laporan akhir analisis usulan posisi runding indonesia

advertisement
LAPORAN AKHIR
ANALISIS USULAN POSISI RUNDING INDONESIA UNTUK NEGOSIASI
SENSITIVE PRODUCT DI KONFERENSI TINGKAT MENTERI WTO X
PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
JAKARTA
2015
ABSTRAK
1. SePS (sensitive product) merupakan salah satu perundingan dalam negosiasi
World Trade Organization (WTO), dimana produk pertanian yang menjadi bagian
SePS akan memperoleh pemotongan tarif yang lebih sedikit dibandingkan
produk pertanian lainnya. Namun sebagai kompensasi, harus diberlakukan
kebijakan tariff rate quota (TRQ), untuk menjamin akses pasar atas produk impor
yang termasuk kedalam kelompok SePS.
2. Sebagai salah satu usulan terbaru untuk SePS, dalam Konferensi Tingkat
Menteri (KTM) WTO ke-9 di Bali, Paraguay mengajukan usulan agar negara
berkembang diberikan keleluasaan untuk
menetapkan 5% pos tarif sebagai
produk sensitif dengan pemotongan tarif minimal sebesar 10%. Indonesia belum
memberikan tanggapan atas usulan posisi SePS tersebut, sehingga perlu
disusun kajian yang dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam
menanggapi usulan Paraguay dan negosiasi SePS selanjutnya.
3. Analisis ini menemukan fakta bahwa kebijakan kuota impor Indonesia yang telah
dinotifikasikan ke WTO hanya terdiri dari beras dan susu serta produk susu. Hal
ini menyulitkan
Indonesia untuk mengandalkan kebijakan SePS untuk
melindungi petani lokal dari serbuan produk impor, karena aplikasi kebijakan
TRQ hanya mencakup 4 persen dari total volume impor komoditas pertanian.
4. Selanjutnya hasil survey menemukan bahwa pemerintah propinsi saat ini tidak
dapat memberlakukan TRQ, karena mereka tidak memiliki data volume impor
yang masuk ke pelabuhan atau daerah mereka. Kondisi ini menyebabkan
mereka tidak dapat menentukan mana produk impor yang masih memenuhi
kuota, atau mana produk yang sudah melebihi kuota dan harus dikenakan tarif
impor.
5. Berdasarkan temuan turun lapang dan laporan kebijakan tariff quota Indonesia
ke WTO, diyakini Indonesia belum siap untuk memberlakukan kebijakan SePS
dan saat ini kebijakan SePS tidak akan efektif dilaksanakan. Potensi
ketidakefektifan kebijakan SePS disebabkan terbatasnya jenis dan jumlah
produk yang dapat dikenakan kebijakan tariff quota, dan tidak tersedianya
informasi pendukung di daerah untuk memberlakukan kebijakan tariff quota.
6. Berdasarkan hasil benchmarking antara kebijakan TRQ Indonesia dengan China
dan India, terdapat tiga alternatif dalam negosiasi SePS Indonesia yaitu : a)
Memilih bekerjasama dengan India yang lebih menekankan pada subsidi PSH
dan tidak terlalu efisien dalam menggunakan instrumen tariff quota dan negosiasi
SePS, b) Memilih berkerjasama dengan China yang membagi kepentingan
pangan dan petani mereka berimbang pada subsidi PSH dan relatif efisien dalam
menggunakan instrumen tariff quota serta negosiasi SePS, atau c) Memilih
kebijakan SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain mengingat kondisi
Indonesia saat ini yang belum memberlakukan kebijakan tariff quota sebagai
salah satu instrumen utama SePS.
7. Mempertimbangkan kondisi pemerintah provinsi yang sampai saat ini belum
memiliki kemampuan memberlakukan TRQ sebagai salah satu instrumen utama
SePS, maka kajian ini merekomendasikan agar Indonesia pada negosiasi WTO
memanfaatkan negosiasi SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain,
mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum dapat memberlakukan
kebijakan tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya
sehingga analisis yang berjudul Analisis Usulan Posisi Runding Indonesia
Untuk Negosiasi Sensitive Product di Konferensi Tingkat Menteri WTO
X, dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional, BP2KP dan Kepala Bidang
Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan
bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan dan pihak lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan
yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
Jakarta, Oktober 2015
Tim Penulis
i DAFTAR ISI
Halaman
Bab I. PENDAHULUAN ..................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................
1
1.3 Tujuan ............................................................................
2
1.4 Hasil Analisis..................................................................
2
1.5 Dampak/Manfaat............................................................
2
1.6 Ruang Lingkup ...............................................................
2
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
3
2.1 Negosiasi Sensitive Product (SePS) ..............................
3
2.2 Kebijakan Tarif ...............................................................
4
2.3 Kebijakan Kuota .............................................................
7
Bab III. DATA DAN METODOLOGI ..................................................
10
3.1 Data ...............................................................................
10
3.2 Kerangka Pemikiran.......................................................
10
3.3 Metodologi .....................................................................
11
Bab IV. IMPOR PRODUK PERTANIAN, NILAI TUKAR PETANI,
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH, DAN USULAN
NEGOSIASI SePS ...............................................................
13
4.1 Impor Produk Pertanian .................................................
13
4.2 Impor Produk Pertanian dan Korelasinya Terhadap
Nilai Tukar Petani...........................................................
14
4.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Produk
Pertanian Impor .............................................................
16
4.4 Usulan Kebijakan Tariff Quota Indonesia .......................
20
Bab V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................
23
5.1 Kesimpulan ....................................................................
23
5.2 Rekomendasi .................................................................
23
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
24
LAMPIRAN .......................................................................................
25
ii DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL
Daftar Gambar
Halaman
2.1 Dampak-Dampak Keseimbangan Umum dari
Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil .................
6
2.2 Dampak Pembatasan Impor (Kuota) Terhadap
Kesejahteraan ................................................................
8
3.1 Kerangka Pemikiran.......................................................
10
4.1 Korelasi Positif Antara Volume Impor Pertanian
dengan Nilai Tukar Petani ..............................................
15
4.2 Produk Prioritas Menurut Pemerintah Daerah ...............
19
4.3 Kebijakan Untuk Mengatur Impor Produk Pertanian ......
20
Daftar Tabel
Halaman
4.1 Impor Produk Pertanian Utama Berdasarkan Volume ...
13
4.2 Perbandingan Produk dan Volume Tariff Quota
China dan India ..............................................................
iii 21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) X World Trade Organization (WTO) akan
direncanakan pada bulan Desember 2015 di Nairobi, Kenya. Dalam KTM tersebut
akan dibahas berbagai usulan negosiasi yang salah satu diantaranya adalah
Sensitive Products (SePS). SePs merupakan bentuk instrumen yang akan
diberlakukan kepada beberapa produk pertanian dari negara maju maupun
berkembang, berupa pengenaan penurunan tarif lebih kecil daripada produk reguler
lainnya.
Berdasarkan Para 72 Draft Text Rev 4, Negara Berkembang mempunyai hak
untuk memasukkan sampai satu pertiga (1/3) dari jumlah tariff lines sebagai SePs.
Dalam klausul negosiasi tersebut, negara berkembang dapat memilih pos tarif impor
dari produk pertanian yang akan diberlakukan kebijakan kuota tarif (Tariff Rate
Quota/TRQ) antara 2% - 2,6% dari total pos tarif produk pertanian. Saat ini
perundingan SePS mengalami kendala karena ketidaksepakatan antara negara
berkembang dan negara maju mengenai penentuan TRQ dan nilai pemotongan tarif
(Tier formula).
Sebagai salah satu usulan terbaru untuk SePS, dalam KTM WTO ke-9 di Bali,
Paraguay mengajukan usulan agar negara berkembang diberikan keleluasaan untuk
menetapkan 5% pos tarif sebagai produk sensitif dengan pemotongan tarif minimal
sebesar 10%. Indonesia belum memberikan tanggapan atas usulan posisi SePS
tersebut, dan untuk itu perlu disusun kajian yang dapat dijadikan sebagai salah satu
rujukan dalam menanggapi usulan Paraguay dan negosiasi SePS selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang, permasalahan dari kajian ini
adalah :
a. Bagaimanakah potensi pelaksanaan Sensitive Products (SePs) di Indonesia ?
b. Apakah rumusan rekomendasi posisi runding dalam perundingan Sensitive
Products (SePs) di WTO
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari kajian ini adalah :
a. Menganalisis potensi pelaksanaan Sensitive Products (SePs) di Indonesia.
b. Merumuskan rekomendasi posisi runding dalam perundingan Sensitive
Products (SePs) di WTO
1.4 Hasil Analisis
Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai
Kebijakan Indonesia Dalam Memanfaatkan Negosiasi Produk Sensitif Pertanian di
WTO.
1.5 Dampak/Manfaat
Tersedianya informasi mengenai:
a. Usulan produk dan penurunan tarif Sensitive Products (SePs) Indonesia.
b. Kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan kuota tarif dalam negosiasi
Sensitive Products (SePS).
c. Usulan rumusan rekomendasi posisi runding dalam perundingan Sensitive
Products (SePS) di WTO.
1.6 Ruang Lingkup Analisis
Adapun ruang lingkup dalam kajian ini adalah :
a. Kajian ini berdasarkan pada posisi runding Indonesia dalam KTM WTO ke-9
di Bali, dan perkembangan negosiasi Sensitive Products (SePS) di WTO dan
rapat antar kementerian terkait.
b. Produk pertanian yang dikaji adalah HS 01-24 dengan mengecualikan produk
perikanan, serta produk pertanian yang dijadikan prioritas di beberapa daerah
turun lapang.
c. Kesiapan pelaksanaan kuota tarif ditentukan dari kemampuan pemerintah
daerah untuk mengetahui volume impor produk pertanian yang masuk ke
wilayah mereka, dan apakah terdapat peraturan daerah yang mendukung.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Negosiasi Sensitive Product (SePS)
SePS merupakan salah satu perundingan dalam negosiasi World Trade
Negotiation (WTO) dimana negara berkembang maupun negara maju dapat
mengajukan sebagian produk pertanian mereka kedalam kelompok SePS.
Kelompok produk pertanian yang menjadi bagian dari SePS akan memperoleh
perlakuan khusus dengan pemotongan tarif yang lebih sedikit dibandingkan produk
pertanian lainnya. Namun sebagai kompensasi pemberlakuan SePS, harus
diberikan kuota dalam bentuk kebijakan tariff rate quota (TRQ), untuk menjamin
akses pasar atas produk impor yang termasuk kedalam SePS (WTO, 2011).
Sebelum KTM WTO ke-9 di Bali, usulan dalam perundingan SePS bagi
negara maju dapat mengusulkan 4 atau 6 persen dalam pos tarif berlaku dan
alternatif 6 atau 8 persen dari pos tarif produk pertanian dalam Harmonized System
(HS) 6 digit kedalam kelompok SePS, sedangkan untuk negara berkembang
memperoleh tambahan sepertiga dari nilai persentase negara maju yang disepakati.
Adapun tarif yang akan dipotong dalam kelompok SePS adalah bound tariff sesuai
dengan ketentuan yang disepakati. Namun setiap negara yang memberlakukan
kebijakan SePS harus memberikan jaminan akses pasar produk impor sebesar 4
atau 6 persen dari total volume yang diperdagangkan dan jaminan konsumsi oleh
masyarakat untuk produk impor sebesar 3 atau 5 persen dari volume konsumsi
(WTO, 2011).
Dampak pelaksanaan SePS terhadap komitmen peningkatan akses pasar di
WTO diperkirakan cukup besar, karena langsung mengurangi rata-rata tarif yang
dipotong antara 1-2 persen. Selain itu pelaksanaan komitmen SePS diprediksikan
akan berpengaruh terhadap perdagangan karena setiap negara dapat membatasi
akses pasar untuk produk yang mereka anggap sensitif (Jean, et.al., 2011).
Selanjutnya Vanzetti dan Peters (2008) menemukan bahwa aplikasi SePS terhadap
sepertiga dari tarif pertanian tertinggi menyebabkan peningkatan nilai tarif rata-rata
menjadi 16 sampai 24 persen, hampir dua kali lipat jika tidak diberlakukan SePS.
Mengingat kebijakan SePS dapat diberlakukan oleh negara maju dan negara
berkembang, potensi SePS yang berpotensi memberikan proteksi berlebihan
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
menyebabkan banyak negara tidak berniat melanjutkan negosiasi tersebut. Namun,
masih terdapat usulan baru melalui non paper dari Paraguay mengajukan usulan
agar negara berkembang diberikan keleluasaan untuk menetapkan 5% pos tarif
sebagai produk sensitif dengan pemotongan tarif minimal sebesar 10%, dan
memasukkan proses request offer dalam penentuan produk SePS (Briges, 2015).
Sayangnya proposal Paraguay tersebut masih bersifat non paper dan belum menjadi
proposal resmi sehingga belum dapat menjadi rujukan posisi runding terbaru dan
dikaji dalam kajian ini.
Bagi Indonesia, pelaksanaan negosiasi SePS memiliki tantangan tersendiri
mengingat kebijakan ini merupakan kombinasi antara kebijakan tarif dan
pemberlakuan kuota. Sampai saat ini Indonesia hanya memiliki dua produk yang
diajukan melaksanakan kebijakan tarif kuota impor yaitu beras dan susu beserta
produk susu. Adapun kuota yang berlaku untuk kedua produk tersebut adalah
70.000 ton untuk beras dan 414.700 ton untuk susu dan produk susu (WTO, 2013).
Terbatasnya produk pertanian yang dapat dikenakan kebijakan kuota menjadi
kendala bagi Indonesia untuk aktif bernegosiasi pelaksanaan proteksi SePS.
2.2 Kebijakan Tarif
Tarif pada dasarnya merupakan pembebanan pajak atau custom duties
terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal
komoditi, terdapat dua macam tarif yaitu (Salvatore, 1997) :
1)
Tarif impor, merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang
diimpor dari negara lain,
2)
Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Teori keseimbangan umum dapat menjelaskan dampak pemberlakuan tarif
terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah
negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas. Dengan
asumsi tidak mampu mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional,
ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya,
yang berubah hanyalah harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri,
sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah
konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
Secara
teoritis,
dampak
keseimbangan
umum
yang
dihasilkan
dari
pemberlakuan tarif di sebuah kecil, misalnya Indonesia, dapat dijelaskan melalui
Gambar 2.1 di bawah ini. Dalam gambar diasumsikan terdapat dua komoditi yang
diperdagangkan (komoditi X dan Y) dan dua negara yang melakukan perdagangan
(pertukaran komoditi), yaitu negara kecil (disebut negara 2) yang menetapkan harga
domestiknya dengan PF dan negara lainnya (negara dunia/world) dengan harga Pw.
Sehingga pada gambar tersebut terlihat bahwa di pasar dunia berlaku Px/Py = 1,
negara 2 akan berproduksi di titik B dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika
pemerintah negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor
harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100% terhadap
komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik
langsung melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik di negara 2
akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor
30Y, dan mengimpor 30X; separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung
terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni HH’ yang juga bernilai
15X, akan menjelma sebagai pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber
dari pengenaan tariff ad valorem 100% terhadap komoditi X yang diimpor.
Karena disumsikan bahwa pemerintah negara 2 menggunakan kebijakan tarif
tersebut dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi
warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat konsumsi
setelah tarif dikenakan akan bergeser ke kurva indiferensi II’, tepatnya di titik H’ (titik
berpotongan antara dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan
kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi ketimbang tingkat
konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan.
Dari Gambar 2.1 dapat disimpulkan bahwa dengan adanya tarif, tingkat
kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan
dengan kondisinya di masa perdagangan bebas (tanpa tarif). Hal ini terlihat dari
bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang terletak pada kurva indiferensi yang
lebih rendah daripada sebelumnya.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
Komoditi Y 140 ‐ 120 ‐ B
85 ‐ F 60 ‐ 55 ‐ E
III
G H
H’
II
A
40 ‐ PF = 2 0 I I I I I 40 95 100
PW = 1 Komoditi X
Gambar 2.1 Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif di
Sebuah Negara Kecil (Salvatore, 1997)
Penurunan kesejahteraan tersebut bersumber dari dua sebab yaitu: (1)
Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai
pendapatan dan harga dunia; dan (2) Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada
kurva indiferensi tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Keduanya
diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik menghadapi
harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan kesejahteraan terjadi karena
kegiatan produksi yang tidak efisien. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari
konsumsi yang tidak efisien juga merupakan padanan dari kerugian akibat
konsumsi.
Selain penurunan kesejahteraan, volume perdagangan di negara kecil
(negara 2) pun mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai
ekspor dan impor sama-sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif
itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung
secara bebas.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
Dari penjelasan tersebut, maka semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan
semakin besar kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan
mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi autarki (semua
komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional lenyap). Tarif impor yang
mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif prohibitif
(prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan memaksa suatu perekonomian terusmenerus berproduksi dan berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu
sendiri.
2.3 Kebijakan Kuota
Hambatan perdagangan bukan tarif (non-tariff barrier) merupakan bentuk
proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif.
Praktik perdagangan yang terjadi pada saat ini, masing-masing negara melakukan
intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen
kebijakan lainnya yang lebih kompleks, yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif
proteksi.
Secara teoritis, salah satu bentuk hambatan impor bukan tarif adalah kuota.
Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap barang yang
masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor
memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi seperti yang
ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap
pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan
adanya kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik. Sedangkan jika yang
diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada
kuantitas impor. Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif
impor yang setara.
Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran
yang defisit dan akan meningkatkan harga produk. Pada dasarnya proteksi terhadap
perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi
konsumen. Pada akhirnya hal ini akan merugikan perekonomian secara keseluruhan
(Salvatore 1997).
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
Harga S
P M A B C
D
P W D
Kuantitas
QS0 QS1 QD1
QD0
Gambar 2.2. Dampak Pembatasan Impor (Kuota) terhadap
Kesejahteraan (Sumber: Wall, 1999)
Dari Gambar 2.2, apabila terjadi perdagangan bebas maka barang yang
diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi
sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain
sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi impor, maka harga akan meningkat menjadi
PM. Sebagai akibatnya, negara tersebut akan berproduksi sebesar QS1 dan jumlah
impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen akan dirugikan karena
menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan
peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus konsumen akan berkurang
sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke
produsen. Area B dan D adalah kehilangan kesejahteraan atau Dead Weight Loss
(DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan
penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari
kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini secara teoritis diukur sebagai
quota rent. Jika tidak ada peningkatan penerimaan pemerintah yang berasal dari
quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C
direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan pemerintah
hanya dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota. Dengan menggunakan θ
yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari
pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
Berbagai macam restriksi atau hambatan non tarif itu telah menggantikan
peranan tarif di masa sebelumnya yang merupakan ancaman bagi kelangsungan
dan perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Saat ini terdapat
indikasi terjadinya perubahan dalam kebijakan perdagangan dunia. Salah satu
alasan negara tidak memilih tarif sebagai instrumen kebijakan yaitu adanya
kerjasama
bilateral
dan
regional
yang
membatasi
penggunaan
kebijakan
perdagangan tradisional seperti tarif. Pada akhirnya negara lebih meningkatan
pemberlakuan kebijakan non tariff (Non Tariff Measures/NTMs). Berbagai negara
menggunakan alasan tertentu seperti perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk
melegitimasi proteksi, sehingga isu perdagangan yang semula menurunkan
hambatan tarif bergeser ke arah NTMs.
Walaupun NTMs merupakan kebijakan yang memiliki efek membatasi
perdagangan, namun kebijakan ini dapat diterapkan tanpa melanggar hukum
perdagangan internasional. NTM didefinisikan sebagai langkah-langkah kebijakan
selain tarif yang secara potensial memiliki dampak ekonomi pada perdagangan
barang internasional, mengubah kuantitas perdagangan, atau harga, atau keduanya
(UNCTAD 2013). Pemberlakuan NTMs diperbolehkan dalam ketentuan WTO
dengan alasan-alasan tertentu seperti ketahanan pangan, perlindungan kesehatan
dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi. NTMs mencakup berbagai macam
kebijakan yang terkait sanitary and phytosanitary measures (SPS), technical barrier
to trade (TBT), quotas, import and export licences, export restrictions, customs
surcharges, and anti-dumping and safeguard measure.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
BAB III
DATA DAN METODOLOGI
3.1 Data
Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer yang diperoleh
melalui kegiatan turun lapang untuk menanyai responden dan data sekunder yang
terdiri dari data impor produk pertanian yang diperoleh dari Comtrade, serta data
Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi, Kementerian
Pertanian. Adapun informasi yang ditanyakan kepada responden adalah produk
prioritas yang akan dikembangkan di daerah tersebut terutama produk pertanian.
Selanjutnya kepada responden akan ditanyakan kebijakan pertanian yang akan
dilakukan atau diteruskan untuk menjaga NTP.
3.2 Kerangka Pemikiran
Tujuan utama pemberlakuan kebijakan tarif dan kuota adalah untuk
membatasi akses pasar impor dengan tujuan memberikan tambahan kesejahteraan
atau pendapatan bagi produsen (Salvatore, 1997). Salah satu informasi yang akurat
di Indonesia untuk menggambarkan perubahan kesejahteraan produsen komoditas
pertanian atau petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Oleh karena itu, harus dicari
informasi apakah perubahan impor akan mempengaruhi perubahan NTP. Jika tidak,
pembatasan akses pasar diyakini tidak akan memberikan dampak positif kepada
petani dan hanya mengurangi kesejahteraan konsumen. Berdasarkan asumsi
tersebut, kerangka pemikiran analisis ini dapat dilihat dalam Gambar 3.1.
Impor Produk Pertanian dan Korelasi Terhadap NTP Responden Pemerintah Daerah Kebijakan Terkait Negosiasi SePS Ada Rekomendasi Negosiasi SePS di Nairobi Produk Perioritas dan Bukan Prioritas Rencana Kebijakan Untuk Menjaga NTP Tidak Ada
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
Kegiatan awal dala
am analisiss ini adalah mempe
elajari pro
oduk yang paling
banyakk diimpor Indonesia
a saat ini, dan dam
mpak peru
ubahan da
ari volume
e impor
tersebu
ut terhada
ap NTP. Setelah
S
me
emperoleh
h hasil terrsebut, aka
an dikaji dengan
d
komitm
men Indone
esia di WT
TO yang sa
ampai saat ini hanya
a mengajukkan produk beras
serta susu
s
dan produk
p
sussu yang memungkin
m
diberlakukan kebija
akan kuota
a impor.
Hasil te
emuan aw
wal tersebu
ut akan dikkonsultasik
kan dengan pemerintah daerah
h untuk
menge
etahui prod
duk pertan
nian prioritas mereka
a dan keb
bijakan unttuk menjag
ga nilai
tukar petani.
p
Se
elanjutnya akan dian
nalisis apa
akah kebija
akan terse
ebut sejala
an atau
tidak dengan
d
po
otensi pem
mberlakuan kebijakan
n SePS un
ntuk dijadikan dasarr dalam
penyussunan reko
omendasi negosiasi Indonesia
a dalam negosiasi
n
S
SePS di Nairobi,
N
Kenya..
3.3 Me
etodologi
Metodolog
gi yang dig
gunakan dalam
d
kajian ini terd
diri dari dua
bagia
an yaitu
analisiss korelasi untuk me
engetahui hubungan antara to
otal impor produk pe
ertanian
terhada
ap perubahan nila
ai tukar petani. Pemilihan
P
metode analisis korelasi
k
disebabkan terba
atasnya data nilai tukar
t
petani yang diperoleh. S
Selanjutny
ya akan
dilakukkan analisis menggunakan mattriks pemb
bobotan un
ntuk menge
etahui tang
ggapan
pemeriintah daera
ah atas usulan dalam
m negosias
si SePS ya
ang berlang
gsung saatt ini.
Analisis Korelas
si
Analisis ko
orelasi dapat diguna
akan deng
gan mengg
gunakan b
beberapa metode,
m
salah
satunya
dengan
engan
dilambangkan de
metode
Korelasi
Pearson.
Korelasi
Pearson
n
atau
(rho), meru
upakan metode
m
yan
ng dapat digunakan
n untuk
menga
analisis dua variabell dari data
a parametrik. Nilai korelasi
k
Pe
earson an
ntara -1
sampa
ai +1 merup
pakan indikasi hubun
ngan kedu
ua variabel apakah b
berlawan (--1) atau
saling berhubung
gan (+1). Metode p
perhitungan untuk mendapatk
m
kan nilai Korelasi
K
Pearso
on adalah :
‫ݎ‬ൌ
‫ܧ‬ሾሺሺܺ െ ‫ܺݑ‬ሻሺܻ
ܻ െ ‫ܻݑ‬ሻሿ
߲߲ܻܺ
a : X dan Y adalah kedua va
ariabel, ‫ ݑ‬adalah nillai perkiraa
an dan ߲ adalah
dimana
standa
art deviasi (Rodgers
(
a Nicewa
and
ander, 198
88)
Puska KPI,
K BP2KP, Kementerian
n Perdagang
gan
11
Analisis Pembobotan Rata-rata
Analisis pembobotan rata-rata dengan menggunakan matriks pembobotan
yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada konsep perhitungan matriks dalam
metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode AHP digunakan untuk
menentukan skala prioritas berdasarkan pendapat dari para ahli. Metode ini
dikembangkan oleh Saaty untuk membantu para pimpinan dalam mengambil
keputusan menegemen. Pendapat para ahli akan diolah untuk memperoleh matriks
Pairwise Comparison, yang selanjutnya akan menghasilkan skala prioritas (Saaty,
2008; Oktariadi, 2009).
Namun sayangnya dalam kegiatan survey yang dilakukan dalam kajian ini,
tidak semua responden dapat mengisi skala tingkat kepentingan yang diperlukan
untuk memperoleh matriks Pairwise Comparison. Sebagai upaya untuk mengatasi
hal ini, dalam kajian ini matriks Pairwise Comparison diganti dengan tidak
menggunakan metode pembobotan dari Saaty, namun menggunakan skala ordinal
untuk menentukan prioritas menurut pendapat responden. Selanjutnya dari prioritas
berdasarkan skala ordinal tersebut, akan dihitung bobot rata-rata untuk memperoleh
produk dan kebijakan prioritas yang dapat diiusulkan dalam negosiasi SePS di KTM
WTO X di Nariobi, Kenya.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
BAB IV
IMPOR PRODUK PERTANIAN, NILAI TUKAR PETANI, KEBIJAKAN
PEMERINTAH DAERAH, DAN USULAN NEGOSIASI SePS
4.1 Impor Produk Pertanian
Berdasarkan data Comtrade dalam HS 4 digit, volume impor pertanian
Indonesia pada tahun 2014 mencapai 26,33 juta ton. Pada tahun 2014 tersebut,
terdapat lima kelompok komoditas yang paling banyak diimpor, yaitu Wheat and
meslin (HS 1001) dengan pangsa volume impor sebesar 28,2 persen, kemudian
Soya-bean oil-cake and other solid residues (HS 2304) dengan pangsa volume
impor 14,5 persen, Maize (corn) (HS 1005) sebesar 12,4 persen, Cane or beet sugar
and chemically pure sucrose, in solid form (HS 1701) sebesar 11,3 persen dan Soya
beans, whether or not broken (HS 1201) sebesar 7,5 persen. Total akumulasi
pangsa volume impor dari kelima kelompok komoditas tersebut mencapai 73,8
persen dari total volume impor produk pertanian. Adapun data selengkapnya dapat
dilihat dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Impor Produk Pertanian Utama Berdasarkan Volume
Code
Product label
Pertanian
'1001 Wheat and meslin
Soya‐bean oil‐cake and other solid '2304
residues
'1005 Maize (corn)
Cane or beet sugar and chemically '1701
pure sucrose, in solid form
'1201 Soya beans, whether or not broken
'1006 Rice
Onions, garlic and leeks, fresh or '0703
chilled
'2309 Animal feed preparations, nes
Beet‐pulp, bagasse and brewing or '2303
distilling dregs and waste
'1108 Starches; inulin
'1202 Ground‐nuts, not roasted
'0102 Live bovine animals
'0808 Apples, pears and quinces, fresh
Sugars,nes,incl chem pure lactose '1702
etc; artif honey; caramel
Milk and cream, concentrated or '0402
sweetened
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
ton
ton
ton
ton
ton
ton
ton
ton
ton
ton
13.340.093 15.546.080 17.995.258 14.400.261 15.423.058 19.322.013 25.591.474 24.451.884 24.760.528 26.333.289 4.428.511 4.482.806 4.615.694 4.497.193 4.655.286 4.810.539 5.604.860 6.250.490 6.737.512 7.432.598 Trend (%)
2005‐2014
8,11 6,07 1.852.702 2.116.058 2.323.096 2.273.292 2.324.280 2.868.875 2.938.556 3.479.612 3.509.820 3.828.672 8,25 185.597 1.775.321 701.953 286.541 338.798 1.527.516 3.207.657 1.692.994 3.191.045 3.253.619 29,80 1.996.368 1.511.001 2.972.787 1.019.944 1.393.227 1.785.569 2.502.569 2.815.940 3.344.304 2.965.801 7,41 1.086.178 1.132.144 1.411.589 1.173.097 1.314.620 1.740.505 2.088.616 1.921.207 1.785.385 1.965.811 7,60 189.617 438.109 1.406.848 289.689 250.473 687.582 2.750.476 1.810.372 472.665 844.164 14,95 359.447 397.125 475.129 593.159 506.780 487.711 654.790 570.766 564.623 636.050 5,46 456.156 374.421 439.921 524.478 538.004 560.488 656.012 578.550 665.752 622.679 5,55 200.164 187.244 205.350 273.237 297.071 400.025 426.524 475.780 473.260 555.330 13,92 148.752 121.605 91.288 207.368 357.833 169.042 95.171 202.669 385.318 173.359 145.517 239.820 299.534 205.275 206.018 226.506 267.808 194.002 234.449 243.902 576.862 229.393 210.666 308.763 556.689 251.004 122.459 346.277 873.434 185.828 101.410 314.994 309.972 282.423 130.525 257.895 483.302 253.679 246.835 225.575 10,40 7,11 4,77 3,27 71.344 51.846 60.791 73.845 186.685 130.013 157.419 194.688 233.873 225.365 18,95 159.635 175.084 181.520 164.721 156.730 182.084 201.899 205.859 209.916 203.935 2,99 Sumber : Comtrade, diolah
Selain kelima produk tersebut, dalam Tabel 4.1. terdapat sepuluh kelompok
produk lagi dengan pangsa volume impor cukup besar, antara 0,8 persen sampai 3
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
persen. Kesepuluh produk tersebut terdiri dari Rice (HS 1006), Onions, garlic and
leeks, fresh or chilled (HS 0703), Animal feed preparations, nes (HS 2309), Beetpulp, bagasse and brewing or distilling dregs and waste (HS 2303), Starches; inulin
(HS 1108), Ground-nuts, not roasted (HS 1202), Live bovine animals (HS 0102),
Apples, pears and quinces, fresh (HS 0808), Sugars,nes,incl chem pure lactose etc;
artif honey; caramel (HS 1702), dan Milk and cream, concentrated or sweetened (HS
0402). Total dari pangsa volume impor sepuluh produk tersebut mencapai 16 persen
dari total volume impor produk pertanian Indonesia pada tahun 2014.
Total pangsa volume impor dari kelima belas produk tersebut dapat dilihat
selengkapnya dalam Tabel 4.1. Pangsa dari kelima belas kelompok produk tersebut
mencapai 90 persen dari pangsa impor produk pertanian Indonesia, dan seharusnya
menjadi pedoman dalam penentuan produk yang perlu dibatasi akses pasar
impornya. Namun, mengingat kebijakan kuota impor Indonesia yang telah
dinotifikasikan ke WTO hanya terdiri dari beras dan susu serta produk susu sulit bagi
Indonesia untuk mengandalkan kebijakan SePS untuk melindungi petani lokal dari
serbuan produk impor. Keterbatasan kebijakan SePS yang hanya meliputi kedua
produk tersebut menyebabkan Indonesia hanya dapat mengaplikasikan kebijakan
kuota impor untuk 4 persen dari total volume impor komoditas pertanian.
Berdasarkan data dalam Tabel 4.1., kebijakan SePS sulit diharapkan efektif dalam
melindungi petani lokal dari serbuan produk impor, kecuali Indonesia memperluas
cakupan produk yang dapat dikenakan kuota meliputi komoditas kedele, jagung dan
gula.
4.2 Impor Produk Pertanian dan Korelasinya Terhadap Nilai Tukar Petani (NTP)
Data impor produk pertanian Indonesia yang diambil dari Comtrade memiliki
periode dari tahun 1995 sampai 2014, namun sayangnya data nilai tukar petani yang
diperoleh dari Pusdatin Kementerian Pertanian dan dapat digunakan dalam analisis
ini memiliki periode tahun 2009 sampai tahun 2015. Pemilihan periode ini
disebabkan tahun 2012 telah dipilih sebagai tahun dasar dalam perhitungan NTP.
Berdasarkan tahun dasar yang baru tersebut, telah dilakukan proyeksi (backcasting
dan forecasting) selama 2009-2015. Berdasarkan kondisi tersebut, maka analisis
korelasi antara impor dengan nilai NTP akan dilakukan dengan data tahunan untuk
periode 2009 sampai 2014.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
NTP selama tahun 2009 sam
mpai 2014
4 menunju
ukkan pen
ningkatan selama
tahun 2009 sampai 2011, dan setelah itu rela
atif stabil selama
s
tah
hun 2012 sampai
2014. Adapun nilai
n
NTP tahun 200
09 mencapai 90.81,, sedangkkan ditahun 2014
menca
apai 98.89. Selama periode 2009-2014
2
4, NTP terrtinggi dicapai tahun
n 2012
sebesa
ar 100. NTP
N
petan
ni yang relatif
r
kon
nsisten se
elama 201
11 sampa
ai 2014
mengin
ndikasikan kebijakan
n pemerinttah pusat dan daera
ah selama periode te
ersebut
sudah cukup baikk dalam menjaga nila
ai tukar dan kesejahtteraan peta
ani.
Gam
mbar 4.1. Korelasi
K
Po
ositif Antara
a Volume Impor
I
Perttanian deng
gan Nilai Tukar
T
Petani
Sumberr : Pusdatin, Comtrade, diolah
d
Disisi lain,, pada tah
hun 2009 sampai
s
dengan tahun 2014, pe
erubahan volume
impor produk pe
ertanian memiliki
m
p
pola
yang sama de
engan NTP
P. Impor volume
pertaniian mening
gkat selam
ma tahun 2009
2
samp
pai 2011, dan
d
setela
ah itu relattif stabil
selama
a tahun 2011 sampai dengan 2014.
2
Kom
moditas yan
ng paling tiinggi penin
ngkatan
volume
e impor sellama perio
ode tersebu
ut adalah jagung, gula dan bera
as. Volume
e impor
jagung selama 20
009-20014
4 meningka
at sebesarr 29,8 persen per tah
hun, volume
e impor
gula meningkat
m
1
18,95
perssen per tah
hun, dan volume
v
impor beras meningka
at 14,95
persen
n per tahun
n.
Selanjutnyya, hasil uji korela
asi denga
an mengg
gunakan m
metode Pearson
P
mukan bah
hwa korela
asi antara NTP dengan volum
me impor produk pe
ertanian
menem
menca
apai 0.95 dengan
d
niilai p-value
e mencap
pai 0.04. Nilai
N
korela
asi sebesa
ar 0.95
menun
njukkan pe
erubahan NTP
N
hamp
pir 95 perrsen identiik dengan perubaha
an pola
Puska KPI,
K BP2KP, Kementerian
n Perdagang
gan
15
impor. Sedangkan nilai p-value 0.04 menunjukkan hubungan ini nyata dan dapat
diterima melalui uji statistik. Hasil uji statistik ini membantu membuktikan bahwa
kebijakan pemerintah pusat dan daerah dapat selama tahun 2009-2014 berhasil
menjagas stabilitas NTP meskipun terdapat peningkatan volume impor produk
pertanian.
4.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Produk Pertanian Impor
A. Kebijakan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan
Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sumber pangan nasional,
dan ditargetkan memberikan pasokan beras sebesar 2,5 juta ton sebagai cadangan
pangan nasional. Keberhasilan Sulawesi Selatan menjadi salah satu sumber
cadangan
pangan
nasional
menyebabkan
provinsi
tersebut
memperoleh
penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara yang ketiga, yang diraih selama tahun
2011 sampai 2013. Namun disaat bersamaan, Provinsi Sulawesi Selatan berniat
untuk menjadi provinsi pertama yang dapat melipattigakan nilai ekspor mereka dan
menjadi salah satu tiang perekonomian nasional. Menyadari adanya dua tujuan
yang dapat bertolak belakang ini, perlu dilakukan survei ke provinsi tersebut untuk
mempelajari kebijakan mereka. Adapun survei ke provinsi ini bertujuan untuk
mengumpulkan informasi mengenai kebijakan impor pangan provinsi Sulawesi
Selatan, apakah hanya mengandalkan kebijakan tarif atau menggunakan kebijakan
lainnya.
Hasil kunjungan ke Dinas Perindustri dan Perdagangan menemukan bahwa
pemerintah daerah sangat memberikan perhatian penuh bagi kebijakan stabilitas
harga pangan, khususnya bagi pangan penting daerah yaitu beras, gula, jagung,
kedele, daging sapi, rumput laut dan kakao. Selain itu pemerintah daerah melakukan
rapat rutin dengan dipimpin oleh Gubernur melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID). Adapun kebijakan pemerintah daerah dalam pengendalian harga pangan
yang melindungi petani dan produsen tidak bergantung pada kebijakan tarif, tapi
lebih mengutamakan pada ketersediaan pasokan (stok) dan kelancaran distribusi.
Setiap instansi pemerintah daerah dengan arahan Gubernur berperan aktif dalam
mewujudkan hal tersebut. berdasarkan hasil temuan dari turun lapang di Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, kebijakan yang merupakan variasi dari berbagai
ketentuan distribusi dan logistik lebih diutamakan dibandingkan kebijakan tarif untuk
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
mewujudkan ketahanan pangan dengan memberikan nilai tukar yang pantas bagi
petani dan harga yang layak bagi konsumen. Namun sayangnya salah satu kendala
dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah kurangnya akses informasi dinas atas
produk impor yang masuk ke Sulawesi Selatan yang dimiliki Bea Cukai.
Hasil kunjungan ke Bappeda menemukan bahwa pemerintah daerah sangat
memberikan perhatian penuh bagi pengembangan komoditas penting daerah yaitu
beras, gula, jagung, kedele, daging sapi, rumput laut dan kakao. Kebijakan tersebut
terdiri dari kombinasi perbaikan bibit, peningkatan produktifitas, investasi untuk
meningkatkan nilai tambah dan bantuan modal. Saat ini propinsi Sulawesi Selatan
masih memberlakukan kebijakan distribusi berupa pembatasan atas produk impor
yang dapat masuk ke propinsi ini, khususnya untuk produk beras, gula, daging sapi.
Kebijakan ini dirasakan lebih efektif dibandingkan kebijakan tambahan pajak atau
tarif dalam mengurangi masuknya produk impor.
B. Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Tengah
Kegiatan turun lapang ke Jawa Tengah bertujuan untuk mengumpulkan data
dan informasi untuk menganalisis kebijakan pemerintah daerah Provinsi Jawa
Tengah (Pemprov Jateng) terhadap rencana negosiasi Indonesia pada pertemuan
Tingkat Menteri ke-10 negara-negara anggota WTO di Nairobi – Kenya dimana
negara anggota diberikan hak untuk memilih produk-produk yang digolongkan
sensitif serta menentukan kebijakan kuota tarif terhadap produk sensitif tersebut.
Data dan informasi yang dikumpulkan adalah upaya untuk mensinkronisasi
kebijakan pusat dan daerah terhadap rencana negosiasi pemerintah pada forum
multilateral WTO di Nairobi terkait produksi, perencanaan pengembangan, dan
permasalahan yang dihadapi Pemprov Jateng dimana sampel yang diambil adalah
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan
Badan Perencanaan Daerah.
Berdasarkan hasil turun lapang dapat diketahui bahwa instansi di daerah
tidak memiliki kebijakan khusus dalam rangka mengantisipasi masuknya produkproduk impor pertanian dan holtikultura. Pemprov Jateng hanya menjalankan
kebijakan-kebijakan
yang
diambil
oleh
pemerintah
pusat
dan
mengimplementasikannya di tingkat provinsi hingga kabupaten. Adapun, kendala
pemerintah daerah saat ini adalah pelabuhan Tanjung Emas – Semarang bukanlah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
pintu masuk produk-produk impor pertanian dan holtikultura melainkan melalui
pelabuhan Tanjung Perak – Surabaya sehingga pengawasan produk-produk impor
tersebut menjadi sulit. Selain itu, pemerintah daerah juga mengkritisi mengenai
kebijakan pemerintah pusat yang terkadang tidak sejalan dengan kondisi di daerah,
sebagai contoh membuka kuota impor bawang merah ketika petani di Jawa Tengah
sedang melakukan panen raya yang menyebabkan harga di tingkat petani jatuh.
Dapat kami laporkan juga bahwa Jawa Tengah merupakan lumbung nasional
dan pendukung cadangan pangan nasional untuk komoditas utama seperti padi,
jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Saat ini, Pemerintah Pemprov Jateng sedang
berupaya
meningkatkan
produksi
hasil
pertaniannya
dengan
melakukan
pengembangan kawasan yang mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Tahun 2013-2018 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa tengah Tahun 2016. Upaya tersebut dilakukan guna mensukseskan
program kedaulatan pangan yang dicanangkan pemerintah pusat dan juga untuk
meningkatkan kesejahteraan petani dimana pada tahun 2016 pemerintah daerah
mentargetkan produksi padi sebesar 10.269.110 ton, jagung 3.028.901 ton, kedelai
147.191 ton, tebu 5.332.570 ton, kelapa 188.060 ton, dan daging sapi 291.141 ton.
Lebih lanjut, Dinas Pertanian juga mengusulkan produk-produk sayuran dan
buah-buahan agar masuk ke dalam isu produk sensitif pertanian guna melindungi
kehidupan dan kesejahteraan petani, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Produk
sayuran yang dimaksud antara lain bawang merah, cabe, dan kentang. Sedangkan,
produk buah-buahan antara lain adalah pisang, mangga, jeruk, manggis, durian, dan
salak.
C. Analisis Pembobotan Rata-rata dari Kegiatan Turun Lapang
Hasil analisis pembobotan rata-rata yang diperoleh dari kegiatan survey dapat
dilihat selengkapnya dalam Gambar 4.2 untuk produk pertanian prioritas dan
Gambar 4.3. untuk kebijakan yang dipilh dalam mengatur kegiatan impor produk
pertanian. Nilai yang ditampilkan dalam kedua grafik tersebut diperoleh dari hasil
survey terhadap instansi terkait di Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
Gam
mbar 4.2. Produk
P
Prioritas Men
nurut Peme
erintah Dae
erah
Sum
mber : Surveyy 2015, diolah
h
Berdasarkkan Gambar 4.2. te
erdapat lim
ma produk yang paling sering
g dipilih
respon
prioritas yyaitu beras
nden diked
dua provinsi sebaga
ai produk pertanian
p
s, gula,
jagung, kedele dan
d
daging
g sapi. Kellima produ
uk tersebutt selalu dissebut oleh
h setiap
respon
nden sehin
ngga kelim
manya me
emiliki nila
ai yang sama
s
yaitu
u 0.15. Hasil
H
ini
menun
njukkan bahwa kelima
a produk tersebut sa
aat ini dianggap sama pentingn
nya dan
menjad
di prioritass pemerinttah provinsi. Adapun prioritass yang ha
arus merek
ka jaga
adalah produksi,, harga ko
onsumsi dan
d
nilai tukar petan
ni. Adapun
n produk lainnya
aut, kakao, produk sayur
s
dan kelapa hanya disam
mpaikan ole
eh satu
seperti rumput la
atau dua
d
responden. Kon
ndisi ini menunjukk
m
kan produk tersebutt hanya menjadi
m
priorita
as dari instansi terse
ebut, sehin
ngga dapa
at dicoret dari daftarr produk prioritas
p
rata-rata.
Hasil pem
mbobotan rata-rata dalam Gambar
G
4
4.3.
menunjukkan bahwa
pemeriintah provvinsi di Su
ulawesi Selatan dan Jawa Tengah
T
menggunaka
an dua
instrum
men kebijakkan untuk mengatur aliran bara
ang impor pertanian yaitu peng
gaturan
distribu
usi dan stock
s
(cad
dangan pa
angan). Sebagian
S
m
besar ressponden memilih
mengg
gunakan
pengaturan
distribu
usi
produ
uk
impor
yang
te
erdiri
darri
saat
pembo
ongkaran produk im
mpor pang
gan dipela
abuhan masuk.
m
Se
elain itu seluruh
respon
nden sepakat bahwa
a kebijakan
n tarif dan
n kuota im
mpor tidak efektif me
engatur
produkk pertanian
n impor. Ke
ebijakan tersebut dianggap tida
ak efektif ka
arena pem
merintah
provinssi tidak me
emiliki datta volume impor yang masuk kepelabuhan atau daerah
Puska KPI,
K BP2KP, Kementerian
n Perdagang
gan
19
mereka
a, sehingg
ga tidak dapat me
enentukan mana produk
p
impor yang masih
memen
nuhi kuota dan mana
a produk yang
y
sudah
h melebihi kuota dan
n harus dik
kenakan
tarif impor.
Gamba
ar 4.3. Keb
bijakan Unttuk Menga
atur Impor Produk Pe
ertanian
Su
umber : Survey 2015, diolah
4.4 Usulan Kebijjakan Tari
riff Quota Indonesia
I
Perkemba
angan terakhir dalam
m negosias
si SePS adalah non
n paper Pa
araguay
yang mengusulk
m
kan 5 perssen dari total
t
pos tarif
t
sebag
gai produkk sensitif dengan
d
pemoto
ongan tariff untuk pro
oduk yang melewati
m
kuota
k
minim
mal sebesa
ar 10 perse
en. Jika
usulan Paraguayy tersebut digunakan
n sebagai pedoman,, kondisi Indonesia saat
s
ini
masih sangat jau
uh dari ussulan terse
ebut. Berdasarkan la
aporan Ind
donesia ke
e WTO,
saat in
ni Indonesia hanya memiliki
m
4 pos tarif dalam ka
ategori Harrmonized System
(HS) 10
0 digit yang diberlakukan kebijakan kuota
a. Jika diba
andingkan dengan to
otal pos
tarif Ind
donesia sa
aat ini yan
ng mencap
pai 10.012
2 pos tarif, kebijakan
n kuota Ind
donesia
hanya diberlakukkan untukk 0.04 perrsen dari total pos tarif yang ada. Menyadari
kebijakkan SePS sangat berhubung
b
gan denga
an pelaksa
anaan tariiff quota, kondisi
Indone
esia saat in
ni hanya memungki
m
nkan untuk mengga
aplikasikan SePS ba
agi 0.04
persen
n dari total pos tarif ya
ang diperd
dagangkan, jauh diba
awah usula
an Paragua
ay yang
menca
apai 5 persen.
Menyadarri kondisi In
ndonesia saat
s
ini yan
ng jauh dibawah usulan terakhir dalam
S, perlu dilakukan
d
perbandin
ngan anta
ara kebija
akan tarifff quota
negosiasi SePS
Indone
esia denga
an bebera
apa negarra lain. Perbandingan (bench
hmarking) antara
kebijakkan tariff qu
uota Indon
nesia dengan bebera
apa negara
a berkemba
ang lainnya
a dapat
dilihat dalam Tab
bel 5.1. Ad
dapun neg
gara yang dipilih seb
bagai perb
bandingan adalah
dua mitra anggotta G33 den
ngan jumla
ah pendudu
uk besar yaitu
y
China
a dan India
a. China
Puska KPI,
K BP2KP, Kementerian
n Perdagang
gan
20
dan India adalah dua negara yang memiliki kemampuan negosiasi sangat baik di
WTO. Jika produk dan kebijakan tariff quota Indonesia relatif mirip dengan kedua
negara tersebut, akan lebih mudah menemukan teman negosiasi yang kuat. Dalam
analisis ini tidak dilakukan perbandingan antara Indonesia dengan Brasil, salah satu
negara berkembang lain yang memiliki kemampuan negosiasi sangat baik di WTO.
Hal ini disebabkan dalam beberapa kali pertemuan dengan anggota Satuan Tugas
untuk negosiasi pertanian WTO (Satgas G-33) diperkirakan saat ini sulit untuk
berkerjasama dengan Brasil karena hubungan yang belum pulih semenjak
pemberlakuan hukuman mati atas warga negara Brasil tahun ini.
Tabel 4.2. Perbandingan Produk dan Volume Tariff Quota China dan India
Negara
Indonesia
China
Produk
Tariff Quota
Beras
0.07 juta ton
Susu dan produk susu
0,414 juta ton
Gandum (durum, wheat, wheat
9,6 juta ton
peal, wheat pellet)
Jagung (maize seed, maize flour,
7,2 juta ton
maize meal)
Beras (short and medium grain)
5,32 juta ton
Gula
1,945 juta ton
(Raw
cane,
raw
beet,
granulate, superfine, other)
India
Wool
0.287 juta ton
Kapas
0.894 juta ton
Susu bubuk dan krim
0.001 juta ton
Jagung
0.5 juta ton
Minyak kanola, custurd dan sejenis
0.15 juta ton
Sumber : WTO, diolah
Hasil analisis produk dan volume tariff quota antara Indonesia dengan China1
dan India2 menunjukkan bahwa kebijakan Indonesia lebih mendekati kebijakan India
dibandingkan China. Indonesia melaporkan kebijakan tariff quota untuk produk
pangan sumber karbohidrat berupa beras dan sumber protein berupa susu,
1
2
WTO, 2014 : G/AG/N/CHN/26 WTO, 2011 : G/AG/N/IND/4 Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
sedangkan India melaporkan kebijakan tariff quota untuk produk sejenis yaitu jagung
dan susu bubuk berserta krim. Salah satu temuan dari perbandingan tersebut, India
tidak efisien menggunakan kebijakan tariff quota mereka, dilihat dari variasi produk
sedikit meskipun volume yang diberikan bebas tarif sangat kecil. Kondisi ini berbeda
dengan kebijakan tariff quota China, dimana negara tersebut memberlakukan
kebijakan tariff quota untuk produk yang beragam dengan volume impor yang
dibebaskan dari tariff quota relatif besar.
Selain kebijakan tariff quota, India dan China sebagaimana halnya Indonesia
juga memiliki instrumen lain dalam komitmen WTO untuk mengatur jalur distribusi
produk impor pertanian. Salah satu instrumen penting yang digunakan adalah
subsidi public stock holding (PSH). Kebijakan PSH pada dasarnya adalah
pengaturan kebijakan distribusi produk pangan pokok yang dilaksanakan oleh
institusi pemerintah. India merupakan salah satu anggota negara WTO yang sangat
berkepentingan dalam hal ini menggingat kebijakan ketahanan pangan dan
mempertahankan nilai tukar petani mereka sangat bergantung pada subsidi PSH.
Kebijakan subsidi PSH India sampai saat ini masih banyak dipermasalahakan
karena dipandang oleh beberapa negara belum sejalan dengan komitmen WTO,
khususnya Paket Bali.
Berdasarkan pembahasan diatas, terdapat tiga alternatif dalam negosiasi
SePS Indonesia yaitu :
a. Memilih berkerjasama dengan India yang lebih menekankan pada subsidi
PSH dan tidak terlalu efisien dalam menggunakan instrumen tariff quota dan
negosiasi SePS.
b. Memilih berkerjasama dengan China yang membagi kepentingan pangan dan
petani mereka berimbang pada subsidi PSH dan relatif efisien dalam
menggunakan instrumen tariff quota serta negosiasi SePS.
c. Memilih kebijakan SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain
mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum dapat memberlakukan
kebijakan tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS.
Kajian ini pada prinsipnya mengusulkan Indonesia untuk memilih alternatif c,
mengingat responden dari Pemerintah Provinsi menyatakan lebih memilih
menggunakan kebijakan distribusi untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar
petani dibandingkan kebijakan tarif atau kuota.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari kajian ini terdiri dari :
a. Berdasarkan temuan turun lapang dan laporan kebijakan tariff quota
Indonesia ke WTO, diyakini Indonesia belum siap untuk memberlakukan
kebijakan Sensitive Product (SePS) dan saat ini kebijakan SePS tidak akan
efektif dilaksanakan.
b. Potensi ketidakefektifan kebijakan SePS disebabkan terbatasnya jenis dan
jumlah produk yang dapat dikenakan kebijakan tariff quota, dan tidak
tersedianya informasi pendukung di daerah untuk memberlakukan kebijakan
tariff quota.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan
kesimpulan
tersebut,
direkomendasikan
memanfaatkan
kebijakan SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain dalam negosiasi WTO,
mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum dapat memberlakukan kebijakan
tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
DAFTAR PUSTAKA
Bridges. 2015. WTO Farm Talks: Paraguay Tariff Cut Paper Outlines Formula,
Request-Offer Approach. International Centre for Trade and Sustainable
Development, Geneva. Volume 19 - Number 9.Comtrade.
Jena, S., D. Laborde, and W. Martin. 2011. Formulas and Flexibility in Trade
Negotiations:
Sensitive
Agricultural
Products
in
the
World
Trade
Organization’s Doha Agenda. The World Bank Economic Review, Vol. 24, No.
3.
Oktariadi, O. 2009. Penentuan Peringkat Bahaya Tsunami dengan Metode Analytical
Hierarchy Process (Studi kasus: Wilayah Pesisir Kabupaten Sukabumi).
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 2.
Rodgers, J. L. and W.A. Nicewander. 1988. Thirteen ways to look at the correlation
coefficient. The American Statistician 42 (1).
Saaty, T.L. 2008. Decision Making With The Analytic Hierarchy Process. Int. J.
Services Sciences, Vol. 1, No. 1
Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
Vanzetti, D. and R. Peters. 2008. Do Sensitive Products Undermine Ambition?
Australian National University and UNCTAD. Contributed paper at Australian
Agricultural and Resource Economics Society 52nd. Annual Conference, 5-8
Feb, Canberra, Australia
Wall H. 1999. Using the Gravity Model to Estimate the Costs of Protection. Federal
Reserve Bank of St. Louis Review. Jan:33-40.
World Trade Organization (WTO). 2011. Working Paper No.10 : Sensitive Product.
Diunduh melalui : Sumber :
https://www.wto.org/.../workdoc_10sensitive_e.d..., pada 28 Agustus 2015.
WTO, 2011. Market Access: India, Implementation of market access opportunities:
tariff and other quota commitments. G/AG/N/IND/4. Geneva.
WTO. 2013. Market Access: Indonesia, Lists Relating To Tariff And Other Quota
Commitments. G/AG/N/IDN/32. Geneva.
WTO. 2013. Market Access: China, Lists relating to tariff and other quota
commitments. G/AG/N/CHN/26. Geneva.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
Download