MUSIK SUFISTIK PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Agung Hidayat NIM : 1112033100007 JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/ 1438 H ABSTRAK Skripsi ini membahas pandangan Sayyed Hossein Nasr mengenai musik sufistik yang mencakup musik sebagai media dalam ajaran tawauf dan tingkatan spiritualitas dalam mendengarkan musik yang menajadi pokok pembahsan. Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research), penulis membatasi skripsi ini pada pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang musik sufistik, ada beberapa karya yang berusaha meneliti Seyyed Hossein Nasr. Namun belum ada yang membahas tentang musik sufistik Seyyed Hossein Nasr. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian ini yang terfokus pada musik sufistik dalam buku yang berjudul Islamic Art and Spirituality oleh Seyyed Hossein Nasr yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Spiritualitas dan Seni Islam oleh Sutejo, yang memberi suatu pengetahuan baru dalam tasawuf dan estetika. Maka penelitian ini memuat dalam rumusan masalah. Spereti bagaimana musik sebagai media dalam ajaran tasawuf menurut Seyyed Hossein Nasr? Serta bagaimana musik sufistik menurut Seyyed Hossein Nasr? Penelitian ini menemukan musik merupakan bentuk seni yang mengandung pertalian nilai estetika dan nilai spiritualitas. Dimana musik sufitik yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Penemuan musik sufistik menurut Sayyed Hossein Nasr dalam penelitian ini adalah suatu kondisi atau tingkatan spiritualitas seorang sufi dalam mendangarkan musik. Sehingga tingkatan spiritualitas dalam mendengarkan musik terbagi menjadi dua golongan. Yaitu, sufi golongan kaum elit (Khawâsh) yang memiliki tingkatan spiritual penyingkapan (mukasyafat) dan sufi golongan elitnya elit (Khawâsh al-Khawâsh) yang memiliki tingkatan spiritual cinta (Mahabbah) dan kesaksian (musyhadah). i KATA PENGANTAR Alhamdulillâhirabbil „âlamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pengasih yang telah melimpakan taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Muẖammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah membina umat manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan semoga kita menjadi salah satu umat yang mendapat syafaatnya di akhirat kelak. Āmīn. Tersusunnya skripsi yang berjudul “Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein Nasr” sebagai tugas akhir akademis pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semua itu berkat bantuan, dorongan dan bimbingan banyak pihak, karena itu perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih serta penghargaan yang mendalam khususnya kepada: 1. Kedua orang tua saya ibu Suyatmi dan bapak Saman yang sangat saya hormati dan sayangi. 2. Dr. Edwin Syarif, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi koreksi, kritik dan saran-saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Agus Darmaji, Drs. Mfils., selaku dosen pembimbing Akademik saya. 4. Ibu Dra. Tien Rohmatin, M. A, selaku ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. 5. Abdul Hakim Wahid, MA selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. 6. Seluruh jajaran Rektorat UIN Jakarta serta jajaran Dekanat Fakultas Ushuluddin, juga tidak lupa Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan Ilmunya selama saya belajar di jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. 7. Seseorang yang sangat sepesial dalam hidaup saya, pandangan hidup dan teman hidup, anugerah terindah yang saya miliki Dwie Revina Yoga. ii 8. Teman seperjuangan Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Angkatan 2012. 9. Keluarga Besar IMMAN Cabang Jakarta dan HMJ Aqidah Filsfat serta para sahabat Pergerakan. 10. Dan kepada seluruh pihak, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang banyak membantu, mempermudah dan memperlancar hingga sekripsi ini akhirnya selesai. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karenanya kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Adapun segala kekurangan dan kesalahan pada skripsi ini menjadi tanggung jawab penulis. Harpan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Jakarta,23 Maret 2017 (Agung Hidayat) iii LEMBAR PERNYATAAN 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Sumber yang saya gunakan telah saya cntumpakn sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil atau merupakan hasil penjiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 23 Maret 2017 Agung Hidayat iv Lembar Pengesahan Panitia Ujian Skripsi yang berjudul Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein Nasr telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 April 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata satu (S1) pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 17 April 2017 Sidang Munaqasyah; Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dra. Tien Rohmatin, MA NIP: 19680803 199403 2 002 Abdul Hakim Wahid, SHI., MA NIP: 19680424 201503 1 001 Anggota; Penguji 1, Penguji 2, Hanafi, MA NIP: 19691216 199603 1 002 Arrazy Hasyim, MA Pembimbing; v Dr. Edwin Syarif, MA NIP: 19670918 199703 1 001 DAFTAR ISI ABSTRAK .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8 D. Tinjauan Pustaka....................................................................... 9 E. Metodologi Penelitian .............................................................. 11 F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12 BAB II BIOGRAFI SAYYED HOSSEIN NASR A. Riwayat Hidup .......................................................................... 14 B. Karya ........................................................................................ 21 C. Latar Belakang Pemikiran ....................................................... 23 vi BAB III MUSIK DAN SUFI A. Pengertian Musik Dan Sejarah Perkembangan Musik Dalam Dunia Islam ............................................................................... 27 B. Unsur-unsur Musik .................................................................. 36 C. Kriteria dan Fungsi Musik Bagi Sufi ....................................... 38 BAB IV ANALISIS MUSIK SUFISTIK PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR A. Musik sebagai media dalam Ajaran Tasawuf ........................... 48 1. Syarat dan Tata Cara Mendengarkan Musik ...................... 51 2. Pengaruh Musik Terhadap Pendengar ............................... 53 B. Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein Nasr ...................... 55 1. Tingkatan Spiritualitas dalam Mendengarkan Musik ........ 55 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 59 B. Saran ......................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 61 vii PEDOMAN TRANSLITERASI HURUF ARAB-LATIN Skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat dalam Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. Padanan Aksara No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan 1 ا 2 ب B Be 3 ت T Te 4 ث Ts te dan es 5 ج J Je 6 ح H ha dengan garis bawah 7 خ Kh ka dan ha 8 د D De 9 ذ Dz de dan zet 10 ر R Er 11 ز Z Zet 12 س S Es 13 ش Sy es dan ye 14 ص S es dengan garis di bawah 15 ض D de dengan garis di bawah 16 ط T te dengan garis di bawah 17 ظ Z zet dengan garis di bawah tidak dilambangkan viii 18 ع „ koma terbalik di atas hadap kanan 19 غ Gh ge dan ha 20 ف F Ef 21 ق Q Ki 22 ك K Ka 23 ل L El 24 م M Em 25 ن N En 26 و W We 27 ه H Ha 28 ء ‟ Apostrof 29 ﻱ Y Ye Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan 1 ___َ___ A Fathah 2 ___ِ___ I Kasrah 3 ___ُ___ U Dammah ix Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan 1 _َ_ ﻱ Ai a dan i 2 _َ_ و Au a dan u Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: No. Vokal Arab Vokal Latin Keterangan 1 ـَا Â a dengan topi di atas 2 ـِي Î i dengan topi di atas 3 ُـو Û u dengan topi di atas Kata Sandang Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu الdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti oleh huruf syamsiyyah, maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan aḍdîwân. x Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab yang dilambangkan dengan sebuah tanda ( _ّ__ (, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الّضَ ُروْرَةtidak ditulis ad-darûrah, melainkan al-darûrah, demikian seterusnya. Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut diaihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (naʻt) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut diaihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). Contoh: No. Kata Arab Transliterasi 1 طريقة Tarîqah 2 الجامعة اإلسالميّة al-jâmiʻah al-Islâmiyyah 3 وحدة الوجود wahdat al-wujûd xi Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî, bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitang dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîr xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era modern seperti sekarang ini, setiap saat orang dapat selalu mendengarkan musik melalui konser langsung, siaran radio, siaran televisi, tape recorder, dan media elektronik lainnya. Namun sangat jarang orang yang memikirkan “musik itu apa?”. Sebagian besar para penikmat musik menikmati musik tanpa adanya penghayatan yang mendasarinya. Lewat media-media yang disebut di atas, pada umumnya orang mendengarkan musik hanya sebagai kebutuhan sesaat, sekedar pelepas dahaga, atau saat ini lebih mengarah kepada gaya hidup (life style). Seni dan spiritualitas Islam tidak akan lengkap tanpa menyinggung musik, mengingat musik mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual. Kenyataannya, apa yang ada di balik musik kurang mendapat perhatian dari para peminatnya. Sebagian besar orang menikmati musik hanya sebagai faktor hiburan belaka tanpa memperhatikan fenomena yang mendasari terciptanya musik dan pengaruh yang ditimbulkannya terhadap jiwa dan lingkungan seseorang. 1 1 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam. Terj. Sutejo (Bandung; Mizan, 1993), h. 161. 1 2 Kata “musik” juga sering dikonotasikan negatif dalam masyarakat Islam, tampaknya musik tidak kurang menjadi topik maupun bagian dari studi-studi relijius Islamis. Dengan demikian analisis terhadap musik di dunia Islam hanya mungkin dilakukan dari pendekatan- pendekatan di luar lingkaran studi tersebut.2 Jecues Attali, seperti dalam karyanya Noise: The Political Economy of Music membagi evolusi musik menjadi tiga modus : (1) ritual, (2) representasi, dan (3) pengulangan. Dalam sebuah kultur baik etnis maupun agama, musik tampaknya memang berfungsi awal dalam konteks ritual. Di kalangan umat Islam, tradisi-tradisi ritual yang telah memiliki unsur musik telah digunakan sejak lama, seperti adzan dan tilawah. 3 Perubahan musik selanjutnya berubah ke dalam modus representasi yang muncul sebagai tanggapan atas kondisi-kondisi sosial yang berubah. Musik tidak lagi bersifat sakral namun berubah menjadi sekuler, ia berkembang dalam suatu dikotomi antara kelompok kecil pemain profesional versus kelompok yang lebih besar yaitu hadirin atau penonton non profesional. Hal ini terjadi pasca zaman Barok kira- kira antara tahun 16001750, zaman ini berlangsung sesudah zaman Renaisans yang ditandai dengan lahirnya bentuk pagelaran konser musik umum sebagai hasil dari tuntunan 2 Andre Indrawan, Musik di Dunia Islam, Tsaqafa; Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012. 3 Sebagaimana dikutip dalam Suhardjo Parto, Musik Seni Barat dan sumber daya manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 32. 3 masyarakat kelas menengah ke bawah terhadap akses penikmatan musik, karena sebelumnya musik hanya dikonsumsi oleh kelas elit.4 Selanjutnya, di akhir abad ke-19, modernisasi telah mempengaruhi berbagai struktur dan teknologi. Beberapa pandangan tentang dampak modernisasi, salah satunya digambarkan oleh Edwin Ziegfeld, bahwa konsekuensi perkembangan ilmu dan teknologi modern adalah materialisme dan tercabutnya berbagai esensi kehidupan,5 juga berpengaruh terhadap penyikapan dan pembentukan karakteristik musik yang berkembang. Terciptanya sebuah sarana yang dapat dipakai untuk merekam dan menyimpan musik dalam disc maupun pita kaset yang dapat dimainkan kembali kapan saja diperlukan. Ini merupakan sebuah tahap perkembangan teknologi yang dianggap sebagai suatu cara menyimpan representasi dan masing-masing penikmat memiliki suatu hubungan tunggal dengan suatu objek musik, sehingga konsumsi musik itu bersifat perorangan yang akhirnya berdampak pada kualitas pemahaman yang rendah dan kurang peka pada masalah keindahan, nalar, dan moral.6 Dari tiga penjelasan di atas mengenai evolusi musik, dapat di golongkan ke dalam dua unsur yaitu material dan spiritual. Unsur material menjadi evolusi yang selaras dengan perkembangan modernisasi namun 4 H.H Eggebrecht, Musik dan Masyarakat, terj. Dieter Mack dalam Dieter Mack, Sejarah Musik, Jilid III (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi,1995), h. 221 5 Sebagaimana dikutip dalam Suhardjo Parto, Musik Seni Barat dan sumber daya manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 31 6 Shardjo Parto, Musik Seni Barat, h. 33 4 banyak yang menjadi sekuler dari unsur spiritual. Sedangkan unsur spiritual menjadi unsur rohaniah yang suci yang ada sebagaimana ritual itu dilakukan. Dalam ajaran tasawuf yang paling utama adalah proses penyucian jiwa atau batin. salah satu cara bentuk penyucian jiwa yang digunakan oleh para sufi adalah dengan musik spiritual atau dalam istilah tasawuf dikenal dengan al-samā„, yaitu mendengarkan musik yang indah sebagai alat purifikasi.7 Pendapat lain yang dikemukakan Ikhwân al-Ṣafâ dalam risalah tentang musik, dalam muqaddimah : “Setelah menyelesaikan kajian tentang teori seni spiritual yang berada dalam jalur pengetahuan, dan kajian tentang praktik musik yang sifatnya material dan berada dalam jalur seni, kami mengajukan dalam risalah yang berjudul „Musik‟ ini untuk mengaji seni yang terdiri dari aspek material dan spiritual. Ini adalah seni tentang harmoni yang bisa didefinisikan melalui fungsi proporsi”.8 Musik merupakan kesenian yang memiliki pengaruh yang luar biasa dalam perkembangan kehidupan spiritual manusia. Untuk itu para sufi menggunakan musik, sebagai salah satu kreatifitas seni masyarakat yang setiap kaum di dunia ini mengenalnya, untuk menyucikan jiwa. Bahkan alGazāli dengan ekstrim menyebut orang yang tidak normal, kurang akal dan 7 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad AlGazāli, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 2. 8 Ikhwān al-Ṣ afā‟, Rasāil al-Ikhwān al-Ṣ afā‟, Jilid. I (Beirut: Dār al-Islāmiyyah, 1957), h. 183. 5 jauh dari rohani kepada orang yang hatinya tidak tergerak oleh keindahan musik yang dikembangkan oleh para sufi.9 Selanjutnya dari pendapat Ikhwân al-Ṣafâ, serta beberapa pendapat para sufi mengenai musik di atas menjadi salah satu pembahasan Seyyed Hosein Nasr dalam bukunya yaitu Spiritualitas dan Seni Islam yang menjelaskan musik dan tasawuf. Seyyed Nasr memandang seni bukan hanya sekedar pada segi keterampilan, teknik atau bagaimana permainan emosi itu menjadi serba mungkin dalam penciptaan sebuah bentuk estetik. Seni dilihat sebagai sebuah pola pemikiran dan manifestasi kesadaran, dari sini seseorang secara langsung bersentuhan dengan dunia bentuk sebagai manifestasi kesadaran tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Nasr terutama pandangan dalam seni Islam: “Manifestasi seni Islam yang berbeda-beda memiliki kesamaan yang bersumber dari nilai-nilai supra-individual ajaran Islam (al-Tauhîd). Seni Islam berkembang tidak hanya berkembang disebabkan oleh bahan-bahan yang semuanya itu bersifat material. Seni Islam terutama berkenaan dengan kesadaran religius kolektif yang menjiwai bahan-bahan material tersebut”.10 Dalam konteks musik, Nasr menjelaskan musik merupakan bentuk seni yang mengandung pertalian nilai estetika dan nilai spiritualitas.11 9 Al-Gazāli, Mutiara Ihya‟ „Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2002), h. 172. 10 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam. Terj. Sutejo (Bandung; Mizan, 1993), h. 13. 11 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam. h. 168 6 Nasr juga menjelaskan di dalam bukunya Spiritualitas dan Seni Islam mengenai musik sufi yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Selain musik sufistik, Nasr juga memberikan suatu pandangan bahwa : “Diri sufi itu sendiri merupakan alat musik dalam genggaman Sang pencipta, dan apa yang dia hasilkan adalah nyanyian yang dimainkan Musikus surgawi dan terdengar dalam dirinya. Dunia laksana gitar yang diubah dari nada-nada yang harmonis, sebuah komposisi yang melodinya dapat membimbing pendengarnya memasuki keadaan itu. Karena sufi telah mampu menguak selubung keterpisahan eksistensi dan bersatu sifat primordialnya, maka dia sebagaimana dunia menggemakan sebuah melodi yang semirip mungkin dengan apa yang sufi kehendaki, lantaran dirinya hanyalah alat musik yang berada dalam genggaman-Nya.12 Tertarik dengan berbagai persoalan di atas, penulis bermaksud meneliti lebih jauh pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang musik sufistik. Pemikiran Nasr tersebut patut ditelaah secara mendalam setidaknya karena menawarkan sebuah sudut pandang yang berbeda mengenai wacana musik itu sendiri. Dengan meneliti pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang musik sufistik, menjadi nyata bahwasannya musika sufistik adalah sebuah keniscayaan yang dimiliki oleh setiap individu dan tasawuf sebagai inti ajaran Islam dalam wilayah pengembangan spiritualitas. Pada tataran praksis, pemikiran itu mencerminkan salah satu upaya pengembangn wacana musik sufistik agar lebih memahami musik dan tasawuf. Maka untuk mencapai hal itu, penulis mengangkat tema tersebut ke dalam sebuah judul skripsi yang berjudul Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein Nasr. 12 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam. Terj. Sutejo (Bandung; Mizan, 1993), h. 187. 7 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis membatasi skripsi ini pada pemikiran tentang musik sufistik Seyyed Hossein Nasr, ada beberapa karya yang berusaha meneliti Seyyed Hossein Nasr. Namun belum ada yang membahas tentang music sufistik perspektif Seyyed Hossein Nasr. Oleh karena itu, penulis akan membatasi penelitian ini dengan hanya membahas pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang terfokus pada musik sufistik dalam buku yang berjudul Islamic Art and Spirituality oleh Seyyed Hossein Nasr yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Spiritualitas dan Seni Islam oleh Sutejo. Maka penelitian ini akan difokuskan pada rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana musik sebagai media dalam ajaran Tasawuf menurut Seyyed Hossein Nasr? 2. Bagaimana musik sufistik menurut Seyyed Hossein Nasr? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui musik sebagai media dalam Tasawuf menurut Seyyed Hossein Nasr. 2. Mengetahui Musik sufistik menurut Seyyed Hossein Nasr. 8 Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain ialah sebagai berikut : 1. Secara akademik, penelitian ini mendukung pendapat Agus Setyawan dalam pembahasan konsep seni Islam. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan alternatif dan bahan bacaan dalam mendukung mata kuliah Estetika dan Tasawuf atau mata kuliah yang sesuai dengan tema tersebut. 3. secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan bagi peneliti pribadi, khususnya bagi para mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga timbul minat besar untuk mengkaji filsafat secara mendalam dan mengembangkan keahlian dibidang tersebut. D. Tinjauan Pustaka Dalam studi kepustakaan ini dipaparkan beberapa literatur yang mengemukakan tentang bagaimana hubungan musik dengan tasawuf, khususnya dimensi musik Islam. Sebenarnya tidak banyak peneliti yang menulis mengenai dimensi musik Islam. Namun demikian, penulis hanya akan menyebutkan beberapa karya yang dianggap penting. Karya Tesis dengan judul “Konsep Seni Islami Seyyed Hossein Nasr ; Telaah atas signifikansi hubungan seni dan spiritualitas di Dunia Modern” oleh Agus Setyawan, MA jurusan Studi Agama dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2008. Studi tentang 9 spiritualitas seni Islam Seyyed Hossein Nasr. Pembahasan yang disajikan meliputi kajian Estetika Islam, Spiritualitas seni Islam. Skripsi yang berjudul “Seni Islam dalam Pandangan Seyyed Hosein Nasr” yang ditulis oleh Barorotud Dawamah, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 1990. Di sini Dawamah menjelaskan maksud dari seni Islam dalam pandangan perspektif Seyyed Hossein Nasr serta pesan spiritual yang terkandung dalam seni Islam tersebut. Dalam analisanya, Dawamah hanya mengklarifikasi beberapa jenis seni yang ada di dalam Islam menurut Nasr, yaitu seni suci Islam dan seni tradisional Islam. Dawamah juga hanya memberikan contoh-contoh seni yang ada dalam Islam. Yaitu Kaligrafi, Tilawah Al-Qur‟an, dan arsitektur. Sedangkan sastra, musik dan tari tidak dibahas dalam skripsi tersebut. Berdasarkan dari apa yang penulis jelaskan di atas mengenai tinjauan pustaka, dapat disimpulkan bahwa judul skripsi Musik Sufistik Seyyed Hossein Nasr belum ada yang membahasnya, dan layak dijadikan judul skripsi. Dari beberapa karya skripsi maupun karya tesis yang telah dijelasakan di atas, perbedaan dari penelitian penulis mengenai musik sufistik perspektif Sayyed Hossein Nasr adalah sudut pandang mengenai musik sufistik. 10 E. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan merupakan sebuah penelitian yang fokus penelitiannya menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbgai macam literatur yang terdapat di perpustakaan, seperti buku, naskah, catatan, kisah, sejarah, dokumen dan lain-lain.13 Objek material ini adalah pemikiran Seyyed Hossein Nasr seputar musik dan tasawuf. Metode ini diaplikasikan ke dalam beberpa langkah berikut : 1. Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber primer dalam penelitian ini meliputi buku-buku Seyyed Hossein Nasr secara khusus seperti Islamic Art and Spirituality oleh Seyyed Hossein Nasr yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Spiritualitas dan Seni Islam oleh Sutejo. Sementara sumber data sekunder adalah sumber data-data yang berkaitan dengan tema kajian, baik itu berupa artikel, buku, baik yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal atau pun yang dipublikasikan dalam bentuk media internet. 2. Pengolahan Data Dalam penelitian ini data-data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan cara sebagai berikut : 13 Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33. 11 a. Deskripsi Analisis. Metode deskripsi analitis dalam penelitian ini digunakan untuk membahas dan menguraikan pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang musik sufistik secara sistematis. Dimulai dari pandangan Seyyed Hossein Nasr tentang sufistik, sehingga dari sini diharapkan mampu memunculkan pemahaman baru. b. Historis. Metode ini digunakan penulis untuk melacak latar belakang sejarah pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai musik dan tasawuf. Ini diperlukan karena pemikiran tersebut adalah hasil pengumpulan historis dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai musik dan tasawuf tidak bias dilepas dari dinamika sejarah. 3. Teknik Penulisan Skripsi Sedangkan teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. Sedangkan transliterasi pada skripsi ini juga menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi” yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. 12 F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisan dan pembahasanya agar terarah, maka penulisan akan menguraikannya ke dalam lima bab yang memuat beberapa sub-sub di dalamnya. Hal ini karena penelitiannya bersifat kepustakaan (library reseach) sehingga dibutuhkan analisis yang mendalam. Adapun uraian dalam lima bab tersebut adalah sebagai berikut : Bab pertama: sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan latar belakang permasalahan kemudian diteruskan dengan rumusan masalah sebagai bingkai dan penentu arah dalam penelitian ini, dengan ditunjang oleh tujuan serta manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai penunjang penelitian dahulu yang relevan, disertai dengan metodologi penelitian. Penelitian ilmiah harus memiliki jalan atau cara yang ditempuh guna mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian penulis mengakhiri bab dengan sistematika penulisan. Bab kedua: dalam bab ini membahas tentang Biografi Seyyed Hossein Nasr, pembahasan biografi ini meliputi riwayat hidup Seyyed Hossein Nasr, karya-karya Seyyed Hossein Nasr beserta latarbelakang pemikirannya. Bab ketiga: dalam bab ini membahas tentang pengertian dan sejarah perkembangan musik dalam dunia Islam. Serta membahas mengenai unsurunsur dalam musik. Diakhiri dalam bab tiga ini dengan kriteria dan fungsi musik bagi sufi. Bab keempat: dalam bab ini membahas tentang analisis terhadap musik sufistik perspektif Seyyed Hossein Nasr. Serta dalam sub temanya membahas tentang musik sebagai media dalam ajaran tasawuf menurut Seyyed Hossein 13 Nasr yang meliputi pembahasan mengenai syarat dan tata cara mendengarkan musik, juga pengaruh musik terhadap pendengar serta dalam sub akhir membahas musik sufistik menurut pandangan Seyyed Hossein Nasr yang meliputi pembahasan tentang tingkatan spiritualitas dalam mendengarkan musik. Bab kelima: berisi kesimpulan dan saran-saran. Setelah melakukan pembahasan terhadap masalah yang menjadi fokus dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai penutup. Bab ini berisi jawaban rumusan masalah yang dipaparkan, dan berisi saran-saran demi perkembangan penelitian selanjutnya. 14 BAB II BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR A. Riwayat Hidup Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yang unik di dunia Islam. Keunikan pribadi dan pemikirannya terbangun karena ia Iahir dalam lingkungan tradisi sufi dan Syi'ah yang dipadu dengan pendidikan dan pemikiran Barat modern. la Iahir dari keluarga dengan latar belakang sufi Iran14 yang memiliki afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarekat sufi di Persia. Nasr Iahir pada tanggal 7 April 1933 di Teheran dari keluarga telpelajar. Ayahnya, Seyyed Valiallah, adalah seorang dokter dan pendidik15 yang mengabdi kepada dinasti Qajar di masa pemefintahan Reza Pahlevi, seorang raja Iran pada saat itu.16 Iran sendiri adalah negara yang menganut tradisi Syi'ah yang sufistik dan senantiasa memiliki kesinambungan sejarah pemikiran Islam terutama khazanah ilmu-ilmu klasik yang terus berkembang hingga kini.17 Pada saat masih anak-anak, Nasr mengikuti pendidikan fomal awal di salah satu sekolah dengan standar kurikulum Persia. Di samping itu, Nasr 14 Keluarga Nasr merupakan keturunan Mulla Muhammad Seyyed Taqi, orang suci terkenal Kashan, makamnya ditempatkan di samping raja Shah Abbas yang sampai hari ini masih dikunjungi oleh para penziarah_ Seyyed Hossein Nasr, "Biography" dalam www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 15 Seyyed Hossein Nasr, "Biography" 16 Abdul Dahlan (ed.), Suplemen Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 1994), h. 181. 17 Waryono A. Ghafur, "Seyyed Hossein Nasr: Neo-Sufisme sebagai Alternatif Modemisme" dalam A. Khudon Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 381. 14 15 juga aktif berdiskusi dengan ayahnya mengenai agama dan filsafat. Hal inilah yang memicu perkembangan intelektual Nasr dan mempengaruhi karakter pribadinya yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Semangat yang diberikan ayahnya membuat Nasr begitu antusias untuk pergi belajar ke Amerika pada umur dua belas tahun. Hal tersebut menandai sebuah periode baru di dalam hidupnya, di mana tradisi dan budaya Amerika berbeda dengan tanah kelahirannya, Iran. Di Amerika, tepatnya di kota Highstown, New Jersey, Nasr mengenyam pendidikan lanjutannya di Peddie dan lulus pada tahun 1950 dengan membawa piala Wyclifte, sebuah penghargaan bagi siswa berprestasi. Selama empat tahun di Peddie, Nasr banyak mempelajari bahasa Inggris, sejarah Amerika, serta kebudayaan Barat dan Kristen.18 Dari Peddie, Nasr melanjutkan pendidikannya di Massacusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat di bidang ilmu fisika. Keputusannya untuk belajar fisika termotivasi guna memperoleh pengetahuan menyangkut hal-hal yang alamiah (natural/alam). Akan tetapi, Nasr akhirnya mengalami keraguan atas bidang yang ia kaji. Dalam sebuah diskusi kecil yang dipimpin oleh seorang filosof Inggris terkemuka, Bertrand Russell, Russell menyatakan bahwa ilmu fisika tidak berdiri sendiri, sifat alami dan kenyataan fisik yang ada di dalamnya didukung oleh struktur matematika.19 Pernyataan tersebut memberi pencerahan sekaligus memberi gambaran terhadap Nasr, bahwa ilmu fisika terlalu bersifat positivistik sehingga pertanyaan-pertanyaan metafisika yang ia ajukan tidak 18 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 19 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 16 banyak terjawab.20 Meskipun demikian, Nasr mampu menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar B.Sc. (Bachelor of Science) di perguman tinggi tersebut pada tahun 1954. Dari keraguan tersebut, Nasr memutuskan untuk menekuni bidang lain yang sanggup menjawab semua pertanyaannya, tenutama perihal metafisika. Nasr mulai membaca secara ekstensif kajian-kajian di bidang humaniora. Keseriusan di bidang tersebut membawa Nasr belajar kepada beberapa tokoh yang akhirnya banyak mempengaruhi corak dan karakteristik pemikirannya. Di antara tokohtokoh tersebut adalah seorang ahli filsafat dan sejarawan Italia terkemuka, Giorgio De Santillana. Di bawah bimbingan Santillana, Nasr tidak hanya mempelajari filsafat Yunani kuno seperti pemikiran Pythagoras, Plato, Aristoteles dan Plotinus, tetapi juga filsafat Eropa, filsafat abad Pertengahan, Hinduism dan kritik pemikiran Barat modem. Di samping itu, De Santillana juga banyak memperkenalkan pemikiran tradisionalis René Guénon kepada Nasr, sehingga pondasi intelektual dan pandangan-pandangan tradisionalisnya Nasr terbangun dari kawa-karya pemikiran Guénon.21 Ketekunan dan keseriusan Nasr membaca karya-karya tradisionalis mendorongnya berkunjung ke perpustakaan milik Ananda K. Coomaraswamy, ahli metafisika dan sejarawan seni asal Singhala. Perpustakaan Coomaraswamy mempunyai berbagai koleksi lengkap tentang kajian seni dan filsafat tradisional dari seluruh penjuru dunia. Di perpustakaan inilah Nasr pertama kali menemukan 20 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 21 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 17 karya-karya tradisionalis lain seperti Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Marco Pallis dan Martin Lings. Tokoh-tokoh tersebut akhirnya mempunyai pengaruh luar biasa terhadap pemikiran dan kehidupan intelektual Nasr, khususnya metafisika dan filsafat perennialisme Schuon.22 Setelah lulus dari Massacusetts Institute of Technology (MIT), Nasr melanjutkan program magisternya di Universitas Harvard dengan konsentrasi di bidang geologi dan geofisika. Setelah memperoleh gelar kesarjanaan pada tahun 1956, ia melanjutkan program doktornya di universitas yang sama di bidang sejarah ilmu pengetahuan. Di Harvard, Nasr memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1958 di bawah bimbingan tiga profesor; Bernard Cohen, Hamilton Gibb dan Harry Wolfson dengan disertasi tentang kosmologi Islam.23 Selama di Harvard, Nasr juga pernah berkunjung ke Eropa, terutama ke Prancis, Switzerland, Inggris, Italia dan Spanyol. Perjalanan tersebut membuahkan hasil yang tidak sia-sia terutama di wilayah pengembangan intelektual dan spiritualnya. Selama di Eropa, Nasr bertemu dengan tokoh-tokoh tradisionalis dan para penulis filsafat perennial terkemuka seperti Frithjof Schuon dan Titus Burckhardt. Tokoh-tokoh tersebut memberi kontribusi yang sangat luar biasa dalam menentukan kehidupan hidup rohani dan intelektual Nasr. Pertemuannya dengan tokoh sufi Shaykh Ahmad al-Alawi ketika Nasr menempuh 22 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 23 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 18 perjalanan ke Maroko juga mempunyai pengaruh penting terhadap alur spiritual Nasr.24 Shaykh Ahmad al-Alawi oleh ahli dan pengamat tasawuf dimasukkan ke golongan wali sufi abad ke-20. Karena, ia menjadi pendiri tarekat Alawi dari Mostaganem, satu diantara beberapa tempat di Aljazair yang menjadi kota tempat tinggal orang Eropa dan orang Arab.25 Shaykh Ahmad al-Alawi yang memeliki murid ribuan ini, menyampaikan ajaran tasawuf atau tarekatnya seperti kesatuan wujud, makrifat, penyucian ritual dan perlunya guru spiritual.26 Pada tahun ke-25 kelahirannya, Nasr memperoleh gelar Ph.D. dengan karya pertamanya Science and Sivilization in Islam. Buku tersebut mempakan sebuah kawa awal yang ia tulis setelah menyelesaikan disertasinya Introduction to Islamic Cosmological Doctrines yang diterbitkan oleh Universitas Harvard pada tahun 1964. Sepulangnya dari Harvard, Nasr pemah diminta untuk menjadi asisten profesor di Massacusetts Institute of Technolou (MIT), namun ia memutuskan untuk kembali ke Iran.27 Setelah mengenyam pendidikan tingginya di Barat dan kembali ke Iran, karier intelektualnya diawali sebagai tenaga pengajar tahun 1958 di Universitas Teheran. Pada usianya yang ke-30, Nasr menjadi orang temuda 24 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 25 M. Shoelhi, “Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol”, (Republika: 2003), h. 154 26 M. Shoelhi, “Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol”, h. 154 27 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 19 yang menyandang gelar profesor penuh di universitas tersebut. Sesuatu yang baru ditawarkan oleh Nasr pada lembaga ini yakni bahwa ia menganggap pentingnya pengajaran filsafat Islam yang berbasis sejarah dan perspektif Islam.28 Pada tahun 1972-1975, Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr, yaitu universitas sains dan teknik terkenal di Iran. Syah Reza Pahlevi, penguasa Iran saat itu, menginginkan agar Nasr mengembangkan Universitas Aryamehr dengan model perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi mempunyai dengan landasan filsafat ilmu Islam untuk pertama kalinya di dunia Islam bahkan di dunia pada umumnya.29 Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu hikmah di bawah master-master otoritatif di Iran. Di antara guru-guru terhormat tersebut adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yang mempunyai otoritas dalam bidang hukum Islam dan filsafat, yang merupakan sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai dan Sayyid Abul-Hasan Qazwini; seorang ahli hukum Islam yang juga menguasai matematika, astronomi, dan filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr telah mendapatkan pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur Tradisional.30 28 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 29 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 30 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 20 Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah dunia luar baik kawasan muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direktur Cultural Institute, di mana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di Beirut ia mendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika di Beirut (1964-1965). Ia merupakan orang muslim pertama yang menduduki jabatan tersebut. Posisi terhormat ini mengantarkannya menjadi juru bicara Islam dan memberikan alat kepada dunia Islam untuk menjawab klaim dari berbagai pemikiran modern seperti materialisme, eksistensialisme, historisisme, saintisme, dan lain-lain. Di posisi ini, Nasr bertugas mengadakan dialog dengan agama lain, temtama Kristen.31 Tahun 1980 ia aktif menulis dan berdiskusi dalam forum bergengsi Gifford Lectures yang diikuti oleh para ilmuwan terkemuka Barat di Universitas Edinburgh. Nasr adalah orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan berharga tersebut. Karyanya Knowledge and the Sacred adalah judul yang telah dipresentasikannya di forum Gifford Lectures tersebut. Nasr mengungkapkan bahwa Knowledge and the Sacred mempakan hadiah dari langit karena penulisannya dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan.32 31 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 32 Seyyed Hossein Nasr, “Biography” www_nasrfoundation_org, diakses tanggal 11 Maret 2017. 21 B. Karya-karya Sayyed Hossein Nasr Kombinasi latar belakang kultural dan intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi khusus dalam berbicara dan berkarya. la juga mempunyai otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan Timur dan Barat, tradisi dan modemisasi, serta perkembangan tasawuf, seni, dan budaya.33 Di antara para sarjana yang mendapat pendidikan tradisional dan modern sekaligus, Nasr adalah tokoh yang termasuk paling produktif menulis. Dalam meniti karirnya, Nasr telah banyak melahirkan karya-karya ilmiah dan bukunya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Sumbangan Nasr sangat banyak, akan tetapi yang paling menonjol adalah bahwa ia sangat antusias memperkenalkan filsafat Islam tradisional pada dunia Islam ketika filsafat rasionalisme Barat telah menjadi tantangan bagi filsafat Islam tradisional.34 Karya Nasr dalam bidang tasawuf menjadi penting untuk menunjukan konsennya dalam bidang tasawuf menjadi bagian yang pentinng dari pemikirannya tersebut. Seperti didalam buku Living Sufism, Nasr mengemukakan banyak fakta mengenai kecenderungan masyarakat Barat yang sedang mengalami disintegrasi dengan dunianya dan pengkultusan duniawi yang menghasilkan kedamaian semu. Menghadapi 33 Azyumardi Azra Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h 193. 34 Mehdi Aminrazafi, “Filsafat Islam di Dunia Islam Modern; Persia” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, Jilid II (Bandung: Mizan, 2003), h. 1381. 22 kondisi tersebut, Nasr menunjukkan spiritualitas Islam berupa tasawuf. Di sini ia mengemukakan beberapa peranan positif tasawuf dalam sejarah Islam mulai dari pemerintahan hingga seni. Dengan mengikuti tasawuf, menurut Nasr, orang dapat mematikan nafsu individual yang menjadi akar segala krisis seperti yang terjadi di Barat.35 Hingga dalam persoalan hubungan antara Estetika dan Spiritualitas yang dapat dalam karyanya, Islamic Art and Spirituality adalah karya yang ditulis berdasarkan keprihatinan Seyyed Hossein Nasr tentang kurang dikenalnya seni Islam dalam diskursus estetika oriental di Barat.36 Dalam karya ini, Nasr mencoba melihat aspek-aspek khusus seni Islam dari sudut pandang spiritualitas Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip wahyu Islam. Karya ini merupakan sebuah studi kasus mengenai sisi-sisi terpenting dalam seni Islam meliputi sastra, musik, dan seni visual.37 Three Muslim Sages; Avicena - Suhrawardi - Ibnu Arabi merupakan karya lainnya yang menggambarkan eksposisi Nasr tentang filsafat Islam yang meliputi tiga aliran penting: peripatetik yang diwakili Ibn Sina, illuminasi diwakili oleh Suhrawardi dan irfan oleh Ibn „Arabi.38 Di samping itu, ia juga memiliki beberapa karya lainnya yang tidak cukup diulas semua dalam kapasitas bab ini. Untuk lebih memfokuskan kajian terhadap 35 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj_ Abdul Hadi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 1-16. 36 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 13. 37 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 9 38 Seyyed Hossein Nasr, Tiga Pemikir Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibn Arabi, terj. Ahmad Mujahid (Bandung: Risalah, 1986). 23 pemikiran Seyyed Hossein Nasr, penulis berpendapat bahwa ulasan beberapa karya di atas telah cukup mewakili beberapa tema kajian yang ditulis dan digeluti olehnya. Pandangan Nasr mengenai musik juga dapat di lihat dari karya yang berjudul The Garden Of Truth, yang menjelaskan bahwa harmoni merupakan hasil manifestasi yang Esa. Salah satu manifestasi dari harmoni adalah musik yang bersifat universal. Dan menjelaskan mengenai tasawuf yang meneruh perhatian khusus terhadap musik.39 C. Latar Belakang Pemikiran Sayyed Hossein Nasr Sayyed Hossein Nasr sangat tertarik dengan tokoh-tokoh jenius Islam yang kental warna tasawuf dan filsafatnya. Pemikiran Sayyed Hossein Nasr berakar pada gagasan yang bercorak mistiko-filosofis. Ini tampak jelas dalam uraian yang tersebar dalam beberapa bukunya. Antara lain, konsepnya tentang wahdat al-wujud diambil dari Ibn Arabi, sedangkan neosufisme dari Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim, mesikipun kedua tokoh tersebut tidak pernah disebut dalam karya-karyanya.40 Neo-sufisme dapat dilacak pada al-Ghazali, seorang tokoh besar yang mempelopori rujuknya praktek sufisme dan syari‟ah.41 39 Sayyed Hossein Nasr, The Garden Of Truth, terj. Yulian Liputo, (Bandung: Mizan) h. 6 Kedua tokoh tersebut meski terkenal sebagai pengkritik tajam tasawuf, namun sebenarnya yang ia kritik adalah ritus-ritus sufi dan praktek-praktek pemujaan makam serta pengkultusan wali-wali mereka. Di balik itu, sebenarnya mereka mengakui validitas metode eksperimental sufi. Lihat Fazlur Rahman, Islam terj. Ahsin Mohamad (Bandung:pustaka, 1994), hlm. 181. 41 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah, h. 6 dan 92. 40 24 Kritik yang dilakukan Nasr didasarkan atas prinsip-prinsip metafisis dan religius.42 Meski kritiknya kadang-kadang agak radikal, ia berprinsip kita tidak bisa menerima atau menolak sesatu yang tidak diketahui, juga tidak boleh membuang sesuatu yang tidak dimiliki (jika hal itu sebuah kebenaran).43 Gagasan Sayyed Hossein Nasr terlihat seperti adanya dua arus pemikiran yang saling berlawanan, yakni paham metafisika Barat dan Islam. Nasr yang dididik dalam dua taradisi, Timur dan Barat, awalnya mengalami “ketegangan iseologi” kemudian mengambil sikap sebgai pengkritik Barat. Pilihannya tersebut sudah tumbuh ketika studi di Harvard, sehingga pandangan-pandangannya sudah terbentuk lama dan matang. Sikap kritisnya itu di warisi oleh filosof Prancis Rene Guneon44 (18861951) yang menulis beberapa buku tentang situasi dunia modern dewasa ini. Pandangan Nasr tentang konsep kosmoliogi terlihat jelas dalam karyanya yaitu An Introdution to Islamic Cosmological Doctrines (1964).45 Buku ini menjelaskan mengenai kosmologi tradisionalis yang memaparkan soal metafisis dari pemikir klasik sperti Ikhwan al-Shafa‟, Ibn Sina dan al-Biruni. Pada tahun yang sama juga Nasr mempiblikasikan karya 42 Sayyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa, h. 214 Sayyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa, h. 238-239 44 Setelah masuk Islam ia berganti nama Syeikh Abdul-Wahid Yahya. Sayyed Hossein Nasr, “Knowledge and the Secred” dalam The Islamic Quartely Vol. XXVI, No. 2 (1982), h. 139 45 Buku ini merupakan Desertasi Doktoralnya yang dipertahankan pada tahun 1985 di Harvard University. Kemudian mulai dipublikasikan pada tahun 1964. Lihat Seyyed Hossein Nasr, An Introdution to Islamic Cosmological Doctrines (Cambridge: Harvard University Press, 1964) 43 25 berikutnya berjudul Three Muslim Sages (1964) yang memaparkan pemikiran tiga tokoh muslim klasik, yaitu Ibnu Sina dengan filsafat Paripatetiknya (masysyaiyyah), Suhrawardi dengan filsafat Illuminasionisme (isyraqiyyah), dan Ibn „Arabi dengan pemikiran „Irfaniyahnya (ma‟rifah).46 Seyyed Hossein Nasr menjadi pembicara yang aktif baik kepada dunia Timur ataupun dunia Barat. Kepada dunia Barat ia menawarkan Islam sedangkan kepada dunia Timur dia memberitahukan bahwa Barat tengah mengalami kebangkrutan spiritual di berbagai aspek.47 Nasr menghadirkan tasawuf sebagai solusi krisis modernitas serta sanggahan atas kecenderungan spiritualitas yang dinilainya menyimpang, sekaligus jawaban bagi kaum modernis muslim yang anti dengan segala hal yang berbau mistis dan metafisika. Pandangannya mengenai seni, Nasr melihat sebagai bentuk-bentuk realitas spiritual (al-haqa‟iq). Oleh karena itu seni memiliki dimensi spiritual. Seni memiliki nilai yang suci, hal tersebut terlihat dari seni dan ibadah memiliki kemiripan yang otentik yaitu sama dalam kontemplasi. Ibadah kontemplasi tentang Allah sedangkan seni itu kontemplasi yang melahirkan seni.48 46 Maksum Ali, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Seyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 47 47 Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, (Jakarta:Paramadina, 1998), h. 265 48 Ach. Maimun, Seyyed Hossein Nasr “Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif”, (Yogyakarta:IRCiSoD, 2015), h. 92 26 Gagasan spiritualitas seni yang disajikan oleh Nasr dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari proses kelahiran dan fungsinya. Seni Islam merupakan buah dari spiritualitas Islam dan lahir dari pengembaraan spiritual, sehingga bisa menangkap cahaya Yang Maha Indah (al-Jamal). Akan teteapi, penangkapan cahaya tersebut juga tidak lepas dari peran al-Qur‟an dan berkah Nabi Muhammad SAW. Sangatlah jelas latarbelakang pemikaran Seyyed Hossein Nasr di atas, seperti terdapat dalam karya-karyanya. Terlebih dalam pemikirannya, yaitu seni Islam dan spiritualitas, Nasr memberi sumbangan besar ditengah langkanya kajian tentang seni Islam.49 Pemikarannya itu meliputi banyak genre, seperti sastra, musik, tata ruang dan arsitektur. 49 Ach. Maimun, Seyyed Hossein Nasr “Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif”, h. 93 27 BAB III MUSIK DAN SUFI A. Pengertian Musik dan Sejarah Perkembangan Musik dalam Dunia Islam Untuk memperjelas pandangan Nasr mengenai musik sufistik, penulis memandang perlu menjelaskan pengertian musik dan sejarah perkembangan musik dalam dunia Islam, hal ini penting sebagai landasan menganalisa musik sufistik tersebut. Sejarah atau asal muasal musik terdapat perbedaan pendapat ahli musik dalam menjelaskannya termasuk dalam mendefinisikan musik, namun secara garis besarnya dapat dikelompokan dalam dua mazhab pemikiran. Pertama, Mazhab Revalationisme yang mempercai bahwa musik berasal dan bersumber dari alam metafisika melalui tersibaknya tabir (draw back the viel) atau pewahyuan. Teori ini berpangkal dari pemikiran Ikhwan alShafa yang merupakan perpanjangan dari Phytagoras, menurutnya musik merupakan bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Oleh Tuhan, jagat raya ini diciptakan dan disusun dengan komposisi termulia. Juga seluruh gerakan memiliki komposisi yang termulia. Gerakan-gerakan itu menimbulkan suara yang indah (nyanyian), yang harmonis, terpadu silih berganti, dan enak didengar. 50 50 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad AlGazāli, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 23. 27 28 Musik yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya tersebut berfungsi membahagiakan jiwa ahli langit yaitu, para malaikat, dan jiwa-jiwa yang bercahaya (al-nafs al-basithah)51,Yaitu jiwa-jiwa yang substansinya lebih mulia daripada substansi alam jagat raya. Pada alam ini roh-roh itu hidup memperoleh kebahagiaan serta kenikmatan. Hal itu karena penghuni langit mempunyai kemampuan mendengar, melihat, berpikir, dan membaca tassbih, baik di waktu siang maupun malam tanpa letih. Selanjutnya Ikhwân al-Shafâ juga berpendapat bahwa alat yang paling utama untuk membersihkan jiwa (ruh) agar mencapai kebahagiaan musik. Termasuk suara-suara merupakan aksiden („aradh) yang bertempat pada substansi melalui gerakan rauang angkasa yang menggerakan planet-planet dan bintang-bintang itu memiliki nada (ritme), serta menghasilkan musik yang mengagungkan dan memuliakan Tuhan.52 Dari pendapat diatas dapat diketahui musik merupakan jalan yang dapat mengantarkan pendengarnya ke tingkatan spiritualitas yang paling tinggi. Melalui kebersihan jiwa dan ketajaman pikirannya Phythagoras dalam suatu riwayat mengatakan, bahwa Phythagoras telah mampu mendengarkan musik samawi dan dari sinilah, ia disebut sebagai orang yang pertama kali membicarakan musik secara filosofis di dunia ini.53 Mazahab kedua adalah naturalism, menurut aliran ini manusia melalui fitrahnya dapat menciptakan musik. Aliran ini beranggapan bahwa 51 Merupakan tingkatan ketiga dalam konsep emanasi menurut Ikhwan al-Shafa. lihat dalam Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad AlGazāli, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), h. 23 52 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 24 53 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 24 29 kemampuan manusia untuk menciptakan musik merupakan fitrah, sebagaimana kemampuan untuk melihat, mencium, mendengar, dan berjalan. Pendapat ini dapat kita lihat misalnya, pada pemikiran al-Farabi. Menurutnya musik itu muncul dari tabiat manusia dalam menangkap suara yang indah yang ada di sekelilingnya (musik).54 Dalam muqaddimah tentang al-samâ‟, Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa hati dan sir merupakan gudang berbagai cahaya spiritual (asrar) dan tambang permata. Keduanya terletak di antara hati dan sir, sebagaimana api terletak di antara besi dan batu, air tersimpan di antara tanah dan tanah liat. Alat untuk mengeluarkan permata dan sir itu adalah mendengarkan suara yang indah (al-samâ). Hal itu karena lagu yang indah akan mengeluarkan apa yang tersimpan di dalamnya.55 Senada dengan al-Ghazali, Abu Sulaiman al-Darani, seorang sufi yang hidup beberapa abad sebelum Muhammad al-Ghazali, mengatakan bahwa suara yang indah (musik) tidak akan memasukkan sesuatu ke dalam hati, tetapi ia mengobarkan apa yang ada di dalamnya.56 Pengertian musik dalam Kamus Ilmiah Populer dapat dikatakan sebagai panduan bunyi dari beberapa alat atau instrumen musik yang bernada secara teratur dan berkesusaian atau seni susun padu nada.57 54 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 26 Gazāli, Imam, Mutiara Ihya‟ „Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2002), h. 292 56 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 33 57 M. Dahlan Yakub Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Aloka, 1994) h. 501 55 30 Secara etimologis, kata musik berasal dari bahasa Yunani mousike yang memiliki beberapa arti yaitu:58 a. Seni dan ilmu pengetahuan yang membahas cara meramu vokal atau suara alat-alat musik dalam berbagai lagu, yang dapat menyentuh perasaan. b. Susunan dari suara atau nada. c. Pergantian ritme dari suara yang indah, seperti suara burung dan air. d. Kemampuan untuk merespon atau menikmat musik. Dalam bahasa Yunani, musik bukanlah sekedar seni, tetapi memiliki cakupan yang sangat luas, seperti pendidikan, ilmu, tingkahlaku yang baik, bahkan dipercayai sebagai suatu yang memiliki dimensi ritual, magis, dan etik.59 Seni musik merupakan bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Disamping itu, seni musik membahas cara membuat not dan bermacam aliran musik, misalnya musik vokal dan musik instrumental.60 Pengertian musik dari beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa musik merupakan bentuk induksi bunyi yang teratur terdiri dari susunan nada-nada indah, baik itu musik vokal (tanpa iringan instrumen musik), maupun musik instrumental (instrumen musik saja), dan bagi pendengarnya dapat menyentuh perasaan (dzauq). Ada sebagian orang 58 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 17 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.17 60 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h.17 59 31 beranggapan bahwa musik tidak berwujud sama sekali, artinya tidak dapat didefinisikan. Secara historis, ide-ide yang berkaitan dengan fungsi dan pengaruh musik dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran Yunani. Bangsa Yunani memperoleh ide-ide ini dari bangsa Semit kuno, Babilonia-Assyiria. Kitab al-Siyasah, sebuah buku yang dikenal sebagai hasil dari pseudo Aristotetelian, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria oleh Yuhanna ibn Batriq (w.200/815), sangat mempengaruhi pemikiran bangsa Arab.61 Dalam sejarah bangsa Arab, pada umumnya, orang Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zaman jahilliyah. Di Hijaz kita dapati orang menggunakan musik yang mereka namakan dengan iqa (irama yang berasal dari semacam gendang). Mereka menggunakan berbagai alat musik, antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain. Setelah bangsa Arab masuk islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasulullah, ketika Hijaz menjadi pusat politik, pekembangan musik tidak menjadi berkurang.62 „Abd al-Hay al-Kattani mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasulullah. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup kalangan wanita saja pada perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah dan 61 Sukatmi Susantina, Nada-nada Radikal :Perbincangan Para Filsuf Tentang Musik, h. 7 Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vokal, Musik dan Tari (Jakarta : Geman Insani Press, 1995), h. 15. 62 32 Arnab. Sedangkang kaum lelaki pada masa Rasulullah SAW dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawari) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir ibn Sa‟d (seorang tabi‟in) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata:63 “Saya masuk kerumah Qurazah ibn Ka‟ab dan Abu Mas‟ud alAnshari. Ketika itu sedang berlangsung pesta pernikahan, tiba-tiba ada beberapa budak perempuan mulai bernyanyi. Maka saya bertanya, “Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah SAW dan pejuang di perang badar, kenapa hal ini kalian lakukan?” Qurazah menjawab: “Duduklah, kalau engkau mau, mari kita dengar bersama-sama, kalau tidak, silahkan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan.” (HR. Al-Nasai) Kehidupan masyarakat Islam pada masa awal ditandai oleh dua karakteristik, yaitu kesederhanaan, dan berbuat banyak untuk berjuang di jalan Allah (jihâd fî sabîlillah). Pada masa ini mereka lebih tertarik oleh seruan berjihad daripada bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik) apalagi menikmatinya. Ini membuktikan pada masa Rasulullah bukan tanah yang subur untuk kesenian (seni musik). Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum muslimin berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian, sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.64 63 64 Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 17 Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 19 33 Umat Islam yang fleksibel, menerima musik-musik khas Persia, Arab, Syria, dan Turki di berbagai kota dan pusat kekhalifahan. Supaya musikmusik tersebut dapat beradaptasi dengan daerah tertentu, di butuhkan metode pemaduan dan peramuan. Orang Arab yang berhasil menemukan metode ini adalah Ibn Misjah (w. 715 M). Metode Ibn Misjah tersebut diperoleh setelah ia mengadakan perjalanan ke Syria dan Persia untuk belajar musik dari para ahli dan praktisi musik.65 Pada abad 9 M, para cendikiawan Islam mulai tertarik pada ilmu tentang musik. Di Bayt al-Hikmah, Baghdad, tulisan-tulisan Yunani yang berkaitan dengan musik diterjemahkan kedalam bahasa Arab, termasuk tulisan Nichomachus, Aristoteles, dan lain-lainya.66 Mereka mengarang kitab-kitab musik dan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat musik, maupun sistem dan tekhnisnya. Di antaranya pengarang teori musik Islam yang terkenal adalah, Yunus ibn Sulayaman al- Khatib (w.785 M) yang menjadi rujukan para pengarang teori musik Eropa, Khalid ibn Ahmad (w. 791 M) pengarang buku teori musik mengenai not dan irama, Ishaq ibn Ibrahim al-Mausuli (w. 850 M) yang berhasil memperbaiki musik Arab Jâhiliyah dengan sistem baru. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-alhân wa al-Anghâm (Buku Not dan Irama), beliau mendapat julukan Imâm al-Mughânniyah (Raja Penyanyi),67 Ibn 65 Muhya, Bersufi Melalui Musik , h. 7. Muhya, Bersufi Melalui Musik , h. 7. 67 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 19-20 66 34 Munajjim (w. 913 M) dengan bukunya Risâlah fî al-Musîqa, Abû Bakr alṞazî (w. 925 M) pengarang Kitab fî Jumal al-Musîqa.68 Al-Kindi (w. 260/873M) seorang filosof Islam yang pertama, telah menaruh perhatian dalam bidang musik secara serius. Ia tidak hanya menggunakan musik sebagai alat hiburan, tetapi ia juga menggunakannya sebagai obat terapi menyembuhkan penyakit jiwa dan raga. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di alam raya selalu berkaitan dan setiap nada pada sebuah alat musik yang bersenar berkaitan dengan cara menyanyikan, ritme dan perasaan. Semua ini pada gilirannya berhubungan dengan planet-planet, musim, hawa, humor, warna, dan parfum.69 Pada akhir masa Daulah Umayyah, para khalifah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‟id „Abd al-Mu‟min (w.1294 M).70 Salah satu sebab mengapa pada masa Daulah „Abbasiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara ataupun di rumah hartawan untuk 68 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 8. Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 8. 70 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 20 69 35 mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik.71 Bahkan di Shevilla (Andalusia) telah didirikan pabrik alat-alat musik, alat-alat yang dikeluarkan oleh pabrik ini ialah Mizbar (kecapi klasik), „Ud qadim (kecapi lama), Ud kamil (kecapi lengkap), syahrud (kecapi lengkung), Murabba‟ (semacam gitar), qitara (gitar), dan kamanja (semacam rebana).72 Musik juga merupakan kesenian yang memiliki pengaruh luar biasa dalam perkembangan kehidupan manusia. Untuk itu dalam tasawuf para sufi menggunakan musik sebagai salah satu kreatifitas seni masyarakat yang setiap kaum di dunia ini mengenalnya untuk menyucikan jiwa. Bahkan alGhazali menyebut orang yang tidak normal, kurang akal dan jauh dari rohani kepada orang yang hatinya tidak tergerak oleh keindahan musik yang dikembangkan oleh para sufi (al-samâ‟).73 Tokoh spiritual Islam masa lalu menggunakan musik untuk memunculkan keseimbangan dalam hidup setelah aktifitas keseharian mereka. Bagi para sufi kesenian ini adalah kesenian paling suci, dengan media musik mereka bermeditasi, dengan memainkan musik tertentu yang memberikan efek tertentu bagi perkembangan individu. Penyair besar persia yang bernama Jalâl al-Ḏin Rûmi, biasa menggunakan musik untuk 71 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 20 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya Manusia (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998), h. 170 73 Al-Ghazali, Mutiara Ihya‟ „Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2002) h. 172 72 36 meditasinya. Dengan media musik dia menenangkan diri dan mengendalikan aktifitas tubuh dan pikiran.74 Secara historis musik dalam Islam masih sangat hangat untuk diperbincangkan, meskipun terdapat pro dan kontra dengan setatus musik di dalam Islam. Akan tetapi sebagian besar ulama atau tokoh besar Islam sendiri tidak ingin melepaskan musik dari kehidupannya, sebagai mana penjelasan singkat di atas, bahwa mereka sebagian menanggapi musik sebagai sesuatu kesenian yang memiliki daya tarik tersendiri secara esoterik maupun spiritualnya. B. Unsur-unsur Musik Unsur dasar struktur musik terdapat dua kategori, yaitu: Ujud dan motif. Ujud adalah suatu bunyi terkecil dalam sebuah komposisi musik yang belum mengandung pengertian musikal yang terdiri dari satu, dua atau tiga nada. Sedangkan motif adalah satuan terkecil dalam sebuah komposisi musik yang mengandung pengertian musikal, meliputi bunyi-bunyian yang keluar, dan dapat diketahui atau ditangkap nilai musiknya.75 Secara garis besar musik dapat dicapai dengan menggabungkan kedua unsur tersebut “Ujud dan Motif” ke dalam satu kesatuan, namun hal tersebut terdapat persyaratan untuk dapat menghasilkan motif yang bagus, yaitu: 74 Hazrat Inayat Khan, Dimensi Musik dan Bunyi, terj. Muhammad Faur „Abd al-Baqi dari Buku The mysticism of Sound and music, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), h. 67 75 I. Budilinggono, Bentuk dan Analisis Musik, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), h. 2 37 1. Minimal terdiri dari dua nada. 2. Memiliki ritme yang jelas. 3. Memiliki loncatan yang jelas. 4. Memiliki gambaran ide yang jelas.76 Motif-motif tersebut mengandung penjelasan. Pertama, apabila musik terdiri dari satu nada maka hanya akan memperbolehkan musik yang terdiri dari satu suara saja. Dengan itu satuan terkecil dari unsur musik ialah dengan memiliki dua nada. Ke dua, penjelasannya adalah ada satu aturan tertentu dalam musik agar terdapat lantunan yang harmonis. Dengan adanya ritme yang teratur, sehingga enak dan merdu didengar. Ke tiga, musik terdiri dari interval ataupun frase-frase tertentu, sebagai keseimbngan dari ritme yang telah dibuat. Keempat, atau yang terakhir, bahwa dalam setiap penuangan hasil karya, harus ada gambaran yang jelas sehingga orang lain dapat menangkap dan merasakan nilai keindahan. Ikhwân al-Shafâ berpendapat mengenai unsur musik bahwa, musik adalah suara yang mengandung lagu (lahn), nada (naghm), cengkok (iqâ‟at). Lain hal dengan Ikhwân al-Shafâ, al-Fârabi menjelaskan bahwa musik adalah lagu (al-alhân), yaitu kumpulan ritme yang disusun dengan urutan 76 I. Budilinggono, Bentuk dan Analisis Musik, h. 2 38 dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, lagu dan ritme menjadi sumber utama bagi musik.77 Secara ontologis, musik merupakan perpaduan antara unsur material dan immaterial yang tersusun dari elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Karenanya musik memiliki kekuatan untuk menspiritualkan hal yang materi. Unsur immaterial itu menjadi esensi musik, yaitu jiwa pendengar.78 C. Kriteria dan Fungsi Musik Bagi Sufi Dalam pembahasan ini penulis mendeskripsikan dari beberapa Tarekat dalam tradisi tasawuf yang menggunakan musik sebagai media dalam ajarannya atau sebagai sarana ekstase, sehingga dapat merasakan kehadiran Tuhan. Hal ini dimaksudakan agar dapat melihat kriteria musik sufi sekaligus fungsi musik bagi sufi melalui alat musik yang digunakannya. Juga tidak lupa melihat dari alat-alat musik warisan peradaban Islam yang justru banyak masyarakat muslim saat ini tidak tahu akan hal tersebut. Salah satu Tarekat yang terkenal menggunkan musik sebagai media dalam ajarannya adalah Tarekat Maulawiyah yang didirikan Maulawi Jalâl al-Ḏin Rûmi yang meninggal di Anatolia, Turki. Dzikirnya disertai musik 77 78 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 28. Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. xi 39 dan tarian mistik dengan cara keadaan tidak sadar, agar dapat bersatu dengan Tuhan.79 Dalam praktek as-samā„, Rumi sangat terlibat secara teratur, di mana banyak dari sya‟ir-sya‟ir Rumi dinyanyikan dengan iringan alat musik tambur, rebab dan seruling bambu. Ritual ini menjadi perhatian orang Barat, terutama adalah karena adanya tarian sufi dengan cara memutar-mutarkan tubuh, sehingga para penari itu diberi nama Darwis yang berputar-putar (Wherling Darvishes). Pada abad 20 M, lagu-lagu Maulawi yang paling terkenal digubah dan mulai ditampilkan ke berbagai panggung konser. Seperti qawwâli, lagu-lagu Mawlawi ini menunjukkan adanya teka-teki mengenai hubungan antara musik dan spiritualitas. Hal ini tampak sekali pada konser keliling yang dilakukan pada tahun 1994, di mana dalam konser tersebut terdapat pertentangan yang signifikan antara pertunjukan yang simbolik dengan ritual mistis.80 Kemudian Tarekat Chistiyah yang didirikan oleh Abu Ishaq Shami. Ajarannya terdiri dari berbagai macam cara pendekatan terhadap Tuhan. Diantaranya adalah; Pertama, adalah pelayan terhadap manusia. Kedua, adalah pelayan terhadap Tuhan, dan Ketiga, adalah meditasi dalam hati. Selain itu juga membagi jalan ma‟rifat menjadi beberapa bagian, salah satunya mengungkapkan tentang pengetahuan musik. Komunitas Chisytiyah ini, berawal di Chist, yang menggunakan musik dalam latihan-latihan 79 Jaiz, Ahmad, Hartono. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, (Solo: Wacana Ilmiah Press. 2006), h. 24 80 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar, h. 246-249 40 mereka. Kaum darwis pengelana dari tarekat ini, dikenal sebagai Chist atau Chisht. Mereka akan memasuki kota dan meramaikan suasana seruling dan genderang, untuk mengumpulkan orang-orang sebelum menceritakan dongeng atau legenda.81 Tarekat Chistiyyah ini juga bisa dikatakan sebagai tarekat terbesar yang berhasil memeprtahankan musik sufi, karena musik sufi mereka (qawwâli) melalui perjalanan sejarah selama berabad-abad akhirnya dapat menembus industri rekaman pada abad 20 M. Di India dan Pakistan, qawwâli memiliki pasaran yang luar biasa bahkan orang Hindu juga tertarik untuk menikmati musik ini sebagai sajian yang artistik (memenuhi kriteria hukum estetika atau keindahan). Nusrat Fateh Ali Khan, seorang artis qawwâli, merekam lagunya di eropa, bahkan beberapa lagunya diproduksi di empat negara. Namun qawwâli yang ia bawakan ini mengalami perubahan besar, karena Nusrat Fateh Ali Khan sedikit demi sedikit merubah musik sufi yang semula memiliki tradisi mementingkan lirik, kini menjadi sajian musik yang hanya berisi keterangan-keterangan minimalis. Selain itu Nusrat Fateh juga berkolaborasi dengan Eddie Vedder, seorang personil dari Pearl Jum (band alternatif asal Amerika) dalam pembuatan soundtrack film Death Man Walking. Didalam proyek ini, dia hanya tampil sebagai pengisi suara saja, dan bukan membawakan lagu-lagu mistis Chistiyyah. Kemudian Nusrat Fateh juga pernah menyajikan lagu qawwâli yang bertema memuja seorang 81 Yang ditulis oleh komunitas chistiyah dan menamakan komunitas tersebut “The Chistiyya Group” dan di unduh dari www.chishti.ru/order_of_sufis.htm. Pada tanggal, 13 Maret 2017 41 wali dari Pakistan dan diirinngi oleh kelompok musik Trip Hop dari Inggris; Massive Attack pada tahun 1990 yang kemudian menjadi tarian yang cukup tenar di dunia Internasional, meski saat itu audiens Barat tidak memahami makna sya‟ir dari lagu itu. Ketika Nusrat Fateh diwawancarai berkaitan dengan hal ini ia menyatakan : “Karena musik tidak mengenal bahasa, maka dengan sendirinya bersifat Internasional” Dengan demikian, jelaslah bahwa qawwâli yang bertahan hingga sekarang ini menyebabkan terjadinya redenivisi radikal terhadap musik sufi; Musik sufi tidak hanya digunakan oleh para audiens yang elit dalam bidang spiritual, melainkan telah menjadi musik yang mampu menembus dunia industri dan dapat digemari oleh publik internasional.82 Seyyed Hossein Nasr, memandang kriteria musik sufi dapat dilihat dari unsur material dan immaterial, dan didalam immaterial tersbut mengandung rahasia Tuhan dan manusia melalui tabir melodi yang berbentuk material. Nasr juga mencontohkan Tarekat yang masuk dalam kriteria musik sufistik seperti dua Tarekat yang dijelaskan di atas yaitu, Tarekat Maulawiyah dan Chistiyyah.83 Islam sendiri memliki beberapa warisan akan alat-alat musik yang bisa dikatakan amat berjasa terhadap masyarakat musik modern. Alat-alat musik tersebut di antaranya sebagai berikut : 82 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, terj. Arif Anwar, (Yogyakarta: Pustakasufi, 2003), h. 243-247 83 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 183 42 1. Alboque atau Alboka.(semacam Terompet). 2. Oud (gitar atau kecapi). 3. Hudry Gurdy atau organ hidrolik atau instrumen Keyboard Gesek. 4. Timpani, Naker dan Naqareh alat musik timpani (tambur atau genderang). 5. Rebab (rebec) atau biola. Alboque atau alboka merupakan alat musik tiup terbuat dari kayu berkembang di era keemasan Islam. Alboka berasal dari bahasa Arab, „albuq‟ yang berarti terompet. Inilah cikal bakal klarinet dan trompet modren. Lalu gitar, kecapi, dan oud adalah guitarra morisca (gitar orang Moor) yang bagian belakangnya bundar, papan jarinya lebar dan memiliki beberapa lubang suara. Hurdy Gurdy atau organ hidrolik merupakan instrumen musik yang dapat dibilang sebagai nenek moyang alat musik piano, karena piano sendiri terinfikasi dari bunyi atau suara Hurdy Gurdy atau organ hidrolik.84 Terlihat bahwa warisan peninnggalan alat-alat musik dari Islam adalah alat musik yang rata-rata memiliki unsur musik berdawai. Artinya jenis musik yang digunakan oleh Islam termasuk dalam kriteria musik sufi (seperti instrumen musik yang digunakan dalam Tarekat Chistiyah dan Tarekat Maulawiyah) adalah jenis musik yang memiliki nada ataupun suara yang lembut dan merdu dalam dawaian irama atau ritme musik. Contoh 84 Di tulis oleh Muhammad Subarkah dan di unduh dari http://m.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/09/27/40334-instrumen-musikwarisan-peradaban-islam pada tanggal, 13 Maret 2017 43 salah satu musik sufi, yaitu karya Hazart Inayat Khan dalam albumnya yang berjudul “The Voice Of Inayat Khan” tahun 1909 M. Sebuah karya Hazart Inayat Khan menjadi contoh indikator jenis musik sufi, yaitu dengan menggunakan alat musik seperti rebab, oud, dan timpani. Dimana irama musik sufi terdengar seperti irama yang mandayu-dayu, dan intonasi suara yang dapat menenangkan hati, serta tempo musik yang tidak terlalu cepat seakan menuntun perjalanan spiritual yang sangat lembut. musik sufi sangat kental dengan irama yang menyerupai irama musik yang dapat menghipnotis pendengarnya dan larut dalam ruhaniyahnya.85 Perkembangan musik klasik yang ada dalam tradisi Islam menyampaikan etos tasawuf, seperti puisi-puisi yang memuji Nabi, dinyanyikan dan pelantunan lagu-lagu sufi pada umumnya di sebut nasyid. Dan diringi instrumen musik. Seperti di Persia dan Afganistan mereka mendengarkan ghazal yaitu puisi kasih sayang yang mempunyai pola irama ringan dan diiringi musik, dari Hafizh (orang yang hafal al- Qur‟an), dan dari penyair-penyair sufi lainnya. Disertai dengan matsnawikhani yang berarti menyanyikan Mastnawi dari Jalal al-Din Rumî yang diiringi musik.86 Masing-masing tradisi musik meskipun memiliki bahasa yang berbeda, seperti halnya puisi-puisi sufi dalam beragam bahasa orang-orang Islam di Dunia, tetapi semua berbicara tentang keterpisahan kita dari yang Maha 85 Seyyed Hossein Nasr, The Garden Of Truth, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan. 2010), h. 187 86 Seyyed Hossein Nasr, The Garden Of Truth, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan. 2010), h. 187 44 Kasih, dan memberikan aliran angin bagi sayap jiwa untuk terbang dan kembali keharibaan-Nya.87 Seperti di zaman ini jenis musik yang dipergunakan mirip dengan musik Inayat Khan adalah kelompok musik “Debu”, di mana instrumeninstrumen yang mereka mainkan merupakan instrumen musik yang hampir sama dengan yang digunakan Inayat Khan, diantaranya; Oud yang berbentuk gitar Arab, dan Timpani, rebab, dan lainnya. Sekiranya kita dapat melihat perbedaan terhadap jenis musik-musik yang ada pada zaman modern saat ini. Di mana Islam menaruh perhatiannya terhadap musik khususnya dalam instrumental musik itu sendiri. Salah satunya dalam ritme yang mana dimainkan oleh pemusik, pemusik yang tersebut memainkannya dengan petikan serta diiringi dengan lantunan vokal yang memiliki syair-syair pemujian terhadap Tuhan. Dalam pandangan al-Syazili seorang sufi (w. 822 H). Musik memiliki beberapa fungsi, antaralain; Pertama, dapat menyejukkan batin para sufi yang sedang mengarungi perjalanan spiritualitas yang penuh rintangan. Kedua, dapat menyejukkan roh-roh. Ketiga, dapat meringankan belenggu (perjalanan spiritual). Keempat, dapat menghilangkan kesedihan. Kelima, dapat mendatangkan kebahagiaan.88 87 88 Seyyed Hossein Nasr, The Garden Of Truth, terj. Yuliani Liputo, h. 187 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 32 45 Ahmad al-Gazāli dalam kitab Bawāriq al-„Ilma‟ Fi al-Radd „Ala Man Yuharrîm al-samâ„ Bi al-Ijma„ menjabarkan beberapa fungsi as-samā„ yang telah dimanfaatkan oleh para sufi dalam perjalanan spiritualnya. Fungsi assamā„ itu antara lain: a. Menghilangkan sampah batin sekaligus dapat melahirkan dampak penyaksian terhadap Allah dalam hati. b. Dapat menguatkan hati (al-qalb)dan cahaya rohani (sirr). c. Melepaskan seorang sufi dari urusan-urusan yang bersifat lahiriah dan membuat seorang sufi cenderung untuk menerima cahaya dan rahasia batin. d. Dapat membahagiakan hati dan roh.89 Namun selain fungsi yang bermanfaat bagi sufi itu, di sisi lain musik dapat menyebabkan keburukan bagi pendengarnya. Asy-Syibli (seorang sufi wafat tahun 334 H) memberi peringatan; “Mendengarkan musik secara lahiriah adalah godaan dan secara batiniah merupakan pelajaran. Siapa yang mengenal tanda-tanda mistis (isyârah) boleh mendengarkan pelajaran itu. Jika tidak dapat (dan ia mendengarkan), maka ia telah mengundang godaan dan membiarkan dirinya terkena bencana.90 89 90 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 95-96 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 33-34 46 Ikhwân al-Shafâ berpendapat bahwa musik memiliki fungsi antralain; dapat mengasah daya pikir, memperhalus sifat, menggerakan jiwa, menyenangkan, dan memberi semangat kepada hati. Lebih detail dalam muqaddimah tentang al-samâ‟, Muhammad al-Ghazalî menyatakan bahwa hati dan sir merupakan gudang berbagai cahaya spiritual (asrar) dan tambang permata. Keduanya terletak di antara hati dan sir, sebagaimana api terletak di antara besi dan batu, air tersimpan di antara tanah dan tanah liat. Alat untuk mengeluarkan permata dan cahaya itu adalah mendengarkan suara yang indah (al-samâ‟). Hal tersebut menunjukkan bahwa musik dapat memacu kebaikan dan pada sisi lain, musik pula memicu kejelekan. Semua itu tergantung kondisi mental pendengarnya. Syekh Syibli salah seorang sufi mengatakan, “mendengarkan musik (al-samâ‟) itu secara lahiriah adalah godaan dan secara batiniah merupakan pelajaran. Oleh karena itu dalam mendengarkan Alqur‟an, kasidah zikir, dan lain sebagainya, seseorang tidak boleh terfokus pada keelokan lagu dan keindahan suara, teteapi ia harus memperhatikan pengaruh yang diterima oleh hati sehingga ekstasi yang dirasakannya semakin kuat. 91 Menurut Ahmad al-Ghazâli, al-samâ‟ memiliki seratus faedah dan memiliki seratus ribu kondisi spiritual (ahwâl) yang dapat dirasakan oleh para sufi, karena musik sendiri memiliki fungsi yang penting dalam perjalanan spiritualitas mereka. Secara psikologis musik dapat mengantarkan jiwa pendengar untuk berpulang ke alam ide universal (a‟lâm 91 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 34. 47 al-nafs), yaitu alam dimana seluruh jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang berasal dari kenikmatan bersifat rohani.92 Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa fungsi musik bagi sufi di atas, dapat diketahui bahwa musik memiliki fungsi bermacam-macam. Tidak hanya sebagai hiburan, tetapi memiliki fungsi imajinatif, psikoterapi, religius dan mistis. Karena itu tidaklah mengherankan musik sebagai medium untuk membangkitkan dan menguatkan kecintaan kepada Allah. 92 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 31-32 48 BAB IV ANALISIS MUSIK SUFISTIK PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR Musik Sebagai Media Dalam Ajaran Tasawuf (al-Sama’) Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai bagaimana musik di gunakan sebagai media dalam ajaran tasawuf menurut Seyyed Hossein Nasr. Penulis membatasi penjelasan ini pada pembahasan “mendengarkan musik” atau al-Samâ‟. Secara etimologis, samâ‟ adalah masdar dari fi‟il madi samâ‟i yang berarti mendengarkan. Kata samâ‟ dalam bahasa Inggris berarti hearing, listening, listening in auditioning, audition. Dalam kamus al-Munjid, kata sama‟ diartikan mengindra suara melalui pendengaran dan juga dapat berarti al-ghinâ‟ (nyanyian). Kata al-samâ‟ dalam bahasa Arab klasik berarti nyanyian (musik) atau alat-alat musik.93 Dalam buku-buku tasawuf, kata sama‟ diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh kebanyakan sarjana Barat seperti Nicholson diartikan dengan listening to music and singing, Javad Nurbakhs mengartikannya spiritual music, dan Seyyed Hossein Nasr mengartikannya dengan spiritual concert (konser musik spiritual). Hal itu karena samâ‟ dari praktek lahiriahnya, 93 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 12-13 48 49 merupakan kegiatan mendengarkan sya‟ir, nyanyian yang diiringi dengan instrumen musik yang dilakukan dalam bentuk kelompok (konser musik).94 Zû al-Nun al-Misri bependapat bahwa mendengarkan musik adalah sentuhan dari Allah yang membangkitkan hati menuju Allah, kecuali mereka mendengarkan dengan nafsu maka ia termasuk orang sesat (zindîq). Selanjutnya al-Qusyairi memberikan penjelasan dalam risalahnya tentang al-samâ‟ adalah menemukan berbagai rahasia yang tersembunyi (al-guyûb) melalui pendengaran hati, dengan pemahaman hati nurani terhadap hakekat Tuhan yang dituju (al-murâd).95 Seyyed Hossein Nasr menjelaskan musik spiritual menjadi sarana untuk mengubah perasaan (dzauq) dan Jiwa melalui pembacaan Al-Qur‟an (tilawah) dan nyanyian religius yang berhubungan dengan Rasulullah SAW (barzanji), serta do‟a melalui spiritualitas.96 Adapun tahapan dalam sama‟ terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari Naat (sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad SAW), improvisasi ney (seruling) kadang-kadang menggunakan alat musik petik (semacam gitar) atau taksim dan “Lingkaran Sultan Walad”. Bagian kedua terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat alQur‟an, dan Doa.97 94 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 17 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 13-15 96 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 175 97 Jaiz, Ahmad, Hartono. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, h. 24 95 50 Sangatlah jelas musik menjadi media dalam ajaran tasawuf seperti penjelasan di atas, bahwa al-sama terdiri dari perpaduan sya‟ir yang berisikan pujian kepada Rasulullah dan Allah dengan instrumen musik yang menghasilkan irama, sehingga menjadi suatu harmoni. Dalam makna tasawuf harmoni ini lah yang menjadi manisfestasi Tuhan, lewat segala ciptaan Tuhan itu harmoni meliputi segala ciptaan-Nya. Seperti alam jagat raya ini terus berputar dan memiliki keseimbangan, dan manusia diberi mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar harmoni ini. Dalam makna musik, melodi, ritme, dan harmoninya mencerminkan keselarasan alam ini sehingga mampu mempengaruhi pendengarnya.98 Namun apakah segala jenis instrumen musik itu dapat dijadikan media dalam pelaksanaan al-samâ‟? Tentu saja tidak. Sebagaimana di jelaskan dalam bab tiga mengenai karakteristik musik sufi itu lah yang dapat dijadikan media dalam tasawuf. Tidaklah cukup pada harmonisasi antara instrumen musik dan syair riligius tersebut, namun dalam pelaksanaan mendengarkan musik spiritual tersebut harus memenuhi syarat dan melalui tatacara mendengarkan musik spiritual. 98 Seyyed Hossein Nasr, The Garden Of Truth, terj. Yuliani Liputo, h. 185 51 1. Syarat dan Tata Cara Mendengarkan Musik Seyyed Hossein Nasr menjelaskan mengenai syarat mendengarkan musik spiritual (al-sama). Pertama, bersih hatinya dari sifat-sifat yang dapat menghalangi masuknya cahaya Tuhan kedalam hati. Kedua, saat mendengarkan musik seseorang harus menyerahkan jiwanya kepada Tuhan agar terbebas dari hawa nafsu. Ketiga, memiliki tekad yang kuat menuju Yang Maha Tercinta. Karena musik spiritual merupakan musik Yang Mahabenar (Al-Haqq).99 Dari ketiga syarat diatas merupakan syarat dalam mendengarkan musik menurut Seyyed Hossein Nasr, yang dimaksud syarat pertama dalam mendengarkan musik, hendaklah hati seseorang itu bersih dari sifat yang negatif dalam hati seperti; iri hati atau sifat yang tidak senang akan rizki atau rejeki dan nikmat orang lain. cenderung berusaha menyainginya. Dengki adalah sikap tidak senang melihat orang lain bahagia. Buruk sangka dan lain sebagainya. Adapun cara membersihkan hati adalah dengan bertaubat. Hal ini dimaksudkan agar cahaya Tuhan masuk kedalam hati. Syarat yang kedua, menyerahkan jiwa kepada Tuhan atau berserah diri. Berserah diri merupakan kepasrahan jiwa dan segala sesuatu hakikatnya adalah milik Allah. Kemudian syarat ketiga merupakan tekad atau dorongan, kesungguhan dalam diri untuk menuju Allah. 99 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 169 52 Seperti yang di jelaskan dari ketiga syarat tersebut, dapat dipahami bahwa syarat-syarat tersebut merupakan suatu langkah awal dalam tata cara mendengarkan musik menurut Nasr. Selanjutnya Nasr menjelaskan mengenai tata cara mendengarkan musik, yaitu melalui melodi, sistemnya dimulai dari nada dasar khusus yang prinsip dan melodinya selalu kembali ke nada dasar tanpa meninggalkan pusatnya. Sehingga membawa manusia selangkah demi selangkah menuju tingkatan spiritual satu demi satu, dan akhirnya mencapai tingkatan kebahagiaan dan ekstase spiritual.100 Artinya menikmati musik spiritual secara total berarti bersatu dengan getaran kehidupan di alam suara, dengan komposisi musik yang mengarahkan pendengarnya ke pusat. Setelah dipersatukan dengan getaran kehidupan alam, yang di dalam diri manusia selalu ada dalam bentuk getaran hati, disitulah kehidupan manusia bersatu dengan kehidupan alam, sehingga jiwa manusia mengalami perluasan dan mencapai kebahagiaan dan ekstase yang melingkupi dunia. Selanjutnya, seluruh penerimaan irama dan perbedaan waktu, yaitu manusia diputuskan secara tiba-tiba dari waktu yang ada di alam dunia, artinya lupa akan adanya waktu yang ada, dia hanya merasakan dirinya 100 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 186 53 berhadap-hadapan dengan wajah Yang Maha kekal dan untuk meraskan nikmatnya peleburan (fana‟) dan kekekalan (baqa‟).101 2. Pengaruh Musik Terhadap Pendengar Pada bagian ini penulis menjelaskan mengenai pengaruh musik terhadap pendengarnya sebagaimana sudah di jelaskan syarat dan tata cara mendengarkan musik menurut Nasr diatas. Hal tersebut kemudian membawa pengaruh terhadap pendengar musik itu seperti mempengaruhi perasaan (dzauq), saat mendengarkan musik dengan hati maka orang tersebut akan merasa tenang atau tentram. Karena orang yang mendengarkann musik dengan hati akan menjadi perenung (muraqib). Contohnya ketika hati sesorang sedang resah kemudian mendengarkan musk spiritual maka hati itu akan tentram dan merubah suasana hati pendengar itu. Kemudian musik juga mempengaruhi pendengarnya menjadi sifat terpuji, karena orang yang mendengarkan musik dengan akal („aql) akan menjadi orang yang terpuji. Artinya dengan menangkap makna dari musik tersebut seperti memahami arti dari kehidupan, alam, dan Tuhan sehingga menjadi suatu pengetahuan (knowledge).102 Musik juga dapat membawa pengaruh negatif bagi pendengarnya, yakni mendengarkan musik dengan hawa nafsu. Nasr menjelakan bahwa orang yang mendengarkan musik dengan hawa nafsu maka akan menjadi 101 102 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 186 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 170 54 orang yang tidak beriman (zindiq)103. Hal ini dapat terjadi dikarenakan hawa nafsu itu memberi dampak kelalaian manusia dari Tuhan dan meleburkan diri manusia sehingga larut dalam pengaruh hawa nafsu yang menguasai jiwa. Selanjutnya bagi para sufi, musik memberi pengaruh sebagai media dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan, dengan melewati berbagai tingkatan (maqam) dalam mendengar musik untuk mencapai makrifat yang tidak dapat dicapai melalui jenis ibadah lainnya.104 Menurut Ahmad al-Ghazâli, al-samâ‟ memiliki seratus faedah dan memiliki seratus ribu kondisi spiritual (ahwâl) yang dapat dirasakan oleh para sufi, karena musik sendiri memiliki pengaruh terhadap perjalanan spiritualitas mereka. Secara psikologis musik dapat mengantarkan jiwa pendengar untuk berpulang ke alam ide universal (a‟lâm al-nafs), yaitu alam dimana seluruh jiwa mendapat kenikmatan yang luar biasa yang berasal dari kenikmatan bersifat rohani.105 Pendapat Nasr mengenai pengaruh musik di atas sama dengan pendapat Muhammad al-Ghzali, bahwa perbedaan pengaruh musik pada diri seorang sufi tegantung pada kondisi atau tingkatan spiritualitas mereka.106 103 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 170 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 170 105 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 31-32 106 Muhya, Bersufi Melalui Musik, h. 35 104 55 Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan, mendengarkan musik selain mempengaruhi secara batin atau spiritual juga secara lahiriyah. Hal itu dapat dilihat melalui prilaku seseorang yang terbiasa mendengarkan musik. Terlepas apakah kemudian yang timbul perbuatan positif atau negatif tergantung orang tersebut. Yang jelas musik memiliki pengaruh yang luarbiasa terhadap pendengarnya. A. Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein Nasr Dalam bagian ini penulis menganalisa musik sufistik menurut Seyyed Hossein Nasr dalam suatu pembahasan yang dapat dilihat dari tingkatan spiritualitas dalam mendengarkan musik. Mengapa tingkatan spiritual yang menjadi pembahasan inti dari musik perspetif Seyyed Hossein Nasr ini ? dikarenakan hal tersebut merupakan inti dari musik spiritual di kalangan para sufi, di mana para sufi terbagi dalam beberapa tingakatan spiritual atau maqam dalam mendengarkan musik. Ini yang kemudian menjadi karakteristik musik sufi, yaitu yang membedakan dalam mendengarkan musik spiritual adalah tingkatan spiritualitas seseorang. 1. Tingkatan Spiritualitas dalam Mendengarkan Musik Musik sufistik merupakan kunci pembukaan khazanah kebenaran Ilahi. Nasr menjelaskan tingkatan ahli makrifat (para sufi) dalam mendengarkan musik itu bermacam-macam yaitu:107 107 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 172 56 1. Sebagaian mendengarkan dengan bantuan tingkatan spiritual (maqâmât). 2. Mendengarkan dengan keadaan spiritual penuh cinta (mahabbah). 3. Mendengarkan dengan penyingkapan spiritual (mukâsyafât). 4. Mendengarkan dengan penyaksian spiritual (musyâhadât). Dari keempat tingkatan diatas dapat dijelaskan oleh penulis. Pertama, Nasr menjelakan mengenai tingkatan awal yaitu mendengarkan dengan bantuan tingkatan spiritual ini maksudnya adalah setiap tingkatan memiliki bagian musik spiritual dan dalam setiap bagian itu terdapat macam-macam kualitas, seperti perubahan, peringatan, pemanjangan, persatuan, keakraban, jarak, kegerahan, kegelisahan, kelaparan, kehausan, kecemasan, harapan, kesedihan, kemenangan, penderitaan, ketakutan, kesucian, kemurnian, penghambaan, dan kebangsawanan. Jika ada salah satu dari kualitas tersebut menyentuh jiwa maka jiwa mereka akan meninggalkan tubuh diluar kehendak mereka. Artinya bentuk penghambaan dengan kualitas hamba Allah.108 Kedua, dengan keadaan spiritual (halat), artinya tingkatan spiritual yang terdapat isyarat (isyârat) dalam musik spiritual. Setiap isyarat terdapat macam-macam penderitaan seperti cinta (mahabbah), kerinduan gairah cinta („isyq), hasrat, kesucian, kegersangan dan kekuatan jika salah satu melintas 108 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 172 57 dalam hati maka kepala mereka semua akan dipisahkan dari tubuh mereka (melebur dengan Yang Maha Kasih).109 Ketiga, mendengarkan dengan penyingkapan spiritual selama mendengarkan musik spiritual, pertunjukan berkesinambungan tentang perwujudan sifat ketuhanan dalam diri manusia (theophanic). Apabila pecinta Tuhan telah melihat salah satu dari pertunjukan ini mereka akan menghilang secara perlahan seperti air raksa.110 Keempat, demikian pula halnya dalam penyaksian spiritual selama mendengarkan musik spiriual atau konser spiritual ada kualitas yang menampakkan kehalusan (latha‟if) dalam kehidupan sufi, kualitas tersebut antara lain pengetahuan, kebenaran, malapetaka, kilasan dam pancaran cahaya Tuhan, kekaguman, kekuatan, perubahan, penyusutan, pemuaian, kemuliaanm dan ketenangan, yang akan mengantarkan ke dalam rahasia di balik alam yang tidak terlihat, dan meperlihatkan kepadanya rahasia asalusulnya.111 Selanjutnya Seyyed Hossein Nasr menjelaskan mengenaii golongan sufi dalam mendengarkan musik ada dua macam golongan sufi melihat dari tingkatan spiritualitas, yaitu :112 109 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 172 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 172 111 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 172 112 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 174 110 58 1. Musik bagi kaum elit (khawwâsh) Musik bagi kaum elit ini merupakan tingkatan kedua yaitu mendengarkan dengan hati, dan itu berada dalam pencarian. Pada tingkatan ini pendengar musik spiritual memperhatikan tanda-tanda Ilahiah yang diperoleh dari pesan-pesan sya‟ir, manakala pesan tersebut masuk kedalam hati maka nyalalah api cinta. Tingkatan spiritualitas sufi khawwâsh ini adalah pada tingkatan spiritualitas penyingkapan (mukâsyafat). 2. Musik bagi kaum elitnya elit (Khawwâsh al-khawwâsh) Musik bagi kaum elitnya elit ini mendengarkan musik dengan jiwa, dan itu berada dalam cinta. Pada golongan ini para sufi juga mendengarkan dengan al-Haq (Allah). Tingkatan spiritualitas sufi Khawwâsh alkhawwâsh ini adalah pada tingkatan spiritualitas cinta (mahabbah) dan tingkatan spiritualitas kesaksian (musyâhadat). Dari apa yang penulis jelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa mendengarkan musik spiritual (konser spiritual) dalam perspektif kaum sufi merupakan sesuatu yang suci karena esensi musik itu merupakan substansi ruhaniyah, yaitu hati pendengar yang ada pada tingkatan kaum elit (khawwâsh). Juga konser spiritual yang mengantarkan sufi ke dalam rahasia di balik alam yang tidak terlihat, dan meperlihatkan kepadanya rahasia asal-usulnya. Artinya mendengarkan musik dengan jiwa yang 59 penuh cinta atau mendengarkan dengan al-Haq (Allah).113 Di alam jiwa, musik timbul dari getaran yang disebabkan oleh gerakan isi alam semesta ini. Serta menjadi penghibur jiwa. Suara musik tersebut memahasucikan Allah, merupakan manifestasi dari pentasbihan yang dilakukam oleh planet dan bintang-bintang. Adapun di alam dunia , mudik dapat menjadi alat penghibur, pemberi semangat (motivasi), dan mengauatkan jiwa. Bagi sufi musik merupakan alat stimulus yang dapat meningkatkan kecintaan mereka kepada Allah. Melalui cinta yang semakin kuat, seorang sufi akan sampai ke derajat musyâhadat penyaksian ke hadirat Allah. 113 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 170 60 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan bab-bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa musik dalam tradisi tasawuf menjadi alat dalam menempuh perjalanan ruhaniyah. Musik memberi pengaruh sebagai media dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan, dengan melewati berbagai tingkatan (maqâm) dalam mendengar musik untuk mencapai makrifat yang tidak dapat dicapai melalui jenis ibadah lainnya untuk mendekatkan kepada Allah. Lewat mendengarkan musik melalui hati maka seseorang itu akan menjadi perenung (muraqib). Mendengarkan musik melalui akal („aql) akan menjadi orang yang terpuji. Musik dalam perspektif sufistik penulis menyimpulkan bahwa al-sama‟ atau konser musik spiritual dalam istilah Nasr, merupakan suatu kondisi atau tingkatan seseorang sufi dalam mendengarkan musik spiritual. Tingkatan spiritual sufi dalam mendengarkan musik terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, kaum elit (khawwâsh), yakni mendengarkan dengan hati, memperhatikan tanda-tanda Ilahiah yang diperoleh dari pesanpesan sya‟ir, ketika pesan tersebut masuk kedalam hati maka nyalalah api cinta kepada Tuhan. Tingkatan spiritualitas sufinya adalah penyingkapan (mukâsyafat). 60 61 Tingkatan selanjutnya kaum elitnya elit (khawwâsh alkhawwâsh), yaitu mendengarkan musik dengan jiwa atau mendengarkan musik dengan al-Haq (Allah). Tingkatan spiritualitas sufinya adalah cinta (mahabbah) dan tingkatan spiritualitas kesaksian (musyâhadat). B. Saran-saran Pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai musik sufi, merupakan suatu fenomena yang dapat membuka khasanah kehidupan manusia khususnya dikalangan sufi ataupun kehidupan seseorang maupun dalam ajaran tasawuf, karena musik sendiri adalah sesuatu yang dimiliki oleh naluri manusia. Dengan memahami musik dalam perspektif sufistik yang luas, dapat menjadi suatu pelajaran bagi manusia dalam menjalani kehidupan yang kaya akan jiwa spiritual yang bahagia layaknya para sufi yang jiwanya bersatu dengan Yang Maha Kasih. Terutama bagi mereka yang menyukai musik, baik itu yang memainkannya maupun hanya sebagi pendengar saja, karena musik sendiri dapat mengangkat jiwa manusia ke dalam alam rohani jika ia mendengarkan musik spiritual. Namun ada beberapa macam kendala yang dialami penulis dalam menuangkan hal lainnya yang diperoleh dari pemahaman-pemahaman ini. Musik tidak hanya bermanfaat sebagai ekspresi keagamaan dan juga saran spiritual saja, namun ia juga dapat menjadi manfaat bagi hal-hal lainnya. Baik itu bersifat praktis maupun teoritis. 62 Dalam hal teoritis, kajian ini dapat dijadikan suatu sumber pengetahuan tentang musik sufi. Juga menjadi pengetahuan musik dalam perspektif sufistik yang masih jarang mendapat perhatian uttuk didiskusikan. Sedangkan dalam tataran praktis, adalah bagi seorang penikmat musik, diharapkan mendengarkan musik tidak hanya dengan hawa nafsu atau sebatas hiburan belaka, melainkan mendengarkan dengan hati atau akal agar mendapat mengasah hati atau rasa (dzauq) terasa tentram dan dekat dengan Tuhan. Atau dengan menggunakan akal agar menjadi orang yang terpuji. 63 DAFTAR PUSTAKA Ali, Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Seyyed Hossein Nasr, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Aminrazafi Mehdi, “Filsafat Islam di Dunia Islam Modern; Persia” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, Jilid II Bandung: Mizan, 2003. Azra Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Baghdadi, Abdurrahman, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vokal, Musik dan Tari, Jakarta : Geman Insani Press, 1995. Budilinggono, I, Bentuk dan Analisis Musik, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Dahlan, Abdul (ed.), Suplemen Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Houve, 1994. Gazalba, Sidi, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya Manusia, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998. Ghafur, Waryono A, "Seyyed Hossein Nasr: Neo-Sufisme sebagai Alternatif Modemisme" dalam A. Khudon Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003. Gazāli, Imam, Mutiara Ihya‟ „Ulum ad-Din, terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan, 2002. Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina, 1998. 61 64 Indrawan, Andre, Musik di Dunia Islam, Tsaqafa; Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012. Jaiz, Ahmad, Hartono. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, Solo: Wacana Ilmiah Press. 2006. Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1996. Khan Hazrat Inayat, Dimensi Musik dan Bunyi, terj. Muhammad Faur „Abd alBaqi dari Buku The mysticism of Sound and music, Yogyakarta: Pustaka Sufi,2002. Mack, Dieter, Sejarah Musik, Jilid III, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1995. Maimun, Ach., Seyyed Hossein Nasr “Pergulatan Sains dan Spiritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif”, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015. Muhaya, Abdul, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad Al-Gazāli, Yogyakarta: Gama Media, 2003. Nasr, Seyyed Hossein, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, Jakarta: Lappenas, 1981. , Islam dan Nestapa Manusia Modem, terj. Anas Mahyuddin, Bandung Pustaka, 1983. , Menjelajah Dunia Modern, Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim, terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1995. , Pengetahuan dan Kesucian. Terj. Suharsono, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1997. , Sains dan Peradaban dalam Islam, terj. J. Mahyudin Bandung: Penerbit Pustaka, 1986. , Spiritualitas dan Seni Islam. Terj. Sutejo. Bandung; Mizan,1993. 65 , Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. , The Garden Of Truth, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Mizan. 2010. , The Heart of Islam; Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj. Nurasih Fakih, Bandung: Mizan, 2003. , Tiga Pemikir Islam; Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibn Arabi, terj. Ahmad Mujahid, Bandung: Risalah, 1986. Parto, Suhardjo, Musik Seni Barat dan sumber daya manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Ṣafā‟, Ikhwān, Rasāil al-Ikhwān al-Ṣafā‟, Jilid. I, Beirut: Dār al-Islāmiyyah, 1957. Susantina, Sukatmi, Nada-nada Radikal : Perbincangan Para Filsuf Tentang Musik, Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2004. Yakub, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Aloka, 1994.