POLA KOMUNIKASI PEMANGKU JABATAN KERATON KASEPUHAN DENGAN PEJABAT PEMERINTAH KOTA CIREBON Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: AHMAD FAJAR NUGRAHA NIM: 1111051000033 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M. ABSTRAK Ahmad Fajar Nugraha Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan Dengan Pejabat Pemerintah Kota Cirebon Cirebon merupakan suatu daerah yang berada di pesisir Jawa Barat. Sebagai salah satu daerah tertua di Indonesia, Cirebon pun memiliki sejarah yang cukup panjang. Hal ini bisa kita lihat dari warisan cagar budaya berupa Keraton yang hingga saat ini masih ada dan turut memegang peranan penting pada masyarakat Cirebon, utamanya perihal masalah budaya dan kebudayaan. Dengan masih berdiri dan berperannya Keraton membuat Cirebon memiliki dua model pemerintahan, Keraton Kasepuhan sebagai pemerintahan kultural dan Pemerintah Kota sebagai pemerintahan struktural. Keberadaan dua pemerintahan tersebut tentunya sangat rentan akan konflik jika tidak dilakukan upaya pemeliharaan hubungan yang baik. Upaya pemeliharaan hubungan yang baik tersebut mutlak dilakukan demi kemajuan Cirebon secara struktur dan infrastruktur. Berdasarkan pemaparan di atas tersebut ditemukan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pola komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat Pemerintah Kota? Bagaimana pola komunikasi pejabat Pemerintah kota dengan pemangku jabatan Keraton Kasepuhan? Metode penelitian yang digunakan kali ini adalah penelitian kualitatif. Di mana peneliti berupaya untuk menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data yang berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Teori yang digunakan adalah interaksionisme simbolik yang dicetuskan oleh George Herbert Mead. Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut. Kemudian, penelitian ini juga menggunakan konsep pola komunikasi formal dan informal yang digagas oleh Khomsahrial Romli. Selain itu, digunakan juga konsep pola komunikasi menurut H.A.W Widjaya dalam bukunya Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Ada empat pola komunikasi yaitu pola roda, pola rantai, pola lingkaran dan pola bintang. Hasil dari penelitian yang dilakukan yaitu, pola komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota adalah pola-pola komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan komunikator seperti pola bintang dan pola horizontal. Pola bintang dan pola horizontal memungkinkan setiap komunikator untuk saling bertukar pesan dan memberikan respon secara langsung tanpa memandang status sosial ataupun hal-hal yang dapat membedakan hak-hak komunikator dalam berbicara. i KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Segala puji bagi Allah. Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW berikut seluruh keluarga, sahabat, beserta orang-orang yang mengikuti petunjuknya. Selama penulisan skripsi ini penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis, yakni ibu Masri’ah dan bapak Sholeh yang tak kenal lelah untuk selalu memberikan segalanya bagi selesainya pendidikan anaknya. Kakak-kakak yang selalu memberikan dorongan dan semangat. 2. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Masran, MA dan Ibu Fita Faturrohmah, M.Si selaku ketua dan sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. 4. Bapak H. Zakaria, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini dari awal sampai selesai. 5. Kepada Sultan Sepuh XIV P.R.A Arief Natadiningrat, SE. yang telah memberikan ii izin kepada saya untuk melakukan penelitian di Keraton Kasepuhan. 6. Kepada Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (DISPORBUDPAR) Drs. Dana Kartiman yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di DISPORBUDPAR. 7. Kepada seluruh narasumber dalam penelitian kali ini yakni Bapak Ahmad Jazuli, Bapak Iman Sugiman, Bapak Dana Kartiman, Bapak Sugiyono, dan Bapak Wiyono. 8. Kepada keluarga besar UKM Bahasa-FLAT yang terus memberikan support terhadap selesainya penelitian ini. 9. Kepada teman-teman penulis Salsabil Firdaus, Anna Rahmawati, Evi Nurlatifah, dan Mirfa’un Nu’ma yang telah bersama-sama berjuang keras untuk lulus pada jenjang strata satu ini. 10. Kepada Siti Khafidoh yang senantiasa menemani dan membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah SWT meridhoi setiap waktu, langkah dan pengorbanan yang telah dilakukan selama penyelesaian skripsi ini. Amin. Jakarta, 27 Desember 2016 Ahmad Fajar Nugraha iii DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................................................i KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii DAFTAR ISI.............................................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................vi BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1 A. B. C. D. E. F. G. H. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1 Batasan dan Rumusan Masalah ...............................................................6 Tujuan Penelitian .....................................................................................7 Manfaat Penelitian ...................................................................................8 Metodologi Penelitian ..............................................................................9 Pedoman penelitian ..................................................................................13 Tinjauan Pustaka ......................................................................................14 Sistematika Penulisan ..............................................................................15 BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................17 A. Pengertian Komunikasi ............................................................................17 B. Interaksionisme Simbolik ........................................................................19 C. Pola Komunikasi ......................................................................................21 BAB III GAMBARAN UMUM KERATON KASEPUHAN DAN PEMERINTAHAN KOTA CIREBON ...................................................31 A. Keraton Kasepuhan ..................................................................................31 1. Sejarah Keraton Kasepuhan ................................................................31 2. Fungsi Keraton Masa Kini ..................................................................36 3. Struktur Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan ................................38 B. Pemerintahan Kota Cirebon .....................................................................42 1. Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon ...................................................42 2. Kedudukan dan Wewenang .................................................................50 3. Struktur Organisasi Pejabat Pemerintahan Kota Cirebon ...................52 BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA ................................55 A. Profil Informan.........................................................................................55 1. Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan ..............................................55 2. Pejabat Pemerintahan Kota .................................................................56 B. Simpul-Simpul Pertemuan antara Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah Kota ..........................................................................................................59 1. Keraton Kasepuhan .............................................................................59 2. Pemerintah Kota Cirebon ....................................................................61 C. Analisa Hasil Temuan ..............................................................................63 1. Analisa Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton dengan Pejabat Pemerintahan Kota .................................................................63 2. Analisa Pola Komunikasi Pejabat Pemerintahan Kota dengan Pemangku Jabatan Keraton ..................................................................................80 iv BAB V KESIMPULAN ...........................................................................................93 A. Kesimpulan ..............................................................................................93 B. Saran-saran ...............................................................................................94 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................96 LAMPIRAN-LAMPIRAN v DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I. Skrip Wawancara dengan Iman Sugiman Lampiran II. Skrip Wawancara dengan Dana Kartiman Lampiran III. Skrip Wawancara dengan Ahmad Jazuli Lampiran IV. Skrip Wawancara dengan Wiyono Lampiran V. Skrip Wawancara dengan Sugiyono Lampiran VI. Catatan Observasi Rapat Koordinasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW (PanjangJimat) Lampiran VII. Catatan Observasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat) Lampiran VII. Catatan Observasi Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Pariwisata Kota Cirebon Lampiran IX. Dokumentasi Rapat Koordinasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat) Lampiran X. Dokumentasi Sosialisasi Sadar Wisata Stakeholders Pariwisata Kota Cirebon Lampiran XI. Persuratan Penelitian vi bagi para BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cirebon merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah cukup panjang. Dikatakan bahwa tanah Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah Sunda, tepatnya daerah kekuasaan kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi. Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vasal Pate Rodim, Raja Demak.1 Pada masa ini Cirebon dikenal sebagai pelabuhan yang memiliki peranan penting bagi kerajaan Padjajaran. Hal ini dikarenakan banyaknya muara sungai yang berada di Cirebon sehingga memudahkan dalam aktifitas transportasi dan perdagangan. Kedudukan Cirebon sebagai pelabuhan dagang disebutkan juga oleh Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada 1513.2 Pires menggambarkan Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan bagus. Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan pada awalnya Cirebon merupakan sebuah dukuh yang dipimpin oleh seorang juru labuhan (Syahbandar). Lalu berkembang menjadi desa yang dipimpin oleh Kuwu (Kapala Desa). Sampai pada saat ketika struktur dan infrastruktur pendukung kerajaan dirasa memadai barulah Cirebon menjadi Kerajaan atau lebih familiar dengan kesultanan untuk konteks Cirebon. 1 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009, hal. 161. 2 Armando Corteso (Ed), The Summa Oriental of Tome Pires: An Account of The East, London: Haklyut Society, 1994, hlm. 183 sebagaimana dikutip oleh Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra dan Sejarah, Bandung : Fak. Sastra UNPAD, 1978, hlm. 52. Lihat juga Dennys Lombard, Nusa Jawa...,hlm. 55-56. 1 2 Pada masa kesultanan, Cirebon mencapai puncaknya ketika dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sejak dilantiknya Sunan Gunung Jati sebagai Raja dan Wali, Sunan Gunung Jati kemudian menghentikan Bulu Bekti kepada kerajaan Padjajaran.3 Pada masa ini, kemajuan terlihat dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik dan juga penyebaran agama Islam. Penyebaran agama Islam sendiri ditengarai mengalami kemajuan yang signifikan karena Sunan Gunung Jati menjadikan kesultanan sebagai ujung tombak penyiaran agama Islam. Sehingga penyiaran Islam dapat melalui hampir seluruh aspek kehidupan yang bersinggungan langsung dengan rakyat. Namun supremasi kesultanan Cirebon hanya sampai pada pemerintahan Panembahan Girilaya. Setelah Panembahan Girilaya wafat, tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh kedua putranya yakni Martawijaya dan Kartawijaya. Martawijaya memerintah Kesultanan Kasepuhan Cirebon dengan gelar Sultan Sepuh I/Sultan Syamsuddin. Sedangkan Kartawijaya memerintah Kesultanan Kanoman Cirebon dengan gelar Sultan Anom/Sultan Badruddin. Pembagian kekuasaan ini disahkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.4 Panembahan Girilaya selanjutnya membagi kesultanan menjadi dua, yakni Kasepuhan yang dipimpin oleh Martawijaya dan Kanoman yang dipimpin oleh Kartawijaya. Selanjutnya Kesultanan Cirebon mengalami keruntuhan sampai pada akhirnya urusan politik kesultanan dicampuri oleh VOC dan mengharuskan Sultan 3 Didin Nurul Rosidin, Kerajaan Cirebon, Jakarta :Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2013, hal. 31. 4 Abdul Hadi W.M Indonesia dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Perdaban Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal. 40-41. 3 Cirebon menyerahkan wilayah kekuasaannya.5 Hal - hal yang berurusan dengan aktivitas politik dan perdagangan semuanya diatur oleh VOC. Sejak saat itu kesultanan Cirebon tidak memiliki wilayah administratif dan wewenang pemerintahan karena telah diakui oleh VOC, kemudian Pemerintah HindiaBelanda, Penjajah Jepang dan terakhir menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa sekarang ini bisa dikatakan Cirebon memiliki dua model pemerintahan, yakni pemerintahan struktural dan pemerintahan kultural. Pemerintahan struktural yakni pemerintahan yang berasaskan legitimasi negara, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah. Berbeda dengan wewenang Raja dimana semua yang berada di bawah langit dan di atas bumi merupakan wilayah kekuasaan Raja.6 Pemerintah Daerah disini hanya bertugas sebagai pengelola negara bukan pemilik yang seluruh aturan secara garis besar untuk mengelolanyanya menurut Pemerintah Pusat dan diatur oleh Undang-Undang. Sedangkan pemerintahan kultural sendiri ialah „institusi‟ keraton sebagai penjaga adat dan tradisi setempat. Yang dalam hal ini berada dalam wilayah otoritas Keraton Cirebon, baik itu Keraton Kasepuhan ataupun Keraton Kanoman. Seiring dengan diberlakukannya asas desentralisasi, Cirebon berada di bawah kekuasaan Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Segala urusan yang berkaitan dengan 5 Ibid, hal. 40-41. A.B. Lapian Indonesia dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan), Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal 231 6 4 hajat hidup masyarakat Cirebon diatur oleh Pemerintah daerah yang berdasar kepada Undang – Undang 1945. Hal-hal mengenai wewenang Pemerintah Daerah terdapat pada perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) berbunyi: “ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur UndangUndang”. Dan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.7 Artinya pemerintahan yang berlaku dan memiliki otoritas tertinggi adalah pemerintahan pusat bukan kesultanan. Dan pemerintahan pusat memiliki daerah otonom yang memiliki kewenangan seluas-luasnya dalam mengatur urusan pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah daerah bisa kita sebut sebagai pemerintahan struktural. 7 Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Keempatbelas, hal. 132 5 Dengan dihapusnya fungsi pemerintahan keraton bukan berarti keraton kehilangan eksistensinya. Karena sedari dulu selain memiliki kewenangan dalam mengatur segala urusan pemerintahan, kesultanan Cirebon juga berfungsi sebagai pemerintahan kultural. Pemerintahan kultural yang dimaksud adalah sebagai pemimpin adat dan penjaga tradisi setempat. Tradisi yang berkembang di Cirebon berasal dari dua agama yang masuk dan diterima di Cirebon, yakni Hindu-Budha dan Islam. Hindu-Budha seperti yang kita ketahui bersama merupakan agama yang dianut kerajaan padjajaran. Seperti dituliskan di atas bahwa Cirebon pada awalnya adalah daerah kekuasaan Kerajaan Padjajaran. Sehingga tradisi kebudayaan yang dianut dan dijalankan oleh masyarakatnya pada saat itu sudah tentu bersandar pada agama Hindu-Budha. Tradisi yang berbau agama Hindu-Budha pada masa itu diantaranya adalah sedekah bumi dan nyadran. Tradisi yang berbasis agama Hindu-Budha ini mulai luntur ketika Sunan Gunung Djati memimpin Cirebon. Islamisasi secara meluas yang dilakukan pada masa itu menjadi salah satu sebab pudarnya tradisi-tradisi tersebut. Hal yang menarik dari pergantian kebudayaan dari Hindu-Budha ke Islam adalah prosesnya. Proses akulturasi budaya yang dipilih Sunan Gunung Djati pada masa itu juga menjadi salah satu faktor diterimanya Islam. Tradisi Nyadran dan Sedekah Bumi yang sarat dengan mantra-mantra digantikan dengan doa-doa yang ditujukan kepada Allah SWT. Pertunjukan wayang yang sedari dulu mengambil cerita dan lakon kerajaan Hindu-Budha digantikan dengan kisah-kisah Islam. Salah satu tradisi besar yang masih terus dilestarikan adalah tradisi panjang jimat dalam rangka menyambut Maulid nabi Muhammad SAW. 6 Dimana semua orang yang berasal dari berbagai penjuru Cirebon tumpah ruah dan turut serta dalam meramaikan tradisi tahunan ini. Ritual ini mengambil bentuk prosesi iringan berbagai benda pusaka (khususnya piring) yang ada di Istana (keraton).8 Tradisi ini terus berlangsung dari zaman Sunan Gunung Jati, meskipun keraton sempat berada di bawah kekuasaan penjajah. Selain itu, keraton juga merupakan pusat pengembangan dan pelestarian kesenian dan sastra Cirebon. Dalam hal ini keraton menjadi pusat dan penjaga kebudayaan Cirebon. Keberadaan dua model „pemerintah‟ dalam satu daerah tersebut memungkinkan terjadinya masalah-masalah. Masalah-masalah tersebut akan menjadi konflik jika tidak ditangani secara cepat dan tepat. Baik-buruknya hubungan diantara Keraton dan Pemerintah Kota akan dipengaruhi oleh pola komunikasi diantara pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintah Kota tersebut. Penelitian kali ini akan mencoba untuk mengidentifikasi pola komunikasi yang digunakan pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintah Kota. Pola komunikasi tersebut perlu untuk diteliti mengingat tidak sedikitnya konflik yang melibatkan para pemangku wewenang di daerah. Dan konfklik tersebut membutuhkan alternatif solusi dari kasus-kasus yang berkaitan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian kali ini mengambil judul “Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan dan Pejabat Balai Kota di Cirebon”. 8 Rosidin, Kerajaan Cirebon, hal. 180. 7 B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka peneliti merasa perlu untuk memberikan batasan yang tegas agar penelitian ini dapat mengena terhadap masalah yang akan di angkat. Batasan masalah dalam penelitian ini yakni : a. Keraton Cirebon yang diangkat dalam penelitian ini adalah Keraton Kasepuhan b. Pejabat Pemerintah Kota yang dimaksud adalah dari DISPORBUDPAR (Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata) Cirebon c. Penelitian ini berkonsentrasi pada representasi dari pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintahan Kota 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merasa perlu untuk membuat rumusan masalah penelitian ini dengan melihat: a. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh pejabat Pemerintahan Kota dalam berkomunikasi dengan pemangku jabatan Keraton? b. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton dalam berkomunikasi dengan pejabat Pemerintahan Kota? 8 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola-pola yang digunakan pamangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintahan Kota dalam berkomunikasi satu sama lain. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademik Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih karya ilmiah dan turut berkontribusi dalam perkembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada kajian Komunikasi Budaya. Mengingat kajian komunikasi yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal tidak mudah untuk ditemui. Selain itu, penelitian kali ini juga dapat menjadi referensi tentang role model pengelolaan komunikasi dalam level pemerintahan yang baik. Semoga hasil penelitian ini juga dapat menjadi trigger bagi teman-teman pegiat ilmu komunikasi untuk turut mengangkat budaya dan kearifan lokal daerah-daerah di Indonesia. Sehingga kita semakin mengenal kebudayaan kita sendiri, tidak hanya sebagai individu dalam arti sempit yang hanya mengenal daerah tempat tinggalnya tapi juga sebagai individu dalam arti luas yang mengenali bangsanya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola komunikasi yang digunakan keraton dan balai kota sehingga masyarakat lebih mengetahui tentang hubungan pemangku jabatan di daerah Cirebon. Dan bisa belajar tentang bagaimana memelihara hubungan di tingkat lembaga. 9 Selain itu juga dapat menjadi alternatif solusi penanganan konflik yang melibatkan pemangku jabatan di daerah dengan lembaga internal maupun eksternal. E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis bersifat subjektif. Data adalah sesuatu yang menjadi perasaan dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran atau konstruksi makna. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian kali ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang merupakan penelitian dengan memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan prilaku individu atau sekelompok orang. Sebagaimana dikutip dari buku Metode Penelitian Kualitatif karya Lexy. J. Moleong, Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.9 3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Dimana peneliti berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai 9 Lexy. J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009) Cet.26. hal 4 10 subjek yang diteliti.10 Jadi alih-alih menelaah sejumlah kecil variabel dan memilih suatu sampel besar yang mewakili populasi, peneliti secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus khusus. Ragin mengatakan bahwa metode berorientasi kasus bersifat holistik – metode ini menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh dan bukan sebagai kumpulan bagian-bagian (atau kumpulan skor mengenai variabel). Jadi, hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola umum kovariasi antara variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-unit yang sebanding. Kedua, hubungan sebab-akibat dipahami sebagai perkiraan. Akibat dianalisis berdasarkan persimpangan berbagai kondisi, dan biasanya diasumsikan bahwa hubungan manapun menimbulkan suatu akibat. 4. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah Keraton Kasepuhan dan Balai Kota Cirebon. Sedangkan objek penelitiannya adalah pemangku jabatan di Keraton Kasepuhan dan Pemerintah Kota Cirebon. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kali ini terbagi menjadi dua, yakni: 10 Deddy Mulyana. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008) Cet.6. hal 201 11 a. Data Primer Data primer yang dimaksud berupa observasi, dokumentasi, dan hasil wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Narasumber merupakan pemangku jabatan Balai Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara dengan pemangku jabatan Balai Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan. b. Data Sekunder Data sekunder dari penelitian ini adalah sumber literatur dan bacaan yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian ini. 6. Teknik Analisis Data Penulis menggunakan analisis data deskriptif analisis untuk memperoleh hasil akhir dalam penelitian, yaitu dengan cara menggambarkan ke dalam bentuk kalimat disertai kutipan-kutipan data dan menganalisis data yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan dari kumpulan dokumendokumen yang didapat.11 Serta penulis melakukan penjelasan secara naratif dengan kalimat-kalimat untuk memudahkan proses penelitian. Penelitian deskriptif analisis mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara dalam masyarakat dan situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, 11 2007), h.6 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 12 faktual dan akurat serta fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian mengikuti cara-cara yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, berikut langkahlangkahnya:12 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan pengumpulan data ini melalui wawancara, studi literasi dan studi dokumentasi. 2. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari data-data kasar yang tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data atau informasi yang dianggap tidak relevan. 3. Penyajian Data Penyajian data yang dimaksud adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. 12 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 70 13 4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna dari data yang telah disajikan. Antara penyajian data dan penarikan kesimpulan terdapat aktifitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisi yang terkait. Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendeskripsikan fakta yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian diambil intisarinya saja. Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses terseut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, buku, jurnal, karya ilmiah, gambar, foto, rekaman dan apapun saja yang mendukung penelitian ini. 14 F. Pedoman Penulisan Penulisan dalam penlitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan CEQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. G. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini sebelumnya penulis telah lebih dulu membaca hasil karya ilmiah yang memiliki kemiripan judul, tema dan konteks yang akan diangkat. Berikut karya ilmiah yang dimaksud: 1. Pola Komunikasi Organisasi (Studi Kasus : Pola Komunikasi Antara Pimpinan dan Karyawan di Radio Kota Perak di Yogyakarta). Skripsi Muzawwir Kholiq. Hasil penelitiannya : Pola komunikasi yang digunakan oleh pimpinan dalam berinteraksi dengan karyawannya menggunakan dua pola, yakni pola komunikasi struktural dan pola komunikasi kultural. Kedua pola tersebut digunakan dalam ranah yang berbeda. Struktural dalam ranah kerja. Sedangkan kultural lebih ke ranah informal. Perbedaanya dengan penelitian ini adalah pada objek yang diteliti. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi pola komunikasi diantara pemangku jabatan keraton dan pejabat pemerintahan kota yang secara struktur tidak dapat digambarkan dengan jelas mana yang di atas dan mana yang di bawah. Sedangkan penelitian Muzawwir Kholiq lebih menekankan identifikasi pola komunikasi pemimpin dan karywan yang notabane jelas garis strukturnya. 15 2. Pola Komunikasi Guru dan Orang Tua Murid di Sekolah Dasar Fajar Islami Tangerang. Skripsi Aulia Pratiwi. Hasil temuannya : Pola komunikasi antara guru dan orang tua murid ini dapat di kategorisasikan ke dalam tiga bagian, yakni pola komunikasi antarpribadi, pola komunikasi kelompok, dan pola komunikasi massa. Ketiga pola komunikasi tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang melibatkan guru dan orang tua murid seperti konsultasi, rapat orang tua, pembagian rapot dan lainnya. Perbedannya dengan penelitian ini adalah pada sasaran, tempat dan objek penelitiannya. Penelitian ini mengambil tempat di sekolah, berikut objek yang ditelitinya juga Guru dan orang tua murid. Sasarannya pun hanya pada sebatas pola komunikasi guru dan orang tua murid saja, bukannya dialektis. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini disesuaikan dengan pokok masalah yang akan dibahas dalam lima bab, yaitu: BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari enam sub, yakni latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, pedoman penulisan, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II : Bab kedua ini membahas tentang landasan teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga sub, yakni pengertian komunikasi, interaksionisme simbolik, dan pola komunikasi. 16 BAB III : Bagian ketiga ini terdiri dari dua sub, yakni Keraton Kasepuhan yang didalamnya terdapat beberapa poin seperti sejarah Keraton Kasepuhan, fungsi keraton di masa kini dan struktur pemangku jabatan keraton. Sub yang kedua adalah tentang Pemerintahan Kota Cirebon yang terdiri dari deskripsi Pemerintahan Kota Cirebon, kedudukan, tugas dan fungsi Pemerintahan Kota Cirebon, serta struktur organisasi pejabat Pemerintahan Kota Cirebon. BAB VI : Bab ini berisi tentang analisis hasil temua yang terangkum dalam empat sub, yakni gambaran umum informan, pertemuan resmi, pertemuan tidak resmi, dan analisis hasil temuan pola komunikasi pemangku jabatan keraton dengan pejabat pemerintahan kota, pola komunikasi pejabat pemerintahan kota dengan pemangku jabatan keraton berikut faktor pendukung dan penghambat hubungan keraton dan pemerintahan kota. BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan juga saran-saran terhadap penelitian ini. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Komunikasi Pembahasan mengenai pengertian komunikasi dapat dijelaskan dengan melihatnya secara etimologi, terminologi dan juga pendapat dari para tokoh. Pertama, secara etimologi kita bisa melihat bahwa kata komunikasi berasal dari bahasa latin yakni Communicatio, yang merupakan turunan dari kata Communis yang berarti sama, dan bisa kita artikan sama makna.1 Maka, dari pengertian secara etimologi, dalam komunikasi harus memiliki kesamaan makna sehingga tercapainya maksud dan tujuan komunikator kepada komunikan. Kedua, secara terminologi komunikasi merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.2 Dari penjelasan di atas, sudut pandang terhadap pengertian komunikasi menjadi lebih luas lagi, tidak hanya dilihat dari karakteristik kesamaan maknanya, tetapi juga memperhatikan pelaku komunikasi, pesan, dan juga cara penyampaian pesan. Ketiga, pendapat para tokoh yang juga mempengaruhi perkembangan ilmu komunikasi sendiri. Berikut pendapat beberapa tokoh: 1 Onong Uchjana Efendy, Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997), hal. 9 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) hal. 585 17 18 1. Everet M. Rogers : Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.3 2. Bittner : Komunikasi adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerima pesan orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya, dan peluang untuk memberikan umpan balik segera.4 3. Arni Muhammad : Komunikasi yaitu suatu proses dengan menggunakan simbol verbal maupun non verbal untuk dikirimkan, diterima dan diberi arti.5 4. William Albig : Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna diantara individu-individu.6 5. Wilbur Schramm : Komunikasi didasarkan atas hubungan (intune) antara satu dengan yang lain, fokus pada informasi yang sama, sangkut paut tersebut berada dalam komunikasi tatap muka (face to face communication).7 6. Harold D. Laswell : Memberikan gambarannya terhadap komunikasi dalam pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?. 8 Dari pernyataan ini dapat dijelaskan bahwa proses komunikasi melibatkan komunikator, pesan, media atau saluran komunikasi, komunikan beserta efek dari pesan yang disampaikan tersebut. 3 Haviet Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Hal. 20 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 2004) Hal. 32 5 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. ke-4, hal. 3 6 Arif Anwar, Ilmu Komunikasi, (Sebagai Pengantar Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, hal. 25 7 Onong Uchjana Efendy, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1998), hal. 59 8 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 62 4 19 Dari pemaparan beberapa tokoh di atas kita dapat menemukan beberapa kesamaan ide yang dikemas secara berbeda. Diantaranya dari segi pelaku komunikasi yang melibatkan komunikator dan komunikan, bentuk pesan yang disampaikan, serta dampak dari penyampaian pesan itu sendiri. Namun yang menjadi menarik adalah bagaimana para tokoh juga berpendapat bahwa pesan yang disampaikan dapat menimbulkan efek. Efek tersebut akan bergantung pada bagaimana pelaku komunikasi memberikan arti atau memaknai komunikasi tersebut. Proses pemaknaan tersebut akan berjalan sangat subjektif, bergantung pada cara berfikir, merasa dan pengalaman pribadi masing-masing. B. Interaksionisme Simbolik Teori yang dicetuskan oleh George Herbert Mead ini berangkat dari kekaguman Mead terhadap kemampuan diri sang aktor (manusia) dalam menggunakan simbol; ia menyatakan bahwa diri sang aktor bertindak berdasarkan makna simbol yang muncul di dalam situasi tertentu. Makna dari simbol tersebut yang pada gilirannya membentuk esensi dari interaksionisme simbolik yang menekankan korelasional pada simbol dan interaksi. 9 Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut. Mead mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil dari interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun non verbal.10 9 Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern, (Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hal. xxi 10 Morissan, M.A., Teori Komunikasi Massa, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010), hal. 126 20 Pemikiran Mead ini berangkat dari kemunculan persepsi terhadap simbol-simbol yang digunakan diri sang aktor dalam interaksi sosial. Robert Audi menekankan bahwa ada empat elemen dasar dalam persepsi, yaitu: 1). Perseptor, saya; 2). Objek, bidang yang saya lihat; 3). Pengalaman Indrawi, menyatakan pengalaman visual saya terhadap warna dan bentuk; dan 4). Hubungan antara objek dan subjek, umumnya dianggap sebagai hubungan kausal dimana objek menghasilkan pengalaman sensorik pada perseptor.11 Dari pemaparan terhadap elemen dasar persepsi tersebut kita dapat mengetahui bagaimana individu memaknai suatu simbol. Makna dari simbol merupakan hasil dari pengolahan pengalaman indrawi individu terhadap simbol yang kemudian menjadi pengalaman sensorik perseptor. Tradisi socio-cultural menyatakan bahwa komunikasi sebagai penciptaan dan pengesahan realitas sosial. Artinya, tradisi sosial budaya didasarkan pada premis bahwa diri sang aktor yang sedang berbicara, mereka memproduksi dan mereproduksi budaya.12 Pandangan mereka tentang realitas sangat dibentuk oleh bahasa yang mereka gunakan sejak mereka masih bayi.13 Termasuk dalam hal ini adalah bentuk isyarat-isyarat lainnya. Dengan demikian, persepsi dan interpretasi individu terhadap realitas dalam suatu struktur masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh simbol-simbol yang biasa digunakan dalam interaksi. 11 Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, (London: Routledge, 2011), hal. 17 12 Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik, hal. xxv 13 Emory A. Griffin, A First Look at at Communication Theory, (New York: McGraw-Hill, 2012), hlm. 60 21 Berikut asumsi-asumsi pokok yang melatarbelakangi teori Interaksionisme Simbolik, yakni: 1. Individu dilahirkan tanpa konsep diri. Konsep diri dibentuk dan berkembang melalui komunikasi dan interaksi sosial. 2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan melalui persepsi atau perilaku tersebut. 3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah laku. 4. Manusia adalah mahluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya. 5. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia mendefinisikan sesuatu tersebut. 6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil interaksi.14 C. Pola Komunikasi Pola komunikasi berasal dari dua suku kata, yakni pola dan komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti bentuk atau sistem, cara atau bentuk (struktur) yang tetap dimana pola tersebut dapat dikatakan contoh atau cetakan.15 Namun, dalam hal ini pengertian pola yang digunakan adalah bentuk. Sedangkan menurut William Albig, komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna 14 Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke-1, hal. 150 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 778 15 22 diantara individu-individu.16 Jadi, pola komunikasi bisa dikatakan sebagai bentuk proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna diantara individu-individu. Dari segi sifatnya, pola komunikasi dibagi menjadi dua macam, yakni pola komunikasi formal dan informal. 1. Pola Komunikasi Formal Khomsahrial Romli dalam tulisannya membagi arah aliran komunikasi formal, yakni: komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi diagonal.17 a. Komunikasi dari Atas ke Bawah Komunikasi dari atas ke bawah merupakan aliran komunikasi yang biasanya digunakan dalam sebuah organisasi. Aliran komunikasi ini berasal dari individu atau kelompok yang secara struktural lebih tinggi kepada bawahannya. Biasanya pesan yang disampaikan berkaitan dengan tugas-tugas dan kontrol. Lewis mengatakan bahwa komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.18 16 Arif Anwar, Ilmu Komunikasi, (Sebagai Pengantar Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-3, hal. 25 17 Romli Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, (Jakarta: PT Grasindo, 2011) Cet. Ke-1. Hal.176 18 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108 23 Komunikasi ke bawah dapat diklasifikasikan dalam lima jenis, yaitu:19 1) Instruksi Tugas Instruksi Tugas atau pekerjaan yaitu pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan dilakukan mereka dan bagaimana melakukannya. 2) Rasional Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan aktivitas itu dengan aktivitas lain dalam organisasi atau objek organisasi. 3) Ideologi Pesan mengenai ideologi ini merupakan perluasan dari pesan rasional. Pada pesan rasional penekanannya ada pada penjelasan tugas dan keterkaitannya dengan perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan ideologi sebaliknya mencari sokongan dan antusiasme dari anggota organisasi guna memperkuat loyalitas, moral dan motivasi. 4) Informasi Pesan informasi dimaksudkan untuk memperkenalkan bawahan dengan praktik-praktik organisasi, peraturan-peraturan organisasi, keuntungan, kebiasaan dan data lain yang tidak berhubungan dengan instruksi dan rasional. 19 Ibid, hal. 108-109 24 5) Balikan Balikan adalah pesan yang berisi informasi mengenai ketetapan individu dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu bentuk sederhana dari balikan ini adalah pembayaran gaji karyawan yang telah siap melakukan pekerjaannya, berarti pekerjaannya sudah memuaskan. b. Komunikasi dari Bawah ke Atas Komunikasi ke atas merupakan respon terhadap seberapa baik organisasi telah berfungsi. Fungsi komunikasi ke atas menurut Smith adalah sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan dan dapat memberikan stimulus kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam merumuskan pelaksanaan kebijakan bagi organisasi.20 c. Komunikasi Horizontal Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke individu atau kelompok yang secara struktur organisasi berada di status yang sama. Dalam ranah organisasi, komunikasi horizontal biasa terjadi dalam rapat komisi, interaksi pribadi, selama waktu istirahat, obrolan di telepon dan lain sebagainya. Hambatan-hambatan pada komunikasi horizontal banyak persamannya dengan hambatan yang mempengaruhi komunikasi ke atas dan ke bawah. Tidak adanya kepercayaan diantara rekan-rekan kerja, perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas, dan persaingan dalam 20 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 117 25 sumber daya dapat mengganggu komunikasi pegawai yang sama tingkatannya dalam organisasi dengan sesamanya.21 2. Pola Komunikasi Informal Pola komunikasi informal merupakan bentuk komunikasi yang bersifat cair. Artinya komunikasi yang dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan posisi dalam organisasi. Informasi mengalir dengan cairnya ke atas, ke bawah, dan juga horizontal. Pola komunikasi ini dapat terjadi jika setiap individu bersikap terbuka satu sama lain. Keterbukaan ini merupakan karakteristik gaya komunikasi Equalitarian Style.22 Untuk lebih jelasnya, kita harus mengetahui macam gaya komunikasi, yakni: a. The Equalitarian Style Dalam gaya komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai, dan informal. Dalam suasana yang demikian, memungkinkan setiap anggota organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. b. The Controlling Style Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa, dan mengatur prilaku, pikiran, dan tanggapan orang lain. Orang-orang yang mengunakan gaya komunikasi ini dikenal dengan nama 21 R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Terj. Deddy Mulyana, Ma, Phd. Komunikasi Organisasi. Strategi meningkatkan Kinerja Perusahaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 196 22 Sasa Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4 26 komunikator satu arah. Namun demikian, gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, tidak jarang bernada negative sehingga menyebabkan orang lain memberi respon atau tanggapan yang negatif pula. c. The Structuring Style Gaya komunikasi yang terstruktur ini memanfaatkan pesan-pesan verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus dilaksanakan, penjadwalan tugas, dan pekerjaan serta struktur organisasi, pengirim pesan lebih memberi perhatian kepada keinginan untuk mempengaruhi orang lain dengan jalan berbagai informasi tentang tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan, dan prosedur yang berlaku dalam organisasi tersebut. d. The Withdrawal Style Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut. e. The Dynamic Style Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif, karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented). Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini adalah menstimuli atau merangsang pekerja atau karyawan untuk bekerja lebih cepat dan lebih baik. 27 f. The Relinguishing Style Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat, meskipun pengirim pesan mempunyai hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Menurut H.A.W. Widjaya didalam bukunya yang berjudul “Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi”, pola komunikasi terbagi menjadi empat, yaitu pola roda, pola rantai, pola lingkaran dan pola bintang. Berikut adalah penjelasan yang lebih komprehensif tentang pola-pola tersebut. 1. Pola Roda Pola roda adalah pola yang mengarahkan seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Seseorang dalam posisi sentral menerima kontak, informasi dan memecahkan masalah dengan sasaran atau persetujuan anggota lain. B E A C A D Gambar 1.1: Gambar pola roda 28 Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa orang yang berada di posisi sentral berkomunikasi dengan banyak orang, A berkomunikasi dengan B, C, D dan E. Pada pola komunikasi seperti ini kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi satu arah tanpa reaksi ataupun umpan balik. 2. Pola Rantai Pada pola rantai, jaringan komunikasi terdiri dari lima tingkatan dalam jaringan hierarkinya dan hanya meliputi komunikasi arus ke atas (up ward) dan ke bawah (downward). Ini berarti pola rantai menganut hubungan komunikasi garis langsung (komando) balik ke atas atau ke bawah tanpa adanya suatu penyimpangan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini. A B C D E Gambar 1.2: Gambar Pola Rantai 3. Pola Lingkaran Pola lingkaran memiliki kemiripan dengan pola rantai, akan tetapi komunikan terakhir (E) juga dapat berkomunikasi dengan komunikan pertama (A). Lebih jelasnya mari kitalihat gambar di bawah ini: 29 A B E D C Gambar 1.3: Gambar Pola Lingkaran Pada pola lingkaran tidak terdapat pemimpin. Semuanya berhak dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkomunikasi dengan orang yang berada di sisi masing-masing komunikan. 4. Pola Bintang Pada pola ini setiap komunikan berkomunikasi dengan komunikan lainnya. 23 Hampir mirip dengan pola lingkaran dimana semua anggota memiliki hak dan kekuatan untuk saling berkomunikasi. Berikut adalah gambar pola bintang: 23 H.A.W. Widjaya, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) edisi revisi, hal. 102-103 30 A \ E B D C Gambar 1.4: Gambar Pola Bintang BAB III GAMBARAN UMUM KERATON KASEPUHAN DAN PEMERINTAHAN KOTA CIREBON A. Keraton Kasepuhan 1. Sejarah Keraton Kasepuhan Kota Cirebon memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah yang berada di pesisir utara Jawa Barat ini mengalami masa kekuasaan kerajaan Hindu-Budha, Islam, kolonialisme, sampai pada era reformasi sekarang ini. Ini bisa kita lihat seperti pada catatan-catatan sejarah kuno seperti buku perjalanan Tome Pires ataupun Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya. Cirebon sendiri masih merupakan „anak historis dan kultural‟ dari Pajajaran. Pajajaran adalah awal Cirebon, dan Cirebon adalah akhir Pajajaran.1 Prabu Siliwangi dalam pernikahannya dengan Nyai Subanglarang memiliki tiga anak yakni, Pangeran Walangsungsang, yang kemudian disebut Pangeran Cakrabumi, Cakrabuana, Somadullah dan Haji Abdullah Iman.2 Kemudian adiknya yang bernama Nyai Rara Santang, yang kemudian disebut Hajjah Syarifah Muda‟im. Terakhir adalah Raden Raja Sengara yang kemudian disebut Haji Mansur. 1 Anwarudin Harapan, Dimensi Mitis Historis Pakuan Pajajaran, (Jakarta; Duta Kreasi Semesta , 2007), hal. 123 2 Ibid, hal. 118 31 32 Dalam perkembangannya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang berturut-turut meloloskan diri dari lingkungan Keraton Pajajaran.3 Keduanya pergi dengan alasan ingin belajar lebih banyak lagi tentang agama yang dibawa Nabi Muhammad. Keputusan pergi keluar dari lingkungan Keraton Pajajaran merupakan langkah yang harus diambil mengingat hampir seluruh masyarakat pajajaran masih beragama Hindu-Budha yang notabane adalah agama leluhurnya. Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memilih pergi ke utara, tepatnya di daerah Cirebon Larang, untuk berguru kepada Syeikh Nurul Jati atau Syeikh Idhofi alias Syeikh Datuk Kahfi.4 Mereka belajar agama Islam hingga kemudian memantapkan diri untuk menetap di Cirebon Larang. Selang beberapa waktu kemudian Cirebon Larang menjadi kota yang cukup ramai. Sehingga Pangeran Cakrabuana memutuskan untuk mendirikan Keraton pertama di pesisir utara Jawa Barat yang kemudian disebut Keraton Pakungwati. Berdirinya keraton tersebut direstui oleh Prabu Siliwangi yang kemudian memberikan jabatan Tumenggung dengan gelar Sri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana. Sejak saat itu Cirebon menjadi daerah otonom pajajaran dengan Pangeran Cakrabuana sebagai kepala daerahnya, pada saat itu Cirebon belum menjadi kerajaan sendiri. 3 4 Ibid, hal. 123 Ibid, hal. 123 33 Kemudian Nyai Rara Santang atau syarifah Muda‟im menikah dengan seorang Raja Mesir yakni Sultan Mahmud Syarif Abdullah. 5 Dari pernikahan tersebut Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati lahir. Sunan Gunung Jati kecil tumbuh dan tinggal di Mesir. Setelah menginjak dewasa Sunan Gunung Jati berangkat menuju Pulau jawa untuk mengunjungi tanah leluhur ibunya, sekaligus bertemu dengan pamannya Pangeran Cakrabuana. Setelah sekitar sembilan tahun Sunan Gunung Jati menetap di Cirebon, atau tepatnya pada 1479 Masehi, Pangeran Cakrabuana selaku penguasa Cirebon menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Sunan Gunung Jati.6 Penobatan Sunan Gunung Jati sebagai penguasa wilayah Cirebon tersebut didukung oleh para wali di pulau Jawa yang ketika itu dipimpin oleh Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati dianugerahi gelar sebagai Panata Agama Islam oleh para wali. Langkah awal Sunan Gunung Jati sebagai Tumenggung ialah menggalang kekuatan dengan Demak dan kekuatan-kekuatan islam lainnya untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran.7 Pada masa itu Cirebon harus memberikan upeti kepada Pajajaran karena statusnya sebagai daerah otonom Kerajaan pajajaran. Setelah secara struktur dan infrastruktur sudah dianggap kuat, Cirebon pun menjadi Kerajaan dengan Sunan Gunung Jati sebagai Raja atau Sultan. Masa pemerintahan Sunan Gunung Jati dianggap sebagai masa 5 Depdikbud RI, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta; Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 23 6 Ibid, hal. 27 7 Ibid, hal. 28 34 keemasan Kerajaan cirebon. Menurut R.A. Kern Cirebon pernah mengalami masa bahagia pada abad-abad pertama, dapat mengembangkan dirinya dalam suasana damai dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk pertamakali menjadi negara yang makmur.8 Pendapat R.A. Kern diperkuat pula oleh F. De Haan, bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Raja Galuh tahun 1528 dan Talaga tahun 1530.9 Luasnya wilayah kekuasaan dan islamisasi yang masif menjadi bukti kesuksesan Cirebon dalam penyebaran agama Islam. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Panembahan Ratu I yang mana merupakan cicitnya.10 Pemilihan Panembahan ratu sebagai Sultan lebih karena anak-anak Sunan Gunung Jati telah wafat lebih dahulu. Pada masa ini Kerajaan Cirebon memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Kerajaan Mataram.11 Hal ini dapat kita lihat dari saling silangnya pernikahan antara dua kerajaan. Seperti pada pernikahan antara Putri Ratu Ayu Salkh, kakak Panembahan Ratu, dengan Sultan Agung Mataram. Selain itu menurut F. De Haan, juga ditandai dengan dibangunnya kuta (dinding) yang mengitari Keraton Pakungwati. Kuta 8 tersebut dibangun kurang lebih pada tahun 1590 yang Ibid, hal. 31 Ibid, hal. 34 10 H.J. De Graaf dan TH.Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti, 1986, hal 131 11 Depdikbud RI, Kota Dagang Cirebon, hal. 35 9 35 pembangunannya sebagai persembahan Senapati Mataram kepada Panembahan Ratu.12 Hubungan dengan Mataram pada awalnya dilandasi oleh asas kekeluargaan yang saling mengikat keduanya. Pada perkembangannya, seiring dengan makin berkuasanya Kerajaan Mataram, hubungan kedua kerajaan pun makin pincang.13 Sejak tahun 1615 Mataram mulai mencengkeramkan pengaruhnya di Cirebon. Dan kemudian pada 1615 Cirebon dikuasai sepenuhnya oleh Mataram. Sepeninggal Panembahan Ratu pada 1649, Cirebon dipimpin oleh cucunya yang bernama Pangeran Putra atau disebut juga Raden Rasmi dan bergelar Panembahan Adiningkusuma atau Panembahan Ratu II.14 Dan setelah meninggal kemudian dikenal dengan Panembahan Girilaya. Hal ini berhubungan dengan makam Panembahan Ratu II yang terletak di Bukit Girilaya, sebelah timur Wonogiri, Jogjakarta.15 Menurut berita dari Residen Cirebon pada tanggal 1 Oktober 1684, setelah diangkat menjadi Sultan, Panembahan Girilaya beserta kedua puteranya yakni Pangeran martawidjaya dan pangeran Kartawidjaya dipanggil oleh Amangkurat I untuk berkunjung ke Mataram dalam rangka menghormati pengangkatannya sebagai penguasa Cirebon.16 Akan tetapi, selepas upacara tersebut Panembahan Girilaya beserta kedua anaknya tidak 12 Ibid, hal. 35 Ibid, hal. 36 14 Ibid, hal. 36 15 Ibid, hal. 36 16 Ibid, hal. 36 13 36 diperkenankan untuk meninggalkan Mataram dan menetap disana selama 12 tahun. Walaupun hak sebagai Sultan tetap diakui. Dalam masa penyanderaan tersebut Panembahan Girilaya wafat. Dan selama masa penyanderaan tersebut kedudukan Sultan dipegang oleh Pangeran Wangsakerta yang merupakan putera ketiga Panembahan Girilaya. Sekitar 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-besaran terhadap Keraton Mataram.17 Dampak dari serangan tersebut bukan hanya mampu menduduki ibukota Mataram tetapi juga dapat membebaskan Pangeran Martawidjaya dan Pangeran Kartawidjaya. Selanjutnya keduanya dibawa ke Kediri sebelum dijemput oleh pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Selepas dari Kediri, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membagi Kerajaan Cirebon menjadi dua, masing-masing Kasepuhan dan Kanoman.18 Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Martawidjaya bergelar Sultan Sepuh Raja Syamsuddin. Sedangkan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawidjaya dengan gelar Sultan Anom Moh. Badrudin. Semenjak saat itu hingga sekarang kedua keraton tersebut masih ada dan dilestarikan. Walaupun status dan fungsinya sudah berubah dan berbeda. 2. Fungsi Keraton Masa Kini Bicara fungsi Keraton di masa kini akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana identifikasi masyarakat di dalam dan di luar Keraton terhadap 17 Ibid, 1998, hal. 38 Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon (Cirebon: Arsip 2015) hal 8 18 37 Keraton itu sendiri. Pada perkembangannya, Keraton dianggap sebagai tujuan wisata, cagar budaya, penjaga dan pelestari budaya setempat. Pertama, sebagai salah satu tujuan wisata. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana tata letak dan penataaan dekorasi yang tampak di Keraton Kasepuhan. Sekarang kita bisa melihat dengan jelas pintu ticketing yang ada di depan pintu masuk Keraton. Yang mana merupakan bagian dari kerjasama dengan Telkom.19 Di samping itu, penataan pusaka peninggalan Keraton seperti Kereta Singa Barong, Baju Zirah, Keris, Pedang, Tombak, Porselen dan lainnya ditata sedemikian rupa sehingga dapat dilihat dengan rapih dan nyaman oleh pengunjung. Penataan tersebut didasari oleh kesadaran bahwa Keraton Kasepuhan telah menjadi tujuan wisata sejarah. Kedua, sebagai penjaga dan pelestari budaya setempat. Dalam hal ini Keraton selalu memposisikan diri sebagai pemimpin dan penyelenggara adat istiadat setempat. Ini bisa kita lihat seperti pada penyelenggaraan Upacara Panjang Jimat. Upacara Panjang Jimat yang diselenggarakan merupakan bagian dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan Keraton Kasepuhan dalam menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara Panjang Jimat ini diselenggarakan setiap tahunnya dan merupakan tradisi tahunan yang sudah diselenggarakan sejak Sunan Gunung Jati masih hidup. Selain itu dibuatnya sekolah kesenian Keraton Kasepuhan yang masih berada di bawah yayasan Keraton Kasepuhan juga merupakan bentuk kepedulian Keraton 19 Hasil wawancara dengan Iman Sugiman pada 30 November 2015 di Keraton Kasepuhan. 38 Kasepuhan dalam menjaga dan melestarikan budaya yang ada. Di samping pagelaran tari yang diselenggarakan oleh Keraton Kasepuhan tiap bulannya. 3. Struktur Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan Keraton Kasepuhan memiliki dua struktur organisasi yang berlaku, yakni struktur organisasi tradisional dan manajemen Badan Pengelola Keraton Kasepuhan atau yang lazim disebut BPKK. Struktur organisasi tradisional ini sendiri hanya berlaku bagi kalangan internal keraton saja. Adapun untuk kebutuhan kepengurusan harian seperti pemeliharaan wisata, kegiatan adat, penerimaan tamu regional, nasional dan internasional diambil alih oleh BPKK. 39 Berikut adalah struktur organisasi tradisional Keraton Kasepuhan: Sultan Sepuh Sultan Patih Patih Kepala Kepala Lurah Lurah Lurah Lurah Magersari Magersari Lurah Lurah Wewengkon Wewengkon Mandalangen Mandalangen Lurah Dalem Ketinas Ketinas Pengampon Abdi Dalem Seperti halnya struktur kerajaan pada masa lalu, struktur tradisional ini pun bersifat hierarkis. Sultan sebagai pemimpin keraton memiliki otoritas yang tinggi dalam kekuasaan. Semua kebijakan di keraton baik itu yang sifatnya internal ataupun eksternal harus dikeluarkan oleh sultan. Adapun nama-nama di atas tidak bisa disebutkan sekarang karena masih dalam tahap penggodokan dan belum secara resmi di umumkan oleh Sultan Sepuh XIV. 40 Berbeda dengan struktur organisasi tradisional, struktur organisasi manajemen BPKK tidak hanya melibatkan kalangan internal saja, pejabat pemkot seperti Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat serta Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon juga turut dilibatkan. Lengkapnya bisa dilihat pada Surat Keputusan Sultan Sepuh XIV Nomor 001/SK/SSXIV/VII/2015 tentang susunan manajemen Badan Pengelola Wisata Keraton Kasepuhan Cirebon Periode Tahun 2015 s/d 2018 di bawah ini: Pembina : 1. Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat, SE. 2. Kadisparbud Prov. Jawa Barat 3. Kadisporbudpar Kota Cirebon Pengawas : R.A.S. Isye Natadiningrat Direktur : PR. Luqman Zulkaedin, SH Wakil Direktur I : PR. Nisfudin Ardiningrat Wakil Direktur II : M Akbar SIP Sekretaris dan Administrasi : Ahmad Jazuli Wakil Sekretaris dan Admnistrasi : Raden Mukhtar Bendahara : Drs. E Subandi Wakil Bendahara : Otong AB 41 Kabag Ticketing, Parkir dan PKL : Donny Husein Wakabag Ticketing, Parkir dan PKL : E Raharyadi W Wakabag Parkir Dalam dan Luar : Misdiyanto Wakabag Ticket : R Mohammad Yuski Wakabag Ticket dan Maintenance : 1. Gita Deshara 2. Ika Setia Nurhayah Kabag Pengelola Dalem Agung : PR. Goemelar Soeriadiningrat Kabag Pemandu dan Tampi Tamu : Iman Sugiman Wakabag Pemandu dan Tampi : R. M. Hafid Permadi Tamu Kepala Bagian Pemasaran : RR Alexandra Wuryaningrat Wakabag Pemasaran : RR Gumiwang Kencananingrat Kabag Paket Wisata dan Event : Ratih Marlina, S.pd Wakabag Paket Wisata dan Event : Ratu Idah Julhaedah Kabag Gallery dan Food Court : RR. Siti Fatimah Nurkhayani, SI.Kom Kabag Museum dan Tradisi : R Tarsoma Martabrata Wakabag Museum dan Tradisi : Mohammad Maskun Kabag Umum dan Kebersihan : E. Usman Zaelani Wakabag Umum dan Kebersihan : Sukesa 42 Kabag Publikasi, Dokumentasi dan : Khana Maulasa Website Wakabag Publikasi, Dokumentasi : Andi Rohman S.Pd.I dan website Kabag Pengelola Langgar Agung : E Haryanto Wakabag Pengelola Langgar Agung : Drs. Supratman Kabag Kamtib : E. Rochadi Susilakusuma Wakabag Kamtib : 1. Sugito 2. E Hanafiah Angkawijaya 3. Sudarno Staff Sultan : 1. E. Subandi 2. Ahmad Jazuli 3. R. Mukhtar 4. Donny Husein 5. Andi Rokhman S. Pd.I B. Pemerintahan Kota Cirebon 1. Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon Berdirinya Pemerintahan Kota Cirebon bisa dikatakan sebagai modernisasi sistem pemerintahan masa lalu. Seperti kita ketahui bersama bahwa sebelum penjajah masuk ke nusantara, sistem pemerintahan yang berlaku adalah kerajaan. Kerajaan berdiri di daerah yang berpenduduk 43 banyak dan mengatur segala hal yang berkenaan dengan ranah politik, sosial, ekonomi, budaya, seperti pemerintahan masa kini. Namun mungkin dengan istilah dan bentuk struktur yang berbeda. Kerajaan kecil biasanya menginduk pada kerajaan besar. Dan mesti membayar pajak atau upeti kepada kerajaan induk. Sejak penjajah datang dan mengambil alih peran kerajaan dalam pemerintahan, sistem pemerintahan pun mengalami perubahan. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat kolonialisme dibawah Pemerintahan Hindia Belanda. Sistem pemerintahan jajahan Hindia Belanda mempunyai corak “otokratis” suatu pemerintahan yang sentralistis dan berlaku sejak tahun 1854 menurut garis-garis yang diletakkan dalam “Regerings Reglement” Staatsblad 1854.20 Asas penyelenggaraan Pemerintahan di daerah jajahan, semata-mata hanya menggunakan sistem Sentralisasi.21 Pemerintahan sentralistis tersebut bertahan sampai dengan awal tahun 1900-an. Baru pada tanggal 1 April 1906 Pemerintah Kota Cirebon resmi dibentuk. 22 Lingkup daerahnya sendiri meliputi desa Lemahwungkuk, Panjunan dan Pekiringan dalam lingkungan antara Laut Jawa, Kali Sukalila, Kali Sipadu dan Kali Kesunean, luasnya mencapai sekira 225 hektar. Perjalanan Pemerintah Kota Cirebon dapat kita lihat dari undangundang yang berkenaan dengan pemerintah daerah pada masing-masing 20 Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon, hal. 29 21 Lihat Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, 1903-1958, Amrah Muslimin, Mr, Penerbit Jambatan 1960, bagian pertama. 22 Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon, hal. 29 44 periode penguasa. Kita dapat membaginya dalam beberapa periode, yakni periode kolonialisme Hindia Belanda, penjajahan Jepang, paska kemerdekaan, Republik Indonesia Serikat (RIS), orde lama, orde baru dan reformasi. a. Periode Kolonialisme Hindia Belanda Sejak resmi dibentuk pada tanggal 1 April 1906, Pemerintah Kota Cirebon atau yang pada waktu itu disebut Gementee Cheribon harus mengurus urusan-urusan rumah tangga daerahnya sesuai dengan yang tertera di Staatsblad 1906 nomor 122.23 Pada periode ini Pemerintah Hindia Belanda sudah melakukan desentralisasi, namun kepala daerah sendiri baru resmi ditunjuk pada tahun 1920. Pada masa ini kepala daerah yang menjabat disebut dengan Burger Meester.24 Urusan rumah tangga yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Pekerjaan Umum, seperti pemeliharaan jalan, perbaikan berat jalan, pemeliharaan jembatan, pembangunan jalan baru, pembangunan jembatan baru dan pemeliharaan taman. 2. Pembersihan, meliputi penyiraman jalan, pembuangan sampah, serta pembersihan got dan parit. 3. Pencegah kebakaran (Blandweer) 4. Penerangan 5. Penyelenggaraan kuburan 6. Penetapan sempadan 23 24 Ibid, hal 31 Ibid, hal 88 45 7. Usaha pasar 8. Usaha jabal25 Praktis tak banyak yang berubah selama tahun 1906 sampai dengan akhir masa penjajahan Belanda terkait dengan fungsi dan wewenang Gementee Cheribon. b. Periode Penjajahan Jepang Pada tanggal 8 Maret 1942, Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer (LegerCommandant) Ter Poorten atas nama Pemerintah Hindia Belanda menandatangani kapitulasi di Kalijati (Subang) yang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.26 Dengan itu maka kekuasaan pun beralih ke tangan Jepang. Peralihan kekuasaan tersebut tentunya memberikan dampak terhadap jalannya pemerintahan. Baik pemerintahan pusat ataupun daerah. Dampak dari peralihan kekuasaan tersebut adalah dibuatnya peraturan-peraturan baru, walaupun tidak serta merta mengubah sistem dan tatanan yang sudah ada secara signifikan. Diantaranya adalah osamu seirei nomor 27 tahun 1942 yang mengatur tentang susunan pemerintahan dan Osamu Seirei nomor 28 tahun 1942 yang mengatur peraturan pemerintahan keresidenan atau Shyu. Pada masa ini Pemerintah Kota Cirebon di pimpin oleh Asikin Nataatmadja dan 25 26 Ibid, hal 31 Ibid, hal 37 46 Muniran Suria Negara. Kepala Daerahnya sendiri dipanggil dengan sebutan Shitjo.27 c. Periode 1945-1947 Setelah Republik Indonesia resmi diproklamirkan, maka peraturan tentang otonomi daerah pun ikut berubah. Perubahan itu termaktub dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum di amandemen yang berisi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.28 Penjelasan lebih lanjut mengenai susunan pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang pembentukan Komite Nasional Daerah yang berisi sebagi berikut: “Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil dan di daerahdaerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah (BPD) oleh karena itu di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan”. Pada masa ini Pemerintah Daerah terbagi atas provinsi, kotamadya/kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Setiap daerah otonom 27 Ibid, hal 88 Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Keempatbelas, hal. 10 28 47 baik itu yang besar ataupun kecil dipimpin oleh kepala daerah sebagai bentuk kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Namun, perlu dipahami bersama juga kalau UU No.1 Tahun 1945 hanya berisi enam pasal sehingga masih banyak kekurangan-kekurangan yang muncul pada implementasinya. d. Periode 1947-1950 Pada periode ini Belanda melancarkan agresi militernya ke Indonesia. Dampak dari agresi militer tersebut adalah direbutnya beberapa daerah dari tangan Pemerintah NKRI. Belanda masuk ke daerah Cirebon pada 21 Juli 1947.29 Sejak Cirebon dikuasai kembali oleh Belanda maka Dewan-Dewan KNI dan badan eksekutifnya dibekukan dan pemerintah daerah otonom kota diatur berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stbl. 1948 no. 179, yang menetapkan pemerintah daerah kota diletakkan di tangan pembesar yang ada, yakni Burgermester.30 Selama agresi militer berlangsung tak banyak yang berkembang dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Itu semua karena Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda lebih fokus pada penetapan pemerintah yang sah melalui berbagai perundingan. e. Periode 1950-1959 Tak banyak yang berubah dari gagasan otonomi daerah pada periode ini. Hanya ada penegasan Cirebon ditunjuk sebagai daerah otonom Kota Besar Cirebon melalui UU No. 16 Tahun 1950. Menurut 29 30 Ibid, hal 42 Ibid, hal 42 48 Moh.Sjafei (1956), hak otonomi pada masa itu berisi tidak lebih dari tugas-tugas yang diberikan pada waktu daerah otonom Kota Cirebon baru dibentuk pada tahun 1906, dengan ditambah tugas kesehatan.31 f. Periode 1959 – Berakhirnya orde lama Pada periode ini pemerintah pusat mengeluarkan dua UU yang berkenaan dengan otonomi daerah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pengalihan kekuasaan dan pembagian daerah-daerah otonom dalam beberapa tingkatan. Di era orde lama ini daerah Cirebon terbagi menjadi Kotaraya atau Daerah Tingkat I dan Kabupaten atau Daerah Tingkat II. Pertama adalah UU No. 6 Tahun 1959 ditetapkan bahwa kecuali tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang mengurus ketertiban dan keamanan umum, koordinasi mengenai pengawasan jalannya pemerintah daerah, yaitu semua wewenang dan kekuasaan dari pegawai-pegawai pamong praja dari Gubernur, Resident/Residen, Regent/Bupati sampai Camat dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Semua kekuasaan dan wewenang yang bersifat mengatur (regelende bevoedheid) dari Gouvenour/ Gubernur, Resident/ Residen beralih pada DPRD Tingkat I. 2) Semua kekuasaan dan wewenang yang tidak bersifat mengatur yang melekat pada Regent/Bupati/Walikota, Asisten Residen, hoofd van 31 Ibid, hal 45 49 plasstselijk bestuur, patih, wedana dan Asisten Wedana beralih pada Dewan Pemerintahan Daerah Tingkat I.32 Sedangkan yang kedua ialah pasal 2 UU No. 18 Tahun 1965 membagi daerah dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dan tersusun dalam tiga tingkat sebagai berikut: 1) Provinsi dan/ atau Kotaraya, sebagai Daerah Tingkat I. 2) Kabupaten dan/ atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat II. 3) Kecamatan sebagai Daerah Tingkat III.33 g. Periode Orde Baru Praktis pada masa ini tak begitu banyak perubahan yang terjadi dalam implementasi otonomi daerah. Hal ini disinyalir karena jalannya pemerintahan yang cukup stabil dan bertahan cukup lama. Hanya ada beberapa UU yang mengatur tentang pemerintah daerah, seperti: 1) UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di Daerah yang mengatur azas pemerintahan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. 2) UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (1) yang berisi pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 32 33 Ibid, hal 45 Ibid, hal 46 50 h. Periode Reformasi Jatuhnya pemerintahan Suharto memberikan dampak perubahan yang cukup meluas. Mulai dari amandemen UUD 1945, perubahan nomenklatur departemen, perubahan kebijakan dan semua yang dianggap sebagai biang rusaknya pemerintahan. Perihal UU yang mengatur tentang pemerintah daerah bisa dilihat dari hasil sidang Umum MPR yang mengesahkan Tap-Tap MPR yang melahirkan beberapa perubahan UU sebagai berikut: 1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah. 2) Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. 3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 4) Peraturan Pemerintah RI No. 84 Tahun 2000 tentang pedoman organisasi perangkat daerah. 5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pemyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999.34 2. Kedudukan dan Wewenang Perihal kedudukan dan kewenangan Pemerintah Kota Cirebon lebih jelasnya sudah diatur dalam UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah Kota Cirebon adalah daerah otonom dari Negara Kesatuan 34 Ibid, hal 74 51 Republik Indonesia yang secara struktur dan kedudukan harus menginduk kepada pemerintah pusat. Dalam hal ini pemerintah kota berada satu tingkat di bawah pemerintah provinsi dan dua tingkat di bawah pemerintah pusat. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerahnya haruslah merunut pada konstitusi yang berlaku di Indonesia. Sehingga kepala daerah tidak bisa sewenang-wenang dalam membuat keputusan dan kebijakan. Lebih jelasnya bisa kita lihat pada UUD 1945 perubahan ke-4 pasal 18 ayat 1 dan 5. Hal-hal mengenai wewenang Pemerintah Daerah terdapat pada perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) berbunyi: “ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”. Dan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.35 35 Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Keempatbelas, hal. 132 52 3. Struktur Organisasi Pejabat Pemerintahan Kota Cirebon Adapun struktur organisasi DISPORBUDPAR Kota Cirebon adalah sebagai berikut: Kepala Dinas : Drs. Dana Kartiman Sekretaris : Bagja Edi Rohaedi, S.Sn. MM KA. UPTD PIBP : Wahyoe Koesoemah, S.Sn KA. UPTD SARPRAS Pemuda dan OR : Drs. Fauzi Aschar KA. UPTD PPOR : Hj. Sustini, SAP Kasubag TU UPTD PIBP : Giyanto, SE. MM Pelaksana : Krisbiantoro, SE Kasubag TU UPTD SARPRAS Pemuda dan OR : R. Dijah Rosalina N, S.Sos Pelaksana : Rosidah, A.Md Kasubag TU UPTD PPOR : Dini Novianti, S.Sos Pelaksana : Jojo Turijo Kasubag Umum : Suharjo, SAP Pelaksana : Sukara Kasubag Proglap : Drs. Dodi Supriyadi Pelaksana : Iffatunnisa R, A.Md Kasubag Keuangan : 1. M. Taufiq Rizal, SS 2. Tri Hernatikah, SE 53 3. Siti Maemunah, Amd 4. Musa Abrori, SE 5. Gita Lugina, SE 6. Ferike Kabid Kepemudaan : Alimudin, A.Md Kasie Bina Lemmitra Pemuda : Hj. Tati Sumiyati, SE Pelaksana : Beny, S.Sos, M.Si Kasie Bina Pimwir Pemuda : Umi Sangadah, S.Sos Pelaksana : Erwin Rahmat Josandi Kabid Keolahragaan : Odik, S.Pd.,M.Pd Kasie Bina Olahraga Prestasi : Santosa, S.Sos Pelaksana : Pujo Janoko, SAP Kasie Bina Olahraga Rekmas : Rindu Legawati, S.H., M.Si Pelaksana : Drs. Nanang Sudibyo Kabid Kebudayaan : Drs. Agus. S, MM, M.Pd Kasie Bina Senfibasa : Dede Wahidin, S.Sn Pelaksana : 1. Rakhmat Hidayat, S.IP 2. Reni Imaniyah. S,SH Kasie Bina Niltrasepur : Sugiyono, S.Pd Pelaksana : Maryono. K, S.IP, M.Si Kabid Kepariwisataan : H. Tohidi, Se., MM Kasie Pemasaran Pariwisata : Suhendi, SE 54 Pelaksana : Mustopa, SE Kasie Bina Usaha Pariwisata : Wiyono SA., S.Sn Pelaksana : Ricco Hadiyanto, A.Md 56 BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA A. Profil Informan 1. Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan Pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dalam hal ini merujuk kepada orang-orang yang bekerja di lingkungan keraton dan termasuk ke dalam struktur organisasi Badan Pengelola Keraton Kasepuhan (BPKK). a. Iman Sugiman Narasumber pertama dari pihak keraton adalah Bapak Iman Sugiman. Beliau adalah salah satu „abdi dalem‟ yang bisa dikatakan cukup senior. Karena telah bekerja dan menghabiskan hampir satu per empat abad umurnya di Keraton Kasepuhan. Tepatnya selama 24 tahun. Sehingga sudah merasakan pahit-manisnya hidup di lingkungan keraton. Selain itu, ada kebijakan Sultan yang secara langsung menunjuk Iman Sugiman untuk membimbing peneliti dalam penelitian yang mengkaji aspek sosial, budaya dan pariwisata. Beliau sekarang menjabat sebagai Koordinator Kepala Bagian Penerima Tamu. Jabatan ini baru diembannya selama satu tahun. Tanggung jawab terhadap jabatannya kali ini bisa dibilang cukup berat, karena beliau lah yang harus bertanggung jawab dalam penerimaan tamu baik itu wisatawan domestik ataupun internasional. Beliau juga seringkali diutus oleh Sultan untuk mewakili Keraton Kasepuhan dalam 57 berbagai kegiatan kebudayaan dan kepariwisataan. Di luar Keraton Kasepuhan, beliau juga aktif di KOMPEKPAR (Komunitas Penggerak Pariwisata) wilayah Cirebon. Pernah menjabat sebagai Sekretaris juga pada tahun lalu sebelum digantikan kepengurusan yang baru. b. Ahmad Jazuli Beliau adalah salah satu dari lima orang staff yang ditunjuk oleh Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat S.E. Jabatan sebagai Staff Sultan tersebut sudah diamanatkan kepada beliau sejak 2010 atau sejak Sultan Sepuh XIV diangkat. Dengan posisi sebagai Staff Sultan bisa dibilang beliau mengetahui hampir seluruh kegiatan yang Keraton Kasepuhan selenggarakan dan laksanakan. Selain memang harus bertanggung jawab mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugastugasnya. 2. Pejabat Pemerintah Kota Cirebon Pejabat Pemerintah Kota Cirebon adalah pejabat negara yang bekerja di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon. Dsalam hal ini tepatnya dari Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (DISPORBUDPAR). Untuk mengerucutkan poin-poin yang dibahas dalam penelitian kali ini maka yang dipilih sebagai narasumber adalah Kepala DISPORBUDPAR serta dari Bagian Pariwisata dan Kebudayaan. a. Drs. Dana Kartiman Narasumber pertama dan utama dari Pemerintah Kota adalah Drs. Dana Kartiman. Jabatan beliau sekarang adalah Kepala 58 DISPORBUDPAR. Pemilihan beliau sendiri sebagai narasumber lebih dikarenakan Dinas yang beliau bawahi memiliki intensitas dan frekuensi interaksi yang lebih tinggi dengan Keraton Kasepuhan dibandingkan dengan Dinas lainnya di Kota Cirebon. Beliau sudah menduduki jabatan tersebut sejak 15 Maret 2014. Bisa dibilang beliau adalah pejabat senior yang sudah cukup lama malang melintang di jajaran pejabat Pemerintah Kota Cirebon. Sebelum menjabat sebagai Kepala DISPORBUDPAR, beliau juga pernah menduduki beberapa jabatan di BAPUSIPDA dan Dinas Pendidikan yang kesemuanya di kota Cirebon. Dalam tugasnya yang sekarang beliau bertanggung jawab terhadap sektor Kepemudaan, Olahraga dan tentunya Kebudayaan serta Kepariwisataan. Kebudayaan dan Kepariwisataan sendiri merupakan sektor yang tak bisa dianggap sepele, mengingat sejarah panjang Kota Cirebon sebagai salah satu daerah yang memiliki nilai sejarah tinggi berikut prospek pariwisatanya yang sekarang mulai dilirik wisatawan domestik dan internasional. Perhatian terhadap hal-hal tersebut mau tidak mau membuat beliau harus terlibat lebih aktif dalam berkomunikasi dengan stakeholders kebudayaan dan kepariwisataan setempat demi menjadikan kota Cirebon sebagai tujuan wisata yang menarik. b. Wiyono SA., S.Sn Narasumber selanjutnya dari bagian pariwisata adalah Wiyono SA., S.Sn. Beliau menjabat sebagai Kepala Seksie Bina Usaha Pariwisata. Jabatan ini sudah diembannya selama empat tahun. Setelah 59 sebelumnya mengisi beberapa jabatan di DISPORBUDPAR. Beliau juga menjadi ketua pelaksana dalam kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi Para Stakeholder Kepariwisataan yang dilaksanakan Akhir 2015 yang lalu. Pada posisinya yang sekarang beliau diberi tanggung jawab untuk meningkatkan usaha kepariwisataan di wilayah Cirebon. Sektor pariwisata di Kota Cirebon sendiri terbagi dalam dua aspek yakni, sejarah dan ziarah. Keraton-keraton di Cirebon seperti Kasepuhan dan Kanoman yang selama ini menjadi ikon pariwisata di Cirebon menjadi fokus utama yang harus digarap dan ditingkatkan lagi demi mengenalkan peninggalan leluhur kepada wisatawan domestik dan internasional. c. Sugiyono S.Pd Sedangkan narasumber dari bagian kebudayaan sendiri adalah Sugiyono S.Pd. Sekarang beliau menjabat sebagai Kepala Seksie Bina Nilai Tradisional Sepuh dan Purbakala. Beliau dipercaya memegang jabatan ini selama empat tahun terakhir. Sebagai Kasie Bina Niltrasepur beliau bertanggung jawab dalam pemeliharaan setiap unsur kebudayaan yang ada di Cirebon. Unsur kebudayaan yang dimaksud diantaranya benda-benda peninggalan kebudayaan masa lalu seperti keraton-keraton, gua sunyaragi, serta situssitus peninggalan sejarah lainnya. Selain itu, pelestarian aktivitas kebudayaan seperti upacara-upacara tradisional, tari-tarian, serta 60 kesenian tradisional juga menjadi hal yang harus tetap diperhatikan demi menjaga keutuhan kebudayaan Cirebon. B. Simpul-Simpul Pertemuan antara Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah Kota Sebagai bagian dari observasi penelitian kali ini adalah dengan turut serta dalam beberapa pertemuan yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan dan Pemerintah Kota Cirebon, berikut adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh kedua pihak. 1. Keraton Kasepuhan a. Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW Rapat koordinasi ini merupakan bagian dari rangkaian persiapan penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang kerap kali disebut sebagai Panjang Jimatan oleh masyarakat Cirebon. Seperti umumnya rapat koordinasi, pihak Keraton sebagai tuan rumah sekaligus penyelenggara juga mengundang pihak-pihak terkait demi kelancaran Panjang Jimatan tersebut. Pihak yang diundang antara lain Pemerintah Kota, dari pejabat tingkat RT sampai Walikota, Kepolisian, TNI, sanak famili, dan tentunya masyarakat sekitar. Tujuan dari diselenggarakannya rapat koordinasi ini tentunya adalah perihal tercapainya persiapan dan kesiapan yang matang pada penyelenggaraan Panjang Jimatan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja yang terkoordinasi dan terintegrasi dari semua pihak. Seperti masalah tentang keamanan, kenyamanan, dan tentunya kebersihan. Hal-hal 61 tersebut tentunya akan sangat sulit ditangani sendiri oleh pihak Keraton mengingat Panjang Jimatan bukanlah acara yang dihadiri oleh sedikit orang. b. Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat) Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan memiliki daya tarik tersendiri. Karena mengandung unsur budaya yang sangat kental. Mengingat Cirebon merupakan salah satu daerah yang dijadikan ujung tombak penyiaran agama islam pada masa wali songo. Wali songo sendiri melakukan syi‟ar islam dengan sentuhan-sentuhan budaya yang kental. Sunan Gunung Jati yang ditugaskan di wilayah Jawa Barat pun turut menggunakan pendekatan budaya dalam menyebarkan agama islam. Salah satu warisannya yang masih tetap dilestarikan adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Unsur budaya sangat terasa pada puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan, dimana didalamnya terdapat ritual upacara panjang jimat. Upacara panjang jimat sendiri merupakan pencucian benda pusaka yang disertai dengan iring-iringan. Iring-iringan tersebut berangkat dari dalam Keraton Kasepuhan sampai Langgar Alit yang masih berada dalam pelataran Keraton. Selain iring-iringan benda pusaka yang kemudian dimandikan dan dibacakan doa, berbagai makanan pun turut disertakan dan didoakan sebelum kemudian diperebutkan oleh masayarakat yang mempercayai bahwa makanan tersebut mengandung keberkahan. 62 c. Pertunjukan Kolaborasi Tari Bian Lian dan Tari Topeng Pagelaran atau pertunjukan seni tari ini merupakan gagasan dari Sultan Sepuh XIV. Kepeduliannya pada pelestarian dan pengembangan kesenian dituangkan dalam bentuk pagelaran kolaboratif antara tari Bian Lian dari Tiongkok dan tari Topeng dari Cirebon. Gagasan ini muncul ketika beliau mengunjungi Tiongkok dan disambut dengan tari Bian Lian. Tari Bian Lian ini sendiri merupakan jenis tari-tarian yang menggunakan topeng sebagai pusat daya tariknya. Cirebon sendiri memiliki tari sejenis namun dengan warna dan bentuk topeng yang berbeda, jenis tari ini biasa disebut tari Topeng. Dengan latar belakang kesamaan pada penggunaan topeng, maka sultan pun berinisiatif untuk membuat pagelaran kolaborasi tari Bian Lian dan tari Topeng. Gagasan tersebut mendapat sambutan yang baik dari lembaga bahasa mandarin di Jawa Barat. Maka, dibuat lah kerjasama untuk menyelenggarakan kolaborasi tari Bian Lian dan tari Topeng di Cirebon. Kerjasama tersebut membuahkan hasil dan dapat ditampilkan untuk pertama kalinya di Keraton Kasepuhan. 2. Pemerintah Kota Cirebon a. Sosialisasi Sadar Wisata bagi Seluruh Stakeholders Kepariwisataan Kota Cirebon Kegiatan ini merupakan respon terhadap kondisi kepariwisataan di Kota Cirebon. Kondisi kepariwisataan di Cirebon sendiri tidak bisa 63 dikatakan sepenuhnya baik. Oleh karena itu, Pemerintah Kota dalam hal ini melalui bagian Pariwisata mencoba untuk mengumpulkan stakeholders kepariwisataan di Kota Cirebon untuk membicarakan tentang pengembangan pariwisata di Cirebon. Stakeholders yang dimaksud dalam hal ini adalah para pengelola cagar budaya yang didalamnya termasuk dari Keraton Kasepuhan, kuncen situs-situs budaya, pengelola hotel, kuliner dan travel. Kegiatan ini sendiri diisi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Provinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (DISPORBUDPAR). b. Laporan Data Pengunjung Keraton Kasepuhan Kegiatan ini merupakan bentuk controlling dari Pemerintah Kota terhadap pemberdayaan cagar budaya. Semua cagar budaya yang terletak di Kota Cirebon diharuskan untuk membuat data pengunjung dan melaporkannya kepada Pemerintah Kota setiap bulan. Termasuk Keraton Kasepuhan di dalamnya. Data ini nantinya dibutuhkan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan pemberdayaan cagar budaya ke depannya. c. Sowan Sowan yang dimaksud dalam hal ini adalah kunjungan yang tidak direncanakan. Sengaja tidak dimasukkan ke dalam agenda resmi ataupun terencana karena untuk menghilangkan kesan kaku dalam hubungan yang berlangsung diantara pihak Pemerintah Kota Cirebon dan pihak 64 Keraton Kasepuhan. Karena tidak direncanakan, waktu sowan pun bisa kapan saja tanpa memperhitungkan waktu. Kegiatan sowan ini sering dilakukan oleh pihak Pemkot untuk menjaga silaturahmi dengan pihak Keraton Kasepuhan. Penerimaannya pun tidak mesti oleh Sultan, melainkan bisa dengan siapa saja, biasanya yang menerima adalah orang-orang yang masuk dalam jajaran BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan). C. Analisa Hasil Temuan Analisa hasil temuan penelitian model kualitatif deskriptif analisis mengacu pada nilai-nilai objektifitas. Fokus analisanya sendiri adalah pada pola komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan Pejabat Pemerintah Kota. Pola komunikasi yang dimaksud adalah tentang pola komunikasi formal dan informal. Selain tentunya juga dilakukan analisa terhadap pola-pola komunikasi dalam bentuk lingkaran, roda, rantai dan bintang. 1. Analisa Pola komunikasi Pemangku Jabatan Keraton dengan Pejabat Pemerintahan Kota a. Identifikasi Keraton terhadap Pemkot Sebelum membahas tentang pola komunikasi diantara pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat Pemerintah Kota tentu yang harus diketahui terlebih dahulu adalah perihal bagaimana pihak keraton menganggap atau mengidentifikasi Pemerintah Kota berikut pejabatnya. Karena identifikasi yang kita lakukan terhadap suatu objek akan mempengaruhi bagaimana kita merespon objek tersebut, objek yang 65 dimaksud dalam hal ini adalah simbol-simbol yang muncul dalam suatu interaksi.1 Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut. Simbol dalam proses komunikasi dapat berupa: bahasa, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya.2 Maka, penting untuk mengetahui terlebih dahulu simbol-simbol yang digunakan pihak Keraton dalam berinteraksi dengan pihak Pemkot. Keraton sendiri pada perkembangannya sudah menjadi penjaga dan pelestari adat yang terlembaga dan melembaga. Terlembaga dan melembaga dalam artian secara struktur organisasi dan gerak langkah keraton sudah mengalami beberapa perubahan atau lebih tepatnya mengalami modernisasi selayaknya instansi atau lembaga-lembaga pada masa sekarang. Perubahan tersebut tidak lantas mengubah keseluruhan wajah keraton, seperti dalam hal struktur organisasi misalnya, struktur organisasi tradisional tetap dipertahankan meskipun telah membentuk struktur organisasi modern. Pembentukan struktur organisasi modern ini lebih dikarenakan untuk menjawab kebutuhan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Jazuli, salah satu staff Sultan Sepuh XIV, dalam wawancaranya dengan saya. ”Kemudian sesuai perkembangan zaman, mau tidak mau keraton berkembang menjadi destinasi wisata, ya wisata sejarah, wisata 1 Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern, (Depok: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hal. xxi 2 Joel M. Charon, Symbolic Interactionisme: An Introduction, An Interpretation, An Integration. Prentice Hall, Hal 40. 66 ziarah, dan juga wisata pendidikan. Seperti sekarang ini Sultan Sepuh merasa perlu untuk membentuk badan khusus di luar struktur tradisional. Oleh karenanya dibentuk BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan). Semi modern lah. Ini kan untuk menjawab kebutuhan zaman karena belum ter-cover oleh struktur tradisional”. Perubahan struktur organisasi tersebut berdampak pada gerak langkah yang melembaga pula, keraton pada masa sekarang mau tidak mau harus mengikuti prosedur administrasi yang berlaku. Seperti dalam hal surat-menyurat, laporan data pengunjung, ataupun pengajuan proposal untuk menjalin kerjasama dengan Pemerintah dan swasta. Pihak keraton sendiri menganggap Pemerintah Kota, yang dalam hal ini sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat sebagai rekan dan juga pemilik bersama Keraton Kasepuhan. 1) Sebagai Rekan atau Mitra Rekan atau mitra yang dimaksud dalam hal ini adalah berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan kebudayaan dan kepariwisataan. Di dalamnya termasuk kegiatan-kegiatan adat dan tradisi juga. Hal ini juga diperkuat dengan wawancara yang saya lakukan dengan Iman Sugiman, salah satu abdi dalem atau juru pelihara Keraton Kasepuhan.3 “Keraton juga milik negara, jadi Pemerintah Kota dan Keraton harus saling bekerja sama”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa keraton tidak independen, tidak lagi 3 Hasil wawancara dengan Iman Sugiman pada 30 November 2015 di Keraton Kasepuhan 67 berdiri sendiri. Tidak lagi memiliki fungsi pemerintahan yang memungkinkannya untuk mengatur segala sesuatunya sendiri. Sehingga segala sesuatunya haruslah dilakukan dengan berkerja sama. Utamanya dengan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Kota, selaku pemegang otoritas tertinggi daerah. Hal ini juga dapat dilihat dari pelibatan pejabat pemerintahan dalam struktur organisasi Badan Pengelola Keraton Kasepuhan (BPKK). Bahkan, tidak hanya dilibatkan tetapi juga ditempatkan di salah satu posisi tertinggi. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi jawa Barat dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata menjabat sebagai pembina, yang dalam hal ini sejajar dengan Sultan Sepuh. Kesamaan posisi tersebut menjadikan Sultan dan Pejabat Pemerintah tersebut dapat mengawasi sekaligus memberikan pengarahan dalam kepengurusan BPKK. Suasana „kemitraan‟ juga tergambar dalam kegiatan-kegiatan Keraton yang mengundang pihak Pemerintah Kota Cirebon. Pada kegiatan Rapat Persiapan Maulid Nabi Muhammad SAW (12/10/2015) misalnya, Sultan yang memimpin rapat tersebut dengan berbesar hati mempersilakan pejabat-pejabat daerah untuk menyampaikan sepatah - dua patah kata demi terselenggaranya kegiatan Maulid dengan lancar. Hal ini dilakukan karena Keraton memandang unsur-unsur pemerintahan sebagai mitra, sebagai rekanan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kebudayaan. Ada 68 keterbukaan dan pemahaman bahwa keraton tidak lagi memandang segala sesuatunya secara hierarkis. Pejabat Pemerintah pun boleh mengutarakan pendapatnya tanpa memandang dia berdarah apa dan berasal dari mana. 2) Sebagai Pembina Dalam konteks pemberdayaan dan pelestarian adat dan tradisi, pemerintah berperan sebagai pembina. Sesuai dengan yang tertera dalam UU Cagar Budaya. Dalam statusnya sebagai pembina dan sesuai dengan yang tertera pada Bab VIII tentang tugas dan wewenang. Pemerintah Kota memiliki tugas sebagai berikut: Bagian Kesatu Tugas Pasal 95 (1) Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai tugas: a) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya. 69 b) Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya. c) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar Budaya. d) Menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat. e) Menyelenggarakan promosi Cagar Budaya. f) Memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya. g) Menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana. h) Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya. Dan i) Mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar Budaya.4 Bagian Kedua Wewenang Pasal 96 4 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal.41 70 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang: a) Menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya. b) Mengoordinasikan pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah. c) Menghimpun data Cagar Budaya. d) Menetapkan peringkat Cagar Budaya. e) Menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya. f) Membuat peraturan pengelolaan Cagar Budaya. g) Menyelenggarakan kerja sama pelestarian Cagar Budaya. h) Melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum. i) Mengelola kawasan Cagar Budaya. j) Mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang pelestarian, penelitian dan museum. k) Mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan. l) Memberikan penghargaan kepada setiap orang melakukan pelestarian yang telah Cagar Budaya. m) Memindahkan dan/ atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan pengamanan. n) Melakukan pengelompokan Cagar Budaya kepentingannya menjadi peringkat provinsi dan peringkat kabupaten/kota. nasional, berdasarkan peringkat 71 o) Menetapkan batas situs dan kawasan. Dan p) Menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagianbagiannya. (2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah berwenang: a) Menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya. b) Melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri. c) Menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/ atau Kawasan cagar Budaya sebagai Cagar Budaya nasional. d) Mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat Internasional. Dan e) Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelestarian Cagar Budaya. Pasal 97 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi Kawasan Cagar Budaya. pengelolaan 72 (2) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan terhadap Cagar Budaya pada ayat (1) masyarakat dan kehidupan sosial. (3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat hukum adat. (4) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur Pemerintahdan/ atau Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.5 Pihak keraton sendiri juga memahami betul tentang peran Pemerintah Kota sebagai pembina. Ahmad jazuli, salah satu staf Sultan pun mengamini hal tersebut. “Dalam konteks kenegaraan kan kita dalam binaan Pemerintah. Kan ada dalam UU, kewajiban Pemerintah untuk melestarikan dan membina adat dan tradisi. Kita bagian dari institusi itu, kalau bicara institusional keratonnya kan berbeda lagi. Kita kalau sudah berkomitmen bersatu dengan NKRI, kita harus taat UU”.6 b. Simpul-Simpul Komunikasi antara Keraton kasepuhan dengan Pemerintah Kota 5 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal.42 6 Hasil wawancara dengan Ahmad Jazuli di Keraton Kasepuhan pada 16 Juni 2016 73 Untuk mengetahui pola-pola komunikasi yang digunakan Keraton kasepuhan dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Kota, kita dapat melihatnya dari simpul-simpul pertemuan yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah Kota. Dalam hal ini Keraton Kasepuhan berperan sebagai inisiator dan Pemerintah Kota sebagai undangan. Berikut adalah simpul-simpul pertemuannya: 1) Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW (Upacara Panjang Jimat) Simpul pertemuan yang pertama ini bisa kita kategorisasikan sebagai komunikasi formal. Sehingga pola komunikasi yang dibangun pun pola komunikasi formal. Pada rapat koordinasi ini, undangan datang dari pihak internal dan eksternal. Pihak internal dalam hal ini adalah orang-orang yang tergabung dalam struktur organisasi BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan), sanak famili dan kerabat. Sedangkan pihak eksternal yang dimaksud adalah dari unsur kepolisian, TNI (Tentara Nasional Indonesia), Pemerintah Kota, wartawan dan juga peneliti. Pada prakteknya Sultan menggunakan pola komunikasi yang berbeda-beda. Bergantung kepada siapa yang dijadikan lawan bicaranya. Lawan bicara pada rapat koordinasi ini bisa kita kategorisasikan menjadi pihak internal dan eksternal. 74 a) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Internal Khomsahrial Romli membagi arah aliran komunikasi formal ke dalam empat bagian, yakni: komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi diagonal.7 Dalam rapat koordinasi ini kita bisa melihat praktek komunikasi dari atas ke bawah saat Sultan membacakan dan memberikan SK kepanitiaan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan memberikan arahan perihal persiapan-persiapan apa saja yang harus dilakukan kepada panitia pelaksana. Lewis (1987) mengatakan bahwa komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.8 Sultan sebagai orang yang paling berwenang dan bertanggung jawab di Keraton Kasepuhan tentunya menginginkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW kali ini dapat berjalan lancar dan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, persiapan dan kesiapan penyelenggaraan pun harus diperhatikan 7 Romli Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, (Jakarta: PT Grasindo, 2011) Cet. Ke-1. 8 Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. ke-4, hal. 108 Hal.176 75 secara lebih seksama. Termasuk kesiapan panitia pelaksana di dalamnya. Sehingga dalam rapat tersebut, Sultan pun membentuk kepanitiaan penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW berikut dengan arahan perihal bagaimana menjalankan tugas masing-masing. Salah satu bentuk komunikasi dari atas ke bawah adalah instruksi tugas.9 Instruksi tugas yang dimaksud adalah pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Panitia diharapkan dapat menjalankan tugasnya degan baik dan mempersiapkan segala kemungkinan-kemungkinan terburuk serta penanggulangannya. Selain memberikan instruksi tugas, Sultan pun memberikan rasional untuk membuat semua pihak terkait merasa bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing. Rasional dalam hal ini adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan aktivitas itu dengan aktivitas lain dalam organisasi atau objek organisasi.10 Pola komunikasi Sultan kepada pihak internal menggunakan pola roda. Pada pola roda, Sultan berkomunikasi dengan dengan banyak orang. Orang-orang yang dimaksud adalah orang-orang yang masuk ke dalam kategori pihak internal yang kemudian menjadi panitia pelaksana perayaan Maulid Nabi 9 Ibid, hal. 108-109 Ibid, hal. 108-109 10 76 Muhammad SAW. Pada pola komunikasi seperti ini kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi satu arah dan tidak terjadi timbal balik.11 Pada rapat koordinasi ini, memang tidak terjadi timbal balik dari pihak internal kepada Sultan. Hal ini karena pesan yang disampaikan Sultan berupa instruksi tugas dan rasional sehingga tidak membutuhkan timbal balik. b) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Eksternal Berbeda dengan saat berkomunikasi kepada pihak internal, pola komunikasi yang digunakan sultan saat berkomunikasi dengan pihak eksternal adalah pola komunikasi horizontal. Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke individu atau kelompok yang secara struktur organisasi berada pada status yang sama.12 Sultan dan pihak internal memang tidak berada pada struktur organisasi dan status yang sama. Namun, Sultan menganggap pihak eksternal sendiri sebagai mitra. Mitra dalam penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW dan dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan ini didasari oleh identifikasi yang dilakukan Sultan terhadap pihak eksternal.13 Manusia bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia 11 H.A.W. Widjaya, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) edisi revisi, hal. 102-10 12 Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, Hal.176 13 Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke-1, hal. 150 77 mendefinisikan sesuatu tersebut. Hal ini memberikan kenyamanan kepada pihak eksternal dalam pertemuan tersebut. Selain pola horizontal, Sultan pun menggunakan pola komunikasi bintang dalam berkomunikasi dengan pihak eksternal. Ini terlihat pada saat Sultan selesai berbicara, beliau mempersilakan pihak eksternal untuk turut berbicara dan memberikan tanggapannya perihal persiapan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hampir mirip dengan pola lingkaran, dimana semua anggota memiliki hak dan kekuatan untuk saling berkomunikasi.14 Pada pola bintang seperti ini, Sultan memposisikan diri sama dengan pihak eksternal. Sehingga pihak eksternal, yang dalam hal ini Kapolsek Lemahwungkuk dan Lurah Lemahwungkuk juga turut berbicara mengenai persiapan dan kesiapan penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hal ini menjadi penting, mengingat keterbukaan masingmasing pihak dalam penyelenggaraan kegiatan akan membantu kelancaran kegiatan. 2) Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimatan) Perayaan maulid nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian simpul-simpul komunikasi antara Keraton 14 Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103 78 Kasepuhan dengan Pemerintah Kota, perayaan maulid di sini disertai dengan upacara panjang jimat. Yang mana merupakan upacara iringiringan benda pusaka dan makanan dari dalam keraton ke langgar alit. Pada upacara panjang jimat ini sebenarnya tak banyak komunikasi dan interaksi yang terjadi. Karena hal utamanya adalah seremonial iring-iringan dan momen berebut makanan yang telah didoakan dan dianggap memiliki keberkahan. a) Pola Komunikasi Sultan dengan Pihak Internal Pola komunikasi yang digunakan oleh Sultan pada upacara panjang jimat ini masih tetap menggunakan pola komunikasi formal. Mengingat acaranya juga yang formal. Sehingga praktek dan prilaku komunikasi yang terjadi pun berada dalam tataran formal. Ini tergambar dari susunan acara yang terdiri dari: 1. Sambutan Sultan Sepuh XIV 2. Laporan staf Sultan perihal kesiapan upacara panjang jimat 3. Iring-iringan benda pusaka dan makanan 4. Pembacaan do‟a 5. Makan bersama Pola komunikasi formal yang terlihat pada kegiatan ini adalah pemberian instruksi tugas. Ini bisa dilihat pada saat staf Sultan memberikan laporannya mengenai kesiapan pelaksanaan 79 upacara panjang jimat. Setelah menerima laporan kesiapan pelaksanaan tersebut, Sultan pun memerintahkan agar upacara panjang jimat segera dilaksanakan. Selain itu, pola yang tergambar dalam hal ini adalah pola rantai. Dimana semua pelaku komunikasi terikat oleh struktur. Sehingga komunikasi yang terjadi adalah hanya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Pada prosesnya, setiap pelaku komunikasi yang akan berkomunikasi tidak dapat dengan mudahnya berkomunikasi dengan pelaku komunikasi lainnya. Karena harus melalui tingkatan-tingkatan yang diciptakan oleh struktur organisasi. Pada pola rantai, jaringan komunikasi terdiri dari lima tingkatan dalam jaringan hierarkinya dan hanya meliputi komunikasi ke atas (up ward) dan ke bawah (down ward).15 Pada prakteknya, panitia pelaksana memberikan laporan mengenai kesiapan pelaksanaan upacara panjang jimat secara keseluruhan kepada staf Sultan. Setelah semua laporan kesiapan pelaksanaan sudah diterima, staf Sultan pun menyampaikan laporannya tersebut kepada Sultan. Sultan pun merespon haltersebut kepada staf Sultan. Dan staf Sultan memberikan arahan kepada panitia pelaksana agar segera memulai upacara panjang jimat. 15 Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103 80 b) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Eksternal Pada kesempatan ini, dalam berkomunikasi dengan pihak eksternal, Sultan menggunakan pola komunikasi informal. Komunikasi informal dalam artian komunikasi yang dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan posisi di organisasi.16 Informasi mengalir dengan cairnya dari atas ke bawah, bawah ke atas, dan horizontal. Hal ini terjadi karena momen pertemuan Sultan dengan pihak ekstenal pada saat sesi makan bersama. Sehingga yang diutamakan adalah keramahan dan kebersamaan tanpa memandang status. 3) Pagelaran Kolaborasi Seni Tari Bian Lian dan Tari Topeng Pagelaran tari kolaborasi ini diinisiasi oleh Sultan Sepuh XIV. Berkerjasama dengan lembaga bahasa mandarin di Jawa Barat. Dan ditampilkan pertama kali di Keraton Kasepuhan. Pagelaran tersebut mengundang para stakeholders di wilayah Cirebon, termasuk di dalamnya Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten. Perwakilan dari Pemerintah Kota sendiri adalah Drs. Dana Kartiman, Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon. Bentuk acara ini sendiri adalah pertunjukan seni tari, sehingga fokus utamanya adalah panggung. Oleh karena itu, pola komunikasi yang terbangun pun tak sebanyak saat rapat. 16 Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4 81 Pola komunikasi yang terbangun adalah pola komunikasi formal. Tepatnya pola komunikasi formal horizontal.17 Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke individu atau kelompok yang secara struktur organisasi berada di status yang sama. Ini terlihat dari bagaimana cara Sultan memperlakukan tamu-tamu undangannya. Pihak Pemerintah baik Kota ataupun Kabupaten juga diberikan kesempatan untuk turut memberikan sambutan. Hal itu dapat terjadi karena Sultan menganggap pihak Pemerintah Kota ataupun Kabupaten merupakan mitra dalam membangun Cirebon bersama-sama. Khususnya dalam pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan. 2. Analisa Pola Komunikasi Pejabat Pemerintahan Kota dengan Pemangku Jabatan Keraton a. Identifikasi Pemkot terhadap Keraton Setelah kita mengetahui bagaimana pandangan atau identifikasi Keraton terhadap Pemerintah Kota, maka perlu pula rasanya untuk mengetahui bagaimana pandangan yang sebaliknya, pandangan Pemerintah Kota sendiri terhadap Keraton Kasepuhan. Landasan utama identifikasi Pemerintah Kota terhadap Keraton tentunya adalah konstitusi yang berlaku di NKRI. Konstitusi tersebut mencakup UUD 1945, UU Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah. 17 Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, Hal.176 82 Sebagai bagian struktural atau kepanjangan tangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota dalam hal ini bertanggung jawab dalam pembinaan adat dan tradisi yang ada. Pembinaan adat dan tradisi tersebut akan dapat terselenggara dengan baik ketika kedua belah pihak, yakni pembina dan yang dibina memiliki hubungan yang baik. Pemerintah Kota sendiri memiliki dua pandangan terhadap Keraton Kasepuhan. Pertama, sebagai Cagar Budaya yang harus dilindungi, dipelihara, dan dikembangkan. Kedua, sebagai tujuan wisata. 1) Sebagai Cagar Budaya Keraton sebagai Cagar Budaya sendiri tentunya mengacu kepada pasal 1 UU Cagar Budaya No.11 tahun 2010. “ Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan”. Dari UU tersebut kita dapat mengetahui bahwa keraton Kasepuhan merupakan bagian dari Cagar Budaya yang harus dilindungi, dipelihara dan dikembangkan. Sebagai pelaksana dan pengemban konstitusi, Pemerintah Kota dalam hal ini turut berperan aktif dalam pelindungan, pemeliharaan dan pengembangan Keraton Kasepuhan sebagai Cagar Budaya. Peran aktif yang dimaksud misalnya dalam pemeliharaan 83 bangunan dan pemberian bantuan pada program-program atau kegiatan kebudayaan yang sifatnya pertunjukan. Seperti yang diungkapkan Kepala DISPORBUDPAR, Drs. Dana Kartiman dalam wawancaranya dengan saya. “Kita memfasilitasi tentang pemeliharaannya dan beberapa kegiatan atau program dari pusat dan provinsi yang tentunya melalui kita. Baik itu bentuknya perbantuan dan revitalisasi, juga kegiatan atau event yang sifatnya untuk mengembangkan kebudayaan”.18 Pelestarian kegiatan adat dan tradisi juga menjadi hal yang terus diperhatikan Pemerintah Kota, mengingat Keraton Kasepuhan adalah salah satu Keraton tertua yang selain bangunannya masih berdiri kokoh, juga masih ditinggali oleh keluarga Sultan. Keraton dalam perannya sebagai penjaga adat dan tradisi masih senantiasa menyelenggarakan kegiatan-kegiatan adat dan tradisi leluhurnya. Seperti misalnya, Upacara Panjang Jimat, Upacara Rowahan, Upacara Pergantian tahun yang biasanya selalu mengundang pihak Pemerintah Kota dan masyarakat. 2) Sebagai Tujuan Wisata Seiring berjalannya waktu, ketika semua kerajaan dan keraton di seluruh nusantara memutuskan untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka fungsi pemerintahan pun dikuasai oleh negara. Oleh karenanya, kerajaan dan keraton 18 Mei 2016 Hasil wawancara dengan Dana Kartiman di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 30 84 tersebut beralih fungsi menjadi Cagar Budaya yang harus dilindungi negara. Implikasinya adalah keraton kini menjadi tujuan wisata. Baik itu wisata sejarah, pendidikan, ataupun agama. Keraton Kasepuhan sendiri merupakan salah satu keraton tertua yang masih berdiri di Indonesia. Nilai sejarah yang tinggi dan eksistensinya yang masih terjaga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Baik itu wisatawan domestik ataupun internasional. Tak sedikit yang berkunjung ke Keraton Kasepuhan setiap tahunnya, baik itu untuk sekedar berfoto-foto dengan peninggalan sejarah Sunan Gunung Jati tersebut, untuk berkunjung ke keluarga Sultan dalam rangka pertemuan formal ataupun untuk melakukan penelitian. Sebagai tujuan wisata, Keraton Kasepuhan pun tak luput dari perhatian Pemerintah Kota. Perhatian tersebut biasanya berupa pemberdayaan dan pelatihan-pelatihan kepariwisataan. Seperti pelatihan pemandu wisata misalnya. Selain itu juga ada pemberian dana atau insentif dalam setiap kegiatan kepariwisataan yang diselenggarakan. b. Simpul-Simpul Komunikasi antara Pemerintah Kota dengan Keraton Kasepuhan Berikut adalah simpul-simpul pertemuan antara Pemerintah Kota dengan Keraton Kasepuhan: 1) Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan 85 Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa kegiatan ini merupakan bentuk respon Pemerintah Kota terhadap kondisi pariwisata di kota Cirebon. Kondisi pariwisata di kota Cirebon memang belum bisa dikatakan optimal, sehingga perlu peningkatan dalam beberapa sektor. Oleh karena itu, Pemerintah Kota, khususnya DISPORBUDPAR mencoba untuk berembuk bersama membicarakan tentang penegembangan sektor pariwisata di Cirebon. Pihak yang diundang pun ialah para stakeholders kepariwisataan seperti pengelola tujuan wisata, hotel, travel dan juga kuliner. Termasuk di dalamnya perwakilan dari Keraton Kasepuhan. Yang dalam kegiatan ini diwakili oleh Iman Sugiman. Pola komunikasi yang terbangun dalam kegiatan ini adalah pola komunikasi formal. Kita bisa melihatnya pada interaksi yang terjadi antara Kepala DISPORBUDPAR dengan ketua pelaksana kegiatan dan saat sesi tanya jawab dibuka untuk umum. a) Pola Komunikasi Kepala DISPORBUDPAR dengan Ketua Pelaksana Pola komunikasi formal yang tergambar ketika Kepala DISPORBUDPAR berkomunikasi dengan ketua pelaksana adalah instruksi tugas dan komunikasi ke atas. Dalam hal ini ketua pelaksana memberikan laporan terkait kesiapan pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan Kota Cirebon kepada Kepala 86 DISPORBUDPAR. Ini merupakan bentuk komunikasi ke atas. Fungsi komunikasi ke atas menurut Smith (1986) adalah sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan.19 Respon yang diberikan Kepala DISPORBUDPAR adalah perintah agar segera dilaksanakannya kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota cIrebon. Ini merupakan bentuk instruksi tugas. Instruksi tugas sendiri dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki status lebih tinggi kepada mereka yang memiliki status lebih rendah dalam organisasi. Jelasnya, instruksi tugas yang dimaksud disini adalah pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan dilakukan dan bagaimana melakukannya.20 Selain pola komunikasi seperti di atas yang telah disebutkan, kita juga dapat melihat bagaimana pola rantai digunakan oleh Kepala DISPORBUDPAR dan ketua pelaksana saat berkomunikasi. Pada pola rantai, arus komunikasi hanya terjadi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Hanya mereka yang memiliki status berdekatan saja yang dapat berkomunikasi. Seperti halnya hanya ketua pelaksana saja yang dapat memberikan laporan perihal kesiapan pelaksanaan kegiatan kepada Kepala DISPORBUDPAR, sedangkan panitia lainnya 19 20 Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 117 Ibid, hal. 108-109 87 tidak bisa. Ini karena pola komunikasi menganut hubungan komunikasi garis langsung (komando) balik ke atas atau ke bawah tanpa adanya suatu penyimpangan.21 b) Pola Komunikasi Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat dengan Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon Pola komunikasi yang tergambar pada saat kegiatan sosialisasi adalah pola komunikasi formal. Dalam hal ini Kepala DISPORBUDPAR dan Kepala DISBUDPAR memposisikan diri sebagai pembina. Pembina dalam sektor pariwisata tepatnya. Penyesuaian peran ini dilakukan karena berada di dalam forum yang sedang membahas kepariwisataan daerah dan sedang berbicara dengan stakeholders kepariwisataan daerah. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk dan hasil identifikasi yang dilakukan pada kegiatan ini. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung pada bagaimana ia mendefinisikan sesuatu tersebut.22 Dengan memposisikan diri sebagai pembina, Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Jawa Barat menggunakan pola komunikasi dari atas ke bawah. Terdapat beberapa bentuk pola komunikasi dari atas ke bawah pada kegiatan ini. Seperti rasional dan ideologi. 21 22 Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103 Ibid, hal. 102-103 88 Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan itu dengan aktivitas lain dalam organisasi atau objek organisasi.23 Ini bisa dilihat dari salah satu materi yang disampaikan oleh Kepala DISBUDPAR Jawa Barat pada saat sosialisasi. “Peningkatan dalam sektor pariwisata akan membantu kenaikan PAD Kota Cirebon, dan imbasnya ekonomi rakyat pun akan terbantu seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke kota Cirebon”.24 Selain tentang rasional pekerjaan, pesan mengenai ideologi pun turut disampaikan. 25 Pesan mengenai ideologi ini merupakan perluasan dari pesan rasional. Pada pesan rasional penekanannya pada penjelasan tugas dan keterkaitannya dengan perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan ideologi sebaliknya mencari sokongan dan antusiasme dari anggota organisasi guna memperkuat loyal, moral dan motivasi. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan kalimat yang disampaikan oleh Kepala DISPORBUDPAR kota Cirebon perihal rencana untuk mempercantik pantai Kejawanan. “Salah satu yang menjadi prioritas untuk diberdayakan adalah pantai 23 Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108-109 Kutipan kalimat Kepala DISBUDPAR Jawa Barat pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 25 Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108-109 24 89 Kejawanan, mengingat wisata pantai sekarang ini potensial untuk mendatangkan wisatawan”.26 Selain pola komunikasi formal, dalam kegiatan ini juga kita dapat melihat pola bintang yang digunakan oleh Kepala DISPORBUDPAR kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Jawa Barat dalam berkomunikasi dengan Stakeholders Kepariwisataan. Pola bintang hampir mirip dengan pola lingkaran dimana semua anggota memiliki hak dan kekuatan untuk saling berkomunikasi.27 Jadi, pada pola seperti ini setiap pelaku komunikasi dapat berkomunikasi dengan lainnya secara langsung. Seperti yang terlihat pada saat sesi tanya jawab. Salah satunya saat Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK menyampaikan pendapatnya perihal kondisi kepariwisataan kota Cirebon. “Salah satu penyebab yang menjadikan pariwisata di Cirebon ini begini saja adalah karena kurangnya branding, padahal kota-kota seperti Jogja misalnya punya idiom Jogja kota istimewa. Harusnya Cirebon punya branding seperti itu. Sebut 26 Kutipan kalimat Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 27 Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103 90 saja Cirebon jeh atau apapun yang menjadikan Cirebon punya ciri khas”.28 Sontak pendapat itu pun disambut riuh oleh para peserta lainnya. Sehingga forum pun semakin ramai dan antusias dalam turut memberikan pandangannya mengenai pengembangan pariwisata di Cirebon. Salah satu peserta langsung merespon hal tersebut dengan pendapat yang sejalan dengan Iman Sugiman. “Benar kata pak iman, yang kurang dari pariwisata kita disini adalah ciri khas ke-cirebon-an yang belum tampak. Selain branding, tentunya yang harus diperhatikan adalah perihal infrastruktur. Ini bisa dilakukan dengan membuat candi bentar pada setiap bangunan di kota. Dan ini bisa dimulai dari kantorkantor Pemerintah Kota saja dulu, untuk kemudian diikuti oleh bangunan-bangunan lainnya secara berkala”.29 Respon-respon tersebut dapat muncul ketika pola komunikasi yang digunakan adalah pola bintang. Pola yang memungkinkan setiap komunikator untuk dapat berkomunikasi secara langsung dengan komunikator lainnya. 2) Laporan Data Pengunjung Keraton Kasepuhan Pola komunikasi yang terbangun pada laporan data pengunjung ini bisa dikategorisasikan sebagai pola komunikasi 28 Kutipan kalimat Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 29 Kutipan kalimat salah satu peserta pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015 91 formal. Jenis pola komunikasi formal yang dimaksud adalah pola komunikasi horizontal. Ini dapat terjadi karena para pelaku komunikasinya bisa dikatakan berada pada status yang sama. Samasama staf dalam organisasi masing-masing. Pihak Pemerintah Kota yang menerima laporan adalah dari bagian Pariwisata, yang dalam hal ini Kepala Seksie Bina Usaha Pariwisata, Wiyono. Sedangkan yang memberikan laporan dari pihak Keraton Kasepuhan biasanya adalah Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK. Biasanya Iman Sugiman membawa laporan pengunjung Keraton Kasepuhan setiap bulannya dalam bentuk tertulis. Laporan tersebut akan digunakan sebagai salah satu bahan penelitian terkait peningkatan pariwisata di kota Cirebon. Sebagai timbal balik dari laporan tersebut, Pemerintah Kota, dalam hal ini bagian Pariwisata memberikan insentif dana kepada Keraton Kasepuhan. “Jadi kita tunjuk jupel untuk melaporkansetiap bulan. Kita kasih dana, jadi kita saling memberikan apa ya, kita membutuhkan data, mereka juga membutuhkan sesuatu yang butuh diterima. Ya memang tidak seberapa.”30 3) Sowan Sowan dalam hal ini berarti silaturahmi. Silaturahmi yang dilakukan tanpa ada keperluan dan kepentingan apapun di belakangnya. Ini biasa dilakukan oleh DISPORBUDPAR di sela30 Hasil wawancara yang dengan Wiyono di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 24 Desember 2015 92 sela waktu kosong. Perihal pelaku komunikasinya, biasanya dilakukan oleh staf di bidang Budaya dan Pariwisata. Hal ini dilakukan demi menjaga silaturahmi diantara Pemerintah Kota dan Keraton Kasepuhan. Seperti yang diungkapkan Kasie Bina Usaha Pariwisata, Wiyono. “Yah kita sering main ke Keraton walaupun tidak ada kepentingan. Main saja, silaturahmi juga”.31 Pola komunikasi yang terbangun saat sowan adalah pola komunikasi informal. Artinya komunikasi yang dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan posisi dalam organisasi.32 Informasi mengalir dengan cairnya ke atas, ke bawah, dan juga horizontal. Ini bisa terjadi karena tema pertemuan yang tidak membawa kepentingan. Jadi, tema obrolan yang dibawa pun santai dan dapat ditanggapi dengan santai pula. Selain itu, karena dimaksudkan untuk silaturahmi, tidak ada orang tertentu yang dituju. Sehingga bertemu dengan siapapun tidak akan menjadi masalah. Hasil dari penelitian ini bisa kita lihat bahwa dalam prakteknya, terdapat berbagai jenis pola komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota. Ketika Keraton bertindak sebagai inisiator kegiatan, seperti pada rapat koordinasi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan pagelaran kolaborasi Tari Bian Lian dengan Tari Topeng, pola yang 31 Hasil wawancara yang dengan Wiyono di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 24 Desember 2015 32 Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4 93 tergambar adalah pola komunikasi formal. Tepatnya formalhorizontal. Di mana pihak eksternal, termasuk dari Pemerintah Kota dan DISPORBUDPAR juga turut berbicara dalam kegiatan tersebut. Pola bintang juga terlihat dalam pelaksanaan rapat koordinasi, yang mana dalam rapat tersebut tidak hanya Sultan saja yang memiliki hak untuk berbicara. Pola komunikasi berbeda terlihat pada saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana pola komunikasi informal diterapkan. Pola tersebut diterapkan mengingat sesi pertemuannya pada saat makan bersama. Hampir mirip dengan pola komunikasi yang digunakan Keraton, Pemerintah kota yang dalam hal ini menginisiasi kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata, Laporan Pengunjung Bulanan dan Sowan juga menggunakan pola komunikasi formal-horizontal. Hal ini tergambar pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata dan Laporan Pengunjung Bulanan. Walaupun berperan sebagai pembina, pejabat Pemerintah Kota tetap mencoba untuk egaliter dalam berkomunikasi dengan binaannya. Selain itu, pejabat Pemerintah Kota juga menggunakan pola bintang saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata. Di mana peserta kegiatan, termasuk dari Keraton Kasepuhan, juga turut merespon materi yang disampaikan. Pola komunikasi informal baru tergambar pada saat sowan. Karena bukan kunjungan formal dan tanpa disertai dengan kepentingan khusus. Sehingga komunikasi yang terjadi pun berjalan cair dan mengalir. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan hasil penelitian yang dilakukan tentang pola komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola Komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat Pemerintah Kota berlangsung pada ranah formal dan informal. Pola komunikasi formal terjadi pada rapat koordinasi maulid nabi Muhammad SAW (panjang jimat) dan pagelaran kolaborasi tari Bian Lian dan Tari Topeng. Sedangkan pola komunikasi informal terjadi pada saat perayaan maulid nabi (panjang jimat). Pada prakteknya, pemangku jabatan Keraton Kasepuhan juga menggunakan pola komunikasi horizontal pada saat rapat koordinasi dan pagelaran tari. Dengan menggunakan pola horizontal, pemangku jabatan Keraton Kasepuhan Pemerintah mencoba untuk bersikap egaliter terhadap pejabat Kota. Adapun pola bintang juga tergambardalam komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan pada saat rapat koordinasi maulid nabi Muhammad (panjang jimat). Pada pola bintang setiap komunikator memiliki kekuatan dan kesempatan yang sama dalam berkomunikasi dengan komunikator lainnya, termasuk pejabat Pemerintah Kota dalam hal ini. 94 95 2. Pola komunikasi pejabat Pemerintah Kota dengan pemangku jabatan Keraton Kasepuhan juga berlangsung pada ranah formal dan informal. Pada ranah formal terlihat pejabat Pemerintah Kota menggunakan pola komunikasi horizontal. Tepatnya pada saat kegiatan sosialisasi sadar wisata dan laporan bulanan pengunjung. Hal ini dilakukan karena pemerintah berperan sebagai pembina bagi pelaku dan pemerhati ataupun pengelola cagar budaya, termasuk didalamnya pemangku jabatan Keraton Kasepuhan. Di samping itu juga pejabat Pemerintah Kota menggunakan pola bintang dalam interaksinya pada saat kegiatan sosialisasi sadar wisata. Pola ini sendiri dipilih karena salah satu tujuan dari kegiatan sosialisasi sadar wisata ini bertujuan untuk menampung aspirasi para pelaku pariwisata. Adapun pola komunikasi informal terjadi pada saat sowan ke Keraton Kasepuhan. Pada kegiatan sowan ini, komunikasi yang terjadi mengalir saja tanpa begitu menitikberatkan pada status sosial. B. Saran-saran Penulis merasa perlu untuk memberikan beberapa saran sebagai masukan dalam upaya pemeliharaan hubungan yang baik diantara pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon, khusunya DISPORBUDPAR. Fungsinya hanya sebagai bahan pertimbangan saja, tanpa bermaksud untuk menggurui dan mengajarkan. 1. Perlu diperbanyak ruang-ruang informal diantara pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon. Mengingat simpul-simpul pertemuan yang terjadi lebih dominan pada ranah formal. Ruang informal yang 96 dimaksud misalnya kegiatan-kegiatan yang bisa menyatukan kedua belah pihak tanpa harus mementingkan status sosial masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar dapat mencairkan suasana yang rentan terjadi dalam komunikasi pada ruang formal. 2.Dalam perannya sebagai pembina, pejabat Pemerintah Kota hendaknya dapat lebih meluangkan waktunya untuk dapat menghadiri kegiatan-kegiatan Keraton Kasepuhan yang tidak jarang dilaksanakan di luar jam kerja. Hal ini perlu dilakukan demi terjaganya hubungan diantara kedua belah pihak. 3.Pada setiap pertemuan, kedua belah pihak hendaknya lebih selektif lagi dalam pemilihan utusan. Maksudnya, perlu adanya ketepatan dan kecermatan dalam pemilihan utusan berdasarkan kesesuain pada jenis kegiatan dan kualifikasi utusannya. Sehingga mengurangi kesalahpahaman dan penundaan respon-respon yang semestinya dilakukan secara cepat. Harapannya adalah pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota dapat terus menjaga dan memelihara hubungannya dengan baik. Karena kedua belah pihak merupakan ujung tombak utama dalam pembangunan struktur dan infrastruktur di Kota Cirebon. Hubungan yang baik, keterbukaan dalam komunikasi, dan kerjasama yang integrasi mutlak diperlukan dalam hal ini, mengingat keduanya tidak selalu dapat berjalan sendiri-sendiri. DAFTAR PUSTAKA A.B, Lapian, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Anwar, Arif, 1995. Ilmu Komunikasi (Sebagai Pengantar Ringkas). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Audi, Robert, 2011. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge. London: Routledge Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, 2015. Garis Waktu (Time Line of History) Cirebon. Cirebon: Arsip 2015 Cangara, Haviet, 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Charon, Joel. M, 2006. Symbolic Interactionisme: An Introduction, AN Interpretation, An Integration. Prentice Hall De Graaf, H.J, dan TH. Pigeaud, 1986. Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Depdikbud RI, 1998. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Efendy, Onong Uchjana, 1997. Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Efendy, Onong Uchjana, 1998. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: CV. Mandar Maju Ekajati, Edi. S, 1978. Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sejarah dan Sastra, Bandung: Fak. Sastra UNPAD Elbadiyansyah, dan Umiarso, 2014. Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern. Depok: PT Raja Grafindo Persada Griffin, Emory. A, 2012. A First Look at Communication Theory. New York: McGraw-Hill 96 97 Harapan, Anwarudin, 2007. Dimensi Mistis Historis Pakuan Padjajaran. Jakarta: Duta Kreasi Semesta Khomsahrial, Romli, 2011. Komunikasi Organisasi Lengkap. Jakarta: PT Grasindo Moeloeng, Lexy. J, 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Morissan, 2010. Teori Komunikasi Massa. Bogor: PT Ghalia Indonesia Mufid, Muhammad, 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Mulyana, Deddy, 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mulyana, Deddy, 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Muslimin, Amrah, 1960. Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah. Jakarta: Jambatan Pace, Wayne. R, dan Don F. Faules, 1993. Komunikasi Organisasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Rosidin, Didin Nurul, 2013. Kerajaan Cirebon, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tjandrasasmita, Uka, 2009. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) W.M, Abdul Hadi, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Peradaban Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Widjaya, H.A.W, 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta Wiryanto, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo Skrip Wawancara Iman Sugiman Narasumber : Iman Sugiman (Kabag Pemandu BPKK) Waktu : 9 Desember 2015 F : Kalau jabatan pak Iman di keraton kasepuhan sekarang sebagai apa pak? I : Sekarang ditunjuk sebagai koordinator kepala bagian pemandu dan penerima tamu. Ada beberapa orang pemandu dan saya sebagai kabagnya. Jumlah pemandunya ada 15 orang. F : Jabatan sebagai kabag pemandu ini sudah diemban selama berapa lama pak? I : Sudah setahun. F : Penjelasan tentang pembagian kekuasaan keraton Cirebon atau Pakungwati menjadi keraton kasepuhan dan kanoman itu bagaimana pak? I : Keraton cirebon ini berawal dari nama pakungwati yang didirikan oleh Pangeran Walangsungsang atau pangeran Cakrabuana terttulis dalam catatan pada tahun 1430 M. Keraton pakungwati mengambil nama putrinya pangeran Cakrabuana. Yang mana pangeran Cakrabuana mempunyai seorang putri yang bernama putri Pakungwati yang kemudian dijadikan nama keraton. Sedangkan artinya pakungwati adalah udang perempuan. Karena di masa itu hasil laut yang paling dominan adalah udang, maka sampai saat ini kota ini disebut Cirebon. Kota udang. Udang yang kecil-kecil disebutnya rebon, kemudian bernama Cirebon. Sampai putrinya Cakrabuana diberi nama Pakungwati. Ratu pakungwati itu menikah dengan sepupunya yaitu Syarif Hidayatullah. Jadi hubungannya itu saudara sepupu. Yang mana ibunya Syarif Hidayatullah itu bernama Ratu Mas Rara Santang itu adalah adiknya Walangsungsang. Mereka semua itu putra-putrinya Prabu Siliwangi. Karena pernikahan tersebut maka Pangeran Cakrabuana memberikan Keraton Pakungwati kepada menantunya sekaligus keponakannya. Keraton tersebut diserahkan yang artinya Syarif Hidayatullah ditunjuk sebagai pemimpin di Cirebon. Beliau seorang raja yang juga wali dengan gelar kewaliannya Sunan Gunung Jati. Keraton Pakungwati diperintah oleh Syarif Hidayatullah sampai wafatnya. Yang kemudian diteruskan secara turun temurun. Tapi dari generasi Sunan Gunung Jati sampai ke Panembahan Girilaya barulah terjadi konflik. Proses sejarah keraton Cirebon terbagi menjadi dua. Yang mana Panembahan Girilaya itu makamnya ada di daerah Jogjakarta. Karena di masa itu, Panembahan Girilaya menikah dengan putri Sultan Mataram. Nah disitu, Panembahan Girilaya meninggalkan keraton pakungwati dan bertempat tinggal di Mataram sampai wafatnya. Dimakamkan di Mataram yang sekarang menjadi Jogjakarta. Di Jogjakarta ada komplek pemakaman raja-raja di Astana Imogiri yang bersebrangan dengan bukit Giriloyo. Wafatnya Panembahan Girilaya meninggalkan dua orang anak yaitu pangeran Martawijaya dan Kartawijaya. Kemudian dari situ putra-putra Panembahan Girilaya pulang ke Cirebon dan terjadilah dua kesultanan yang mana Pangeran Martawijaya atau Sultan Syamsuddin menjadi Sultan di Keraton Kasepuhan. Kemudian pangeran Kartawijaya atau Sultan Badruddin menempati Keraton Kanoman. Antara kanoman dan ksepuhan itu artinya yang nom dan yang sepuh. Kasepuhan yang sepuh berarti tua. Itu di keraton Pakungwati yang kemudian melanjutkan, dan disebut Sultan Sepuh. Sedangkan Sultan Badruddin berkediaman di keraton kanoman dan disebut Sultan Anom. Dari situ lah aset-aset keraton yang tadinyamenyatu sekarang ini memiliki dua pemilik yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Masing-masing wilayahnya ya. Itu sejarah singkatnya pembagian keraton-keraton di Cirebon. F : Kalau Keprabonan sendiri itu bagaimana pak? I : Saya sebetulnya tidak berhak menjawab pertanyaan ini. Karena ini menyangkut sejarah ya, yang sekarang Keprabonan itu keluarganya sudah memproklamirkan adanya Sultan Keprabonan yang padahal sejarahnya tidak ada. Keprabonan itu yang dulunya peguron. Peguron itu perguruan belajar ilmu keagamaan yang lokasinya di sebelah timur Keraton Kanoman, di jalan Lemahwungkuk. Pengajar-pengajarnya dari keraton kanoman. F : Berkaitan dengan fungsi keraton pak,kalau zaman dulu kan keraton memiliki fungsi pemerintahan. Kalau sekarang fungsi keraton itu sendiri bagaimana pak? I : Yang jelas masa kerajaan sebelum terbentuknya NKRI, Nusantara ini terdiri atas beberapa kerajaan yang itu termsuk Cirebon. Raja Cirebon itu dari masa Sunan Gunung Jati terus turun-temurun yang kemudian ada dua kesultanan dimana peranan keraton adalah pemerintahan yang mana raja atau sultan itu kekusaannya mutlak sampai muncul pribahasa sabda pandita ratu. Itu ucapan seorang raja adalah hukum yang harus dilaksanakan. Kemudian proses sejarah yang kemudian di Indonesia ini ada beberapa keraton-keraton yang mana fungsinya bukan sebagai pemerintahan karena berada dalam wadah NKRI. Maka fungsi keraton-keraton di Indonesia pun ikut berubah, yang pertama adalah sebagai peninggalan sejarah yang perlu dilindungi dan merupakan aset negara juga. Kemudian yang kedua adalah sebagai destinasi wisata dan masih ada yang berfungsi sebagai tempat tinggal juga seperti di Cirebon ini. Sebagai rumah tinggalnya sultan dan keluarga keraton yang sampai sekarang di kasepuhan ini masih dipimpin oleh sultan sepuh ke-14. 14 ini mengambil setelah pembagian dua keraton. Dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat. F : Terkait pelestarian adat dan tradisi pak, apakah itu semua masih dipegang oleh keraton atau bagaimana pak? I : Jadi keraton ini sebagai pewaris adat dan tradisi dari leluhur secara turun temurun. Dan sekarang ini berusaha semaksimal mungkin agar supaya adat dan tradisi ini masih berlangsung. Yang mana di zaman sekarang, era globalisasi ini banyak pengaruh-pengaruh dari luar yang mengancam adat dan tradisi yang ada. Lambat laun, secara pasti adat dan tradisi ini akan musnah seandainya kita generasi muda ini tidak menjaga dan melestarikannya. Sudah terbukti banyak adat dan tradisi yang sudah hilang dan tidak digunakan lagi pada masa sekarang. Contohnya seperti kita di adat dan tradisi di Cirebon pada zaman dahulu semasa saya kecil itu masih terlihat tradisi yang sekarang sudah di museumkan perangkatnya yaitu turun tanah. Atau disebut mudun lemah. Itu sudah sangat jarang sekali kelihatan termasuk di lingkungan dalam keraton. Seperti sultan memiliki cucu-cucu yang sekarang sudah tidak menggunakan itu. Dibilang punah sih tidak, masih ada, cuma jarang. Sebetulnya tradisi mudun lemah juga bukan tradisi asli keraton melainkan semua masyarakat juga melaksanakan. Termasuk saya pun waktu kecil melaksanakan itu. Sekarang di masyarakat pun sudah tidak ada. Karena orang tua di generasisekarang, sudah tidak menggunakan. Kemudian ada seni tradisi wayang kulit,cuma sekarang di pagelarkan di event-event tertentu. Nah itu pentas wayang kulit yang waktu saya kecil itu hiburannya ada klemingan, tarian dan malamnya ada pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Sekarang dipagelarkan di hari peringatan baru ada pentas wayang kulit. Engga kebeneran sebulan sekali atau bahkan setahun sekali. Dan itu penontonnya pun sudah berkurang, sudak kurang diminati. Pembacaan babad itu dilaksanakan di keraton kanoman yang mana pembacaan babad tersebut dilakukan setiap tanggal 1 muharram itu dalam rangka memperingati hari jadi kota Cirebon. Kota Cirebon itu hari jadinya dari kalender jawa ya, 1 Muharram. Pada malam itu ada agenda pembacaan babad. Dari keluarga keraton kanoman yang membacakannya. Sebetulnya ada juga karya sastra di naskah-naskah kuno termasuk ada buku petatah-petitih Sunan Gunung Jati. Petatah-petitih itu nasehat. Salah satunya adalah ingsun titip tajug lan fakir miskin. Sebetulnya banyak sekali. Banyak karya-karya sastra yang tersimpan di arsip kuno, itu yang dituliskan salah satunya adalah witing guna saka kaweruh dayane satuhu. Artinya ilmu itu didapat dari pengalaman dan harus diimplemtasikan secara mantap. Kita mendapat ilmu dari sekolah umpamanya ya, guru menjelaskan, itu hanya sebatas teori. Yang dimaksud saka kaweruh itu harus tahu ilmu itu didapat dari pengalaman. Misalkan kita berkunjung ke suatu tempat, kalau di sekolah menjelaskan contohnya candi borobudur ada stupa daridatu teori. Kita harus membuktikan, harus datang untuk mengetahuinya. Jadi kita dapat ilmu dari pengalaman. Dan amalkan dengan mantap. F : Perubahan fungsi itu apakh juga berdampak pada struktur organisasi di kerajaan? I : Jadi setelah proklamasi kemerdekaan NKRI tahun 1945. Semua fungsi kerajaan itu hanya sebatas otoritas lokal ya. Jadi tidak berperan sebagai suatu kerajaan yang mempunyai kewenangan di pemerintahan. Semua kewenangan ada di pemerintah. Adapun sultan peninggalannya dilindungi oleh negara dalam UU Cagar Budaya dan Sultan sebagai pemangku adat. Dan disitu setelah berdirinya NKRI, disana ada UU yang sekarang masih dalam antara aset-aset keraton disitu masih ada yang perlu dibahas. Seperti di Cirebon saja umpamanya, masih banyak peninggalan-peninggalan yang perlu dibenahi antara pihak Kota dan Keraton. Contoh pertanahan-pertanahan yang masih dalam sengketa antara Pemerintah Daerah dan Keraton. Disitu dari UU, segala aset tanah air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara. Sedangkan keraton berdiri sebelum negara ini ada. Aset-aset dan bukti kongkritnya ada pada peta-peta. Kalau zaman dahulu belum ada sertifikasi. Keraton masih memiliki peta-peta kekuasaan daerah ataupun aset-asetnya. Terutama masalah tanah. Kalau pusakan dan perabot peninggalan masih terjaga dengan baik yang kekuasaannya di keraton ini masih pada sultan. F : Bicara struktur di keraton pak, ada perubahan yang signifikan atau tidak pak? I : Jadi struktur kepengurusan di keraton itu sentralistik pada Sultan ya. Sultan maunya begini ya begini. Sebetulnya struktur kepengurusan keraton dari dulu ada diantaranya ada sultan sebagai pucuk pimpinan, kemudian ada pangeran patih sebagai adik sultan atau wakilnya sultan apabila sultan berhalangan atau ada acara lain kegiatannya bisa dihendle oleh patih. Patih itu mesti adiknya sultan. Mewakili sultan apabila tidak ada di tempat. Kemudian ada kepala lurah, ada lurah-lurah. Dan juga abdi dalem. Lurah ini aa beberapa lurah yang mengurusi wewengkon keraton, lurah magersari, dan lurah dalem. Lurah dalem ini yang mengurusi internal keraton. Magersari itu merupakan daerah-daerah yang ditempati oleh wargi keraton yang dijaga oleh magersari. Magersari itu ada beberapa lurahnya, tidak satu ya. Lurah wewengkon, itu lurah yang bertanggung jawab atas daerah keraton juga. Itu semua lurah-lurah melaporkan segala sesuatunya kepada kepala lurah. Magersari seperti ada perkampungan di sebelah barat itu aa lurahnya. Lurah itu yang meninjau disitu ada pembangunan apa, apkaah tanah itu masih milik keraton atau bagaimana. Abdi dalem itu para pekerja ketraton yang mengabdi kepada keraton. Abdi alem itu siapapun bisa. Dulu suatu kebanggan bisa masuk menjadi abdi dalem. Jadi tukang sapu pun beliau tanpa dibayar ikhlas dan sukarela. Suatu kebanggaan menjadi abdi dalem walaupun sebagai tukang sapu. Padahal diberi makan saja tanpa dibayar. Sultan itu memperhatikan para abdi dalem dan mereka ditempatkan di kampung magersari. Satu perkampungan yang dikhususkan untuk pekerja dan abdi dalem keraton. Boleh membangun, boleh menempati, tidak kena pajak apapun dengan syarat tanah itu tidak boleh dijadikan hak milik sampai sekarang. Tembok di sebelah keraton kurang lebih ada lima hektar dan ada temboknya lagi. Tanah itu tidak boleh dijual. Kalau didepan keraton sudha bisa di hak milik ya. Kalau di magersari tidak boleh. Itu masih utuh dan sekarang sudah nyampur karena banyak pendatang. Kalau abdi dalem mungkin sudah tidak ada ya, adanya pekerja keraton dalam wadah yayasan. Jadi sebutannya bukan abdi dalem. Dibawah naungan yayasan keraton. Yang mana abdi dalemnya sudah berbentuk demikian. Itu para pekerja sekarang ya masih kerabat famili dan tidak merekrut dari pihak luar. Kalu struktur yang terdahulu saya masih belum membayangkan, sultan yang sekarang ini sudah membuat struktur lembaga adat yang baru cuma belum diumumkan. Jadi saya tidak berani memberikan penjelasan lebih lanjut. F : Kalau penelitian ini kan hipotesisnya hubungan antara keraton dengan pemkot itu kan baik-baik saja. Tapi baiknya hubungan suatu lembaga akan dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang yang berhubungan tersebut. Artinya dari orang keraton misalkan pak Iman sedangkan dari pemkotnya bagian disporbudpar, cara komunikasi dari pemangku jabatan keraton dan pejabat pemkot itu sendiri, kalau misalkan ada acara yang berkaitan dengan pemkot ataupun mau berinteraksi dengan pemkot itu ada strategi khusus tidak pak?artinya ada pemilihan orangnya harus siapa? I : Seperti di pihak keraton dan pemkot sering mengadakan pertemuan ataupun rapat-rapat yang menyangkut keraton dengan pemerintahan itu bisa dilaksanakan di keraton, di pemkot ataupun di luar keduanya. Dalam hal ini, sering pihak keraton mendapat undangan-undangan pertemuan, rapat-rapat di pemerintah kota, DPRD, itu kalau sultan berkenan hadir ya sultan mengahdiri acara tersebut. Sedangkan ketika sultan berhalangan ataupun tidak sedang di tempat itu diwakilkan. Tergantung pada orang yang ditunjuk untuk mewakili pertemuan tersebut. Seperti saya beberapa tahun yang lalu, mewakili keraton menghadiri undanga di disporbudpar untuk membahas branding pariwisata kota Cirebon. Saya hadir mewakili keraton, disana dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat. Dari pihak keraton kasepuhan, kanoman dan tokoh-tokohmasyarakat, seniman, budayawan, rohaniawan, dan beberapa pengrajin untuk membuat branding pariwisata kota Cirebon. Itu usulan dari setiap undangan menyampaikan pendapatnya. Pada waktu itukepala dinasnya masih pak Abidin, sekarang sudah pak Dana. Waktu itu hasil musyawarahnya pertemuan itu terbentuklah branding tersebut yaitu the gate of secret. Karena masih banyak rahasia yang belum terbuka. Itu salah satu contoh bentuk komunikasi dari tokoh-tokoh dan pemerintah daerah. Selanjutnya ada undangan-undangan seperti di DPRD dalam rangka sidang paripurna. Kadang-kadang saya mewakili. Kan sidang paripurna seperti itu hanya mendengarkan saja. F : Bicara cara, komunikasi itu bisa tatap muka langsung ataupun via media, kalau pihak keraton sendiri biasanya interaksi dengan pemkot itu lebih sering tatap muka langsung atau menggunakan media? I : Yang jelas sering dilakukan adalah tatap muka langsung. Adapun mungkin internal sultan dengan kepala daerah bisa pribadi. Kadang-kadang dalamsuatu event besar, proposal itu untuk mengajukan dana festival. Jadi beberapapertemuan yang sering dilaksanakan baikdi keraton danpemerintah memang solusi dari pertemuan-pertemuan itu belum maksimal. Sekarang keraton sudah menjadi destinasi wisata, tentunya yang berhadapan langsung dengan wisatawan itu kita. Itu banyaksaran dan kritik dari wisatawan itu kenapa banyak sampah dan dibiarkan kotor dan tak terawat. Ini kan bukan hanya tanggung jawab kita saja. Tanggung jawab bersama pihak keraton dengan pemerintah daerah. Apalagi ada dinas pariwisata, kebersihan. Disitu harus saling bekerja sama. Sampai detik ini saya masih sering mendapatkan kritikan tersebut. Kita perlu solusi untuk Cirebon yang lebih baik. F : Menurut bapak faktor pendukung baiknya hubungan keraton dengan pemkot itu apa saja pak? I : Media juga pernah,dengan undangan-undangan. Yang lebih diutamakan adalah kenyamanan ya, bukan hanya keraton, jadi orang masuk kota Cirebon itu apa yang dilihat dan dituju itu supaya bisa balik lagi kesini. Dengan banyaknya wisatawan berkunjung ke kota Cirebon kan membawa dampak positif dari segi ekonomi meningkat, pedagang-pedagang juga merasakan manfaatnya. Apalagi jalur Jakarta-Cirebon kan sudang sangat singkat, 3 jam saja. Pagi datang, sorenya sudah bisa balik lagi. Kadang-kadang dari pihak pemerintah ketika diundang tidak hadir dan ketika hadir sering diwakilkan oleh bawahannya yang pdahal dia tidak begitu memahami. Jadi tidak bisa menyampaikan apa yang jadi kebijakan disana. Jadi itu yang perlu dibahas lebih dalam. F : Ada ruang-ruang informal yang bisa mempertemukan pihak keraton dengan pemkot tidak pak? I : Ada seperti pendukung-pendukung pariwisata seperti Kompekpar, Himpunan mengenai pariwisata. Itu ya sering melakukan pertemuan. Itu pun penyelenggaraannya kadang-kadang dinas itu mengundang diluar kegiatan keraton. Ada pelatihan-pelatihan ya kami dilibatkan. Misalnya ada pelatihan kepariwisataan, keraton mewakilkan berapa orang, ya kami dilibatkan. Atau penyuluhan-penyuluhan. Jadi didalam dinas pariwisata, ada kepala bidang-kepala bidang. Bidang-bidang yang bertanggung jawab terhadap pariwisata, kebudayaa, kesenian. Skrip Wawancara Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon Narasumber : Dana Kartiman (Kepala DISPORBUDPAR) Waktu : 30 Mei 2016 F : Bapak sendiri menjabat sebagai kepala dinas sudah berapa lama ya pak? D : Di DISPORBUDPAR sendiri sudah sejak tanggal 15 Maret 2014, sebelumnya di BAPUSIPDA dan Dinas Pendidikan F : Selama bapak menjabat sebagai Kepala DISPORBUDPAR, hubungan DISPORBUDPAR khususnya dan umumnya Pemerintahan Kota Cirebon dengan Keraton Kasepuhan bagaimana pak? D : Ya intinya kami tidak hanya membatasi dengan kebudayaan dan kepariwisataan, di dinas kami ada empat substansi, selain Pemuda dan Olahraga,ada juga Kebudayaan dan Kepariwisataan. Dua sisi yang mungkin koordinasi langsung dengan objek wisata ataupun keraton itu bisa disebut sebagai objek wisata, di sisilain keraton sebagai situs yang memiliki nilai sejarah. Di satu sisi kita membina cagar budayanya, di sisi lain memfasilitasi pengembangan obyek wisata. Jadi dari destinasi ini kita memfasilitasi walaupun anggarannya kecil, tapi masih tetap anggaran itu ada. Kita memfasilitasi tentang pemeliharaannya, dan beberapa kegiatan atau program dari pusat atau provinsi yang tentunya melalui kita. Baik itu bentuknya perbantuan dan revitalisasi, juga kegiatan yang sifatnya event untuk mengembangkan kebudayaan. Jadi koordinasi dari kegiatan ini, kebudayaan, bidang kami, koordinasi atau kerjasama tentang pertunjukan, kesenian atau cagar budaya tak benda disebutnya, kalau bendanya kan fisiknya. Di sisi lain juga membina tentang fisik atau cagar budaya benda. Cagar budaya ini kita karena anggarannya terbatas masih memerlukan anggaran pusat maka revitalisasi ini kita coba untuk mengusulkannya baik oleh kita ataupun oleh keraton sendiri dan kita juga sudah merancang masterplan keraton termasuk juga memfasilitasi pengembangan kota pusak, salah satunya adalah Keraton Kasepuhan. Nah ini yang barangkali perlu diadakan pencitraan atau kerjasama dengan objek wisata terlepas daripada hubungan kepentingan keraton dengan pemerintah berbeda tetapi kita masih tetap berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing kedudukannya, ia juga memiliki keinginan dan run down acara tertentu yang perlu difasilitasi. F : Kalau boleh saya simpulkan, berarti keraton saat ini fungsinya lebih kepada cagar budaya ya pak? D : Iya, satu cagar budaya. Kedua ya untuk mengembangkan obyek wisata itu sendiri. F : Ya mungkin penekanannya disitu ya pak, tapi keraton atau sultan secara ketokohan merupakan penjaga adat istiadat setempat D : Ya,kalau di Bali disebut pemimpin adat. Ya mempertahankan sejarah atau melestarikan keutuhan kehidupan berbudaya. F : Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sebelum NKRI lahir, Indonesia terdiri atas kerajaan-kerajaan, dimana kerajaan kecil menginduk pada kerajaan yang lebih besar. Kerajaan kan dulu memiliki fungsi pemerintahan. Seiring berjalannya waktu kerajaan dan atau keraton pun telah berubah fungsinya mengingat Indonesia sudah mendeklarasikan diri sebagai suatu negara. Berbeda dengan jogja, disini keraton tentu harus menginduk kepada pemerintahan yang berlaku. D : Saya juga dalam membina obyek wisata, dalam hal ini keraton, saya mengharapkan satu,bermitra dengan masyarakat Cirebon. Kedua, ya terbuka bagi wisatawan atau pengunjung, terbuka dalam artian welcome, welcome ini satu mungkin mempertahankan budaya kedua ya mampu memberikan informasi yang jelas. Satu hal yang perlu digaris bawahi, keraton jagan terlalu tertutup pada culture saja, tetapi harus bagaimana membangun inovasi sehingga masyarakat muda juga seneng terhadap kehidupan sejarah, dirangkul,ini kemasan-kemasan seperti ini barangkali yang perlu kita arahkan kepada hal yang memiliki stigmen untuk diperkenalkan, jangan sampai nanti kata adat begini, tidak boleh kesini mah pamali,ini kan repot, jadinya tidakbisa dinikmati masyarakat muda. Kalau hanya stagnan oleh kepentingan tradisi saja, orang muda mungkin dibawa ke yang seperti itu mungkin lebih baik nonton akhirnya males. Sehingga dari males itu pengunjung berkurang, unsur finansial untuk kesejahteraan keraton pun jadi sulit. Terus didalamnya perlu adanya pengelolaan yang baik, diantara pemeliharaannya, gaji karyawannya, terus warganya disitu kan harus makan, kalau didiamkan seperti itu kasian mereka dari mana, pemerintah tidakmungkin mengcover semuanya. Pemerintah melalui PAD, satu PAD kan linear, linear artinya cost dengan profit atau dengan benefitnya harus berimbang. Jadi, break-up-an poinnya kalau tidak kena ya tidak dibantu. Masa kita memberikan satu rupiah tapi keuntungan untuk masyarakat Cirebonnya tidak ada ya sulit juga. Makanya diharapkan ketika objek wisata ini hidup, seperti halnya keraton, dinikmati juga oleh masyarakat dilingkungannya. Jangan sampai mereka jadi penonton, di sunyaragi itu masyarakat kan penonton, anak kecil kasian, masyarakat kecil kasian, justru objek wisata yang ada ini harus menunjang. Makanya kita ingin besar seperti borobudur,prambanan, ya akan sulit ketika masyarakat tidak diberdayakan. Sebab secara utuh keseluruhan, tanggung jawab kita terhadap masyarakat kecil inimenjadi prioritas. Kalau tidak mereka akan mengganggu, satu tidak bisa diatur,parkir jadi mahal dan tidak merasa memiliki. Keraton bisa tertutup oleh kepentingan yang tidak jelas. F : Perihal kegiatan yang melibatkan DISPORBUDPAR deng Keraton Kasepuhan itu apa saja? D : Intinya kita memfasilitasi. Satu Festival Keraton Nusantara. Untuk pertunjukannya 2017 di Cirebon. Sedang 2016 di kalimantan kalau tidak salah. Walaupun anggarannya dari privinsi, ada perbantuan, dari kota juga tetap membantu. Tetap memfasilitasi, cuma sampai saat ini anggarannya belum keliatan nampak. Kan yang berangkat ke FKN dari Pemda bukan kita, disna kan sulit kalau saya tidak koordinasi. Memang kalau saya perhitungkan, tugas saya terlalu padat. Tapi ketika FKN tanpa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terkait limbung mereka. Gak ada yang ngayomin. Terus kepanjangan tangan kebudayaan dan Pariwisatanya siapa. Jangan-jangan nanti, kan orang Keraton tidak ada tanggung jawab Kebudayaan dan Pariwisata. Kita memfasilitasi, karena satu itu sudah diacarakan dan mempunyai event nasional. Intinya kegiatan-kegiatan keraton yang sifatnya kehidupan keraton seperti seren taun, itu biasanya syawal, zikir bersama, syukuran, rowahan, itu cuma include. Tarolah satu tahun ini kita ngasih 200 juta misalnya, saya gak tahu angkanya. Memang kalau dirasakan kecil, tapi ketika ada perbantuan terasa adanya suatu koordinasi. F : Kemarin saya juga nanya sama Pak Wiyono, ada laporan pengunjung bulanan ya Pak? D : Itu harus,karena kita kan dituntut pertanggungjawaban event itu terhadap jawa Barat dan juga kepentingan nasional.Sebab kalau melalui media sosialmereka tidak percaya kalau tidak dilegalitas oleh kita. Makanya saya mengharapkan kegiatan-kegiatan di keraton itu rekomendasinya ke kita. Kalau lepas, dia tidak akan tahu, ngapain gitu Cirebon, dinasnya juga tidak tahu. Dan kami disini tidak merasa bersaing dengan keraton, tetapijustru saya memfasilitasi dan bersyukur ketikakeraton berhubungan langsung dengan kementrian, silakan saja, sepanjang itu masih dalam koridor kebudayaan pariwisata, dan berbicara tentang kebudyaan dan pariwisata di Cirebon jangan memilah-milah antara kabupaten dan kota sebab seniman-seniman dan budayawan ini sudah mulai merambah ke kabupaten. Kalau begitu kan bisa enak kita tuh, anggaran utuh, tapi saya melihat peluang karena mereka kan pertunjukannya di kota, daya tariknya di kota. Ketika hotel menginginkan suatu pertunjukan,senimannya orang kabupaten, ya ayo lah hidup di kota, jangan jadi batas lah. Kalau sudah ada batas apalagi dikembangkan Cirebon sebagai kota metropolis, ini kan jadi kepentingan irebon bagaimana. F : Kemarin Pak Giyono juga mengatakan ada Gotrasawala, itu seperti apa Pak? D : Gotrasawala itu sebetulnya pengembangan budaya karena hasil karya Wangsakerta, keturunan Sultan juga, tetapi dia tidak menduduki jabatan, tapi dia pandai dan ingin mempersatukan budaya. Gotrasawala itu merupakan suatu nilai sejarah yang perlu dikupas. Tetapi ketika ini diangkat oleh Provinsi, nomenklaturnya berubah jadi menurut versi mereka Gotrasawala hanya sebatas mengingatkan melalui pertunjukan budaya. Karena yang melaksanakan Pusat, jadi kita tidak bisa melakukan intervensi apa-apa. Keraton hanya menyediakan tempat, jadi tetap EO Provinsi. Makanya pertunjukan yang ada terlepas dari koordinasi, sehingga akhirnya Gotrasawala tuh ditunjuk perorang. Sebetulnya Gotrasawala tuh mengupas sejarah, jadi filolog, ahli sejarah itu dikumpulkan dan mereka berbicara mempelajari naskah-naskah wangsakerta. Dari naskah itu digabungkan dengan naskah yang lain, adakah keterkaitan antara CGotrasawala dengan Karawang, Tasik, itu intinya mah. Jadi Gotrasawala pada zaman Wangsakerta ingin mempersatukan persepsi yang sama tentang nilai sejarah. Cuma kemasannya kan kadang-kadang Gotrasawala dipakai untuk judul program sehingga nama Gotrasawala terpromosikan tidak mengangkat suatu sejarah tapi pertunjukan. Ya gak apa-apa sih sebenernya, di Gotrasawala itu berkolaborasi antara pertunjukan tradisioanl,kenapa seperti itu karena ingin mengajak remaja untuk memahami tentang sejarah, cuma ketika pertunjukan lebih dominan dari seminar, seminarnya mah asal-asalan saja,ada Gotrasawala berbentuk kreativitas muda, termasuk juga seni budaya tradisional dikolaborasikan. Ini tinggal bagaimana cantiknya suatu program dikemas sehingga Gotrasawala terangkat. Kalau salah interpretasi, bisa salah menafsirkan gotrasawala, bisa berbeda. Akhirnya Gotrasawala dimata publik di mata media jadi bingung mendefinisikannya. F : FKN, Rapat Bulanan, Gotrasawala, sekarang kalau Keraton yang mengadakan event, adakah strategi-strategi khusus yang digunakan untuk berhubungan dengan keraton? D : Jadi kami berhubungan dengan keraton bergantung pada eventnya. Kalau misalnya dalam bentuk pengembangan sarana, itu revitalisasi.Yang dilibatkan dalam hal itu dari kebudayaan adalah seksi purbakala. Kalau pariwisata ya bidang pariwisata. Untuk kegiatan kesenian ya bidang kesenian. Jadi tergantung kepentingan keraton itu untuk apa. Jadi kita tuh memiliki bidang kebudayaan dan pariwisata. Tapi kan untuk bagian informasi budaya dan pariwisata Pak Gito, di Pusat Informasi Budaya dan Pariwisata. Di Sunyaragi. F : Kalau kontrol dari Pak Dananya sendiri, seberapa sering bapak berhubungan dengan keraton? D : Susah diukur ya, ya bisa dibilang fifty-fiftylah. Kalaupun tidak saya, bidang terkait yang berkunjung. Tapi silaturahmi sering kesana, tergantung dari kegiatan yang ada. Dan tidak setiap kegiatan di monitor. Ada waktu-waktu tertentu. Satu yang dominan dimonitor adalah adanya keluhan masyarakat. Kedua adanya event nasional dan ketiga adalah koordinasi tentang pengembangan. Jadi ada beberapa unsur. Kalau didatangin semua ya berat. Tugas saya gak di keraton saja. Termasuk mengembangkan kesenian. Terkadang keraton setelah menyelenggarakan pertunjukan, ketika pertunjukannya tidak menggambarkan kepentingan pengembangan kebudayaan ya kita kritisi. Tapi yang saya lihat dari sisi sejarahnya. Misalkan ketika keraton menampilkan tari dan tari itu tidak relevan dengan nilai sejarah yang ada. Karena tidak semua keraton paham tentang itu. Berikutnya jadi sulit itu pemandu wisatanya, kadang-kadang pemandu wisata yang ada tidak memiliki persepsi yang sama, bisa saja pemandu A dengan pemandu B memiliki informasi yang berbeda, dan sulit diukur karena merekamelakukan wawancara perorangan terhdap pengunjung. Padahal pelatihan tetap ada. Tapi kepentingan berbeda. Misalnya ini harus mandi disini, karena membersihkan WC jadi harus bayar sekian.kan sulit. Apalagi kita mengatur peminta-minta di Gunung Jati. Masuk ke keraton dibawa ke tempat-tempat tertentu harus bayar.kan sulit mengukurnya. Walaupun saya memberikan pembinaan tapi itu kan diluar kemampuan saya. Tidak besar sih sebetulnya cuma kalau sampai menjengkelkan pengunjung, jadi penyakit juga. F : Apalagi zaman sekarang masalah kecil di posting ke sosial media,malah jadi opini publik ya pak? D : Jadi opini publik. Ke Cirebon tuh males gara-gara banyak peminta-minta yang terkoordinir dan banyak. Ini tidakbisa ditutup-tutupi. Nah ini karena objek wisata tidak bisa memberdayakat masyarakat lingkungannya. Kalau di Jogja tidak, malahan tukang becak pun memberikan informasi yang jelas,karena kooperatif mereka. Mereka juga sadar, mereka hidup karena ada keraton. Termasuk pengusahanya. Pengusaha juga hidup karena objek wisatanya. Kalau keratonnya tidak ada mungkin tidak akan hidup. Kesadaran wisata inilah yang belum dimiliki masyarakat di wilayah sini. Kurang disentuh masyarakat disini. Kenapa ini terjadi,mungkin ya , satu, karena dari sisi finansial keraton juga belum mampu membiayai sendiri. Kalau udah kaya mah harusnya bisa. Karena kita kan sekrupnya kecil di kita tuh. Satu karena kecil, kedua, sudah kecil terbagi-bagi lagi. Ada 4 keraton. Saya waktu pernikahan anaknya Sultan di Jogja, masuk kesitu sehari sebelum pernikahan saya nginep di hotel. Ketika mau ke pernikahan, naik becak mau dibayar, dibilang gak usah pak, karena rasa syukur saya terhadap Sultan. Masuk makan ke Malioboro, mau dibayar, dibilang jangan pak, syukuran saya, dua hari mah enggak seberapa. Daerah itu aja Malioboro. Berarti kan hati dia itu udah bersatu dengan pemimpinnya. Disini mah enggak mungkin. Tamu saya dari kementrian ditagih parkir Rp.20.000, yang dimarahin siapa coba, saya. Ya kalau Rp.2.000-5.000, masih wajar lah. Tapi kalau sampai segitu kan keterlaluan. Pas pak Sultan ditanya, itu mah penduduk bukannya sultan. Sebab, harusnya sudah jadi tanggung jawab lingkungannya. Makanya diperlukan pemberdayaan masyarakat. Sebesar apapun tembok yang dibangun untuk mencegah supaya aman, tapi penduduknya seperti itu ya tetap rusak. F : Frekuensi pertemuan sih pak, artinya pertemuan pemkot dengan keraton lebih sering menggunakan media, media itu nantinya bisa surat, telepon dan atau apapun itu yang tidak komunikasi tatap muka secara langsung seperti ini, atau justru lebih seringnya komunikasi tatap muka? D : Biasanya melalui administrasi ya, seperti rapat koordinasi, misalnya membicarakan tentang pengembangan apa. Atau misalnya di event, event itu pasti mengundang kita. Seperti menyambut bulan puasa atau apalah. Untuk fece to face tergantung daripada kepentingannya,bentuknya seperti apa, misalnya ada kepentingan non-formal, ada pengaduan, kita ngobrol, pak sultan ya ngobrol, bagaimana klarifikasi terhadap masyarakat. F : Kalau Pak Dana sendiri lebih sering ketemu pak sultan langsung atau menggunkan media? D : Jarang untuk bicara langsung. Kalau Sultan yang lain bisa saja sebetulnya. Tergantung pada terbuka atau tidaknya seseorang terhadap kita. Kadang-kadang kan minta advice. Atauada tamu asing,misalnya dari Perancis. Tidakhanya menunjuk satu keraton dan perlu dihadiri oleh dinas karena menyangkut kebijakan dinas terhadap pengembangan atau perlu suatu kajian sejarah terhadap suatu keraton untuk penelitian. Atau sebagai narasumber dalam memutuskan kemitraan. Yang jarang terjadi ini adalah koordinasi diantara keraton. Itu penting, karena rasa memilikinya tidak terbatas hanya pada satu keraton, tetapi harus bercitra dengan keraton yang lain. Tapi semua jalan. Jalan sendiri-sendiri. Ketika dipersatukan ini, karena mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, jadi sulit. Contohnya ketika keraton kasepuhan mengadakan rapat, keraton lain jarang hadir. Kecuali, kalau eventnya nasional, baru ngumpul. Cuma kalau ngumpul harus festival terus kan babak belur. F : Faktor pendukung, mereka hanya bisa ngumpul ketika ada event nasional, nah dengan disporbudpar sendiri faktor pendukung apa saja yang membuat berjalan baiknya hubungan diantara keraton dengan disporbupar ini? D : Faktor pendukungnya, ya kita memiliki tanggung jawab terhdap pengembangn, pelestarian budaya. Kedua, perlu adanya pengembangan wisata dan atau destinasi wisata. Atau bisa disebut juga payung hukum. F : Faktor penghambat hubungan antara keraton dengan pemkot? D : Pertama, untuk pengembangan seni dan budaya tidak serta merta menjadi tanggung jawab disporbudpar. Untuk saat ini dimana keraton beranggapan, bahwa kepedulian terhadap tujuan wisata keraton ini tidak semua dinas atau skpd mendukung. Sebab yang untuk membangun suatu revitalisasi atau mengembangkan wisata ini bisa saja terjadi dengan dinas PU-nya, dengan jalannya, drainasenya. Harus terkait. Contoh seperti ini,ketikakeraton tampil bagus, ketika sampahnya tidak teratur dengan DKP.Koordinasi terhadap pengembangan yang seperti inilah yang jarang terjadi. Kurang koordinasi dengan SKPD yang tidak secara langsung bertanggungjawab. Kalau koordinasi dengan kita jelas ya, suatu kepentingan bersama tentang pelestarian budaya dan pengembangan wisata.tapi kalau koordinasi yang ini,mereka meminta sesuatu kepada Pemda baik itu sampahnya, listriknya bisa saja, terus pengembangan fasilitas pendukungnya, airnya, lambat. Mohon dimaklumi,pemerintah daerah kan mengadakan suatu hal yang sifatnya pengadaan kan tahun per tahun dan tidak hanya keraton saja. Sehingga persepsi keraton merasa tidak diperhatikan pemkot. Inilah barangkali yang bisamenjadi konflik. Beranggapan bahwa pemkot tidak perhatian pada keraton. Dan yang namanya pengembangan wisata tidak hanya tujuan wisata yang kita urus, termasuk juga jasa usaha. Hotelnya kan kita urus,tempat hiburannya, terus juga akses jalan, kulinernya, harus bagaimana sih cara maknnya, setelah berkunjung kan pengunjung perlu makan, perlu istirahat. Nah ini yang kadang-kadang membuat keraton merasa berjuang sendiri, padahal dari sisi pariwisata itu luas. Sebab pariwisata adalah kehidupan. Sekarang saja jumlah pengunjung pertahun kota cirebon meningkat 24%, kajian-kajian yang disampaikan kita kepada mereka, mestinya jadi tolak ukur. Misalnya begini, dari jumlah sekian ini kalau diperhiitungkan, sekarang malah terbalik,ke keratonnya berkurang, dominan ke Cirebon sebagai wisata itu dua, pertama kuliner, kedua belanja. Justru menurun 50% berkunjung ke objek wisata, padahal pengunjung kota Cirebon meningkat karena ada tol Cipali. Objek wisata itu stagnan. Orang tertentu yang sifatnya lokal, untuk asing saya pikir malah menurun. Padahal akses semakin mudah, waktu tempuh semakin cepat. Terus karena semua daerah semakin mempromosikan wisata masing-masing. Objek wista sejarah yang mumpuni di Indonesia ini masih anatar bali, Jogja dan Solo. Ketika Jember terbangun, banyuwangi terbangun,kita masih tetap begini saja. Sehingga yang berkunjung ke kita ya larinya ke objek agrowisata. Model Majalengka sudah mulai, karena mereka sudai mulai merasa ada kesejukan, ditambah karena Puncak Bogor sudah di Blacklist lah untuk agrowisata, karena macetnya, padatnya, polusinya,makanya beralih ke kita. Apalagi ketika masuk ke Cirebon itu, pelayannya mahal, tidak terukur, tidak mempunyai standar, lari lah, sebab pada dasarnya pengunjung kan mencari kesenangan. Skrip Wawancara Staf Sultan Narasumber : Jazuli (Staf Sultan Sepuh XIV) Waktu : 16 Juni 2016 F : Sebagai Kabag Pembina di BPKK, Dari Pak Sultan itu karena nanti yang dianalisis dari sudut pandang pola vertikalnya pak. Artinya bagaimana kemudian Pak Sultan berkomunikasi dengan orang terdekat. Kalau misalkan dari Keraton dari BPKK, pak Iman bisa saya masukkan ke situ. J : Dari BPKK juga tidak semua. Jadi kan gini, surat itu nanti kan ada arahan baik lisan maupun tertulis nanti kan diberikan arahan kepada siapa nanti istilahnya pembimbingnya. Jadi kita kan, Keraton Kesepuhan ini kan terbuka kepada siapapun termasuk diantarnya dalam hal ini adalah pola hubungan dengan Pemkot. Komunikasi yang dilaksanakan itu adalah yang pertama yang jelas yang bisa dibuktikan dengan yang ada bukti fisiknya adalah surat menyurat, korespondensi selalu dilaksanakan dari sejak dulu. File-filenya juga sebagian besar masih ada, masih tersimpan dengan baik. Terus selain itu juga disetiap acara-acara tradisi itu juga kita mengundang unsur-unsur dari pemerintahan termasuk Pemkot Cirebon. Ini barusan yang tadi kan kita mengundang Walikota, mengundang Bupati gitu kan, kalau Bupati Cirebon mengirim utusannya, memberikan sambutan juga, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten. Pak Dana itu tadi dari Walikota, agak terlambat tadi itu datangnya. Terus kepada dia, saya sampaikan juga mau menyambut atau tidak, beliau menjawab diberi amanah tidak untuk menyambut. Tidak ada Pak, saya cuma untuk menghadiri saja. Jadi yang menyambut satu cuma dari Kabupaten. Nah itu juga bentuk dari komunikasi kita kan. Sebaliknya juga, kita juga ada beberapa acara selalu diundang, hampir sifatnya seremonial, seperti rapat paripurna DRPRD. Kemudian acara-acara ulang tahun kota Cirebon dan yang lainnya, hampir semua apalagi semua yang melibatkan langsung atau tidak langsung ya kami diundang. Di samping itu juga, selain di acara-acara juga ada rapat-rapat. Rapat ini kan macam-macam urusannya, ada sifatnya kebudayaan, ada sifatnya pariwisata, ada juga sifatnya penyelesaian urusan-urusan antara Keraton dengan Pemkot. Nah kita ini bukan hanya dengan pemkot saja ini levelnya, itu semua level pemerintah, kita dnegan RT/RW, kita dengan kecamatan, Muspika, Muspida. Hampir semua pejabat-pejabat yang baru dilantik itu sowan dan silaturrahaim ke Kasepuhan. Selalu sowan di pergantian sertijab, Sultan Sepuh selalu diundang ikut menyaksikan. Nah, itu juga bentuk komunikasi. Terus gimana lagi itu rapat-rapat. F : Kalau kemarin itu saya sudah berbicara sedikit dengan Pak Iman, dengan orang pemkot katanya ada kegiatan yang bernama Gotrasawala J : Gotrasawala itu event. Salah satu event yang diinisiasi oleh Keraton. Pelaksananya adalah Pemprov Jawa Barat. Kalau Gotrasawalanya sendiri adalah temanya adalah tema Keraton, tema kebudayaan. Dulu peristiwa tentang Pangeran Wangsakerta adiknya Sultan Sepuh. Di sini tempatnya di Keraton Kasepuhan. Mengumpulkan seluruh sejarawan dan budayawan seKeraton senusantara ini kelasnya, nasional. Abad ke XV. Itu berkumpul kemudian menyusun bersama sejarah raja-raja di Nusantara. Nah itu ada hasilnya, ada yang dibukukan. Nah itu juga bentuk komunikasi sebetulnya. Di mana kita membuka ruang komunikasi dalam lingkup yang sangat luas. Kalau dengan pemkot sendiri terlalu kecil, karena kita dulu negara. Sebelum ada NKRI dulu kita negara. Kemudian di era NKRI kita sudah komitmen menyatakan diri bergabung dengan NKRI, ya kita konsekuen. Ada ranah-ranah yang memang peran pemerintah dan ada ranah Keraton F : Nah itu juga yang jadi salah satu ketertarikan saya pak, karena kalau kita sadari bersama bahwa Keraton pada dasarnya emang pemerintahan waktu dulu. Sebelum dulunya berubah menjadi NKRI, pemerintahannya menjadi Republik. Nah dari situ pak, bagaimana kemudian orang pemkot sendiri, ya bisa dibilang kan kalau misalkan secara umur, kalau Pemkot kan jauh lebih muda dibandingkan dengan Keraton. Nah artinya, bagimana kemudian pemkot yang secara fungsi formalnya dia emang pemerintah yang memiliki kewenangan yang luas. Itu bagaimana kemudian orang pemkot bersilaturrahmi berkonsultasi dengan orang Keraton khususnya perihal ataupun pengelolaan pemasyarakatan di Cirebon. J : Kalau saya mungkin perspektifnya, pertanayaan itu harusnya diajukan kepada pemkot. Kalau dari perspektif kita secara normatif, bahwa kita menjalin komunikasi dengan siapapun, termasuk Pemkot Cirebon. Dalam hal-hal yang sifatnya pemerintahan kita juga menghormati dari sisi itu. Kemudian dalam hal kebudayaan karena kita ini adalah pemangku adat, tradisi serta kebudayaan. Sekarang Keraton kita ini Keraton tertua yang masih eksis. Ada Keratonnya, ada rajanya, masih original silsilahnya. Oleh karenanya dengan posisi itu kita, kalau terkait dengan program-program kebudayaan kita sendiri sebagai pemangku budaya, oleh karenannya mempunyai tanggung awab seperti acara tadi umpanya. Jadi pak Sultan dua tahun yang lalu menyaksikan ada tarian topeng di Cina yang bisa berganti-ganti warna. Nah kita sendiri di Cirebon mempunyai tari topeng yang ada lima warna, berbeda-beda warnanya. Akhirnya Pak Sultan berfikir, kenapa pola ini tida dikolaborasikan, percampuran antara kebudayaan Cina dengan kebudayaan Cirebon. Jadi topengnya topeng Cirebon tapi pakainya yang Cina tadi, yang berubah-ubah itu. Tadi adalah tampilan perdana. Ini belum pernah ditampilkan di mana-mana. Kita mengundang banyak stakeholder kebudayaan, pemerintah. Di sisi itu kita tidak perlu meminta izin kepada pemerintah, kita jalan, dan malah mengundang pemerintah. Inisiatornya adalah Keraton dalam konteks itu. Padahal kalau bicara tentang ranah dalam pembangunan budaya, bisa saja kita melimpahkan ini bukan hanya tanggung jawab Keraton tetapi Pemkot juga. Apa yang bisa kita lakukan, ya jalan sendiri. Apalagi dalan konteks kesejarahan, Keraton ini barangkali lebih dipandang. Oleh karenanya, tadi seperti mengusulkan tari Bian Lien itu banyak negara-negara lain yang mengajukan, tapi tidak diterima lisensinya. Tapi Cirebon dapat izin. F : Kalau itu tadi orang-orang dari Tiongkok asli? J : Dari lembaga bahasa Mandarin di Jawa Barat, termasuk kebudayaan kan berarti. Itulah intinya, jadi kita berjalan dengan pemerintah, kita juga mengingatkan akan tanggung jawabnya di pembangunan seni budaya, adat tradisi yang menjadi ranahnya pemerintah, sesuai dengan undang-undang F : Kalau boleh saya sebut satu persatu simpul-simpul pertemuan antara pemkot sama Keraton, berarti tadi ada rapat, event kebudayaan, event seremonial Pemkot. Kalau selama ini, Sultan Sepuh, Sultan Arif menjabat sebagai sultan sepuh XIV. Hubungan dengan pemkot ini bagaimana pak? J : Kalau itu subjektif ya. Kalau kita merasa tidak ada masalah selama ini. Memang ada permasalahan tanah Keraton yang sampai saat ini belum terselesaikan. Tapi kita tetap secara proporsional melakukannya. Untuk urusan itu kan kita juga mengundang dari pihak pemerintah umpamanya Pemkot sampai kemudian muncul dari Pemkot ada surat tahun 2013 itu karena kita terus menerus mengundang rapat. Ini salah satu contoh komunikasi yaitu rapat. Sampai kemudian Pak Sultan mengatakan bahwa ini bukan ranah kami tapi ranah pusat. Itu ka ada komunikasi. Kalau kami di Keraton merasa kami laksanakan kewajiban dalam porsi kami, porsi Keraton. F : Kalau Pak Jazuli sendiri, sudah berapa lama jadi staf sultan? J : Saya mulai tahun 2010, sejak beliau diangkat menjadi Sultan sepuh XIV F : Ada pertanyaan yang sudah tadi sedikit disinggung dengan statemen Pak Jazuli bahwa Keraton memang pada dasarnya memang pemerintahan di zaman dahulu. Sebenarnya perbedaan fungsi Keraton pada masa lalu dan masa sekarang gambarannya selain memang sebagai pemangku adat dan tradisi itu seperti apa, Pak? J : Dulu sejarah Keraton Cirebon ini adalah didirikan sebagai pusat syiar islam. Kemudian terbentuklah Kesultanan Cirebon dengan berbagai tatananan ,yang tentunya sebagai negara pada umumnya. Punya aturan, hukum yang berlaku. Era-era kita lalui semua sampai kemudian era NKRI. Di NKRI ini tidak lama setelah proklamasi. Kita menyatakan bagian dari NKRI. Kalau dulu kita sebagai negara berdaulat. Memiliki kewenangan. Setelah adanya NKRI kita menjadi bagian dari NKRI. Walaupun, kita ada kan spirit bung Karno nih. Ini juga sejarah yang sebetulnya, kami bukan menuntut nih. Benang merah sejarah kan tidak boleh dilupakan. Dulu pada saat bung Karno memproklamasikan NKRI, Indonesia, Belanda mempertanyakan. You memproklamasikan diri sebagai negara, mana rakyatmu, mana wilayahmu? Syarat kan. Pada saat itu adanya kerajaan-kerajaan. Solo, Jogja, Cirebon, Kutai, Ternate, Tidore. Pada saat itu raja-raja se-nusantara karena saat itu sudah satu misi berjuang melawan penjajah menyatakan rakyatnya ya kami ini, wilayahnya ya ini. pada saat itu momentumnya didapat Jogja, Hamengkbuwono. Oleh karenanya mendapat status kistimewaan. Dari situ. Padahal sebetulnya semua punya porsi perjuangan yang sama. Masing-masing. Tokohnya pun tidak bisa disepelekan. Sultan Sepuh V itu yang Sultan Sepuh Safiyuddin yang disebut sebagai Sultan Sepuh Matangaji. Itu seluruh hidupnya hampir digunakan untuk melawan penjajah. Sampai disebut Sultan gila. Karena tidak pernah ada di Keraton. Hampir selalu bergerilya. Karena tidak nurut sama Belanda. Makanya dalam catatan belanda disebut sebagai Sultan gila. Sekarang kan sama seperti dulu pejuang-pejuang disebut teroris. Artinya apa, bahwa Keraton-Keraton termasuk Keraton Cirebon memiliki andil yang cukup besar pada berdirinya NKRI. Memang kita komitmen. Oleh karenanya ada spirit Bung Karno, bahwa dengan berdirinya NKRI, peranan seluruh raja-raja di Nusantara ini tidak boleh diabaikan. Tidak boleh dikesampingkan. Walupun semuanya berada dalam bingkai NKRI. Kalau kemudian ini sudah diabaikan, harus disama ratakan, adanya tidak dipedulikan, Bhineka Tunggal Ika itu sudah tidak ada lagi. Itu muncul karena Indonesia dibentuk oleh raja-raja yang berkomitmen satu itu. Sekarang, konteks kenegaraan ya, Keraton yang diakui oleh negara dan diatur dengan Undang Undang itu hanya Jogjakarta. Ada UU-nya. Padahal kalau kita belajar ketatanegaraan, Undang-undang itu harus diuniversalkan. Tidak boleh ada pengkhususan. Lex Specialist. Atas dasar apa. Perjuangan itu semuanya berjuang. Tadi yang saya sebutkan, masing-masing kerajaan punya tokoh-tokoh, Banten punya Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan hasanuddin, Makassar, Goa, Tidore, Palembang, punya andil semua punya. Memang momentum sejarah lah yang tidak bisa kita elakkan. Tapi dalam tataran berbangsa bernegara kan tidak bisa seperti itu. Tapi bukan begitu ya, kalau tataran Pemkot terlalu kecil. Nah, saya juga pernah mengkritisi, ada hasil studi, ya salah satu perguruan tinggi lah. Pak Sultan dan saya juga hadir, mungkin sama lah tentang pola komunikasi. Ada pernyataan bahwa Keraton itu tertutup. Dari mana statemen itu didapat, dari pejabat Pemkot Cirebon. Saya bertanya tertutup itu dari sisi apa? Iya kan. Kategori tertutup itu bagaimana? Indikatornya apa?. Kalau tertutup kita tidak akan berkomunikasi. Tidak ada korespondensi. Tidak ada rapat-rapat. Tidak ada kemudian MoU. Kita membuat MoU dengan Perpusnas perihal arsip-arsip. Kita Mou dengan STP Bandung yang di bawah kementerian Pariwisata. Kita Mou juga dengan PATA untuk peningkatan pariwisata. Juga dengan perguruan-perguruan tinggi, dengan Unswagati, IAIN. Artinya tetap membuka diri. Makanya mau bilang tertutup dari mana. Itu kan statement sepihak. Jadi kesimpulan. Pandangan subjektif. Apalagi ini kan penelitian ilmiah harus objektif. Cover both side. Perihal tanah juga kita sangat terbuka, kalau mau sepihak kita bisa kirim orang lalu datang ke lapangan dan kita patok. Itu kan preman-preman-an. Itu artinya mau menang sendiri. Tapi kita kan mengikuti lah prosedurnya, aturannya kita ikutin, harus gelar kasus kita gelar kasus. Kita ikuti. Semua yang terlibat kita ajak rapat. Pola komunikasi kita. Selama ini kita begitu, tinggal potret orang lain kan ya monggo subjektif kan. Tapi apa yang kami sajikan bisa dibuktikan. Korespondensi ada. Dokumentasi ada. F : Perbedaan fungsi Keraton pada masa lalu dan sekarang tentu akan mempengaruhi perubahan struktur organisasi yang berlaku dan digunakan Keraton, kalau misalkan dulu kita bisa menemukan sultan, patih, tumenggung dalam struktur organisasi, kemarin hasil wawancara saya dengan pak Iman, salah satu poinnya adalah bahwa sekarang Keraton memiliki dua struktur organisasi, yang pertama berbasis tradisional dan yang kedua modern, nah ini bagaimana pak? J : Iya betul bahwa di setiap era itu ada kebijakan masing-masing sultan sesuai dengan kebutuhan zamannya, di era sultan sepuh ini memang disamping struktur-struktur tradisional, walaupun tidak seluruh struktur-struktur tradisional yang beliau bentuk secara lengkap. Seperti patih, patih itu kan ada ketika sultan tidak dapat melaksanakan fungsi day to day. Jadi dia pelaksana harian. Patih ini kan beliau belum menentukan. Tapi di beberapa kasus, seperti juru kunci, kaum masjid beliau pertahankan. Beliau angkat, dan beliau berhentikan. Kemudian juga kepala-kepala kaum masjid, ada struktur kaum masjid, ada penghulu, ada kepala kaum. Itu juga menjadi salah satu struktur tradisional. Juru kunci kan kita punya banyak situs. Seperti wewengkon-wewengkon. Tanah Keraton, dalam bentuk makam kuno, petilasan, masjid kuno, nah itu semuanya diangkat juru kuncinya. Nah masjid, yang masuk dalam wewengkonKeraton kasepuhan di wilayah Cirebon sekitar 200-an. Ya tinggal menyimpulkan saja. F : Kalau bicara struktur tradisional, berarti kan ada struktur internal dalam Keraton itu sendiri dan struktur eksternal pendukung seperti juru kunci dan kaum masjid yang tadi bapak sebutkan, nah kemarin juga pak iman sedikit menyinggung tentang lurah-lurah yang ada dalam lingkungan Keraton itu bagaimana? J : Ya lurah kalu disini istilahnya kan yang mengurusi Keraton. Yang di Keraton ya lurah Keraton. Kepala lurah juga belum, ada kepala lurah. Yang mengurusi tradisi. Kemudian sesuai perkembangan ya, karena mau tidak mau Keraton berkembang menjadi destinasi wisata, ya wisata ziarah, sejarah, pendidikan. Seperti sekarang ini, sultan sepuh merasa perlu membentuk badan yang khusus di luar struktur tradisional. Oleh karenanya dibentuk BPKK. Semi modern lah. Ini kan untuk menjawab kebutuhan zaman karena belum tercover oleh struktur tradisional. Juga di Sunyaragi, karena besar kan makanya dibentuk juga Badan Pengelola Taman Sunyaragi. Dulu taman sarinya Keraton Kasepuhan. Pengurusnya diangkat dan diberhentikan oleh Sultan Sepuh. Belum lagi beliau membentuk organ-organ lain, umpamanya beberapa yayasan yang karena sesuai kebutuhan. Ada yayasan Sunan Gunung Jati, itu untuk menghimpun keluarga besar Keraton dari seluruh nusantara. Mereka lebih fleksibel kalau ada yayasan. Makanya dibentuk yayasan Sunan Gunung Jati. Ada juga yang sekrupnya di wilayah tiga, yaitu wargi jati. Ya semi tradisional. Kalau wargi jati ya tradisional mungkin. Belum lagi pesantren-pesantren yang beliau bina, seperti Cisaat atau disini yang beliau mendirikan untuk anak-anak sekitar Keraton, lembaga pendidikan al-qur’an. TPA dan TPQ. Ada Nur Hidayah. Terus lagi pesantren-pesantren lain, beliau mendirikan sekolah kesenian, SMK Pakungwati. Pemerintah juga berpikir nih untuk mengurusi kesenian-kesenian, regenerasinya, pelestariannya, Keraton. Mau ada atau tidak ada siswanya tetap kita ayomi. Sekarang dibentuk yang baru juga SMK Kriya,belum ada peminatnya tapi ini butuhkan karena selama ini industri-industri rotan, gerabah, ada seni batik itu kan tenaga-tenaganya sudah hampir tidak ada regenerasi. Ngambil dari orang luar, dari pekalongan. Dan ini jadi pikiran beliau, berkolaborasi dengan pesantren binaan beliau untuk membuka SMK seni kriya. Jadi santri juga disitu plus kerajinan. Kita kan berusaha berkiprah, dulu kan Cirebon ini sudah menjadi pusat perdagangan internasional sejak abad ke-14. Laksamana Cheng Ho itu dua kali singgah di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Kemudian kita pernah jadi jalur sutra, perdagangan sutra pada abadke-15. Kita berhubungan dagang dengan Eropa, dengan VOC. Kita kemudian jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia abad 19. Dan memori-memori itu justru menjadi motivasi untuk kita. F : Sekarang lebih masuk ke Pemkotnya ya Pak, identifikasi Keraton terhadap pemkot itu seperti apa pak? J : Ya Pemkot kan bagian struktural dari pemerintah pusat, ya tentu kita sama saja. Kita saling menghargai lah, bisa dikatakan mitra. Ya dalam konteks itu ya, konteks kenegaraan kan kita dalam binaan pemerintah. Kan ada dalam UU, kewajiban pemerintah untuk melestarikan dan membina adat dan tradisi. Itu kita bagian dari institusi itu, kalau bicara institusional Keratonnya kan berbeda lagi. Kita kan kalau sudah komitmen bersatu dengan NKRI, kita kan ikut UU. Kita berkiprah disitu saja lah, mau tidak mau. Contoh kita harus bikin KTP, ya Sultan Sepuh juga bikin KTP. F : Sejauh ini kegiatan Keraton apa saja yang melibatkan Pemkot pak? J : Hampir seluruh kegiatan adat dan tradisi itu kami melibatkan pemerintah. Pemkot dalam hal ini kan jangan kemudian dikerucutkan DISPORBUDPAR. Umpamanya kita hanya mengundang walikota, memang kemudian yang paling sering didelegasikan ya DISPORBUDPAR. Tapi umpamanya kegiatan yang lebih bersifat teknis, seperti pertanian, maka dinas pertanian yang diundang. Lebih ke kelautan, lingkungan. Ya memang selama ini kan lebih banyak tema kebudayaan. Pariwisata dan kebudayaan. Oleh karenanya ya DISPORBUDPAR. Tadi event tradisi, event-event budaya dan pariwisata kita ciptakan juga. Seperti kita saat ini di Cirebon ini tidak ada panggung yang menyediakan penampilan tari-tarian kesenian Cirebon yang reguler. Kita sediakan sunyaragi, walaupun sebenarnya kewajiban pemerintah lah. Kita inisiasi. Sekarang jadwalnya sudah bulanan. Ada di sunyaragi dan Keraton Kasepuhan. Karena tamu dari Jakarta atau dimanapun akan bertanya, pengen tahu kesenian Cirebon apa dan waktunya kapan. Jadwal bulanan tersebut sudah mesti kita laksanakan. Dan semua itu sudah kita kirimkan ke semua instansi, termasuk Pemkot. Ke Kementrian Pariwisata, ke Gubernur Jawa Barat, Dinas Pariwisata Jawa Barat, biar mereka tau juga. Belum lagi Gotrasawala, Festival Pesona Cirebon, yang kemarin kita melibatkan banyak pihak, termasuk dari luar negeri juga. Ada Festival Pesisir. Ada Festival Family tour de Keraton. Ada Wangsa Enggal. Dan hampir setiap event yang ada selebrasinya kami mengundang pemerintah. F : Baik buruknya hubungan suatu lembaga kan sedikit-banyaknya akan dipengaruhi oleh bagaimana kedua lembaga tersebut berkomunikasi, secara prakteknya begini, kalau misalkan ada rapat, sebut saja rapat menyangkut kebudayaan dan pariwisata, biasanya cara atau strategi yang digunakan oleh pak Sultan atau Keraton itu bagaimana pak? J : Ya pertama bahwa tentu kita kan harus punya visi dan misi yang sama, berdasarkan persamaan itu, kita terapkan dalam setiap aktivitas dan kegiatan, termasuk dalam rapat-rapat tema kebudayaan tentu yang harus kita usung adalah bagaimana memajukan, melestarikan adatn dan budaya yang ada. Kita bagaimana mengingatkan pemerintah, mengevaluasi, seperti apa kinerjanya, kalau misalkan ada yang harus dikoreksi ya kita koreksi bersama. Kita juga meminta msukan juga, bagaimana. Jadi ya pola kebersamaan lah yang kita kedepankan. Karena kan kita juga tidak bisa sendiri-sendiri. Biar pun kita dalam posisi, kita kan sebagai lembaga adat dan tradisi yang cukup lama lah. Jadi, ada atau tidak adanya respon atau tidak ya kita terus jalan. Jadi bukan umpamnya tadi kan tidak semua jajaran pemerintah itu merespon dengan baik, ya kita dengan atau tanpa mereka tetap jalan, kita berbuat. F : Kalau kita bicara tentang cara berkomunikasi, seperti yang kita tahu bahwa komunikasi tatap muka itu biasanya lebih efektif dibandingkan surat-menyurat, kalau kita bicara rentang waktu setahun, pihak Keraton dengan pemkot lebih sering bertatap muka atau menggunakan media? Bagaimana kemudian ketika Keraton punya event, lebih sering diresponnya atau tidak? J : Yang jelas secara umum disetiap kegiatan kami selalu mengundang Pemkot, terus terkadang hadir, misalnya Festival Pesona kemarin, mentri hadir, walikotanya tidak hadir, tapi diwakilkan, artinya bukan top leadernya. Tapi kita bukannya tidak mengundang. Mereka menjalankan sesuai amanah sebagai pemerintah atau tidak kan tanggung jawab mereka. Kalau kita kan sudah mengundang. Sudah melaksanakan. F : Bagaimana kemudian diselenggarakan pemkot? Keraton merespon kegiatan-kegiatan yang J : Kita selalu mengutus, kalau undangan itu kan biasanya kepada Gusti Sultan ya. Kalau beliau berhalangan, hampir selalu beliau mendelegasikan. Siapa yang mewakili ya ada. Seperti tadi yang datang Iman Sugiman. Di tempat lain ya ada. Karena kita kan organ banyak tuh, yang BPKK dan tradisional. Beliau memilah, rapat paripurna yang hadir ya siapa gitu, sertijab. Beliau kalau berkesempatan ya hadir. Upacara 17 Agustus umpamanya. Terakhir beliau diundang ke Istana Merdeka kan, beliau hadir disana. Kota ngundang, provinsi ngundang, jadi ya diwakil-wakilkan. Di provinsi putra mahkota umpamanya. Selalu ada pendelegasian. Kita kan harus menghargai yang mengundang. F : Faktor pendukung baiknya hubungan Keraton dengan pemkot apa saja pak? J : Ya semua kan harus membangun daerah, dan tidak boleh melupakan akar sejarahnya. Itu pastilah. Dari situ akan tumbuh sikap-sikap saling mengahargai, menghormati bahwa dalam perjalanannya Keraton ini adalah bagian dari NKRI, itu kan sudah kita terus komitmen. Pertahankan. Tinggal sekarang, sikap-sikap dari pemerintah seperti apa. Dan itu semua kan sudah diatur di UU. Ada UU Cagar Budaya, ada UU macem-macem lah. Saya kira harus menghargai akar sejarah. Sama-sama orang Cirebon, sama-sama ingin membangun Cirebon. Kalau mungkin orang terlalu priomordial ya. Saya kira pola-pola komunikasi itu harus dibangun dengan dasar saling menghormati, karena kan semuanya aset negara baik pemerintah maupun Keraton. Semuanya aset negara. Keraton ini aset negara, kita dimana-mana membawa nama indonesia. Atas nama Indonesia. F : Faktor penghambat dalam hubungan antara Keraton dengan pemkot itu sendiri bagaimana pak? J : Mungkin kedua belah pihak ada pertemuan yang terselenggara. Harusnya ketemu tapi malah tidak ketemu. Akhirnya kan ada kesan yang kurang baik. Walaupun disisi kami sih merasa kendala itu ya ketertutupan. Karena kami terbuka dengan siapapun. Ketertutupan itu, jadi tahu-tahu menjudge secara pihak. Ya itu saya ambil contoh, bahwa Keraton tertutup. Yang begitu kan kita aneh. Selama ini karena kami terbuka.justru yang jadi faktor penghambat adalah ketertutupan dari pemerintah. Karena kami selalu mencoba terus membuka diri. Welcome-lah terhadap ide-ide yang membangun. Biarpun kami sebagai institusi harus dihormati. Dan keterbukaan itu tidak bisa juga semua orang mengintervensi. Dalam tataran yang semestinya lah. Skrip Wawancara Sugiono Narasumber : Sugiyono (Kasie Bina Niltrasepur DISPORBUDPAR) Waktu : 24 Desember 2015 F : Kalau bapak sendiri sudah di DISPORBUDPAR sudah berapa lama pak? S : Sudah empat tahun sebagai kasie bina niltrasepur F : Pertama, kalau bicara pola komunikasi kan kita bisa lihat dari seringnya kita berinteraksi, kalau dari pemkot sendiri nanti kan kita bisa bagi lagi menjadi ruang formal dan informal, kalau formal melibatkan misalkan nanti ada suratnya,undangannya,ataupun pertemuannya bisa seperti rapat-rapat atau koordinasi. Kalau ruang informalnya kan bisa seperti pembinaan. Kalau ruang formalnya, agenda pemkot yang berkaitan dengan keraton itu apa saja pak? S : Misalkan dalam rangka penyelenggaraan FKN. Itu biasanya dinas memanggil para sultan untuk duduk bareng membicarakan masalah persiapan FKN. Itu yang formal ya. Terus misalkan dari keraton mengundang dinas dalam rangka gotrasawala. Gotrasawala itu seminar mengenai sejarah bagaimana sih Cirebon ini,mau dibagaimanakan sih Cirebon ini. Karena gotrasawala ituadalah kebiasaan para leluhur yang diprakarsai oleh pangeran Wangsakerta. Untuk berembuk,mau kemana nih Cirebon itu. Dari pihak keraton yang mengundang Pemkot. Sejauh ii sudah seringkali,tapi yang melibatkan dari asing, sekaligus mengundang juga dari Perancis, Belanda.melalui kedubes. Tempatnya di Cirebon. Mengundang warga asing sekaligus juga minta pandangan. F : Kalau menurut bapak hubungan pemkot dengan keraton itu sendiri seperti apa pak? S : Kalau pemkot dengan keraton,kita itu sebagai pengemban pelaksana UU. Baik UU cagar budaya no.11 tahun 2010, ataupun UU kepariwisataan. Dimana pemerintah ditunjuk sebagai pembina. Misalkan dalam rangka pelestarian, pemeliharaan.kemarin saja, saat satu muharram, kita kan ada kegiatan baca babad, sorenya kan shalat berjama’ah terus dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Disitu ada miskomunikasi yang mana, dari kanoman membrikan izin untuk masuk ke dalam tapi dari kasepuhannya tidak. Makanya walikota agak marah. F : Kalau bicara hubungan antar lembaga kan tentu baik atau buruknya hubungan antar lembaga kan sedikit banyaknya akan dipengaruhi oleh orang-orang yang berinteraksi. Misalkan dari pemkot itu siapa dan dari keratonnya sendiri siapa, maka akan terbentuk pola-pola komunikasi. Kalau dipemkot itu sendiri, kira-kira ada pemilihan orang-orang tertentu atau tidak pak untuk setiap pertemuannya? S : Biasanya dari bagian umum dipemkot. Manakala ada pejabat negara, baik itu gubernur, mentri atau pejabat setingkatnya yang mau berkunjung ke keraton kan biasanya datangnya ke Pemkot. Baru dari bagian umum itumemberikan suatu permintaan agar keraton kasepuhan siap menerima tamu. Kalau yang informal biasanya langsung ke keraton. Karena ada kekerabatan. Kalau formal ya melalui kita. F : Bicara cara komuniaksi, biasanya pihak pemkot sendiri untuk berinteraksi dengan keraton. Misalkan dalam jangka waktu setahun, lebih sering tatapmuka kah atau via surat atau bagaimana? S : Seringnya bertatap muka, karena kita itu sebgai pelaksana UU. Yang mana amanat dari UU tersebut kita itu sebagai pembina, misalkan masalah cagar budaya, kita kan katakanlah datang melihat, meninjau masalah pelestarian, masalah pemeliharaannya kepariwisataan, mungkin bagaimana, yang pembangunannya. ditanyakan kaitannya Kalau dari langsung dari kepariwisataan. Seringnya mah bertatap muka, hampir setiap bulan sekali. Kita meminta data kunjungan. Mereka datang melaporkan. F : Kalau dari interview kita, boleh saya simpulkan hubungan keraton dengan pemkot itu bisa dibilang baik. Kira-kira menurut bapak faktor pendukung baiknya hubungan tersebut apa saja pak? S : Yang jelas gini ya, kota cirebon sendiri tidakmemilikiandalan yang lain untuk masalah PAD selain dari kebudayaan. Nah sementaramasalah budaya adanya di keraton dan situs-situs budaya. Kalau kita tidak membenahi keraton dan situs-situs tersebut PAD kita akan kurang optimal. Karenakita bukan kota industri, pelabuhan dikelola oleh PELINDO. Jadi andalan PAD kota Cirebon ya dari sektor kepariwisataan. Makanya kita ya harus baik-baik dengan keraton, kita benahi juga situs-situs kebudayaan. Agar wistawan itu datang, dengan banyaknya wisatawan datang kan pajak hotel masuk ke kas daerah. Rumah makan juga kan pajaknya masuk kekas daerah. Dan kita gak punya andalan apa-apa. F : Kalau faktor penghambat hubungan pemkot dengan keraton itu apa saja pak? S : Penghambat yang pertama itu bisanya manakala kitamembenahi salah satu obyek kita terkendala oleh dana yang minim. Anggaran yang dimiliki pemkot itu sangat minim, makanya kita maksimalkan dengan anggaran yang ada walaupun hasilnya kurang memuaskan. Kedua, dari kalangan keraton ataupun masyarakat sekita masih beranggapan bahwa urusan pemeliharaan semua tanggung jawab pemerintah. Padahal amanat UU itu bukan hanya pemerintah tetapi masyarakat juga turut andil. Ada rasa memiliki. Sementara ini belum muncul. Mereka masih selalu beranggapan pemerintah yang mengurusi.betul kita sebagai pelaksana karena tupoksi. Tapi kan msyarakat juga harus turut serta. Misalkan begini, wisatawan berkunjung ke objek wisata yang pertama tentu ingin aman, nyaman, ngangenin, biar balik lagi. Sementaraini hal-hal tersebut belum tercipta karena misalkan rasa aman, dia diikuti oleh peminta-peminta. Selain itu masalah sarana tempat kemdaraan, orang kan maunya naro kendaraan di tempat yang aman. Nyamannya, tidak ada tumpukan sampah. Kalau ada sampah menggunung kan , duh kotor sekali, dia akan ngomong ke yang lain ngapain main-main kesana, kotor. Nah itu yang belum ada di pikiran masyarakat, tidak bisa menciptakan sapta pesona itu. Terus terang orang keraton juga, masih mengandalkan pemerintah saja. Jangan mengandalkan kita saja, itu juga jadi urusan bersama. Kita terbatas oleh tenaga dan waktu. Tidak menyalahkan, belum ada kesadaran saja. Skrip Wawancara Wiyono Narasumber : Wiyono (Kasie Bina Usaha Pariwisata DISPORBUDPAR) Waktu F : 24 Desember 2015 : Kalau bapak sendiri di DISPORBUDPAR sudah berapa lama? W : Ya kalau disini, pengangkatan 1998. Berarti sekitar 15 tahun. Sebelumnya saya di Padang, Sumatra Barat. Kebetulan waktu itu saya ikut tes CPNS-nya di sana. Divisi kebudayaan.karena enggak ngerti eh tau-tau SK-nya disana. Sekitar 2 tahun disana. Mengajukan pindah kesini.tapi untungnya masih mudah untuk urusan pindah. F : Kalau bapak sendiri memegang jabatan apa di DISPORBUDPAR? W : Kasie Bina Pariwisata. F : Sudah berapa lama sebagai kasie bina pariwisata pak? W : Sudah dari 2011 ya. Cuma ya memang basicnya bukan disini,karena latar belakangnya dari seni. Kaya kurang sesuai. F : Tentang kegiatan dari pemkot, utamanya dari sektor kepariwisataan yang melibatkan keraton kasepuhan itu apa saja ya pak? W : Yang melibatkan keraton itu kebetulan ya keraton itu kan sebagai obyek wisata. Kita kalau dalam hal ini memang ada hubungan ya. Cuma yang berhubungan langsung dalam satu kegiatan yang disinergikan dengan keraton belum. Biasanya yang itu dari pemkot langsung ada bantuan atau stimulan lah bahasanya. Stimulan dari APBD Kota ke keraton. Besarannya kurang tau tuh. Ya dulu mah 50 juta. Sekarang tuh kita belum tau persis. Dulu kalau di kebidayaan kita, sebetulnya selain di kepariwisataan juga kan kebudayaan ya, karena ada cagar budayanya mungkin. Pemeliharaan ya. F : Kalau kita bicara tentang interaksi ya pak, hubungan antara pemkot dengan keraton itu kan kalau kitakategorisasikan nanti bisa masuk ke bentuk formal dan informal. Yang formal itu nanti bisa dalam rapat, seminar, ataupun pelatihan kalau dalam hal kepariwisataan. Kalau ruang informal kan bisa misalkan nimbrung bareng, ada acara sowan lah. Kalau misalkan dari kepariwisataan untuk ruang formalnya dulu kira-kira apa saja pak? W : Kalau yang kita lakukan selama ini memang ada hubungan formalnya, dengan data pengunjung. Jadi kita tunjuk salah satu jupel, untuk melaporkan setiap bulan. Kita kasih dana, jadi kita saling memberikan apa ya,kami membutuhkan data mungkin mereka juga membutuhkan sesuatu yang butuh diterima. Ya memang tidak seberapa. Ya paling kalau ada rapat. Biasanya juga kalau ada kegiatan FKN, kita hanya membrikan stimulan saja. Itu juga tidak signifikan. Kemarin itu cuma 30 juta. Karena memang keraton juga sudah dianggarkan oleh propinsi maupun pusat. Kita hanya memberikan stimulan saja. F : Kalau tadi saya tanya sama pak Giyono, ada juga tentang Gotrasawala, nah itu bagaimana penjelasannya pak? W : Gotrasawala itu memang juga dibiayai oleh provinsi. Belum lama ini minta kita laksanakan november, memang kerjasama dengan keraton. Penggagasnya keraton. Kalau FKN dari Pemkot. Walikota pasti datang, berikut juga dari bagian kebudayaan dan pariwisata. Kemarin juga alhamdulillah saya sempat nonton pagelarannya juga, yang terakhir itu ada dari Bandung yang ngisi. F : Kalau menurut bapak, hubungan keraton dengan pemkot itu bagaimana pak? W : Cukup baik. Ya sampai saat ini mah cukup baik. F : Sekarang tentang hubungan antar lembaga. Baik atau buruknya hubungan antar lembaga kan dipengaruhi oleh siapa yang berinteraksi, artinya nanti dari pemkot itu siapa dan dari keraton itu siapa, dan bagaimana pola interaksinya. Kalau dari bagian pariwisata, ada strategi khusus enggak pak misalkan acaranya tentang rapat gotrasawala, penunjukan delegasinya itu seperti apa? W : Nah sebetulnya kalau gotrasawala kita kan sebagai undangan saja, tidak dilibatkan secara langsung. Yang biasa kita tahu itu dinas dapat undangan, segaala sesuatu tentang pelaksanaan dan urusan internnya kita tidak tahu persis. Kalau penunjukan orang yang terlibat di FKN itu ditunjuk langsung oleh sultan. Nanti sulta yang menunjuk nama-nama terkait. Sepenuhnya hak dari sultan masing-masing. Memang keraton juga sebelumnya pasti sudah tahu karena merupakan event tahunan. Justru lebih sering interaksi dalam hal itu keraton dengan keraton. F : Bicara tentang cara pak, kalau tadi kan penunjukan orang. Dari pemkot sendiri, utamanya bagian pariwisata, misalkan dalam jangka waktu setahun, itu biasanya lebih sering melalui surat atau tatapmuka/ W : Kayanya kalau tatap muka sih jarang ya, saat-saat tertentu saja. Biasanya surat. Ya karena kita tau kesibukan sultan kan. Tidak sembarangan mau menghadap sultan tuh.ada protokoler yang harus dilewati. Kalau kami setiap saat bisa ditemui untuk koordinasi. Tapi kalau sultan, ya kita harus konfirmasi. Perjanjian dulu. Minimal 2 hari sebelumnya kita kirim surat. Tapi ya tidak langsung ke sultan. Nanti ke staffnya. Lalu nanti ada jawaban sultan siap menerima tamu, tanggal sikia, jam sekian. Kita ngikutin aturan sana. Yang pernah saya alami, saya tidak bisa ketemu. Pikir saya sultan kan ada di keraton, untuk mengkoordinasikan FKN ternyata sampai sana ya tidakketemu. Ketemunya sama staffnya saja. F : Kalau bicara pariwisata kan mesti bicara tentang objek wisatanya pak. Kalau di Cirebon ya keraton. Kalau dari keraton sendiri kan perihal laporan data pengunjung kan setiap bulan datang. Kalau dari pemkot sendiri, ada jadwal kunjungan teratur atau tidak pak? W : Kalau kita tidak ada jadwal kunjungan teratur seperti itu. Istilahnya kalau ada keperluan saja kita kesana. Karena kita hubungannya dengan jupel itu, jadi kalau ada informasi kita sampaikan ke juru pemelihara. Jadi tidak ditargetkan harus ada berapa kali kunjungan kesana. Kecuali kalau ada kegiatan, seperti muludan ini kadang kita kan tidak ada istilahnya harus kirimsurat kesana, ya tinggal datang, dari kebudayaan itu biasanya. Kalau kita yasemua pariwisata kita ayomi. Promosi juga masuk lah. F : Faktor pendukung dari baiknya hubungan keraton dengan pemkot itu kira-kira apa saja? W : Selain karena kita satu daerah yamungkin karena merupakan bagian dari obyek pariwisata ya jadi kita harus bisa memberikan apresiasi. Apalagi keraton kan punya nilai sejarah yang tinggi. Kita akui di wilayah Jabar lah yang masih ada keraton ya di Cirebon. Peninggalan budaya yang masih nyata dan ada. Kalau yang lain sebatas nilai sejarah yang diketahui saja. Bisa dilihat secara langsung bentuk keratonnya seperti apa, sultannya pun masih ada. Bedanya dengan Jawa ya masih kental, kan masih jadi pemerintahan. Dan memang itu dijual tidak boleh, karena milik negara. Pembangunan saja kalau sudah tidak sama dengan aslinya tidak boleh. Jadi kalau tidak sembarangan mau memugar itu. F : Faktor penghambatnya bagaimana pak? W : Barangkali kadang tidak tepat waktu untuk melapor. Karena memang sedang ada kegiatan yang cukup padat di keraton. Setiap tanggal 5 biasanya.tapi kebanyakan memang telat. Cuma kadang kita kerepotannya akalu ada yang meminta data. Minta data triwulan satu dan dua, kebetulan datanya baru sampai triwulan satu. Nah itu paling kendalanya disitu. Untuk update data kurang maksimal. Untuk urusan rapat cukup baik responnya, kalau sultannya sendiri datang kan agak sulit. Jadi ya paling diwakilkan oleh staffnya. Tapi kami cukup ma’lum. Terkadang ya kalau memang itu betul-betul urgent ya datang. Biasanya yang banyak itu seringnya kita sowan kesana. Catatan Observasi 1 Kegiatan : Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat) Tanggal : 17 Desember 2015 Tempat : Keraton Kasepuhan Rapat koordinasi ini pada dasarnya bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh persiapan dalam penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang kerap kali disebut Panjang Jimatan. Semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan Maulid dikumpulkan sembari masing-masing melaporkan persiapan dan kesiapannya dalam penyelenggaraan kegiatan ini. Rapat seperti ini dibutuhkan demi terlaksananya perayaan Maulid dengan baik dan lancar. Pada rapat koordinasi ini pihak Keraton Kasepuhan turut mengundang perwakilan dari Pemerintah Kota dari tingkat RT sampai Walikota, TNI, dan Kepolisian setempat. Namun, pada kesempatan tersebut Walikota tidak sempat hadir dan diwakilkan oleh pejabat di bawahnya. Kapolsek Lemahwungkuk beserta jajarannya turut menghadiri rapat ini. Kehadiran pihak kepolisian dalam hal ini menjadi penting mengingat dibutuhkan kerjasama yang baik dalam mengamankan dan juga menertibkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan. Selain memang rapat koordinasi juga dijadikan momen silaturahmi bagi kerabat dan sanak famili Keraton Kasepuhan. Mereka yang masih berstatus Sanak famili dan kerabat yang berasal atau menetap di luar wilayah Cirebon pun menyempatkan untuk hadir dan berpartisipasi. Sehingga suasana rapat pun erat dengan nuansa kekeluargaan. Sebelum rapat dimulai para hadirin dipersilahkan untuk menyantap makan siang terlebih dahulu. Nuansa kekeluargaan semakin terasa dengan santap makan siang yang dikemas dengan model perasmanan dan mengambil tempat di ruang pertemuan lesehan yang berada di lingkungan keraton. Rapat koordinasi ini masuk ke dalam kategori komunikasi formal. Sehingga pola komunikasi yang dibangun adalah pola komunikasi formal. Rapat dibuka oleh Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat S.E. Dimulai dengan sambutan yang disampaikan oleh Sultan Sepuh XIV. Dalam sambutannya tersebut Sultan Sepuh XIV juga menyampaikan tentang persiapan dan kesiapan pihak Keraton Kasepuhan dalam penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain tentunya meminta bantuan dan mengharapkan kerjasama dengan seluruh pihak terkait demi kelancaran perayaan Maulid tersebut. Bantuan yang sangat diharapkan tentunya terkait dengan masalah keamanan, ketertiban dan kebersihan yang memang tidak bisa sepenuhnya di kerjakan sendiri oleh pihak keraton. Mengingat perayaan Maulid di Keraton kasepuhan merupakan kegiatan tahunan yang selalu menarik masyarakat, baik yang berasal dari wilayah Cirebon sendiri ataupun yang berasal dari luar. Maka jumlah pengunjung tiap tahunnya semakin meningkat dan kepadatan pun semakin tak terkendali. Setelah selesai menyampaikan sambutan dan memberikan pesan kepada seluruh hadirin, Sultan pun memberikan kesempatan berbicara kepada tamu undangan. Pada kesempatan tersebut, Ibu Lurah yang dalam hal ini juga mewakili Pemerintah Kota turut memberikan sepatah-dua patah kata sebagai bentuk komunikasi dan kontribusi yang dapat diberikan selaku kepanjangan tangan Pemerintah. Setelah Ibu Lurah menyampaikan pesan-pesannya, Kapolsek Lemahwungkuk juga tidak melewatkan kesempatan tersebut untuk meminta kerjasama kepada seluruh pihak demi kelancaran dan ketertiban perayaan Maulid ini. Utamanya dalam menjaga keamanan sehingga tidak terjadi tindak kriminalitas seperti pencopetan, pencurian dan sebagainya. Hal ini sangat perlu dilakukan karena perayaan seperti ini akan mengundang banyak orang untuk datang dan dalam keramaian tindak kriminal sangat mungkin untuk terjadi. Sehingga kerjasama dari semua pihak akan sangat dibutuhkan dalam menangani permasalahan seperti ini. Setelah meminta semua pihak untuk terus berkoordinasi dan bekerja sama, rapat pun dilanjutkan ke agenda selanjutnya, yakni pembacaan dan penyerahan Surat Keputusan Kepanitiaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW kepada panitia yang telah ditentukan. Selesai penyerahan Surat Keputusan secara simbolik, kegiatan rapat koordinasi ini pun ditutup dengan pembacaan do’a yang dipimpin langsung oleh Sultan Sepuh XIV. Catatan Observasi 2 Kegiatan : Maulid Nabi Muhammad SAW (Upacara Panjang Jimat) Tanggal : 25 Desember 2015 Tempat : Keraton Kasepuhan Perayaan Maulid ini seperti yang sudah disinggung pada rapat koordinasi merupakan kegiatan tahunan yang sangat menarik masyarakat. Perayaan Maulid di Keraton kasepuhan memiliki daya tarik tersendiri karena disertai dengan upacara panjang jimat pada puncak perayaannya. Upacara panjang jimat sangat menarik masyarakat setempat dan luar karena disertai dengan ritual panjang jimat. Panjang jimat merupakan ritual upacara dengan membawa benda-benda pusaka dan makanan dari dalam keraton ke langgar (mushola) alit di lingkungan keraton disertai dengan atribut keraton untuk kemudian dibacakan doa. Dan di akhir upacara ada momen berebut makanan yang diyakini membawa keberkahan. Perbedaan perayaan Maulid di Keraton kasepuhan dengan tempat lain juga terlihat dari ramainya penjual yang menjajakan dagangannya disekitaran keraton. Dari bagian luar yang merupakan lapangan dan halaman Masjid Agung Sang Cipta Rasa sampai halaman dalam keraton. Sehingga melibatkan masa yang cukup banyak dari sebelum puncak perayaan. Kegiatan ini mengundang pihak Pemerintah Kota serta seluruh perangkatnya. Termasuk dari TNI dan kepolisian setempat. Selain tentunya para sanak famili dan kerabat keraton. Pada perayaan Maulid kali ini pun para peneliti diundang dan dipersilahkan sebebas-bebasnya untuk turut serta dan mengambil data yang diperlukan untuk penelitian. Disamping itu juga, datang perwakilan dari Afrika Selatan yang memang sebelumnya ingin diundang dan melihat bagaimana perayaan Maulid di Keraton Kasepuhan. Perayaan Maulid dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Sultan Sepuh XIV. Dilanjutkan dengan laporan staff Sultan yang menyampaikan bahwa seluruh persiapan telah selesai. Setelah diizinkan oleh Sultan untuk melanjutkan upacara, maka para pembawa benda-benda pusaka yang memakai pakaian tradisional dan makanan yang sudah dibungkus sedemikian rupa pun berjalan satu per satu. Mengambil rute dari dalam keraton sampai dengan langgar alit di halaman keraton. Rute tersebut sebelumnya telah dihiasi dengan lampion-lampion dan atribut Keraton Kasepuhan. Sesampainya di langgar alit benda-benda pusaka dan makanan tersebut dibacakan doa untuk kemudian diarak ke depan keraton dan perebutkan oleh warga yang sudah menunggu. Momen berebut makanan tersebut menjadi akhir dari serangkaian agenda Maulid tersebut. Catatan Observasi 3 Kegiatan : Sosialisasi Sadar Wisata Bagi Para Stakeholders Pariwisata di Kota Cirebon Tanggal : 28 Desember 2015 Tempat : Hotel Pia, Cirebon Kegiatan ini merupakan program yang diselenggarakan oleh DISPORBUDPAR Kota Cirebon dalam rangka meningkatkan daya tarik pariwisata di Kota Cirebon. Sektor kepariwisataan di kota Cirebon sendiri memang masih belum bisa dikatakan baik, baik dari segi penampilannya maupun pengelolaannya. Oleh karena itu, seluruh stakeholders kepariwisataan di Kota Cirebon diundang untuk merembukkan formula yang tepat demi menarik wisatawan domestik dan asing. Para stakeholders tersebut meliputi perwakilan dari Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Juru Kunci Makam Sunan Gunung Jati, Juru Kunci Situs Gua Sunyaragi dan lain sebagainya. Selain mengundang para stakeholders kepariwisataan kota Cirebon, kegiatan ini juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat sebagai perwakilan dari Pemerintah. Beliau diundang untuk menampung aspirasi pegiat pariwisata dalam meningkatkan sektor kepariwisataan secara simultan dan bersama-sama. Salah satu tujuan utama dari terselenggaranya kegiatan ini adalah terjalinnya kerjasama yang baik antara pemerintah, stakeholders pariwisata dan swasta dalam pengelolaan pariwisata, sehingga sektor pariwisata di kota Cirebon semakin menarik wisatawan domestik dan asing. Kegiatan yang mengangkat tema “Sosialisasi Sadar Wisata bagi Para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon” itu sendiri berjalan lancar. Dibuka dengan pembacaan laporan Ketua Pelaksana kepada Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon. Selesai pembacaan laporan, acara pun diisi dengan sambutan-sambutan yang disampaikan oleh Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat. Sebagaimana kegiatan sosialisasi pada umumnya, Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat yang didampuk menjadi pembicara memaparkan tentang bagaimana keadaan pariwisata di Kota Cirebon sekarang ini, perbedaanya dengan pariwisata di daerah lain seperti Bali dan Jogjakarta, dan bagaimana rencana serta master plan pariwisata di Kota Cirebon pada masa yang akan datang. Selepas memberikan materi tersebut, para pembicara pun mempersilahkan peserta untuk memberikan respon terhadap materi dan informasi yang disampaikan. Walaupun memang pada prakteknya para peserta lebih tertarik untuk merespon masalah-masalah yang mereka temui dalam sektor pariwisata yang mereka pegang masing-masing. Seperti keluhan yang disampaikan oleh salah satu peserta dari agen tour dan travel, beliau mengeluhkan sulitnya menjual pariwisata kota Cirebon karena mahalnya harga yang harus dibayar dari setiap transaksinya. Transaksi yang dimaksud meliputi harga hotel, kuliner, tiket masuk, dan parkir yang sedemikian mahalnya dibandingkan dengan daerah lain seperti jogja misalnya. Selain menyampaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan, para peserta juga menyampaikan usulan-usulannya agar sektor pariwisata di Cirebon dapat lebih baik lagi. Seperti yang disampaikan oleh perwakilan dari pemerhati pariwisata Cirebon, yang mengusulkan pembangunan candi bentar di setiap gedung yang berdiri di Cirebon sebagai bentuk pengukuhan identitas dan simbolisasi kekhasan kota Cirebon. Perwakilan dari Keraton kasepuhan pun ikut turut memberikan sarannya, yang dalam hal ini adalah Pak Iman Sugiman. Beliau berpendapat bahwa salah satu yang menyebabkan sektor pariwisata Cirebon menjadi begini saja dan cenderung jalan di tempat adalah karena tidak adanya branding yang kuat, seperti kota Jogjakarta yang mengidentifikasi dirinya sebagai Jogja Istimewa. Idiom Jogja Istimewa pun menjadi kekhasan Jogja dan menjadi hanya milik Jogja. Sehingga membekas dan memberikan kenangan tersendiri bagi masyarakat, atau khususnya para wisatawan, baik domestik maupun asing. Setelah sesi tanya jawab, acara pun ditutup dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan. Gambar 1.1. Pemberian Surat Keputusan Panitia MaulidNabi Muhammad SAW oleh Sultan Sepuh XIV kepadapanitiapadaacaraRapatKoordinasiPenyelenggaraanMaulidNabi Muhammad SAW. Gambar 1.2. Sultan Sepuh XIV P.R.A. AriefNatadiningrat, SE. MemberikansambutanpadaRapatKoordinasiMaulidNabi Muhammad SAW. Gambar 2.1. Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon, Dana Kartiman, memaparkan materi tentang kepariwisataan di Kota Cirebon pada kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata. Gambar 2.2. Kepala DISBUDPAR Jawa Barat, menjelaskan tentang proyeksi pariwisata provinsi Jawa Barat.