungan seksual
paling sedikit satu bulan terakhir.
7. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani
informed consent.
Kriteria eksklusi :
1. Sedang dalam perawatan penyakit medis.
2. Sedang dalam keadaan hamil.
3. Riwayat persalinan pervaginam dengan bantuan alat (vakum, forceps).
4. Riwayat persalinan dengan perluasan episiotomi (ruptur perineum
derajat tiga dan empat).
5. Riwayat persalinan dengan kehamilan multiple.
6. Riwayat Abortus.
7. Sedang menggunakan kontrasepsi hormonal : pil kombinasi.
8. Tidak melakukan hubungan seksual pada satu bulan terakhir.
4.2.4 Besar Sampel
Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
untuk uji analitik komparatif numerik tidak berpasangan dua kelompok, yaitu :
N1 = N2 = 2(Zα + Zβ)2S2
(X1 – X2)2
Zα = nilai distribusi normal, untuk kesalahan tipe I (α = 5% maka z =1,96)
Zβ = nilai distribusi normal, untuk kesalahan tipe II (β = 20% maka z  = 0,84)
47
X1= rerata kelompokEpisiotomi= 22,16
X2= rerata kelompokSeksio Sesarea= 28,32
S = standar deviasi kedua kelompok = 10,21
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus besar sampel di
atas maka didapatkan jumlah sampel minimal masing-masing kelompok dalam
penelitian ini adalah N1 = N2 = 43 orang. Jadi jumlah sampel minimal kedua
kelompok adalah 86 orang
4.2.5Pengambilan sampel
Wanita pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dan pasca seksio
sesarea yang melahirkan diRumah Sakit Sanglah dari bulan April 2011 sampai
dengan bulan Maret 2012, serta sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,
setelah enam bulan pasca persalinan. Kemudian dipilih secara consecutive
sampling sebanyak 43 orang sampel untuk kelompok episiotomi, dan 43 orang
sampel untuk kelompok seksio sesarea.
4.3 Variabel penelitian
4.3.1 Klasifikasi Variabel
a) Variabel tergantung adalah fungsi seksual.
b) Variabel bebas adalah persalinan pervaginam dengan episiotomi dan
persalinan dengan seksio sesarea.
c) Variabel
kendali
adalah
umur,
agama,
pendidikan,
pekerjaan,
tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan
48
medis kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam
keluarga.
4.3.2 Definisi Operasional Variabel
1.
Fungsi seksual wanita adalah fungsi seksual pada wanita yang dinilai
dengan FSFI (Female Sexual Function Index) yang terdiri dari 19 item
pertanyaan. Skor masing-masing domain dan skor secara keseluruhan
dihitung dengan rumus sesuai dengan yang tertera pada tabel FSFI.
2.
Persalinan pervaginam dengan episiotomi adalah melahirkan bayi melalui
vagina dengan tindakan insisi pada perineum secara mediolateral yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara,
jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit
sebelah depan perineum.
3.
Persalinan dengan seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.
4.
Umur adalah umur dinyatakan dalam tahun yang didapatkan dari kartu
tanda penduduk, jika tidak ada umur diperkirakan dengan menghubungkan
kelahiran dengan kejadian yang bersejarah di lingkungan sekitar.
5.
Agama adalah agama ataupun keyakinan yang dianut responden saat
penelitian.
6.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil
ditamatkan dan didapatkan dari hasil wawancara langsung.
49
7.
Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang dilakukan pada sebagian besar waktu
dalam sehari dan menghasilkan uang dan didapatkandari hasil wawancara
langsung.
8.
Tanggungan asuransi adalah bantuan pembiayaan asuransi saat persalinan
baik dari pemerintah ataupun swasta.
9.
Usia kehamilan adalah usia kehamilan saat persalinan terjadi yang
didapatkan dari catatan medis.
10. Berat badan bayi lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang setelah
persalinan yang didapatkan dari catatan medis.
11. Perawatan medis kembali adalah perawatan di rumah sakit kembali setelah
pasien dipulangkan pasca bersalin, yang masih berkaitan dengan masalah
persalinannya.
12. Menyusui adalah aktifitas responden berupa memberikan air susunya
(ASI) kepada bayinya minimal dalam waktu satu bulan terakhir, tanpa
memandang adanya kombinasi dengan susu formula.
13. Bantuan pengasuh bayi adalah bantuan yag diperoleh responden dari orang
lain yang bukan suaminya dalam merawat bayi.
14. Masalah dalam keluarga adalah masalah rumah tangga yang dialami
responden baik dengan suami ataupun orang lain yang dirasakan
mengganggu aktifitas seksualnya dalam enam bulan terakhir.
4.4 Bahan Penelitian
1. Kuisioner FSFI yang memuat tentang fungsi seksual.
50
2. Data tambahan tentang identitas pasien, demografi sosio-ekonomi, yang
diambil dari catatan medis responden.
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian
4.5.1
Tempat Penelitian : di tempat tinggal responden.
4.5.2 Waktu penelitian : selama satu tahunmulai bulan Oktober 2011 sampai
dengan bulan September 2012 (enam bulan pasca persalinan untuk sampel
yang melahirkan dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012).
4.6 Alur Penelitian
Sampel penelitian diambil secara consecutive sampling. Setelah dilakukan
sampling kepada sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, diberikan
penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian ini, selanjutnya bagi yang
bersedia mengikuti penelitian ini dilakukan informed consent.Selanjutnya pasien
melakukan pengisian kuisioner, dan peneliti melakukan anamnesis dan
penelusuran rekaman medik untuk melengkapi data yang diperlukan. Jika pasien
tidak mampu atau kesulitan untuk membaca maka peneliti akan membantu untuk
membacakan kuisioner yang tersedia. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi
kelompok persalinan dengan episiotomi dan seksio sesarea, dan selanjutnya
dilakukan pengukuran fungsi seksual.Setelah semua data terkumpul dilakukan
analisis data.
51
Wanita pasca Persalinan
Pervaginam dengan Episiotomi
dan Seksio Sesarea
Kriteria eksklusi
Kriteria inklusi
Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita
Analisis data
Bagan 4.1 Alur Penelitian
4.7 Analisis Data
Setelah dilakukan evaluasi ulang terhadap kelengkapan data, dilakukan
analisis dengan perangkat lunak komputer :
a. Analisis statistik deskriptif terhadap data demografi sampel.
b. Ditentukan skoring dari jawaban setiap pertanyaan dari kuisioner FSFI yang
telah diisi subyek dan ditentukan jenis dan derajat disfungsi masing-masing
subyek
c. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov untuk menguji normalitas data.
d. Hubungan antara variabel kendali (umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan medis
kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga), dan
52
variabel dependen (fungsi seksual) diuji menggunakan analisis multivariat
dengan regresi logistik.
e. Perbedaan skor FSFI antara kelompok yang melahirkan pervaginam dengan
episiotomi dan kelompok seksio sesarea untuk menguji perbedaan fungsi
seksual digunakan uji t test jika data berdistribusi normal. Jika data tidak
berdistribusi normal digunakan uji Mann-Whitney.
f. Analisis statistik menggunakan interval kepercayaan (IK) 95%. Hubungan
dikatakansignifikan bila nilai p < 0,05.
53
BAB V
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan penelitian mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan
September 2012, yaitu enam bulan pasca persalinan untuk sampel yang melahirkan
dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Maret 2012. Sebanyak 86 pasien yang
terdiri dari 43 pasca persalinan dengan episiotomi dan 43 pasca persalinan dengan
seksio sesarea dilibatkan dalam penelitian ini.
5.1 Karakteristik Subyek
Pada penelitian cross sectional ini telah dilakukan uji beda menggunakan
uji t-independent untuk variabel kendali yaitu umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggungan asuransi, usia kehamilan, berat badan bayi lahir, perawatan medis
kembali, menyusui, bantuan pengasuh bayi, dan masalah dalam keluarga, seperti
yang ditunjukkan dalam tabel 5.1.
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa
karakteristik subyek antar kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak
bermaknadengan nilai p>0,05. Hal ini berarti bahwa karakteristik subyek kedua
kelompok adalah sama, sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat
diabaikan.
Sementara saat mulai hubungan seksual pasca persalinan (dalam bulan)
untuk masing-masing kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea
ditunjukkan dalam tabel 5.2.
54
Tabel 5.1
Karakteristik Subyek pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea
Variabel
Umur (tahun)
Agama : Hindu
Islam
Kristen
Katholik
Budha
Kepercayaan
Pendidikan : Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
S1
S2
S3
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Karyawan
Wirausaha
PNS
Pensiunan
Tanggungan asuransi : Ya
Tidak
Usia kehamilan: <37 minggu
37-42 minggu
˃ 42 minggu
Berat badan bayi lahir : <2500 g
2500-4000 g
˃ 4000 g
Perawatan medis kembali : Ya
Tidak
Menyusui : Ya
Tidak
Bantuan pengasuh bayi : Ya
Tidak
Masalah dalam keluarga : Ya
Tidak
Pasca
Episiotomi
(n=43)
24,53±4,23
33 (76,74%)
4 (9,30%)
4 (9,30%)
2 (4,65%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
6 (13,95%)
35 (81,40%)
2 (4,65%)
0 (0%)
0 (0%)
20 (46,51%)
17 (39,53%)
4 (9,30%)
2 (4,65%)
0 (0%)
23 (53,49%)
20 (46,51%)
6 (13,95%)
35 (81,40%)
2 (4,65%)
12 (27,91%)
31 (72,09%)
0 (0%)
0 (0%)
43 (100%)
39 (90,70%)
4 (9,30%)
26 (60,47%)
17 (39,53%)
8 (18,60%)
35 (81,40%)
Pasca Seksio
Sesarea
(n=43)
23,72±4,23
33 (76,74%)
6 (13,95%)
2 (4,65%0
2 (4,65%)
0 (0%)
0 (0%)
1 (2,33%)
4 (9,30%)
6 (13,95%)
30 (69,77%)
2 (4,65%)
0 (0%)
0 (0%)
18 (41,86%)
23 (53,49%)
1 (2,33%)
1 (2,33%)
0 (0%)
23 (53,49%)
20 (46,51%)
2 (4,65%)
40 (93,02)
1 (2,33%)
10 (23,26%)
33 (76,74%)
0 (0%)
0 (0%)
43 (100%)
36 (83,72%)
7 (16,28%)
21 (48,84%)
22 (51,16%)
10 (23,26%)
33 (76,74%)
p
0,375
0,785
0,250
0,371
1,000
0,264
0,621
1,000
0,270
0,279
0,596
Analisis kemaknaan saat mulainya hubungan seksual pasca persalinan pada
kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan (p>0,05). Sebagian besar subyek
55
memulai hubungan seksual pada tiga bulan pasca persalinan, baik pada kelompok
pasca episiotomi (60,47%) ataupun pasca seksio sesarea (46,51%).
Tabel 5.2
Saat Mulai Hubungan Seksual Pasca Persalinan
Variabel
Saat mulai hubungan seksual
(dalam bulan) :
1
2
3
4
5
6
Pasca
Episiotomi
(n=43)
0 (0%)
11 (25,58%)
26 (60,47%)
6 (13,95%)
0 (0%)
0 (0%)
Pasca Seksio
Sesarea
(n=43)
0 (0%)
17 (39,53%)
20 (46,51%)
4 (9,30%)
2 (4,65%)
0 (0%)
p
0,215
5.2 Fungsi Seksual pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea
Fungsi seksual pada kedua kelompok pasca episiotomi dan pasca seksio
sesarea dilakukan uji beda dengan uji t-independent, didadapatkan hasil seperti
dalam tabel 5.3.
Tabel 5.3
Rerata Skor FSFI pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio Sesarea
Variabel
Skor total FSFI
Hasrat seksual
Rangsangan
Lubrikasi
Orgasme
Kepuasan
Nyeri
Disfungsi seksual (Skor ≤ 26,55)
Ya
Tidak
Pasca
Episiotomi
(n=43)
13,53±3,02
4,70±1,15
4,90±1,45
5,46±1,21
5,43±1,27
5,16±1,49
5,06±1,62
Pasca Seksio
Sesarea
(n=43)
14,90±0,96
5,21±0,62
5,23±0,55
5,83±0,50
5,85±0,45
5,75±0,56
5,89±0,44
8 (18,60%)
35 (81,40%)
1 (2,33%)
42 (97,67%)
p
0,006
0,014
0,160
0,067
0,045
0,018
0,002
0,030
56
Analisis kemaknaan pada fungsi seksual kedua kelompok menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05) pada domain rangsangan, dan lubrikasi,
sedangkan pada domain hasrat, orgasme, kepuasan, nyeri, total skor FSFI, serta
disfungsi seksual pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan
dengan nilai p<0,05.
57
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek
Pada penelitian cross sectional dengan 86 orang sampel yang terdiri dari 43
pasca episiotomi dan 43 pasca seksio sesarea ini, terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas karakteristik masing-masing sampel untuk mengetahui apakah kedua
kelompok berdistribusi normal, untuk selanjutnya dilakukan pengujian sesuai
masing-masing karakter untuk melihat pengaruhnya terhadap fungsi seksual pasca
persalinan pada kedua subyek yang diteliti.
Umur secara alamiah tetap berpengaruh pada penurunan aspek seksualitas,
dimana aktivitas seksual wanita terbaik tercapai pada usia muda, selanjutnya akan
turun pada usia tua (Baksu, dkk., 2007).
Agama,
ras,
ataupun
faktor
kepercayaan adat istiadat tertentu merupakan faktor psikologis yang juga
berpengaruh terhadap penerimaan seorang wanita post partum terhadap
pasangannya (Abdool, dkk., 2009). Sementara hubungan antara tingkat pendidikan
dan kepuasan seksual saat ini masih diperdebatkan. Tingkat pendidikan yang
cukup baik akan berpengaruh positif terhadap pengenalan fungsi seksual,
sementara pengaruh mitos yaitu informasi yang berkaitan dengan kepuasan seksual
yang sebenarnya salah tetapi dianggap benar karena beredar lama, bahkan dari
generasi ke generasi, dengan pengetahuan yang memadai, akan semakin rendah
pengaruhnya karena mereka tahu informasi tersebut salah dan menyesatkan
(Pangkahila, 2005; Windhu, 2009).
58
Kekhawatiran pada masalah keuangan, keadaan sosio-ekonomi (pekerjaan),
termasuk adanya jaminan asuransi saat persalinan juga mempengaruhi suatu
pasangan dalam menjalani kehidupan seksualnya. Beban kerja ataupun kesibukan
mengasuh bayi itu sendiri tidak sedikit membawa stress fisik ataupun psikis pada
kedua pasangan. Adanya bantuan pengasuh bayi baik dari baby sister ataupun
keluarga lain yang membantu akan mengurangi beban pengasuhan bayi (Abdool,
dkk., 2009). Masalah dalam keluarga dapat menimbulkan stigma negatif bagi
seorang istri dalam berhubungan dengan suaminya. Pengalaman yang tidak
menyenangkan ini pada akhirnya dapat menimbulkan kekecewaan, yang dapat
melenyapkan dorongan seksual (Pangkahila, 2005; Brtnicka, dkk., 2009).
Usia kehamilan berkorelasi dengan berat badan lahir bayi. Semakin besar
berat badan lahir bayi ditambah dengan partus kala dua yang lama, akan semakin
berpengaruh terhadap denervasi saraf pudenda. Hal ini akan berpengaruh terhadap
insiden inkontinensia urin dan fekal dikemudian hari, yang tentunya akan
menurunkan kualitas seksual post partum (Harris, 2003). Sedangkan perawatan
luka pasca episiotomi ataupun
pasca seksio sesarea yang kurang baik akan
berdampak pada tingginya morbiditas pasca persalinan baik oleh karena infeksi,
perdarahan, serta penjahitan luka yang kurang baik, sehingga tak jarang
memerlukan perawatan rumah sakit kembali setelah pasien dipulangkan. Hal ini
dapat mempengaruhi seksualitas seorang wanita dikemudian hari pasca persalinan
tergantung derajat morbiditas yang dialaminya (Tacker dan Banta, 1983). Aspek
fisik maupun psikologis seksualitas dari seorang wanita berubah dengan aktivitas
menyusui. Terdapat beberapa informasi yang masih kontroversial antara pengaruh
59
menyusui dan seksualitas. Sementara beberapa penelitian melaporkan efek positif
pada seksualitas, bukti-bukti efek negatif menyusui juga tidak kalah banyak
(Abdool, dkk., 2009). Bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menyusui,
kebanyakan studi melaporkan bahwa pemberian ASI justru menurunkan keinginan
seksual pada wanita. Menyusui tampaknya terkait dengan kekeringan vagina yang
berpengaruh
pada
kejadian
dispareunia,
dan
atau
kehilangan
libido
(Glazener,1997; Avery, dkk., 2000; LaMarre, dkk., 2003).
Karakteristik kedua kelompok untuk variabel kendali yang berpengaruh pada
fungsi seksual pasca persalinan pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang
tidak bermakna (p>0,05), atau karakteristik kedua kelompok dapat dikatakan sama,
sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan.
6.2 Perbedaan Fungsi Seksual pada Kelompok Pasca Episiotomi dan Seksio
Sesarea
Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna (p>0,05) pada rangsangan dan lubrikasi, sedangkan hasrat seksual,
orgasme, kepuasan, nyeri, skor total FSFI, dan disfungsi seksual pada kedua
kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Hasrat seksual pasca persalinan antara kelompok pasca episiotomi dengan
pasca seksio sesarea dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan perbedaan
yang bermakna, dimana p=0,014. Hal ini sesuai dengan studi cross-sectional oleh
Barrett, dkk. (2000), yang menyatakan bahwa hilangnya hasrat seksual pasca
persalinan sebesar
53% pada tiga bulan dan 37% pada enam bulan setelah
60
melahirkan, dibandingkan dengan 9% pada kehamilan sebelumnya. Dalam studi di
Nigeria, hilangnya hasrat seksual wanita pasca persalinan terjadi pada 61% dan
26% masing-masing pada enam minggu dan enam bulan pasca persalinan (Oboro,
2002). Penurunan hasrat seksual kemungkinan disebabkan karena trauma
persalinan pervaginam. Rasa nyeri dan proses persalinan yang panjang merupakan
salah satu pengalaman buruk yang seringkali masih mempengaruhi hasrat seksual
ketika akan memulai berhubungan. Terlepas dari berkurangnya vasodilatasi vagina
secara fisiologis, faktor risiko yang berkaitan dengan penurunan hasrat seksual
pasca persalinan juga dipengaruhi oleh pengalaman buruk sebelumnya (seperti
akibat dari dispareunia), gangguan elastisitas vagina, kecemasan seksual,
kelelahan, serta depresi. Disamping itu orientasi seksual wanita pasca melahirkan
juga cenderung berubah ketika skala prioritas rumah tangga kemudian lebih
mengutamakan pada pengasuhan bayi, masalah menyusui, ataupun kontrasepsi
(Clayton, AH., dkk., 2002).
Rangsangan, merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi seksual
dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual untuk melakukan
hubungan seksual (Rosen R, dkk., 2000). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna
secara statistik (p=0,160), dalam hal rangsangan pada kedua kelompok pasca
episiotomi dan pasca seksio sesarea. Meskipun hasrat seksual menjadi menurun
pasca persalinan, tetapi ketika seorang wanita mampu memusatkan diri pada
stimulasi seksual yang timbul dari dalam dirinya akibat inisiatif sendiri atau akibat
rangsangan seksual pasangannya, maka bukannya tidak mungkin dia dapat
melewati fase rangsangan dengan baik. Jenis stimulasi, waktu yang dibutuhkan
61
bersifat sangat subyektif dan berbeda pada setiap wanita (Windhu, 2009). Menurut
Basson, dalam teori “sexual response circle”, fase perangsangan (arousal) pada
wanita tidak selalu didahului oleh hasrat (desire).Hasrat atau keinginan dalam
berhubungan seksual timbul setelah wanita tersebut mendapatkan atau terangsang
secara seksual. Wanita memiliki berbagai alasan untuk terlibat dalam aktifitas
seksual, bukan hanya oleh semata-mata karena kebutuhan atau keinginan
sebagaimana dijabarkan dalam model tradisional dari respon seksual wanita
(Basson, 2004).
Lubrikasi, merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang dihasilkan
oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin yang terdapat
diantara himen dan labia minora. Lubrikasi terjadi pada saat wanita terstimulasi
secara seksual baik stimulasi yang dilakukan secara fisik maupun stimulasi psikis
(Rosen R, dkk., 2000). Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang
bermakna secara statistik (p=0,067), dalam hal lubrikasi pada kedua kelompok
pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea. Hal ini kemungkinan oleh karena tidak
adanya gangguan dalam hal rangsangan, sehingga gairah seksual yang ditandai
oleh rasa hangat atau geli pada kelamin, pelumasan (basah), dan kontraksi otot
dapat terjadi secara normal. Pada episiotomi mediolateralis sayatan sengaja
dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptur perinei derajat tiga
ataupun empat. Bila episiotomi dilakukan dengan benar, dan tidak ada perluasan
derajat ruptur, serta tidak ada gangguan dalam penyembuhannya, maka episiotomi
tidak akan mengganggu fungsi kelenjar bartholin pada saat terjadinya reaksi
seksual, sehingga proses lubrikasi dapat terjadi dengan baik (Benson, 1994).
62
Pencapaian orgasme dalam hubungan seksual antara kedua kelompok
dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna,
dimana p=0,045. Klein (1994), menemukan bahwa wanita primipara dengan seksio
sesarea memiliki otot dasar panggul yang lebih kuat
pada tiga bulan setelah
melahirkan dibandingkan dengan wanita dengan ruptur spontan atau episiotomi.
Kelahiran pervaginam paling terkait dengan relaksasi otot panggul dan episiotomi
yang dilakukan tidak dapat mengurangi efek ini dan bahkan memperburuk. Dalam
studi lain, Klein dkk. (2005) menunjukkan bahwa ketidakpuasan seksual
perempuan lebih besar di antara wanita primipara yang melahirkan pervaginam
dibandingkan dengan kelompok seksio sesarea. Kesulitan dalam mencapai
orgasme dilaporkan sebesar 33% pada tiga bulan dan 23% pada enam bulan
pascapersalinan, dibandingkan dengan hanya 14% yang mengalami masalah ini
dalam tahun terakhir sebelum kehamilan. Gangguan Orgasme juga dipengaruhi
oleh adanya trauma perineum, dengan penyembuhan yang kurang baik, asimetris,
sehingga nyeri yang ditimbulkan mengakibatkan ketidaknyamanan dalam
hubungan seksual. Pada enam bulan pascapersalinan saat dibandingkan dengan
wanita yang mengalami ruptur perineum derajat dua, tiga, ataupun empat, pada
wanita dengan perineum utuh dilaporkan mempunyai fungsi seksual yang lebih
baik, termasuk sensasi seksual, kepuasan seksual, dan kemungkinan orgasme
(Signorelo, 2001).
Kepuasan seksual, merupakan kemampuan mencapai orgasme setiap kali
melakukan hubungan seksual, meskipun terdapat faktor psikologis lain dalam
mencapai kepuasan (Rosen R, dkk., 2000). Terdapat perbedaan yang bermakna
63
secara statistik,
dimana p=0,018, pada kedua kelompok terhadap kepuasan
seksual. Ketika orgasme terganggu, maka kepuasan seksual kemungkinan besar
tidak akan tercapai dengan baik, meskipun terdapat faktor-faktor lain seperti
kedekatan emosional yang mempengaruhi kepuasan seksual (Basson, 2004).
Dalam penelitian oleh Baksu dkk. (2007), disebutkan bahwa domain yang
memiliki dampak paling besar pada nilai FSFI adalah rasa nyeri dan kepuasan.
Dalam studi lain, Klein, dkk. (2005) menunjukkan bahwa ketidakpuasan seksual
perempuan lebih besar di antara wanita primipara yang melahirkan pervaginam
dibandingkan dengan kelompok seksio sesarea. Demikian juga hasil yang kami
dapatkan menunjukkan efek positif dari seksio sesarea pada fungsi seksual setelah
melahirkan jika dibandingkan dengan episiotomi mediolateral.
Nyeri saat hubungan seksual dalam penelitian ini menunjukkan perbedaan
yang bermakna antara kelompok pasca episiotomi dengan pasca seksio sesarea,
dimana p=0,002. Hal ini sesuai dengan penelitian Baksu, dkk (2007), dimana
domain yang memiliki dampak paling besar pada nilai FSFI adalah rasa nyeri, dan
kepuasan. Nyeri perineum terjadi pada 42% wanita segera setelah melahirkan, dan
secara signifikan berkurang sampai 22% dan 10% pada masing-masing delapan
dan 12 minggu pasca persalinan (Glazener, CM., 1997). Penelitian lain juga
menunjukkan 16% tindakan episiotomi mengakibatkan lesi saraf pudenda. Lesi ini
akan menjelaskan terjadinya dispareunia, yaitu nyeri genital rekuren atau persisten
yang berkaitan dengan hubungan seksual pasca persalinan(Harris, 2003).
Secarakeseluruhan dalam penelitian ini terdapat perbedaan yang bermakna
secara statistik pada skor total FSFI (p=0,006), serta terjadinya disfungsi seksual
64
pada kedua kelompok (p=0,030),pasca episiotomi dan pasca seksio sesarea,
dimana disfungsi seksual dikatagorikan pada skor total FSFI ≤ 26,55. Hal ini
sesuai dengan penelitian Baksu, dkk. (2007), yang melaporkan terdapat penurunan
yang signifikan dalam skor total FSFI untuk semua dimensi kunci dari fungsi
seksual (hasrat, rangsangan, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan nyeri), antara
kondisi sebelum hamil dengan enam bulan pasca episiotomi mediolateralis.
Sementara Signorelo (2001), menyatakan bahwa pada enam bulan pascapersalinan
saat dibandingkan dengan wanita yang mengalami ruptur perineum derajat dua,
tiga, ataupun empat, pada wanita dengan perineum utuh dilaporkan mempunyai
fungsi seksual yang lebih baik.
Masalah emosional dan fisik pasca persalinan merupakan masalah umum
dan cenderung meningkat seiring waktu. Keluhan seperti inkontinensia uri dan
fekal dapat meningkat secara medis, namun masalah kesehatan emosional
tampaknya tidak dikenali. Hal ini sangat mungkin bahwa ketidakharmonisan
seksual merupakan penyumbang utama bagi kebahagiaan perempuan dan
pasangannya. Mengingat frekuensi masalah kesehatan seksual serta morbiditas
seksual pasca melahirkan, maka sewajarnyalah kita harus lebih memperhatikan
penggunaan episiotomi mediolateral. Hasil penelitian kami sangat penting pada
konseling wanita selama periode antenatal tentang cara persalinan dan isu-isu
terkait dalam hal fungsi seksual. Kami percaya konseling seksual pasca persalinan
harus menjadi bagian dari tindak lanjut antenatal, meskipun kendala yang dihadapi
selama ini dalam kontrol rutin enam minggu pasca melahirkan sebagian besar
65
wanita pasca bersalin belum memulai aktifitas seksualnya, sehingga masalah
disfungsi seksual cenderung terabaikan.
6.3 Kelemahan Penelitian
Menganalisis fungsi seksual seorang wanita bukanlah suatu hal yang
sederhana. Kami sangat menyadari bahwa dalam keterbatasan waktu dan sampel
penelitian dengan metodecross sectional ini, kami hanya mampu mengungkapkan
adanya perbedaan fungsi seksual kedua kelompok. Sementara hubungan sebab
akibat antara episiotomi dan seksio sesarea terhadap fungsi seksual pasca
melahirkan belum bisa dianalisis dengan metode ini, meskipun kualitas seksual
antara kedua kelompok dapat kami gambarkan. Penelitian kami juga tidak
menganilisis fungsi seksual sebelum kehamilan dan persalinan pada masingmasing sampel, dengan asumsi semua sampel adalah pasca persalinan pertama kali
tanpa riwayat obstetri buruk, sehingga dengan adanya kehamilan itu sendiri kami
menganggap fungsi seksualnya baik. Masih banyaknya faktor-faktor lain sebagai
variabel pengganggu yang belum bisa kami ungkapkan dalam penelitian ini, seperti
lama kala dua persalinan, indikasi seksio sesarea tanpa memandang kasus elektif
ataupun emergensi, depresi post partum, kualitas menyusui, serta faktor budaya
lainnya yang turut mempengaruhi fungsi seksual pasca melahirkan, sehingga
diperlukan penelitian lanjutan yang akan menyempurnakan hasil penelitian ini.
66
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik fungsi seksual wanita
pasca persalinan pervaginam dengan episiotomi dibandingkan dengan pasca seksio
sesarea, masing-masing pada variabel hasrat, orgasme, kepuasan, nyeri, skor total
FSFI, serta disfungsi seksual.
7.2 Saran
1. Mengingat dampaknya pada fungsi seksual pasca melahirkan, maka
tindakan episiotomi pada persalinan primigravida selayaknya lebih
mendapat perhatian dari para pelayan kesehatan.
2. Fungsi seksual hendaknya menjadi salah satu agenda pada pelayanan pasca
persalinan, sehingga pelayanan tidak terbatas pada enam minggu masa
nifas, mengingat sebagian besar wanita pada saat itu belum memulai
aktifitas seksualnya.
3. Diperlukan penelitian lanjutan tentang seksualitas pasca persalinan dengan
metode yang lebih sempurna.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdool, Z., Thakar, R., Sultan, AH. 2009. Postpartum female sexual
function: A review. Eur J Obstet Gynecol.doi:10.1016/j.ejogrb.2009.04.014
Alder, EM., Cook, A., Davidson, D., West, C., Bancroft, J. 1986.
Hormones, mood and sexuality in lactating women. Br J Psychiatry.148:74–9
Andrews, V., Thakar, R., Sultan, AH., Jones, PW. 2008. Evaluation of
postpartum perineal pain and dyspareunia—a prospective study. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol.137:152–6.
Arcos, B. 2004. Female Sexual Function and Response. New Orlean:
JAOA Supplement . Vol. 104 No. 1.
Avery, MD., Duckett, L., Frantzich, CR. 2000. The experience of sexuality
during breastfeeding among primiparous women. J Midwifery Womens
Health.45(3):227–37.
Baksu, B., Davas, I., Agar, E., Akyol, A., Varolan, A. 2007. The effect of
mode of delivery on postpartum sexual functioning in primiparous women. Int
Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct. 18(4):401–6.
Barrett, G., Pendry, E., Peacock, J., Victor, C., Thakar, R., Manyonda, I.
2000. Women’s sexual health after childbirth. BJOG. 107(2):186–95.
Barrett, G., Peacock, J., Victor, CR., Manyonda, I. 2005. Cesarean section
and postnatal sexual health. Birth;32(4):306–11.
Basson, R., dkk. 2000. Report of International Consensus Development
Conference on Sexual Dysfunction: definitions and classifications.J Urol. 163:
888 – 93.
Basson, R., 2001. Are the complexities of women’s sexual function reflected
in the new consensus definitions of dysfunction? J Sex Marital Ther;27:105–112.
Basson, R. dkk. 2004. Revised Definitions of Women’s Sexual Dysfunction.
Canada : Journal of Sexual Medicine, Vol. 1, No. 1: 40-8
Benson, RC., Pernoll, ML. 1994. Hand book of Obstetric & Gynaecology,
Mc Graw-Hill, Inc, 9 th ed: 362-372.
68
Bertozzi, S.,Londero, AP.,Fruscalzo, A.,Driul, L.,Delneri, C., Calcagno, A.,
Benedetto, P., Marchesoni, D. 2011. Impact of episiotomy on pelvic floor disorders
and their influence on women's wellness after the sixth month postpartum: a
retrospective study.BMC Women's Health, 11:12doi:10.1186/1472-6874-11-12
Boyd, K., dkk. 2006. Postpartum Counseling : Sexuality and
Contraception.[cited 2011 Agst 26].Available from: http://www.arhp.org/
publications- and- resources
Brown, S., Lumley, J. 1998. Maternal health after childbirth : results of an
Australian population based survey. BJOG.105, pp.156-61.
Brtnicka, H., Weiss, P., Zverina, J. 2009. Human sexuality during
pregnancy and the postpartum period: A Review.Bratisl Lek Listy.110(7):427-431
Buhling, KJ., Schmidt, S., Robinson, JN., Klapp, C., Siebert, G.,
Dudenhausen, JW. 2006. Rate of dyspareunia after delivery in primiparae
according to mode of delivery. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 124(1):42–6.
Carroli, G., Mignini, L. 2009. Episiotomy for vaginal birth. Cochrane Dt
Syst Rev. 21: (1)
Chen, N., dkk. 2012. The clinical features and management of perineal
endometriosis with anal sphincter involvement: a clinical analysis of 31 cases.
Human Reproduction, Vol. 27, No. 6 pp. 1624-7.
Clayton, AH., dkk. 2002. Prevalence of sexual dysfunction among newer
antidepressants. J Clin Psychiatry. 63(4):357–66.
Cunningham, FG., Leveno, KJ., Bloom, SL., Hauth, JC., Rouse, DJ.,
Spong, CY. 2010. Williams Obstetrics. 23rd ed.USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc. chp. 17 & 25
Dharmarathna, HM., Tripathi, N., Atkinson, P. 2007. Painful, traumatic
neuroma of an episiotomy scar: a case report.J Reprod Med. May;52(5):456-7.
Gilstrap, LC., Cuningham, FG., Vandorsten, JP. 2002. Operative
Obstetrics. 2nd Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. p. 257-273.
Glazener, CM. 1997. Sexual function after childbirth: women’s
experiences, persistent morbidity and lack of professional recognition. Br J Obstet
Gynaecol.104(3):330–5.
Goepfert, AR., Guinn, DA., Andrews, WA., Hauth, JC. 1997. Necrotizing
Fasciitis after Cesarean Delivery. Obstet Gynecol 89:409
Harris, WH.2003.Repair of an Episiotomy.East Afr Med J. 80(7):351-6
69
Hartmann, K., Viswanathan, M., Palmieri, R., Gartlehner, G., Thorp, J.,
Kathleen, N. 2005. Outcomes of Routine Episiotomy: A Systematic Review. JAMA.
293:2141-2148
Kingberg, S., Althof, S.E. 2009. Evaluation and treatment of female sexual
disorders.Int. Urogynaecol J. 20:33-34.
Klein, MC. 1994. Relationship of episiotomy to perineal trauma and
morbidity, sexual dysfunction, and pelvic floor relaxation. Am J Obstet Gynecol.
171(3):591–8
Klein, MC., Kaczorowski, J., Firoz, T., Hubinette, M., Jorgensen, S.,
Gauthier, R. 2005. A comparison of urinary and sexual outcome in women
experiencing vaginal and cesarean births. J Obstet Gynaecol Can 27:332–339
LaMarre, AK., Paterson, LQ., Gorzalka, BB. 2003. Breastfeeding and
Postpartum Maternal Sexual Functioning: a review. The Canadian Journal of
Human Sexuality, Vol. 12(3-4) Fall/Winter.
Levin, R.J., 2007. The human sexual response - similarities and differences
in the anatomy and function of the male and female genitalia: are they a trivial
pursuit or a treasure trove?. The Psycophysiology of Sex. Janssen, E. Indiana
University press, 1st ed; 35-56.
Masters, WH., Johnson, VE. 1960. The human female: anatomy of sexual
response. Minn Med. 43:31–6.
Meston, C. 2003. Validation of the female sexual function index (FSFI) in
women with female orgasmic disorder and in women with hypoactive sexual desire
disorder. Journal of Sex & Marital Therapy.29:39-46
Oboro, VO., Tabowei, TO. 2002. Sexual function after childbirth in
Nigerian women. Int J Gynecol Obstet. 78(3):249–50.
Ottesen B., Pedersen B., Nielsen J., Dalgaard D., Wagner G., Fahrenkrug
J., 1987. Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) provokes vaginal lubrication in
normal women. Peptides; 8(5): 797-800.
Pangkahila, W. 2005. Peranan Seksologi dalam Kesehatan Reproduksi..
Dalam : Martaadisoebrata D, Astrawinata R, Saifudin, A.B., editors. Bunga
Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. hal. 64-89.
Pratamagriya. 2009. Disfungsi Seksual Wanita. In : Widjanarko, B., editor.
[cited 2011 Ags. 25]. Available from:http://pratamagriya.multiply.com/journal
70
Rasjidi, I. 2009. Manual Seksio Sesarea & Laparotomi Kelainan Adneksa,
Berdasarkan Evidence Based. Jakarta: CV Sagung Seto.
Rosen, R., dkk. 2000. The Female sexual function index (FSFI): A
Multidimensional Self-report Instrument for the Assesment of Female Sexual
Function. Journal of Sex and Marital Therapy.26(2):191-208
Sanders, SA., Graham, CA., Bass, JL., Bancroft, J. 2001. A prospective
study of the effects of oral contraceptives on sexuality and well-being and their
relationship to discontinuation. Contraception. 64(1):51–8.
Sarmana. 2004. Determinan non Medis dalam Permintaan Persalinan
Sectio Caesarea di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan tahun 2004 (Skripsi). Medan:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Univertsitas Sumatra Utara.
Signorello, LB., Harlow, BL., Chekos, AK., Repke, JT. 2001. Postpartum
sexual functioning and its relationship to perineal trauma: a retrospective cohort
study of primiparous women. Am J Obstet Gynecol.184(5):881–8.
Sultan, AH., Kamm, MA., Hudson, CN., Thomas, JM., Bartram, CI. 1993.
Anal Sphincter Disruption During Vaginal Delivery. N Engl J Med; 329:1905-11
Tacker, Banta. 1983. The Dangers of Episiotomy, It isn't just a bit 'sore'.
[cited 2011 Agst. 25]. Available from:http://www.vaccineriskawareness.com/TheDangers-of-Episiotomy
Tunardy, EI., Hartono, E., Abidin, N. 2011. Analisis Fungsi Seksual dalam
Kehamilan pada Primigravida berdasarkan Female Sexual Function Index
(FSFI).Sub Bagian Obginsos Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Universitas
Hasanuddin.
Walton, B., Thorton, T., 2003. Female sexual dysfunction.Curr Wom
Health Rep;3:319-26
Wiknjosastro, H., Saifuddin, AB., Rachimhadhi, T. editors. 2007. Ilmu
Bedah Kebidanan. Cetakan ketujuh. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. h.170-6
Windhu, S.C. 2009. Disfungsi Seksual : Tinjauan Fisiologi dan Patologis
Terhadap Seksualitas. Yogyakarta : Andi.
World Health Organization. 2002. DefiningSexual Health: Report of
technical consultation on sexual health. [cited 2011 Agst. 20]. Available from :
http://www.who.International/ reproductive-health/gender/sexual_health.html
Analisis Statistik
Umur
71
Group Statistics
Kelompok
Umur
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Epis
43
24.5349
4.22774
.64472
SC
43
23.7209
4.23323
.64556
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances
F
Um Equal variances
ur assumed
.566
Equal variances
not assumed
Sig.
.454
t-test for Equality of Means
t
Std.
Mean
Error
Sig. (2- Differen Differen
tailed)
ce
ce
df
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
.892
84
.375
.81395
.91237 -1.00039 2.62830
.892
84.00
0
.375
.81395
.91237 -1.00039 2.62830
Agama * Kelompok
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
Agama
SC
Total
1
33
33
66
2
4
6
10
3
4
2
6
4
2
2
4
43
43
86
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
1.067
a
3
.785
Likelihood Ratio
1.082
3
.781
.070
1
.791
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
86
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.00.
Pendidikan * Kelompok
Crosstab
72
Count
Kelompok
Epis
Pendidikan
SC
Total
1
0
1
1
2
0
4
4
3
6
6
12
4
35
30
65
5
Total
2
2
4
43
43
86
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.385a
7.316
3.250
86
4
4
1
.250
.120
.071
a. 6 cells (60.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .50.
Pekerjaan * Kelompok
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
Pekerjaan
SC
Total
1
20
18
38
2
17
23
40
3
4
1
5
4
2
1
3
43
43
86
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2sided)
df
3.139a
3.276
.191
86
3
3
1
.371
.351
.662
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.
Asuransi * Kelompok
Crosstab
73
Count
Kelompok
Epis
Asuransi
SC
Total
Ya
23
23
46
Tidak
20
43
20
43
40
86
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correctionb
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
Asymp. Sig. (2sided)
df
.000a
.000
.000
1
1
1
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
1.000
1.000
1.000
1.000
.000
1
.585
1.000
86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.00.
b. Computed only for a 2x2 table
UK * Kelompok
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
UK
SC
Total
1
6
2
8
2
35
40
75
3
Total
2
1
3
43
43
86
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
2.667
a
2
.264
Likelihood Ratio
2.766
2
.251
.831
1
.362
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
86
a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.50.
BBL * Kelompok
74
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
BBL
SC
Total
1
12
10
22
2
31
33
64
43
43
86
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.244a
1
.621
.061
1
.805
.245
1
.621
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Casesb
Exact Sig. (1sided)
.805
.241
1
.403
.623
86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for BBL (1.00 / 2.00)
Lower
Upper
1.277
.483
3.376
For cohort Kelompok = Epis
1.126
.713
1.780
For cohort Kelompok = SC
.882
.526
1.476
N of Valid Cases
86
Perawatan medis kembali * Kelompok
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
MRS_pasca_persalinan
Total
Sedang_menyusui * Kelompok
2
SC
Total
43
43
86
43
43
86
75
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
Sedang_menyusui
SC
Tidak
Ya
Total
Total
4
7
11
39
36
75
43
43
86
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2sided)
df
Pearson Chi-Square
Continuity Correctionb
.938a
1
.333
.417
1
.518
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
.949
1
.330
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.520
.927
1
.260
.336
86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Bantuan pengasuh bayi * Kelompok
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
Baby_sister
SC
Total
1
26
21
47
2
17
43
22
43
39
86
Total
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.173a
1
.279
.751
1
.386
1.176
1
.278
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Casesb
Exact Sig. (2sided)
.386
1.159
1
.282
86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Exact Sig. (1sided)
.193
76
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for baby_sister (1.00 / 2.00)
1.602
.681
3.768
For cohort Kelompok = Epis
1.269
.817
1.970
For cohort Kelompok = SC
.792
.520
1.207
N of Valid Cases
86
Ada_masalah_keluarga * Kelompok
Crosstab
Count
Kelompok
Epis
Ada_masalah_keluarga
SC
Total
1
8
10
18
2
35
33
68
43
43
86
Total
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
.281
a
1
.596
Continuity Correctionb
.070
1
.791
Likelihood Ratio
.282
1
.596
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Casesb
Exact Sig. (1-sided)
.792
.278
1
.396
.598
86
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Ada_masalah_keluarga
(1.00 / 2.00)
.754
.265
2.143
For cohort Kelompok = Epis
.863
.490
1.520
For cohort Kelompok = SC
1.145
.708
1.851
N of Valid Cases
Saat_mulai_hub_sex_pasca_persalinan * Kelompok
Crosstab
Count
86
77
Kelompok
Epis
SC
Total
Saat_mulai_hub_sex_pasca_persali 2
nan
3
11
17
28
26
20
46
4
6
4
10
5
0
43
2
43
2
86
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
4.468
a
3
.215
Likelihood Ratio
5.256
3
.154
.362
1
.548
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
86
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.00.
Female Sexual Function Index (FSFI)
Group Statistics
Kelompok
Skor_total
Minat
Birahi
Lubrikasi
Orgasme
Kepuasan
Nyeri
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Epis
43
13.5372
3.01481
.45975
SC
43
14.9023
.95755
.14602
Epis
43
4.7023
1.14839
.17513
SC
43
5.2047
.62410
.09517
Epis
43
4.8977
1.44576
.22048
SC
43
5.2326
.55279
.08430
Epis
43
5.4628
1.20811
.18424
SC
43
5.8326
.49556
.07557
Epis
43
5.4326
1.27162
.19392
SC
43
5.8512
.45375
.06920
Epis
43
5.1628
1.49109
.22739
SC
43
5.7488
.55907
.08526
Epis
43
5.0605
1.62101
.24720
SC
43
5.8930
.44153
.06733
Independent Samples Test
78
Levene's Test for
Equality of
Variances
F
Skor_t Equal variances
otal
assumed
Sig.
22.803
.000
Equal variances
not assumed
Minat
Equal variances
assumed
27.571
.000
Equal variances
not assumed
Birahi Equal variances
assumed
24.557
.000
Equal variances
not assumed
Lubrik Equal variances
asi
assumed
12.081
.001
Equal variances
not assumed
Orgas
me
Equal variances
assumed
19.321
.000
Equal variances
not assumed
Kepuas Equal variances
an
assumed
25.624
.000
Equal variances
not assumed
Nyeri
Equal variances
assumed
43.125
Equal variances
not assumed
.000
t-test for Equality of Means
t
Mean Std. Error
Sig. (2- Differenc Differenc
tailed)
e
e
df
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
-2.830
84
.006 -1.36512
.48239 -2.32439
-.40584
-2.830
50.389
.007 -1.36512
.48239 -2.33383
-.39640
-2.520
84
.014
-.50233
.19932
-.89869
-.10596
-2.520
64.819
.014
-.50233
.19932
-.90041
-.10424
-1.419
84
.160
-.33488
.23604
-.80428
.13451
-1.419
54.023
.162
-.33488
.23604
-.80812
.13835
-1.857
84
.067
-.36977
.19913
-.76576
.02623
-1.857
55.745
.069
-.36977
.19913
-.76872
.02918
-2.033
84
.045
-.41860
.20590
-.82805
-.00916
-2.033
52.525
.047
-.41860
.20590
-.83167
-.00554
-2.413
84
.018
-.58605
.24285 -1.06897
-.10312
-2.413
53.580
.019
-.58605
.24285 -1.07301
-.09908
-3.250
84
.002
-.83256
.25621 -1.34206
-.32306
-3.250
48.198
.002
-.83256
.25621 -1.34764
-.31747
Kat_skor_total * Kelompok Crosstabulation
Count
Kelompok
Epis
Kat_skor_total
SC
Total
1
8
1
9
2
35
42
77
43
43
86
Total
Chi-Square Tests
79
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
6.081a
1
.014
4.468
1
.035
6.835
1
.009
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
b
Exact Sig. (1sided)
.030
6.010
1
.015
.014
86
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for Kat_skor_total (1.00 / 2.00)
Lower
Upper
9.600
1.145
80.517
For cohort Kelompok = Epis
1.956
1.397
2.738
For cohort Kelompok = SC
.204
.032
1.307
N of Valid Cases
86
Data Hasil Penelitian
80
DATA DEMOGRAFI
Daftar Responden Episiotomi
No Kuisioner
NO
PARTUS
CM
1
April 2011
01467478
2
April 2011
01470373
3
4
5
April 2011
April 2011
April 2011
01471331
01472498
01474583
6
April 2011
01475267
7
April 2011
01458597
8
April 2011
01477384
9
10
April 2011
Apl 2011
01477539
01551941
11
Mei 2011
01478778
12
Mei 2011
01480551
13
Mei 2011
01481810
14
Mei 2011
01234819
15
Jun 2011
006053
16
Ags.2011
01498976
17
Ags.2011
01499472
Wahyuningsih
18
Sep. 2011
01508922
Ngh Asti
19
Sep. 2011
01511481
L. Pt. Suartini
1
Wayan Wartini
Veronika
Winikaka
Solvina Bopi
Katarina Ro
Naha Ana Awang
Ni Luh Pt. Sri
Wahyudi
Ni Putu
Wahyunita
Ghiza Maelga
Almarra
kasiyanti
Kadek Parwati
L.P. Novi
Purnamasari
Made Artini
Wiwik
Purwaningsih
Ni Ngh Reniti
Asih
Ni Luh Wiwik
Wahyuniari
Angela Maria
Humak
20
Okt. 2011
01515661
Ririan Indra
Rukmana
21
Okt. 2011
01458971
Ni Wy. Adila
22
Okt. 2011
00820231
23
Okt. 2011
01512736
24
Nov. 2011
01520331
25
Nov. 2011
01217693
26
Nov. 2011
01521377
27
Nov. 2011
01522883
28
Nov. 2011
01677293
29
Nov. 2011
01519305
30
Des. 2011
01527072
31
Des. 2011
01527875
32
Des. 2011
01199011
Kdk. Yuniarti
Pt. Harum
Samiasih
Marifatul
Mandasari
Ni Kt. Ari
Sudanti
Edel Meri Kuin
Mery
Handarayani
Pt. Ayu Intan
Artiasih
Hana Sri
Murwani
Yuliana Seri
Ayu Supartini
Miswati
Md. Dian
Anggriyani
33
Jan.2012
01533692
34
Jan.2012
01532826
35
Jan.2012
01007699
36
Jan.2012
01538688
37
Feb. 2012
01542677
Ni Luh
Padmawati
Ayu Pt. Sariani
Ni Komang
Darni
Pt. Ayu Suartini
38
Feb. 2012
01538792
Ni Kt. Juliantini
39
Feb. 2012
01539034
Ni Md. Agustini
40
Feb. 2012
01100037
41
Feb. 2012
01541627
42
Feb. 2012
01541639
43
Mrt 2012
01545581
Tina Ina
Dewi Fajariyah
Ekawati
Tatik Kurniasih
Faridah
Rochaini
Ni Nyoman
Widiasih
2
3
Wisma Nusa Dua Permai N0. 64 A Nusadua
081936815920
Jl. Yudistira Gg. 14, Br. Tampak Gangsul Dps
082144465417
Jl. Tk. Banyusari Gg. Pelita I No. 17 Dps
Jl. Raya Sesetan Gg. Pantus Sari No. 24 Dps
Jl. P Adi Gg. IV No. 6 Dps
081237000245
081236763742
082141384753
Jl. Kepundung No. 46 Dps
08179765572
Jl. Cokroaminoto Gg Melati No. 2
0361 410491
Jl. Nusa Kambangan Gg. XIV No. 14 Dps
087861848000
Jl. Raya Tuban Gg. Danasari No. 4
Jl. Sindureja Gg. Arjuna No.3 Dps
081936021484
081916229177
Jl. Sekuta Gg. Harum No. 5 Sanur
087861001518
Jl. Tk. Balian Gg. XXIII No. 3 Dps
087860109583
Jl. Raya Sesetan Gg. Lumba-lumba
087757950491
Jl. Wibisana Barat Perum Graha Adi No.
10 Dps
Jl. Pulau Moyo BTN Jati Pesona Gg. Muri
No. 3 Dps
Jl. P. Moyo Gg. Subuk Sari B No. 35 Densel
Jl. G. Patuha VI No. 62 Tegal Harum
Denbar
Jl Tk Banyusari Gg XII No 24 Dps
Jl. Nusa Kambangan Gg. XXIV No. 4B
Pengiasan Ds. Dauh Puri Kauh Denbar
Jl. Narakusuma Gg. VIII/IA Dps
Jl. Tk. Petanu Gg. III/4 Br. Bekul Panjer
Dps
Jl. Hayam Wuruk Gg. XVI No. 9 Dps
081558755009
087860572986
081393669540
082147959377
081999125267
085737412288
087860798001
081936002111
081353011559
Jl. Nusa Indah Gg. IV No. 1 Dentim
085792925828
Jl. Pendidikan II Sidakarya Gg. Bunga Dps
087916168948
Jl. Suli Gg I No. 2 Dps
Jl. Tk. Pakerisan Gg. Batur No. 7 Dps
Jl. Kepundung Gg. II No. 10 Dps
085737006585
Jl. Plawa Gg. XV No. 17 Dps
085646906183
Jl. P. Biak No. 11 Dps
085738914050
Jl. Tk. Banyuning C 8, Panjer Densel
(0361)8741703
Jl. Mandala Sari Gg. Trisula Dps
081916111479
Jl. Tk. Irawadi No. 31 Dps
Jl. Buana Raya Gg. Buana Luhur No. 10
Dps
Jl. Gunung Salak Gg. Tegal Indah Permai
No. 15 Dps
Jl. Noja I No. 38 Dentim
Jl. Salya Gg. IV No. 10, Br. Puncak Sari,
Dentim
Jl. P. Seram No. 3 Dps
Jl. Veteran Gg. IV No. 12 Dangin Puri Kauh
Dps
Jl. Tk Yeh Aya IX No. 37 Br. Kelod Desa
Renon Dps
085239601861
0817551937
085738055095
085792572947
08174772703
Jl. P. Maluku III Gg. Pelita I No. 6 Dps
(0361)3642908
Jl. Subur Gg. Mirah Cempaka 45/9 Dps
087860126790
Jl. Diponegoro Gg. 06/2 Dps
085738055095
Jl. Gunung Andakasa Gg. Kamboja III No.
11 Dps
087860014457
2
1
0
2
1
1
2
1
2
1
1
3
1
1
4
1
1
5
4
2
2
2
2
1
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
2
1
2
2
2
2
3
3
2
3
1
2
2
2
2
2
2
4
1
2
2
2
2
2
2
2
2
4
4
4
2
1
1
2
1
2
2
2
2
1
2
1
2
2
2
2
2
2
1
1
2
2
2
1
3
3
2
1
1
4
4
2
2
2
2
1
2
1
2
2
2
1
2
1
2
1
2
3
2
20
1
4
1
1
2
2
2
2
2
2
3
24
1
4
1
1
2
2
2
2
1
2
3
25
1
3
1
1
2
2
2
2
2
2
3
29
3
4
2
2
1
1
2
1
1
1
3
35
21
1
1
4
4
1
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
3
2
21
1
4
1
1
2
2
2
2
1
2
2
34
1
4
1
1
2
2
2
2
1
1
4
23
21
1
1
4
3
1
1
1
2
2
1
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
3
3
20
1
4
1
1
2
2
2
2
2
2
3
22
2
3
2
1
1
1
2
2
1
2
3
21
27
1
1
4
4
3
4
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
3
20
1
4
2
2
3
1
2
2
1
2
3
24
1
4
2
2
2
2
2
1
1
1
4
25
1
4
1
2
2
1
2
2
2
1
2
25
35
1
1
3
4
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
3
3
24
1
4
2
2
2
2
2
2
1
2
3
21
3
4
1
1
2
2
2
2
1
2
2
34
23
1
1
4
4
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
2
4
3
21
25
1
1
3
4
1
3
2
2
1
2
2
1
2
2
2
2
2
1
2
2
3
3
23
1
5
2
1
2
2
2
2
2
2
4
22
1
3
2
1
1
1
2
2
1
2
3
21
27
2
1
4
4
3
4
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
3
20
2
4
2
2
3
1
2
2
1
2
3
19
1
4
1
2
2
2
2
2
2
2
2
4
5
6
7
8
9
24
1
4
2
2
29
24
26
25
4
3
3
2
4
4
4
4
2
2
2
3
2
2
2
2
23
1
5
2
19
1
4
29
24
25
4
1
1
29
26
81
Daftar Responden Seksio Sesarea
No Kuisioner
NO
PARTUS
CM
1
April 2011
01470561
2
April 2011
01304301
3
April 2011
01469714
4
April 2011
01480027
5
April 2011
01471961
6
April 2011
01478423
7
Mei 2011
01483102
8
Mei 2011
01482704
9
Mei 2011
01483669
10
Mei 2011
01476460
11
Juni 2011
01484038
12
Juni 2011
01484640
13
14
15
16
17
18
Juni 2011
Juni 2011
Juni 2011
Jun. 2011
Juni 2011
Juni 2011
01485815
01101526
01484473
01487362
01487550
01490284
19
Jun. 2011
01289956
20
Jun. 2011
01484819
21
Juni 2011
22
1
2
Perum pesraman UNUD Blok B No. 27
Jimbaran Kuta
Jl. WR Supratman Gg. Gandapura IV No.
33 Dps
Perum Swamandala IX No. 9 Dps
01486411
Veronika
Nengo
Wayan
Ladriana
Yasniza Zikriana
Ni Made
Mariani
Kartiasih
Ni Made Lilik
Artini
Gst. Ayu Utami
Dewi
Nuraini
Ni Nyoman
Junariati
Maria Fatima
Jennian
Siti Aminah
Wayan Yulia
Astari
Puspita Sari
Putu Italiani
Km. Srini
Wy. Yuniari
Juniasih
Rian Mariansa
Ni Made
Irawati
Ni Made
Suriyani
Ketut Suartini
Juni 2011
01487351
Ni Nyoman Siti
Jl. Danau Buyan Gg I No. 3 Dps
23
Juni 2011
01488923
24
Juni 2011
01491302
25
Ags. 2011
01503699
Ni wayan
Surasmini
Wati Sonbai
Wy. Citra
Mayuni
26
Sep. 2011
01506393
Ernawati Ni Luh
27
Sep. 2011
01507435
Ni Wy. Rangsi
28
29
Sep.2011
Sep.2011
01503757
01504804
30
Sep.2011
01507722
31
Sep.2011
01508828
32
Okt. 2011
01513920
33
Okt. 2011
01517382
34
Nov. 2011
01520112
Yuyun Kulaefah
Ngh. Artani
AA. Sagung Ayu
Supranita
Ni Komang
Artini
Nym. Partini
Wy. Ayu
Darmiyanti
Evi Apriani
35
Nov. 2011
01519366
Wy. Mirayuni
36
Nov. 2011
01522884
37
Nov. 2011
01292691
38
39
40
Nov. 2011
Des. 2011
Des. 2011
01522876
01530055
01517010
41
Jan. 2012
01448528
42
Feb. 2012
01533013
43
Mrt. 2012
01466673
Istiqoma
AA. Pt.
Somawati
L. Yeniari
Md. Sukarini
Md. Sumiati
Ni Wy.
Mudiasih
Septin Tulak
Pt. Wina
Aristya
DATA HASIL FSFI
3
081337247047
081805573905
085717017474
Jl. Kerta Petasikan No. 2 Jimbaran
08179788444
Jl. Danau Tamblingan Gg. I No. 3 Sanur
087762515801
Jl. Gunung Soputan No. 2 Dps
081916723774
Br. Batusari Sangeh Abiansemal Badung
081337216204
Jl. Pasir Putih 10 Kedonganan
087860260593
Jl. Legian Gg. Kamboja No. 4 Kuta
085936113629
Jl. Tk. Batanghari No. 25 Dps
085337006596
Jl. Nusa Kambangan Gg XXVIII No. 5 Dps
087760057679
Jl. Tk. Banyuning AA. No 1 Dps
Jl Sri Rama 88X Legian
Jl. Gunung Batok III No. 1 Dps
Jl. P. Misol 24 Dps
Jl. P. Moyo Gg. Mawar No. 22 Dps
Puri Gading Blok G I No. 26 Jimbaran
Jl. Iman Bonjol Gg. Rahayu X No. 2 Dps
081999220770
085339359036
082139166616
Jl. Srikandi 40 Nusa Dua Kuta
Jl. Wibisana No. 22 Dps
Br. Cengiling Jimbaran Kuta Badung
085238779333
081916285185
/
081916537389
Jl. Tk. Jinah 2 No. 11 Dps
085339359047
Jl. Tk. Bilok Gg. V No. 10 Sanur
081338000402
Jl. Mekar II Blok C No. 1 Dps
083119840032
Jl. Hayam Wuruk No. 19 Dentim
081805560181
/
081916569276
Jl. Danau Tondano Gg. IV B Gg Celuk III
No. 3 Sanur
Jl. Tukad Banyusari Gg. Taman No. 14 Dps
Jl. Batusari Gg Melati No. 3 Sanur
081934332992
081236429980
Jl. Iman Bonjol Gg. Ulundanu No. 4 Dps
085935340420
Jl. Gunungsari Gg. Dadi No. 2 Dps
085738248801
Jl. Iman bonjol Gg. Rahayu No. 2 Dps
081999400589
Jl. Andakasa Gg. Terajana No. 55 Dps
081936573045
Jl. Padang kartika VI No. 9 Dps
Jl. Letda Reta IV No. 22 Dsn. Kayumas
Kelod Ds. Dangin Puri Dentim
Jl. Cokroaminoto Gg. Angga No. 30A Dps
087862122877
Jl. Waturenggong Gg. XX/3 Dps
(0361)8725861
Jl. Iman Bonjol 86 Dps
Jl. Sulatri Gg. VI No. 5 Dps
Jl. Waturenggong Gg. XX No. 9 Dps
(0361) 484390
081805114490
Jl. G. Lumut 48 B Dps
087862207102
Jl. Mandala 5 No. 13 Dps
085239579683
Jl. G. Agung Gg. Anggrek No. 11 Dps
(0361) 289056
087862011354
081916108307
4
5
6
7
8
9
1
0
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
20
4
3
3
2
2
2
2
1
1
2
2
31
23
1
2
4
4
2
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
3
20
31
1
1
4
4
2
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
1
2
3
32
1
4
1
1
2
2
2
2
1
1
3
24
19
1
2
4
4
1
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
21
1
4
1
1
3
2
2
2
1
1
2
23
19
4
2
5
2
4
2
1
1
2
2
2
2
2
2
1
2
1
2
2
2
2
3
28
24
18
22
22
32
23
1
1
1
1
1
1
1
1
4
3
4
4
5
4
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
2
2
1
1
1
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
1
1
1
2
1
1
2
2
2
1
2
2
1
1
4
3
4
3
3
3
3
19
1
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
20
27
1
1
4
4
2
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
17
1
3
1
2
2
2
2
2
1
1
3
20
21
1
3
4
4
2
2
1
1
2
2
2
1
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
26
1
4
2
2
2
2
2
2
2
2
2
21
1
4
1
1
2
2
2
2
1
1
4
21
27
26
1
2
1
4
4
4
1
1
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
2
1
1
1
2
2
2
3
5
3
22
1
4
1
1
2
1
2
2
2
2
2
17
22
1
1
3
4
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
3
31
20
1
2
4
3
2
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
4
2
21
27
1
2
4
4
1
2
1
1
2
1
2
1
2
2
2
2
2
1
2
2
2
3
27
23
30
27
1
1
1
1
4
2
2
2
2
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
1
2
2
2
2
1
2
2
2
2
2
2
3
5
3
3
27
27
1
3
4
4
2
1
2
1
2
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
1
3
3
22
1
4
1
2
2
1
2
1
2
1
3
82
Responden Episiotomi
NO
CM
1
01467478
2
01470373
3
4
01471331
01472498
5
01474583
6
01475267
7
01458597
8
01477384
9
10
01477539
01551941
11
01478778
12
01480551
13
01481810
14
01234819
15
006053
16
01498976
17
18
19
01499472
01508922
01511481
20
01515661
21
22
01458971
00820231
23
01512736
24
01520331
25
26
01217693
01521377
27
01522883
28
01677293
29
01519305
30
01527072
31
01527875
32
01199011
33
01533692
34
01532826
35
36
37
38
39
01007699
01538688
01542677
01538792
01539034
40
01100037
41
42
01541627
01541639
43
01545581
MINAT (1,2)
NAMA
Wayan Wartini
Veronika
Winikaka
Solvina Bopi
Katarina Ro
Naha Ana
Awang
Ni Luh Pt. Sri
Wahyudi
Ni Putu
Wahyunita
Ghiza Maelga
Almarra
kasiyanti
Kadek Parwati
L.P. Novi
Purnamasari
Made Artini
Wiwik
Purwaningsih
Ni Ngh Reniti
Asih
Ni Luh Wiwik
Wahyuniari
Angela Maria
Humak
Wahyuningsih
Ngh Asti
L. Pt. Suartini
Ririan Indra
Rukmana
Ni Wy. Adila
Kdk. Yuniarti
Pt. Harum
Samiasih
Marifatul
Mandasari
Ni Kt. Ari Sudanti
Edel Meri Kuin
Mery
Handarayani
Pt. Ayu Intan
Artiasih
Hana Sri
Murwani
Yuliana Seri Ayu
Supartini
Miswati
Md. Dian
Anggriyani
Tina Ina
Ni Luh
Padmawati
Ayu Pt. Sariani
Ni Komang Darni
Pt. Ayu Suartini
Ni Kt. Juliantini
Ni Md. Agustini
Dewi Fajariyah
Ekawati
Tatik Kurniasih
Faridah Rochaini
Ni Nyoman
Widiasih
LUBRIKASI
(7,8,9,10)
BIRAHI (3,4,5,6)
NI
LAI
FAK
TOR
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
4
0,6
9
0,6
2,4
8
5,4
18
8
9
0,6
0,6
4,8
5,4
6
0,6
4
FUNGSI SEKSUAL (FSFI)
ORGASME
(11,12,13)
SKOR
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
0,3
2,4
14
0,3
0,3
5,4
20
0,3
16
18
0,3
0,3
4,8
5,4
20
20
3,6
20
0,3
6
0,6
2,4
20
0,3
6
0,6
3,6
20
0,3
6
0,6
3,6
20
9
4
0,6
0,6
5,4
2,4
18
8
10
0,6
6
20
9
0,6
5,4
18
9
0,6
5,4
9
0,6
6
FAK
TOR
SKOR
4,2
3
0,4
6
15
0,4
0,3
0,3
6
6
15
15
20
0,3
6
6
20
0,3
6
20
0,3
6
0,3
0,3
5,4
2,4
0,3
0,3
18
0,3
5,4
18
0,6
3,6
CM
NAMA
NYERI (17,18,19)
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
1,2
5
0,4
6
15
0,4
0,4
0,4
6
6
15
15
15
0,4
6
6
15
0,4
0,3
6
15
20
0,3
6
20
8
0,3
0,3
6
2,4
6
20
0,3
5,4
20
0,3
5,4
20
0,3
5,4
20
0,3
SKOR
TOTAL
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
2
4
0,4
1,6
13,8
6
15
0,4
6
34,8
0,4
0,4
6
6
15
15
0,4
0,4
6
6
33,6
34,8
15
0,4
6
15
0,4
6
33,6
6
15
0,4
6
11
0,4
4,4
30,8
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
33,6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
33,6
15
6
0,4
0,4
6
2,4
15
4
0,4
0,4
6
1,6
15
6
0,4
0,4
6
2,4
34,8
13,6
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
36
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
6
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
33,6
6
0,6
3,6
12
0,3
3,6
14
0,3
4,2
9
0,4
3,6
9
0,4
3,6
11
0,4
4,4
23
10
10
10
0,6
0,6
0,6
6
6
6
20
20
18
0,3
0,3
0,3
6
6
5,4
20
20
19
0,3
0,3
0,3
6
6
5,7
15
15
12
0,4
0,4
0,4
6
6
4,8
15
12
12
0,4
0,4
0,4
6
4,8
4,8
15
11
11
0,4
0,4
0,4
6
4,4
4,4
36
33,2
31,1
4
0,6
2,4
8
0,3
2,4
14
0,3
4,2
12
0,4
4,8
5
0,4
2
4
0,4
1,6
17,4
10
9
0,6
0,6
6
5,4
20
18
0,3
0,3
6
5,4
20
20
0,3
0,3
6
6
15
15
0,4
0,4
6
6
15
15
0,4
0,4
6
6
15
15
0,4
0,4
6
6
36
34,8
6
0,6
3,6
20
0,3
6
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
33,6
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
6
9
0,6
0,6
3,6
5,4
20
18
0,3
0,3
6
5,4
20
20
0,3
0,3
6
6
15
15
0,4
0,4
6
6
15
15
0,4
0,4
6
6
15
11
0,4
0,4
6
4,4
33,6
33,2
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
8
0,6
4,8
12
0,3
3,6
17
0,3
5,1
15
0,4
6
12
0,4
4,8
15
0,4
6
30,3
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
10
0,6
6
20
0,3
6
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
36
6
0,6
3,6
8
0,3
2,4
14
0,3
4,2
15
0,4
6
5
0,4
2
4
0,4
1,6
19,8
8
0,6
4,8
18
0,3
5,4
18
0,3
5,4
11
0,4
4,4
12
0,4
4,8
10
0,4
4
28,8
10
6
9
6
9
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
6
3,6
5,4
3,6
5,4
20
8
18
8
18
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
6
2,4
5,4
2,4
5,4
20
11
20
14
20
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
6
3,3
6
4,2
6
15
9
15
3
15
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
6
3,6
6
1,2
6
15
8
15
5
15
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
6
3,2
6
2
6
15
15
15
4
15
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
6
6
6
1,6
6
36
22,1
34,8
15
34,8
10
0,6
6
20
0,3
6
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
11
0,4
4,4
34,4
6
8
0,6
0,6
3,6
4,8
0
16
0,3
0,3
0
4,8
0
20
0,3
0,3
0
6
9
15
0,4
0,4
3,6
6
4
15
0,4
0,4
1,6
6
0
15
0,4
0,4
0
6
8,8
33,6
8
0,6
4,8
12
0,3
3,6
20
0,3
6
15
0,4
6
12
0,4
4,8
11
0,4
4,4
29,6
Responden Seksio Sesarea
NO
KEPUASAN
(14,15,16)
NI
LAI
FUNGSI SEKSUAL (FSFI)
83
MINAT (1,2)
1
01470561
2
01304301
3
01469714
4
01480027
5
01471961
6
01478423
7
01483102
8
01482704
9
01483669
10
01476460
11
01484038
12
01484640
13
14
15
16
17
18
01485815
01101526
01484473
01487362
01487550
01490284
19
01289956
20
01484819
21
22
01486411
01487351
23
01488923
24
01491302
25
01503699
26
01506393
27
28
29
01507435
01503757
01504804
30
01507722
31
01508828
32
01513920
33
01517382
34
35
36
01520112
01519366
01522884
37
01292691
38
39
40
01522876
01530055
01517010
41
01448528
42
01533013
43
01466673
Veronika
Nengo
Wayan
Ladriana
Yasniza
Zikriana
Ni Made
Mariani
Kartiasih
Ni Made Lilik
Artini
Gst. Ayu Utami
Dewi
Nuraini
Ni Nyoman
Junariati
Maria Fatima
Jennian
Siti Aminah
Wayan Yulia
Astari
Puspita Sari
Putu Italiani
Km. Srini
Wy. Yuniari
Juniasih
Rian Mariansa
Ni Made
Irawati
Ni Made
Suriyani
Ketut Suartini
Ni Nyoman Siti
Ni wayan
Surasmini
Wati Sonbai
Wy. Citra
Mayuni
Ernawati Ni
Luh
Ni Wy. Rangsi
Yuyun Kulaefah
Ngh. Artani
AA. Sagung
Ayu Supranita
Ni Komang
Artini
Nym. Partini
Wy. Ayu
Darmiyanti
Evi Apriani
Wy. Mirayuni
Istiqoma
AA. Pt.
Somawati
L. Yeniari
Md. Sukarini
Md. Sumiati
Ni Wy.
Mudiasih
Septin Tulak
Pt. Wina
Aristya
LUBRIKASI
(7,8,9,10)
BIRAHI (3,4,5,6)
ORGASME
(11,12,13)
KEPUASAN
(14,15,16)
NYERI (17,18,19)
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
NI
LAI
FAK
TOR
SKOR
6
0,6
3,6
18
0,3
5,4
20
0,3
6
13
0,4
5,2
12
0,4
4,8
8
0,6
4,8
16
0,3
4,8
20
0,3
6
11
0,4
4,4
12
0,4
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
10
0,6
6
20
0,3
6
20
0,3
6
15
0,4
6
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
6
0,6
3,6
13
0,3
3,9
16
0,3
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
9
9
9
9
9
9
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
5,4
5,4
5,4
5,4
5,4
5,4
18
18
18
18
18
18
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
9
0,6
5,4
18
9
0,6
5,4
18
8
6
0,6
0,6
4,8
3,6
9
0,6
9
0,6
9
NI
LAI
SKOR
TOTAL
FAK
TOR
SKOR
11
0,4
4,4
29,4
4,8
15
0,4
6
30,8
0,4
6
15
0,4
6
34,8
0,4
6
15
0,4
6
34,8
15
0,4
6
15
0,4
6
36
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
4,8
14
0,4
5,6
12
0,4
4,8
15
0,4
6
28,7
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
5,4
5,4
5,4
5,4
5,4
5,4
20
20
20
20
20
20
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
0,3
6
6
6
6
6
6
15
15
15
15
15
15
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
6
6
6
6
6
6
15
15
15
15
15
15
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
6
6
6
6
6
6
15
15
15
15
15
15
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
0,4
6
6
6
6
6
6
34,8
34,8
34,8
34,8
34,8
34,8
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
13
16
0,3
0,3
3,9
4,8
16
20
0,3
0,3
4,8
6
14
15
0,4
0,4
5,6
6
12
12
0,4
0,4
4,8
4,8
15
15
0,4
0,4
6
6
29,9
31,2
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
9
9
6
0,6
0,6
0,6
5,4
5,4
3,6
18
18
13
0,3
0,3
0,3
5,4
5,4
3,9
20
20
16
0,3
0,3
0,3
6
6
4,8
15
15
14
0,4
0,4
0,4
6
6
5,6
15
15
12
0,4
0,4
0,4
6
6
4,8
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
34,8
34,8
28,7
9
0,6
5,4
13
0,3
3,9
16
0,3
4,8
14
0,4
5,6
12
0,4
4,8
15
0,4
6
30,5
21,6
6
0,6
3,6
12
0,3
3,6
12
0,3
3,6
9
0,4
3,6
9
0,4
3,6
9
0,4
3,6
10
0,6
6
20
0,3
6
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
36
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
13,5
0,4
5,4
34,2
9
9
9
0,6
0,6
0,6
5,4
5,4
5,4
18
18
18
0,3
0,3
0,3
5,4
5,4
5,4
20
20
20
0,3
0,3
0,3
6
6
6
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
34,8
34,8
34,8
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
9
9
9
0,6
0,6
0,6
5,4
5,4
5,4
18
18
18
0,3
0,3
0,3
5,4
5,4
5,4
20
20
20
0,3
0,3
0,3
6
6
6
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
15
15
15
0,4
0,4
0,4
6
6
6
34,8
34,8
34,8
34,8
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
10
0,6
6
20
0,3
6
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
36
9
0,6
5,4
18
0,3
5,4
20
0,3
6
15
0,4
6
15
0,4
6
15
0,4
6
34,8
Download