1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi musik populer

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi musik populer dewasa ini secara signifikan mulai menjamah studi ilmu
komunikasi. Kajian musik populer penting karena perannya yang vital dalam
menjangkau khalayak pendengar, khususnya kaum muda. Musik populer seringkali
dianggap menjadi bahasa yang efektif untuk menyampaikan wacana tertentu. Musik
selain sebagai media tersendiri juga memiliki kaitan erat dengan media-media lain
seperti, media cetak, media penyiaran, maupun media baru. Pemberitaan musik
seringkali muncul di surat kabar maupun majalah. Musik sering digunakan sebagai
suara latar dalam program televisi, dan film. Musik sering ditemukan dalam siaransiaran radio. Bahkan melalui media baru yang berkaitan dengan jaringan internet
hubungan musik menjadi lebih kompleks.
Pada awalnya Adorno (dalam Walton)1 berpandangan bahwa industri budaya
melahirkan budaya massa populer yang dimotivasi oleh keuntungan. Maka dari itu,
diproduksi bentuk dengan formula tertentu dan dapat diprediksi. Selanjutnya
dianggap memiliki pengaruh ideologis. Budaya populer salah satunya musik, tidak
mengantarkan pada perilaku anarki atau disintegrasi, namun membuat massa pasif
dan mendorong untuk menyesuaikan kondisi mereka yang dianggap memalukan.
Yang mana anggapan ini disanggah oleh para ahli, khalayak bukan massa yang
sepenuhnya pasif.
Dalam hal ini studi musik populer tidak hanya sebatas lingkup genre tertentu.
Studi musik populer seringkali membahas bermacam-macam genre seperti punk,
1
David Walton. 2008. Introducing Cultural Studies : Learning Through Practice. London : Sage Publication. Hal.
53.
1
heavy metal, reggae, hip-hop, rap, rock n roll, hingga grunge. Dapat dikatakan
bahwa istilah musik populer berbeda dengan istilah batasan genre pop.
Perkembangan musik populer di Indonesia dapat dikatakan pesat baik dari
institusi produsen industri musik arus utama hingga underground, maupun pendengar
sebagai penikmat dan penerima teks musik. Perkembangan tersebut memiliki
perbedaan mendasar dalam hal konten maupun gaya dalam bermusik di berbagai era.
baik saat orde lama, orde baru, maupun pasca reformasi memiliki perbedaan
tersendiri dari konten musik yang disajikan.
Laju pertumbuhan musik di Indonesia seringkali sulit mendapat kekangan dari
berbagai pihak. Contohnya pada era pemerintahan Soekarno meskipun terdapat
larangan memainkan musik barat, namun musik bernuansa barat tetap berkembang.
Hingga akhirnya grup musik Koeswoyo Bersaudara (Koes Plus) sempat ditahan
karena memainkan musik tersebut.2 Contoh lain pada masa orde baru yang mana pada
saat itu dilarang memainkan musik protes, namun tetap muncul musik-musik protes
khususnya karangan Iwan Fals, Harry Roesli, dan Slank.3
Namun pasca reformasi, musik protes hampir tidak pernah muncul dipasar
industri musik (major label). Musik protes era ini menjadi dinikmati secara terbatas
oleh pendengar dengan genre tertentu. Di saat musik protes mayor label surut, musik
underground semakin banyak mengeluarkan lagu berbau protes. Lagu protes musik
underground-pun lebih gamblang ditulis dalam bahasa Indonesia. Setelah di masa
orde baru musik ini menyajikan protes menggunakan lirik berbahasa Inggris.4
Saat ini, telah banyak bermunculan musisi underground yang menyajikan
lagu protes. Protes yang dimunculkan oleh musisi underground bermacam-macam.
Beberapa individu maupun kelompok musisi underground
secara konsisten
menyajikan isu atau gerakan tertentu, di saat musisi yang lain memilih untuk
menyuarakan protes dengan tema beragam. Musisi yang menyuarakan suatu isu
2
Khrisna Sen & David T. Hill. 2001.Media, Budaya dan Politik Indonesia. Jakarta : ISAI. Hal. 196.
Jeremy Wallach. 2008. Modern Noise, Fluid Genres : Popular Music In Indonesia. Wisconsin : The University
of Wisconsin Press. Hal. 16.
4
Ibid. Hal. 14-15
3
2
secara konsisten seperti, Tengkorak, Siksa Kubur,
hingga Purgatory yang
menyuarakan jihad melalui musik Metal. Selain itu yang akan lebih banyak dibahas
dalam penelitian ini adalah yang menyuarakan isu lingkungan. Musisi yang
menyuarakan isu lingkungan secara konsisten di sini adalah Navicula. Navicula yang
merupakan salah satu band underground dengan genre grunge cukup berbeda dalam
menyajikan teks dalam musiknya. Isu lingkungan disuarakan Navicula dengan jalur
underground dan dengan genre grunge yang notabene termasuk rumpun musik keras.
Sebuah keunikan lagi bagi sebuah band, Navicula tidak hanya sebatas
menyajikan isu lingkungan dalam musik. Navicula juga aktif melakukan aktivisme
lingkungan. Salah satunya dengan mengikuti kampanye bernama “Kepak Sayap
Enggang Tur Mata Harimau Seri Kalimantan” yang diadakan oleh greenpeace.5
Selain itu Navicula juga aktif dalam melakukan kampanye lingkungan seperti
pembuatan poster hingga menerbitkan tulisan kampanye lingkungan di situs resmi
mereka. Navicula juga sering memperhatikan kaitan dengan isu-isu lingkungan saat
membuat merchandise seperti kaos hingga sampul album. Bahkan Navicula juga
memproduksi sabun sendiri yang tidak menggunakan bahan kelapa sawit. Maka dari
itu dapat dikatakan bahwa Navicula tidak sekedar basa-basi dalam mengangkat isu
lingkungan, namun juga peduli terhadap masalah degradasi lingkungan yang telah
terjadi khususnya di Indonesia.
Kondisi lingkungan sendiri di Indonesia memang sudah memprihatinkan.
Penggundulan hutan ada dimana-mana, banjir melanda di kota besar, satwa-satwa
langkapun hampir punah. Adapun salah satu dampak dari permasalahan degradasi
lingkungan ini adalah perubahan iklim. Isu perubahan iklim sendiri telah menyita
perhatian dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de
Janeiro, Brasil, tahun 1992.6
5
Manajemen Navicula. Navicula Borneo Tour – Kepak Sayap Enggang (Press Release). Terarsip di :
http://www.naviculamusic.com/kepak-sayap-enggang/. Diakses 1 April 2014
6
Armely Meiviana, Diah R. Sulistiowati,& Moekti H Sujahnoen. 2004. Bumi makin panas : Ancaman Perubahan
Iklim. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup. Hal: iv
3
Dalam lirik lagu Navicula, isu-isu lingkungan yang disebutkan di atas
seringkali muncul. Lagu seperti “Metropolutan” menggambarkan kemajuan industri
kota besar yang memiliki dampak terhadap polusi yang muncul di mana-mana, serta
permasalahan kota besar. Selain itu masih banyak lagu-lagu lain yang berkaitan
dengan isu-isu lingkungan seperti yang disebutkan di atas.
Melalui paparan di atas, dapat dikatakan bahwa Navicula menarik untuk
dibahas. Sangat jarang ditemui band yang menyajikan isu tertentu yang dibarengi
dengan aktivitas nyata dalam perjuangannya. Menariknya lagi, isu lingkungan yang
mereka sampaikan dibawakan dengan musik underground dengan genre grunge.
Dimana dalam skema musik tersebut memiliki pola lain dengan musik arus utama.
Pada awal kemunculannya, gerakan underground merupakan gerakan budaya tanding
dan alternatif. Yang dalam hal ini musik underground ini lebih melibatkan komunitas
dan kelompok-kelompok tertentu daripada dalam musik arus utama.
Dalam hal ini, isu lingkungan yang disajikan Navicula akan lebih menarik jika
dilihat dari sudut pandang khalayak pendengar. Dengan asumsi bahwa pendengar
sebagai khalayak pada awalnya dianggap pasif, namun seiring berjalannya waktu
khalayak tidak lagi dianggap sebagai target sasaran media massa, melainkan memiliki
peran aktif dalam mengolah teks. Menurut Graeme Burton, bagi peneliti media dan
budaya, hal terpenting tentang khalayak pendengar adalah apa yang mereka lakukan
dengan musik.7 Burton menambahkan bahwa musik dapat bernilai dalam hal dan
konteks yang berbeda oleh orang yang berbeda. Maka dari itu muncul anggapan
bahwa resepsi bukanlah pengalaman pasif.8
Berdasarkan deskripsi di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap pendengar Navicula. Pendengar yang akan diteliti bukan khalayak
umum yang belum tentu menyukai dan memperhatikan Navicula beserta isu-isu di
dalamnya. Dengan kata lain pendengar yang akan diangkat dalam penelitian ini
adalah fans. Dimana dalam hal ini, fans dikaitkan dengan unsur loyalitas. Fans yang
7
Graeme Burton. 2005. Media & Society : Critical Prespectives. New York : Open University Press. Hal. 166.
8
Ibid. Hal. 167.
4
dimaksud di sini adalah pendengar Navicula yang mengikuti dan mendengarkan
Navicula secara intensif, tidak hanya sebatas mendengar sambil lalu, serta telah
mengikuti dan menyukai Navicula dalam kurun waktu yang relatif lama.
Selanjutnya perlu peneliti sampaikan bahwa fokus dalam penelitian ini adalah
bagaimana fans memaknai isu lingkungan dalam musik, khususnya musik
underground. Dalam hal ini, fans tidak sama antara satu dengan yang lain. Fans yang
berbeda tentu akan memaknai teks dengan berbeda pula. Isu lingkungan dalam musik
akan menimbulkan pemaknaan teks fans yang berbeda. Fans akan secara aktif
mempunyai pandangan tersendiri mengenai isu lingkungan dalam sebuah lagu sesuai
dengan latar belakang dan pengalaman masing-masing. Dari penelitian ini nantinya
dapat diketahui apakah teks isu lingkungan dalam sebuah lagu diterima fans sesuai
dengan yang dimaksudkan pencipta lagu, atau fans memiliki alternatif pemaknaan
tersendiri.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana fans Navicula memaknai isu lingkungan dalam lagu-lagu Navicula?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana fans memaknai lagu berikut isu yang terkandung di
dalamnya.
2. Mengetahui hubungan latar belakang, latar kelompok maupun kelas sosial
fans, dan faktor lain dengan proses fans dalam memaknai teks dalam musik.
5
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Bagi studi ilmu komunikasi, penelitian ini akan menambahkan referensi
tambahan mengenai pemaknaan musik oleh fans.
2. Bagi fans, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk bersikap lebih kritis dalam
memaknai teks media.
E. Kerangka Pemikiran
1. Pemahaman Konsep dalam Musik Populer
Bahasan musik populer menjadi perdebatan di beberapa pendekatan
pengetahuan. Perdebatan tersebut meliputi definisi Musik Populer, hingga kaitan
dengan media yang cukup kompleks. Menurut pandangan Middleton, pertanyaan' apa
itu musik populer' sangat penuh dengan kompleksitas, bahwa salah satu tergoda untuk
mengikuti contoh dari definisi legendaris lagu rakyat- semua lagu adalah lagu rakyat
– dan menunjukkan bahwa semua musik adalah musik populer, (meskipun hanya)
populer dengan seseorang (atau kalangan tertentu).9 Namun demikian, pernyataan
tersebut menjadi perdebatan karena tidak terdapat batasan yang jelas melalui kategori
musik tertentu. Menanggapi hal itu, banyak kritikus yang beranggapan bahwa kunci
utama definisi musik populer adalah dalam segi komersialisasi.10 Dengan kata lain,
musik dapat dikatakan sebagai musik populer ketika musik tersebut memiliki
orientasi komersial. Dalam hal ini tidak berarti bahwa aspek komersial selalu menjadi
yang utama, namun juga lebih menyangkut terhadap dinikmati oleh khalayak
pendengar dalam jumlah yang besar.
9
R. Middleton. 1990. Studying Popular Music. Milton Keynes : Open University Press. Hal. 3.
Roy Shuker. 2005. Popular Music : The Key Concept. London : Routledge. , Hal. 204.
10
6
Melalui definisi tersebut, suatu jenis musik dapat dikatakan musik populer
disaat jenis lain tidak. Meskipun demikian masalah kepopuleran masih mengalami
ganjalan mengingat musik tertentu tidak selalu lebih populer dari daerah satu ke
daerah lain. Chart maupun radio air-play juga berbeda-beda di setiap media. Maka
pendekatan ini secara luas dapat dikatakan berinti pada musik populer yang telah
direkam. Selain itu, baik pendekatan musikologis maupun sosio-ekonomi sepakat
bahwa musik populer memiliki beberapa karakteristik, yaitu hibriditas tradisi, gaya,
dan pengaruh musik, serta menjadi produk ekonomis yang diinvestasikan
kepentingan ideologis terhadap banyak konsumen.11
Melalui beberapa konsep tersebut, maka musik underground (nonmainstream) sama-sama berpeluang tergolong musik populer. Selain itu baik musik
kritik maupun musik non kritik juga dapat digolongkan menjadi musik populer
asalkan memenuhi kriteria lainya. Dengan poin utama adalah musik populer menjadi
musik yang diproduksi secara massal, menjangkau pendengar luas, dan mempunyai
nilai komersial (berapapun kadarnya). Asalkan dapat menarik perhatian berbagai
pendengar.
Perlu ditekankan di sini bahwa istilah musik populer berbeda dengan genre
pop. Musik populer seringkali menjadi istilah yang digunakan di bidang akademis
untuk merujuk musik yang seperti disebutkan di atas. Adapun genre musik pop sering
dilihat sebagai batasan genre musik yang memanfaatkan saluran media arus utama.
Genre grunge sebagai genre yang dimainkan Navicula sendiri masuk dalam bahasan
musik populer namun tidak masuk dalam batasan genre musik pop.
Selanjutnya dalam dinamika studi musik populer yang akan sering disebut
dalam penelitian ini adalah musik underground. Istilah underground pada awalnya
merujuk pada gambaran jaringan-jaringan resistensi yang muncul selama perang
dunia II. Selanjutnya underground muncul pada akhir era 60-an bersinonim dengan
kontrakultural dan masyarakat alternatif, dengan implikasi-implikasi tantangan
11
Ibid. 205.
7
represi, dan aktivitas tersembunyi-nya.12 Pada intinya musik underground lahir
melawan industri musik arus utama (major label) baik dari segi musik maupun teks
yang ada di dalamnya.
Istilah underground pertama kali digunakan di Indonesia pada awal 1990-an.
Istilah ini dipergunakan untuk merujuk pada kluster musik keras seperti halnya
metode produksi dan distribusi objek budaya. Musik underground ini terdiri dari
beberapa genre seperti punk, hardcore, death metal, grindcore, brutal death,
hyperblast, black metal, grunge, indies, industrial, dan gothic.13 Dalam hal ini,
seringkali bertumpang tindih dan ambigu dalam sebutan definisi underground
sebagai gaya musikal dan sebagai produksi dan distribusi independen.
Genre grunge yang dibawakan Navicula memiliki karakteristik yang khas.
Musik grunge merupakan perkembangan dari Punk dan Hardcore. Genre ini lahir di
Seattle yang dipopulerkan terutama oleh Nirvana, Pearl Jam, dan Sound Garden.
Grunge menekankan penampilan dan memoles teknik dalam bentuk lagu yang kasar,
mengandung amarah, dan penuh gairah, yang mengartikulasikan pesimisme dan
kecemasan anak muda.14
Selanjutnya istilah fans dalam musik juga akan sering digunakan. Dalam hal
ini fans adalah orang yang sangat mengikuti musik (baik dalam bentuk rekaman suara
maupun pertunjukan) dari musisi tertentu, serta mengikuti sejarah dari genre musikal,
dengan bermacam-macam derajat antusiasme dan komitmen. Adapun fandom
merupakan istilah kolektif yang merujuk pada fenomena fans dan perilaku mereka.15
Selanjutnya nanti juga akan dibahas fans maupun fandom dalam musik underground
yang memiliki sejumlah perbedaan dengan fans musik arus utama.
12
Tony Thorne. 2008. Kultus Underground: Pengantar Untuk Memahami Budaya (Kaum Muda) Pascamodern
(terj.. Devo Rizki). Yogyakarta: Continuum. Hal 311
13
Jeremy Wallach. Op, Cit. Hal 36
14
Roy Shuker. Op. Cit. Hal. 130
15
Roy Shuker. Op.Cit, Hal 97-98.
8
2. Musik sebagai Media Protes
Menurut Mcquaill, rekaman musik tidak selalu dianggap sebagai media yang
terpisah. Meskipun demikian, musik
memiliki industri yang terpisah, sistem
distribusi sendiri, serta memiliki otonomi kelembagaan sendiri.16 Musik diproduksi
oleh komunikator tertentu, kemudian pesan disampaikan pada khalayak luas melalui
penggandaan medium. Komunikator dan khalayak musik memiliki jarak ruang dan
waktu yang signifikan. Selain itu musik juga memungkinkan bias latar belakang
ekonomi, sosial, maupun budaya. Mengingat beragamnya target khalayak yang
dituju.
Seperti halnya media lain, musik juga disampaikan oleh komunikator tertentu
dan diterima oleh komunikan. Dalam hal ini komunikator adalah seorang musisi dan
perusahaan rekaman yang menghasilkan rekaman suara. Industri musik merupakan
ranah di mana komunikator musik (musisi dan perusahaan rekaman) memproduksi,
memasarkan, hingga mendistribusikan kepada pendengar sebagai komunikan.
Bahasan industri musik ini meliputi perusahaan besar (major label) maupun
perusahaan kecil/independen.
Terdapat empat perusahaan besar (sebagai institusi media) yang mendominasi
industri musik dunia, antara lain : Sony (sekarang Sony BMG), EMI, Universal, dan
Warner.17 Perusahaan tersebut bekerja secara multinasional dengan mempunyai anak
perusahaan dengan segmen yang berbeda-beda. Keempat besar raja industri musik
tersebut mampu mendapatkan keuntungan dari segi pasar, dan tentu saja menjangkau
khalayak yang luas. Meskipun pada awalnya dikenal istilah : "Think globally, act
Locally" dalam indsutri musik termasuk juga bagi keempat besar ini, namun
selanjutnya berkonsentrasi pada mengambil hit musik Amerika dan Barat (western)
untuk dijadikan mega hit di seluruh dunia.18
16
Denis Mcquail. 1997. Audience Analysis. Thousand Oaks, CA : Sage Publication. Hal. 31.
Joseph D. Straubhaar, Robert LaRose, & Lucinda Davenport. 2012. Media Now : Understanding Media,
Culture, and Technology. Boston, MA: Wadsworth/Cengage Learning. Hal. 141.
18
Joseph Turow. 1992. Media Today : An Introduction to Mass Communication. New York : Routledge. 391.
17
9
Lain halnya dengan perusahaan besar tersebut terdapat pula perusahaan
independen yang sedikit banyak berbeda. Perusahaan ini dimiliki oleh seseorang di
luar keempat perusahaan besar tersebut, dengan bermacam-macam ukuran, mulai dari
sangat kecil (3-4 pekerja) hingga menengah (sekitar 50 pekerja). Beberapa
perusahaan independen bekerja dengan promosi dan keuntungan rata-rata yang sangat
rendah, maka akan mendapatkan keuntungan setelah menjual 25.000 kopi, tidak
sebanding dengan major label yang membutuhkan jutaan album hit.19 Salah satu label
independen yang cukup diakui adalah Motown Records yang dimiliki oleh Berry
Gordy. Label ini selanjutnya dijual pada MCA dan Boston Ventures. Tercatat dari
awal berdiri tahun 1959 hingga dijual pada tahun 1988, Label ini telah berhasil
memproduksi lebih dari 30.000 lagu seperti "To Be Loved" (1957) dan "Shop
Around" (1959), selain itu juga meluncurkan karir bintang seperti Supremes, Marvin
Gaye, Stevie Wonder, dan Jackson 5.20 Adapun grunge (sebagai genre musik
dominan dalam penelitian ini) diasiosiasikan dengan label independen berpengaruh di
Seatle, yaitu Sub-Pop.21
Namun demikian Burnett (dalam Mcquail)22, berpandangan bahwa musik
memperoleh perhatian yang relatif sedikit sebagai media, baik dalam teori maupun
riset bila dibandingkan dengan media lain. Hal ini berkemungkinan dikarenakan
belum diterangkannya implikasi musik terhadap masyarakat secara jelas. Meskipun
demikian, telah banyak kalangan yang mempercayai musik sebagai media yang
memiliki kekuatan.
Bagi Mcquail, di saat penerimaan unsur kultural dalam musik diperhatikan
secara sporadis, hubungannya dengan peristiwa sosial politik telah diketahui dan
kadang kala dirayakan atau dikhawatirkan.23 Menurut Mcquail, musik populer yang
termediasi (mass-mediated popular music) telah berkaitan dengan hedonisme,
19
Joseph D. Straubhaar, Robert LaRose, & Lucinda Davenport. Op. Cit,. Hal 141-142.
Joseph Turow. Op. Cit,. Hal. 388.
21
Roy Shuker. Op. Cit,. Hal. 130.
22
Denis Mcquail. 2010. Mcquail’s Mass Communication Theory. London : Sage Publication. Hal. 37.
20
23
Ibid. Hal. 38.
10
penggunaan narkoba, kejahatan dan perilaku anti sosial. Selain itu, musik juga
seringkali mengarahkan pada lagu protes dan nasionalisme yang mana menjadi
elemen potensial dalam pencapaian kemerdekaan Irlandia dari Jerman.24
Musik merupakan media yang sulit mendapatkan kekangan dari pihak
tertentu. Musik dapat mudah tersebar bahkan melampaui batas negara. Maka dari itu
industri musik tersebut di atas bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi.
Terlebih muncul pandangan bahwa musik merupakan bahasa universal. Dengan
demikian dapat dinikmati oleh khalayak luas yang bahkan tidak mengerti bahasa
dalam lirik lagu. Meski demikian dalam hal penggunaan musik rekaman lebih banyak
secara personal. Maka dari itu lebih memiliki potensi dalam hal keberagaman
pemaknaan.
Mcquail membagi ciri-ciri musik rekaman ke dalam dua aspek. Pertama aspek
media, yang mana menyangkut media musik itu sendiri. Dalam aspek ini ciri-ciri
tersebut meliputi : berbentuk hanya suara, kepuasan penggunaan berupa pribadi dan
emosional, pada umumnya memiliki daya tarik terhadap kaum muda, serta
penggunaan yang mudah berpindah dan fleksibel. Sementara yang kedua dari aspek
institusional meliputi: peraturan yang kendur, internasionalisasi yang tinggi, memiliki
teknologi dan dasar yang beragam, terhubung dengan industri yang besar, terdapatnya
fragmentasi organisasi, serta merupakan inti dari budaya kaum muda.25
Sementara dalam kaitannya dengan media protes, musik seringkali digunakan
sebagai wujud perlawanan terhadap kondisi tertentu. Seperti musik Punk Rock yang
menggunakan musik sebagai sarana perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang
ada. Seperti juga musik reggae yang muncul melawan rasisme yang terjadi. Wacana
perlawanan terhadap degradasi lingkungan sendiri hadir melalui berbagai ragam
karakter atau genre musik meski didominasi oleh musik folk. Namun demikian pada
umumnya musisi tertentu tidak secara konsisten menyajikan isu lingkungan di dalam
musiknya. Hanya sesekali mengangkat isu lingkungan di dalam musiknya.
24
25
Ibid. Hal. 38.
Ibid. Hal. 38.
11
R. Serge Denisof mengistilahkan protest song (lagu protes) sebagai lagu yang
digunakan untuk mengekspresikan ideologi sosial dan politik.26 Dalam istilah protest
song tersebut terbagi menjadi dua jenis yaitu magnetic dan rhetorical. Jenis magnetic
disampaikan dengan mengutarakan masalah di masyarakat, menyampaikan solusi,
dan menyatakan simpati dan dukungan. Lagu berjenis magnetic ini umumnya
dihadirkan dalam protes radikal seperti gerakan kemerdekaan dan anti perang.
Adapun jenis Rhetorical hanya menunjukan permasalahan yang ada tanpa
memberikan solusi dan dukungan tertentu. Namun demikian, lagu berjenis rhetorical
tetap diciptakan dengan usaha untuk membentuk opini publik.
Jenis lagu rhetorical pada musik berbau kritik pada umumnya lebih sering
digunakan. Lirik dalam musik juga diperhalus menggunakan gaya bahasa tertentu
agar tidak menyinggung pihak-pihak terkait yang cukup sensitif. Mengingat tidak semua negara memberikan kebebasan penuh untuk berekspresi. Beberapa masih
terdapat sensor dan bahkan terancam masuk penjara bila lagu secara tegas
menyinggung pihak tertentu, contohnya di Indonesia pada era orde baru. Maka dapat
ditegaskan gaya rhetoric dan dengan bahasa yang tidak selalu langsung dan bersifat
bermakna ganda sering digunakan salah satunya karena dianggap aman.
Penting untuk dipertimbangkan bahwa abad ke-19, lebih tepatnya tahun 1837
lagu protes (protest song) berbasis aktivisme lingkungan telah diperkenalkan.George
Morris dan Henry Russel yang ditengarai memunculkan pertama kali melalui lagu
berjudul “Woodman! Spare that Tree!”. Setelah itu mulai bermunculan musisi yang
beberapa lagunya bertemakan isu lingkungan. Kebanyakan musisi tersebut berasal
dari musik folk, musik alternatif, dan musisi independen. Di antara musisi tersebut
adalah Woody Guthrie, Pete Seeger, Earth Crisis, Ani Di Franco, Michael Franti dan
Spearhead, atau Dead Prez. Selain itu beberapa musisi dari major label juga turut
26
Keith Negus. 1996. Popular Music in Theory. Middletown, CT: Wesleyan University Press. Hal.
10.
12
memberikan perhatian terhadap lingkungan seperti Joni Mitchell, Marvin Gaye,
Michael Jackson, Neil Young, Pearl Jam, hingga Radiohead.27
Di Indonesia terdapat beberapa musisi yang pernah menyuarakan protes
berkaitan dengan isu lingkungan. Seperti Slank yang pada tahun 1990-an jauh
sebelum gerakan green marak di Indonesia menyampaikan isu lingkungan dalam lagu
“Nggak Perawan Lagi”.28 Melalui lagu tersebut Slank mengkritik kinerja pemerintah
yang tidak bisa menanggulangi berbagai permasalahan Indonesia dari mulai laut,
sungai, gunung, hingga hutan. Iwan Fals sebagai tokoh musik bermuatan kritik lain
juga memiliki lagu berkaitan isu lingkungan seperti “Hutanku” , “Tanam Siram
Tanam”, hingga “Pohon untuk Kehidupan.”
Seiring dengan berjalannya waktu, generasi musisi saat ini juga menaruh
perhatian pada isu lingkungan di dalam lagu-lagunya. Meski jumlahnya tidak banyak,
terdapat beberapa musisi yang banyak menyajikan isu lingkungan dalam lagulagunya, di antaranya Dialog Dini Hari, No Stress, dan Navicula.
3. Khalayak Pendengar dan Resepsi Teks
Kata khalayak dengan sebutan lain audiens merupakan sebuah kata serapan
dari kata audience. Dalam studi komunikasi, khalayak menempati sebagai
komunikan. Di sini khalayak melakukan aktivitas berupa menerima teks. Komunikan
dapat disebut khalayak ketika berada dalam lingkup komunikasi massa. Khalayak
adalah orang yang mengonsumsi media baik itu media cetak, maupun media
penyiaran. Sejalan dengan deskripsi di atas menurut Wilbur Schramm (dalam
Mcquail) 29, kata audience selama ini familiar sebagai istilah kolektif untuk penerima
27
Richard Kahn. 2010. Environmental Activism in Music. Terarsip di:
http://www.academia.edu/1395159/Environmental_Activism_in_Music. Diakses: 10 Mei 2014
28
Tommy Apriando. 2013. Terarsip di : http://www.mongabay.co.id/2013/01/07/slank-hukum-lingkungan-diindonesia-mandul/ . Diakses 5 April 2014.
29
Denis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: SAGE Publications. hal. 1
13
pesan (receiver) dalam model proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh
pelopor di ranah penelitian tentang media. Namun dalam tradisi kultural pesan media
tidak lagi berwujud pesan, melainkan teks.
Ardianto dan Komala menyatakan terdapat beberapa karakteristik khalayak.
Antara lain:30

Khalayak pada umumnya terdiri atas individu-individu yang memiliki
pengalaman yang sama dan terpengaruh oleh hubungan sosial dan
interpersonal yang sama. Individu tersebut memilih media yang digunakan
beredasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri.

Khalayak memiliki jumlah yang besar. Khalayak dalam jumlah yang besar ini
dapat dijangkau dengan relatif cepat oleh media, namun tidak mampu diraih
dengan menggunakan komunikasi tatap muka atau interpersonal.

Khalayak bersifat heterogen. Individu-individu dalam audiens mewakili
berbagai kategori sosial.

Khalayak bersifat anonim. Meskipun institusi media mengetahui karakteristik
khalayak yang dituju, namun media tidak mengetahui secara pasti identitas
khalayak tersebut.

Khalayak bersifat tersebar, baik dalam konteks ruang dan waktu.
Seiring berkembangnya zaman, studi khalayak turut berkembang. Khalayak
yang sebelumnya dianggap pasif dan mendapat pengaruh langsung dari media
menjadi dipercaya memiliki entitas sendiri. Konsep ini dikenal sebagai khalayak
aktif. Konsep khalayak aktif mengambil prespektif yang dipandang dari sudut
pandang khalayak, bukan semata-mata dari institusi media. Bahasan ini menyangkut
bagaimana
pertemuan
khalayak
dengan
teks.
Yang
mana
aktivitas
ini
menggambarkan perhatian pada bagian khalayak dalam membuat pilihan, dan
30
Ardianto, Elvinaro, Siti Karlinah & Lukiati Komala.2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. .Jakarta: Ikapi.
14
memberikan makna terhadap teks. Hal ini memperkenankan khalayak untuk menjadi
produsen makna.31
Menurut David Croteau dan William Hoynes, ada tiga arah dasar yang mana
khalayak media dianggap aktif. Di antaranya :

Interpretasi individual : Makna dalam suatu teks media tidak sepenuhnya
tetap. Di dalamnya terdapat makna ganda atau dikenal dengan istilah
polisemi. Pesan media dapat dimaknai lain oleh khalayak. Dalam teks media,
khalayak
secara
individual
mengambil
kesenangan,
kenyamanan,
kegembiraan, atau jajaran luas simulasi intelektual maupun emosional.
Khalayak menggunakan aktivitas interpretif dalam derajat tertentu setiap
bertemu dengan teks media.

Interpretasi dalam konteks sosial : Khalayak selain menjalani kehidupan
sebagai individu juga tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Media juga
menjadi bagian dari konteks kehidupan sosial. Maka dari itu khalayak juga
berhubungan dengan teks media dalam latar sosial. Dalam pembicaraan
sehari-hari dapat tak terduga seberapa banyak pembicaraan yang dilakukan
mengenai media.

Aksi kolektif : Pada dasarnya khalayak tidak selalu setuju dengan pesan
media. Khalayak yang menolak pesan media seringkali berusaha mengubah
pesan media untuk kedepannya. Khalayak tidak jarang melakukan aksi (protes
publik, boikot terhadap produk media yang spesifik, kampanye publisitas,
kemarahan khalayak luas, menekan pengiklan untuk menarik dukungan
finansial, surat terbuka, serta melobi (lobying) kongres untuk aksi pemerintah,
dalam menolak pesan media.32
31
Graeme Burton. 2005. Op. Cit. Hal. 88.
David Croteau, William Hoynes, & Stefania Milan. 2012. Media Society :Industries, Image, and Audiences
(4th. ed). California : Sage Publication. Hal. 258 – 259.
32
15
Kemunculan analisis resepsi turut memberikan kontribusi terhadap kajian
khalayak aktif. Konsep encoding-decoding yang ditawarkan analisis resepsi
merupakan perpanjangan inisiasi politis yang dimulai Halloran, Elliott, dan Murdock,
namun lebih eksplisit sebagai perlawanan hegemonik terhadap posisi penelitian
positivis Amerika sekaligus mengejar agenda kultural. Berbeda dengan teori uses and
gratification yang melihat khalayak secara individual, konsep encoding-decoding
melihat khalayak yang terbentuk dan terkondisikan secara budaya. Konsep ini lebih
kepada aktivitas khalayak mengenai proses kontribusi politisnya terhadap arah
persetujuan dengan pesan media (dengan menerima, negosiasi, atau menolak ide-ide
media).33
Khalayak menginterpretasikan teks secara berbeda. Dalam sebuah diskusi
tentang teks media misalnya, khalayak mempunyai interpretasi sendiri terhadap
makna dalam teks media tersebut. Interpretasi khalayak menjadi berbeda melalui
perbedaan latar belakang. Perbedaan interpretasi khalayak ini berhubungan erat
dengan konsep decoding. Adapun menurut Croteau, Hoynes, & . Milan, decoding
merupakan proses dimana khalayak menggunakan pengetahuan implisit dari kode
budaya antara medium spesifik dan luas untuk menginterpretasikan makna teks
media.34
Konsep decoding bersama dengan encoding pertama kali diperkenalkan oleh
Stuart Hall dalam analisis resepsi. Encoding dilakukan pengirim teks, decoding
dilakukan penerima teks. Media menjadi pengirim kode-kode tertentu, khalayak
yang menciptakan makna atas kode-kode tersebut. Penciptaan makna teks ini
berhubungan erat dengan latar belakang khalayak tertentu. Berkaitan dengan hal ini,
dalam “Cultural and Communication Studies”, Fiske berpandangan bahwa studi
tentang kode seringkali memberikan penekanan pada dimensi sosial komunikasi.35
33
Ibid. Hal. 36-37.
David Croteau ,William Hoynes, & Stefania Milan. Op. Cit. Hal. 264.
35
John Fiske. 2008. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta :
Jalasutra. Hal. 91.
34
16
Kondisi budaya dapat dikatakan di-encode melalui perkawinan sejarah yang
spesifik, norma profesional, dan peralatan teknis. Strategi decoding dilakukan
khalayak dengan cara yang sama bergantung pada relasi struktur sosial, kecondongan
politis dan budaya, serta akses pada teknologi yang relevan.36 Meskipun demikian,
media hanya menawarkan identitas sosial pada khalayak dengan cara menyampaikan
tersendiri. Khalayak tidak selamanya menerima makna dari keseluruhan kode
tersebut. Media dan khalayak tidak berbagi kode dan posisi sosial bersama, kode dari
encoder tidak berarti sama pada proses decoding.
Hall menegaskan bahwa posisi sosial memiliki peran dalam perbedaan
pemaknaan khalayak yang berbeda terhadap teks media. Stuart Hall mengidentifikasi
terdapat tiga posisi pembacaan dalam decoding, antara lain:

Dominant reading : khalayak dalam posisi yang menyerupai posisi media.
Khalayak sepenuhnya berbagi kode teks, menerima, dan mereproduksi
preferred reading.

Negotiated reading : khalayak berbagi sebagian kode teks. Secara garis besar
menerima
preferred
reading,
namun
tidak
sepenuhnya.
Khalayak
menyandingkan dengan wacana lain, berdasarkan posisinya sendiri yang
umumnya mengandung kontradiksi.

Oppositional reading : khalayak dalam posisi ini berlawanan dengan kode
dominan. Khalayak memahami preferred reading namun tidak berbagi kode
teks dan cenderung menolaknya dan mengajukan pandangan alternatif.37
Selain itu, terdapat satu konsep tambahan yang akan digunakan pula dalam
penelitian ini. Konsep yang dimaksud diambil dari gagasan Umberto Eco (dalam
36
Nicholas Stevenson. 2002. Understanding Media Cultures : Social Theory and Mass Communication (2nd ed).
California : Sage Publication.Hal. 78.
37
Stuart Hall. 1999. Encoding Decoding dalam Simon During (ed). Hal. 515 – 517.
17
Alasuutari)38, yang mana menggunakan istilah aberant decoding untuk mengacu pada
teks yang di-decode dengan kode berbeda dari kode yang digunakan dalam proses
encoding.
Dalam perkembangannya analisis resepsi meliputi tiga generasi. Ketiga
generasi tersebut muncul dengan pandangan masing-masing yang sedikit banyak
memiliki perbedaan, khususnya dari segi karakteristik fokus kajian. Generasi pertama
analisis resepsi disebut penelitian resepsi (reception research), kedua etnografi
khalayak
(audience
ethnography),
dan
ketiga
pandangan
konstruksionis
(constructionist view).39
Penelitian resepsi (reception research) menjadi kajian klasik dalam generasi
selanjutnya. Sebagai bagian analisis resepsi generasi pertama, penelitian resepsi
mengandung dasar dari analisis resepsi. Generasi pertama ini didominasi oleh
pemikiran Stuart Hall. Konsep encoding-decoding muncul semenjak generasi ini.
Semiotika dengan menekankan interpretasi teks media yang diperkenalkan Hall juga
muncul dari generasi ini.
Generasi etnografi khalayak (audience ethnography) banyak mengadopsi
konsep dalam generasi pertama. Perbedaan mendasar dari generasi ini adalah
diterapkannya etnografi khalayak. David Morley sebagai penanda dari generasi kedua
ini melakukan penelitian terhadap khalayak penonton televisi. Morley melakukan
wawancara mendalam terhadap khalayak mengenai bagaimana khalayak memaknai
teks media dalam program televisi tersebut.40 Kemudian Morley juga menganalisis
kehidupan sehari-hari khalayak untuk dihubungkan dengan pemaknaan yang
dilakukan. Pandangan konstruksionis (constructionist view) menjadi yang terakhir
dalam tiga generasi analisis resepsi.
Dalam generasi ini, ditekankan kajian terhadap media dan penggunaanya
untuk memperoleh pemahaman mengenai kultur media, serta bagaimana peran media
38
Alasuutari. Op. Cit. Hal. 2-8.
39
Ibid. Hal 2-8.
40
Ibid. Hal. 5.
18
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sebatas encoding dan decoding, pandangan
konstruksionis memiliki lingkup kajian yang lebih luas.
Konsep khalayak memiliki istilah beragam, sesuai dengan media yang
digunakan. Khalayak media cetak disebut pembaca, khalayak radio dan musik disebut
pendengar, dan khalayak televisi disebut penonton maupun pemirsa.41
Adorno (dalam Negus)42 membagi khalayak (pendengar) musik dalam dua
kategori. Kategori yang dibagi Adorno adalah khalayak (pendengar) musik yang
dengan mudah terpengaruh kolektifitas dan khalayak (pendengar) yang mendengar
musik secara individual, jauh dari lingkungan sosial. Berbeda dengan Adorno, David
Riesman membagi pendengar musik menjadi kelompok mayoritas dan minoritas.
Pembagian ini berdasar pada pemilihan musik masing-masing individu yang
dinikmati sehari-hari, dan berhubungan dengan kehidupan sosial. Selain itu,
pendengar musik juga dapat dibagi dalam komunitas kultural dan massa seperti
halnya yang diungkapkan Leavises (dalam Walton)43.
Namun demikian di antara pandangan pendengar pasif dan aktif tidak
semestinya terlalu ditekankan. Apa yang lebih diperlukan adalah ketegangan antara
khalayak musik sebagai kelompok sosial kolektif dan di waktu yang sama sebagai
konsumen individual (individual consumer).44 Dalam hal ini, pendengar yang
melakukan aktivitas mendengar secara individual tidak sepenuhnya melepaskan
pengalaman sosio-kultural mereka.
Graeme Burton berpandangan bahwa proses konsumsi musik oleh pendengar
dapat diambil dari berbagai segi, terpisah dari mendengar dan berpartisipasi di acara
musik publik. Bagi beberapa orang hal ini berkaitan dengan pengkoleksian atau
pengkatalogan, tentang kenikmatan mencari dan membeli. Beberapa yang lain adalah
untuk mengeksplorasikan suatu genre musik. Bagi yang lain lagi untuk menambah
kredibilitas grup ataupun identitas personal. Untuk yang lain lagi berkaitan dengan
41
Denis McQuail.1997.Op. Cit. Hal.202.
Keith Negus. 1996. Popular Music in Theory. Middletown, CT: Wesleyan University Press. Hal. 10 – 13.
43
David Walton. Op,Cit. Hal. 37.
44
Roy Shuker. Op. Cit. Hal. 13.
42
19
personalitas dan latar belakang dari musisi. Selain itu juga untuk meningkatkan
suasana hati. Selain itu bisa jadi mengenai pengalihan dari pengalaman lain. Yang
lain lagi juga berhubungan dengan efek retrospektif, untuk mengingat kembali
pengalaman tertentu, periode kehidupan. Penggunaan musik ini dapat juga
berhubungan dengan kombinasi dari berbagai macam hal yang disebutkan di atas.
Yang jelas konsumsi musik bukan hanya transaksi komoditas kosong. Lebih dari itu,
konsumsi musik merupakan transaksi budaya. Yang mana pendengar dapat membeli
kenikmatan, status, ataupun mengambil tempat dari perkembangan kultural.45
Dalam media yang berciri khas mengandung unsur hiburan (termasuk musik)
khalayak yang loyal dikenal dengan sebutan fans, sedangkan aktivitasnya disebut
fandom. Yang mana fandom merupakan fenomena kompleks, berkaitan dengan
formasi identitas sosial. Dalam perspektif tradisional, konsep fandom identik dengan
nilai kerendahan. Dalam hal ini, aktivitas fans berupa kegiatan seperti mengumpulkan
rekaman dari musisi favoritnya namun lebih fokus pada kesan dan persona dari
musisi. Berbeda dengan konsep afficionados yang mana lebih fokus terhadap musik
daripada musisi itu sendiri.46 Namun demikian aficionados dalam satu waktu juga
termasuk sebagai fans. Dalam hal ini peneliti juga tidak membedakan afficionados
dari fans, melainkan dilihat sebagai satu kesatuan.
Seiring berjalannya waktu, penilaian yang merendahkan fans perlahan mulai
berkurang. Saat ini, terdapat banyak peneliti yang beranggapan bahwa dalam
memahami fans perlu kiranya untuk melihat dari sudut pandang fans sendiri. Dengan
demikian tidak terjadi penilaian yang bersifat merendahkan, mengingat afficionados
juga termasuk sebagai fans pula.
Daniel Cavicchi (1998) melakukan penelitian terhadap fans Bruce
Springsteen. Dalam penelitiannya tersebut, Cavicchi memandang bahwa fans berbeda
dari khalayak umum. Tidak cukup sampai di situ, fans yang satu berbeda dari fans
lainnya. Mereka memiliki derajat keterikatan baik terhadap musisi maupun lagu.
45
46
Graeme Burton.Op. Cit. Hal. 165.
Roy Shuker. Op. Cit. Hal. 99.
20
Fans yang satu juga berbeda dalam menikmati musik. Di saat fans yang satu lebih
suka mendengar musik rekaman, di sisi lain lebih suka menonton konser. Namun
dalam penelitian Cavicchi tersebut dikatakan bahwa ketika melakukan aktivitas
mendengar, fans pada umumnya lebih memilih musik rekaman.
F. Kerangka Konsep
Fans, Underground, dan Isu Lingkungan dalam Musik
Pendengar musik sebagai khalayak medium musik memiliki batasan tertentu
sesuai dengan konten media yang disajikan. Ketika konsep khalayak adalah sebagai
penerima teks media, maka pendengar musik adalah penerima teks dalam konten
musik sebagai media. Komunikator profesional (musisi) bekerjasama dengan institusi
(industri rekaman) mengirim teks dalam musik yang kemudian pendengar
menerimanya. Dalam konteks analisis resepsi, pendengar musik ini akan menerima
dengan cara yang berbeda-beda. Pendengar memaknai, menginterpretasikan,
membaca teks dalam musik tertentu sesuai dengan beragamnya latar belakang.
Bahkan pendengar sebagai khalayak juga dianggap dapat memproduksi makna
sendiri.
Dapat dikatakan bahwa aktivitas mendengar musik tidak hanya berhubungan
dengan tuntutan emosional individual. Aktivitas ini senantiasa berkaitan dengan
berbagai segi pengalaman. Ide dari resepsi tidak hanya berkaitan dengan
mendengarkan musik, dan bukan hanya musik itu sendiri. Melainkan berkaitan
dengan bermacam tempat, situasi, dan relasi sosial yang mana menunjang aktivitas
resepsi. Hal ini berkaitan dengan variasi media yang mana musik diterima. Hal ini
berkaitan juga dengan variasi pengalaman kultural dan komoditas yang diasosiasikan
dalam musik.
Di sini ditekankan kembali bahwa pendengar tidak hanya dipandang dari
sudut pandang aktif atau pasif, komunitas atau massa, dan pembagian sederhana lain.
21
Bahasan pendengar musik juga berkaitan dengan studi subkultur yang yang
berhubungan dengan identitas, kelas, ras, etnis, hingga gender. Hubungan antara
musik populer dan subkultur kaum muda ini secara konmprehensif mulai diungkap
dalam beberapa studi berpengaruh antara 1970’an hingga awal 1980’an. Secara
kolektif, dalam studi pada masa itu dapat disimpulkan bahwa subkultur kaum muda
mengambil dan memperkenalkan bentuk musik dan gaya baru berbasis identitas
mereka, dan selanjutnya melakukan penegasan politik kebudayaan tanding (countercultural).47
Musik underground juga menjadi salah satu bentuk budaya tanding tersebut.
Kemunculan musik underground adalah untuk menentang dominasi musik arus
utama yang umumnya didominasi oleh perusahaan besar. Melalui jalur produksi
hingga distribusi secara independen, musik underground menjadi titik tolak dari
musik arus utama yang umumnya didonimasi genre pop. Meskipun fokus
pertentangan musik underground dengan arus utama berada di dalam musik, namun
dalam lirik juga seringkali berbeda. Melalui sistem produksi hingga distribusinya
yang independen membuat musik ini lebih bebas tanpa sensor ataupun campur tangan
dari pihak-pihak tertentu.
Selain itu, yang menarik dalam membahas pendengar musik ketika dikaitkan
dengan unsur loyalitas. Pendengar akan menjadi fans ketika mereka sangat menyukai
baik musik, musisi, maupun teks yang dibawannya. Kemudian yang dipertanyakan
adalah apakah dan bagaimana loyalitas itu mempengaruhi pemaknaan mereka?
Apakah dan bagaimana pula perbedaan derajat fandom mempengaruhi pemaknaan?
Setidaknya pertanyaan tersebut muncul di samping lebih pentingnya penggalian
terhadap pemaknaan fans.
Penelitian ini secara spesifik membahas mengenai teks media Navicula dan
penerimaan fans-nya. Dengan demikian batasan pendengar musik yang menyangkut
penelitian ini juga dilakukan. Tidak semua pendengar musik dapat menjadi informan
47
Roy Shuker. Op,Cit. Hal. 259
22
dalam penelitian ini. Penelitian ini akan terfokus dengan informan pendengar yang
mendengar lagu-lagu Navicula, telah mengikuti, dan mengerti karya mereka sejak
beberapa album terdahulu. Pendengar yang dimaksud juga merupakan pendengar
yang mengetahui lirik-lirik Navicula.
Navicula yang baik secara gaya musikal dan sistem produksi hingga distribusi
memiliki ciri musik underground menjadi menarik. Musik underground yang secara
gaya musikal keras untuk menyampaikan isu lingkungan terbilang langka. Adapun
secara sistem produksi hingga produksi yang berbeda dengan musik arus utama juga
memberikan warna tersendiri. Yang dalam hal ini, pendengar musik seperti ini juga
memiliki kecenderungan berbeda dengan penggemar musik arus utama. Terlebih
dalam penelitian ini dikaitkan dengan unsur loyalitas pendengar.
Dalam hal ini fans Navicula berkemungkinan mewakili beragam latar
belakang. Meskipun khalayak yang mendengarkan musik saat ini lebih cair dan dapat
disatukan di bawah payung pendengar, namun pada kenyataanya memungkinkan
karakter yang beragam. Terlebih di satu sisi Navicula merupakan band underground
yang menggunakan genre grunge (yang pada awal perkembangannya digunakan
untuk mengekspresikan emosi depresif anak belasan tahun), di sisi lain konten dalam
lagu-lagu Navicula berkaitan erat dengan isu lingkungan. Dalam hal ini perkiraan
awal peneliti, fans Navicula meliputi pecinta alam dan lingkungan, pecinta musik
underground pada umumnya, dan pecinta musik grunge baik yang tergabung dalam
kelompok komunitas grunge maupun tidak. Di luar itu peneliti juga melihat latar
belakang sosio-kultural lain yang tidak kalah penting.
Peneliti juga akan melihat pemaknaan fans terhadap musik Navicula, dalam
penelitian ini juga akan melihat hubungan fans dengan media. Peneliti melihat praktik
fans informan dalam bermedia. Lebih spesifik, peneliti akan melihat penggunaan
media yang memiliki konten isu lingkungan. Selain itu peneliti juga akan melihat
Bagaimana cara pendengar menikmati musik, apakah pendengar juga mendengar
musik berkonten isu lingkungan lain, dan apakah pendengar mendengarkan musik
genre grunge lain. Tak terbatas pada media musik, peneliti juga melihat hubungan
23
pendengar dengan media lain seperti surat kabar, televisi, radio, hingga internet.
Dengan demikian peneliti juga berharap agar beragamnya pendengar dapat dilihat
dan dipahami lebih jauh. Mengingat terdapat asumsi bahwa penggunaan media yang
berbeda juga akan menimbulkan pola pemaknaan pendengar yang berbeda.
Sementara itu, posisi pembacaan Stuart Hall dikombinasikan dengan konsep
Umberto Eco akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, meski tidak
digunakan sebagai pisau analisis tunggal. Dalam penerapannya dalam posisi
pembacaan fans Navicula terhadap lagu-lagu Navicula dapat dicontohkan dengan
lagu “Everyone Goes to Heaven” yang mana merupakan lagu Navicula yang tidak
mengandung isu lingkungan. Lagu tersebut memiliki preffered reading berupa kritik
terhadap orang yang fanatik terhadap agama tertentu. Di samping itu terdapat
pandangan bahwa semua agama itu setara. Maka dapat dilihat posisi pembacaan
sebagai berikut :

Fans berada di posisi dominant reading ketika dalam lagu tersebut fans
memahami apa yang dimaksud dengan Navicula dalam lagu itu dan melihat
bahwa fanatisme terhadap suatu agama tidak dibenarkan, atau mungkin
beranggapan bahwa semua agama itu sama di mata Tuhan.

Fans berada di posisi negotiated reading ketika fans mengetahui apa yang
dimaksud Navicula dalam lagu itu dan menganggap bahwa menghargai
sebuah agama itu penting, namun meyakini bahwa agama yang ia anut adalah
agama yang paling benar.

Fans berada di posisi oppositional ketika memahami apa yang dimaksud
Navicula dengan lagu itu dan memandang bahwa fanatisme terhadap suatu
agama itu baik-baik saja, atau selalu menganggap bahwa agamanya paling
benar.

Fans dapat dikatakan aberant decoding ketika fans memandang bahwa lagu
itu bukan tentang apa yang terdapat dalam preffered reading tersebut.
24
Misalnya mengartikan bahwa lagu itu berisi tentang cara-cara untuk menuju
surga.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Secara umum, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
untuk mengetahui interpretasi mendalam terhadap isu lingkungan dalam musik.
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik fleksibilitas dalam perolehan data.
Pendekatan kualitatif memungkinkan spontanitas dan adaptasi dalam interaksi antara
peneliti dengan partisipan.48 Hubungan antara peneliti dan informan menjadi lebih
informal
jika
dibandingkan
dengan
penelitian
kuantitatif.
Peneliti
dapat
mengembangkan pertanyaan sesuai dengan jalannya penelitian. Dengan demikian
tujuan untuk mendapatkan hasil penelitian secara mendalam menjadi lebih
memungkinkan untuk terpenuhi.
Selanjutnya secara lebih khusus, penelitian ini akan menggunakan analisis
resepsi untuk memahami khalayak dalam memaknai teks. Analisis resepsi ini akan
akan memfokuskan pada pertemuan antara teks media dan pembaca teks (dalam hal
ini pendengar). Dengan demikian diharapkan agar penelitian ini mencapai tujuan
memperoleh hasil penelitian yang dinamis dan mendalam. Seperti halnya Antonio La
Pastina yang menyebut bahwa pertemuan media dan khalayak memberikan informasi
akan kompleksitas dan dinamika yang terjadi antara konsumen dan produk budaya.49
Dalam analisis resepsi, khalayak tidak menemukan makna di dalam pesan
media, melainkan melalui proses interaksinya dengan teks. Khalayak berinteraksi
dengan teks kemudian menginterpretasikan teks sesuai dengan kerangka pandang
48
Cynthia Woodsong, Emily Namey, Greg Guest, Kathleen M. Macqueen, & Natasha Mack.
2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. Research Triangle Park, NC: Family
Health International. Hal. 4.
49
Antonio C. La Pastina. 2005. Audience Ethnographies. A Media Engagement Approach.
dalam Eric W. Rothenbuhler & Mihai Coman (ed.). Media Anthropology. London: SAGE
Publications. Hal. 142.
25
yang ia miliki. Proses interpretasi tersebut melibatkan faktor kontekstual seperti
identitas, latar belakang, hingga persepsi. Khalayak memaknai dengan faktor-faktor
tersebut untuk melahirkan makna di dalam suatu teks. Di sini khalayak dianggap
memiliki kekuatan yang lebih besar daripada media dalam hal menghasilkan makna.
Menurut Jensen terdapat tiga komponen pokok dalam analisis resepsi. Ketiga
komponen tersebut antara lain pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data
yang diperoleh.50 Dengan demikian, penelitian ini juga mengandung ketiga
komponen tersebut guna mendapatkan hasil yang kaya namun valid.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode penelitian resepsi, terdapat beberapa teknik umum yang
digunakan untuk memperoleh data resepsi dari informan. Menurut Jensen, terdapat
tiga teknik, antara lain wawancara baik secara kelompok maupun individual,
observasi, dan kritik terhadap teks.51
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara mendalam dan observasi partisipan. Wawancara mendalam merupakan
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab
sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara (interview
guide) di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang
relatif lama.52
Wawancara mendalam ini bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang
subjek penelitian paparkan berkaitan dengan topik tertentu. Informan dapat menjawab
50
Klaus Bruhn Jensen, Nicholas W. Jalankowski.1993.A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass
Communication Research.London: Routledge. Hal. 189.
51
Klaus Bruhn Jensen, Nicholas W. Jalankowski. Op Cit. Hal. 139.
52
M. Hariwijaya. 2007. Metodologi dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis, danDisertasi. Yogyakarta: elMatera
Publishing. Hal. 73-74.
26
pertanyaan secara luas, peneliti juga dapat mengembangkan pertanyaan selama masih
relevan dengan pertanyaan yang diajukan sebelumnya.
Adapun fungsi dari wawancara mendalam pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana subjek penelitian melakukan decoding terhadap lagu-lagu
Navicula. Peneliti akan menananyakan bagaimana tanggapannya mengenai lagu-lagu
Navicula. Peneliti juga akan menggali pengetahuan subjek penelitian mengenai lirik
beserta makna dari lagu-lagu Navicula. Peneliti juga akan menanyakan kenikmatan
yang dirasakan dalam mendengarkan lagu-lagu Navicula.
Dalam melaksanakan jalannya wawancara, peneliti melakukan secara
informal. Peneliti tidak mengajukan wawancara yang terpaku pada pertanyaan yang
spesifik, namun lebih kepada menyelipkan pertanyaan dengan gaya percakapan
sehari-hari. Dengan demikian peneliti berharap agar mendapatkan data yang valid,
sangat meminimalkan jawaban/kesan subjek penelitian yang dibuat-buat. Dengan
demikian pula subjek penelitian akan lebih leluasa dalam mengutarakan pandangan.
Meskipun demikian, peneliti menggunakan panduan wawancara (interview
guide) demi memperoleh data yang dapat dibandingkan antara informan satu dengan
yang lain. Dalam hal ini, peneliti tidak sepenuhnya terpaku pada panduan wawancara,
melainkan mengembangkannya sesuai dengan jawaban dari informan.
Teknik lain yang digunakan dalam penelitian ini selain wawancara mendalam
yaitu observasi partisipan. Observasi merupakan penelitian dengan melihat langsung
melalui penginderaan. Observasi dilakukan untuk melihat perilaku subjek dalam
mendengarkan lagu-lagu Navicula. Observasi juga dilakukan untuk melihat
keseharian khalayak yang berkaitan dengan resepsi lagu-lagu Navicula. Dengan
demikian akan diperoleh data mengenai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya
khalayak yang berkaitan dengan musik, genre grunge, dan isu lingkungan.
Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengunjungi rumah
subjek, mencermati sekitar yang berhubungan dengan media, musik, isu lingkungan
dan Navicula. Khususnya juga mengamati subjek penelitian saat mendengarkan
musik. Selain itu peneliti juga berkunjung bersama subjek penelitian ke tempat yang
27
biasa subjek penelitian lalui. Pada prosesnya, peneliti bersama dengan subjek
penelitian menjalani keseharian bersama-sama dalam beberapa kali pertemuan. Pada
saat melakukan observasi ini peneliti menyembunyikan tujuannya untuk observasi.
Dengan demikian diharapkan akan mendapatkan kesan yang sebenar-benarnya dari
subjek penelitian.
Peneliti memandang bahwa observasi ini penting untuk dilakukan karena
dapat membantu memenuhi validitas data. Dengan pengamatan langsung tersebut,
peneliti dapat memperoleh data latar belakang subjek penelitian lebih dalam. Selain
itu, proses observasi ini dapat berfungsi untuk mengetahui kenyataan di lapangan
mengenai hal-hal yang dipaparkan subjek penelitian saat wawancara mendalam.
Maka dari itu, observasi ini juga dapat berfungsi sebagai konfirmasi apakah yang
dikatakan subjek penelitian dalam wawancara mendalam sesuai dengan keadaan yang
sebenar-benarnya.
Untuk membantu observasi, peneliti membuat catatan lapangan (fieldnotes).
Catatan ini berguna untuk mengingat hal-hal yang dilakukan oleh subjek penelitian
selama diobservasi. Selain itu, peneliti juga menyiapkan kamera untuk merekam
gambar sekitar keseharian subjek penelitian khususnya yang menyangkut dengan
topik.
Selain menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam
dan observasi partisipan, peneliti juga menggunakan studi pustaka mulai dari buku,
jurnal, hingga sumber internet sebagai data pendukung. Kemudian data tersebut akan
dimanfaatkan untuk memperkuat kerangka pemikiran hingga memperkuat konsep.
3. Teknik Analisis Data
Menurut Bodan dan Biklen (dalam Lisa J. Moleong) 53, analisis data kualitatif
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
53
Lexy J. Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hal. 248.
28
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Data yang telah
terkumpul diolah sedemikian rupa agar dapat diinformasikan kepada orang lain.
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis resepsi.
Dalam hal ini khalayak dipandang sebagai khalayak interpretif yang akan selalu
memproduksi makna dan pemaknaan teks yang disampaikan media, tidak hanya
sebagai individu yang pasif.54 Fokus utama dari analisis resepsi adalah perbedaan
pemaknaan khalayak dan hubungannya dengan latar belakang tertentu. Analisis
resepsi ini sangat dekat dengan prespektif sosio-kultural.
Data akan diolah dari observasi dan wawancara yang telah dilakukan dalam
upaya pengumpulan data dalam bentuk catatan dan transkrip. Catatan saat observasi
akan digunakan untuk menganalisis latar belakang subjek penelititan. Transkrip
wawancara selanjutnya menjadi gambaran bentuk praktek decoding subjek pada lagulagu isu lingkungan Navicula.
Penelitian ini berwujud interpretasi khalayak terhadap teks media,
berhubungan dengan pengalaman bermedia dan kondisi kultural. Maka, analisis
penelitian ini tidak sekedar mencocokkan model pembacaan seperti yang telah
dirumuskan dalam kerangka teoritis. Secara lebih luas penelitian ini akan
mengelaborasikan model pembacaan tersebut dengan temuan sesungguhnya yang
terjadi di lapangan.
4. Subjek Penelitian
Penelitian kualitif tidak mengutamakan besarnya populasi maupun sampel.
Peneliti menjadi instrument langsung di lapangan. Dengan demikian penelitian akan
54
Dennis Mcquaill. Op, Cit. Hal.19.
29
bersifat subjektif. Penentuan subjek penelitian akan menggunakan purpossive sample.
Maka penelitian akan diwakili oleh beberapa informan yang dipilih karena dianggap
sesuai oleh peneliti.
Secara umum, penelitian ini ditujukan kepada pendengar Navicula, sesuai
dengan target pendengar Navicula. Lebih spesifik, penelitian ini akan mengambil
subjek penelitian pendengar Navicula yang dapat dikategorikan menjadi fans. Dengan
kata lain, subjek penelitian ini merupakan khalayak yang menyukai, mempunyai
album (baik itu album fisik maupun digital) Navicula. Lebih jauh, pendengar yang
akan diteliti adalah yang cukup sering mendengar, dan mengerti lirik (berupa teks)
dalam lagu-lagu Navicula.
Peneliti membandingkan resepsi fans Navicula dengan latar belakang sosiokultural yang beragam. Lebih khusus, yang menjadi pembanding utama dalam
penelitian ini adalah latar belakang berkaitan dengan lingkungan, pengalaman
musikal, dan praktek bermedia. Meskipun tidak menjadi poin utama, namun daerah
asal informan juga menjadi pertimbangan, mengingat lagu-lagu Navicula seringkali
merujuk pada permasalahan di daerah tertentu.
Dalam menemukan informan sebagai subjek penelitian, peneliti melakukan
kiat-kiat khusus (mengingat tidak ada fans base penggemar resmi Navicula). Peneliti
menggunakan beberapa cara sesuai dengan latar belakang informan yang berbeda.
Pertama peneliti mencari lalu mengunjungi komunitas grunge yang berada di sekitar
lokasi peneliti, kemudian mencari tahu dan memilah beberapa di antara mereka yang
mendekati kriteria subjek penelitian. Kedua peneliti mencari dan mengunjungi
perkumpulan lembaga atau organisasi berkaitan dengan aktivisme lingkungan, lalu
juga mencari tahu dan memilah beberapa dari mereka yang mendekati kriteria subjek
penelitian.
Selain itu, peneliti juga mengunjungi dan memperhatikan pusat interaksi
Navicula dengan khalayak. Dalam hal ini dapat melalui facebook, twitter,
reverbnation,
myspace,
soundcloud,
hingga
web
site
resmi
Navicula
(naviculamusic.com). Dalam hal ini peneliti dapat mengajukan pertanyaan langsung
30
melalui media sosial di atas. Peneliti juga dapat memberikan pertanyaan ataupun
pernyataan pancingan guna mengetahui koleksi album ataupun merchandise
khalayak. Selain itu peneliti mencari penggemar yang hadir di panggung pertunjukan
musik Navicula untuk menemukan fans yang dimaksud.
Selanjutnya dari beberapa cara pencarian subjek penelitian di atas, peneliti
memiliah-milah fans yang lebih sesuai kriteria. Peneliti memilih lima informan yang
lebih sesuai dengan kriteria untuk memudahkan peneliti mendalami latar belakang
dan pemaknaan mereka. Untuk memudahkan pendalaman pula, peneliti melakukan
batasan fans yang pada waktu penelitian berada di sekitar DIY.
Dari langkah-langkah di atas, peneliti memilih lima informan untuk diteliti.
Pertama Adit, sebagai fans yang menyukai grunge sebagai jenis musik yang
dibawakan Navicula. Kedua Dadan, merupakan anggota organisasi pecinta alam di
kampus MSD. Selain itu yang menarik dari Dadan adalah ia suka mengadopsi gaya
Navicula dan sering mengirimkan karyanya yang terinspirasi dari Navicula. Ketiga
Iin, merupakan seorang fans yang berasal dari Bali, dan tergabung dalam Komunitas
Anak Alam. Keempat Nova, merupakan fans yang menyukai grunge dan mulai
tinggal di Kalimantan yang mana daerah yang banyak terekspos dalam lagu-lagu
Navicula. Selain itu, Nova memiliki koleksi sejumlah 4 album Navicula. Kelima
Abdi, yang mana berasal dari Bali dan tertarik dengan isu lingkungan meski tidak
banyak bersinggungan dengan gerakan peduli lingkungan.
Keseluruhan informan tersebut sama-sama telah mengikuti dan menyukai
Navicula sejak lebih dari dua tahun. Namun demikian, antara informan satu dengan
yang lain memiliki perbedaan beragam latar belakang. Dalam hal ini, kelima
informan memiliki perbedaan baik dari aspek sosial ekonomi, pilihan musik, derajat
fandom, hingga pilihan akses media dan isu lingkungan.
31
Download