POLA KOMUNIKASI PEMANGKU JABATAN

advertisement
POLA KOMUNIKASI PEMANGKU JABATAN KERATON KASEPUHAN
DENGAN PEJABAT PEMERINTAH KOTA CIREBON
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
AHMAD FAJAR NUGRAHA
NIM: 1111051000033
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
ABSTRAK
Ahmad Fajar Nugraha
Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan Dengan Pejabat
Pemerintah Kota Cirebon
Cirebon merupakan suatu daerah yang berada di pesisir Jawa Barat. Sebagai salah
satu daerah tertua di Indonesia, Cirebon pun memiliki sejarah yang cukup panjang.
Hal ini bisa kita lihat dari warisan cagar budaya berupa Keraton yang hingga saat ini
masih ada dan turut memegang peranan penting pada masyarakat Cirebon, utamanya
perihal masalah budaya dan kebudayaan. Dengan masih berdiri dan berperannya
Keraton membuat Cirebon memiliki dua model pemerintahan, Keraton Kasepuhan
sebagai pemerintahan kultural dan Pemerintah Kota sebagai pemerintahan struktural.
Keberadaan dua pemerintahan tersebut tentunya sangat rentan akan konflik jika tidak
dilakukan upaya pemeliharaan hubungan yang baik. Upaya pemeliharaan hubungan
yang baik tersebut mutlak dilakukan demi kemajuan Cirebon secara struktur dan
infrastruktur.
Berdasarkan pemaparan di atas tersebut ditemukan rumusan masalah sebagai
berikut: Bagaimana pola komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan
pejabat Pemerintah Kota? Bagaimana pola komunikasi pejabat Pemerintah kota
dengan pemangku jabatan Keraton Kasepuhan?
Metode penelitian yang digunakan kali ini adalah penelitian kualitatif. Di mana
peneliti berupaya untuk menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang
diteliti. Adapun teknik pengumpulan data yang berupa observasi, wawancara dan
dokumentasi.
Teori yang digunakan adalah interaksionisme simbolik yang dicetuskan oleh
George Herbert Mead. Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus
bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut.
Kemudian, penelitian ini juga menggunakan konsep pola komunikasi formal dan
informal yang digagas oleh Khomsahrial Romli. Selain itu, digunakan juga konsep
pola komunikasi menurut H.A.W Widjaya dalam bukunya Ilmu Komunikasi
Pengantar Studi. Ada empat pola komunikasi yaitu pola roda, pola rantai, pola
lingkaran dan pola bintang.
Hasil dari penelitian yang dilakukan yaitu, pola komunikasi yang digunakan oleh
pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota adalah pola-pola
komunikasi yang berorientasi pada kesetaraan komunikator seperti pola bintang dan
pola horizontal. Pola bintang dan pola horizontal memungkinkan setiap komunikator
untuk saling bertukar pesan dan memberikan respon secara langsung tanpa
memandang status sosial ataupun hal-hal yang dapat membedakan hak-hak
komunikator dalam berbicara.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji bagi Allah. Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada
baginda Nabi Muhammad SAW berikut seluruh keluarga, sahabat, beserta
orang-orang yang mengikuti petunjuknya.
Selama penulisan skripsi ini penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, yakni ibu Masri’ah dan bapak Sholeh yang tak kenal lelah
untuk
selalu
memberikan
segalanya
bagi
selesainya
pendidikan
anaknya.
Kakak-kakak yang selalu memberikan dorongan dan semangat.
2. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Masran, MA dan Ibu Fita Faturrohmah, M.Si selaku ketua dan
sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
4. Bapak H. Zakaria, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
membantu dan memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini dari awal sampai
selesai.
5. Kepada Sultan Sepuh XIV P.R.A Arief Natadiningrat, SE. yang telah memberikan
ii
izin kepada saya untuk melakukan penelitian di Keraton Kasepuhan.
6. Kepada
Kepala
Dinas
Pemuda
Olahraga
Budaya
dan
Pariwisata
(DISPORBUDPAR) Drs. Dana Kartiman yang telah memberikan izin kepada saya
untuk melakukan penelitian di DISPORBUDPAR.
7. Kepada seluruh narasumber dalam penelitian kali ini yakni Bapak Ahmad Jazuli,
Bapak Iman Sugiman, Bapak Dana Kartiman, Bapak Sugiyono, dan Bapak Wiyono.
8. Kepada keluarga besar UKM Bahasa-FLAT yang terus memberikan support
terhadap selesainya penelitian ini.
9. Kepada teman-teman penulis Salsabil Firdaus, Anna Rahmawati, Evi Nurlatifah,
dan Mirfa’un Nu’ma yang telah bersama-sama berjuang keras untuk lulus pada
jenjang strata satu ini.
10. Kepada Siti Khafidoh yang senantiasa menemani dan membantu penulis dalam
penyelesaian penelitian ini.
Semoga Allah SWT meridhoi setiap waktu, langkah dan pengorbanan yang telah
dilakukan selama penyelesaian skripsi ini. Amin.
Jakarta, 27 Desember 2016
Ahmad Fajar Nugraha
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
Batasan dan Rumusan Masalah ...............................................................6
Tujuan Penelitian .....................................................................................7
Manfaat Penelitian ...................................................................................8
Metodologi Penelitian ..............................................................................9
Pedoman penelitian ..................................................................................13
Tinjauan Pustaka ......................................................................................14
Sistematika Penulisan ..............................................................................15
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................................17
A. Pengertian Komunikasi ............................................................................17
B. Interaksionisme Simbolik ........................................................................19
C. Pola Komunikasi ......................................................................................21
BAB III GAMBARAN UMUM KERATON KASEPUHAN DAN
PEMERINTAHAN KOTA CIREBON ...................................................31
A. Keraton Kasepuhan ..................................................................................31
1. Sejarah Keraton Kasepuhan ................................................................31
2. Fungsi Keraton Masa Kini ..................................................................36
3. Struktur Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan ................................38
B. Pemerintahan Kota Cirebon .....................................................................42
1. Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon ...................................................42
2. Kedudukan dan Wewenang .................................................................50
3. Struktur Organisasi Pejabat Pemerintahan Kota Cirebon ...................52
BAB IV TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA ................................55
A. Profil Informan.........................................................................................55
1. Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan ..............................................55
2. Pejabat Pemerintahan Kota .................................................................56
B. Simpul-Simpul Pertemuan antara Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah
Kota ..........................................................................................................59
1. Keraton Kasepuhan .............................................................................59
2. Pemerintah Kota Cirebon ....................................................................61
C. Analisa Hasil Temuan ..............................................................................63
1. Analisa Pola Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton dengan
Pejabat Pemerintahan Kota .................................................................63
2. Analisa Pola Komunikasi Pejabat Pemerintahan Kota dengan Pemangku
Jabatan Keraton ..................................................................................80
iv
BAB V KESIMPULAN ...........................................................................................93
A. Kesimpulan ..............................................................................................93
B. Saran-saran ...............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................96
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I.
Skrip Wawancara dengan Iman Sugiman
Lampiran II.
Skrip Wawancara dengan Dana Kartiman
Lampiran III.
Skrip Wawancara dengan Ahmad Jazuli
Lampiran IV.
Skrip Wawancara dengan Wiyono
Lampiran V.
Skrip Wawancara dengan Sugiyono
Lampiran VI.
Catatan Observasi Rapat Koordinasi Perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW (PanjangJimat)
Lampiran VII.
Catatan Observasi Perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW (Panjang Jimat)
Lampiran VII.
Catatan Observasi Sosialisasi Sadar Wisata bagi para
Stakeholders Pariwisata Kota Cirebon
Lampiran IX.
Dokumentasi Rapat Koordinasi Perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW (Panjang Jimat)
Lampiran X.
Dokumentasi
Sosialisasi
Sadar
Wisata
Stakeholders Pariwisata Kota Cirebon
Lampiran XI.
Persuratan Penelitian
vi
bagi
para
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cirebon merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah cukup
panjang. Dikatakan bahwa tanah Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah
Sunda, tepatnya daerah kekuasaan kerajaan Padjajaran yang dipimpin oleh Prabu
Siliwangi. Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vasal Pate Rodim, Raja
Demak.1
Pada masa ini Cirebon dikenal sebagai pelabuhan yang memiliki
peranan penting bagi kerajaan Padjajaran. Hal ini dikarenakan banyaknya muara
sungai yang berada di Cirebon sehingga memudahkan dalam aktifitas
transportasi dan perdagangan. Kedudukan Cirebon sebagai pelabuhan dagang
disebutkan juga oleh Tome Pires dalam kunjungannya ke Cirebon pada 1513.2
Pires menggambarkan Cirebon sebagai kota yang mempunyai pelabuhan bagus.
Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari menceritakan pada
awalnya Cirebon merupakan sebuah dukuh yang dipimpin oleh seorang juru
labuhan (Syahbandar). Lalu berkembang menjadi desa yang dipimpin oleh
Kuwu (Kapala Desa). Sampai pada saat ketika struktur dan infrastruktur
pendukung kerajaan dirasa memadai barulah Cirebon menjadi Kerajaan atau
lebih familiar dengan kesultanan untuk konteks Cirebon.
1
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), 2009, hal. 161.
2
Armando Corteso (Ed), The Summa Oriental of Tome Pires: An Account of The East, London:
Haklyut Society, 1994, hlm. 183 sebagaimana dikutip oleh Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes
Tinjauan Sastra dan Sejarah, Bandung : Fak. Sastra UNPAD, 1978, hlm. 52. Lihat juga Dennys
Lombard, Nusa Jawa...,hlm. 55-56.
1
2
Pada masa kesultanan, Cirebon mencapai puncaknya ketika dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sejak dilantiknya Sunan
Gunung Jati sebagai Raja dan Wali, Sunan Gunung Jati kemudian menghentikan
Bulu Bekti kepada kerajaan Padjajaran.3 Pada masa ini, kemajuan terlihat dalam
berbagai aspek seperti ekonomi, politik dan juga penyebaran agama Islam.
Penyebaran agama Islam sendiri ditengarai mengalami kemajuan yang
signifikan karena Sunan Gunung Jati menjadikan kesultanan sebagai ujung
tombak penyiaran agama Islam. Sehingga penyiaran Islam dapat melalui hampir
seluruh aspek kehidupan yang bersinggungan langsung dengan rakyat. Namun
supremasi kesultanan Cirebon hanya sampai pada pemerintahan Panembahan
Girilaya. Setelah Panembahan Girilaya wafat, tampuk kekuasaan dilanjutkan
oleh kedua putranya yakni Martawijaya dan Kartawijaya. Martawijaya
memerintah Kesultanan Kasepuhan Cirebon dengan gelar Sultan Sepuh I/Sultan
Syamsuddin. Sedangkan Kartawijaya memerintah Kesultanan Kanoman Cirebon
dengan gelar Sultan Anom/Sultan Badruddin. Pembagian kekuasaan ini
disahkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.4
Panembahan Girilaya selanjutnya
membagi kesultanan menjadi dua, yakni Kasepuhan yang dipimpin oleh
Martawijaya dan Kanoman yang dipimpin oleh Kartawijaya.
Selanjutnya Kesultanan Cirebon mengalami keruntuhan sampai pada akhirnya
urusan politik kesultanan dicampuri oleh VOC dan mengharuskan Sultan
3
Didin Nurul Rosidin, Kerajaan Cirebon, Jakarta :Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2013, hal. 31.
4
Abdul Hadi W.M Indonesia dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Perdaban Islam), Jakarta:
PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal. 40-41.
3
Cirebon menyerahkan wilayah kekuasaannya.5 Hal - hal yang berurusan dengan
aktivitas politik dan perdagangan semuanya diatur oleh VOC. Sejak saat itu
kesultanan Cirebon tidak memiliki wilayah administratif dan wewenang
pemerintahan karena telah diakui oleh VOC, kemudian Pemerintah HindiaBelanda, Penjajah Jepang dan terakhir menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pada masa sekarang ini bisa dikatakan Cirebon memiliki dua model
pemerintahan, yakni pemerintahan struktural dan pemerintahan kultural.
Pemerintahan struktural yakni pemerintahan yang berasaskan legitimasi negara,
yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah. Berbeda dengan wewenang Raja
dimana semua yang berada di bawah langit dan di atas bumi merupakan wilayah
kekuasaan Raja.6 Pemerintah Daerah disini hanya bertugas sebagai pengelola
negara bukan pemilik yang seluruh aturan secara garis besar untuk
mengelolanyanya menurut Pemerintah Pusat dan diatur oleh Undang-Undang.
Sedangkan pemerintahan kultural sendiri ialah „institusi‟ keraton sebagai
penjaga adat dan tradisi setempat. Yang dalam hal ini berada dalam wilayah
otoritas Keraton Cirebon, baik itu Keraton Kasepuhan ataupun Keraton
Kanoman.
Seiring dengan diberlakukannya asas desentralisasi, Cirebon berada di
bawah kekuasaan Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah Pemerintah
Kota dan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Segala urusan yang berkaitan dengan
5
Ibid, hal. 40-41.
A.B. Lapian Indonesia dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan), Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal 231
6
4
hajat hidup masyarakat Cirebon diatur oleh Pemerintah daerah yang berdasar
kepada Undang – Undang 1945.
Hal-hal mengenai wewenang Pemerintah Daerah terdapat pada
perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan
susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia.
Pasal 18 ayat (1) berbunyi:
“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan
daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur UndangUndang”.
Dan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan
pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur
kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.7
Artinya pemerintahan yang berlaku dan memiliki otoritas tertinggi adalah
pemerintahan pusat bukan kesultanan. Dan pemerintahan pusat memiliki daerah
otonom yang memiliki kewenangan seluas-luasnya dalam mengatur urusan
pemerintahan. Dalam hal ini pemerintah daerah bisa kita sebut sebagai
pemerintahan struktural.
7
Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Cetakan Keempatbelas, hal. 132
5
Dengan dihapusnya fungsi pemerintahan keraton bukan berarti keraton
kehilangan eksistensinya. Karena sedari dulu selain memiliki kewenangan dalam
mengatur segala urusan pemerintahan, kesultanan Cirebon juga berfungsi
sebagai pemerintahan kultural. Pemerintahan kultural yang dimaksud adalah
sebagai pemimpin adat dan penjaga tradisi setempat. Tradisi yang berkembang
di Cirebon berasal dari dua agama yang masuk dan diterima di Cirebon, yakni
Hindu-Budha dan Islam. Hindu-Budha seperti yang kita ketahui bersama
merupakan agama yang dianut kerajaan padjajaran. Seperti dituliskan di atas
bahwa Cirebon pada awalnya adalah daerah kekuasaan Kerajaan Padjajaran.
Sehingga tradisi kebudayaan yang dianut dan dijalankan oleh masyarakatnya
pada saat itu sudah tentu bersandar pada agama Hindu-Budha. Tradisi yang
berbau agama Hindu-Budha pada masa itu diantaranya adalah sedekah bumi dan
nyadran. Tradisi yang berbasis agama Hindu-Budha ini mulai luntur ketika
Sunan Gunung Djati memimpin Cirebon. Islamisasi secara meluas yang
dilakukan pada masa itu menjadi salah satu sebab pudarnya tradisi-tradisi
tersebut. Hal yang menarik dari pergantian kebudayaan dari Hindu-Budha ke
Islam adalah prosesnya. Proses akulturasi budaya yang dipilih Sunan Gunung
Djati pada masa itu juga menjadi salah satu faktor diterimanya Islam. Tradisi
Nyadran dan Sedekah Bumi yang sarat dengan mantra-mantra digantikan dengan
doa-doa yang ditujukan kepada Allah SWT. Pertunjukan wayang yang sedari
dulu mengambil cerita dan lakon kerajaan Hindu-Budha digantikan dengan
kisah-kisah Islam. Salah satu tradisi besar yang masih terus dilestarikan adalah
tradisi panjang jimat dalam rangka menyambut Maulid nabi Muhammad SAW.
6
Dimana semua orang yang berasal dari berbagai penjuru Cirebon tumpah ruah
dan turut serta dalam meramaikan tradisi tahunan ini. Ritual ini mengambil
bentuk prosesi iringan berbagai benda pusaka (khususnya piring) yang ada di
Istana (keraton).8 Tradisi ini terus berlangsung dari zaman Sunan Gunung Jati,
meskipun keraton sempat berada di bawah kekuasaan penjajah. Selain itu,
keraton juga merupakan pusat pengembangan dan pelestarian kesenian dan
sastra Cirebon. Dalam hal ini keraton menjadi pusat dan penjaga kebudayaan
Cirebon. Keberadaan dua model „pemerintah‟ dalam satu daerah tersebut
memungkinkan terjadinya masalah-masalah. Masalah-masalah tersebut akan
menjadi konflik jika tidak ditangani secara cepat dan tepat. Baik-buruknya
hubungan diantara Keraton dan Pemerintah Kota akan dipengaruhi oleh pola
komunikasi diantara pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintah Kota
tersebut.
Penelitian kali ini akan mencoba untuk mengidentifikasi pola
komunikasi yang digunakan pemangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintah
Kota. Pola komunikasi tersebut perlu untuk diteliti mengingat tidak sedikitnya
konflik yang melibatkan para pemangku wewenang di daerah. Dan konfklik
tersebut membutuhkan alternatif solusi dari kasus-kasus yang berkaitan.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian kali ini mengambil judul “Pola
Komunikasi Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan dan Pejabat Balai
Kota di Cirebon”.
8
Rosidin, Kerajaan Cirebon, hal. 180.
7
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka peneliti merasa
perlu untuk memberikan batasan yang tegas agar penelitian ini dapat
mengena terhadap masalah yang akan di angkat. Batasan masalah dalam
penelitian ini yakni :
a. Keraton Cirebon yang diangkat dalam penelitian ini adalah Keraton
Kasepuhan
b. Pejabat Pemerintah Kota yang dimaksud adalah dari DISPORBUDPAR
(Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata) Cirebon
c. Penelitian ini berkonsentrasi pada representasi dari pemangku jabatan
Keraton dan pejabat Pemerintahan Kota
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merasa
perlu untuk membuat rumusan masalah penelitian ini dengan melihat:
a. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh pejabat Pemerintahan
Kota dalam berkomunikasi dengan pemangku jabatan Keraton?
b. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan oleh pemangku jabatan
Keraton dalam berkomunikasi dengan pejabat Pemerintahan Kota?
8
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola-pola yang
digunakan pamangku jabatan Keraton dan pejabat Pemerintahan Kota dalam
berkomunikasi satu sama lain.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih karya
ilmiah dan turut berkontribusi dalam perkembangan Ilmu Komunikasi
khususnya pada kajian Komunikasi Budaya. Mengingat kajian komunikasi
yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal tidak mudah untuk ditemui.
Selain itu, penelitian kali ini juga dapat menjadi referensi tentang role model
pengelolaan komunikasi dalam level pemerintahan yang baik. Semoga hasil
penelitian ini juga dapat menjadi trigger bagi teman-teman pegiat ilmu
komunikasi untuk turut mengangkat budaya dan kearifan lokal daerah-daerah
di Indonesia. Sehingga kita semakin mengenal kebudayaan kita sendiri, tidak
hanya sebagai individu dalam arti sempit yang hanya mengenal daerah tempat
tinggalnya tapi juga sebagai individu dalam arti luas yang mengenali
bangsanya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola
komunikasi yang digunakan keraton dan balai kota sehingga masyarakat lebih
mengetahui tentang hubungan pemangku jabatan di daerah Cirebon. Dan bisa
belajar tentang bagaimana memelihara hubungan di tingkat lembaga.
9
Selain itu juga dapat menjadi alternatif solusi penanganan konflik
yang melibatkan pemangku jabatan di daerah dengan lembaga internal
maupun eksternal.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma
konstruktivis bersifat subjektif. Data adalah sesuatu yang menjadi perasaan
dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran
atau konstruksi makna.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian kali ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
merupakan penelitian dengan memanfaatkan wawancara terbuka untuk
menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan, dan prilaku individu
atau sekelompok orang. Sebagaimana dikutip dari buku Metode Penelitian
Kualitatif karya Lexy. J. Moleong, Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.9
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Dimana peneliti berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai
9
Lexy. J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009)
Cet.26. hal 4
10
subjek yang diteliti.10 Jadi alih-alih menelaah sejumlah kecil variabel dan
memilih suatu sampel besar yang mewakili populasi, peneliti secara seksama
dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu
kasus khusus.
Ragin mengatakan bahwa metode berorientasi kasus bersifat holistik
– metode ini menganggap kasus sebagai entitas menyeluruh dan bukan
sebagai kumpulan bagian-bagian (atau kumpulan skor mengenai variabel).
Jadi, hubungan antara bagian-bagian dalam keseluruhan itu dipahami dalam
konteks keseluruhan, bukan dalam konteks pola-pola umum kovariasi antara
variabel-variabel yang menandai anggota-anggota suatu populasi unit-unit
yang sebanding. Kedua, hubungan sebab-akibat dipahami sebagai perkiraan.
Akibat dianalisis berdasarkan persimpangan berbagai kondisi, dan biasanya
diasumsikan bahwa hubungan manapun menimbulkan suatu akibat.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Keraton Kasepuhan dan Balai Kota
Cirebon. Sedangkan objek penelitiannya adalah pemangku jabatan di
Keraton Kasepuhan dan Pemerintah Kota Cirebon.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kali ini
terbagi menjadi dua, yakni:
10
Deddy Mulyana. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008)
Cet.6. hal 201
11
a. Data Primer
Data primer yang dimaksud berupa observasi, dokumentasi, dan
hasil wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Narasumber
merupakan pemangku jabatan Balai Kota Cirebon dan Keraton
Kasepuhan. Sumber data dari penelitian ini adalah hasil wawancara
dengan pemangku jabatan Balai Kota Cirebon dan Keraton Kasepuhan.
b. Data Sekunder
Data sekunder dari penelitian ini adalah sumber literatur dan
bacaan yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Penulis menggunakan analisis data deskriptif analisis untuk
memperoleh hasil akhir dalam penelitian, yaitu dengan cara menggambarkan
ke dalam bentuk kalimat disertai kutipan-kutipan data dan menganalisis data
yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan dari kumpulan dokumendokumen yang didapat.11 Serta penulis melakukan penjelasan secara naratif
dengan kalimat-kalimat untuk memudahkan proses penelitian.
Penelitian deskriptif analisis mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara dalam masyarakat dan situasi tertentu termasuk
hubungan, kegiatan, sikap, pandangan serta proses-proses yang sedang
berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Tujuan penelitian deskriptif
adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis,
11
2007), h.6
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,
12
faktual dan akurat serta fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena
yang diselidiki.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian mengikuti
cara-cara yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, berikut langkahlangkahnya:12
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan
analisis data. Kegiatan pengumpulan data ini melalui wawancara, studi
literasi dan studi dokumentasi.
2. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul
dari data-data kasar yang tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak
pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode,
menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya
dengan maksud menyisihkan data atau informasi yang dianggap tidak
relevan.
3. Penyajian Data
Penyajian data yang dimaksud adalah pendeskripsian sekumpulan
informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif
disajikan dalam bentuk teks naratif.
12
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 70
13
4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan
kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna dari
data yang telah disajikan.
Antara penyajian data dan penarikan kesimpulan terdapat
aktifitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data
kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus.
Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai
rangkaian kegiatan analisi yang terkait.
Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai
dalam bentuk kata-kata untuk mendeskripsikan fakta yang ada di
lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
kemudian diambil intisarinya saja.
Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses
terseut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah
seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari
lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, buku, jurnal, karya
ilmiah, gambar, foto, rekaman dan apapun saja yang mendukung
penelitian ini.
14
F. Pedoman Penulisan
Penulisan dalam penlitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang
diterbitkan CEQDA (Center for Quality Development and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini sebelumnya penulis telah lebih dulu membaca hasil
karya ilmiah yang memiliki kemiripan judul, tema dan konteks yang akan
diangkat. Berikut karya ilmiah yang dimaksud:
1. Pola Komunikasi Organisasi (Studi Kasus : Pola Komunikasi Antara
Pimpinan dan Karyawan di Radio Kota Perak di Yogyakarta). Skripsi
Muzawwir Kholiq. Hasil penelitiannya : Pola komunikasi yang digunakan
oleh pimpinan dalam berinteraksi dengan karyawannya menggunakan dua
pola, yakni pola komunikasi struktural dan pola komunikasi kultural. Kedua
pola tersebut digunakan dalam ranah yang berbeda. Struktural dalam ranah
kerja. Sedangkan kultural lebih ke ranah informal. Perbedaanya dengan
penelitian ini adalah pada objek yang diteliti. Penelitian ini mencoba untuk
mengidentifikasi pola komunikasi diantara pemangku jabatan keraton dan
pejabat pemerintahan kota yang secara struktur tidak dapat digambarkan
dengan jelas mana yang di atas dan mana yang di bawah. Sedangkan
penelitian Muzawwir Kholiq lebih menekankan identifikasi pola komunikasi
pemimpin dan karywan yang notabane jelas garis strukturnya.
15
2. Pola Komunikasi Guru dan Orang Tua Murid di Sekolah Dasar Fajar Islami
Tangerang. Skripsi Aulia Pratiwi. Hasil temuannya : Pola komunikasi antara
guru dan orang tua murid ini dapat di kategorisasikan ke dalam tiga bagian,
yakni pola komunikasi antarpribadi, pola komunikasi kelompok, dan pola
komunikasi massa. Ketiga pola komunikasi tersebut dapat dilihat dari
kegiatan-kegiatan yang melibatkan guru dan orang tua murid seperti
konsultasi, rapat orang tua, pembagian rapot dan lainnya. Perbedannya
dengan penelitian ini adalah pada sasaran, tempat dan objek penelitiannya.
Penelitian ini mengambil tempat di sekolah, berikut objek yang ditelitinya
juga Guru dan orang tua murid. Sasarannya pun hanya pada sebatas pola
komunikasi guru dan orang tua murid saja, bukannya dialektis.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini disesuaikan
dengan pokok masalah yang akan dibahas dalam lima bab, yaitu:
BAB I
: Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari enam sub, yakni
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, pedoman
penulisan, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II
: Bab kedua ini membahas tentang landasan teori yang
digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga sub, yakni
pengertian komunikasi, interaksionisme simbolik, dan pola
komunikasi.
16
BAB III
: Bagian ketiga ini terdiri dari dua sub, yakni Keraton
Kasepuhan yang didalamnya terdapat beberapa poin seperti
sejarah Keraton Kasepuhan, fungsi keraton di masa kini dan
struktur pemangku jabatan keraton. Sub yang kedua adalah
tentang Pemerintahan Kota Cirebon yang terdiri dari deskripsi
Pemerintahan Kota Cirebon, kedudukan, tugas dan fungsi
Pemerintahan Kota Cirebon, serta struktur organisasi pejabat
Pemerintahan Kota Cirebon.
BAB VI
: Bab ini berisi tentang analisis hasil temua yang terangkum
dalam empat sub, yakni gambaran umum informan, pertemuan
resmi, pertemuan tidak resmi, dan analisis hasil temuan pola
komunikasi
pemangku
jabatan
keraton
dengan
pejabat
pemerintahan kota, pola komunikasi pejabat pemerintahan kota
dengan pemangku jabatan keraton berikut faktor pendukung
dan penghambat hubungan keraton dan pemerintahan kota.
BAB V
: Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan juga saran-saran
terhadap penelitian ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Komunikasi
Pembahasan mengenai pengertian komunikasi dapat dijelaskan dengan
melihatnya secara etimologi, terminologi dan juga pendapat dari para tokoh.
Pertama, secara etimologi kita bisa melihat bahwa kata komunikasi berasal dari
bahasa latin yakni Communicatio, yang merupakan turunan dari kata Communis
yang berarti sama, dan bisa kita artikan sama makna.1 Maka, dari pengertian
secara etimologi, dalam komunikasi harus memiliki kesamaan makna sehingga
tercapainya maksud dan tujuan komunikator kepada komunikan.
Kedua, secara terminologi komunikasi merupakan pengiriman dan
penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.2 Dari penjelasan di atas, sudut
pandang terhadap pengertian komunikasi menjadi lebih luas lagi, tidak hanya
dilihat dari karakteristik kesamaan maknanya, tetapi juga memperhatikan pelaku
komunikasi, pesan, dan juga cara penyampaian pesan.
Ketiga, pendapat para tokoh yang juga mempengaruhi perkembangan
ilmu komunikasi sendiri. Berikut pendapat beberapa tokoh:
1
Onong Uchjana Efendy, Komunikasi: Teori dan Praktik, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997),
hal. 9
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990) hal. 585
17
18
1. Everet M. Rogers : Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan
dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka.3
2. Bittner
: Komunikasi adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan
penerima pesan orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai
dampaknya, dan peluang untuk memberikan umpan balik segera.4
3. Arni Muhammad : Komunikasi yaitu suatu proses dengan menggunakan
simbol verbal maupun non verbal untuk dikirimkan, diterima dan diberi arti.5
4. William Albig
: Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan
lambang-lambang yang mengandung makna diantara individu-individu.6
5. Wilbur Schramm : Komunikasi didasarkan atas hubungan (intune) antara
satu dengan yang lain, fokus pada informasi yang sama, sangkut paut
tersebut berada dalam komunikasi tatap muka (face to face communication).7
6. Harold D. Laswell : Memberikan gambarannya terhadap komunikasi dalam
pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?.
8
Dari pernyataan ini dapat dijelaskan bahwa proses komunikasi melibatkan
komunikator, pesan, media atau saluran komunikasi, komunikan beserta efek
dari pesan yang disampaikan tersebut.
3
Haviet Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Hal. 20
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 2004) Hal. 32
5
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. ke-4, hal. 3
6
Arif Anwar, Ilmu Komunikasi, (Sebagai Pengantar Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995), Cet. Ke-3, hal. 25
7
Onong Uchjana Efendy, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1998),
hal. 59
8
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2005),
hal. 62
4
19
Dari pemaparan beberapa tokoh di atas kita dapat menemukan beberapa
kesamaan ide yang dikemas secara berbeda. Diantaranya dari segi pelaku
komunikasi yang melibatkan komunikator dan komunikan, bentuk pesan yang
disampaikan, serta dampak dari penyampaian pesan itu sendiri. Namun yang
menjadi menarik adalah bagaimana para tokoh juga berpendapat bahwa pesan
yang disampaikan dapat menimbulkan efek. Efek tersebut akan bergantung pada
bagaimana pelaku komunikasi memberikan arti atau memaknai komunikasi
tersebut. Proses pemaknaan tersebut akan berjalan sangat subjektif, bergantung
pada cara berfikir, merasa dan pengalaman pribadi masing-masing.
B. Interaksionisme Simbolik
Teori yang dicetuskan oleh George Herbert Mead ini berangkat dari
kekaguman Mead terhadap kemampuan diri sang aktor (manusia) dalam
menggunakan simbol; ia menyatakan bahwa diri sang aktor bertindak
berdasarkan makna simbol yang muncul di dalam situasi tertentu. Makna dari
simbol tersebut yang pada gilirannya membentuk esensi dari interaksionisme
simbolik yang menekankan korelasional pada simbol dan interaksi. 9 Dalam hal
ini individu bergerak atau merespon stimulus bergantung pada simbol yang
digunakan dan pemaknaan dari simbol tersebut. Mead mengajarkan bahwa
makna muncul sebagai hasil dari interaksi diantara manusia, baik secara verbal
maupun non verbal.10
9
Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern, (Depok:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hal. xxi
10
Morissan, M.A., Teori Komunikasi Massa, (Bogor: PT. Ghalia Indonesia, 2010), hal. 126
20
Pemikiran Mead ini berangkat dari kemunculan persepsi terhadap
simbol-simbol yang digunakan diri sang aktor dalam interaksi sosial. Robert
Audi menekankan bahwa ada empat elemen dasar dalam persepsi, yaitu: 1).
Perseptor, saya; 2). Objek, bidang yang saya lihat; 3). Pengalaman Indrawi,
menyatakan pengalaman visual saya terhadap warna dan bentuk; dan 4).
Hubungan antara objek dan subjek, umumnya dianggap sebagai hubungan
kausal dimana objek menghasilkan pengalaman sensorik pada perseptor.11 Dari
pemaparan terhadap elemen dasar persepsi tersebut kita dapat mengetahui
bagaimana individu memaknai suatu simbol. Makna dari simbol merupakan
hasil dari pengolahan pengalaman indrawi individu terhadap simbol yang
kemudian menjadi pengalaman sensorik perseptor.
Tradisi socio-cultural menyatakan bahwa komunikasi sebagai penciptaan
dan pengesahan realitas sosial. Artinya, tradisi sosial budaya didasarkan pada
premis bahwa diri sang aktor yang sedang berbicara, mereka memproduksi dan
mereproduksi budaya.12 Pandangan mereka tentang realitas sangat dibentuk oleh
bahasa yang mereka gunakan sejak mereka masih bayi.13 Termasuk dalam hal
ini adalah bentuk isyarat-isyarat lainnya. Dengan demikian, persepsi dan
interpretasi individu terhadap realitas dalam suatu struktur masyarakat akan
sangat dipengaruhi oleh simbol-simbol yang biasa digunakan dalam interaksi.
11
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge,
(London: Routledge, 2011), hal. 17
12
Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik, hal. xxv
13
Emory A. Griffin, A First Look at at Communication Theory, (New York: McGraw-Hill,
2012), hlm. 60
21
Berikut
asumsi-asumsi
pokok
yang
melatarbelakangi
teori
Interaksionisme Simbolik, yakni:
1. Individu dilahirkan tanpa konsep diri. Konsep diri dibentuk dan berkembang
melalui komunikasi dan interaksi sosial.
2. Konsep diri terbentuk ketika seseorang bereaksi terhadap orang lain dan
melalui persepsi atau perilaku tersebut.
3. Konsep diri, setelah mengalami perubahan, menjadi motif dasar dari tingkah
laku.
4. Manusia adalah mahluk yang unik karena kemampuannya menggunakan dan
mengembangkan simbol untuk keperluan hidupnya.
5. Manusia bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia
mendefinisikan sesuatu tersebut.
6. Makna merupakan kesepakatan bersama di lingkungan sosial sebagai hasil
interaksi.14
C. Pola Komunikasi
Pola komunikasi berasal dari dua suku kata, yakni pola dan komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti bentuk atau sistem, cara
atau bentuk (struktur) yang tetap dimana pola tersebut dapat dikatakan contoh
atau cetakan.15 Namun, dalam hal ini pengertian pola yang digunakan adalah
bentuk. Sedangkan menurut William Albig, komunikasi adalah proses
penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung makna
14
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke-1, hal. 150
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), hal. 778
15
22
diantara individu-individu.16 Jadi, pola komunikasi bisa dikatakan sebagai
bentuk
proses
penyampaian
dan
penerimaan
lambang-lambang
yang
mengandung makna diantara individu-individu. Dari segi sifatnya, pola
komunikasi dibagi menjadi dua macam, yakni pola komunikasi formal dan
informal.
1. Pola Komunikasi Formal
Khomsahrial Romli
dalam tulisannya membagi
arah
aliran
komunikasi formal, yakni: komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi dari
bawah ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi diagonal.17
a. Komunikasi dari Atas ke Bawah
Komunikasi dari atas ke bawah merupakan aliran komunikasi
yang biasanya digunakan dalam sebuah organisasi. Aliran komunikasi ini
berasal dari individu atau kelompok yang secara struktural lebih tinggi
kepada bawahannya. Biasanya pesan yang disampaikan berkaitan dengan
tugas-tugas dan kontrol. Lewis mengatakan bahwa komunikasi ke bawah
adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk
pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena
salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan
mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan.18
16
Arif Anwar, Ilmu Komunikasi, (Sebagai Pengantar Ringkas), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995), Cet. Ke-3, hal. 25
17
Romli Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, (Jakarta: PT Grasindo, 2011) Cet. Ke-1.
Hal.176
18
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108
23
Komunikasi ke bawah dapat diklasifikasikan dalam lima jenis, yaitu:19
1) Instruksi Tugas
Instruksi Tugas atau pekerjaan yaitu pesan yang disampaikan
kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan dilakukan mereka dan
bagaimana melakukannya.
2) Rasional
Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan mengenai
tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan aktivitas itu dengan aktivitas
lain dalam organisasi atau objek organisasi.
3) Ideologi
Pesan mengenai ideologi ini merupakan perluasan dari pesan
rasional. Pada pesan rasional penekanannya ada pada penjelasan tugas
dan keterkaitannya dengan perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan
ideologi sebaliknya mencari sokongan dan antusiasme dari anggota
organisasi guna memperkuat loyalitas, moral dan motivasi.
4) Informasi
Pesan informasi dimaksudkan untuk memperkenalkan bawahan
dengan
praktik-praktik
organisasi,
peraturan-peraturan
organisasi,
keuntungan, kebiasaan dan data lain yang tidak berhubungan dengan
instruksi dan rasional.
19
Ibid, hal. 108-109
24
5) Balikan
Balikan adalah pesan yang berisi informasi mengenai ketetapan
individu dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu bentuk sederhana
dari balikan ini adalah pembayaran gaji karyawan yang telah siap
melakukan pekerjaannya, berarti pekerjaannya sudah memuaskan.
b. Komunikasi dari Bawah ke Atas
Komunikasi ke atas merupakan respon terhadap seberapa baik
organisasi telah berfungsi. Fungsi komunikasi ke atas menurut Smith
adalah sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang
keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan dan dapat
memberikan stimulus kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam
merumuskan pelaksanaan kebijakan bagi organisasi.20
c. Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke
individu atau kelompok yang secara struktur organisasi berada di status
yang sama. Dalam ranah organisasi, komunikasi horizontal biasa terjadi
dalam rapat komisi, interaksi pribadi, selama waktu istirahat, obrolan di
telepon dan lain sebagainya.
Hambatan-hambatan
pada
komunikasi
horizontal
banyak
persamannya dengan hambatan yang mempengaruhi komunikasi ke atas
dan ke bawah. Tidak adanya kepercayaan diantara rekan-rekan kerja,
perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas, dan persaingan dalam
20
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 117
25
sumber daya dapat mengganggu komunikasi pegawai yang sama
tingkatannya dalam organisasi dengan sesamanya.21
2. Pola Komunikasi Informal
Pola komunikasi informal merupakan bentuk komunikasi yang
bersifat cair. Artinya komunikasi yang dilakukan begitu saja, tanpa
memperhatikan posisi dalam organisasi. Informasi mengalir dengan cairnya
ke atas, ke bawah, dan juga horizontal. Pola komunikasi ini dapat terjadi jika
setiap individu bersikap terbuka satu sama lain. Keterbukaan ini merupakan
karakteristik gaya komunikasi Equalitarian Style.22 Untuk lebih jelasnya,
kita harus mengetahui macam gaya komunikasi, yakni:
a. The Equalitarian Style
Dalam gaya komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara
terbuka. Artinya, setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan
gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai, dan
informal. Dalam suasana yang demikian, memungkinkan setiap anggota
organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian bersama.
b. The Controlling Style
Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, ditandai
dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa,
dan mengatur prilaku, pikiran, dan tanggapan orang lain. Orang-orang
yang mengunakan gaya komunikasi ini dikenal dengan nama
21
R. Wayne Pace dan Don F. Faules. Terj. Deddy Mulyana, Ma, Phd. Komunikasi Organisasi.
Strategi meningkatkan Kinerja Perusahaan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 196
22
Sasa Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4
26
komunikator satu arah. Namun demikian, gaya komunikasi yang bersifat
mengendalikan ini, tidak jarang bernada negative sehingga menyebabkan
orang lain memberi respon atau tanggapan yang negatif pula.
c. The Structuring Style
Gaya komunikasi yang terstruktur ini memanfaatkan pesan-pesan
verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang
harus dilaksanakan, penjadwalan tugas, dan pekerjaan serta struktur
organisasi, pengirim pesan lebih memberi perhatian kepada keinginan
untuk mempengaruhi orang lain dengan jalan berbagai informasi tentang
tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan, dan prosedur yang berlaku dalam
organisasi tersebut.
d. The Withdrawal Style
Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya
tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang
memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada
beberapa persoalan ataupun kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh
orang-orang tersebut.
e. The Dynamic Style
Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan
agresif, karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan
pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented). Tujuan utama
gaya komunikasi yang agresif ini adalah menstimuli atau merangsang
pekerja atau karyawan untuk bekerja lebih cepat dan lebih baik.
27
f. The Relinguishing Style
Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk
menerima saran, pendapat, meskipun pengirim pesan mempunyai hak
untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain.
Menurut H.A.W. Widjaya didalam bukunya yang berjudul “Ilmu
Komunikasi, Pengantar Studi”, pola komunikasi terbagi menjadi empat, yaitu
pola roda, pola rantai, pola lingkaran dan pola bintang. Berikut adalah
penjelasan yang lebih komprehensif tentang pola-pola tersebut.
1. Pola Roda
Pola roda adalah pola yang mengarahkan seluruh informasi kepada
individu yang menduduki posisi sentral. Seseorang dalam posisi sentral
menerima kontak, informasi dan memecahkan masalah dengan sasaran atau
persetujuan anggota lain.
B
E
A
C
A
D
Gambar 1.1: Gambar pola roda
28
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa orang yang
berada di posisi sentral berkomunikasi dengan banyak orang, A
berkomunikasi dengan B, C, D dan E. Pada pola komunikasi seperti ini
kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi satu arah tanpa reaksi
ataupun umpan balik.
2. Pola Rantai
Pada pola rantai, jaringan komunikasi terdiri dari lima tingkatan
dalam jaringan hierarkinya dan hanya meliputi komunikasi arus ke atas (up
ward) dan ke bawah (downward). Ini berarti pola rantai menganut hubungan
komunikasi garis langsung (komando) balik ke atas atau ke bawah tanpa
adanya suatu penyimpangan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.
A
B
C
D
E
Gambar 1.2: Gambar Pola Rantai
3. Pola Lingkaran
Pola lingkaran memiliki kemiripan dengan pola rantai, akan tetapi
komunikan terakhir (E) juga dapat berkomunikasi dengan komunikan
pertama (A). Lebih jelasnya mari kitalihat gambar di bawah ini:
29
A
B
E
D
C
Gambar 1.3: Gambar Pola Lingkaran
Pada pola lingkaran tidak terdapat pemimpin. Semuanya berhak dan
memiliki kesempatan yang sama untuk berkomunikasi dengan orang yang
berada di sisi masing-masing komunikan.
4. Pola Bintang
Pada pola ini setiap komunikan berkomunikasi dengan komunikan
lainnya.
23
Hampir mirip dengan pola lingkaran dimana semua anggota
memiliki hak dan kekuatan untuk saling berkomunikasi. Berikut adalah
gambar pola bintang:
23
H.A.W. Widjaya, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) edisi
revisi, hal. 102-103
30
A
\
E
B
D
C
Gambar 1.4: Gambar Pola Bintang
BAB III
GAMBARAN UMUM KERATON KASEPUHAN DAN
PEMERINTAHAN KOTA CIREBON
A. Keraton Kasepuhan
1. Sejarah Keraton Kasepuhan
Kota Cirebon memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah yang
berada di pesisir utara Jawa Barat ini mengalami masa kekuasaan kerajaan
Hindu-Budha, Islam, kolonialisme, sampai pada era reformasi sekarang ini.
Ini bisa kita lihat seperti pada catatan-catatan sejarah kuno seperti buku
perjalanan Tome Pires ataupun Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh
Pangeran Arya. Cirebon sendiri masih merupakan „anak historis dan
kultural‟ dari Pajajaran. Pajajaran adalah awal Cirebon, dan Cirebon adalah
akhir Pajajaran.1
Prabu Siliwangi dalam pernikahannya dengan Nyai Subanglarang
memiliki tiga anak yakni, Pangeran Walangsungsang, yang kemudian
disebut Pangeran Cakrabumi, Cakrabuana, Somadullah dan Haji Abdullah
Iman.2 Kemudian adiknya yang bernama Nyai Rara Santang, yang kemudian
disebut Hajjah Syarifah Muda‟im. Terakhir adalah Raden Raja Sengara yang
kemudian disebut Haji Mansur.
1
Anwarudin Harapan, Dimensi Mitis Historis Pakuan Pajajaran, (Jakarta; Duta Kreasi Semesta ,
2007), hal. 123
2
Ibid, hal. 118
31
32
Dalam perkembangannya Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara
Santang berturut-turut meloloskan diri dari lingkungan Keraton Pajajaran.3
Keduanya pergi dengan alasan ingin belajar lebih banyak lagi tentang agama
yang dibawa Nabi Muhammad. Keputusan pergi keluar dari lingkungan
Keraton Pajajaran merupakan langkah yang harus diambil mengingat hampir
seluruh masyarakat pajajaran masih beragama Hindu-Budha yang notabane
adalah agama leluhurnya.
Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang memilih pergi ke utara,
tepatnya di daerah Cirebon Larang, untuk berguru kepada Syeikh Nurul Jati
atau Syeikh Idhofi alias Syeikh Datuk Kahfi.4 Mereka belajar agama Islam
hingga kemudian memantapkan diri untuk menetap di Cirebon Larang.
Selang beberapa waktu kemudian Cirebon Larang menjadi kota yang cukup
ramai. Sehingga Pangeran Cakrabuana memutuskan untuk mendirikan
Keraton pertama di pesisir utara Jawa Barat yang kemudian disebut Keraton
Pakungwati. Berdirinya keraton tersebut direstui oleh Prabu Siliwangi yang
kemudian memberikan jabatan Tumenggung dengan gelar Sri Mangana
kepada Pangeran Cakrabuana. Sejak saat itu Cirebon menjadi daerah otonom
pajajaran dengan Pangeran Cakrabuana sebagai kepala daerahnya, pada saat
itu Cirebon belum menjadi kerajaan sendiri.
3
4
Ibid, hal. 123
Ibid, hal. 123
33
Kemudian Nyai Rara Santang atau syarifah Muda‟im menikah
dengan seorang Raja Mesir yakni Sultan Mahmud Syarif Abdullah. 5 Dari
pernikahan tersebut Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati lahir. Sunan
Gunung Jati kecil tumbuh dan tinggal di Mesir. Setelah menginjak dewasa
Sunan Gunung Jati berangkat menuju Pulau jawa untuk mengunjungi tanah
leluhur ibunya, sekaligus bertemu dengan pamannya Pangeran Cakrabuana.
Setelah sekitar sembilan tahun Sunan Gunung Jati menetap di
Cirebon, atau tepatnya pada 1479 Masehi, Pangeran Cakrabuana selaku
penguasa Cirebon menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Sunan Gunung
Jati.6
Penobatan Sunan Gunung Jati sebagai penguasa wilayah Cirebon
tersebut didukung oleh para wali di pulau Jawa yang ketika itu dipimpin oleh
Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati dianugerahi gelar sebagai Panata Agama
Islam oleh para wali.
Langkah awal Sunan Gunung Jati sebagai Tumenggung ialah
menggalang kekuatan dengan Demak dan kekuatan-kekuatan islam lainnya
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran.7 Pada masa itu
Cirebon harus memberikan upeti kepada Pajajaran karena statusnya sebagai
daerah otonom Kerajaan pajajaran.
Setelah secara struktur dan infrastruktur sudah dianggap kuat,
Cirebon pun menjadi Kerajaan dengan Sunan Gunung Jati sebagai Raja atau
Sultan. Masa pemerintahan Sunan Gunung Jati dianggap sebagai masa
5
Depdikbud RI, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta; Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, hal. 23
6
Ibid, hal. 27
7
Ibid, hal. 28
34
keemasan Kerajaan cirebon. Menurut R.A. Kern Cirebon pernah mengalami
masa bahagia pada abad-abad pertama, dapat mengembangkan dirinya dalam
suasana damai dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk
pertamakali menjadi negara yang makmur.8 Pendapat R.A. Kern diperkuat
pula oleh F. De Haan, bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah
kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman
Sunda, seperti Raja Galuh tahun 1528 dan Talaga tahun 1530.9 Luasnya
wilayah kekuasaan dan islamisasi yang masif menjadi bukti kesuksesan
Cirebon dalam penyebaran agama Islam.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, Kerajaan Cirebon dipimpin oleh
Panembahan Ratu
I yang mana merupakan cicitnya.10 Pemilihan
Panembahan ratu sebagai Sultan lebih karena anak-anak Sunan Gunung Jati
telah wafat lebih dahulu. Pada masa ini Kerajaan Cirebon memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan Kerajaan Mataram.11 Hal ini dapat kita
lihat dari saling silangnya pernikahan antara dua kerajaan. Seperti pada
pernikahan antara Putri Ratu Ayu Salkh, kakak Panembahan Ratu, dengan
Sultan Agung Mataram. Selain itu menurut F. De Haan, juga ditandai
dengan dibangunnya kuta (dinding) yang mengitari Keraton Pakungwati.
Kuta
8
tersebut
dibangun
kurang
lebih
pada
tahun
1590
yang
Ibid, hal. 31
Ibid, hal. 34
10
H.J. De Graaf dan TH.Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti, 1986, hal 131
11
Depdikbud RI, Kota Dagang Cirebon, hal. 35
9
35
pembangunannya
sebagai
persembahan
Senapati
Mataram
kepada
Panembahan Ratu.12
Hubungan dengan Mataram pada awalnya dilandasi oleh asas
kekeluargaan yang saling mengikat keduanya. Pada perkembangannya,
seiring dengan makin berkuasanya Kerajaan Mataram, hubungan kedua
kerajaan pun makin pincang.13 Sejak tahun 1615 Mataram mulai
mencengkeramkan pengaruhnya di Cirebon. Dan kemudian pada 1615
Cirebon dikuasai sepenuhnya oleh Mataram.
Sepeninggal Panembahan Ratu pada 1649, Cirebon dipimpin oleh
cucunya yang bernama Pangeran Putra atau disebut juga Raden Rasmi dan
bergelar Panembahan Adiningkusuma atau Panembahan Ratu II.14 Dan
setelah meninggal kemudian dikenal dengan Panembahan Girilaya. Hal ini
berhubungan dengan makam Panembahan Ratu II yang terletak di Bukit
Girilaya, sebelah timur Wonogiri, Jogjakarta.15
Menurut berita dari Residen Cirebon pada tanggal 1 Oktober 1684,
setelah diangkat menjadi Sultan, Panembahan Girilaya beserta kedua
puteranya yakni Pangeran martawidjaya dan pangeran Kartawidjaya
dipanggil oleh Amangkurat I untuk berkunjung ke Mataram dalam rangka
menghormati pengangkatannya sebagai penguasa Cirebon.16 Akan tetapi,
selepas upacara tersebut Panembahan Girilaya beserta kedua anaknya tidak
12
Ibid, hal. 35
Ibid, hal. 36
14
Ibid, hal. 36
15
Ibid, hal. 36
16
Ibid, hal. 36
13
36
diperkenankan untuk meninggalkan Mataram dan menetap disana selama 12
tahun. Walaupun hak sebagai Sultan tetap diakui. Dalam masa penyanderaan
tersebut Panembahan Girilaya wafat. Dan selama masa penyanderaan
tersebut kedudukan Sultan dipegang oleh Pangeran Wangsakerta yang
merupakan putera ketiga Panembahan Girilaya.
Sekitar 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-besaran
terhadap Keraton Mataram.17 Dampak dari serangan tersebut bukan hanya
mampu menduduki ibukota Mataram tetapi juga dapat membebaskan
Pangeran Martawidjaya dan Pangeran Kartawidjaya. Selanjutnya keduanya
dibawa ke Kediri sebelum dijemput oleh pasukan Sultan Ageng Tirtayasa
dari Banten.
Selepas dari Kediri, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membagi
Kerajaan Cirebon menjadi dua, masing-masing Kasepuhan dan Kanoman.18
Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Martawidjaya bergelar Sultan Sepuh
Raja
Syamsuddin.
Sedangkan
Kanoman
dipimpin
oleh
Pangeran
Kartawidjaya dengan gelar Sultan Anom Moh. Badrudin. Semenjak saat itu
hingga sekarang kedua keraton tersebut masih ada dan dilestarikan.
Walaupun status dan fungsinya sudah berubah dan berbeda.
2. Fungsi Keraton Masa Kini
Bicara fungsi Keraton di masa kini akan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana identifikasi masyarakat di dalam dan di luar Keraton terhadap
17
Ibid, 1998, hal. 38
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History)
Cirebon (Cirebon: Arsip 2015) hal 8
18
37
Keraton itu sendiri. Pada perkembangannya, Keraton dianggap sebagai
tujuan wisata, cagar budaya, penjaga dan pelestari budaya setempat.
Pertama, sebagai salah satu tujuan wisata. Hal ini bisa kita lihat dari
bagaimana tata letak dan penataaan dekorasi yang tampak di Keraton
Kasepuhan. Sekarang kita bisa melihat dengan jelas pintu ticketing yang ada
di depan pintu masuk Keraton. Yang mana merupakan bagian dari kerjasama
dengan Telkom.19 Di samping itu, penataan pusaka peninggalan Keraton
seperti Kereta Singa Barong, Baju Zirah, Keris, Pedang, Tombak, Porselen
dan lainnya ditata sedemikian rupa sehingga dapat dilihat dengan rapih dan
nyaman oleh pengunjung. Penataan tersebut didasari oleh kesadaran bahwa
Keraton Kasepuhan telah menjadi tujuan wisata sejarah.
Kedua, sebagai penjaga dan pelestari budaya setempat. Dalam hal ini
Keraton selalu memposisikan diri sebagai pemimpin dan penyelenggara adat
istiadat setempat. Ini bisa kita lihat seperti pada penyelenggaraan Upacara
Panjang Jimat. Upacara Panjang Jimat yang diselenggarakan merupakan
bagian dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan Keraton Kasepuhan
dalam menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara Panjang Jimat
ini diselenggarakan setiap tahunnya dan merupakan tradisi tahunan yang
sudah diselenggarakan sejak Sunan Gunung Jati masih hidup. Selain itu
dibuatnya sekolah kesenian Keraton Kasepuhan yang masih berada di bawah
yayasan Keraton Kasepuhan juga merupakan bentuk kepedulian Keraton
19
Hasil wawancara dengan Iman Sugiman pada 30 November 2015 di Keraton Kasepuhan.
38
Kasepuhan dalam menjaga dan melestarikan budaya yang ada. Di samping
pagelaran tari yang diselenggarakan oleh Keraton Kasepuhan tiap bulannya.
3. Struktur Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan memiliki dua struktur organisasi yang berlaku,
yakni struktur organisasi tradisional dan manajemen Badan Pengelola
Keraton Kasepuhan atau yang lazim disebut BPKK. Struktur organisasi
tradisional ini sendiri hanya berlaku bagi kalangan internal keraton saja.
Adapun untuk kebutuhan kepengurusan harian seperti pemeliharaan wisata,
kegiatan adat, penerimaan tamu regional, nasional dan internasional diambil
alih oleh BPKK.
39
Berikut adalah struktur organisasi tradisional Keraton Kasepuhan:
Sultan Sepuh
Sultan
Patih
Patih
Kepala
Kepala Lurah
Lurah
Lurah
Lurah Magersari
Magersari
Lurah
Lurah Wewengkon
Wewengkon
Mandalangen
Mandalangen
Lurah Dalem
Ketinas
Ketinas
Pengampon
Abdi Dalem
Seperti halnya struktur kerajaan pada masa lalu, struktur tradisional
ini pun bersifat hierarkis. Sultan sebagai pemimpin keraton memiliki otoritas
yang tinggi dalam kekuasaan. Semua kebijakan di keraton baik itu yang
sifatnya internal ataupun eksternal harus dikeluarkan oleh sultan. Adapun
nama-nama di atas tidak bisa disebutkan sekarang karena masih dalam tahap
penggodokan dan belum secara resmi di umumkan oleh Sultan Sepuh XIV.
40
Berbeda dengan struktur organisasi tradisional, struktur organisasi
manajemen BPKK tidak hanya melibatkan kalangan internal saja, pejabat
pemkot seperti Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat serta Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Cirebon juga turut dilibatkan.
Lengkapnya bisa dilihat pada Surat Keputusan Sultan Sepuh XIV
Nomor 001/SK/SSXIV/VII/2015 tentang susunan manajemen Badan
Pengelola Wisata Keraton Kasepuhan Cirebon Periode Tahun 2015 s/d 2018
di bawah ini:
Pembina
: 1. Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief
Natadiningrat, SE.
2. Kadisparbud Prov. Jawa Barat
3. Kadisporbudpar Kota Cirebon
Pengawas
: R.A.S. Isye Natadiningrat
Direktur
: PR. Luqman Zulkaedin, SH
Wakil Direktur I
: PR. Nisfudin Ardiningrat
Wakil Direktur II
: M Akbar SIP
Sekretaris dan Administrasi
: Ahmad Jazuli
Wakil Sekretaris dan Admnistrasi
: Raden Mukhtar
Bendahara
: Drs. E Subandi
Wakil Bendahara
: Otong AB
41
Kabag Ticketing, Parkir dan PKL
: Donny Husein
Wakabag Ticketing, Parkir dan PKL
: E Raharyadi W
Wakabag Parkir Dalam dan Luar
: Misdiyanto
Wakabag Ticket
: R Mohammad Yuski
Wakabag Ticket dan Maintenance
: 1. Gita Deshara
2. Ika Setia Nurhayah
Kabag Pengelola Dalem Agung
: PR. Goemelar Soeriadiningrat
Kabag Pemandu dan Tampi Tamu
: Iman Sugiman
Wakabag
Pemandu
dan
Tampi : R. M. Hafid Permadi
Tamu
Kepala Bagian Pemasaran
: RR Alexandra Wuryaningrat
Wakabag Pemasaran
: RR Gumiwang Kencananingrat
Kabag Paket Wisata dan Event
: Ratih Marlina, S.pd
Wakabag Paket Wisata dan Event
: Ratu Idah Julhaedah
Kabag Gallery dan Food Court
: RR. Siti Fatimah Nurkhayani,
SI.Kom
Kabag Museum dan Tradisi
: R Tarsoma Martabrata
Wakabag Museum dan Tradisi
: Mohammad Maskun
Kabag Umum dan Kebersihan
: E. Usman Zaelani
Wakabag Umum dan Kebersihan
: Sukesa
42
Kabag Publikasi, Dokumentasi dan : Khana Maulasa
Website
Wakabag Publikasi, Dokumentasi : Andi Rohman S.Pd.I
dan website
Kabag Pengelola Langgar Agung
: E Haryanto
Wakabag Pengelola Langgar Agung
: Drs. Supratman
Kabag Kamtib
: E. Rochadi Susilakusuma
Wakabag Kamtib
: 1. Sugito
2. E Hanafiah Angkawijaya
3. Sudarno
Staff Sultan
: 1. E. Subandi
2. Ahmad Jazuli
3. R. Mukhtar
4. Donny Husein
5. Andi Rokhman S. Pd.I
B. Pemerintahan Kota Cirebon
1. Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon
Berdirinya Pemerintahan Kota Cirebon bisa dikatakan sebagai
modernisasi sistem pemerintahan masa lalu. Seperti kita ketahui bersama
bahwa sebelum penjajah masuk ke nusantara, sistem pemerintahan yang
berlaku adalah kerajaan. Kerajaan berdiri di daerah yang berpenduduk
43
banyak dan mengatur segala hal yang berkenaan dengan ranah politik, sosial,
ekonomi, budaya, seperti pemerintahan masa kini. Namun mungkin dengan
istilah dan bentuk struktur yang berbeda. Kerajaan kecil biasanya menginduk
pada kerajaan besar. Dan mesti membayar pajak atau upeti kepada kerajaan
induk.
Sejak penjajah datang dan mengambil alih peran kerajaan dalam
pemerintahan, sistem pemerintahan pun mengalami perubahan. Perubahan
yang signifikan terjadi pada saat kolonialisme dibawah Pemerintahan Hindia
Belanda. Sistem pemerintahan jajahan Hindia Belanda mempunyai corak
“otokratis” suatu pemerintahan yang sentralistis dan berlaku sejak tahun
1854 menurut garis-garis yang diletakkan dalam “Regerings Reglement”
Staatsblad 1854.20 Asas penyelenggaraan Pemerintahan di daerah jajahan,
semata-mata hanya menggunakan sistem Sentralisasi.21 Pemerintahan
sentralistis tersebut bertahan sampai dengan awal tahun 1900-an. Baru pada
tanggal 1 April 1906 Pemerintah Kota Cirebon resmi dibentuk. 22 Lingkup
daerahnya sendiri meliputi desa Lemahwungkuk, Panjunan dan Pekiringan
dalam lingkungan antara Laut Jawa, Kali Sukalila, Kali Sipadu dan Kali
Kesunean, luasnya mencapai sekira 225 hektar.
Perjalanan Pemerintah Kota Cirebon dapat kita lihat dari undangundang yang berkenaan dengan pemerintah daerah pada masing-masing
20
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History)
Cirebon, hal. 29
21
Lihat Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah, 1903-1958, Amrah Muslimin, Mr, Penerbit
Jambatan 1960, bagian pertama.
22
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, Garis Waktu (Time Line of History)
Cirebon, hal. 29
44
periode penguasa. Kita dapat membaginya dalam beberapa periode, yakni
periode
kolonialisme
Hindia
Belanda,
penjajahan
Jepang,
paska
kemerdekaan, Republik Indonesia Serikat (RIS), orde lama, orde baru dan
reformasi.
a. Periode Kolonialisme Hindia Belanda
Sejak resmi dibentuk pada tanggal 1 April 1906, Pemerintah Kota
Cirebon atau yang pada waktu itu disebut Gementee Cheribon harus
mengurus urusan-urusan rumah tangga daerahnya sesuai dengan yang
tertera di Staatsblad 1906 nomor 122.23 Pada periode ini Pemerintah
Hindia Belanda sudah melakukan desentralisasi, namun kepala daerah
sendiri baru resmi ditunjuk pada tahun 1920. Pada masa ini kepala
daerah yang menjabat disebut dengan Burger Meester.24 Urusan rumah
tangga yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan Umum, seperti pemeliharaan jalan, perbaikan berat jalan,
pemeliharaan jembatan, pembangunan jalan baru, pembangunan
jembatan baru dan pemeliharaan taman.
2. Pembersihan, meliputi penyiraman jalan, pembuangan sampah, serta
pembersihan got dan parit.
3. Pencegah kebakaran (Blandweer)
4. Penerangan
5. Penyelenggaraan kuburan
6. Penetapan sempadan
23
24
Ibid, hal 31
Ibid, hal 88
45
7. Usaha pasar
8. Usaha jabal25
Praktis tak banyak yang berubah selama tahun 1906 sampai
dengan akhir masa penjajahan Belanda terkait dengan fungsi dan
wewenang Gementee Cheribon.
b. Periode Penjajahan Jepang
Pada tanggal 8 Maret 1942, Gubernur Jendral Hindia Belanda
Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer (LegerCommandant) Ter Poorten atas nama Pemerintah Hindia Belanda
menandatangani kapitulasi di Kalijati (Subang) yang menyatakan
menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.26 Dengan itu maka
kekuasaan pun beralih ke tangan Jepang. Peralihan kekuasaan tersebut
tentunya memberikan dampak terhadap jalannya pemerintahan. Baik
pemerintahan pusat ataupun daerah.
Dampak dari peralihan kekuasaan tersebut adalah dibuatnya
peraturan-peraturan baru, walaupun tidak serta merta mengubah sistem
dan tatanan yang sudah ada secara signifikan. Diantaranya adalah osamu
seirei nomor 27 tahun 1942 yang mengatur tentang susunan
pemerintahan dan Osamu Seirei nomor 28 tahun 1942 yang mengatur
peraturan pemerintahan keresidenan atau Shyu. Pada masa ini
Pemerintah Kota Cirebon di pimpin oleh Asikin Nataatmadja dan
25
26
Ibid, hal 31
Ibid, hal 37
46
Muniran Suria Negara. Kepala Daerahnya sendiri dipanggil dengan
sebutan Shitjo.27
c. Periode 1945-1947
Setelah
Republik
Indonesia
resmi
diproklamirkan,
maka
peraturan tentang otonomi daerah pun ikut berubah. Perubahan itu
termaktub dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum di amandemen yang
berisi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa”.28
Penjelasan lebih lanjut mengenai susunan pemerintah daerah
diatur
dalam
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1945
tentang
pembentukan Komite Nasional Daerah yang berisi sebagi berikut:
“Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah
provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil dan di daerahdaerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah
(BPD) oleh karena itu di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar
permusyawaratan”.
Pada masa ini Pemerintah Daerah terbagi atas provinsi,
kotamadya/kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Setiap daerah otonom
27
Ibid, hal 88
Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Cetakan Keempatbelas, hal. 10
28
47
baik itu yang besar ataupun kecil dipimpin oleh kepala daerah sebagai
bentuk kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam menjalankan
kebijakan-kebijakannya. Namun, perlu dipahami bersama juga kalau UU
No.1 Tahun 1945 hanya berisi enam pasal sehingga masih banyak
kekurangan-kekurangan yang muncul pada implementasinya.
d. Periode 1947-1950
Pada periode ini Belanda melancarkan agresi militernya ke
Indonesia. Dampak dari agresi militer tersebut adalah direbutnya
beberapa daerah dari tangan Pemerintah NKRI. Belanda masuk ke
daerah Cirebon pada 21 Juli 1947.29 Sejak Cirebon dikuasai kembali oleh
Belanda maka Dewan-Dewan KNI dan badan eksekutifnya dibekukan
dan pemerintah daerah otonom kota diatur berdasarkan peraturan yang
termuat dalam Stbl. 1948 no. 179, yang menetapkan pemerintah daerah
kota diletakkan di tangan pembesar yang ada, yakni Burgermester.30
Selama agresi militer berlangsung tak banyak yang berkembang dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Itu semua karena Pemerintah Republik
Indonesia dan Belanda lebih fokus pada penetapan pemerintah yang sah
melalui berbagai perundingan.
e. Periode 1950-1959
Tak banyak yang berubah dari gagasan otonomi daerah pada
periode ini. Hanya ada penegasan Cirebon ditunjuk sebagai daerah
otonom Kota Besar Cirebon melalui UU No. 16 Tahun 1950. Menurut
29
30
Ibid, hal 42
Ibid, hal 42
48
Moh.Sjafei (1956), hak otonomi pada masa itu berisi tidak lebih dari
tugas-tugas yang diberikan pada waktu daerah otonom Kota Cirebon
baru dibentuk pada tahun 1906, dengan ditambah tugas kesehatan.31
f. Periode 1959 – Berakhirnya orde lama
Pada periode ini pemerintah pusat mengeluarkan dua UU yang
berkenaan dengan otonomi daerah. Undang-undang tersebut mengatur
tentang pengalihan kekuasaan dan pembagian daerah-daerah otonom
dalam beberapa tingkatan. Di era orde lama ini daerah Cirebon terbagi
menjadi Kotaraya atau Daerah Tingkat I dan Kabupaten atau Daerah
Tingkat II.
Pertama adalah UU No. 6 Tahun 1959 ditetapkan bahwa kecuali
tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang mengurus ketertiban dan
keamanan umum, koordinasi mengenai pengawasan jalannya pemerintah
daerah, yaitu semua wewenang dan kekuasaan dari pegawai-pegawai
pamong praja dari Gubernur, Resident/Residen, Regent/Bupati sampai
Camat dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Semua kekuasaan dan wewenang yang bersifat mengatur (regelende
bevoedheid) dari Gouvenour/ Gubernur, Resident/ Residen beralih
pada DPRD Tingkat I.
2) Semua kekuasaan dan wewenang yang tidak bersifat mengatur yang
melekat pada Regent/Bupati/Walikota, Asisten Residen, hoofd van
31
Ibid, hal 45
49
plasstselijk bestuur, patih, wedana dan Asisten Wedana beralih pada
Dewan Pemerintahan Daerah Tingkat I.32
Sedangkan yang kedua ialah pasal 2 UU No. 18 Tahun 1965
membagi daerah dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri dan tersusun dalam tiga tingkat sebagai
berikut:
1) Provinsi dan/ atau Kotaraya, sebagai Daerah Tingkat I.
2) Kabupaten dan/ atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat II.
3) Kecamatan sebagai Daerah Tingkat III.33
g. Periode Orde Baru
Praktis pada masa ini tak begitu banyak perubahan yang terjadi
dalam implementasi otonomi daerah. Hal ini disinyalir karena jalannya
pemerintahan yang cukup stabil dan bertahan cukup lama. Hanya ada
beberapa UU yang mengatur tentang pemerintah daerah, seperti:
1) UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di Daerah
yang mengatur azas pemerintahan desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan.
2) UU No. 5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat (1) yang berisi pemerintah daerah
adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
32
33
Ibid, hal 45
Ibid, hal 46
50
h. Periode Reformasi
Jatuhnya pemerintahan Suharto memberikan dampak perubahan
yang cukup meluas. Mulai dari amandemen UUD 1945, perubahan
nomenklatur departemen, perubahan kebijakan dan semua yang dianggap
sebagai biang rusaknya pemerintahan. Perihal UU yang mengatur
tentang pemerintah daerah bisa dilihat dari hasil sidang Umum MPR
yang mengesahkan Tap-Tap MPR yang melahirkan beberapa perubahan
UU sebagai berikut:
1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah.
2) Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
3) Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara
bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
4) Peraturan Pemerintah RI No. 84 Tahun 2000 tentang pedoman
organisasi perangkat daerah.
5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai pemyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999.34
2. Kedudukan dan Wewenang
Perihal kedudukan dan kewenangan Pemerintah Kota Cirebon lebih
jelasnya sudah diatur dalam UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah.
Pemerintah Kota Cirebon adalah daerah otonom dari Negara Kesatuan
34
Ibid, hal 74
51
Republik Indonesia yang secara struktur dan kedudukan harus menginduk
kepada pemerintah pusat. Dalam hal ini pemerintah kota berada satu tingkat
di bawah pemerintah provinsi dan dua tingkat di bawah pemerintah pusat.
Adapun kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerahnya haruslah merunut
pada konstitusi yang berlaku di Indonesia. Sehingga kepala daerah tidak bisa
sewenang-wenang dalam membuat keputusan dan kebijakan. Lebih jelasnya
bisa kita lihat pada UUD 1945 perubahan ke-4 pasal 18 ayat 1 dan 5.
Hal-hal mengenai wewenang Pemerintah Daerah terdapat pada
perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan
susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia.
Pasal 18 ayat (1) berbunyi:
“ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi
dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur Undang-Undang”.
Dan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan
urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk
mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.35
35
Sekretaris Jenderal MPR RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Cetakan Keempatbelas, hal. 132
52
3. Struktur Organisasi Pejabat Pemerintahan Kota Cirebon
Adapun struktur organisasi DISPORBUDPAR Kota Cirebon adalah
sebagai berikut:
Kepala Dinas
: Drs. Dana Kartiman
Sekretaris
: Bagja Edi Rohaedi, S.Sn.
MM
KA. UPTD PIBP
: Wahyoe Koesoemah, S.Sn
KA. UPTD SARPRAS Pemuda dan OR
: Drs. Fauzi Aschar
KA. UPTD PPOR
: Hj. Sustini, SAP
Kasubag TU UPTD PIBP
: Giyanto, SE. MM
Pelaksana
: Krisbiantoro, SE
Kasubag TU UPTD SARPRAS Pemuda dan OR : R. Dijah Rosalina N, S.Sos
Pelaksana
: Rosidah, A.Md
Kasubag TU UPTD PPOR
: Dini Novianti, S.Sos
Pelaksana
: Jojo Turijo
Kasubag Umum
: Suharjo, SAP
Pelaksana
: Sukara
Kasubag Proglap
: Drs. Dodi Supriyadi
Pelaksana
: Iffatunnisa R, A.Md
Kasubag Keuangan
: 1. M. Taufiq Rizal, SS
2. Tri Hernatikah, SE
53
3. Siti Maemunah, Amd
4. Musa Abrori, SE
5. Gita Lugina, SE
6. Ferike
Kabid Kepemudaan
: Alimudin, A.Md
Kasie Bina Lemmitra Pemuda
: Hj. Tati Sumiyati, SE
Pelaksana
: Beny, S.Sos, M.Si
Kasie Bina Pimwir Pemuda
: Umi Sangadah, S.Sos
Pelaksana
: Erwin Rahmat Josandi
Kabid Keolahragaan
: Odik, S.Pd.,M.Pd
Kasie Bina Olahraga Prestasi
: Santosa, S.Sos
Pelaksana
: Pujo Janoko, SAP
Kasie Bina Olahraga Rekmas
: Rindu Legawati, S.H.,
M.Si
Pelaksana
: Drs. Nanang Sudibyo
Kabid Kebudayaan
: Drs. Agus. S, MM, M.Pd
Kasie Bina Senfibasa
: Dede Wahidin, S.Sn
Pelaksana
: 1. Rakhmat Hidayat, S.IP
2. Reni Imaniyah. S,SH
Kasie Bina Niltrasepur
: Sugiyono, S.Pd
Pelaksana
: Maryono. K, S.IP, M.Si
Kabid Kepariwisataan
: H. Tohidi, Se., MM
Kasie Pemasaran Pariwisata
: Suhendi, SE
54
Pelaksana
: Mustopa, SE
Kasie Bina Usaha Pariwisata
: Wiyono SA., S.Sn
Pelaksana
: Ricco Hadiyanto, A.Md
56
BAB IV
TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA
A. Profil Informan
1. Pemangku Jabatan Keraton Kasepuhan
Pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dalam hal ini merujuk kepada
orang-orang yang bekerja di lingkungan keraton dan termasuk ke dalam
struktur organisasi Badan Pengelola Keraton Kasepuhan (BPKK).
a. Iman Sugiman
Narasumber pertama dari pihak keraton adalah Bapak Iman
Sugiman. Beliau adalah salah satu „abdi dalem‟ yang bisa dikatakan
cukup senior. Karena telah bekerja dan menghabiskan hampir satu per
empat abad umurnya di Keraton Kasepuhan. Tepatnya selama 24 tahun.
Sehingga sudah merasakan pahit-manisnya hidup di lingkungan keraton.
Selain itu, ada kebijakan Sultan yang secara langsung menunjuk Iman
Sugiman untuk membimbing peneliti dalam penelitian yang mengkaji
aspek sosial, budaya dan pariwisata.
Beliau sekarang menjabat sebagai Koordinator Kepala Bagian
Penerima Tamu. Jabatan ini baru diembannya selama satu tahun.
Tanggung jawab terhadap jabatannya kali ini bisa dibilang cukup berat,
karena beliau lah yang harus bertanggung jawab dalam penerimaan tamu
baik itu wisatawan domestik ataupun internasional. Beliau juga
seringkali diutus oleh Sultan untuk mewakili Keraton Kasepuhan dalam
57
berbagai kegiatan kebudayaan dan kepariwisataan. Di luar Keraton
Kasepuhan, beliau juga aktif di KOMPEKPAR (Komunitas Penggerak
Pariwisata) wilayah Cirebon. Pernah menjabat sebagai Sekretaris juga
pada tahun lalu sebelum digantikan kepengurusan yang baru.
b. Ahmad Jazuli
Beliau adalah salah satu dari lima orang staff yang ditunjuk oleh
Sultan Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat S.E. Jabatan sebagai Staff
Sultan tersebut sudah diamanatkan kepada beliau sejak 2010 atau sejak
Sultan Sepuh XIV diangkat. Dengan posisi sebagai Staff Sultan bisa
dibilang beliau mengetahui hampir seluruh kegiatan yang Keraton
Kasepuhan selenggarakan dan laksanakan. Selain memang harus
bertanggung jawab mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugastugasnya.
2. Pejabat Pemerintah Kota Cirebon
Pejabat Pemerintah Kota Cirebon adalah pejabat negara yang bekerja
di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon. Dsalam hal ini tepatnya dari Dinas
Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (DISPORBUDPAR). Untuk
mengerucutkan poin-poin yang dibahas dalam penelitian kali ini maka yang
dipilih sebagai narasumber adalah Kepala DISPORBUDPAR serta dari
Bagian Pariwisata dan Kebudayaan.
a. Drs. Dana Kartiman
Narasumber pertama dan utama dari Pemerintah Kota adalah Drs.
Dana
Kartiman.
Jabatan
beliau
sekarang
adalah
Kepala
58
DISPORBUDPAR. Pemilihan beliau sendiri sebagai narasumber lebih
dikarenakan Dinas yang beliau bawahi memiliki intensitas dan frekuensi
interaksi yang lebih tinggi dengan Keraton Kasepuhan dibandingkan
dengan Dinas lainnya di Kota Cirebon. Beliau sudah menduduki jabatan
tersebut sejak 15 Maret 2014. Bisa dibilang beliau adalah pejabat senior
yang sudah cukup lama malang melintang di jajaran pejabat Pemerintah
Kota Cirebon. Sebelum menjabat sebagai Kepala DISPORBUDPAR,
beliau juga pernah menduduki beberapa jabatan di BAPUSIPDA dan
Dinas Pendidikan yang kesemuanya di kota Cirebon.
Dalam tugasnya yang sekarang beliau bertanggung jawab
terhadap sektor Kepemudaan, Olahraga dan tentunya Kebudayaan serta
Kepariwisataan. Kebudayaan dan Kepariwisataan sendiri merupakan
sektor yang tak bisa dianggap sepele, mengingat sejarah panjang Kota
Cirebon sebagai salah satu daerah yang memiliki nilai sejarah tinggi
berikut prospek pariwisatanya yang sekarang mulai dilirik wisatawan
domestik dan internasional. Perhatian terhadap hal-hal tersebut mau tidak
mau membuat beliau harus terlibat lebih aktif dalam berkomunikasi
dengan stakeholders kebudayaan dan kepariwisataan setempat demi
menjadikan kota Cirebon sebagai tujuan wisata yang menarik.
b. Wiyono SA., S.Sn
Narasumber selanjutnya dari bagian pariwisata adalah Wiyono
SA., S.Sn. Beliau menjabat sebagai Kepala Seksie Bina Usaha
Pariwisata. Jabatan ini sudah diembannya selama empat tahun. Setelah
59
sebelumnya mengisi beberapa jabatan di DISPORBUDPAR. Beliau juga
menjadi ketua pelaksana dalam kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi
Para Stakeholder Kepariwisataan yang dilaksanakan Akhir 2015 yang
lalu.
Pada posisinya yang sekarang beliau diberi tanggung jawab untuk
meningkatkan usaha kepariwisataan di wilayah Cirebon. Sektor
pariwisata di Kota Cirebon sendiri terbagi dalam dua aspek yakni,
sejarah dan ziarah. Keraton-keraton di Cirebon seperti Kasepuhan dan
Kanoman yang selama ini menjadi ikon pariwisata di Cirebon menjadi
fokus utama yang harus digarap dan ditingkatkan lagi demi mengenalkan
peninggalan leluhur kepada wisatawan domestik dan internasional.
c. Sugiyono S.Pd
Sedangkan narasumber dari bagian kebudayaan sendiri adalah
Sugiyono S.Pd. Sekarang beliau menjabat sebagai Kepala Seksie Bina
Nilai Tradisional Sepuh dan Purbakala. Beliau dipercaya memegang
jabatan ini selama empat tahun terakhir.
Sebagai Kasie Bina Niltrasepur beliau bertanggung jawab dalam
pemeliharaan setiap unsur kebudayaan yang ada di Cirebon. Unsur
kebudayaan yang dimaksud diantaranya benda-benda peninggalan
kebudayaan masa lalu seperti keraton-keraton, gua sunyaragi, serta situssitus peninggalan sejarah lainnya. Selain itu, pelestarian aktivitas
kebudayaan seperti upacara-upacara tradisional, tari-tarian, serta
60
kesenian tradisional juga menjadi hal yang harus tetap diperhatikan demi
menjaga keutuhan kebudayaan Cirebon.
B. Simpul-Simpul Pertemuan antara Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah
Kota
Sebagai bagian dari observasi penelitian kali ini adalah dengan turut
serta dalam beberapa pertemuan yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan dan
Pemerintah Kota Cirebon, berikut adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh
kedua pihak.
1. Keraton Kasepuhan
a. Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW
Rapat koordinasi ini merupakan bagian dari rangkaian persiapan
penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang kerap kali
disebut sebagai Panjang Jimatan oleh masyarakat Cirebon. Seperti
umumnya rapat koordinasi, pihak Keraton sebagai tuan rumah sekaligus
penyelenggara juga mengundang pihak-pihak terkait demi kelancaran
Panjang Jimatan tersebut. Pihak yang diundang antara lain Pemerintah
Kota, dari pejabat tingkat RT sampai Walikota, Kepolisian, TNI, sanak
famili, dan tentunya masyarakat sekitar.
Tujuan dari diselenggarakannya rapat koordinasi ini tentunya
adalah perihal tercapainya persiapan dan kesiapan yang matang pada
penyelenggaraan Panjang Jimatan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja
yang terkoordinasi dan terintegrasi dari semua pihak. Seperti masalah
tentang keamanan, kenyamanan, dan tentunya kebersihan. Hal-hal
61
tersebut tentunya akan sangat sulit ditangani sendiri oleh pihak Keraton
mengingat Panjang Jimatan bukanlah acara yang dihadiri oleh sedikit
orang.
b. Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat)
Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan
memiliki daya tarik tersendiri. Karena mengandung unsur budaya yang
sangat kental. Mengingat Cirebon merupakan salah satu daerah yang
dijadikan ujung tombak penyiaran agama islam pada masa wali songo.
Wali songo sendiri melakukan syi‟ar islam dengan sentuhan-sentuhan
budaya yang kental. Sunan Gunung Jati yang ditugaskan di wilayah Jawa
Barat pun turut menggunakan pendekatan budaya dalam menyebarkan
agama islam. Salah satu warisannya yang masih tetap dilestarikan adalah
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Unsur budaya sangat terasa
pada puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton
Kasepuhan, dimana didalamnya terdapat ritual upacara panjang jimat.
Upacara panjang jimat sendiri merupakan pencucian benda
pusaka yang disertai dengan iring-iringan. Iring-iringan tersebut
berangkat dari dalam Keraton Kasepuhan sampai Langgar Alit yang
masih berada dalam pelataran Keraton. Selain iring-iringan benda pusaka
yang kemudian dimandikan dan dibacakan doa, berbagai makanan pun
turut disertakan dan didoakan sebelum kemudian diperebutkan oleh
masayarakat yang mempercayai bahwa makanan tersebut mengandung
keberkahan.
62
c. Pertunjukan Kolaborasi Tari Bian Lian dan Tari Topeng
Pagelaran atau pertunjukan seni tari ini merupakan gagasan dari
Sultan Sepuh XIV. Kepeduliannya pada pelestarian dan pengembangan
kesenian dituangkan dalam bentuk pagelaran kolaboratif antara tari Bian
Lian dari Tiongkok dan tari Topeng dari Cirebon. Gagasan ini muncul
ketika beliau mengunjungi Tiongkok dan disambut dengan tari Bian
Lian. Tari Bian Lian ini sendiri merupakan jenis tari-tarian yang
menggunakan topeng sebagai pusat daya tariknya. Cirebon sendiri
memiliki tari sejenis namun dengan warna dan bentuk topeng yang
berbeda, jenis tari ini biasa disebut tari Topeng. Dengan latar belakang
kesamaan pada penggunaan topeng, maka sultan pun berinisiatif untuk
membuat pagelaran kolaborasi tari Bian Lian dan tari Topeng.
Gagasan tersebut mendapat sambutan yang baik dari lembaga
bahasa mandarin di Jawa Barat. Maka, dibuat lah kerjasama untuk
menyelenggarakan kolaborasi tari Bian Lian dan tari Topeng di Cirebon.
Kerjasama tersebut membuahkan hasil dan dapat ditampilkan untuk
pertama kalinya di Keraton Kasepuhan.
2. Pemerintah Kota Cirebon
a. Sosialisasi Sadar Wisata bagi Seluruh Stakeholders Kepariwisataan
Kota Cirebon
Kegiatan ini merupakan respon terhadap kondisi kepariwisataan
di Kota Cirebon. Kondisi kepariwisataan di Cirebon sendiri tidak bisa
63
dikatakan sepenuhnya baik. Oleh karena itu, Pemerintah Kota dalam hal
ini
melalui
bagian
Pariwisata
mencoba
untuk
mengumpulkan
stakeholders kepariwisataan di Kota Cirebon untuk membicarakan
tentang pengembangan pariwisata di Cirebon.
Stakeholders yang dimaksud dalam hal ini adalah para pengelola
cagar budaya yang didalamnya termasuk dari Keraton Kasepuhan,
kuncen situs-situs budaya, pengelola hotel, kuliner dan travel. Kegiatan
ini sendiri diisi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(DISBUDPAR) Provinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga
Budaya dan Pariwisata (DISPORBUDPAR).
b. Laporan Data Pengunjung Keraton Kasepuhan
Kegiatan ini merupakan bentuk controlling dari Pemerintah Kota
terhadap pemberdayaan cagar budaya. Semua cagar budaya yang terletak
di Kota Cirebon diharuskan untuk membuat data pengunjung dan
melaporkannya kepada Pemerintah Kota setiap bulan. Termasuk Keraton
Kasepuhan di dalamnya. Data ini nantinya dibutuhkan sebagai salah satu
pertimbangan dalam pengembangan pemberdayaan cagar budaya ke
depannya.
c. Sowan
Sowan yang dimaksud dalam hal ini adalah kunjungan yang tidak
direncanakan. Sengaja tidak dimasukkan ke dalam agenda resmi ataupun
terencana karena untuk menghilangkan kesan kaku dalam hubungan
yang berlangsung diantara pihak Pemerintah Kota Cirebon dan pihak
64
Keraton Kasepuhan. Karena tidak direncanakan, waktu sowan pun bisa
kapan saja tanpa memperhitungkan waktu.
Kegiatan sowan ini sering dilakukan oleh pihak Pemkot untuk
menjaga silaturahmi dengan pihak Keraton Kasepuhan. Penerimaannya
pun tidak mesti oleh Sultan, melainkan bisa dengan siapa saja, biasanya
yang menerima adalah orang-orang yang masuk dalam jajaran BPKK
(Badan Pengelola Keraton Kasepuhan).
C. Analisa Hasil Temuan
Analisa hasil temuan penelitian model kualitatif deskriptif analisis
mengacu pada nilai-nilai objektifitas. Fokus analisanya sendiri adalah pada pola
komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan Pejabat Pemerintah
Kota. Pola komunikasi yang dimaksud adalah tentang pola komunikasi formal
dan informal. Selain tentunya juga dilakukan analisa terhadap pola-pola
komunikasi dalam bentuk lingkaran, roda, rantai dan bintang.
1. Analisa Pola komunikasi Pemangku Jabatan Keraton dengan Pejabat
Pemerintahan Kota
a. Identifikasi Keraton terhadap Pemkot
Sebelum membahas tentang pola komunikasi diantara pemangku
jabatan Keraton Kasepuhan dengan pejabat Pemerintah Kota tentu yang
harus diketahui terlebih dahulu adalah perihal bagaimana pihak keraton
menganggap atau mengidentifikasi Pemerintah Kota berikut pejabatnya.
Karena identifikasi yang kita lakukan terhadap suatu objek akan
mempengaruhi bagaimana kita merespon objek tersebut, objek yang
65
dimaksud dalam hal ini adalah simbol-simbol yang muncul dalam suatu
interaksi.1 Dalam hal ini individu bergerak atau merespon stimulus
bergantung pada simbol yang digunakan dan pemaknaan dari simbol
tersebut. Simbol dalam proses komunikasi dapat berupa: bahasa, isyarat,
gambar, warna dan lain sebagainya.2
Maka, penting untuk mengetahui terlebih dahulu simbol-simbol
yang digunakan pihak Keraton dalam berinteraksi dengan pihak Pemkot.
Keraton sendiri pada perkembangannya sudah menjadi penjaga
dan pelestari adat yang terlembaga dan melembaga. Terlembaga dan
melembaga dalam artian secara struktur organisasi dan gerak langkah
keraton sudah mengalami beberapa perubahan atau lebih tepatnya
mengalami modernisasi selayaknya instansi atau lembaga-lembaga pada
masa sekarang. Perubahan tersebut tidak lantas mengubah keseluruhan
wajah keraton, seperti dalam hal struktur organisasi misalnya, struktur
organisasi tradisional tetap dipertahankan meskipun telah membentuk
struktur organisasi modern.
Pembentukan struktur organisasi modern ini lebih dikarenakan
untuk menjawab kebutuhan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh
Ahmad Jazuli, salah satu staff Sultan Sepuh XIV, dalam wawancaranya
dengan saya. ”Kemudian sesuai perkembangan zaman, mau tidak mau
keraton berkembang menjadi destinasi wisata, ya wisata sejarah, wisata
1
Umiarso dan Elbadiansyah, Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern, (Depok:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2014), hal. xxi
2
Joel M. Charon, Symbolic Interactionisme: An Introduction, An Interpretation, An Integration.
Prentice Hall, Hal 40.
66
ziarah, dan juga wisata pendidikan. Seperti sekarang ini Sultan Sepuh
merasa perlu untuk membentuk badan khusus di luar struktur tradisional.
Oleh karenanya dibentuk BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan).
Semi modern lah. Ini kan untuk menjawab kebutuhan zaman karena
belum ter-cover oleh struktur tradisional”. Perubahan struktur organisasi
tersebut berdampak pada gerak langkah yang melembaga pula, keraton
pada masa sekarang mau tidak mau harus mengikuti prosedur
administrasi yang berlaku. Seperti dalam hal surat-menyurat, laporan
data pengunjung, ataupun pengajuan proposal untuk menjalin kerjasama
dengan Pemerintah dan swasta.
Pihak keraton sendiri menganggap Pemerintah Kota, yang dalam
hal ini sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat sebagai rekan dan
juga pemilik bersama Keraton Kasepuhan.
1) Sebagai Rekan atau Mitra
Rekan atau mitra yang dimaksud dalam hal ini adalah
berkaitan
dengan
pelaksanaan
kegiatan
kebudayaan
dan
kepariwisataan. Di dalamnya termasuk kegiatan-kegiatan adat dan
tradisi juga. Hal ini juga diperkuat dengan wawancara yang saya
lakukan dengan Iman Sugiman, salah satu abdi dalem atau juru
pelihara Keraton Kasepuhan.3 “Keraton juga milik negara, jadi
Pemerintah Kota dan Keraton harus saling bekerja sama”. Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa keraton tidak independen, tidak lagi
3
Hasil wawancara dengan Iman Sugiman pada 30 November 2015 di Keraton Kasepuhan
67
berdiri sendiri. Tidak lagi memiliki fungsi pemerintahan yang
memungkinkannya untuk mengatur segala sesuatunya sendiri.
Sehingga segala sesuatunya haruslah dilakukan dengan berkerja
sama. Utamanya dengan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat ataupun
Pemerintah Kota, selaku pemegang otoritas tertinggi daerah.
Hal ini juga dapat dilihat dari pelibatan pejabat pemerintahan
dalam struktur organisasi Badan Pengelola Keraton Kasepuhan
(BPKK). Bahkan, tidak hanya dilibatkan tetapi juga ditempatkan di
salah satu posisi tertinggi. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi jawa Barat dan Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan
dan Pariwisata menjabat sebagai pembina, yang dalam hal ini sejajar
dengan Sultan Sepuh. Kesamaan posisi tersebut menjadikan Sultan
dan Pejabat Pemerintah tersebut dapat mengawasi sekaligus
memberikan pengarahan dalam kepengurusan BPKK.
Suasana „kemitraan‟ juga tergambar dalam kegiatan-kegiatan
Keraton yang mengundang pihak Pemerintah Kota Cirebon. Pada
kegiatan
Rapat
Persiapan
Maulid
Nabi
Muhammad
SAW
(12/10/2015) misalnya, Sultan yang memimpin rapat tersebut dengan
berbesar
hati
mempersilakan
pejabat-pejabat
daerah
untuk
menyampaikan sepatah - dua patah kata demi terselenggaranya
kegiatan Maulid dengan lancar. Hal ini dilakukan karena Keraton
memandang unsur-unsur pemerintahan sebagai mitra, sebagai
rekanan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kebudayaan. Ada
68
keterbukaan dan pemahaman bahwa keraton tidak lagi memandang
segala sesuatunya secara hierarkis. Pejabat Pemerintah pun boleh
mengutarakan pendapatnya tanpa memandang dia berdarah apa dan
berasal dari mana.
2) Sebagai Pembina
Dalam konteks pemberdayaan dan pelestarian adat dan
tradisi, pemerintah berperan sebagai pembina. Sesuai dengan yang
tertera dalam UU Cagar Budaya. Dalam statusnya sebagai pembina
dan sesuai dengan yang tertera pada Bab VIII tentang tugas dan
wewenang. Pemerintah Kota memiliki tugas sebagai berikut:
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 95
(1) Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas
melakukan Pelindungan,
Pengembangan, dan Pemanfaatan
Cagar Budaya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya
mempunyai tugas:
a) Mewujudkan,
menumbuhkan,
mengembangkan,
serta
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan
kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya.
69
b) Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat
menjamin
terlindunginya
dan
termanfaatkannya
Cagar
Budaya.
c) Menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan
Cagar Budaya.
d) Menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat.
e) Menyelenggarakan promosi Cagar Budaya.
f) Memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan
dan promosi Cagar Budaya.
g) Menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan
darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan
yang
telah
dinyatakan
sebagai
Cagar
Budaya
serta
memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami
bencana.
h) Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap
pelestarian warisan budaya. Dan
i) Mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian
Cagar
Budaya.4
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 96
4
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal.41
70
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya
mempunyai wewenang:
a) Menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya.
b) Mengoordinasikan pelestarian Cagar Budaya secara lintas
sektor dan wilayah.
c) Menghimpun data Cagar Budaya.
d) Menetapkan peringkat Cagar Budaya.
e) Menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya.
f) Membuat peraturan pengelolaan Cagar Budaya.
g) Menyelenggarakan kerja sama pelestarian Cagar Budaya.
h) Melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum.
i) Mengelola kawasan Cagar Budaya.
j) Mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang
pelestarian, penelitian dan museum.
k) Mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang
kepurbakalaan.
l) Memberikan penghargaan kepada setiap orang
melakukan pelestarian
yang
telah
Cagar Budaya.
m) Memindahkan dan/ atau menyimpan Cagar Budaya untuk
kepentingan pengamanan.
n) Melakukan pengelompokan Cagar Budaya
kepentingannya
menjadi
peringkat
provinsi dan peringkat kabupaten/kota.
nasional,
berdasarkan
peringkat
71
o) Menetapkan batas situs dan kawasan. Dan
p) Menghentikan
proses
pemanfaatan
ruang
atau
proses
pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau
musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagianbagiannya.
(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah berwenang:
a) Menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar
Budaya.
b) Melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah
perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar
negeri.
c) Menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/ atau
Kawasan cagar Budaya sebagai Cagar Budaya nasional.
d) Mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia
atau Cagar Budaya bersifat Internasional. Dan
e) Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelestarian
Cagar Budaya.
Pasal 97
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
Kawasan Cagar Budaya.
pengelolaan
72
(2) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud
dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan
terhadap Cagar Budaya
pada ayat (1)
masyarakat
dan kehidupan sosial.
(3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh badan pengelola yang
dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau
masyarakat hukum adat.
(4) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
terdiri atas unsur Pemerintahdan/
atau
Pemerintah
Daerah,
Dunia Usaha, dan masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Cagar Budaya
diatur dalam Peraturan Pemerintah.5
Pihak keraton sendiri juga memahami betul tentang peran
Pemerintah Kota sebagai pembina. Ahmad jazuli, salah satu staf
Sultan pun mengamini hal tersebut. “Dalam konteks kenegaraan kan
kita dalam binaan Pemerintah. Kan ada dalam UU, kewajiban
Pemerintah untuk melestarikan dan membina adat dan tradisi. Kita
bagian dari institusi itu, kalau bicara institusional keratonnya kan
berbeda lagi. Kita kalau sudah berkomitmen bersatu dengan NKRI,
kita harus taat UU”.6
b. Simpul-Simpul Komunikasi antara Keraton kasepuhan dengan
Pemerintah Kota
5
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, hal.42
6
Hasil wawancara dengan Ahmad Jazuli di Keraton Kasepuhan pada 16 Juni 2016
73
Untuk mengetahui pola-pola komunikasi yang digunakan
Keraton kasepuhan dalam berkomunikasi dengan Pemerintah Kota, kita
dapat melihatnya dari simpul-simpul pertemuan yang dilakukan oleh
Keraton Kasepuhan dengan Pemerintah Kota. Dalam hal ini Keraton
Kasepuhan berperan sebagai inisiator dan Pemerintah Kota sebagai
undangan. Berikut adalah simpul-simpul pertemuannya:
1) Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW (Upacara
Panjang Jimat)
Simpul pertemuan yang pertama ini bisa kita kategorisasikan
sebagai komunikasi formal. Sehingga pola komunikasi yang
dibangun pun pola komunikasi formal. Pada rapat koordinasi ini,
undangan datang dari pihak internal dan eksternal. Pihak internal
dalam hal ini adalah orang-orang yang tergabung dalam struktur
organisasi BPKK (Badan Pengelola Keraton Kasepuhan), sanak
famili dan kerabat. Sedangkan pihak eksternal yang dimaksud adalah
dari unsur kepolisian, TNI (Tentara Nasional Indonesia), Pemerintah
Kota, wartawan dan juga peneliti.
Pada prakteknya Sultan menggunakan pola komunikasi yang
berbeda-beda. Bergantung kepada siapa yang dijadikan lawan
bicaranya. Lawan bicara pada rapat koordinasi ini bisa kita
kategorisasikan menjadi pihak internal dan eksternal.
74
a) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Internal
Khomsahrial Romli membagi arah aliran komunikasi
formal ke dalam empat bagian, yakni: komunikasi dari atas ke
bawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal,
komunikasi diagonal.7
Dalam rapat koordinasi ini kita bisa melihat praktek
komunikasi dari atas ke bawah saat Sultan membacakan dan
memberikan SK kepanitiaan perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW dan memberikan arahan perihal persiapan-persiapan apa
saja yang harus dilakukan kepada panitia pelaksana. Lewis
(1987) mengatakan bahwa komunikasi ke bawah adalah untuk
menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk
pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul
karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang
informasi
dan
mempersiapkan
anggota
organisasi
untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan.8
Sultan sebagai orang yang paling berwenang dan
bertanggung
jawab
di
Keraton
Kasepuhan
tentunya
menginginkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW kali ini
dapat berjalan lancar dan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
persiapan dan kesiapan penyelenggaraan pun harus diperhatikan
7
Romli Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, (Jakarta: PT Grasindo, 2011) Cet. Ke-1.
8
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Cet. ke-4, hal. 108
Hal.176
75
secara lebih seksama. Termasuk kesiapan panitia pelaksana di
dalamnya. Sehingga dalam rapat tersebut, Sultan pun membentuk
kepanitiaan penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW berikut dengan arahan perihal bagaimana menjalankan
tugas masing-masing. Salah satu bentuk komunikasi dari atas ke
bawah adalah instruksi tugas.9 Instruksi tugas yang dimaksud
adalah pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa
yang diharapkan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Panitia diharapkan dapat menjalankan tugasnya degan baik dan
mempersiapkan segala kemungkinan-kemungkinan terburuk serta
penanggulangannya.
Selain
memberikan
instruksi
tugas,
Sultan
pun
memberikan rasional untuk membuat semua pihak terkait merasa
bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing. Rasional
dalam hal ini adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan
aktivitas dan bagaimana keterkaitan aktivitas itu dengan aktivitas
lain dalam organisasi atau objek organisasi.10
Pola
komunikasi
Sultan
kepada
pihak
internal
menggunakan pola roda. Pada pola roda, Sultan berkomunikasi
dengan dengan banyak orang. Orang-orang yang dimaksud
adalah orang-orang yang masuk ke dalam kategori pihak internal
yang kemudian menjadi panitia pelaksana perayaan Maulid Nabi
9
Ibid, hal. 108-109
Ibid, hal. 108-109
10
76
Muhammad
SAW.
Pada
pola
komunikasi
seperti
ini
kecenderungan yang terjadi adalah komunikasi satu arah dan
tidak terjadi timbal balik.11
Pada rapat koordinasi ini, memang tidak terjadi timbal
balik dari pihak internal kepada Sultan. Hal ini karena pesan yang
disampaikan Sultan berupa instruksi tugas dan rasional sehingga
tidak membutuhkan timbal balik.
b) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Eksternal
Berbeda dengan saat berkomunikasi kepada pihak
internal,
pola
komunikasi
yang
digunakan
sultan
saat
berkomunikasi dengan pihak eksternal adalah pola komunikasi
horizontal. Komunikasi horizontal merupakan aliran komunikasi
dari dan ke individu atau kelompok yang secara struktur
organisasi berada pada status yang sama.12
Sultan dan pihak internal memang tidak berada pada
struktur organisasi dan status yang sama. Namun, Sultan
menganggap pihak eksternal sendiri sebagai mitra. Mitra dalam
penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW dan dalam
kehidupan sehari-hari. Pandangan ini didasari oleh identifikasi
yang dilakukan Sultan terhadap pihak eksternal.13 Manusia
bereaksi terhadap segala sesuatu tergantung bagaimana ia
11
H.A.W. Widjaya, Ilmu Komunikasi Pengantar Studi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) edisi
revisi, hal. 102-10
12
Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, Hal.176
13
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), cet ke-1, hal. 150
77
mendefinisikan
sesuatu
tersebut.
Hal
ini
memberikan
kenyamanan kepada pihak eksternal dalam pertemuan tersebut.
Selain pola horizontal, Sultan pun menggunakan pola
komunikasi
bintang
dalam
berkomunikasi
dengan
pihak
eksternal. Ini terlihat pada saat Sultan selesai berbicara, beliau
mempersilakan pihak eksternal untuk turut berbicara dan
memberikan tanggapannya perihal persiapan perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Hampir mirip dengan pola lingkaran,
dimana semua anggota memiliki hak dan kekuatan untuk saling
berkomunikasi.14
Pada pola bintang seperti ini, Sultan memposisikan diri
sama dengan pihak eksternal. Sehingga pihak eksternal, yang
dalam
hal
ini
Kapolsek
Lemahwungkuk
dan
Lurah
Lemahwungkuk juga turut berbicara mengenai persiapan dan
kesiapan penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW. Hal ini menjadi penting, mengingat keterbukaan masingmasing pihak dalam penyelenggaraan kegiatan akan membantu
kelancaran kegiatan.
2) Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang
Jimatan)
Perayaan maulid nabi Muhammad SAW di Keraton
Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri. Seperti yang telah
dijelaskan pada bagian simpul-simpul komunikasi antara Keraton
14
Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103
78
Kasepuhan dengan Pemerintah Kota, perayaan maulid di sini disertai
dengan upacara panjang jimat. Yang mana merupakan upacara iringiringan benda pusaka dan makanan dari dalam keraton ke langgar
alit.
Pada upacara panjang jimat ini sebenarnya tak banyak
komunikasi dan interaksi yang terjadi. Karena hal utamanya adalah
seremonial iring-iringan dan momen berebut makanan yang telah
didoakan dan dianggap memiliki keberkahan.
a) Pola Komunikasi Sultan dengan Pihak Internal
Pola komunikasi yang digunakan oleh Sultan pada
upacara panjang jimat ini masih tetap menggunakan pola
komunikasi formal. Mengingat acaranya juga yang formal.
Sehingga praktek dan prilaku komunikasi yang terjadi pun berada
dalam tataran formal. Ini tergambar dari susunan acara yang
terdiri dari:
1. Sambutan Sultan Sepuh XIV
2. Laporan staf Sultan perihal kesiapan upacara panjang jimat
3. Iring-iringan benda pusaka dan makanan
4. Pembacaan do‟a
5. Makan bersama
Pola komunikasi formal yang terlihat pada kegiatan ini
adalah pemberian instruksi tugas. Ini bisa dilihat pada saat staf
Sultan memberikan laporannya mengenai kesiapan pelaksanaan
79
upacara panjang jimat. Setelah menerima laporan kesiapan
pelaksanaan tersebut, Sultan pun memerintahkan agar upacara
panjang jimat segera dilaksanakan.
Selain itu, pola yang tergambar dalam hal ini adalah pola
rantai. Dimana semua pelaku komunikasi terikat oleh struktur.
Sehingga komunikasi yang terjadi adalah hanya dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Pada prosesnya, setiap pelaku
komunikasi yang akan berkomunikasi tidak dapat dengan
mudahnya berkomunikasi dengan pelaku komunikasi lainnya.
Karena harus melalui tingkatan-tingkatan yang diciptakan oleh
struktur organisasi. Pada pola rantai, jaringan komunikasi terdiri
dari lima tingkatan dalam jaringan hierarkinya dan hanya
meliputi komunikasi ke atas (up ward) dan ke bawah (down
ward).15
Pada prakteknya, panitia pelaksana memberikan laporan
mengenai kesiapan pelaksanaan upacara panjang jimat secara
keseluruhan kepada staf Sultan. Setelah semua laporan kesiapan
pelaksanaan sudah diterima, staf Sultan pun menyampaikan
laporannya tersebut kepada Sultan. Sultan pun merespon
haltersebut kepada staf Sultan. Dan staf Sultan memberikan
arahan kepada panitia pelaksana agar segera memulai upacara
panjang jimat.
15
Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103
80
b) Pola Komunikasi Sultan kepada Pihak Eksternal
Pada kesempatan ini, dalam berkomunikasi dengan pihak
eksternal, Sultan menggunakan pola komunikasi informal.
Komunikasi informal dalam artian komunikasi yang dilakukan
begitu saja, tanpa memperhatikan posisi di organisasi.16 Informasi
mengalir dengan cairnya dari atas ke bawah, bawah ke atas, dan
horizontal. Hal ini terjadi karena momen pertemuan Sultan
dengan pihak ekstenal pada saat sesi makan bersama. Sehingga
yang diutamakan adalah keramahan dan kebersamaan tanpa
memandang status.
3) Pagelaran Kolaborasi Seni Tari Bian Lian dan Tari Topeng
Pagelaran tari kolaborasi ini diinisiasi oleh Sultan Sepuh XIV.
Berkerjasama dengan lembaga bahasa mandarin di Jawa Barat. Dan
ditampilkan pertama kali di Keraton Kasepuhan. Pagelaran tersebut
mengundang para stakeholders di wilayah Cirebon, termasuk di
dalamnya Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten. Perwakilan
dari Pemerintah Kota sendiri adalah Drs. Dana Kartiman, Kepala
DISPORBUDPAR Kota Cirebon.
Bentuk acara ini sendiri adalah pertunjukan seni
tari,
sehingga fokus utamanya adalah panggung. Oleh karena itu, pola
komunikasi yang terbangun pun tak sebanyak saat rapat.
16
Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4
81
Pola komunikasi yang terbangun adalah pola komunikasi
formal. Tepatnya pola komunikasi formal horizontal.17 Komunikasi
horizontal merupakan aliran komunikasi dari dan ke individu atau
kelompok yang secara struktur organisasi berada di status yang sama.
Ini terlihat dari bagaimana cara Sultan memperlakukan tamu-tamu
undangannya. Pihak Pemerintah baik Kota ataupun Kabupaten juga
diberikan kesempatan untuk turut memberikan sambutan. Hal itu
dapat terjadi karena Sultan menganggap pihak Pemerintah Kota
ataupun Kabupaten merupakan mitra dalam membangun Cirebon
bersama-sama. Khususnya dalam pemeliharaan dan pengembangan
kebudayaan.
2. Analisa
Pola
Komunikasi
Pejabat
Pemerintahan
Kota
dengan
Pemangku Jabatan Keraton
a. Identifikasi Pemkot terhadap Keraton
Setelah kita mengetahui bagaimana pandangan atau identifikasi
Keraton terhadap Pemerintah Kota, maka perlu pula rasanya untuk
mengetahui
bagaimana
pandangan
yang
sebaliknya,
pandangan
Pemerintah Kota sendiri terhadap Keraton Kasepuhan. Landasan utama
identifikasi Pemerintah Kota terhadap Keraton tentunya adalah konstitusi
yang berlaku di NKRI. Konstitusi tersebut mencakup UUD 1945, UU
Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah.
17
Khomsahrial, Komunikasi Organisasi Lengkap, Hal.176
82
Sebagai bagian struktural atau kepanjangan tangan Pemerintah
Pusat, Pemerintah Kota dalam hal ini bertanggung jawab dalam
pembinaan adat dan tradisi yang ada. Pembinaan adat dan tradisi tersebut
akan dapat terselenggara dengan baik ketika kedua belah pihak, yakni
pembina dan yang dibina memiliki hubungan yang baik. Pemerintah
Kota sendiri memiliki dua pandangan terhadap Keraton Kasepuhan.
Pertama, sebagai Cagar Budaya yang harus dilindungi, dipelihara, dan
dikembangkan. Kedua, sebagai tujuan wisata.
1) Sebagai Cagar Budaya
Keraton sebagai Cagar Budaya sendiri tentunya mengacu
kepada pasal 1 UU Cagar Budaya No.11 tahun 2010. “ Cagar Budaya
adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan
melalui proses penetapan”. Dari UU tersebut kita dapat mengetahui
bahwa keraton Kasepuhan merupakan bagian dari Cagar Budaya
yang harus dilindungi, dipelihara dan dikembangkan.
Sebagai pelaksana dan pengemban konstitusi, Pemerintah
Kota dalam hal ini turut berperan aktif dalam pelindungan,
pemeliharaan dan pengembangan Keraton Kasepuhan sebagai Cagar
Budaya. Peran aktif yang dimaksud misalnya dalam pemeliharaan
83
bangunan dan pemberian bantuan pada program-program atau
kegiatan kebudayaan yang sifatnya pertunjukan. Seperti yang
diungkapkan Kepala DISPORBUDPAR, Drs. Dana Kartiman dalam
wawancaranya
dengan
saya.
“Kita
memfasilitasi
tentang
pemeliharaannya dan beberapa kegiatan atau program dari pusat dan
provinsi yang tentunya melalui kita. Baik itu bentuknya perbantuan
dan revitalisasi, juga kegiatan atau event yang sifatnya untuk
mengembangkan kebudayaan”.18
Pelestarian kegiatan adat dan tradisi juga menjadi hal yang
terus diperhatikan Pemerintah Kota, mengingat Keraton Kasepuhan
adalah salah satu Keraton tertua yang selain bangunannya masih
berdiri kokoh, juga masih ditinggali oleh keluarga Sultan. Keraton
dalam perannya sebagai penjaga adat dan tradisi masih senantiasa
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan adat dan tradisi leluhurnya.
Seperti misalnya, Upacara Panjang Jimat, Upacara Rowahan,
Upacara Pergantian tahun yang biasanya selalu mengundang pihak
Pemerintah Kota dan masyarakat.
2) Sebagai Tujuan Wisata
Seiring berjalannya waktu, ketika semua kerajaan dan keraton
di seluruh nusantara memutuskan untuk menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka fungsi pemerintahan
pun dikuasai oleh negara. Oleh karenanya, kerajaan dan keraton
18
Mei 2016
Hasil wawancara dengan Dana Kartiman di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 30
84
tersebut beralih fungsi menjadi Cagar Budaya yang harus dilindungi
negara. Implikasinya adalah keraton kini menjadi tujuan wisata. Baik
itu wisata sejarah, pendidikan, ataupun agama.
Keraton Kasepuhan sendiri merupakan salah satu keraton
tertua yang masih berdiri di Indonesia. Nilai sejarah yang tinggi dan
eksistensinya yang masih terjaga menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan. Baik itu wisatawan domestik ataupun internasional. Tak
sedikit yang berkunjung ke Keraton Kasepuhan setiap tahunnya, baik
itu untuk sekedar berfoto-foto dengan peninggalan sejarah Sunan
Gunung Jati tersebut, untuk berkunjung ke keluarga Sultan dalam
rangka pertemuan formal ataupun untuk melakukan penelitian.
Sebagai tujuan wisata, Keraton Kasepuhan pun tak luput dari
perhatian Pemerintah Kota. Perhatian tersebut biasanya berupa
pemberdayaan dan pelatihan-pelatihan kepariwisataan. Seperti
pelatihan pemandu wisata misalnya. Selain itu juga ada pemberian
dana atau insentif dalam setiap kegiatan kepariwisataan yang
diselenggarakan.
b. Simpul-Simpul Komunikasi antara Pemerintah Kota dengan
Keraton Kasepuhan
Berikut adalah simpul-simpul pertemuan antara Pemerintah Kota
dengan Keraton Kasepuhan:
1) Sosialisasi Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan
85
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa kegiatan ini
merupakan bentuk respon Pemerintah Kota terhadap kondisi
pariwisata di kota Cirebon. Kondisi pariwisata di kota Cirebon
memang belum bisa dikatakan optimal, sehingga perlu peningkatan
dalam beberapa sektor. Oleh karena itu, Pemerintah Kota, khususnya
DISPORBUDPAR
mencoba
untuk
berembuk
bersama
membicarakan tentang penegembangan sektor pariwisata di Cirebon.
Pihak yang diundang pun ialah para stakeholders kepariwisataan
seperti pengelola tujuan wisata, hotel, travel dan juga kuliner.
Termasuk di dalamnya perwakilan dari Keraton Kasepuhan. Yang
dalam kegiatan ini diwakili oleh Iman Sugiman.
Pola komunikasi yang terbangun dalam kegiatan ini adalah
pola komunikasi formal. Kita bisa melihatnya pada interaksi yang
terjadi antara Kepala DISPORBUDPAR dengan ketua pelaksana
kegiatan dan saat sesi tanya jawab dibuka untuk umum.
a) Pola Komunikasi Kepala DISPORBUDPAR
dengan
Ketua Pelaksana
Pola komunikasi formal yang tergambar ketika Kepala
DISPORBUDPAR berkomunikasi dengan ketua pelaksana
adalah instruksi tugas dan komunikasi ke atas.
Dalam hal ini ketua pelaksana memberikan laporan terkait
kesiapan pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para
Stakeholders Kepariwisataan Kota Cirebon kepada Kepala
86
DISPORBUDPAR. Ini merupakan bentuk komunikasi ke atas.
Fungsi komunikasi ke atas menurut Smith (1986) adalah sebagai
balikan
bagi
pimpinan
memberikan
petunjuk
tentang
keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan.19
Respon yang diberikan Kepala DISPORBUDPAR adalah
perintah agar segera dilaksanakannya kegiatan Sosialisasi Sadar
Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota cIrebon.
Ini merupakan bentuk instruksi tugas. Instruksi tugas sendiri
dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki status lebih tinggi
kepada mereka yang memiliki status lebih rendah dalam
organisasi. Jelasnya, instruksi tugas yang dimaksud disini adalah
pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa yang
diharapkan dilakukan dan bagaimana melakukannya.20
Selain pola komunikasi seperti di atas yang telah
disebutkan, kita juga dapat melihat bagaimana pola rantai
digunakan oleh Kepala DISPORBUDPAR dan ketua pelaksana
saat berkomunikasi. Pada pola rantai, arus komunikasi hanya
terjadi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Hanya mereka
yang memiliki status berdekatan saja yang dapat berkomunikasi.
Seperti halnya hanya ketua pelaksana saja yang dapat
memberikan laporan perihal kesiapan pelaksanaan kegiatan
kepada Kepala DISPORBUDPAR, sedangkan panitia lainnya
19
20
Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 117
Ibid, hal. 108-109
87
tidak bisa. Ini karena pola komunikasi menganut hubungan
komunikasi garis langsung (komando) balik ke atas atau ke
bawah tanpa adanya suatu penyimpangan.21
b) Pola Komunikasi Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon
dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat
dengan
Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon
Pola komunikasi yang tergambar pada saat kegiatan
sosialisasi adalah pola komunikasi formal. Dalam hal ini Kepala
DISPORBUDPAR dan Kepala DISBUDPAR memposisikan diri
sebagai pembina. Pembina dalam sektor pariwisata tepatnya.
Penyesuaian peran ini dilakukan karena berada di dalam forum
yang sedang membahas kepariwisataan daerah dan sedang
berbicara dengan stakeholders kepariwisataan daerah. Hal
tersebut merupakan sebuah bentuk dan hasil identifikasi yang
dilakukan pada kegiatan ini. Manusia bereaksi terhadap segala
sesuatu tergantung pada bagaimana ia mendefinisikan sesuatu
tersebut.22
Dengan memposisikan diri sebagai pembina, Kepala
DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Jawa
Barat menggunakan pola komunikasi dari atas ke bawah.
Terdapat beberapa bentuk pola komunikasi dari atas ke bawah
pada kegiatan ini. Seperti rasional dan ideologi.
21
22
Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103
Ibid, hal. 102-103
88
Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan
mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana keterkaitan itu dengan
aktivitas lain dalam organisasi atau objek organisasi.23 Ini bisa
dilihat dari salah satu materi yang disampaikan oleh Kepala
DISBUDPAR Jawa Barat pada saat sosialisasi.
“Peningkatan dalam sektor pariwisata akan membantu
kenaikan PAD Kota Cirebon, dan imbasnya ekonomi rakyat pun
akan terbantu seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan
yang datang ke kota Cirebon”.24
Selain tentang rasional pekerjaan, pesan mengenai
ideologi pun turut disampaikan.
25
Pesan mengenai ideologi ini
merupakan perluasan dari pesan rasional. Pada pesan rasional
penekanannya pada penjelasan tugas dan keterkaitannya dengan
perspektif organisasi. Sedangkan pada pesan ideologi sebaliknya
mencari sokongan dan antusiasme dari anggota organisasi guna
memperkuat loyal, moral dan motivasi.
Hal ini dapat kita lihat dari kutipan kalimat yang
disampaikan oleh Kepala DISPORBUDPAR kota Cirebon
perihal rencana untuk mempercantik pantai Kejawanan. “Salah
satu yang menjadi prioritas untuk diberdayakan adalah pantai
23
Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108-109
Kutipan kalimat Kepala DISBUDPAR Jawa Barat pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata
bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015
25
Muhammad, Komunikasi Organisasi, hal. 108-109
24
89
Kejawanan, mengingat wisata pantai sekarang ini potensial untuk
mendatangkan wisatawan”.26
Selain pola komunikasi formal, dalam kegiatan ini juga
kita dapat melihat pola bintang yang digunakan oleh Kepala
DISPORBUDPAR kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Jawa
Barat dalam berkomunikasi dengan Stakeholders Kepariwisataan.
Pola bintang hampir mirip dengan pola lingkaran dimana semua
anggota
memiliki
hak
dan
kekuatan
untuk
saling
berkomunikasi.27 Jadi, pada pola seperti ini setiap pelaku
komunikasi
dapat
berkomunikasi
dengan
lainnya
secara
langsung.
Seperti yang terlihat pada saat sesi tanya jawab. Salah
satunya saat Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK
menyampaikan pendapatnya perihal kondisi kepariwisataan kota
Cirebon.
“Salah satu penyebab yang menjadikan pariwisata di
Cirebon ini begini saja adalah karena kurangnya branding,
padahal kota-kota seperti Jogja misalnya punya idiom Jogja kota
istimewa. Harusnya Cirebon punya branding seperti itu. Sebut
26
Kutipan kalimat Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar
Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015
27
Widjaya, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, hal. 102-103
90
saja Cirebon jeh atau apapun yang menjadikan Cirebon punya ciri
khas”.28
Sontak pendapat itu pun disambut riuh oleh para peserta
lainnya. Sehingga forum pun semakin ramai dan antusias dalam
turut memberikan pandangannya mengenai pengembangan
pariwisata di Cirebon. Salah satu peserta langsung merespon hal
tersebut dengan pendapat yang sejalan dengan Iman Sugiman.
“Benar kata pak iman, yang kurang dari pariwisata kita
disini adalah ciri khas ke-cirebon-an yang belum tampak. Selain
branding, tentunya yang harus diperhatikan adalah perihal
infrastruktur. Ini bisa dilakukan dengan membuat candi bentar
pada setiap bangunan di kota. Dan ini bisa dimulai dari kantorkantor Pemerintah Kota saja dulu, untuk kemudian diikuti oleh
bangunan-bangunan lainnya secara berkala”.29
Respon-respon tersebut dapat muncul ketika pola
komunikasi yang digunakan adalah pola bintang. Pola yang
memungkinkan setiap komunikator untuk dapat berkomunikasi
secara langsung dengan komunikator lainnya.
2) Laporan Data Pengunjung Keraton Kasepuhan
Pola komunikasi yang terbangun pada laporan data
pengunjung ini bisa dikategorisasikan sebagai pola komunikasi
28
Kutipan kalimat Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK pada saat kegiatan Sosialisasi
Sadar Wisata bagi para Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015
29
Kutipan kalimat salah satu peserta pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata bagi para
Stakeholders Kepariwisataan di Kota Cirebon, 17 Desember 2015
91
formal. Jenis pola komunikasi formal yang dimaksud adalah pola
komunikasi horizontal. Ini dapat terjadi karena para pelaku
komunikasinya bisa dikatakan berada pada status yang sama. Samasama staf dalam organisasi masing-masing. Pihak Pemerintah Kota
yang menerima laporan adalah dari bagian Pariwisata, yang dalam
hal ini Kepala Seksie Bina Usaha Pariwisata, Wiyono. Sedangkan
yang memberikan laporan dari pihak Keraton Kasepuhan biasanya
adalah Iman Sugiman, Kepala Bagian Pemandu BPKK.
Biasanya Iman Sugiman membawa laporan pengunjung
Keraton Kasepuhan setiap bulannya dalam bentuk tertulis. Laporan
tersebut akan digunakan sebagai salah satu bahan penelitian terkait
peningkatan pariwisata di kota Cirebon. Sebagai timbal balik dari
laporan tersebut, Pemerintah Kota, dalam hal ini bagian Pariwisata
memberikan insentif dana kepada Keraton Kasepuhan.
“Jadi kita tunjuk jupel untuk melaporkansetiap bulan. Kita
kasih dana, jadi kita saling memberikan apa ya, kita membutuhkan
data, mereka juga membutuhkan sesuatu yang butuh diterima. Ya
memang tidak seberapa.”30
3) Sowan
Sowan dalam hal ini berarti silaturahmi. Silaturahmi yang
dilakukan tanpa ada keperluan dan kepentingan apapun di
belakangnya. Ini biasa dilakukan oleh DISPORBUDPAR di sela30
Hasil wawancara yang dengan Wiyono di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 24
Desember 2015
92
sela waktu kosong. Perihal pelaku komunikasinya, biasanya
dilakukan oleh staf di bidang Budaya dan Pariwisata. Hal ini
dilakukan demi menjaga silaturahmi diantara Pemerintah Kota dan
Keraton Kasepuhan. Seperti yang diungkapkan Kasie Bina Usaha
Pariwisata, Wiyono.
“Yah kita sering main ke Keraton walaupun tidak ada
kepentingan. Main saja, silaturahmi juga”.31
Pola komunikasi yang terbangun saat sowan adalah pola
komunikasi informal. Artinya komunikasi yang dilakukan begitu
saja, tanpa memperhatikan posisi dalam organisasi.32 Informasi
mengalir dengan cairnya ke atas, ke bawah, dan juga horizontal. Ini
bisa terjadi karena tema pertemuan yang tidak membawa
kepentingan. Jadi, tema obrolan yang dibawa pun santai dan dapat
ditanggapi dengan santai pula. Selain itu, karena dimaksudkan untuk
silaturahmi, tidak ada orang tertentu yang dituju. Sehingga bertemu
dengan siapapun tidak akan menjadi masalah.
Hasil dari penelitian ini bisa kita lihat bahwa dalam
prakteknya, terdapat berbagai jenis pola komunikasi yang digunakan
oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah
Kota. Ketika Keraton bertindak sebagai inisiator kegiatan, seperti
pada rapat koordinasi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan
pagelaran kolaborasi Tari Bian Lian dengan Tari Topeng, pola yang
31
Hasil wawancara yang dengan Wiyono di Kantor DISPORBUDPAR Kota Cirebon pada 24
Desember 2015
32
Juarsa. Teori Komunikasi, Modul 4
93
tergambar adalah pola komunikasi formal. Tepatnya formalhorizontal. Di mana pihak eksternal, termasuk dari Pemerintah Kota
dan DISPORBUDPAR juga turut berbicara dalam kegiatan tersebut.
Pola bintang juga terlihat dalam pelaksanaan rapat koordinasi, yang
mana dalam rapat tersebut tidak hanya Sultan saja yang memiliki
hak untuk berbicara. Pola komunikasi berbeda terlihat pada saat
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana pola komunikasi
informal diterapkan. Pola tersebut diterapkan mengingat sesi
pertemuannya pada saat makan bersama.
Hampir mirip dengan pola komunikasi yang digunakan
Keraton, Pemerintah kota yang dalam hal ini menginisiasi kegiatan
Sosialisasi Sadar Wisata, Laporan Pengunjung Bulanan dan Sowan
juga menggunakan pola komunikasi formal-horizontal. Hal ini
tergambar pada saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata dan Laporan
Pengunjung Bulanan. Walaupun berperan sebagai pembina, pejabat
Pemerintah Kota tetap mencoba untuk egaliter dalam berkomunikasi
dengan binaannya. Selain itu, pejabat Pemerintah Kota juga
menggunakan pola bintang saat kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata.
Di mana peserta kegiatan, termasuk dari Keraton Kasepuhan, juga
turut merespon materi yang disampaikan. Pola komunikasi informal
baru tergambar pada saat sowan. Karena bukan kunjungan formal
dan tanpa disertai dengan kepentingan khusus. Sehingga komunikasi
yang terjadi pun berjalan cair dan mengalir.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan hasil penelitian yang dilakukan tentang pola
komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota
Cirebon, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pola Komunikasi pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dengan
pejabat
Pemerintah Kota berlangsung pada ranah formal dan informal. Pola komunikasi
formal terjadi pada rapat
koordinasi
maulid
nabi
Muhammad
SAW
(panjang jimat) dan pagelaran kolaborasi tari Bian Lian dan Tari Topeng.
Sedangkan pola komunikasi informal terjadi pada saat perayaan maulid nabi
(panjang jimat). Pada prakteknya,
pemangku jabatan Keraton
Kasepuhan
juga menggunakan pola komunikasi horizontal pada saat rapat koordinasi dan
pagelaran tari. Dengan menggunakan pola horizontal, pemangku jabatan
Keraton Kasepuhan
Pemerintah
mencoba untuk bersikap egaliter terhadap pejabat
Kota. Adapun pola bintang juga tergambardalam komunikasi
yang digunakan oleh pemangku jabatan Keraton Kasepuhan pada saat rapat
koordinasi maulid nabi Muhammad (panjang jimat). Pada pola bintang setiap
komunikator memiliki kekuatan dan kesempatan
yang
sama
dalam
berkomunikasi dengan komunikator lainnya, termasuk pejabat Pemerintah Kota
dalam hal ini.
94
95
2. Pola komunikasi pejabat Pemerintah Kota dengan pemangku jabatan Keraton
Kasepuhan juga berlangsung pada ranah formal dan informal. Pada ranah formal
terlihat pejabat Pemerintah Kota menggunakan pola komunikasi horizontal.
Tepatnya pada saat kegiatan sosialisasi sadar wisata dan laporan bulanan
pengunjung. Hal ini dilakukan karena pemerintah berperan sebagai pembina
bagi pelaku dan pemerhati ataupun pengelola cagar budaya, termasuk
didalamnya
pemangku jabatan
Keraton Kasepuhan. Di samping itu juga
pejabat Pemerintah Kota menggunakan
pola bintang dalam interaksinya
pada saat kegiatan sosialisasi sadar wisata. Pola ini sendiri dipilih karena salah
satu tujuan dari kegiatan sosialisasi sadar wisata ini bertujuan untuk menampung
aspirasi para pelaku pariwisata. Adapun pola komunikasi informal terjadi pada
saat sowan ke Keraton Kasepuhan. Pada kegiatan sowan ini, komunikasi yang
terjadi mengalir saja tanpa begitu menitikberatkan pada status sosial.
B. Saran-saran
Penulis merasa perlu untuk memberikan beberapa saran
sebagai
masukan dalam upaya pemeliharaan hubungan yang baik diantara pemangku
jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon, khusunya
DISPORBUDPAR. Fungsinya hanya sebagai bahan pertimbangan saja, tanpa
bermaksud untuk menggurui dan mengajarkan.
1. Perlu diperbanyak ruang-ruang informal diantara pemangku jabatan Keraton
Kasepuhan dan pejabat Pemerintah Kota Cirebon. Mengingat simpul-simpul
pertemuan yang terjadi lebih dominan pada ranah formal. Ruang informal yang
96
dimaksud misalnya kegiatan-kegiatan yang bisa menyatukan kedua belah pihak
tanpa harus mementingkan status sosial masing-masing. Hal ini dimaksudkan
agar dapat mencairkan suasana yang rentan terjadi dalam komunikasi pada
ruang formal.
2.Dalam perannya sebagai pembina, pejabat Pemerintah Kota hendaknya dapat
lebih meluangkan waktunya untuk dapat menghadiri kegiatan-kegiatan Keraton
Kasepuhan yang tidak jarang dilaksanakan di luar jam kerja. Hal ini perlu
dilakukan demi terjaganya hubungan diantara kedua belah pihak.
3.Pada setiap pertemuan, kedua belah pihak hendaknya lebih selektif lagi dalam
pemilihan utusan. Maksudnya, perlu adanya ketepatan dan kecermatan dalam
pemilihan utusan berdasarkan kesesuain pada jenis kegiatan dan kualifikasi
utusannya. Sehingga mengurangi kesalahpahaman dan penundaan respon-respon
yang semestinya dilakukan secara cepat.
Harapannya adalah pemangku jabatan Keraton Kasepuhan dan pejabat
Pemerintah Kota dapat terus menjaga dan memelihara hubungannya dengan
baik. Karena kedua belah pihak merupakan ujung tombak utama dalam
pembangunan struktur dan infrastruktur di Kota Cirebon. Hubungan yang baik,
keterbukaan dalam komunikasi, dan kerjasama yang integrasi mutlak diperlukan
dalam hal ini, mengingat keduanya tidak selalu dapat berjalan sendiri-sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
A.B, Lapian, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan),
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Anwar, Arif, 1995. Ilmu Komunikasi (Sebagai Pengantar Ringkas). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Audi, Robert, 2011. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of
Knowledge. London: Routledge
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, 2015. Garis Waktu (Time
Line of History) Cirebon. Cirebon: Arsip 2015
Cangara, Haviet, 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Charon, Joel. M, 2006. Symbolic Interactionisme: An Introduction, AN Interpretation,
An Integration. Prentice Hall
De Graaf, H.J, dan TH. Pigeaud, 1986. Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan
Sejarah Politik abad XV dan XVI. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Depdikbud RI, 1998. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Efendy, Onong Uchjana, 1997. Komunikasi: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Efendy, Onong Uchjana, 1998. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: CV.
Mandar Maju
Ekajati, Edi. S, 1978. Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sejarah dan Sastra,
Bandung: Fak. Sastra UNPAD
Elbadiyansyah, dan Umiarso, 2014. Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga
Modern. Depok: PT Raja Grafindo Persada
Griffin, Emory. A, 2012. A First Look at Communication Theory. New York:
McGraw-Hill
96
97
Harapan, Anwarudin, 2007. Dimensi Mistis Historis Pakuan Padjajaran. Jakarta:
Duta Kreasi Semesta
Khomsahrial, Romli, 2011. Komunikasi Organisasi Lengkap. Jakarta: PT Grasindo
Moeloeng, Lexy. J, 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Morissan, 2010. Teori Komunikasi Massa. Bogor: PT Ghalia Indonesia
Mufid, Muhammad, 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana
Mulyana, Deddy, 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mulyana, Deddy, 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Muslimin, Amrah, 1960. Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah. Jakarta: Jambatan
Pace, Wayne. R, dan Don F. Faules, 1993. Komunikasi Organisasi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Rosidin, Didin Nurul, 2013. Kerajaan Cirebon, Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI
Tjandrasasmita, Uka, 2009. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia)
W.M, Abdul Hadi, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah (Kedatangan dan Peradaban
Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Widjaya, H.A.W, 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wiryanto, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo
Skrip Wawancara Iman Sugiman
Narasumber
: Iman Sugiman (Kabag Pemandu BPKK)
Waktu
: 9 Desember 2015
F
: Kalau jabatan pak Iman di keraton kasepuhan sekarang sebagai apa pak?
I
: Sekarang ditunjuk sebagai koordinator kepala bagian pemandu dan penerima
tamu. Ada beberapa orang pemandu dan saya sebagai kabagnya. Jumlah
pemandunya ada 15 orang.
F
: Jabatan sebagai kabag pemandu ini sudah diemban selama berapa lama pak?
I
: Sudah setahun.
F
: Penjelasan tentang pembagian kekuasaan keraton Cirebon atau Pakungwati
menjadi keraton kasepuhan dan kanoman itu bagaimana pak?
I
: Keraton cirebon ini berawal dari nama pakungwati yang didirikan oleh
Pangeran Walangsungsang atau pangeran Cakrabuana terttulis dalam catatan
pada tahun 1430 M. Keraton pakungwati mengambil nama putrinya pangeran
Cakrabuana. Yang mana pangeran Cakrabuana mempunyai seorang putri yang
bernama putri Pakungwati yang kemudian dijadikan nama keraton. Sedangkan
artinya pakungwati adalah udang perempuan. Karena di masa itu hasil laut yang
paling dominan adalah udang, maka sampai saat ini kota ini disebut Cirebon.
Kota udang. Udang yang kecil-kecil disebutnya rebon, kemudian bernama
Cirebon. Sampai putrinya Cakrabuana diberi nama Pakungwati. Ratu pakungwati
itu menikah dengan sepupunya yaitu Syarif Hidayatullah. Jadi hubungannya itu
saudara sepupu. Yang mana ibunya Syarif Hidayatullah itu bernama Ratu Mas
Rara Santang itu adalah adiknya Walangsungsang. Mereka semua itu
putra-putrinya Prabu Siliwangi. Karena pernikahan tersebut maka Pangeran
Cakrabuana memberikan Keraton Pakungwati kepada menantunya sekaligus
keponakannya. Keraton tersebut diserahkan yang artinya Syarif Hidayatullah
ditunjuk sebagai pemimpin di Cirebon. Beliau seorang raja yang juga wali
dengan gelar kewaliannya Sunan Gunung Jati. Keraton Pakungwati diperintah
oleh Syarif Hidayatullah sampai wafatnya. Yang kemudian diteruskan secara
turun temurun. Tapi dari generasi Sunan Gunung Jati sampai ke Panembahan
Girilaya barulah terjadi konflik. Proses sejarah keraton Cirebon terbagi menjadi
dua. Yang mana Panembahan Girilaya itu makamnya ada di daerah Jogjakarta.
Karena di masa itu, Panembahan Girilaya menikah dengan putri Sultan Mataram.
Nah disitu, Panembahan Girilaya meninggalkan keraton pakungwati dan
bertempat tinggal di Mataram sampai wafatnya. Dimakamkan di Mataram yang
sekarang menjadi Jogjakarta. Di Jogjakarta ada komplek pemakaman raja-raja di
Astana Imogiri yang bersebrangan dengan bukit Giriloyo. Wafatnya Panembahan
Girilaya meninggalkan dua orang anak yaitu pangeran
Martawijaya dan
Kartawijaya. Kemudian dari situ putra-putra Panembahan Girilaya pulang ke
Cirebon dan terjadilah dua kesultanan yang mana Pangeran Martawijaya atau
Sultan Syamsuddin menjadi Sultan di Keraton Kasepuhan. Kemudian pangeran
Kartawijaya atau Sultan Badruddin menempati Keraton Kanoman. Antara
kanoman dan ksepuhan itu artinya yang nom dan yang sepuh. Kasepuhan yang
sepuh berarti tua. Itu di keraton Pakungwati yang kemudian melanjutkan, dan
disebut Sultan Sepuh. Sedangkan Sultan Badruddin berkediaman di keraton
kanoman dan disebut Sultan Anom. Dari situ lah aset-aset keraton yang
tadinyamenyatu sekarang ini memiliki dua pemilik yaitu Kasepuhan dan
Kanoman. Masing-masing wilayahnya ya. Itu sejarah singkatnya pembagian
keraton-keraton di Cirebon.
F
: Kalau Keprabonan sendiri itu bagaimana pak?
I
: Saya sebetulnya tidak berhak menjawab pertanyaan ini. Karena ini menyangkut
sejarah ya, yang sekarang Keprabonan itu keluarganya sudah memproklamirkan
adanya Sultan Keprabonan yang padahal sejarahnya tidak ada. Keprabonan itu
yang dulunya peguron. Peguron itu perguruan belajar ilmu keagamaan yang
lokasinya di sebelah timur Keraton Kanoman, di jalan Lemahwungkuk.
Pengajar-pengajarnya dari keraton kanoman.
F
: Berkaitan dengan fungsi keraton pak,kalau zaman dulu kan keraton memiliki
fungsi pemerintahan. Kalau sekarang fungsi keraton itu sendiri bagaimana pak?
I
: Yang jelas masa kerajaan sebelum terbentuknya NKRI, Nusantara ini terdiri atas
beberapa kerajaan yang itu termsuk Cirebon. Raja Cirebon itu dari masa Sunan
Gunung Jati terus turun-temurun yang kemudian ada dua kesultanan dimana
peranan keraton adalah pemerintahan yang mana raja atau sultan itu kekusaannya
mutlak sampai muncul pribahasa sabda pandita ratu. Itu ucapan seorang raja
adalah hukum yang harus dilaksanakan. Kemudian proses sejarah yang kemudian
di Indonesia ini ada beberapa keraton-keraton yang mana fungsinya bukan
sebagai pemerintahan karena berada dalam wadah NKRI. Maka fungsi
keraton-keraton di Indonesia pun ikut berubah, yang pertama adalah sebagai
peninggalan sejarah yang perlu dilindungi dan merupakan aset negara juga.
Kemudian yang kedua adalah sebagai destinasi wisata dan masih ada yang
berfungsi sebagai tempat tinggal juga seperti di Cirebon ini. Sebagai rumah
tinggalnya sultan dan keluarga keraton yang sampai sekarang di kasepuhan ini
masih dipimpin oleh sultan sepuh ke-14. 14 ini mengambil setelah pembagian
dua keraton. Dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat.
F
: Terkait pelestarian adat dan tradisi pak, apakah itu semua masih dipegang oleh
keraton atau bagaimana pak?
I
: Jadi keraton ini sebagai pewaris adat dan tradisi dari leluhur secara turun
temurun. Dan sekarang ini berusaha semaksimal mungkin agar supaya adat dan
tradisi ini masih berlangsung. Yang mana di zaman sekarang, era globalisasi ini
banyak pengaruh-pengaruh dari luar yang mengancam adat dan tradisi yang ada.
Lambat laun, secara pasti adat dan tradisi ini akan musnah seandainya kita
generasi muda ini tidak menjaga dan melestarikannya. Sudah terbukti banyak
adat dan tradisi yang sudah hilang dan tidak digunakan lagi pada masa sekarang.
Contohnya seperti kita di adat dan tradisi di Cirebon pada zaman dahulu semasa
saya kecil itu masih terlihat tradisi yang sekarang sudah di museumkan
perangkatnya yaitu turun tanah. Atau disebut mudun lemah. Itu sudah sangat
jarang sekali kelihatan termasuk di lingkungan dalam keraton. Seperti sultan
memiliki cucu-cucu yang sekarang sudah tidak menggunakan itu. Dibilang punah
sih tidak, masih ada, cuma jarang. Sebetulnya tradisi mudun lemah juga bukan
tradisi asli keraton melainkan semua masyarakat juga melaksanakan. Termasuk
saya pun waktu kecil melaksanakan itu. Sekarang di masyarakat pun sudah tidak
ada. Karena orang tua di generasisekarang, sudah tidak menggunakan. Kemudian
ada seni tradisi wayang kulit,cuma sekarang di pagelarkan di event-event tertentu.
Nah itu pentas wayang kulit yang waktu saya kecil itu hiburannya ada klemingan,
tarian dan malamnya ada pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Sekarang
dipagelarkan di hari peringatan baru ada pentas wayang kulit. Engga kebeneran
sebulan sekali atau bahkan setahun sekali. Dan itu penontonnya pun sudah
berkurang, sudak kurang diminati. Pembacaan babad itu dilaksanakan di keraton
kanoman yang mana pembacaan babad tersebut dilakukan setiap tanggal 1
muharram itu dalam rangka memperingati hari jadi kota Cirebon. Kota Cirebon
itu hari jadinya dari kalender jawa ya, 1 Muharram. Pada malam itu ada agenda
pembacaan babad. Dari keluarga keraton kanoman yang membacakannya.
Sebetulnya ada juga karya sastra di naskah-naskah kuno termasuk ada buku
petatah-petitih Sunan Gunung Jati. Petatah-petitih itu nasehat. Salah satunya
adalah ingsun titip tajug lan fakir miskin. Sebetulnya banyak sekali. Banyak
karya-karya sastra yang tersimpan di arsip kuno, itu yang dituliskan salah satunya
adalah witing guna saka kaweruh dayane satuhu. Artinya ilmu itu didapat dari
pengalaman dan harus diimplemtasikan secara mantap. Kita mendapat ilmu dari
sekolah umpamanya ya, guru menjelaskan, itu hanya sebatas teori. Yang
dimaksud saka kaweruh itu harus tahu ilmu itu didapat dari pengalaman.
Misalkan kita berkunjung ke suatu tempat, kalau di sekolah menjelaskan
contohnya candi borobudur ada stupa daridatu teori. Kita harus membuktikan,
harus datang untuk mengetahuinya. Jadi kita dapat ilmu dari pengalaman. Dan
amalkan dengan mantap.
F
: Perubahan fungsi itu apakh juga berdampak pada struktur organisasi di
kerajaan?
I
: Jadi setelah proklamasi kemerdekaan NKRI tahun 1945. Semua fungsi kerajaan
itu hanya sebatas otoritas lokal ya. Jadi tidak berperan sebagai suatu kerajaan
yang mempunyai kewenangan di pemerintahan. Semua kewenangan ada di
pemerintah. Adapun sultan peninggalannya dilindungi oleh negara dalam UU
Cagar Budaya dan Sultan sebagai pemangku adat. Dan disitu setelah berdirinya
NKRI, disana ada UU yang sekarang masih dalam antara aset-aset keraton disitu
masih ada yang perlu dibahas. Seperti di Cirebon saja umpamanya, masih banyak
peninggalan-peninggalan yang perlu dibenahi antara pihak Kota dan Keraton.
Contoh pertanahan-pertanahan yang masih dalam sengketa antara Pemerintah
Daerah dan Keraton. Disitu dari UU, segala aset tanah air dan kekayaan alam
dikuasai oleh negara. Sedangkan keraton berdiri sebelum negara ini ada.
Aset-aset dan bukti kongkritnya ada pada peta-peta. Kalau zaman dahulu belum
ada sertifikasi. Keraton masih memiliki peta-peta kekuasaan daerah ataupun
aset-asetnya. Terutama masalah tanah. Kalau pusakan dan perabot peninggalan
masih terjaga dengan baik yang kekuasaannya di keraton ini masih pada sultan.
F
: Bicara struktur di keraton pak, ada perubahan yang signifikan atau tidak pak?
I
: Jadi struktur kepengurusan di keraton itu sentralistik pada Sultan ya. Sultan
maunya begini ya begini. Sebetulnya struktur kepengurusan keraton dari dulu ada
diantaranya ada sultan sebagai pucuk pimpinan, kemudian ada pangeran patih
sebagai adik sultan atau wakilnya sultan apabila sultan berhalangan atau ada
acara lain kegiatannya bisa dihendle oleh patih. Patih itu mesti adiknya sultan.
Mewakili sultan apabila tidak ada di tempat. Kemudian ada kepala lurah, ada
lurah-lurah. Dan juga abdi dalem. Lurah ini aa beberapa lurah yang mengurusi
wewengkon keraton, lurah magersari, dan lurah dalem. Lurah dalem ini yang
mengurusi internal keraton. Magersari itu merupakan daerah-daerah yang
ditempati oleh wargi keraton yang dijaga oleh magersari. Magersari itu ada
beberapa lurahnya, tidak satu ya. Lurah wewengkon, itu lurah yang bertanggung
jawab atas daerah keraton juga. Itu semua lurah-lurah melaporkan segala
sesuatunya kepada kepala lurah. Magersari seperti ada perkampungan di sebelah
barat itu aa lurahnya. Lurah itu yang meninjau disitu ada pembangunan apa,
apkaah tanah itu masih milik keraton atau bagaimana. Abdi dalem itu para
pekerja ketraton yang mengabdi kepada keraton. Abdi alem itu siapapun bisa.
Dulu suatu kebanggan bisa masuk menjadi abdi dalem. Jadi tukang sapu pun
beliau tanpa dibayar ikhlas dan sukarela. Suatu kebanggaan menjadi abdi dalem
walaupun sebagai tukang sapu. Padahal diberi makan saja tanpa dibayar. Sultan
itu memperhatikan para abdi dalem dan mereka ditempatkan di kampung
magersari. Satu perkampungan yang dikhususkan untuk pekerja dan abdi dalem
keraton. Boleh membangun, boleh menempati, tidak kena pajak apapun dengan
syarat tanah itu tidak boleh dijadikan hak milik sampai sekarang. Tembok di
sebelah keraton kurang lebih ada lima hektar dan ada temboknya lagi. Tanah itu
tidak boleh dijual. Kalau didepan keraton sudha bisa di hak milik ya. Kalau di
magersari tidak boleh. Itu masih utuh dan sekarang sudah nyampur karena
banyak pendatang. Kalau abdi dalem mungkin sudah tidak ada ya, adanya
pekerja keraton dalam wadah yayasan. Jadi sebutannya bukan abdi dalem.
Dibawah naungan yayasan keraton. Yang mana abdi dalemnya sudah berbentuk
demikian. Itu para pekerja sekarang ya masih kerabat famili dan tidak merekrut
dari pihak luar. Kalu struktur yang terdahulu saya masih belum membayangkan,
sultan yang sekarang ini sudah membuat struktur lembaga adat yang baru cuma
belum diumumkan. Jadi saya tidak berani memberikan penjelasan lebih lanjut.
F
: Kalau penelitian ini kan hipotesisnya hubungan antara keraton dengan pemkot
itu kan baik-baik saja. Tapi baiknya hubungan suatu lembaga akan dipengaruhi
oleh bagaimana orang-orang yang berhubungan tersebut. Artinya dari orang
keraton misalkan pak Iman sedangkan dari pemkotnya bagian disporbudpar, cara
komunikasi dari pemangku jabatan keraton dan pejabat pemkot itu sendiri, kalau
misalkan ada acara yang berkaitan dengan pemkot ataupun mau berinteraksi
dengan pemkot itu ada strategi khusus tidak pak?artinya ada pemilihan orangnya
harus siapa?
I
: Seperti di pihak keraton dan pemkot sering mengadakan pertemuan ataupun
rapat-rapat yang menyangkut keraton dengan pemerintahan itu bisa dilaksanakan
di keraton, di pemkot ataupun di luar keduanya. Dalam hal ini, sering pihak
keraton mendapat undangan-undangan pertemuan, rapat-rapat di pemerintah kota,
DPRD, itu kalau sultan berkenan hadir ya sultan mengahdiri acara tersebut.
Sedangkan ketika sultan berhalangan ataupun tidak sedang di tempat itu
diwakilkan. Tergantung pada orang yang ditunjuk untuk mewakili pertemuan
tersebut. Seperti saya beberapa tahun yang lalu, mewakili keraton menghadiri
undanga di disporbudpar untuk membahas branding pariwisata kota Cirebon.
Saya hadir mewakili keraton, disana dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat.
Dari pihak keraton kasepuhan, kanoman dan tokoh-tokohmasyarakat, seniman,
budayawan, rohaniawan, dan beberapa pengrajin untuk membuat branding
pariwisata kota Cirebon. Itu usulan dari setiap undangan menyampaikan
pendapatnya. Pada waktu itukepala dinasnya masih pak Abidin, sekarang sudah
pak Dana. Waktu itu hasil musyawarahnya pertemuan itu terbentuklah branding
tersebut yaitu the gate of secret. Karena masih banyak rahasia yang belum
terbuka. Itu salah satu contoh bentuk komunikasi dari tokoh-tokoh dan
pemerintah daerah. Selanjutnya ada undangan-undangan seperti di DPRD dalam
rangka sidang paripurna. Kadang-kadang saya mewakili. Kan sidang paripurna
seperti itu hanya mendengarkan saja.
F
: Bicara cara, komunikasi itu bisa tatap muka langsung ataupun via media, kalau
pihak keraton sendiri biasanya interaksi dengan pemkot itu lebih sering tatap
muka langsung atau menggunakan media?
I
: Yang jelas sering dilakukan adalah tatap muka langsung. Adapun mungkin
internal sultan dengan kepala daerah bisa pribadi. Kadang-kadang dalamsuatu
event
besar,
proposal
itu
untuk
mengajukan
dana
festival.
Jadi
beberapapertemuan yang sering dilaksanakan baikdi keraton danpemerintah
memang solusi dari pertemuan-pertemuan itu belum maksimal. Sekarang keraton
sudah menjadi destinasi wisata, tentunya yang berhadapan langsung dengan
wisatawan itu kita. Itu banyaksaran dan kritik dari wisatawan itu kenapa banyak
sampah dan dibiarkan kotor dan tak terawat. Ini kan bukan hanya tanggung
jawab kita saja. Tanggung jawab bersama pihak keraton dengan pemerintah
daerah. Apalagi ada dinas pariwisata, kebersihan. Disitu harus saling bekerja
sama. Sampai detik ini saya masih sering mendapatkan kritikan tersebut. Kita
perlu solusi untuk Cirebon yang lebih baik.
F
: Menurut bapak faktor pendukung baiknya hubungan keraton dengan pemkot itu
apa saja pak?
I
: Media juga pernah,dengan undangan-undangan. Yang lebih diutamakan adalah
kenyamanan ya, bukan hanya keraton, jadi orang masuk kota Cirebon itu apa
yang dilihat dan dituju itu supaya bisa balik lagi kesini. Dengan banyaknya
wisatawan berkunjung ke kota Cirebon kan membawa dampak positif dari segi
ekonomi meningkat, pedagang-pedagang juga merasakan manfaatnya. Apalagi
jalur Jakarta-Cirebon kan sudang sangat singkat, 3 jam saja. Pagi datang, sorenya
sudah bisa balik lagi. Kadang-kadang dari pihak pemerintah ketika diundang
tidak hadir dan ketika hadir sering diwakilkan oleh bawahannya yang pdahal dia
tidak begitu memahami. Jadi tidak bisa menyampaikan apa yang jadi kebijakan
disana. Jadi itu yang perlu dibahas lebih dalam.
F
: Ada ruang-ruang informal yang bisa mempertemukan pihak keraton dengan
pemkot tidak pak?
I
: Ada seperti pendukung-pendukung pariwisata seperti Kompekpar, Himpunan
mengenai
pariwisata.
Itu
ya
sering
melakukan
pertemuan.
Itu
pun
penyelenggaraannya kadang-kadang dinas itu mengundang diluar kegiatan
keraton. Ada pelatihan-pelatihan ya kami dilibatkan. Misalnya ada pelatihan
kepariwisataan, keraton mewakilkan berapa orang, ya kami dilibatkan. Atau
penyuluhan-penyuluhan. Jadi didalam dinas pariwisata, ada kepala bidang-kepala
bidang. Bidang-bidang yang bertanggung jawab terhadap pariwisata, kebudayaa,
kesenian.
Skrip Wawancara Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon
Narasumber
: Dana Kartiman (Kepala DISPORBUDPAR)
Waktu
: 30 Mei 2016
F
: Bapak sendiri menjabat sebagai kepala dinas sudah berapa lama ya pak?
D
: Di DISPORBUDPAR sendiri sudah sejak tanggal 15 Maret 2014, sebelumnya
di BAPUSIPDA dan Dinas Pendidikan
F
: Selama bapak menjabat sebagai Kepala DISPORBUDPAR, hubungan
DISPORBUDPAR khususnya dan umumnya Pemerintahan Kota Cirebon dengan
Keraton Kasepuhan bagaimana pak?
D
: Ya intinya kami tidak hanya membatasi dengan kebudayaan dan kepariwisataan,
di dinas kami ada empat substansi, selain Pemuda dan Olahraga,ada juga
Kebudayaan dan Kepariwisataan. Dua sisi yang mungkin koordinasi langsung
dengan objek wisata ataupun keraton itu bisa disebut sebagai objek wisata, di
sisilain keraton sebagai situs yang memiliki nilai sejarah. Di satu sisi kita
membina cagar budayanya, di sisi lain memfasilitasi pengembangan obyek
wisata. Jadi dari destinasi ini kita memfasilitasi walaupun anggarannya kecil, tapi
masih tetap anggaran itu ada. Kita memfasilitasi tentang pemeliharaannya, dan
beberapa kegiatan atau program dari pusat atau provinsi yang tentunya melalui
kita. Baik itu bentuknya perbantuan dan revitalisasi, juga kegiatan yang sifatnya
event untuk mengembangkan kebudayaan. Jadi koordinasi dari kegiatan ini,
kebudayaan, bidang kami, koordinasi atau kerjasama tentang pertunjukan,
kesenian atau cagar budaya tak benda disebutnya, kalau bendanya kan fisiknya.
Di sisi lain juga membina tentang fisik atau cagar budaya benda. Cagar budaya
ini kita karena anggarannya terbatas masih memerlukan anggaran pusat maka
revitalisasi ini kita coba untuk mengusulkannya baik oleh kita ataupun oleh
keraton sendiri dan kita juga sudah merancang masterplan keraton termasuk juga
memfasilitasi pengembangan kota pusak, salah satunya adalah Keraton
Kasepuhan. Nah ini yang barangkali perlu diadakan pencitraan atau kerjasama
dengan objek wisata terlepas daripada hubungan kepentingan keraton dengan
pemerintah berbeda tetapi kita masih tetap berjalan sesuai dengan fungsinya
masing-masing kedudukannya, ia juga memiliki keinginan dan run down acara
tertentu yang perlu difasilitasi.
F
: Kalau boleh saya simpulkan, berarti keraton saat ini fungsinya lebih kepada
cagar budaya ya pak?
D
: Iya, satu cagar budaya. Kedua ya untuk mengembangkan obyek wisata itu
sendiri.
F
: Ya mungkin penekanannya disitu ya pak, tapi keraton atau sultan secara
ketokohan merupakan penjaga adat istiadat setempat
D
: Ya,kalau di Bali disebut pemimpin adat. Ya mempertahankan sejarah atau
melestarikan keutuhan kehidupan berbudaya.
F
: Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sebelum NKRI lahir, Indonesia terdiri
atas kerajaan-kerajaan, dimana kerajaan kecil menginduk pada kerajaan yang
lebih besar. Kerajaan kan dulu memiliki fungsi pemerintahan. Seiring
berjalannya waktu kerajaan dan atau keraton pun telah berubah fungsinya
mengingat Indonesia sudah mendeklarasikan diri sebagai suatu negara. Berbeda
dengan jogja, disini keraton tentu harus menginduk kepada pemerintahan yang
berlaku.
D
: Saya juga dalam membina obyek wisata, dalam hal ini keraton, saya
mengharapkan satu,bermitra dengan masyarakat Cirebon. Kedua, ya terbuka bagi
wisatawan atau pengunjung, terbuka dalam artian welcome, welcome ini satu
mungkin mempertahankan budaya kedua ya mampu memberikan informasi yang
jelas. Satu hal yang perlu digaris bawahi, keraton jagan terlalu tertutup pada
culture saja, tetapi harus bagaimana membangun inovasi sehingga masyarakat
muda juga seneng terhadap kehidupan sejarah, dirangkul,ini kemasan-kemasan
seperti ini barangkali yang perlu kita arahkan kepada hal yang memiliki stigmen
untuk diperkenalkan, jangan sampai nanti kata adat begini, tidak boleh kesini
mah pamali,ini kan repot, jadinya tidakbisa dinikmati masyarakat muda. Kalau
hanya stagnan oleh kepentingan tradisi saja, orang muda mungkin dibawa ke
yang seperti itu mungkin lebih baik nonton akhirnya males. Sehingga dari males
itu pengunjung berkurang, unsur finansial untuk kesejahteraan keraton pun jadi
sulit. Terus didalamnya perlu adanya pengelolaan yang baik, diantara
pemeliharaannya, gaji karyawannya, terus warganya disitu kan harus makan,
kalau didiamkan seperti itu kasian mereka dari mana, pemerintah tidakmungkin
mengcover semuanya. Pemerintah melalui PAD, satu PAD kan linear, linear
artinya cost dengan profit atau dengan benefitnya harus berimbang. Jadi,
break-up-an poinnya kalau tidak kena ya tidak dibantu. Masa kita memberikan
satu rupiah tapi keuntungan untuk masyarakat Cirebonnya tidak ada ya sulit juga.
Makanya diharapkan ketika objek wisata ini hidup, seperti halnya keraton,
dinikmati juga oleh masyarakat dilingkungannya. Jangan sampai mereka jadi
penonton, di sunyaragi itu masyarakat kan penonton, anak kecil kasian,
masyarakat kecil kasian, justru objek wisata yang ada ini harus menunjang.
Makanya kita ingin besar seperti borobudur,prambanan, ya akan sulit ketika
masyarakat tidak diberdayakan. Sebab secara utuh keseluruhan, tanggung jawab
kita terhadap masyarakat kecil inimenjadi prioritas. Kalau tidak mereka akan
mengganggu, satu tidak bisa diatur,parkir jadi mahal dan tidak merasa memiliki.
Keraton bisa tertutup oleh kepentingan yang tidak jelas.
F
: Perihal kegiatan yang melibatkan DISPORBUDPAR deng Keraton Kasepuhan
itu apa saja?
D
: Intinya kita memfasilitasi. Satu Festival Keraton Nusantara. Untuk
pertunjukannya 2017 di Cirebon. Sedang 2016 di kalimantan kalau tidak salah.
Walaupun anggarannya dari privinsi, ada perbantuan, dari kota juga tetap
membantu. Tetap memfasilitasi, cuma sampai saat ini anggarannya belum
keliatan nampak. Kan yang berangkat ke FKN dari Pemda bukan kita, disna kan
sulit kalau saya tidak koordinasi. Memang kalau saya perhitungkan, tugas saya
terlalu padat. Tapi ketika FKN tanpa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terkait
limbung mereka. Gak ada yang ngayomin. Terus kepanjangan tangan kebudayaan
dan Pariwisatanya siapa. Jangan-jangan nanti, kan orang Keraton tidak ada
tanggung jawab Kebudayaan dan Pariwisata. Kita memfasilitasi, karena satu itu
sudah diacarakan dan mempunyai event nasional. Intinya kegiatan-kegiatan
keraton yang sifatnya kehidupan keraton seperti seren taun, itu biasanya syawal,
zikir bersama, syukuran, rowahan, itu cuma include. Tarolah satu tahun ini kita
ngasih 200 juta misalnya, saya gak tahu angkanya. Memang kalau dirasakan
kecil, tapi ketika ada perbantuan terasa adanya suatu koordinasi.
F
: Kemarin saya juga nanya sama Pak Wiyono, ada laporan pengunjung bulanan
ya Pak?
D
: Itu harus,karena kita kan dituntut pertanggungjawaban event itu terhadap jawa
Barat dan juga kepentingan nasional.Sebab kalau melalui media sosialmereka
tidak percaya kalau tidak dilegalitas oleh kita. Makanya saya mengharapkan
kegiatan-kegiatan di keraton itu rekomendasinya ke kita. Kalau lepas, dia tidak
akan tahu, ngapain gitu Cirebon, dinasnya juga tidak tahu. Dan kami disini tidak
merasa bersaing dengan keraton, tetapijustru saya memfasilitasi dan bersyukur
ketikakeraton berhubungan langsung dengan kementrian, silakan saja, sepanjang
itu masih dalam koridor kebudayaan pariwisata, dan berbicara tentang kebudyaan
dan pariwisata di Cirebon jangan memilah-milah antara kabupaten dan kota
sebab seniman-seniman dan budayawan ini sudah mulai merambah ke kabupaten.
Kalau begitu kan bisa enak kita tuh, anggaran utuh, tapi saya melihat peluang
karena mereka kan pertunjukannya di kota, daya tariknya di kota. Ketika hotel
menginginkan suatu pertunjukan,senimannya orang kabupaten, ya ayo lah hidup
di kota, jangan jadi batas lah. Kalau sudah ada batas apalagi dikembangkan
Cirebon sebagai kota metropolis, ini kan jadi kepentingan irebon bagaimana.
F
: Kemarin Pak Giyono juga mengatakan ada Gotrasawala, itu seperti apa Pak?
D
: Gotrasawala itu sebetulnya pengembangan budaya karena hasil karya
Wangsakerta, keturunan Sultan juga, tetapi dia tidak menduduki jabatan, tapi dia
pandai dan ingin mempersatukan budaya. Gotrasawala itu merupakan suatu nilai
sejarah yang perlu dikupas. Tetapi ketika ini diangkat oleh Provinsi,
nomenklaturnya berubah jadi menurut versi mereka Gotrasawala hanya sebatas
mengingatkan melalui pertunjukan budaya. Karena yang melaksanakan Pusat,
jadi kita tidak bisa melakukan intervensi apa-apa. Keraton hanya menyediakan
tempat, jadi tetap EO Provinsi. Makanya pertunjukan yang ada terlepas dari
koordinasi, sehingga akhirnya Gotrasawala tuh ditunjuk perorang. Sebetulnya
Gotrasawala tuh mengupas sejarah, jadi filolog, ahli sejarah itu dikumpulkan dan
mereka berbicara mempelajari naskah-naskah wangsakerta. Dari naskah itu
digabungkan dengan naskah yang lain, adakah keterkaitan antara CGotrasawala
dengan Karawang, Tasik, itu intinya mah. Jadi Gotrasawala pada zaman
Wangsakerta ingin mempersatukan persepsi yang sama tentang nilai sejarah.
Cuma kemasannya kan kadang-kadang Gotrasawala dipakai untuk judul program
sehingga nama Gotrasawala terpromosikan tidak mengangkat suatu sejarah tapi
pertunjukan. Ya gak apa-apa sih sebenernya, di Gotrasawala itu berkolaborasi
antara pertunjukan tradisioanl,kenapa seperti itu karena ingin mengajak remaja
untuk memahami tentang sejarah, cuma ketika pertunjukan lebih dominan dari
seminar, seminarnya mah asal-asalan saja,ada Gotrasawala berbentuk kreativitas
muda, termasuk juga seni budaya tradisional dikolaborasikan. Ini tinggal
bagaimana cantiknya suatu program dikemas sehingga Gotrasawala terangkat.
Kalau salah interpretasi, bisa salah menafsirkan gotrasawala, bisa berbeda.
Akhirnya
Gotrasawala
dimata
publik
di
mata
media
jadi
bingung
mendefinisikannya.
F
: FKN, Rapat Bulanan, Gotrasawala, sekarang kalau Keraton yang mengadakan
event, adakah strategi-strategi khusus yang digunakan untuk berhubungan
dengan keraton?
D
: Jadi kami berhubungan dengan keraton bergantung pada eventnya. Kalau
misalnya dalam bentuk pengembangan sarana, itu revitalisasi.Yang dilibatkan
dalam hal itu dari kebudayaan adalah seksi purbakala. Kalau pariwisata ya
bidang pariwisata. Untuk kegiatan kesenian ya bidang kesenian. Jadi tergantung
kepentingan keraton itu untuk apa. Jadi kita tuh memiliki bidang kebudayaan dan
pariwisata. Tapi kan untuk bagian informasi budaya dan pariwisata Pak Gito, di
Pusat Informasi Budaya dan Pariwisata. Di Sunyaragi.
F
: Kalau kontrol dari Pak Dananya sendiri, seberapa sering bapak berhubungan
dengan keraton?
D
: Susah diukur ya, ya bisa dibilang fifty-fiftylah. Kalaupun tidak saya, bidang
terkait yang berkunjung. Tapi silaturahmi sering kesana, tergantung dari kegiatan
yang ada. Dan tidak setiap kegiatan di monitor. Ada waktu-waktu tertentu. Satu
yang dominan dimonitor adalah adanya keluhan masyarakat. Kedua adanya event
nasional dan ketiga adalah koordinasi tentang pengembangan. Jadi ada beberapa
unsur. Kalau didatangin semua ya berat. Tugas saya gak di keraton saja.
Termasuk
mengembangkan
kesenian.
Terkadang
keraton
setelah
menyelenggarakan pertunjukan, ketika pertunjukannya tidak menggambarkan
kepentingan pengembangan kebudayaan ya kita kritisi. Tapi yang saya lihat dari
sisi sejarahnya. Misalkan ketika keraton menampilkan tari dan tari itu tidak
relevan dengan nilai sejarah yang ada. Karena tidak semua keraton paham
tentang itu. Berikutnya jadi sulit itu pemandu wisatanya, kadang-kadang
pemandu wisata yang ada tidak memiliki persepsi yang sama, bisa saja pemandu
A dengan pemandu B memiliki informasi yang berbeda, dan sulit diukur karena
merekamelakukan wawancara perorangan terhdap pengunjung. Padahal pelatihan
tetap ada. Tapi kepentingan berbeda. Misalnya ini harus mandi disini, karena
membersihkan WC jadi harus bayar sekian.kan sulit. Apalagi kita mengatur
peminta-minta di Gunung Jati. Masuk ke keraton dibawa ke tempat-tempat
tertentu harus bayar.kan sulit mengukurnya. Walaupun saya memberikan
pembinaan tapi itu kan diluar kemampuan saya. Tidak besar sih sebetulnya cuma
kalau sampai menjengkelkan pengunjung, jadi penyakit juga.
F
: Apalagi zaman sekarang masalah kecil di posting ke sosial media,malah jadi
opini publik ya pak?
D
: Jadi opini publik. Ke Cirebon tuh males gara-gara banyak peminta-minta yang
terkoordinir dan banyak. Ini tidakbisa ditutup-tutupi. Nah ini karena objek wisata
tidak bisa memberdayakat masyarakat lingkungannya. Kalau di Jogja tidak,
malahan tukang becak pun memberikan informasi yang jelas,karena kooperatif
mereka. Mereka juga sadar, mereka hidup karena ada keraton. Termasuk
pengusahanya. Pengusaha juga hidup karena objek wisatanya. Kalau keratonnya
tidak ada mungkin tidak akan hidup. Kesadaran wisata inilah yang belum
dimiliki masyarakat di wilayah sini. Kurang disentuh masyarakat disini. Kenapa
ini terjadi,mungkin ya , satu, karena dari sisi finansial keraton juga belum mampu
membiayai sendiri. Kalau udah kaya mah harusnya bisa. Karena kita kan
sekrupnya kecil di kita tuh. Satu karena kecil, kedua, sudah kecil terbagi-bagi
lagi. Ada 4 keraton. Saya waktu pernikahan anaknya Sultan di Jogja, masuk
kesitu sehari sebelum pernikahan saya nginep di hotel. Ketika mau ke pernikahan,
naik becak mau dibayar, dibilang gak usah pak, karena rasa syukur saya terhadap
Sultan. Masuk makan ke Malioboro, mau dibayar, dibilang jangan pak, syukuran
saya, dua hari mah enggak seberapa. Daerah itu aja Malioboro. Berarti kan hati
dia itu udah bersatu dengan pemimpinnya. Disini mah enggak mungkin. Tamu
saya dari kementrian ditagih parkir Rp.20.000, yang dimarahin siapa coba, saya.
Ya kalau Rp.2.000-5.000, masih wajar lah. Tapi kalau sampai segitu kan
keterlaluan. Pas pak Sultan ditanya, itu mah penduduk bukannya sultan. Sebab,
harusnya sudah jadi tanggung jawab lingkungannya. Makanya diperlukan
pemberdayaan masyarakat. Sebesar apapun tembok yang dibangun untuk
mencegah supaya aman, tapi penduduknya seperti itu ya tetap rusak.
F
: Frekuensi pertemuan sih pak, artinya pertemuan pemkot dengan keraton lebih
sering menggunakan media, media itu nantinya bisa surat, telepon dan atau
apapun itu yang tidak komunikasi tatap muka secara langsung seperti ini, atau
justru lebih seringnya komunikasi tatap muka?
D
: Biasanya melalui administrasi ya, seperti rapat koordinasi, misalnya
membicarakan tentang pengembangan apa. Atau misalnya di event, event itu
pasti mengundang kita. Seperti menyambut bulan puasa atau apalah. Untuk fece
to face tergantung daripada kepentingannya,bentuknya seperti apa, misalnya ada
kepentingan non-formal, ada pengaduan, kita ngobrol, pak sultan ya ngobrol,
bagaimana klarifikasi terhadap masyarakat.
F
: Kalau Pak Dana sendiri lebih sering ketemu pak sultan langsung atau
menggunkan media?
D
: Jarang untuk bicara langsung. Kalau Sultan yang lain bisa saja sebetulnya.
Tergantung pada terbuka atau tidaknya seseorang terhadap kita. Kadang-kadang
kan minta advice. Atauada tamu asing,misalnya dari Perancis. Tidakhanya
menunjuk satu keraton dan perlu dihadiri oleh dinas karena menyangkut
kebijakan dinas terhadap pengembangan atau perlu suatu kajian sejarah terhadap
suatu keraton untuk penelitian. Atau sebagai narasumber dalam memutuskan
kemitraan. Yang jarang terjadi ini adalah koordinasi diantara keraton. Itu penting,
karena rasa memilikinya tidak terbatas hanya pada satu keraton, tetapi harus
bercitra dengan keraton yang lain. Tapi semua jalan. Jalan sendiri-sendiri. Ketika
dipersatukan ini, karena mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, jadi sulit.
Contohnya ketika keraton kasepuhan mengadakan rapat, keraton lain jarang hadir.
Kecuali, kalau eventnya nasional, baru ngumpul. Cuma kalau ngumpul harus
festival terus kan babak belur.
F
: Faktor pendukung, mereka hanya bisa ngumpul ketika ada event nasional, nah
dengan disporbudpar sendiri faktor pendukung apa saja yang membuat berjalan
baiknya hubungan diantara keraton dengan disporbupar ini?
D
: Faktor pendukungnya, ya kita memiliki tanggung jawab terhdap pengembangn,
pelestarian budaya. Kedua, perlu adanya pengembangan wisata dan atau destinasi
wisata. Atau bisa disebut juga payung hukum.
F
: Faktor penghambat hubungan antara keraton dengan pemkot?
D
: Pertama, untuk pengembangan seni dan budaya tidak serta merta menjadi
tanggung jawab disporbudpar. Untuk saat ini dimana keraton beranggapan,
bahwa kepedulian terhadap tujuan wisata keraton ini tidak semua dinas atau skpd
mendukung.
Sebab
yang
untuk
membangun
suatu
revitalisasi
atau
mengembangkan wisata ini bisa saja terjadi dengan dinas PU-nya, dengan
jalannya, drainasenya. Harus terkait. Contoh seperti ini,ketikakeraton tampil
bagus, ketika sampahnya tidak teratur dengan DKP.Koordinasi terhadap
pengembangan yang seperti inilah yang jarang terjadi. Kurang koordinasi dengan
SKPD yang tidak secara langsung bertanggungjawab. Kalau koordinasi dengan
kita jelas ya, suatu kepentingan bersama tentang pelestarian budaya dan
pengembangan wisata.tapi kalau koordinasi yang ini,mereka meminta sesuatu
kepada Pemda baik itu sampahnya, listriknya bisa saja, terus pengembangan
fasilitas pendukungnya, airnya, lambat. Mohon dimaklumi,pemerintah daerah
kan mengadakan suatu hal yang sifatnya pengadaan kan tahun per tahun dan
tidak hanya keraton saja. Sehingga persepsi keraton merasa tidak diperhatikan
pemkot. Inilah barangkali yang bisamenjadi konflik. Beranggapan bahwa pemkot
tidak perhatian pada keraton. Dan yang namanya pengembangan wisata tidak
hanya tujuan wisata yang kita urus, termasuk juga jasa usaha. Hotelnya kan kita
urus,tempat hiburannya, terus juga akses jalan, kulinernya, harus bagaimana sih
cara maknnya, setelah berkunjung kan pengunjung perlu makan, perlu istirahat.
Nah ini yang kadang-kadang membuat keraton merasa berjuang sendiri, padahal
dari sisi pariwisata itu luas. Sebab pariwisata adalah kehidupan. Sekarang saja
jumlah pengunjung pertahun kota cirebon meningkat 24%, kajian-kajian yang
disampaikan kita kepada mereka, mestinya jadi tolak ukur. Misalnya begini, dari
jumlah sekian ini kalau diperhiitungkan, sekarang malah terbalik,ke keratonnya
berkurang, dominan ke Cirebon sebagai wisata itu dua, pertama kuliner, kedua
belanja. Justru menurun 50% berkunjung ke objek wisata, padahal pengunjung
kota Cirebon meningkat karena ada tol Cipali. Objek wisata itu stagnan. Orang
tertentu yang sifatnya lokal, untuk asing saya pikir malah menurun. Padahal
akses semakin mudah, waktu tempuh semakin cepat. Terus karena semua daerah
semakin mempromosikan wisata masing-masing. Objek wista sejarah yang
mumpuni di Indonesia ini masih anatar bali, Jogja dan Solo. Ketika Jember
terbangun, banyuwangi terbangun,kita masih tetap begini saja. Sehingga yang
berkunjung ke kita ya larinya ke objek agrowisata. Model Majalengka sudah
mulai, karena mereka sudai mulai merasa ada kesejukan, ditambah karena
Puncak Bogor sudah di Blacklist lah untuk agrowisata, karena macetnya,
padatnya, polusinya,makanya beralih ke kita. Apalagi ketika masuk ke Cirebon
itu, pelayannya mahal, tidak terukur, tidak mempunyai standar, lari lah, sebab
pada dasarnya pengunjung kan mencari kesenangan.
Skrip Wawancara Staf Sultan
Narasumber
: Jazuli (Staf Sultan Sepuh XIV)
Waktu
: 16 Juni 2016
F
: Sebagai Kabag Pembina di BPKK, Dari Pak Sultan itu karena nanti yang
dianalisis dari sudut pandang pola vertikalnya pak. Artinya bagaimana kemudian
Pak Sultan berkomunikasi dengan orang terdekat. Kalau misalkan dari Keraton
dari BPKK, pak Iman bisa saya masukkan ke situ.
J
: Dari BPKK juga tidak semua. Jadi kan gini, surat itu nanti kan ada arahan baik
lisan maupun tertulis nanti kan diberikan arahan kepada siapa nanti istilahnya
pembimbingnya. Jadi kita kan, Keraton Kesepuhan ini kan terbuka kepada
siapapun termasuk diantarnya dalam hal ini adalah pola hubungan dengan
Pemkot. Komunikasi yang dilaksanakan itu adalah yang pertama yang jelas yang
bisa dibuktikan dengan yang ada bukti fisiknya adalah surat menyurat,
korespondensi selalu dilaksanakan dari sejak dulu. File-filenya juga sebagian
besar masih ada, masih tersimpan dengan baik. Terus selain itu juga disetiap
acara-acara tradisi itu juga kita mengundang unsur-unsur dari pemerintahan
termasuk Pemkot Cirebon. Ini barusan yang tadi kan kita mengundang Walikota,
mengundang Bupati gitu kan, kalau Bupati Cirebon mengirim utusannya,
memberikan sambutan juga, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten. Pak Dana itu
tadi dari Walikota, agak terlambat tadi itu datangnya. Terus kepada dia, saya
sampaikan juga mau menyambut atau tidak, beliau menjawab diberi amanah
tidak untuk menyambut. Tidak ada Pak, saya cuma untuk menghadiri saja. Jadi
yang menyambut satu cuma dari Kabupaten. Nah itu juga bentuk dari komunikasi
kita kan. Sebaliknya juga, kita juga ada beberapa acara selalu diundang, hampir
sifatnya seremonial, seperti rapat paripurna DRPRD. Kemudian acara-acara
ulang tahun kota Cirebon dan yang lainnya, hampir semua apalagi semua yang
melibatkan langsung atau tidak langsung ya kami diundang. Di samping itu juga,
selain di acara-acara juga ada rapat-rapat. Rapat ini kan macam-macam
urusannya, ada sifatnya kebudayaan, ada sifatnya pariwisata, ada juga sifatnya
penyelesaian urusan-urusan antara Keraton dengan Pemkot. Nah kita ini bukan
hanya dengan pemkot saja ini levelnya, itu semua level pemerintah, kita dnegan
RT/RW,
kita
dengan
kecamatan,
Muspika,
Muspida.
Hampir
semua
pejabat-pejabat yang baru dilantik itu sowan dan silaturrahaim ke Kasepuhan.
Selalu sowan di pergantian sertijab, Sultan Sepuh selalu diundang ikut
menyaksikan. Nah, itu juga bentuk komunikasi. Terus gimana lagi itu rapat-rapat.
F
: Kalau kemarin itu saya sudah berbicara sedikit dengan Pak Iman, dengan orang
pemkot katanya ada kegiatan yang bernama Gotrasawala
J
: Gotrasawala itu event. Salah satu event yang diinisiasi oleh Keraton.
Pelaksananya adalah Pemprov Jawa Barat. Kalau Gotrasawalanya sendiri adalah
temanya adalah tema Keraton, tema kebudayaan. Dulu peristiwa tentang
Pangeran Wangsakerta adiknya Sultan Sepuh. Di sini tempatnya di Keraton
Kasepuhan. Mengumpulkan seluruh
sejarawan dan budayawan seKeraton
senusantara ini kelasnya, nasional. Abad ke XV. Itu berkumpul kemudian
menyusun bersama sejarah raja-raja di Nusantara. Nah itu ada hasilnya, ada yang
dibukukan. Nah itu juga bentuk komunikasi sebetulnya. Di mana kita membuka
ruang komunikasi dalam lingkup yang sangat luas. Kalau dengan pemkot sendiri
terlalu kecil, karena kita dulu negara. Sebelum ada NKRI dulu kita negara.
Kemudian di era NKRI kita sudah komitmen menyatakan diri bergabung dengan
NKRI, ya kita konsekuen. Ada ranah-ranah yang memang peran pemerintah dan
ada ranah Keraton
F
: Nah itu juga yang jadi salah satu ketertarikan saya pak, karena kalau kita sadari
bersama bahwa Keraton pada dasarnya emang pemerintahan waktu dulu.
Sebelum dulunya berubah menjadi NKRI, pemerintahannya menjadi Republik.
Nah dari situ pak, bagaimana kemudian orang pemkot sendiri, ya bisa dibilang
kan kalau misalkan secara umur, kalau Pemkot kan jauh lebih muda
dibandingkan dengan Keraton. Nah artinya, bagimana kemudian pemkot yang
secara fungsi formalnya dia emang pemerintah yang memiliki kewenangan yang
luas. Itu bagaimana kemudian orang pemkot bersilaturrahmi
berkonsultasi
dengan
orang
Keraton
khususnya
perihal
ataupun
pengelolaan
pemasyarakatan di Cirebon.
J
: Kalau saya mungkin perspektifnya, pertanayaan itu harusnya diajukan kepada
pemkot. Kalau dari perspektif kita secara normatif, bahwa kita menjalin
komunikasi dengan siapapun, termasuk Pemkot Cirebon. Dalam hal-hal yang
sifatnya pemerintahan kita juga menghormati dari sisi itu. Kemudian dalam hal
kebudayaan karena kita ini adalah pemangku adat, tradisi serta kebudayaan.
Sekarang Keraton kita ini Keraton tertua yang masih eksis. Ada Keratonnya, ada
rajanya, masih original silsilahnya. Oleh karenanya dengan posisi itu kita, kalau
terkait dengan program-program kebudayaan kita sendiri sebagai pemangku
budaya, oleh karenannya mempunyai tanggung awab seperti acara tadi umpanya.
Jadi pak Sultan dua tahun yang lalu menyaksikan ada tarian topeng di Cina yang
bisa berganti-ganti warna. Nah kita sendiri di Cirebon mempunyai tari topeng
yang ada lima warna, berbeda-beda warnanya. Akhirnya Pak Sultan berfikir,
kenapa pola ini tida dikolaborasikan, percampuran antara kebudayaan Cina
dengan kebudayaan Cirebon. Jadi topengnya topeng Cirebon tapi pakainya yang
Cina tadi, yang berubah-ubah itu. Tadi adalah tampilan perdana. Ini belum
pernah ditampilkan di mana-mana. Kita mengundang banyak stakeholder
kebudayaan, pemerintah. Di sisi itu kita tidak perlu meminta izin kepada
pemerintah, kita jalan, dan malah mengundang pemerintah. Inisiatornya adalah
Keraton dalam konteks itu. Padahal kalau bicara tentang ranah dalam
pembangunan budaya, bisa saja kita melimpahkan ini bukan hanya tanggung
jawab Keraton tetapi Pemkot juga. Apa yang bisa kita lakukan, ya jalan sendiri.
Apalagi dalan konteks kesejarahan, Keraton ini barangkali lebih dipandang. Oleh
karenanya, tadi seperti mengusulkan tari Bian Lien itu banyak negara-negara lain
yang mengajukan, tapi tidak diterima lisensinya. Tapi Cirebon dapat izin.
F
: Kalau itu tadi orang-orang dari Tiongkok asli?
J
: Dari lembaga bahasa Mandarin di Jawa Barat, termasuk kebudayaan kan berarti.
Itulah intinya, jadi kita berjalan dengan pemerintah, kita juga mengingatkan akan
tanggung jawabnya di pembangunan seni budaya, adat tradisi yang menjadi
ranahnya pemerintah, sesuai dengan undang-undang
F
: Kalau boleh saya sebut satu persatu simpul-simpul pertemuan antara pemkot
sama Keraton, berarti tadi ada rapat, event kebudayaan, event seremonial Pemkot.
Kalau selama ini, Sultan Sepuh, Sultan Arif menjabat sebagai sultan sepuh XIV.
Hubungan dengan pemkot ini bagaimana pak?
J
: Kalau itu subjektif ya. Kalau kita merasa tidak ada masalah selama ini. Memang
ada permasalahan tanah Keraton yang sampai saat ini belum terselesaikan. Tapi
kita tetap secara proporsional melakukannya. Untuk urusan itu kan kita juga
mengundang dari pihak pemerintah umpamanya Pemkot sampai kemudian
muncul dari Pemkot ada surat tahun 2013 itu karena kita terus menerus
mengundang rapat. Ini salah satu contoh komunikasi yaitu rapat. Sampai
kemudian Pak Sultan mengatakan bahwa ini bukan ranah kami tapi ranah pusat.
Itu ka ada komunikasi. Kalau kami di Keraton merasa kami laksanakan
kewajiban dalam porsi kami, porsi Keraton.
F
: Kalau Pak Jazuli sendiri, sudah berapa lama jadi staf sultan?
J
: Saya mulai tahun 2010, sejak beliau diangkat menjadi Sultan sepuh XIV
F
: Ada pertanyaan yang sudah tadi sedikit disinggung dengan statemen Pak Jazuli
bahwa Keraton memang pada dasarnya memang pemerintahan di zaman dahulu.
Sebenarnya perbedaan fungsi Keraton pada masa lalu dan masa sekarang
gambarannya selain memang sebagai pemangku adat dan tradisi itu seperti apa,
Pak?
J
: Dulu sejarah Keraton Cirebon ini adalah didirikan sebagai pusat syiar islam.
Kemudian terbentuklah Kesultanan Cirebon dengan berbagai tatananan ,yang
tentunya sebagai negara pada umumnya. Punya aturan, hukum yang berlaku.
Era-era kita lalui semua sampai kemudian era NKRI. Di NKRI ini tidak lama
setelah proklamasi. Kita menyatakan bagian dari NKRI. Kalau dulu kita sebagai
negara berdaulat. Memiliki kewenangan. Setelah adanya NKRI kita menjadi
bagian dari NKRI. Walaupun, kita ada kan spirit bung Karno nih. Ini juga sejarah
yang sebetulnya, kami bukan menuntut nih. Benang merah sejarah kan tidak
boleh dilupakan. Dulu pada saat bung Karno memproklamasikan NKRI,
Indonesia, Belanda mempertanyakan. You memproklamasikan diri sebagai
negara, mana rakyatmu, mana wilayahmu? Syarat kan. Pada saat itu adanya
kerajaan-kerajaan. Solo, Jogja, Cirebon, Kutai, Ternate, Tidore. Pada saat itu
raja-raja se-nusantara karena saat itu sudah satu misi berjuang melawan penjajah
menyatakan rakyatnya ya kami ini, wilayahnya ya ini. pada saat itu
momentumnya didapat Jogja, Hamengkbuwono. Oleh karenanya mendapat status
kistimewaan. Dari situ. Padahal sebetulnya semua punya porsi perjuangan yang
sama. Masing-masing. Tokohnya pun tidak bisa disepelekan. Sultan Sepuh V itu
yang Sultan Sepuh Safiyuddin yang disebut sebagai Sultan Sepuh Matangaji. Itu
seluruh hidupnya hampir digunakan untuk melawan penjajah. Sampai disebut
Sultan gila. Karena tidak pernah ada di Keraton. Hampir selalu bergerilya.
Karena tidak nurut sama Belanda. Makanya dalam catatan belanda disebut
sebagai Sultan gila. Sekarang kan sama seperti dulu pejuang-pejuang disebut
teroris. Artinya apa, bahwa Keraton-Keraton termasuk Keraton Cirebon memiliki
andil yang cukup besar pada berdirinya NKRI. Memang kita komitmen. Oleh
karenanya ada spirit Bung Karno, bahwa dengan berdirinya NKRI, peranan
seluruh raja-raja di Nusantara ini tidak boleh diabaikan. Tidak boleh
dikesampingkan. Walupun semuanya berada dalam bingkai NKRI. Kalau
kemudian ini sudah diabaikan, harus disama ratakan, adanya tidak dipedulikan,
Bhineka Tunggal Ika itu sudah tidak ada lagi. Itu muncul karena Indonesia
dibentuk oleh raja-raja yang berkomitmen satu itu. Sekarang, konteks kenegaraan
ya, Keraton yang diakui oleh negara dan diatur dengan Undang Undang itu hanya
Jogjakarta.
Ada
UU-nya.
Padahal
kalau
kita
belajar
ketatanegaraan,
Undang-undang itu harus diuniversalkan. Tidak boleh ada pengkhususan. Lex
Specialist. Atas dasar apa. Perjuangan itu semuanya berjuang. Tadi yang saya
sebutkan, masing-masing kerajaan punya tokoh-tokoh, Banten punya Sultan
Ageng Tirtayasa. Sultan hasanuddin, Makassar, Goa, Tidore, Palembang, punya
andil semua punya. Memang momentum sejarah lah yang tidak bisa kita elakkan.
Tapi dalam tataran berbangsa bernegara kan tidak bisa seperti itu. Tapi bukan
begitu ya, kalau tataran Pemkot terlalu kecil. Nah, saya juga pernah mengkritisi,
ada hasil studi, ya salah satu perguruan tinggi lah. Pak Sultan dan saya juga hadir,
mungkin sama lah tentang pola komunikasi. Ada pernyataan bahwa Keraton itu
tertutup. Dari mana statemen itu didapat, dari pejabat Pemkot Cirebon. Saya
bertanya tertutup itu dari sisi apa? Iya kan. Kategori tertutup itu bagaimana?
Indikatornya apa?. Kalau tertutup kita tidak akan berkomunikasi. Tidak ada
korespondensi. Tidak ada rapat-rapat. Tidak ada kemudian MoU. Kita membuat
MoU dengan Perpusnas perihal arsip-arsip. Kita Mou dengan STP Bandung yang
di bawah kementerian Pariwisata. Kita Mou juga dengan PATA untuk
peningkatan pariwisata. Juga dengan perguruan-perguruan tinggi, dengan
Unswagati, IAIN. Artinya tetap membuka diri. Makanya mau bilang tertutup dari
mana. Itu kan statement sepihak. Jadi kesimpulan. Pandangan subjektif. Apalagi
ini kan penelitian ilmiah harus objektif. Cover both side. Perihal tanah juga kita
sangat terbuka, kalau mau sepihak kita bisa kirim orang lalu datang ke lapangan
dan kita patok. Itu kan preman-preman-an. Itu artinya mau menang sendiri. Tapi
kita kan mengikuti lah prosedurnya, aturannya kita ikutin, harus gelar kasus kita
gelar kasus. Kita ikuti. Semua yang terlibat kita ajak rapat. Pola komunikasi kita.
Selama ini kita begitu, tinggal potret orang lain kan ya monggo subjektif kan.
Tapi apa yang kami sajikan bisa dibuktikan. Korespondensi ada. Dokumentasi
ada.
F
: Perbedaan fungsi Keraton pada masa lalu dan sekarang tentu akan
mempengaruhi perubahan struktur organisasi yang berlaku dan digunakan
Keraton, kalau misalkan dulu kita bisa menemukan sultan, patih, tumenggung
dalam struktur organisasi, kemarin hasil wawancara saya dengan pak Iman, salah
satu poinnya adalah bahwa sekarang Keraton memiliki dua struktur organisasi,
yang pertama berbasis tradisional dan yang kedua modern, nah ini bagaimana
pak?
J
: Iya betul bahwa di setiap era itu ada kebijakan masing-masing sultan sesuai
dengan kebutuhan zamannya, di era sultan sepuh ini memang disamping
struktur-struktur tradisional, walaupun tidak seluruh struktur-struktur tradisional
yang beliau bentuk secara lengkap. Seperti patih, patih itu kan ada ketika sultan
tidak dapat melaksanakan fungsi day to day. Jadi dia pelaksana harian. Patih ini
kan beliau belum menentukan. Tapi di beberapa kasus, seperti juru kunci, kaum
masjid beliau pertahankan. Beliau angkat, dan beliau berhentikan. Kemudian
juga kepala-kepala kaum masjid, ada struktur kaum masjid, ada penghulu, ada
kepala kaum. Itu juga menjadi salah satu struktur tradisional. Juru kunci kan kita
punya banyak situs. Seperti wewengkon-wewengkon. Tanah Keraton, dalam
bentuk makam kuno, petilasan, masjid kuno, nah itu semuanya diangkat juru
kuncinya. Nah masjid, yang masuk dalam wewengkonKeraton kasepuhan di
wilayah Cirebon sekitar 200-an. Ya tinggal menyimpulkan saja.
F
: Kalau bicara struktur tradisional, berarti kan ada struktur internal dalam Keraton
itu sendiri dan struktur eksternal pendukung seperti juru kunci dan kaum masjid
yang tadi bapak sebutkan, nah kemarin juga pak iman sedikit menyinggung
tentang lurah-lurah yang ada dalam lingkungan Keraton itu bagaimana?
J
: Ya lurah kalu disini istilahnya kan yang mengurusi Keraton. Yang di Keraton ya
lurah Keraton. Kepala lurah juga belum, ada kepala lurah. Yang mengurusi tradisi.
Kemudian sesuai perkembangan ya, karena mau tidak mau Keraton berkembang
menjadi destinasi wisata, ya wisata ziarah, sejarah, pendidikan. Seperti sekarang
ini, sultan sepuh merasa perlu membentuk badan yang khusus di luar struktur
tradisional. Oleh karenanya dibentuk BPKK. Semi modern lah. Ini kan untuk
menjawab kebutuhan zaman karena belum tercover oleh struktur tradisional. Juga
di Sunyaragi, karena besar kan makanya dibentuk juga Badan Pengelola Taman
Sunyaragi. Dulu taman sarinya Keraton Kasepuhan. Pengurusnya diangkat dan
diberhentikan oleh Sultan Sepuh. Belum lagi beliau membentuk organ-organ lain,
umpamanya beberapa yayasan yang karena sesuai kebutuhan. Ada yayasan
Sunan Gunung Jati, itu untuk menghimpun keluarga besar Keraton dari seluruh
nusantara. Mereka lebih fleksibel kalau ada yayasan. Makanya dibentuk yayasan
Sunan Gunung Jati. Ada juga yang sekrupnya di wilayah tiga, yaitu wargi jati. Ya
semi tradisional. Kalau wargi jati ya tradisional mungkin. Belum lagi
pesantren-pesantren yang beliau bina, seperti Cisaat atau disini yang beliau
mendirikan untuk anak-anak sekitar Keraton, lembaga pendidikan al-qur’an. TPA
dan TPQ. Ada Nur Hidayah. Terus lagi pesantren-pesantren lain, beliau
mendirikan sekolah kesenian, SMK Pakungwati. Pemerintah juga berpikir nih
untuk mengurusi kesenian-kesenian, regenerasinya, pelestariannya, Keraton. Mau
ada atau tidak ada siswanya tetap kita ayomi. Sekarang dibentuk yang baru juga
SMK Kriya,belum ada peminatnya tapi ini butuhkan karena selama ini
industri-industri rotan, gerabah, ada seni batik itu kan tenaga-tenaganya sudah
hampir tidak ada regenerasi. Ngambil dari orang luar, dari pekalongan. Dan ini
jadi pikiran beliau, berkolaborasi dengan pesantren binaan beliau untuk
membuka SMK seni kriya. Jadi santri juga disitu plus kerajinan. Kita kan
berusaha berkiprah, dulu kan Cirebon ini sudah menjadi pusat perdagangan
internasional sejak abad ke-14. Laksamana Cheng Ho itu dua kali singgah di
pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Kemudian kita pernah jadi jalur sutra,
perdagangan sutra pada abadke-15. Kita berhubungan dagang dengan Eropa,
dengan VOC. Kita kemudian jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia abad 19.
Dan memori-memori itu justru menjadi motivasi untuk kita.
F
: Sekarang lebih masuk ke Pemkotnya ya Pak, identifikasi Keraton terhadap
pemkot itu seperti apa pak?
J
:
Ya Pemkot kan bagian struktural dari pemerintah pusat, ya tentu kita sama
saja. Kita saling menghargai lah, bisa dikatakan mitra. Ya dalam konteks itu ya,
konteks kenegaraan kan kita dalam binaan pemerintah. Kan ada dalam UU,
kewajiban pemerintah untuk melestarikan dan membina adat dan tradisi. Itu kita
bagian dari institusi itu, kalau bicara institusional Keratonnya kan berbeda lagi.
Kita kan kalau sudah komitmen bersatu dengan NKRI, kita kan ikut UU. Kita
berkiprah disitu saja lah, mau tidak mau. Contoh kita harus bikin KTP, ya Sultan
Sepuh juga bikin KTP.
F
: Sejauh ini kegiatan Keraton apa saja yang melibatkan Pemkot pak?
J
: Hampir seluruh kegiatan adat dan tradisi itu kami melibatkan pemerintah.
Pemkot dalam hal ini kan jangan kemudian dikerucutkan DISPORBUDPAR.
Umpamanya kita hanya mengundang walikota, memang kemudian yang paling
sering didelegasikan ya DISPORBUDPAR. Tapi umpamanya kegiatan yang lebih
bersifat teknis, seperti pertanian, maka dinas pertanian yang diundang. Lebih ke
kelautan, lingkungan. Ya memang selama ini kan lebih banyak tema kebudayaan.
Pariwisata dan kebudayaan. Oleh karenanya ya DISPORBUDPAR. Tadi event
tradisi, event-event budaya dan pariwisata kita ciptakan juga. Seperti kita saat ini
di Cirebon ini tidak ada panggung yang menyediakan penampilan tari-tarian
kesenian Cirebon yang reguler. Kita sediakan sunyaragi, walaupun sebenarnya
kewajiban pemerintah lah. Kita inisiasi. Sekarang jadwalnya sudah bulanan. Ada
di sunyaragi dan Keraton Kasepuhan. Karena tamu dari Jakarta atau dimanapun
akan bertanya, pengen tahu kesenian Cirebon apa dan waktunya kapan. Jadwal
bulanan tersebut sudah mesti kita laksanakan. Dan semua itu sudah kita kirimkan
ke semua instansi, termasuk Pemkot. Ke Kementrian Pariwisata, ke Gubernur
Jawa Barat, Dinas Pariwisata Jawa Barat, biar mereka tau juga. Belum lagi
Gotrasawala, Festival Pesona Cirebon, yang kemarin kita melibatkan banyak
pihak, termasuk dari luar negeri juga. Ada Festival Pesisir. Ada Festival Family
tour de Keraton. Ada Wangsa Enggal. Dan hampir setiap event yang ada
selebrasinya kami mengundang pemerintah.
F
: Baik buruknya hubungan suatu lembaga kan sedikit-banyaknya akan
dipengaruhi oleh bagaimana kedua lembaga tersebut berkomunikasi, secara
prakteknya begini, kalau misalkan ada rapat, sebut saja rapat menyangkut
kebudayaan dan pariwisata, biasanya cara atau strategi yang digunakan oleh pak
Sultan atau Keraton itu bagaimana pak?
J
: Ya pertama bahwa tentu kita kan harus punya visi dan misi yang sama,
berdasarkan persamaan itu, kita terapkan dalam setiap aktivitas dan kegiatan,
termasuk dalam rapat-rapat tema kebudayaan tentu yang harus kita usung adalah
bagaimana memajukan, melestarikan adatn dan budaya yang ada. Kita
bagaimana mengingatkan pemerintah, mengevaluasi, seperti apa kinerjanya,
kalau misalkan ada yang harus dikoreksi ya kita koreksi bersama. Kita juga
meminta msukan juga, bagaimana. Jadi ya pola kebersamaan lah yang kita
kedepankan. Karena kan kita juga tidak bisa sendiri-sendiri. Biar pun kita dalam
posisi, kita kan sebagai lembaga adat dan tradisi yang cukup lama lah. Jadi, ada
atau tidak adanya respon atau tidak ya kita terus jalan. Jadi bukan umpamnya tadi
kan tidak semua jajaran pemerintah itu merespon dengan baik, ya kita dengan
atau tanpa mereka tetap jalan, kita berbuat.
F
: Kalau kita bicara tentang cara berkomunikasi, seperti yang kita tahu bahwa
komunikasi tatap muka itu biasanya lebih efektif dibandingkan surat-menyurat,
kalau kita bicara rentang waktu setahun, pihak Keraton dengan pemkot lebih
sering bertatap muka atau menggunakan media? Bagaimana kemudian ketika
Keraton punya event, lebih sering diresponnya atau tidak?
J
: Yang jelas secara umum disetiap kegiatan kami selalu mengundang Pemkot,
terus terkadang hadir, misalnya Festival Pesona kemarin, mentri hadir,
walikotanya tidak hadir, tapi diwakilkan, artinya bukan top leadernya. Tapi kita
bukannya tidak mengundang. Mereka menjalankan sesuai amanah sebagai
pemerintah atau tidak kan tanggung jawab mereka. Kalau kita kan sudah
mengundang. Sudah melaksanakan.
F
:
Bagaimana
kemudian
diselenggarakan pemkot?
Keraton
merespon
kegiatan-kegiatan
yang
J
: Kita selalu mengutus, kalau undangan itu kan biasanya kepada Gusti Sultan ya.
Kalau beliau berhalangan, hampir selalu beliau mendelegasikan. Siapa yang
mewakili ya ada. Seperti tadi yang datang Iman Sugiman. Di tempat lain ya ada.
Karena kita kan organ banyak tuh, yang BPKK dan tradisional. Beliau memilah,
rapat paripurna yang hadir ya siapa gitu, sertijab. Beliau kalau berkesempatan ya
hadir. Upacara 17 Agustus umpamanya. Terakhir beliau diundang ke Istana
Merdeka kan, beliau hadir disana. Kota ngundang, provinsi ngundang, jadi ya
diwakil-wakilkan. Di provinsi putra mahkota umpamanya. Selalu ada
pendelegasian. Kita kan harus menghargai yang mengundang.
F
: Faktor pendukung baiknya hubungan Keraton dengan pemkot apa saja pak?
J
: Ya semua kan harus membangun daerah, dan tidak boleh melupakan akar
sejarahnya. Itu pastilah. Dari situ akan tumbuh sikap-sikap saling mengahargai,
menghormati bahwa dalam perjalanannya Keraton ini adalah bagian dari NKRI,
itu kan sudah kita terus komitmen. Pertahankan. Tinggal sekarang, sikap-sikap
dari pemerintah seperti apa. Dan itu semua kan sudah diatur di UU. Ada UU
Cagar Budaya, ada UU macem-macem lah. Saya kira harus menghargai akar
sejarah. Sama-sama orang Cirebon, sama-sama ingin membangun Cirebon.
Kalau mungkin orang terlalu priomordial ya. Saya kira pola-pola komunikasi itu
harus dibangun dengan dasar saling menghormati, karena kan semuanya aset
negara baik pemerintah maupun Keraton. Semuanya aset negara. Keraton ini aset
negara, kita dimana-mana membawa nama indonesia. Atas nama Indonesia.
F
: Faktor penghambat dalam hubungan antara Keraton dengan pemkot itu sendiri
bagaimana pak?
J
: Mungkin kedua belah pihak ada pertemuan yang terselenggara. Harusnya
ketemu tapi malah tidak ketemu. Akhirnya kan ada kesan yang kurang baik.
Walaupun disisi kami sih merasa kendala itu ya ketertutupan. Karena kami
terbuka dengan siapapun. Ketertutupan itu, jadi tahu-tahu menjudge secara pihak.
Ya itu saya ambil contoh, bahwa Keraton tertutup. Yang begitu kan kita aneh.
Selama ini karena kami terbuka.justru yang jadi faktor penghambat adalah
ketertutupan dari pemerintah. Karena kami selalu mencoba terus membuka diri.
Welcome-lah terhadap ide-ide yang membangun. Biarpun kami sebagai institusi
harus dihormati. Dan keterbukaan itu tidak bisa juga semua orang
mengintervensi. Dalam tataran yang semestinya lah.
Skrip Wawancara Sugiono
Narasumber
: Sugiyono (Kasie Bina Niltrasepur DISPORBUDPAR)
Waktu
: 24 Desember 2015
F
: Kalau bapak sendiri sudah di DISPORBUDPAR sudah berapa lama pak?
S
: Sudah empat tahun sebagai kasie bina niltrasepur
F
: Pertama, kalau bicara pola komunikasi kan kita bisa lihat dari seringnya kita
berinteraksi, kalau dari pemkot sendiri nanti kan kita bisa bagi lagi menjadi ruang
formal
dan
informal,
kalau
formal
melibatkan
misalkan
nanti
ada
suratnya,undangannya,ataupun pertemuannya bisa seperti rapat-rapat atau
koordinasi. Kalau ruang informalnya kan bisa seperti pembinaan. Kalau ruang
formalnya, agenda pemkot yang berkaitan dengan keraton itu apa saja pak?
S
: Misalkan dalam rangka penyelenggaraan FKN. Itu biasanya dinas memanggil
para sultan untuk duduk bareng membicarakan masalah persiapan FKN. Itu yang
formal ya. Terus misalkan dari keraton mengundang dinas dalam rangka
gotrasawala. Gotrasawala itu seminar mengenai sejarah bagaimana sih Cirebon
ini,mau dibagaimanakan sih Cirebon ini. Karena gotrasawala ituadalah kebiasaan
para leluhur yang diprakarsai oleh pangeran Wangsakerta. Untuk berembuk,mau
kemana nih Cirebon itu. Dari pihak keraton yang mengundang Pemkot. Sejauh ii
sudah seringkali,tapi yang melibatkan dari asing, sekaligus mengundang juga
dari Perancis, Belanda.melalui kedubes. Tempatnya di Cirebon. Mengundang
warga asing sekaligus juga minta pandangan.
F
: Kalau menurut bapak hubungan pemkot dengan keraton itu sendiri seperti apa
pak?
S
: Kalau pemkot dengan keraton,kita itu sebagai pengemban pelaksana UU. Baik
UU cagar budaya no.11 tahun 2010, ataupun UU kepariwisataan. Dimana
pemerintah ditunjuk sebagai pembina. Misalkan dalam rangka pelestarian,
pemeliharaan.kemarin saja, saat satu muharram, kita kan ada kegiatan baca babad,
sorenya kan shalat berjama’ah terus dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Gunung
Jati. Disitu ada miskomunikasi yang mana, dari kanoman membrikan izin untuk
masuk ke dalam tapi dari kasepuhannya tidak. Makanya walikota agak marah.
F
: Kalau bicara hubungan antar lembaga kan tentu baik atau buruknya hubungan
antar lembaga kan sedikit banyaknya akan dipengaruhi oleh orang-orang yang
berinteraksi. Misalkan dari pemkot itu siapa dan dari keratonnya sendiri siapa,
maka akan terbentuk pola-pola komunikasi. Kalau dipemkot itu sendiri, kira-kira
ada pemilihan orang-orang tertentu atau tidak pak untuk setiap pertemuannya?
S
: Biasanya dari bagian umum dipemkot. Manakala ada pejabat negara, baik itu
gubernur, mentri atau pejabat setingkatnya yang mau berkunjung ke keraton kan
biasanya datangnya ke Pemkot. Baru dari bagian umum itumemberikan suatu
permintaan agar keraton kasepuhan siap menerima tamu. Kalau yang informal
biasanya langsung ke keraton. Karena ada kekerabatan. Kalau formal ya melalui
kita.
F
: Bicara cara komuniaksi, biasanya pihak pemkot sendiri untuk berinteraksi
dengan keraton. Misalkan dalam jangka waktu setahun, lebih sering tatapmuka
kah atau via surat atau bagaimana?
S
: Seringnya bertatap muka, karena kita itu sebgai pelaksana UU. Yang mana
amanat dari UU tersebut kita itu sebagai pembina, misalkan masalah cagar
budaya, kita kan katakanlah datang melihat, meninjau masalah pelestarian,
masalah
pemeliharaannya
kepariwisataan,
mungkin
bagaimana,
yang
pembangunannya.
ditanyakan
kaitannya
Kalau
dari
langsung
dari
kepariwisataan. Seringnya mah bertatap muka, hampir setiap bulan sekali. Kita
meminta data kunjungan. Mereka datang melaporkan.
F
: Kalau dari interview kita, boleh saya simpulkan hubungan keraton dengan
pemkot itu bisa dibilang baik. Kira-kira menurut bapak faktor pendukung
baiknya hubungan tersebut apa saja pak?
S
: Yang jelas gini ya, kota cirebon sendiri tidakmemilikiandalan yang lain untuk
masalah PAD selain dari kebudayaan. Nah sementaramasalah budaya adanya di
keraton dan situs-situs budaya. Kalau kita tidak membenahi keraton dan
situs-situs tersebut PAD kita akan kurang optimal. Karenakita bukan kota industri,
pelabuhan dikelola oleh PELINDO. Jadi andalan PAD kota Cirebon ya dari
sektor kepariwisataan. Makanya kita ya harus baik-baik dengan keraton, kita
benahi juga situs-situs kebudayaan. Agar wistawan itu datang, dengan banyaknya
wisatawan datang kan pajak hotel masuk ke kas daerah. Rumah makan juga kan
pajaknya masuk kekas daerah. Dan kita gak punya andalan apa-apa.
F
: Kalau faktor penghambat hubungan pemkot dengan keraton itu apa saja pak?
S
: Penghambat yang pertama itu bisanya manakala kitamembenahi salah satu
obyek kita terkendala oleh dana yang minim. Anggaran yang dimiliki pemkot itu
sangat minim, makanya kita maksimalkan dengan anggaran yang ada walaupun
hasilnya kurang memuaskan. Kedua, dari kalangan keraton ataupun masyarakat
sekita masih beranggapan bahwa urusan pemeliharaan semua tanggung jawab
pemerintah. Padahal amanat UU itu bukan hanya pemerintah tetapi masyarakat
juga turut andil. Ada rasa memiliki. Sementara ini belum muncul. Mereka masih
selalu beranggapan pemerintah yang mengurusi.betul kita sebagai pelaksana
karena tupoksi. Tapi kan msyarakat juga harus turut serta. Misalkan begini,
wisatawan berkunjung ke objek wisata yang pertama tentu ingin aman, nyaman,
ngangenin, biar balik lagi. Sementaraini hal-hal tersebut belum tercipta karena
misalkan rasa aman, dia diikuti oleh peminta-peminta. Selain itu masalah sarana
tempat kemdaraan, orang kan maunya naro kendaraan di tempat yang aman.
Nyamannya, tidak ada tumpukan sampah. Kalau ada sampah menggunung kan ,
duh kotor sekali, dia akan ngomong ke yang lain ngapain main-main kesana,
kotor. Nah itu yang belum ada di pikiran masyarakat, tidak bisa menciptakan
sapta pesona itu. Terus terang orang keraton juga, masih mengandalkan
pemerintah saja. Jangan mengandalkan kita saja, itu juga jadi urusan bersama.
Kita terbatas oleh tenaga dan waktu. Tidak menyalahkan, belum ada kesadaran
saja.
Skrip Wawancara Wiyono
Narasumber : Wiyono (Kasie Bina Usaha Pariwisata DISPORBUDPAR)
Waktu
F
: 24 Desember 2015
: Kalau bapak sendiri di DISPORBUDPAR sudah berapa lama?
W : Ya kalau disini, pengangkatan 1998. Berarti sekitar 15 tahun. Sebelumnya saya
di Padang, Sumatra Barat. Kebetulan waktu itu saya ikut tes CPNS-nya di sana.
Divisi kebudayaan.karena enggak ngerti eh tau-tau SK-nya disana. Sekitar 2
tahun disana. Mengajukan pindah kesini.tapi untungnya masih mudah untuk
urusan pindah.
F
: Kalau bapak sendiri memegang jabatan apa di DISPORBUDPAR?
W : Kasie Bina Pariwisata.
F
: Sudah berapa lama sebagai kasie bina pariwisata pak?
W : Sudah dari 2011 ya. Cuma ya memang basicnya bukan disini,karena latar
belakangnya dari seni. Kaya kurang sesuai.
F
: Tentang kegiatan dari pemkot, utamanya dari sektor kepariwisataan yang
melibatkan keraton kasepuhan itu apa saja ya pak?
W : Yang melibatkan keraton itu kebetulan ya keraton itu kan sebagai obyek wisata.
Kita kalau dalam hal ini memang ada hubungan ya. Cuma yang berhubungan
langsung dalam satu kegiatan yang disinergikan dengan keraton belum. Biasanya
yang itu dari pemkot langsung ada bantuan atau stimulan lah bahasanya.
Stimulan dari APBD Kota ke keraton. Besarannya kurang tau tuh. Ya dulu mah
50 juta. Sekarang tuh kita belum tau persis. Dulu kalau di kebidayaan kita,
sebetulnya selain di kepariwisataan juga kan kebudayaan ya, karena ada cagar
budayanya mungkin. Pemeliharaan ya.
F
: Kalau kita bicara tentang interaksi ya pak, hubungan antara pemkot dengan
keraton itu kan kalau kitakategorisasikan nanti bisa masuk ke bentuk formal dan
informal. Yang formal itu nanti bisa dalam rapat, seminar, ataupun pelatihan
kalau dalam hal kepariwisataan. Kalau ruang informal kan bisa misalkan
nimbrung bareng, ada acara sowan lah. Kalau misalkan dari kepariwisataan untuk
ruang formalnya dulu kira-kira apa saja pak?
W : Kalau yang kita lakukan selama ini memang ada hubungan formalnya, dengan
data pengunjung. Jadi kita tunjuk salah satu jupel, untuk melaporkan setiap bulan.
Kita kasih dana, jadi kita saling memberikan apa ya,kami membutuhkan data
mungkin mereka juga membutuhkan sesuatu yang butuh diterima. Ya memang
tidak seberapa. Ya paling kalau ada rapat. Biasanya juga kalau ada kegiatan FKN,
kita hanya membrikan stimulan saja. Itu juga tidak signifikan. Kemarin itu cuma
30 juta. Karena memang keraton juga sudah dianggarkan oleh propinsi maupun
pusat. Kita hanya memberikan stimulan saja.
F
: Kalau tadi saya tanya sama pak Giyono, ada juga tentang Gotrasawala, nah itu
bagaimana penjelasannya pak?
W : Gotrasawala itu memang juga dibiayai oleh provinsi. Belum lama ini minta kita
laksanakan november, memang kerjasama dengan keraton. Penggagasnya
keraton. Kalau FKN dari Pemkot. Walikota pasti datang, berikut juga dari bagian
kebudayaan dan pariwisata. Kemarin juga alhamdulillah saya sempat nonton
pagelarannya juga, yang terakhir itu ada dari Bandung yang ngisi.
F
: Kalau menurut bapak, hubungan keraton dengan pemkot itu bagaimana pak?
W : Cukup baik. Ya sampai saat ini mah cukup baik.
F
: Sekarang tentang hubungan antar lembaga. Baik atau buruknya hubungan antar
lembaga kan dipengaruhi oleh siapa yang berinteraksi, artinya nanti dari pemkot
itu siapa dan dari keraton itu siapa, dan bagaimana pola interaksinya. Kalau dari
bagian pariwisata, ada strategi khusus enggak pak misalkan acaranya tentang
rapat gotrasawala, penunjukan delegasinya itu seperti apa?
W : Nah sebetulnya kalau gotrasawala kita kan sebagai undangan saja, tidak
dilibatkan secara langsung. Yang biasa kita tahu itu dinas dapat undangan,
segaala sesuatu tentang pelaksanaan dan urusan internnya kita tidak tahu persis.
Kalau penunjukan orang yang terlibat di FKN itu ditunjuk langsung oleh sultan.
Nanti sulta yang menunjuk nama-nama terkait. Sepenuhnya hak dari sultan
masing-masing. Memang keraton juga sebelumnya pasti sudah tahu karena
merupakan event tahunan. Justru lebih sering interaksi dalam hal itu keraton
dengan keraton.
F
: Bicara tentang cara pak, kalau tadi kan penunjukan orang. Dari pemkot sendiri,
utamanya bagian pariwisata, misalkan dalam jangka waktu setahun, itu biasanya
lebih sering melalui surat atau tatapmuka/
W : Kayanya kalau tatap muka sih jarang ya, saat-saat tertentu saja. Biasanya surat.
Ya karena kita tau kesibukan sultan kan. Tidak sembarangan mau menghadap
sultan tuh.ada protokoler yang harus dilewati. Kalau kami setiap saat bisa
ditemui untuk koordinasi. Tapi kalau sultan, ya kita harus konfirmasi. Perjanjian
dulu. Minimal 2 hari sebelumnya kita kirim surat. Tapi ya tidak langsung ke
sultan. Nanti ke staffnya. Lalu nanti ada jawaban sultan siap menerima tamu,
tanggal sikia, jam sekian. Kita ngikutin aturan sana. Yang pernah saya alami,
saya tidak bisa ketemu. Pikir saya sultan kan ada di keraton, untuk
mengkoordinasikan FKN ternyata sampai sana ya tidakketemu. Ketemunya sama
staffnya saja.
F
: Kalau bicara pariwisata kan mesti bicara tentang objek wisatanya pak. Kalau di
Cirebon ya keraton. Kalau dari keraton sendiri kan perihal laporan data
pengunjung kan setiap bulan datang. Kalau dari pemkot sendiri, ada jadwal
kunjungan teratur atau tidak pak?
W : Kalau kita tidak ada jadwal kunjungan teratur seperti itu. Istilahnya kalau ada
keperluan saja kita kesana. Karena kita hubungannya dengan jupel itu, jadi kalau
ada informasi kita sampaikan ke juru pemelihara. Jadi tidak ditargetkan harus ada
berapa kali kunjungan kesana. Kecuali kalau ada kegiatan, seperti muludan ini
kadang kita kan tidak ada istilahnya harus kirimsurat kesana, ya tinggal datang,
dari kebudayaan itu biasanya. Kalau kita yasemua pariwisata kita ayomi. Promosi
juga masuk lah.
F
: Faktor pendukung dari baiknya hubungan keraton dengan pemkot itu kira-kira
apa saja?
W : Selain karena kita satu daerah yamungkin karena merupakan bagian dari obyek
pariwisata ya jadi kita harus bisa memberikan apresiasi. Apalagi keraton kan
punya nilai sejarah yang tinggi. Kita akui di wilayah Jabar lah yang masih ada
keraton ya di Cirebon. Peninggalan budaya yang masih nyata dan ada. Kalau
yang lain sebatas nilai sejarah yang diketahui saja. Bisa dilihat secara langsung
bentuk keratonnya seperti apa, sultannya pun masih ada. Bedanya dengan Jawa
ya masih kental, kan masih jadi pemerintahan. Dan memang itu dijual tidak boleh,
karena milik negara. Pembangunan saja kalau sudah tidak sama dengan aslinya
tidak boleh. Jadi kalau tidak sembarangan mau memugar itu.
F
: Faktor penghambatnya bagaimana pak?
W : Barangkali kadang tidak tepat waktu untuk melapor. Karena memang sedang
ada kegiatan yang cukup padat di keraton. Setiap tanggal 5 biasanya.tapi
kebanyakan memang telat. Cuma kadang kita kerepotannya akalu ada yang
meminta data. Minta data triwulan satu dan dua, kebetulan datanya baru sampai
triwulan satu. Nah itu paling kendalanya disitu. Untuk update data kurang
maksimal. Untuk urusan rapat cukup baik responnya, kalau sultannya sendiri
datang kan agak sulit. Jadi ya paling diwakilkan oleh staffnya. Tapi kami cukup
ma’lum. Terkadang ya kalau memang itu betul-betul urgent ya datang. Biasanya
yang banyak itu seringnya kita sowan kesana.
Catatan Observasi 1
Kegiatan
: Rapat Koordinasi Maulid Nabi Muhammad SAW (Panjang Jimat)
Tanggal
: 17 Desember 2015
Tempat
: Keraton Kasepuhan
Rapat koordinasi ini pada dasarnya bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh
persiapan dalam penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW atau yang kerap kali
disebut Panjang Jimatan. Semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan
Maulid dikumpulkan sembari masing-masing melaporkan persiapan dan kesiapannya
dalam penyelenggaraan kegiatan ini. Rapat seperti ini dibutuhkan demi terlaksananya
perayaan Maulid dengan baik dan lancar.
Pada rapat koordinasi ini pihak Keraton Kasepuhan turut mengundang perwakilan
dari Pemerintah Kota dari tingkat RT sampai Walikota, TNI, dan Kepolisian setempat.
Namun, pada kesempatan tersebut Walikota tidak sempat hadir dan diwakilkan oleh
pejabat di bawahnya. Kapolsek Lemahwungkuk beserta jajarannya turut menghadiri
rapat ini. Kehadiran pihak kepolisian dalam hal ini menjadi penting mengingat
dibutuhkan kerjasama yang baik dalam mengamankan dan juga menertibkan perayaan
Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan.
Selain memang rapat koordinasi juga dijadikan momen silaturahmi bagi kerabat
dan sanak famili Keraton Kasepuhan. Mereka yang masih berstatus Sanak famili dan
kerabat yang berasal atau menetap di luar wilayah Cirebon pun menyempatkan untuk
hadir dan berpartisipasi. Sehingga suasana rapat pun erat dengan nuansa kekeluargaan.
Sebelum rapat dimulai para hadirin dipersilahkan untuk menyantap makan siang terlebih
dahulu. Nuansa kekeluargaan semakin terasa dengan santap makan siang yang dikemas
dengan model perasmanan dan mengambil tempat di ruang pertemuan lesehan yang
berada di lingkungan keraton.
Rapat koordinasi ini masuk ke dalam kategori komunikasi formal. Sehingga pola
komunikasi yang dibangun adalah pola komunikasi formal. Rapat dibuka oleh Sultan
Sepuh XIV P.R.A. Arief Natadiningrat S.E. Dimulai dengan sambutan yang disampaikan
oleh Sultan Sepuh XIV. Dalam sambutannya tersebut Sultan Sepuh XIV juga
menyampaikan tentang persiapan dan kesiapan pihak Keraton Kasepuhan dalam
penyelenggaraan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain tentunya meminta bantuan dan
mengharapkan kerjasama dengan seluruh pihak terkait demi kelancaran perayaan Maulid
tersebut. Bantuan yang sangat diharapkan tentunya terkait dengan masalah keamanan,
ketertiban dan kebersihan yang memang tidak bisa sepenuhnya di kerjakan sendiri oleh
pihak keraton. Mengingat perayaan Maulid di Keraton kasepuhan merupakan kegiatan
tahunan yang selalu menarik masyarakat, baik yang berasal dari wilayah Cirebon sendiri
ataupun yang berasal dari luar. Maka jumlah pengunjung tiap tahunnya semakin
meningkat dan kepadatan pun semakin tak terkendali.
Setelah selesai menyampaikan sambutan dan memberikan pesan kepada seluruh
hadirin, Sultan pun memberikan kesempatan berbicara kepada tamu undangan. Pada
kesempatan tersebut, Ibu Lurah yang dalam hal ini juga mewakili Pemerintah Kota turut
memberikan sepatah-dua patah kata sebagai bentuk komunikasi dan kontribusi yang
dapat diberikan selaku kepanjangan tangan Pemerintah. Setelah Ibu Lurah
menyampaikan pesan-pesannya, Kapolsek Lemahwungkuk juga tidak melewatkan
kesempatan tersebut untuk meminta kerjasama kepada seluruh pihak demi kelancaran
dan ketertiban perayaan Maulid ini. Utamanya dalam menjaga keamanan sehingga tidak
terjadi tindak kriminalitas seperti pencopetan, pencurian dan sebagainya. Hal ini sangat
perlu dilakukan karena perayaan seperti ini akan mengundang banyak orang untuk datang
dan dalam keramaian tindak kriminal sangat mungkin untuk terjadi. Sehingga kerjasama
dari semua pihak akan sangat dibutuhkan dalam menangani permasalahan seperti ini.
Setelah meminta semua pihak untuk terus berkoordinasi dan bekerja sama, rapat
pun dilanjutkan ke agenda selanjutnya, yakni pembacaan dan penyerahan Surat
Keputusan Kepanitiaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW kepada panitia yang
telah ditentukan. Selesai penyerahan Surat Keputusan secara simbolik, kegiatan rapat
koordinasi ini pun ditutup dengan pembacaan do’a yang dipimpin langsung oleh Sultan
Sepuh XIV.
Catatan Observasi 2
Kegiatan
: Maulid Nabi Muhammad SAW (Upacara Panjang Jimat)
Tanggal
: 25 Desember 2015
Tempat
: Keraton Kasepuhan
Perayaan Maulid ini seperti yang sudah disinggung pada rapat koordinasi
merupakan kegiatan tahunan yang sangat menarik masyarakat. Perayaan Maulid di
Keraton kasepuhan memiliki daya tarik tersendiri karena disertai dengan upacara panjang
jimat pada puncak perayaannya. Upacara panjang jimat sangat menarik masyarakat
setempat dan luar karena disertai dengan ritual panjang jimat. Panjang jimat merupakan
ritual upacara dengan membawa benda-benda pusaka dan makanan dari dalam keraton ke
langgar (mushola) alit di lingkungan keraton disertai dengan atribut keraton untuk
kemudian dibacakan doa. Dan di akhir upacara ada momen berebut makanan yang
diyakini membawa keberkahan.
Perbedaan perayaan Maulid di Keraton kasepuhan dengan tempat lain juga terlihat
dari ramainya penjual yang menjajakan dagangannya disekitaran keraton. Dari bagian
luar yang merupakan lapangan dan halaman Masjid Agung Sang Cipta Rasa sampai
halaman dalam keraton. Sehingga melibatkan masa yang cukup banyak dari sebelum
puncak perayaan.
Kegiatan ini mengundang pihak Pemerintah Kota serta seluruh perangkatnya.
Termasuk dari TNI dan kepolisian setempat. Selain tentunya para sanak famili dan
kerabat keraton. Pada perayaan Maulid kali ini pun para peneliti diundang dan
dipersilahkan sebebas-bebasnya untuk turut serta dan mengambil data yang diperlukan
untuk penelitian. Disamping itu juga, datang perwakilan dari Afrika Selatan yang
memang sebelumnya ingin diundang dan melihat bagaimana perayaan Maulid di Keraton
Kasepuhan.
Perayaan Maulid dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Sultan Sepuh
XIV. Dilanjutkan dengan laporan staff Sultan yang menyampaikan bahwa seluruh
persiapan telah selesai. Setelah diizinkan oleh Sultan untuk melanjutkan upacara, maka
para pembawa benda-benda pusaka yang memakai pakaian tradisional dan makanan yang
sudah dibungkus sedemikian rupa pun berjalan satu per satu. Mengambil rute dari dalam
keraton sampai dengan langgar alit di halaman keraton. Rute tersebut sebelumnya telah
dihiasi dengan lampion-lampion dan atribut Keraton Kasepuhan. Sesampainya di langgar
alit benda-benda pusaka dan makanan tersebut dibacakan doa untuk kemudian diarak ke
depan keraton dan perebutkan oleh warga yang sudah menunggu. Momen berebut
makanan tersebut menjadi akhir dari serangkaian agenda Maulid tersebut.
Catatan Observasi 3
Kegiatan
: Sosialisasi Sadar Wisata Bagi Para Stakeholders Pariwisata di Kota Cirebon
Tanggal
: 28 Desember 2015
Tempat
: Hotel Pia, Cirebon
Kegiatan ini merupakan program yang diselenggarakan oleh DISPORBUDPAR
Kota Cirebon dalam rangka meningkatkan daya tarik pariwisata di Kota Cirebon. Sektor
kepariwisataan di kota Cirebon sendiri memang masih belum bisa dikatakan baik, baik
dari segi penampilannya maupun pengelolaannya. Oleh karena itu, seluruh stakeholders
kepariwisataan di Kota Cirebon diundang untuk merembukkan formula yang tepat demi
menarik wisatawan domestik dan asing. Para stakeholders tersebut meliputi perwakilan
dari Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Juru Kunci Makam Sunan Gunung Jati, Juru
Kunci Situs Gua Sunyaragi dan lain sebagainya.
Selain mengundang para stakeholders kepariwisataan kota Cirebon, kegiatan ini
juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Cirebon dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat sebagai
perwakilan dari Pemerintah. Beliau diundang untuk menampung aspirasi pegiat
pariwisata
dalam
meningkatkan
sektor
kepariwisataan
secara
simultan
dan
bersama-sama. Salah satu tujuan utama dari terselenggaranya kegiatan ini adalah
terjalinnya kerjasama yang baik antara pemerintah, stakeholders pariwisata dan swasta
dalam pengelolaan pariwisata, sehingga sektor pariwisata di kota Cirebon semakin
menarik wisatawan domestik dan asing.
Kegiatan yang mengangkat tema “Sosialisasi Sadar Wisata bagi Para Stakeholders
Kepariwisataan di Kota Cirebon” itu sendiri berjalan lancar. Dibuka dengan pembacaan
laporan Ketua Pelaksana kepada Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon. Selesai
pembacaan laporan, acara pun diisi dengan sambutan-sambutan yang disampaikan oleh
Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat.
Sebagaimana kegiatan sosialisasi pada umumnya, Kepala DISPORBUDPAR Kota
Cirebon dan Kepala DISBUDPAR Provinsi Jawa Barat yang didampuk menjadi
pembicara memaparkan tentang bagaimana keadaan pariwisata di Kota Cirebon sekarang
ini, perbedaanya dengan pariwisata di daerah lain seperti Bali dan Jogjakarta, dan
bagaimana rencana serta master plan pariwisata di Kota Cirebon pada masa yang akan
datang.
Selepas memberikan materi tersebut, para pembicara pun mempersilahkan peserta
untuk memberikan respon terhadap materi dan informasi yang disampaikan. Walaupun
memang pada prakteknya para peserta lebih tertarik untuk merespon masalah-masalah
yang mereka temui dalam sektor pariwisata yang mereka pegang masing-masing. Seperti
keluhan yang disampaikan oleh salah satu peserta dari agen tour dan travel, beliau
mengeluhkan sulitnya menjual pariwisata kota Cirebon karena mahalnya harga yang
harus dibayar dari setiap transaksinya. Transaksi yang dimaksud meliputi harga hotel,
kuliner, tiket masuk, dan parkir yang sedemikian mahalnya dibandingkan dengan daerah
lain seperti jogja misalnya.
Selain menyampaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan, para
peserta juga menyampaikan usulan-usulannya agar sektor pariwisata di Cirebon dapat
lebih baik lagi. Seperti yang disampaikan oleh perwakilan dari pemerhati pariwisata
Cirebon, yang mengusulkan pembangunan candi bentar di setiap gedung yang berdiri di
Cirebon sebagai bentuk pengukuhan identitas dan simbolisasi kekhasan kota Cirebon.
Perwakilan dari Keraton kasepuhan pun ikut turut memberikan sarannya, yang dalam hal
ini adalah Pak Iman Sugiman. Beliau berpendapat bahwa salah satu yang menyebabkan
sektor pariwisata Cirebon menjadi begini saja dan cenderung jalan di tempat adalah
karena tidak adanya branding yang kuat, seperti kota Jogjakarta yang mengidentifikasi
dirinya sebagai Jogja Istimewa. Idiom Jogja Istimewa pun menjadi kekhasan Jogja dan
menjadi hanya milik Jogja. Sehingga membekas dan memberikan kenangan tersendiri
bagi masyarakat, atau khususnya para wisatawan, baik domestik maupun asing.
Setelah sesi tanya jawab, acara pun ditutup dalam suasana kekeluargaan dan
kekerabatan.
Gambar 1.1. Pemberian Surat Keputusan Panitia MaulidNabi Muhammad SAW oleh
Sultan Sepuh XIV kepadapanitiapadaacaraRapatKoordinasiPenyelenggaraanMaulidNabi
Muhammad SAW.
Gambar 1.2. Sultan Sepuh XIV P.R.A. AriefNatadiningrat, SE.
MemberikansambutanpadaRapatKoordinasiMaulidNabi Muhammad SAW.
Gambar 2.1. Kepala DISPORBUDPAR Kota Cirebon, Dana Kartiman, memaparkan
materi tentang kepariwisataan di Kota Cirebon pada kegiatan Sosialisasi Sadar Wisata.
Gambar 2.2. Kepala DISBUDPAR Jawa Barat, menjelaskan tentang proyeksi pariwisata
provinsi Jawa Barat.
Download