Nur AV | Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita Nur Ayu Virginia Irawati, Rizki Hanriko Faculty of Medicine, Lampung University Abstrak Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai secara luas di daerah tropis dan subtropis. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dan dewasa. Penyakit tifoid memiliki kaitan yang erat dengan kebersihan lingkungan maupun pribadi yang rendah.Pada kasus dilaporkan An. F, laki – laki, usia 4 tahun, dengan demam tifoid. Di cari penyebab timbulnya penyakit pada pasien. Dilakukan analisa penyebab, berupa underlying disease atau ada faktor risiko lain yang menyebabkan penyakit pasien yaitu rendahnya kebersihan lingkungan dan pribadi dan tertular dari salah satu anggota keluarga. Selanjutnya, penyakit diberikan tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa.Dilakukan edukasi mengenai penyakit pasien dan pentingnya memperbaiki higienitas personal, makanan minuman dan lingkungan.Terdapat faktor-faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya penyakit demam tifoid pada pasien ini, yaitu ketidaktahuan terhadap penyakit dan higienitas personal dan lingkungan yang kurang. Kata Kunci:balita, demam tifoid, higienitas Management of Typhoid Fever in Children Under Five Years Old Abstract Typhoid fever is a disease caused by Salmonella typhi that can easily be found in both tropical and subtropical region. Typhoid fever is an acute infectious disease that always happen in Indonesia. This disease can be found in babies, children and adults. Incidence of typhoid fevercan not be separated with low environmental and personal hygiene.4 years old boy was reported with typhoid fever.Causes of the disease were analyzed, and the risk factors are low environmental and personal hygiene and also history of other family member infected by the same disease. Furthermore, patient was treated with medical and non medical therapy. Patient was given education about the disease and the importance ofpersonal hygiene improvement, food and drinks, and environmental hygiene.There are factors that are related to the incidence of typhoid fever in this patient, which is lack of knowledge of the disease and lack of personal and environmental hygiene Keywords :hygiene, typhoid fever, toddler Korespondensi :Nur Ayu Virginia Irawati, alamat Jl Akasia TA VI No 2 BTN III Way Halim Bandar Lampung, email [email protected] Pendahuluan Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya Salmonella typhi yang menyerang saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dan dewasa.1 Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di Amerika Serikat dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000.Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1- 10,4% . Sembilan puluh J Medula Unila| Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 |102 persenkasus demam tifoid di Indonesia menyerang kelompok usia 3-19 tahun. Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 514 tahun di daerah perkotaan.3,4 Demam tifoid dapat dijumpai secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah dan di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis.Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.5 Bakteri masuk ke saluran pencernaan dan menempel serta menginvasi sel-sel M Peyer’s patch. Bakteri kemudian bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem Nur AV | Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita retikuloendotelial. Setelah itu bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah dan memproduksi enterotoksin yang meningkatkan kadar Cyclic adenosine monophosphate(cAMP)di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.3 Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 10-14 hari. Gejala klasik penyakit ini adalah onset bertahap demam o o berkelanjutan setinggi 30 C-40 C, gejala gastrointestinal dan gangguan kesadaran.Selain itu gejala lainnya adalah sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, nausea, bradikardia relatif dan splenomegali. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedangkan tepi dan ujungnya kemerahan.3,6 Perilaku perorangan dan kebersihan lingkungan yang tidak baik diduga mempunyai peranan dalam penyebaran penyakit demam tifoid, seperti kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, kebiasaan tidak menutup makanan dan minuman, kebiasaan jajan dan kondisi sanitasi rumah yang tidak baik. Kualitas air, sistem pembuangan air limbah dan lantai rumah mempunyai peranan dalam penularan demam tifoid.7,8 Agar dapat menghindari terjadinya demam tifoid, maka pemahaman tentang penyakit dan cara mencegah penularan tifoid menjadi dasar yang sangat penting. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi pada pasien sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit ini. Kasus Pasien An. F, seorang anak berusia 4 tahun datang dengan keluhan demam sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan demam dirasakan naik turun, dan lebih tinggi pada malam hari.Demam tidak disertai dengan menggigil atau berkeringat.Sejak 1 minggu yang lalu, pasien mengeluhkan nyeri pada perut dan tidak bisa BAB.Ibu pasien sudah memberikan obat penurun panas dan obat pencahar yang dibeli di warung.Demam sempat turun setelah meminum obat, namun naik kembali.Pasien tetap tidak dapat BAB setelah meminum obat pencahar.Ibu pasien kemudian membawa pasien berobat ke puskesmas dan pasien didiagnosa dengan demam tifoid. Pasien sering mengkonsumsi makanan dan minuman yang dibeli dilingkungan sekolahnya. Selain itu pasien juga sering mengkonsumsi makanan ringan yang dijual di warung dekat rumah pasien. Pasien Sebelumnya ayah pasien memiliki riwayat menderita demam tifoid empat bulan yang lalu, sempat dirawat di puskesmas dan sudah sembuh. Hasil pemeriksaan fisik, pasien dalam keadaan sadar, keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, denyut nadi 84x/menit dengan irama reguler, isi dan tegangan cukup, respiration rate20x/menit tipe torakoabdominal, suhu 38,2oC (peraksial), status gizi baik berdasarkan BB/U, dengan berat badan saat ini 15 kg, panjang badan 97cm. Mata, telinga dan hidung dalam batas normal. Pada mulut tampak lidah kotor. Tenggorokan faring tidak hiperemis, tonsil T1T1, leher KGB tidak didapatkan pembesaran.Regio torakskor dalam batas normal.Pada auskultasi pulmo didapatkan suara nafas vesikuler dikedua apeksparu, suara rhonkitidak ditemukan pada kedua lapang paru.Regio abdomen tampak datar, pada palpasi teraba lemas dan terdapat nyeri tekan pada epigastrium dan splenomgali, perkusi didapatkan suara timpani, dan pada auskultasi bising usus normal.Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal. Hasil pemeriksaan laboratorium widal, typhii O 1/240, typhii Ao 1/160, typhii Bo 1/160, dan typhii H 1/240. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun penunjang, pasien didiagnosis dengan demam tifoid. Pasien disarankan untuk istirahat yang cukup dan mengonsumsi makanan yang lembut dan mudah dicerna. Obat-obatan yang diberikan pada pasien antara lainKotrimoksazol sirup 2 x 1 sendok teh, Parasetamol sirup 3 x 1sendok teh dan Antasida sirup 3 x ½ sendok teh. Pembahasan Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang saluran pencernaan. 7 Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan J Medula Unila| Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 |103 Nur AV | Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita penunjang.Dari anamnesis pada pasien An. F didapatkan keluhan demam yang naik turun dan telah dialami selama dua minggu disertai dengan tidak dapat BAB selama satu minggu. Demam yang ditemukan pada pasien ini lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Hal ini sesuai dengan demam tifoid yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam yang naik secara bertahap setiap harinya lebih tinggi pada sore dan malam dibandingkan pagi hari.3 Gejala gastrointestinal yang terjadi pada pasien demam tifoid dapat berupa diare, obstipasi atau obstipasi kemudian disusul epidose diare. Pasien mengeluhkan adanya keluhan susah BAB selama 1 minggu dan merupakan gejala yang sesuai dengan gejala pada demam tifoid. Gangguan gastrointestinal pada pasien dapat dikarenakan invasi bakteri Salmonella typhii yang menyerang sel M Peyer’s patchpada saluran pencernaan.Pada pasien juga didapatkan gejala tambahan lainnya seperti mual dan muntah yang merupakan suatu respon sistemik tubuh terhadap inflamasi.4,6 Gejala lainnya adalah gangguan kesadaran berupa delirium atau apatis sampai koma. Pada demam tifoid, kuman yang masuk ke dalam sirkulasi darah atau bakteremia dapat menimbulkan meningitis ataupun ensefalitis yang berlanjut pada penurunan kesadaran. Delirium dapat timbul pada kondisi demam yang sangat tinggi. Pada pasien tidak ditemukan gejala tersebut karena respon imun pasien yang masih dapat menahan infeksi sehingga tidak menyebar secara sistemik.9 Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam dengan suhu 38,2oC, lidah kotor, splenomegalidan nyeri tekan pada epigastrium. Demam merupakan respon tubuh akibat adanya pirogen endogen yang merangsang endotelium hipotalamus membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan set pointdan menyebabkan timbulnya demam. Nyeri diakibatkan karena respon inflamasi yang timbul pada saluran pencernaan akibat adanya invasi bakteri. Lidah tampak kotor dapat dikarenakan kurangnya asupan makanan pada pasien sehingga lidah tampak kering. Kurangnya asupan nutrisi dikarenakan pasien mengalami mual dan muntah. Splenomegali tampak karena invasi bakteri ke J Medula Unila| Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 |104 jaringan retikuloendotelial sistem, seperti hati dan limpa. 3,6,7 Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonellatyphi, namun tes ini kurang spesifik dan sensitif karena banyak hasil tes negatif palsu dan positif palsuterjadi. Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya juga memiliki antigen O dan H, memungkinkan terjadi suatu reaksi silang sehingga muncul hasilpositif palsu. Sedangkan negatif palsuterjadi akibat respon antibodi yang terhalangi oleh pemberian antibiotik seperti ampisilin atau kloramfenikol, infeksi pada lokasi yang berbeda dengan retikuloendotelial sistem, atau karena defek produksi antibodi. Pada pasien An. F dilakukan tes widal dengan hasil positif. Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan dari hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi.Pada pasien ini tidak dilakukan kultur darah dikarenakan terbatasnya sarana pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat pasien berobat. Karena hal tersebut, diagnosis dan pengobatan didasarkan pada hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium darah perifer dan tes widal. 8,12 Penatalaksanaan antibiotik lini pertama pada demam tifoid adalah kloramfenikol. Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid.Mekanisme kerja obat ini bekerja menghambat sintesis protein kuman dengan cara berikatan pada ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti riketsia, salmonella, klamidia, mikoplasma dan beberapa strain kuman gram positif dan gram negative.Dosis pada anak adalah 50-100 mg/kgBB/hari.Kekurangan dari kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya karier juga Nur AV | Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.Selain kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lainnya seperti seftriakson, kotrimoksazol, ampisilin, tiamfenikol dan siprofloksasin.6,13 Terapi antibiotika yang diberikan pada pasien ini berupa kotrimoksazol sirup dengan dosis 2 kali 1 sendok teh sehari. Dosis untuk anak dengan usia 6 bulan – 5 tahun adalah 240 mg. Dengan kotrimoksazol demam ratarata turun setelah 5-6 hari. Penggunaan kotrimoksazol pada pasien ini dilakukan karena tidak tersedianya obat lini pertama yaitu kloramfenikol di fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat pasien berobat. Pemilihan alternatif kedua setelah kloramfenikol adalah seftriakson, namun tidak diberikan pada pasien karena seftriakson hanya tersedia dalam bentuk injeksi sedangkan An. F merupakan pasien rawat jalan. Kotrimoksazol merupakan obat alternatif ketiga yang digunakan untuk pengobatan demam tifoid pada anak.6,13 Penggunaan parasetamol sirup untuk anak berguna untuk menurunkan demam pasien. Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem saraf pusat, dengan dosis 50 mg/kgBB/kalidiharapkan dapat menurunkan keluhan demam pasien tanpa adanya efek toksik akibat pemberian parasetamol.10 Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam kejadian penyakit ini, antara lain sanitasi lingkungan yang buruk, personal hygiene yang buruk, konsumsi makanan yang kurang terjaga kebersihannya atau air yang tercemar. 8,9Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor resiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor resiko terhadap penyakit demam tifoid10 Pada kasus An. F, pengobatan diberikan untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan penularan demam tifoid.Sedangkan intervensi pengetahuan kedua orangtua mengenai demam tifoid di berikan agar terjadi peningkatan pengetahuan mengenai penyakit dan perubahan perilaku agar keluarga menjaga kebersihan makanan dan lingkungan. Kondisi sakit demam tifoid ini dapat terjadi diakibatkan kurangnya kebersihan lingkungan, pemahaman orangtua mengenai sanitasi lingkungan personal maupun keluarga, dan disebabkan oleh faktor lainnya seperti usia pasien yang cenderung muda yang rentan terhadap penyakit.Dari kondisi-kondisi tersebut, pasien dapat dikategorikan menderita demam tifoid, dan memiliki prognosis quo ad vitam: bonam, quo ad funtionam: bonam, dan quo ad sanationam : bonam karena pasien dapat sembuh dengan pengobatan dan edukasi yang tepat, dapat sembuh total dari penyakitnya dan orangtua sudah mengetahui perlu terus menghindari faktor lain yang menjadi predisposisi demam tifoid. Simpulan Telah ditegakkan diagnosis demam tifoid pada pasien laki-laki usia 4 tahun berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang serta telah diberi penatalaksanaan sesuai dengan evidence based medicine. Daftar Pustaka 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid ke-I.Dalam: A. H. Markum dkk, Editor.Jakarta: BP FKUI;1996. hlm. 448–6. 2. World Health Organisation. The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva: Department of Vaccines and Biologicals; 2003. 3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Demam Tifoid. Dalam: Soedormo, dkk, Editor. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis edisi kedua. Jakarta: EGC; 2010. hlm.338-346 4. Dahlan A, Munawar A, Supriadi. Hubungan sanitasi lingkungan dan faktor budaya dengan kejadian tifus di wilayah kerja puskesmas lambur kabupaten tanjung jabung timur tahun 2013. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 2014; 14(1):95–101. 5. Buckle GC, Walker CL, Black RE. Typhoid fever and paratyphoid fever: Systematic review to estimate global morbidity and mortality for 2010. Journal of Global Health. 2012; 1(2):1-9. 6. Musnelina L, Afdhal AF, Gani A, Andayani P. Pola pemberian antibiotika pengobatan demam tifoid anak di rumah sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001-2002. Makara J of Health Research. 2004; 8(1): J Medula Unila| Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 |105 Nur AV | Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita 27-31. 7. Nelson. Ilmu kesehatan anak.Edisi ke-15. Volume ke-2. Jakarta: EGC; 1999. hlm. 1215-1224. 8. Anagha K, Deepika B, Shahriar, Sanjeev K. The easy and early diagnosis of typhoid fever. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2012; 6(2):198-9. 9. Price and S. Anderson, Patofisiologi; Konsep klinis proses-proses penyakit. Volume ke-2. Jakarta: EGC; 2003. hlm. 276-85. 10.Rine CR, Suleiman CH, Geoffrey AJ. Retrospective and cross-sectional studies of typhoid fever in pregnant women in a community in central nigeria. International Journal of Advanced Research. 2013; 1(3): 66 – 72. 11.Sudharshan R. Clinical profile and antibiotic sensitivity pattern of typhoid fever in patients admitted to pediatric ward in a rural teaching hospital. International Journal of Medical Research& Health Sciences. 2014; 3(2):34-37 12.Choerunnisa N, Tjiptaningrum A, Basuki W. Proportion of positive igm anti salmonella typhi 09 examination using tubex with positive widal examination in clinical patient of acute typhoid fever in dr. H. Abdul moeloek hospital bandar lampung. Majority. 2014; 3(1):102-110 13.Nelwan RHH.Tata laksana terkini demam tifoid. Cermin Dunia Kedokteran-192. 2012; 39(4):247-250 J Medula Unila| Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 |106