Fortifikasi Minyak Goreng vitamin A: Mengapa tidak dengan βcarotene • Global policy fortifikasi pangan didasarkan atas pedoman dan standard WHO/FAO 2006 (Guideline for Food Fortification with Micronutrients). Disebutkan dalam pedoman itu bahwa β-carotene , retinyl palmitate, dan retinyl acetate merupakan fortifikan dengan stabilitas yang baik pada minyak dan lemak (Tabel 5.4). Namun demikian dalam guideline tersebut FAO/WHO hanya membahas/merekomendasikan retinyl palmitate/retinyl acetate sebagai fortifikan. Tidak banyak dibahas tentang β-carotene , kecuali dinyatakan bahwa karena dampak warna β-carotene yang orange kemerahan, tidak cocok untuk sejumlah bahan pangan termasuk minyak goreng yang produknya jernih. Tetapi β-carotene banyak dipakai untuk fortifikasi margarine, keju dan berbagai minuman. • β-carotene adalah pro-Vitamin A yang menjadi salah satu sumber Vitamin A penting dalam diet masyarakat di negara berkembang, termasuk Indonesia, meskipun konsumsinya rendah dan masih jauh dari AKG. Secara internasional konsensus mengenai jumlah β-carotene yang direkomendasikan untuk dikonsumsi adalah 2-4 mg/hari dari diet seharihari. • Disamping sebagai sumber Vitamin A, β-carotene memiliki fungsi sebagai antioksidan. Tidak ada beda fungsi dan efektifitas dalam tubuh apakah βcarotene yang dikonsumsi merupakan extract asli dari pangan sumber βcarotene atau berupa artificial. Dampak negatif (toxicity) β-carotene dalam level yang sangat tinggi tidak ditemukan, atau tidak diketahui, namun beberapa studi mengindikasikan bahwa intake β-carotene yang tinggi pada perokok dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker paruparu. • Penggunaan β-carotene banyak dipakai sebagai fortifikan pada minuman atau makanan (keju, beras di China, dll) untuk meningkatkan zat gizi sekaligus memberi warna kuning/oranye. Namun demikian penggunaan βcarotene sebagai fortifikan pada minyak goreng justru dikhawatirkan mempengaruhi daya terima minyak goreng tersebut sebagaimana disinggung dalam pedoman WHO. Ada juga beberapa studi yang telah dilakukan terkait isu tersebut (ex. Brazil, Tanzania, Afrika Selatan, dll). • Dalam pertemuan yang khusus membahas tentang karotenoid, telah dilakukan diskusi tentang masa depan fortifikasi dengan β-carotene. Ide ini muncul karena β-carotene dinilai sebagai sumber Vitamin A utama dalam diet sehari-hari, bukan preformed Vitamin A. Karena intake sehari-hari rendah β-carotene, maka seharusnya fortifikasi dilakukan dengan βcarotene, bukan dengan preformed Vitamin A seperti retinyl palmitate atau retinyl acetate. Namun demikian disayangkan dalam pertemuan ini tidak ada data atau informasi yang cukup untuk digunakan dalam membandingkan keunggulan dan kelemahan penggunaan β-carotene dan retinyl palmitate maupun acetate dari segi penerimaan konsumen maupun biaya. • Dalam banyak publikasi efektivitas RPO (Red Palm Oil) untuk meningkatkan status Vitamin A telah diketahui, dan hasilnya cukup setara untuk dibandingkan dengan suplementasi. Penggunaan RPO untuk menggoreng/ memasak beberapa makanan terbukti mampu meningkatkan status Vitamin A pada berbagai kelompok sasaran, seefektif suplementasi atau fortifikasi Vitamin A palmitate atau acetate . Salah satu ide yang berkembang saat ini adalah dengan menambahkan RPO atau minyak goreng tinggi βcarotene sebagai fortifikan pada minyak goreng. Kajian ke arah ini sampai saat ini belum tuntas, khususnya mencakup bioavailabilitas, efektivitas dan juga biaya, terutama bila dibandingkan dengan retinyl palmitate. • Pengalaman dan pendapat HKI untuk fortifikasi minyak goreng adalah dengan mengikuti rekomendasi WHO dimana fortifikan yang digunakan adalah preformed Vitamin A. Dalam hal ini HKI menggunakan retinyl palmitate pada program-program fortifikasi minyak goreng yang dilakukan. Dalam program fortifikasi di di Afrika Barat HKI menggunakan retinyl palmitate. Bioavailabilitasnya lebih baik, stabil dan biayanya sebanyak 4 kali dibawah β-carotene dari 30% RE (komunikasi pribadi Prof Soekirman dengan Silvana dari HKI). • Data dari Damage Assessment Report (DAR) dari UNICEF dan MI 2004, menyatakan bahwa 75 negara dunia telah melaksanakan fortifikasi minyak goreng, 50 diantaranya dari negara Asia, Pacifik dan Afrika, hanya menggunakan retinyl palmitate, tidak ada yang menggunakan β-carotene, meskipun sebagian juga produsen kelapa sawit (Tabel Terlampir). Program fortifikasi minyak HKI di Afrika Barat, misalnya, hanya menggunakan retinyl palmitate karena menurut penelitian mereka lebih bio-available, lebih stabil, dan yang penting harganya 4 kali lebih murah daripada β-carotene . • Penelitian tentang efikasi, efektivitas, stabilitas, toksisitas, ekonomi (cost dan return on investment) untuk suplementasi dan fortifikasi Vitamin A termasuk pada minyak goreng, sudah banyak dilakukan secara global sejak tahun 1920an. Hasilnya hampir semuanya meyakinkan dan tidak meragukan untuk fortifikan. Sedang β-carotene penelitiannya masih terbatas. Itupun sebagian besar berupa studi efikasi, yang menguji bagaimana dampaknya bagi penurunan defisiensi Vitamin A. Tetapi tidak ada penjelasan tentang bagaimana dampaknya di dalam program skala besar (studi efektivitas), misalnya biaya produksi (cost), penerimaan konsumen, dan sebagainya. Expert Panel yang mendorong fortifikasi dengan β-carotene, yang dimuat dalam Journal of Nutrition 12 November 2010, demikian juga studi efikasi di Afrika Selatan oleh Benade 2003 (dalam Asia Pacific Journal of Nutrition) juga hanya atas dasar uji efikasi. Padahal untuk suatu kebijakan perlu uji-uji selanjutnya khususnya uji efektivitas, termasuk uji penerimaan konsumen, biaya produksi, toksisistas, dan sebagainya. Kalaupun uji toksisitas sudah diadakan tetapi hasilnya masih tidak konsisten. Meskipun FDA belum lama (Januari 2010) telah memasukkan β-carotene dalam GRAS (Generally Regarded as Safe), artinya aman untuk dikonsumsi, namun masih ada beberapa penelitian yang menanggap tidak aman • Terkait dengan ide untuk melakukan fortifikasi Vitamin A dengan βcarotene disarankan terlebih dahulu menuntaskan berbagai kajian baik dari segi teknis, daya terima konsumen (organoleptic, willingness to buy and consume), kesediaan industri (willingness to produce), efektivitas dan analisis biayanya. Karena hal-hal ini belum terjawab tuntas dalam studi di Indonesia maupun di luar negeri, maka untuk pengembangan program fortifikasi minyak goreng di Indonesia saat ini disarankan untuk menggunakan retinyl palmitate atau acetate seperti direkomendasikan oleh WHO. Dalam jangka panjang, mengingat Indonesia memiliki potensi menghasilkan β-carotene secara berlimpah dari CPO, maka bila hasil-hasil studi menunjukkan trend positif penggunaan β-carotene dapat dijadikan alternatif fortifikan pada minyak goreng untuk memberikan pilihan kepada konsumen sesuai dengan preferensinya. Namun perlu diketahui bahwa dalam program fortifikasi apa saja, termasuk minyak goreng, pihak terakhir yang menentukan fortifikan apa yang akan dipakai (dalam minyak goreng, retinyl palmitate/ Vitamin A atau β-carotene), adalah produsen, industri yang memproduksi komoditi tersebut. • Informasi dari Manajer R&D Wilmar Group : • Teknologi pemurnian minyak sawit yang available dan acceptable saat ini (dari sisi cost) pada industri minyak sawit di dunia tidak dapat mempertahankan kandungan βcarotene. Jadi penambahan sumber vitamin A (baik retinyl palmitate maupun betacaroten) harus dilakukan dari luar. Saat ini di Indonesia juga belum ada industri βcarotene, sehingga baik retinyl palmitate maupun β-carotene harus diimpor dari LN. • Harga konsentrat β-carotene lebih mahal dan menurut perhitungan additional cost untuk penambahan β-carotene adalah 3-4 kali lipat daripada retinyl palmitate. • Dengan konsentrat β-carotene yang tersedia di pasar saat ini, maka penambahannya adalah sekitar 70-80 ppm. Hal ini menyebabkan tingkat warna merah pada minyak goreng bisa mencapai nilai 10-20 kali lipat dibandingkan warna minyak goreng yang ada di pasar saat ini. Apakah masyarakat bisa menerima minyak goreng dengan warna yang demikian? Industri sudah tentu tidak bersedia menanggung resiko penerimaan pasar akibat perubahan warna tersebut, kecuali pihak pemerintah melakukan “pemaksaan” kepada masyarakat untuk menerima minyak goreng merah tersebut. • β-carotene relatif tidak tahan terhadap panas dan kerusakan oksidasi dibandingkan retinyl palmitate. Belum banyak studi yang mempelajari hal toksisitas komponen oxidized beta-carotene ini. • Banyak pihak menyebutkan bahwa minyak goreng curah yang berwarna agak merah/ kuning tua (dibandingkan dengan minyak goreng branded) adalah karena mengandung β-carotene. Padahal minyak curah yang berwarna agak kuning tua/kemerahan tersebut sebenarnya justru mengandung komponen oxidized β-carotene, oxidized tocopherol yang memang sangat sulit dihilangkan pada saat pemurnian minyak sawit. • Pihak industri akan sangat senang jika ada teknologi yang murah yang dapat memurnikan minyak sawit tanpa merusak kandungan β-carotene. Saat ini teknologi yang tersedia untuk memproduksi Red Palm Oil masih mahal. Suatu tantangan bagi para peneliti di perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk memperoleh teknologi yang murah. PUSTAKA: • Grune, T, et al. 2010. β-Β-carotene is an Important Vitamin A Source for Human. The Journal of Nutrition. • Allen,Lindsay et al (ed). 2006. Guidelines on food fortification with micronutrients. World Health Organization. • L. M. Canfield and R. G. Kaminsky. 2000. Red palm oil in the maternal diet improves the Vitamin A status of lactating mothers and their infants. Food and Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 • Kritchevsky , D. 2000. Impact of red palm oil on human nutrition and health. Food ae Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 • B. Nagendran, U. R. Unnithan, Y. M. Choo, and Kalyana Sundram. 2000. Characteristics of red palm oil, a Β-carotene - and vitamin E–rich refined oil for food uses. Food and Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 • Scrimshaw, N.S. 2000. Nutritional potential of red palm oil for combating Vitamin A deficiency. Food and Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 • Rao, N. 2000. Potential use of red palm oil in combating Vitamin A deficiency in India. Food and Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 • van Stuijvenberg and A. J. S. Benadé. 2000. South African experience with the use of red palm oil to improve the Vitamin A status of primary schoolchildren. Food and Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 • Lietz,G; C. J. K. Henry, G. Mulokozi, J. Mugyabuso, A. Ballart, G. Ndossi, W. Lorri, and A. Tomkins. Use of red palm oil for the promotion of maternal Vitamin A status. Food and Nutrition Bulletin, vol. 21, no. 2 (10). UNICEF dan MI 2004. Damage Assessment Report (DAR) due to Micronutrient Deficiencies. UNICEF NY 2004 (11). Gray N, 2010. Expert Panel Highlights Need for Beta Caroten Fortification. (www.nutraingredients-usa.com) (12). Daniels, 2009. Beta- Caroten, Lung Cancer Study Flawed : Experts (www.nutraingredients.com)