LAPORAN AKHIR ANALISIS USULAN POSISI RUNDING INDONESIA UNTUK NEGOSIASI SENSITIVE PRODUCT DI KONFERENSI TINGKAT MENTERI WTO X PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA 2015 ABSTRAK 1. SePS (sensitive product) merupakan salah satu perundingan dalam negosiasi World Trade Organization (WTO), dimana produk pertanian yang menjadi bagian SePS akan memperoleh pemotongan tarif yang lebih sedikit dibandingkan produk pertanian lainnya. Namun sebagai kompensasi, harus diberlakukan kebijakan tariff rate quota (TRQ), untuk menjamin akses pasar atas produk impor yang termasuk kedalam kelompok SePS. 2. Sebagai salah satu usulan terbaru untuk SePS, dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-9 di Bali, Paraguay mengajukan usulan agar negara berkembang diberikan keleluasaan untuk menetapkan 5% pos tarif sebagai produk sensitif dengan pemotongan tarif minimal sebesar 10%. Indonesia belum memberikan tanggapan atas usulan posisi SePS tersebut, sehingga perlu disusun kajian yang dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam menanggapi usulan Paraguay dan negosiasi SePS selanjutnya. 3. Analisis ini menemukan fakta bahwa kebijakan kuota impor Indonesia yang telah dinotifikasikan ke WTO hanya terdiri dari beras dan susu serta produk susu. Hal ini menyulitkan Indonesia untuk mengandalkan kebijakan SePS untuk melindungi petani lokal dari serbuan produk impor, karena aplikasi kebijakan TRQ hanya mencakup 4 persen dari total volume impor komoditas pertanian. 4. Selanjutnya hasil survey menemukan bahwa pemerintah propinsi saat ini tidak dapat memberlakukan TRQ, karena mereka tidak memiliki data volume impor yang masuk ke pelabuhan atau daerah mereka. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak dapat menentukan mana produk impor yang masih memenuhi kuota, atau mana produk yang sudah melebihi kuota dan harus dikenakan tarif impor. 5. Berdasarkan temuan turun lapang dan laporan kebijakan tariff quota Indonesia ke WTO, diyakini Indonesia belum siap untuk memberlakukan kebijakan SePS dan saat ini kebijakan SePS tidak akan efektif dilaksanakan. Potensi ketidakefektifan kebijakan SePS disebabkan terbatasnya jenis dan jumlah produk yang dapat dikenakan kebijakan tariff quota, dan tidak tersedianya informasi pendukung di daerah untuk memberlakukan kebijakan tariff quota. 6. Berdasarkan hasil benchmarking antara kebijakan TRQ Indonesia dengan China dan India, terdapat tiga alternatif dalam negosiasi SePS Indonesia yaitu : a) Memilih bekerjasama dengan India yang lebih menekankan pada subsidi PSH dan tidak terlalu efisien dalam menggunakan instrumen tariff quota dan negosiasi SePS, b) Memilih berkerjasama dengan China yang membagi kepentingan pangan dan petani mereka berimbang pada subsidi PSH dan relatif efisien dalam menggunakan instrumen tariff quota serta negosiasi SePS, atau c) Memilih kebijakan SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum memberlakukan kebijakan tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS. 7. Mempertimbangkan kondisi pemerintah provinsi yang sampai saat ini belum memiliki kemampuan memberlakukan TRQ sebagai salah satu instrumen utama SePS, maka kajian ini merekomendasikan agar Indonesia pada negosiasi WTO memanfaatkan negosiasi SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain, mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum dapat memberlakukan kebijakan tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS. KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga analisis yang berjudul Analisis Usulan Posisi Runding Indonesia Untuk Negosiasi Sensitive Product di Konferensi Tingkat Menteri WTO X, dapat diselesaikan. Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional, BP2KP dan Kepala Bidang Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan dan pihak lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat disebutkan satu per satu. Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang. Jakarta, Oktober 2015 Tim Penulis i DAFTAR ISI Halaman Bab I. PENDAHULUAN .................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................... 1 1.3 Tujuan ............................................................................ 2 1.4 Hasil Analisis.................................................................. 2 1.5 Dampak/Manfaat............................................................ 2 1.6 Ruang Lingkup ............................................................... 2 Bab II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 3 2.1 Negosiasi Sensitive Product (SePS) .............................. 3 2.2 Kebijakan Tarif ............................................................... 4 2.3 Kebijakan Kuota ............................................................. 7 Bab III. DATA DAN METODOLOGI .................................................. 10 3.1 Data ............................................................................... 10 3.2 Kerangka Pemikiran....................................................... 10 3.3 Metodologi ..................................................................... 11 Bab IV. IMPOR PRODUK PERTANIAN, NILAI TUKAR PETANI, KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH, DAN USULAN NEGOSIASI SePS ............................................................... 13 4.1 Impor Produk Pertanian ................................................. 13 4.2 Impor Produk Pertanian dan Korelasinya Terhadap Nilai Tukar Petani........................................................... 14 4.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Produk Pertanian Impor ............................................................. 16 4.4 Usulan Kebijakan Tariff Quota Indonesia ....................... 20 Bab V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................. 23 5.1 Kesimpulan .................................................................... 23 5.2 Rekomendasi ................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 24 LAMPIRAN ....................................................................................... 25 ii DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL Daftar Gambar Halaman 2.1 Dampak-Dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil ................. 6 2.2 Dampak Pembatasan Impor (Kuota) Terhadap Kesejahteraan ................................................................ 8 3.1 Kerangka Pemikiran....................................................... 10 4.1 Korelasi Positif Antara Volume Impor Pertanian dengan Nilai Tukar Petani .............................................. 15 4.2 Produk Prioritas Menurut Pemerintah Daerah ............... 19 4.3 Kebijakan Untuk Mengatur Impor Produk Pertanian ...... 20 Daftar Tabel Halaman 4.1 Impor Produk Pertanian Utama Berdasarkan Volume ... 13 4.2 Perbandingan Produk dan Volume Tariff Quota China dan India .............................................................. iii 21 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) X World Trade Organization (WTO) akan direncanakan pada bulan Desember 2015 di Nairobi, Kenya. Dalam KTM tersebut akan dibahas berbagai usulan negosiasi yang salah satu diantaranya adalah Sensitive Products (SePS). SePs merupakan bentuk instrumen yang akan diberlakukan kepada beberapa produk pertanian dari negara maju maupun berkembang, berupa pengenaan penurunan tarif lebih kecil daripada produk reguler lainnya. Berdasarkan Para 72 Draft Text Rev 4, Negara Berkembang mempunyai hak untuk memasukkan sampai satu pertiga (1/3) dari jumlah tariff lines sebagai SePs. Dalam klausul negosiasi tersebut, negara berkembang dapat memilih pos tarif impor dari produk pertanian yang akan diberlakukan kebijakan kuota tarif (Tariff Rate Quota/TRQ) antara 2% - 2,6% dari total pos tarif produk pertanian. Saat ini perundingan SePS mengalami kendala karena ketidaksepakatan antara negara berkembang dan negara maju mengenai penentuan TRQ dan nilai pemotongan tarif (Tier formula). Sebagai salah satu usulan terbaru untuk SePS, dalam KTM WTO ke-9 di Bali, Paraguay mengajukan usulan agar negara berkembang diberikan keleluasaan untuk menetapkan 5% pos tarif sebagai produk sensitif dengan pemotongan tarif minimal sebesar 10%. Indonesia belum memberikan tanggapan atas usulan posisi SePS tersebut, dan untuk itu perlu disusun kajian yang dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam menanggapi usulan Paraguay dan negosiasi SePS selanjutnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang, permasalahan dari kajian ini adalah : a. Bagaimanakah potensi pelaksanaan Sensitive Products (SePs) di Indonesia ? b. Apakah rumusan rekomendasi posisi runding dalam perundingan Sensitive Products (SePs) di WTO Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari kajian ini adalah : a. Menganalisis potensi pelaksanaan Sensitive Products (SePs) di Indonesia. b. Merumuskan rekomendasi posisi runding dalam perundingan Sensitive Products (SePs) di WTO 1.4 Hasil Analisis Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai Kebijakan Indonesia Dalam Memanfaatkan Negosiasi Produk Sensitif Pertanian di WTO. 1.5 Dampak/Manfaat Tersedianya informasi mengenai: a. Usulan produk dan penurunan tarif Sensitive Products (SePs) Indonesia. b. Kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan kuota tarif dalam negosiasi Sensitive Products (SePS). c. Usulan rumusan rekomendasi posisi runding dalam perundingan Sensitive Products (SePS) di WTO. 1.6 Ruang Lingkup Analisis Adapun ruang lingkup dalam kajian ini adalah : a. Kajian ini berdasarkan pada posisi runding Indonesia dalam KTM WTO ke-9 di Bali, dan perkembangan negosiasi Sensitive Products (SePS) di WTO dan rapat antar kementerian terkait. b. Produk pertanian yang dikaji adalah HS 01-24 dengan mengecualikan produk perikanan, serta produk pertanian yang dijadikan prioritas di beberapa daerah turun lapang. c. Kesiapan pelaksanaan kuota tarif ditentukan dari kemampuan pemerintah daerah untuk mengetahui volume impor produk pertanian yang masuk ke wilayah mereka, dan apakah terdapat peraturan daerah yang mendukung. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Negosiasi Sensitive Product (SePS) SePS merupakan salah satu perundingan dalam negosiasi World Trade Negotiation (WTO) dimana negara berkembang maupun negara maju dapat mengajukan sebagian produk pertanian mereka kedalam kelompok SePS. Kelompok produk pertanian yang menjadi bagian dari SePS akan memperoleh perlakuan khusus dengan pemotongan tarif yang lebih sedikit dibandingkan produk pertanian lainnya. Namun sebagai kompensasi pemberlakuan SePS, harus diberikan kuota dalam bentuk kebijakan tariff rate quota (TRQ), untuk menjamin akses pasar atas produk impor yang termasuk kedalam SePS (WTO, 2011). Sebelum KTM WTO ke-9 di Bali, usulan dalam perundingan SePS bagi negara maju dapat mengusulkan 4 atau 6 persen dalam pos tarif berlaku dan alternatif 6 atau 8 persen dari pos tarif produk pertanian dalam Harmonized System (HS) 6 digit kedalam kelompok SePS, sedangkan untuk negara berkembang memperoleh tambahan sepertiga dari nilai persentase negara maju yang disepakati. Adapun tarif yang akan dipotong dalam kelompok SePS adalah bound tariff sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Namun setiap negara yang memberlakukan kebijakan SePS harus memberikan jaminan akses pasar produk impor sebesar 4 atau 6 persen dari total volume yang diperdagangkan dan jaminan konsumsi oleh masyarakat untuk produk impor sebesar 3 atau 5 persen dari volume konsumsi (WTO, 2011). Dampak pelaksanaan SePS terhadap komitmen peningkatan akses pasar di WTO diperkirakan cukup besar, karena langsung mengurangi rata-rata tarif yang dipotong antara 1-2 persen. Selain itu pelaksanaan komitmen SePS diprediksikan akan berpengaruh terhadap perdagangan karena setiap negara dapat membatasi akses pasar untuk produk yang mereka anggap sensitif (Jean, et.al., 2011). Selanjutnya Vanzetti dan Peters (2008) menemukan bahwa aplikasi SePS terhadap sepertiga dari tarif pertanian tertinggi menyebabkan peningkatan nilai tarif rata-rata menjadi 16 sampai 24 persen, hampir dua kali lipat jika tidak diberlakukan SePS. Mengingat kebijakan SePS dapat diberlakukan oleh negara maju dan negara berkembang, potensi SePS yang berpotensi memberikan proteksi berlebihan Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3 menyebabkan banyak negara tidak berniat melanjutkan negosiasi tersebut. Namun, masih terdapat usulan baru melalui non paper dari Paraguay mengajukan usulan agar negara berkembang diberikan keleluasaan untuk menetapkan 5% pos tarif sebagai produk sensitif dengan pemotongan tarif minimal sebesar 10%, dan memasukkan proses request offer dalam penentuan produk SePS (Briges, 2015). Sayangnya proposal Paraguay tersebut masih bersifat non paper dan belum menjadi proposal resmi sehingga belum dapat menjadi rujukan posisi runding terbaru dan dikaji dalam kajian ini. Bagi Indonesia, pelaksanaan negosiasi SePS memiliki tantangan tersendiri mengingat kebijakan ini merupakan kombinasi antara kebijakan tarif dan pemberlakuan kuota. Sampai saat ini Indonesia hanya memiliki dua produk yang diajukan melaksanakan kebijakan tarif kuota impor yaitu beras dan susu beserta produk susu. Adapun kuota yang berlaku untuk kedua produk tersebut adalah 70.000 ton untuk beras dan 414.700 ton untuk susu dan produk susu (WTO, 2013). Terbatasnya produk pertanian yang dapat dikenakan kebijakan kuota menjadi kendala bagi Indonesia untuk aktif bernegosiasi pelaksanaan proteksi SePS. 2.2 Kebijakan Tarif Tarif pada dasarnya merupakan pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek asal komoditi, terdapat dua macam tarif yaitu (Salvatore, 1997) : 1) Tarif impor, merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain, 2) Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor. Teori keseimbangan umum dapat menjelaskan dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan ekonominya terbatas. Dengan asumsi tidak mampu mempengaruhi harga yang berlaku di pasaran internasional, ketika sebuah negara kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya, yang berubah hanyalah harga barang tersebut di pasar domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan produsen di negara kecil yang bersangkutan. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4 Secara teoritis, dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari pemberlakuan tarif di sebuah kecil, misalnya Indonesia, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.1 di bawah ini. Dalam gambar diasumsikan terdapat dua komoditi yang diperdagangkan (komoditi X dan Y) dan dua negara yang melakukan perdagangan (pertukaran komoditi), yaitu negara kecil (disebut negara 2) yang menetapkan harga domestiknya dengan PF dan negara lainnya (negara dunia/world) dengan harga Pw. Sehingga pada gambar tersebut terlihat bahwa di pasar dunia berlaku Px/Py = 1, negara 2 akan berproduksi di titik B dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2 mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak) sebesar 100% terhadap komoditi X, harga komoditi tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X; separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari pengenaan tariff ad valorem 100% terhadap komoditi X yang diimpor. Karena disumsikan bahwa pemerintah negara 2 menggunakan kebijakan tarif tersebut dalam rangka meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke kurva indiferensi II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang ada setelah tarif tersebut diberlakukan. Dari Gambar 2.1 dapat disimpulkan bahwa dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kondisinya di masa perdagangan bebas (tanpa tarif). Hal ini terlihat dari bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang terletak pada kurva indiferensi yang lebih rendah daripada sebelumnya. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5 Komoditi Y 140 ‐ 120 ‐ B 85 ‐ F 60 ‐ 55 ‐ E III G H H’ II A 40 ‐ PF = 2 0 I I I I I 40 95 100 PW = 1 Komoditi X Gambar 2.1 Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil (Salvatore, 1997) Penurunan kesejahteraan tersebut bersumber dari dua sebab yaitu: (1) Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia; dan (2) Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferensi tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Keduanya diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan harga dunia. Penurunan kesejahteraan terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang tidak efisien juga merupakan padanan dari kerugian akibat konsumsi. Selain penurunan kesejahteraan, volume perdagangan di negara kecil (negara 2) pun mengalami kemerosotan dengan adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih berlangsung secara bebas. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6 Dari penjelasan tersebut, maka semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan memaksa suatu perekonomian terusmenerus berproduksi dan berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri. 2.3 Kebijakan Kuota Hambatan perdagangan bukan tarif (non-tariff barrier) merupakan bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Praktik perdagangan yang terjadi pada saat ini, masing-masing negara melakukan intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks, yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Secara teoritis, salah satu bentuk hambatan impor bukan tarif adalah kuota. Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan adanya kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik. Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor. Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang setara. Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran yang defisit dan akan meningkatkan harga produk. Pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen. Pada akhirnya hal ini akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore 1997). Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7 Harga S P M A B C D P W D Kuantitas QS0 QS1 QD1 QD0 Gambar 2.2. Dampak Pembatasan Impor (Kuota) terhadap Kesejahteraan (Sumber: Wall, 1999) Dari Gambar 2.2, apabila terjadi perdagangan bebas maka barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada proteksi impor, maka harga akan meningkat menjadi PM. Sebagai akibatnya, negara tersebut akan berproduksi sebesar QS1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus konsumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditransfer ke produsen. Area B dan D adalah kehilangan kesejahteraan atau Dead Weight Loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini secara teoritis diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan penerimaan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan pemerintah hanya dapat meningkat melalui penjualan lisensi kuota. Dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8 Berbagai macam restriksi atau hambatan non tarif itu telah menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya yang merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Saat ini terdapat indikasi terjadinya perubahan dalam kebijakan perdagangan dunia. Salah satu alasan negara tidak memilih tarif sebagai instrumen kebijakan yaitu adanya kerjasama bilateral dan regional yang membatasi penggunaan kebijakan perdagangan tradisional seperti tarif. Pada akhirnya negara lebih meningkatan pemberlakuan kebijakan non tariff (Non Tariff Measures/NTMs). Berbagai negara menggunakan alasan tertentu seperti perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi, sehingga isu perdagangan yang semula menurunkan hambatan tarif bergeser ke arah NTMs. Walaupun NTMs merupakan kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan, namun kebijakan ini dapat diterapkan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional. NTM didefinisikan sebagai langkah-langkah kebijakan selain tarif yang secara potensial memiliki dampak ekonomi pada perdagangan barang internasional, mengubah kuantitas perdagangan, atau harga, atau keduanya (UNCTAD 2013). Pemberlakuan NTMs diperbolehkan dalam ketentuan WTO dengan alasan-alasan tertentu seperti ketahanan pangan, perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi. NTMs mencakup berbagai macam kebijakan yang terkait sanitary and phytosanitary measures (SPS), technical barrier to trade (TBT), quotas, import and export licences, export restrictions, customs surcharges, and anti-dumping and safeguard measure. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9 BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer yang diperoleh melalui kegiatan turun lapang untuk menanyai responden dan data sekunder yang terdiri dari data impor produk pertanian yang diperoleh dari Comtrade, serta data Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian. Adapun informasi yang ditanyakan kepada responden adalah produk prioritas yang akan dikembangkan di daerah tersebut terutama produk pertanian. Selanjutnya kepada responden akan ditanyakan kebijakan pertanian yang akan dilakukan atau diteruskan untuk menjaga NTP. 3.2 Kerangka Pemikiran Tujuan utama pemberlakuan kebijakan tarif dan kuota adalah untuk membatasi akses pasar impor dengan tujuan memberikan tambahan kesejahteraan atau pendapatan bagi produsen (Salvatore, 1997). Salah satu informasi yang akurat di Indonesia untuk menggambarkan perubahan kesejahteraan produsen komoditas pertanian atau petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Oleh karena itu, harus dicari informasi apakah perubahan impor akan mempengaruhi perubahan NTP. Jika tidak, pembatasan akses pasar diyakini tidak akan memberikan dampak positif kepada petani dan hanya mengurangi kesejahteraan konsumen. Berdasarkan asumsi tersebut, kerangka pemikiran analisis ini dapat dilihat dalam Gambar 3.1. Impor Produk Pertanian dan Korelasi Terhadap NTP Responden Pemerintah Daerah Kebijakan Terkait Negosiasi SePS Ada Rekomendasi Negosiasi SePS di Nairobi Produk Perioritas dan Bukan Prioritas Rencana Kebijakan Untuk Menjaga NTP Tidak Ada Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10 Kegiatan awal dala am analisiss ini adalah mempe elajari pro oduk yang paling banyakk diimpor Indonesia a saat ini, dan dam mpak peru ubahan da ari volume e impor tersebu ut terhada ap NTP. Setelah S me emperoleh h hasil terrsebut, aka an dikaji dengan d komitm men Indone esia di WT TO yang sa ampai saat ini hanya a mengajukkan produk beras serta susu s dan produk p sussu yang memungkin m diberlakukan kebija akan kuota a impor. Hasil te emuan aw wal tersebu ut akan dikkonsultasik kan dengan pemerintah daerah h untuk menge etahui prod duk pertan nian prioritas mereka a dan keb bijakan unttuk menjag ga nilai tukar petani. p Se elanjutnya akan dian nalisis apa akah kebija akan terse ebut sejala an atau tidak dengan d po otensi pem mberlakuan kebijakan n SePS un ntuk dijadikan dasarr dalam penyussunan reko omendasi negosiasi Indonesia a dalam negosiasi n S SePS di Nairobi, N Kenya.. 3.3 Me etodologi Metodolog gi yang dig gunakan dalam d kajian ini terd diri dari dua bagia an yaitu analisiss korelasi untuk me engetahui hubungan antara to otal impor produk pe ertanian terhada ap perubahan nila ai tukar petani. Pemilihan P metode analisis korelasi k disebabkan terba atasnya data nilai tukar t petani yang diperoleh. S Selanjutny ya akan dilakukkan analisis menggunakan mattriks pemb bobotan un ntuk menge etahui tang ggapan pemeriintah daera ah atas usulan dalam m negosias si SePS ya ang berlang gsung saatt ini. Analisis Korelas si Analisis ko orelasi dapat diguna akan deng gan mengg gunakan b beberapa metode, m salah satunya dengan engan dilambangkan de metode Korelasi Pearson. Korelasi Pearson n atau (rho), meru upakan metode m yan ng dapat digunakan n untuk menga analisis dua variabell dari data a parametrik. Nilai korelasi k Pe earson an ntara -1 sampa ai +1 merup pakan indikasi hubun ngan kedu ua variabel apakah b berlawan (--1) atau saling berhubung gan (+1). Metode p perhitungan untuk mendapatk m kan nilai Korelasi K Pearso on adalah : ݎൌ ܧሾሺሺܺ െ ܺݑሻሺܻ ܻ െ ܻݑሻሿ ߲߲ܻܺ a : X dan Y adalah kedua va ariabel, ݑadalah nillai perkiraa an dan ߲ adalah dimana standa art deviasi (Rodgers ( a Nicewa and ander, 198 88) Puska KPI, K BP2KP, Kementerian n Perdagang gan 11 Analisis Pembobotan Rata-rata Analisis pembobotan rata-rata dengan menggunakan matriks pembobotan yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada konsep perhitungan matriks dalam metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas berdasarkan pendapat dari para ahli. Metode ini dikembangkan oleh Saaty untuk membantu para pimpinan dalam mengambil keputusan menegemen. Pendapat para ahli akan diolah untuk memperoleh matriks Pairwise Comparison, yang selanjutnya akan menghasilkan skala prioritas (Saaty, 2008; Oktariadi, 2009). Namun sayangnya dalam kegiatan survey yang dilakukan dalam kajian ini, tidak semua responden dapat mengisi skala tingkat kepentingan yang diperlukan untuk memperoleh matriks Pairwise Comparison. Sebagai upaya untuk mengatasi hal ini, dalam kajian ini matriks Pairwise Comparison diganti dengan tidak menggunakan metode pembobotan dari Saaty, namun menggunakan skala ordinal untuk menentukan prioritas menurut pendapat responden. Selanjutnya dari prioritas berdasarkan skala ordinal tersebut, akan dihitung bobot rata-rata untuk memperoleh produk dan kebijakan prioritas yang dapat diiusulkan dalam negosiasi SePS di KTM WTO X di Nariobi, Kenya. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12 BAB IV IMPOR PRODUK PERTANIAN, NILAI TUKAR PETANI, KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH, DAN USULAN NEGOSIASI SePS 4.1 Impor Produk Pertanian Berdasarkan data Comtrade dalam HS 4 digit, volume impor pertanian Indonesia pada tahun 2014 mencapai 26,33 juta ton. Pada tahun 2014 tersebut, terdapat lima kelompok komoditas yang paling banyak diimpor, yaitu Wheat and meslin (HS 1001) dengan pangsa volume impor sebesar 28,2 persen, kemudian Soya-bean oil-cake and other solid residues (HS 2304) dengan pangsa volume impor 14,5 persen, Maize (corn) (HS 1005) sebesar 12,4 persen, Cane or beet sugar and chemically pure sucrose, in solid form (HS 1701) sebesar 11,3 persen dan Soya beans, whether or not broken (HS 1201) sebesar 7,5 persen. Total akumulasi pangsa volume impor dari kelima kelompok komoditas tersebut mencapai 73,8 persen dari total volume impor produk pertanian. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1. Impor Produk Pertanian Utama Berdasarkan Volume Code Product label Pertanian '1001 Wheat and meslin Soya‐bean oil‐cake and other solid '2304 residues '1005 Maize (corn) Cane or beet sugar and chemically '1701 pure sucrose, in solid form '1201 Soya beans, whether or not broken '1006 Rice Onions, garlic and leeks, fresh or '0703 chilled '2309 Animal feed preparations, nes Beet‐pulp, bagasse and brewing or '2303 distilling dregs and waste '1108 Starches; inulin '1202 Ground‐nuts, not roasted '0102 Live bovine animals '0808 Apples, pears and quinces, fresh Sugars,nes,incl chem pure lactose '1702 etc; artif honey; caramel Milk and cream, concentrated or '0402 sweetened 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 ton ton ton ton ton ton ton ton ton ton 13.340.093 15.546.080 17.995.258 14.400.261 15.423.058 19.322.013 25.591.474 24.451.884 24.760.528 26.333.289 4.428.511 4.482.806 4.615.694 4.497.193 4.655.286 4.810.539 5.604.860 6.250.490 6.737.512 7.432.598 Trend (%) 2005‐2014 8,11 6,07 1.852.702 2.116.058 2.323.096 2.273.292 2.324.280 2.868.875 2.938.556 3.479.612 3.509.820 3.828.672 8,25 185.597 1.775.321 701.953 286.541 338.798 1.527.516 3.207.657 1.692.994 3.191.045 3.253.619 29,80 1.996.368 1.511.001 2.972.787 1.019.944 1.393.227 1.785.569 2.502.569 2.815.940 3.344.304 2.965.801 7,41 1.086.178 1.132.144 1.411.589 1.173.097 1.314.620 1.740.505 2.088.616 1.921.207 1.785.385 1.965.811 7,60 189.617 438.109 1.406.848 289.689 250.473 687.582 2.750.476 1.810.372 472.665 844.164 14,95 359.447 397.125 475.129 593.159 506.780 487.711 654.790 570.766 564.623 636.050 5,46 456.156 374.421 439.921 524.478 538.004 560.488 656.012 578.550 665.752 622.679 5,55 200.164 187.244 205.350 273.237 297.071 400.025 426.524 475.780 473.260 555.330 13,92 148.752 121.605 91.288 207.368 357.833 169.042 95.171 202.669 385.318 173.359 145.517 239.820 299.534 205.275 206.018 226.506 267.808 194.002 234.449 243.902 576.862 229.393 210.666 308.763 556.689 251.004 122.459 346.277 873.434 185.828 101.410 314.994 309.972 282.423 130.525 257.895 483.302 253.679 246.835 225.575 10,40 7,11 4,77 3,27 71.344 51.846 60.791 73.845 186.685 130.013 157.419 194.688 233.873 225.365 18,95 159.635 175.084 181.520 164.721 156.730 182.084 201.899 205.859 209.916 203.935 2,99 Sumber : Comtrade, diolah Selain kelima produk tersebut, dalam Tabel 4.1. terdapat sepuluh kelompok produk lagi dengan pangsa volume impor cukup besar, antara 0,8 persen sampai 3 Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13 persen. Kesepuluh produk tersebut terdiri dari Rice (HS 1006), Onions, garlic and leeks, fresh or chilled (HS 0703), Animal feed preparations, nes (HS 2309), Beetpulp, bagasse and brewing or distilling dregs and waste (HS 2303), Starches; inulin (HS 1108), Ground-nuts, not roasted (HS 1202), Live bovine animals (HS 0102), Apples, pears and quinces, fresh (HS 0808), Sugars,nes,incl chem pure lactose etc; artif honey; caramel (HS 1702), dan Milk and cream, concentrated or sweetened (HS 0402). Total dari pangsa volume impor sepuluh produk tersebut mencapai 16 persen dari total volume impor produk pertanian Indonesia pada tahun 2014. Total pangsa volume impor dari kelima belas produk tersebut dapat dilihat selengkapnya dalam Tabel 4.1. Pangsa dari kelima belas kelompok produk tersebut mencapai 90 persen dari pangsa impor produk pertanian Indonesia, dan seharusnya menjadi pedoman dalam penentuan produk yang perlu dibatasi akses pasar impornya. Namun, mengingat kebijakan kuota impor Indonesia yang telah dinotifikasikan ke WTO hanya terdiri dari beras dan susu serta produk susu sulit bagi Indonesia untuk mengandalkan kebijakan SePS untuk melindungi petani lokal dari serbuan produk impor. Keterbatasan kebijakan SePS yang hanya meliputi kedua produk tersebut menyebabkan Indonesia hanya dapat mengaplikasikan kebijakan kuota impor untuk 4 persen dari total volume impor komoditas pertanian. Berdasarkan data dalam Tabel 4.1., kebijakan SePS sulit diharapkan efektif dalam melindungi petani lokal dari serbuan produk impor, kecuali Indonesia memperluas cakupan produk yang dapat dikenakan kuota meliputi komoditas kedele, jagung dan gula. 4.2 Impor Produk Pertanian dan Korelasinya Terhadap Nilai Tukar Petani (NTP) Data impor produk pertanian Indonesia yang diambil dari Comtrade memiliki periode dari tahun 1995 sampai 2014, namun sayangnya data nilai tukar petani yang diperoleh dari Pusdatin Kementerian Pertanian dan dapat digunakan dalam analisis ini memiliki periode tahun 2009 sampai tahun 2015. Pemilihan periode ini disebabkan tahun 2012 telah dipilih sebagai tahun dasar dalam perhitungan NTP. Berdasarkan tahun dasar yang baru tersebut, telah dilakukan proyeksi (backcasting dan forecasting) selama 2009-2015. Berdasarkan kondisi tersebut, maka analisis korelasi antara impor dengan nilai NTP akan dilakukan dengan data tahunan untuk periode 2009 sampai 2014. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14 NTP selama tahun 2009 sam mpai 2014 4 menunju ukkan pen ningkatan selama tahun 2009 sampai 2011, dan setelah itu rela atif stabil selama s tah hun 2012 sampai 2014. Adapun nilai n NTP tahun 200 09 mencapai 90.81,, sedangkkan ditahun 2014 menca apai 98.89. Selama periode 2009-2014 2 4, NTP terrtinggi dicapai tahun n 2012 sebesa ar 100. NTP N petan ni yang relatif r kon nsisten se elama 201 11 sampa ai 2014 mengin ndikasikan kebijakan n pemerinttah pusat dan daera ah selama periode te ersebut sudah cukup baikk dalam menjaga nila ai tukar dan kesejahtteraan peta ani. Gam mbar 4.1. Korelasi K Po ositif Antara a Volume Impor I Perttanian deng gan Nilai Tukar T Petani Sumberr : Pusdatin, Comtrade, diolah d Disisi lain,, pada tah hun 2009 sampai s dengan tahun 2014, pe erubahan volume impor produk pe ertanian memiliki m p pola yang sama de engan NTP P. Impor volume pertaniian mening gkat selam ma tahun 2009 2 samp pai 2011, dan d setela ah itu relattif stabil selama a tahun 2011 sampai dengan 2014. 2 Kom moditas yan ng paling tiinggi penin ngkatan volume e impor sellama perio ode tersebu ut adalah jagung, gula dan bera as. Volume e impor jagung selama 20 009-20014 4 meningka at sebesarr 29,8 persen per tah hun, volume e impor gula meningkat m 1 18,95 perssen per tah hun, dan volume v impor beras meningka at 14,95 persen n per tahun n. Selanjutnyya, hasil uji korela asi denga an mengg gunakan m metode Pearson P mukan bah hwa korela asi antara NTP dengan volum me impor produk pe ertanian menem menca apai 0.95 dengan d niilai p-value e mencap pai 0.04. Nilai N korela asi sebesa ar 0.95 menun njukkan pe erubahan NTP N hamp pir 95 perrsen identiik dengan perubaha an pola Puska KPI, K BP2KP, Kementerian n Perdagang gan 15 impor. Sedangkan nilai p-value 0.04 menunjukkan hubungan ini nyata dan dapat diterima melalui uji statistik. Hasil uji statistik ini membantu membuktikan bahwa kebijakan pemerintah pusat dan daerah dapat selama tahun 2009-2014 berhasil menjagas stabilitas NTP meskipun terdapat peningkatan volume impor produk pertanian. 4.3 Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Produk Pertanian Impor A. Kebijakan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu sumber pangan nasional, dan ditargetkan memberikan pasokan beras sebesar 2,5 juta ton sebagai cadangan pangan nasional. Keberhasilan Sulawesi Selatan menjadi salah satu sumber cadangan pangan nasional menyebabkan provinsi tersebut memperoleh penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara yang ketiga, yang diraih selama tahun 2011 sampai 2013. Namun disaat bersamaan, Provinsi Sulawesi Selatan berniat untuk menjadi provinsi pertama yang dapat melipattigakan nilai ekspor mereka dan menjadi salah satu tiang perekonomian nasional. Menyadari adanya dua tujuan yang dapat bertolak belakang ini, perlu dilakukan survei ke provinsi tersebut untuk mempelajari kebijakan mereka. Adapun survei ke provinsi ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai kebijakan impor pangan provinsi Sulawesi Selatan, apakah hanya mengandalkan kebijakan tarif atau menggunakan kebijakan lainnya. Hasil kunjungan ke Dinas Perindustri dan Perdagangan menemukan bahwa pemerintah daerah sangat memberikan perhatian penuh bagi kebijakan stabilitas harga pangan, khususnya bagi pangan penting daerah yaitu beras, gula, jagung, kedele, daging sapi, rumput laut dan kakao. Selain itu pemerintah daerah melakukan rapat rutin dengan dipimpin oleh Gubernur melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Adapun kebijakan pemerintah daerah dalam pengendalian harga pangan yang melindungi petani dan produsen tidak bergantung pada kebijakan tarif, tapi lebih mengutamakan pada ketersediaan pasokan (stok) dan kelancaran distribusi. Setiap instansi pemerintah daerah dengan arahan Gubernur berperan aktif dalam mewujudkan hal tersebut. berdasarkan hasil temuan dari turun lapang di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kebijakan yang merupakan variasi dari berbagai ketentuan distribusi dan logistik lebih diutamakan dibandingkan kebijakan tarif untuk Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16 mewujudkan ketahanan pangan dengan memberikan nilai tukar yang pantas bagi petani dan harga yang layak bagi konsumen. Namun sayangnya salah satu kendala dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah kurangnya akses informasi dinas atas produk impor yang masuk ke Sulawesi Selatan yang dimiliki Bea Cukai. Hasil kunjungan ke Bappeda menemukan bahwa pemerintah daerah sangat memberikan perhatian penuh bagi pengembangan komoditas penting daerah yaitu beras, gula, jagung, kedele, daging sapi, rumput laut dan kakao. Kebijakan tersebut terdiri dari kombinasi perbaikan bibit, peningkatan produktifitas, investasi untuk meningkatkan nilai tambah dan bantuan modal. Saat ini propinsi Sulawesi Selatan masih memberlakukan kebijakan distribusi berupa pembatasan atas produk impor yang dapat masuk ke propinsi ini, khususnya untuk produk beras, gula, daging sapi. Kebijakan ini dirasakan lebih efektif dibandingkan kebijakan tambahan pajak atau tarif dalam mengurangi masuknya produk impor. B. Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Tengah Kegiatan turun lapang ke Jawa Tengah bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi untuk menganalisis kebijakan pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) terhadap rencana negosiasi Indonesia pada pertemuan Tingkat Menteri ke-10 negara-negara anggota WTO di Nairobi – Kenya dimana negara anggota diberikan hak untuk memilih produk-produk yang digolongkan sensitif serta menentukan kebijakan kuota tarif terhadap produk sensitif tersebut. Data dan informasi yang dikumpulkan adalah upaya untuk mensinkronisasi kebijakan pusat dan daerah terhadap rencana negosiasi pemerintah pada forum multilateral WTO di Nairobi terkait produksi, perencanaan pengembangan, dan permasalahan yang dihadapi Pemprov Jateng dimana sampel yang diambil adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Badan Perencanaan Daerah. Berdasarkan hasil turun lapang dapat diketahui bahwa instansi di daerah tidak memiliki kebijakan khusus dalam rangka mengantisipasi masuknya produkproduk impor pertanian dan holtikultura. Pemprov Jateng hanya menjalankan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat dan mengimplementasikannya di tingkat provinsi hingga kabupaten. Adapun, kendala pemerintah daerah saat ini adalah pelabuhan Tanjung Emas – Semarang bukanlah Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17 pintu masuk produk-produk impor pertanian dan holtikultura melainkan melalui pelabuhan Tanjung Perak – Surabaya sehingga pengawasan produk-produk impor tersebut menjadi sulit. Selain itu, pemerintah daerah juga mengkritisi mengenai kebijakan pemerintah pusat yang terkadang tidak sejalan dengan kondisi di daerah, sebagai contoh membuka kuota impor bawang merah ketika petani di Jawa Tengah sedang melakukan panen raya yang menyebabkan harga di tingkat petani jatuh. Dapat kami laporkan juga bahwa Jawa Tengah merupakan lumbung nasional dan pendukung cadangan pangan nasional untuk komoditas utama seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Saat ini, Pemerintah Pemprov Jateng sedang berupaya meningkatkan produksi hasil pertaniannya dengan melakukan pengembangan kawasan yang mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2013-2018 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi Jawa tengah Tahun 2016. Upaya tersebut dilakukan guna mensukseskan program kedaulatan pangan yang dicanangkan pemerintah pusat dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani dimana pada tahun 2016 pemerintah daerah mentargetkan produksi padi sebesar 10.269.110 ton, jagung 3.028.901 ton, kedelai 147.191 ton, tebu 5.332.570 ton, kelapa 188.060 ton, dan daging sapi 291.141 ton. Lebih lanjut, Dinas Pertanian juga mengusulkan produk-produk sayuran dan buah-buahan agar masuk ke dalam isu produk sensitif pertanian guna melindungi kehidupan dan kesejahteraan petani, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Produk sayuran yang dimaksud antara lain bawang merah, cabe, dan kentang. Sedangkan, produk buah-buahan antara lain adalah pisang, mangga, jeruk, manggis, durian, dan salak. C. Analisis Pembobotan Rata-rata dari Kegiatan Turun Lapang Hasil analisis pembobotan rata-rata yang diperoleh dari kegiatan survey dapat dilihat selengkapnya dalam Gambar 4.2 untuk produk pertanian prioritas dan Gambar 4.3. untuk kebijakan yang dipilh dalam mengatur kegiatan impor produk pertanian. Nilai yang ditampilkan dalam kedua grafik tersebut diperoleh dari hasil survey terhadap instansi terkait di Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18 Gam mbar 4.2. Produk P Prioritas Men nurut Peme erintah Dae erah Sum mber : Surveyy 2015, diolah h Berdasarkkan Gambar 4.2. te erdapat lim ma produk yang paling sering g dipilih respon prioritas yyaitu beras nden diked dua provinsi sebaga ai produk pertanian p s, gula, jagung, kedele dan d daging g sapi. Kellima produ uk tersebutt selalu dissebut oleh h setiap respon nden sehin ngga kelim manya me emiliki nila ai yang sama s yaitu u 0.15. Hasil H ini menun njukkan bahwa kelima a produk tersebut sa aat ini dianggap sama pentingn nya dan menjad di prioritass pemerinttah provinsi. Adapun prioritass yang ha arus merek ka jaga adalah produksi,, harga ko onsumsi dan d nilai tukar petan ni. Adapun n produk lainnya aut, kakao, produk sayur s dan kelapa hanya disam mpaikan ole eh satu seperti rumput la atau dua d responden. Kon ndisi ini menunjukk m kan produk tersebutt hanya menjadi m priorita as dari instansi terse ebut, sehin ngga dapa at dicoret dari daftarr produk prioritas p rata-rata. Hasil pem mbobotan rata-rata dalam Gambar G 4 4.3. menunjukkan bahwa pemeriintah provvinsi di Su ulawesi Selatan dan Jawa Tengah T menggunaka an dua instrum men kebijakkan untuk mengatur aliran bara ang impor pertanian yaitu peng gaturan distribu usi dan stock s (cad dangan pa angan). Sebagian S m besar ressponden memilih mengg gunakan pengaturan distribu usi produ uk impor yang te erdiri darri saat pembo ongkaran produk im mpor pang gan dipela abuhan masuk. m Se elain itu seluruh respon nden sepakat bahwa a kebijakan n tarif dan n kuota im mpor tidak efektif me engatur produkk pertanian n impor. Ke ebijakan tersebut dianggap tida ak efektif ka arena pem merintah provinssi tidak me emiliki datta volume impor yang masuk kepelabuhan atau daerah Puska KPI, K BP2KP, Kementerian n Perdagang gan 19 mereka a, sehingg ga tidak dapat me enentukan mana produk p impor yang masih memen nuhi kuota dan mana a produk yang y sudah h melebihi kuota dan n harus dik kenakan tarif impor. Gamba ar 4.3. Keb bijakan Unttuk Menga atur Impor Produk Pe ertanian Su umber : Survey 2015, diolah 4.4 Usulan Kebijjakan Tari riff Quota Indonesia I Perkemba angan terakhir dalam m negosias si SePS adalah non n paper Pa araguay yang mengusulk m kan 5 perssen dari total t pos tarif t sebag gai produkk sensitif dengan d pemoto ongan tariff untuk pro oduk yang melewati m kuota k minim mal sebesa ar 10 perse en. Jika usulan Paraguayy tersebut digunakan n sebagai pedoman,, kondisi Indonesia saat s ini masih sangat jau uh dari ussulan terse ebut. Berdasarkan la aporan Ind donesia ke e WTO, saat in ni Indonesia hanya memiliki m 4 pos tarif dalam ka ategori Harrmonized System (HS) 10 0 digit yang diberlakukan kebijakan kuota a. Jika diba andingkan dengan to otal pos tarif Ind donesia sa aat ini yan ng mencap pai 10.012 2 pos tarif, kebijakan n kuota Ind donesia hanya diberlakukkan untukk 0.04 perrsen dari total pos tarif yang ada. Menyadari kebijakkan SePS sangat berhubung b gan denga an pelaksa anaan tariiff quota, kondisi Indone esia saat in ni hanya memungki m nkan untuk mengga aplikasikan SePS ba agi 0.04 persen n dari total pos tarif ya ang diperd dagangkan, jauh diba awah usula an Paragua ay yang menca apai 5 persen. Menyadarri kondisi In ndonesia saat s ini yan ng jauh dibawah usulan terakhir dalam S, perlu dilakukan d perbandin ngan anta ara kebija akan tarifff quota negosiasi SePS Indone esia denga an bebera apa negarra lain. Perbandingan (bench hmarking) antara kebijakkan tariff qu uota Indon nesia dengan bebera apa negara a berkemba ang lainnya a dapat dilihat dalam Tab bel 5.1. Ad dapun neg gara yang dipilih seb bagai perb bandingan adalah dua mitra anggotta G33 den ngan jumla ah pendudu uk besar yaitu y China a dan India a. China Puska KPI, K BP2KP, Kementerian n Perdagang gan 20 dan India adalah dua negara yang memiliki kemampuan negosiasi sangat baik di WTO. Jika produk dan kebijakan tariff quota Indonesia relatif mirip dengan kedua negara tersebut, akan lebih mudah menemukan teman negosiasi yang kuat. Dalam analisis ini tidak dilakukan perbandingan antara Indonesia dengan Brasil, salah satu negara berkembang lain yang memiliki kemampuan negosiasi sangat baik di WTO. Hal ini disebabkan dalam beberapa kali pertemuan dengan anggota Satuan Tugas untuk negosiasi pertanian WTO (Satgas G-33) diperkirakan saat ini sulit untuk berkerjasama dengan Brasil karena hubungan yang belum pulih semenjak pemberlakuan hukuman mati atas warga negara Brasil tahun ini. Tabel 4.2. Perbandingan Produk dan Volume Tariff Quota China dan India Negara Indonesia China Produk Tariff Quota Beras 0.07 juta ton Susu dan produk susu 0,414 juta ton Gandum (durum, wheat, wheat 9,6 juta ton peal, wheat pellet) Jagung (maize seed, maize flour, 7,2 juta ton maize meal) Beras (short and medium grain) 5,32 juta ton Gula 1,945 juta ton (Raw cane, raw beet, granulate, superfine, other) India Wool 0.287 juta ton Kapas 0.894 juta ton Susu bubuk dan krim 0.001 juta ton Jagung 0.5 juta ton Minyak kanola, custurd dan sejenis 0.15 juta ton Sumber : WTO, diolah Hasil analisis produk dan volume tariff quota antara Indonesia dengan China1 dan India2 menunjukkan bahwa kebijakan Indonesia lebih mendekati kebijakan India dibandingkan China. Indonesia melaporkan kebijakan tariff quota untuk produk pangan sumber karbohidrat berupa beras dan sumber protein berupa susu, 1 2 WTO, 2014 : G/AG/N/CHN/26 WTO, 2011 : G/AG/N/IND/4 Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21 sedangkan India melaporkan kebijakan tariff quota untuk produk sejenis yaitu jagung dan susu bubuk berserta krim. Salah satu temuan dari perbandingan tersebut, India tidak efisien menggunakan kebijakan tariff quota mereka, dilihat dari variasi produk sedikit meskipun volume yang diberikan bebas tarif sangat kecil. Kondisi ini berbeda dengan kebijakan tariff quota China, dimana negara tersebut memberlakukan kebijakan tariff quota untuk produk yang beragam dengan volume impor yang dibebaskan dari tariff quota relatif besar. Selain kebijakan tariff quota, India dan China sebagaimana halnya Indonesia juga memiliki instrumen lain dalam komitmen WTO untuk mengatur jalur distribusi produk impor pertanian. Salah satu instrumen penting yang digunakan adalah subsidi public stock holding (PSH). Kebijakan PSH pada dasarnya adalah pengaturan kebijakan distribusi produk pangan pokok yang dilaksanakan oleh institusi pemerintah. India merupakan salah satu anggota negara WTO yang sangat berkepentingan dalam hal ini menggingat kebijakan ketahanan pangan dan mempertahankan nilai tukar petani mereka sangat bergantung pada subsidi PSH. Kebijakan subsidi PSH India sampai saat ini masih banyak dipermasalahakan karena dipandang oleh beberapa negara belum sejalan dengan komitmen WTO, khususnya Paket Bali. Berdasarkan pembahasan diatas, terdapat tiga alternatif dalam negosiasi SePS Indonesia yaitu : a. Memilih berkerjasama dengan India yang lebih menekankan pada subsidi PSH dan tidak terlalu efisien dalam menggunakan instrumen tariff quota dan negosiasi SePS. b. Memilih berkerjasama dengan China yang membagi kepentingan pangan dan petani mereka berimbang pada subsidi PSH dan relatif efisien dalam menggunakan instrumen tariff quota serta negosiasi SePS. c. Memilih kebijakan SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum dapat memberlakukan kebijakan tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS. Kajian ini pada prinsipnya mengusulkan Indonesia untuk memilih alternatif c, mengingat responden dari Pemerintah Provinsi menyatakan lebih memilih menggunakan kebijakan distribusi untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar petani dibandingkan kebijakan tarif atau kuota. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari kajian ini terdiri dari : a. Berdasarkan temuan turun lapang dan laporan kebijakan tariff quota Indonesia ke WTO, diyakini Indonesia belum siap untuk memberlakukan kebijakan Sensitive Product (SePS) dan saat ini kebijakan SePS tidak akan efektif dilaksanakan. b. Potensi ketidakefektifan kebijakan SePS disebabkan terbatasnya jenis dan jumlah produk yang dapat dikenakan kebijakan tariff quota, dan tidak tersedianya informasi pendukung di daerah untuk memberlakukan kebijakan tariff quota. 5.2 Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan tersebut, direkomendasikan memanfaatkan kebijakan SePS sebagai kartu tawar untuk kepentingan lain dalam negosiasi WTO, mengingat kondisi Indonesia saat ini yang belum dapat memberlakukan kebijakan tariff quota sebagai salah satu instrumen utama SePS. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23 DAFTAR PUSTAKA Bridges. 2015. WTO Farm Talks: Paraguay Tariff Cut Paper Outlines Formula, Request-Offer Approach. International Centre for Trade and Sustainable Development, Geneva. Volume 19 - Number 9.Comtrade. Jena, S., D. Laborde, and W. Martin. 2011. Formulas and Flexibility in Trade Negotiations: Sensitive Agricultural Products in the World Trade Organization’s Doha Agenda. The World Bank Economic Review, Vol. 24, No. 3. Oktariadi, O. 2009. Penentuan Peringkat Bahaya Tsunami dengan Metode Analytical Hierarchy Process (Studi kasus: Wilayah Pesisir Kabupaten Sukabumi). Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 2. Rodgers, J. L. and W.A. Nicewander. 1988. Thirteen ways to look at the correlation coefficient. The American Statistician 42 (1). Saaty, T.L. 2008. Decision Making With The Analytic Hierarchy Process. Int. J. Services Sciences, Vol. 1, No. 1 Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. Vanzetti, D. and R. Peters. 2008. Do Sensitive Products Undermine Ambition? Australian National University and UNCTAD. Contributed paper at Australian Agricultural and Resource Economics Society 52nd. Annual Conference, 5-8 Feb, Canberra, Australia Wall H. 1999. Using the Gravity Model to Estimate the Costs of Protection. Federal Reserve Bank of St. Louis Review. Jan:33-40. World Trade Organization (WTO). 2011. Working Paper No.10 : Sensitive Product. Diunduh melalui : Sumber : https://www.wto.org/.../workdoc_10sensitive_e.d..., pada 28 Agustus 2015. WTO, 2011. Market Access: India, Implementation of market access opportunities: tariff and other quota commitments. G/AG/N/IND/4. Geneva. WTO. 2013. Market Access: Indonesia, Lists Relating To Tariff And Other Quota Commitments. G/AG/N/IDN/32. Geneva. WTO. 2013. Market Access: China, Lists relating to tariff and other quota commitments. G/AG/N/CHN/26. Geneva. Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24