BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
Penelitian ini mengacu pada bagaimana motivasi berprestasi menurut Spence dan
Helmreich
yang terdiri dari mastery of needs, work orientation dan competition akan
berpengaruh pada kontrak psikologis karyawan (dalam Lee, 2010) serta bagaimana akan
berdampak pada kinerja karyawan.
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu aset yang paling penting dalam kegiatan
produksi dan layanan di dunia bisnis. Tanpa sumber daya yang baik, maka kegiatan di bisnis
juga tidak akan berjalan dengan baik.
Pada awalnya dikenal kegiatan ekonomi, sumber daya manusia masih dianggap
sebagai mesin oleh sebagian besar perusahaan. Karena dianggap demikian, maka atasan
kerap kali berbuat seenaknya terhadap sumber daya manusia tersebut. Atasan berpikir bahwa
hal yang terpenting adalah tujuan perusahaan dapat tercapai tanpa harus memperhatikan
faktor manusia.
Namun sekarang ini, karyawan sebagai sumber daya manusia dalam perusahaan atau
organisasi sudah diperhatikan dan diperlakukan dengan manusiawi. Perusahaan mulai
menyadari untuk menerapkan norma-norma kemanusiaan terhadap sumber daya manusia
yang dimilikinya. Manusia sudah dianggap sebagai faktor produksi yang utama yang
perlakuannya dibedakan dengan faktor produksi lainnya (Kasmir, 2008).
11
12
Pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan memberikan rasa keadilan bagi
mereka. Rasa keadilan tersebut akan memberikan motivasi yang kuat bagi mereka dan
mereka akan berupaya untuk memajukan perusahaan. Rasa memiliki perusahaan atau sense of
belonging terhadap perusahaan akan meningkat sehingga produktivitasnya pun meningkat
(Kasmir, 2008).
2.1.2 Motivasi Berprestasi (Achievement Motivation)
Seperti yang dikutip dari artikel Pusat Referensi Konseling (2007), McClelland dan
Atkinson mengungkapkan bahwa setiap orang mempunyai motif, salah satunya yaitu
motivasi berprestasi (achievement motivation). Dalam hal motivasi berprestasi, McClelland
dan Atkinson berpendapat bahwa motivasi tersebut dicirikan dengan seseorang yang
memiliki harapan tinggi untuk mencapai kesuksesan. Mereka juga berpendapat bahwa
motivasi berprestasi itu merupakan upaya seseorang untuk mempertahankan dan
mengarahkan tingkah lakunya untuk mencapai suatu standar prestasi yang ditetapkan.
McClelland (dalam Kusumajati, 2011) mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi
merupakan usaha untuk mencapai suatu kesuksesan dalam kompetisi dengan suatu ukuran
keunggulan. Motivasi berprestasi merupakan suatu dorongan baik dari diri sendiri maupun
dari orang lain. Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan selalu berusaha
lebih baik dari apa yang telah dicapainya dan juga selalu berusaha mengungguli pencapaian
orang lain.
13
McClelland (dalam Pusat Referensi Konseling, 2007) mengungkapkan bahwa orang
yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Mempunyai tanggung jawab pribadi. Yaitu orang yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi akan bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang dimilikinya.
2.
Dapat menetapkan target sendiri dan berupaya untuk menetapkan sesuai standar
unggulan.
3.
Berusaha bekerja dengan kreatif. Artinya seseorang akan berupaya untuk mencari
cara yang kreatif dan gigih untuk menuntaskan pekerjaannya.
4.
Berupaya mencapai tujuan. Yaitu, seseorang yang mempunyai tujuan akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya atau termotivasi untuk meraih
tujuan tersebut.
5.
Memiliki tugas yang moderat. Seseorang akan berupaya membagi-bagi tugasnya
yang sulit agar lebih mudah diselesaikan.
6.
Melakukan seluruh kegiatan dengan sebaik-baiknya. Artinya, orang yang
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan berupaya untuk melakukan hal
yang terbaik yang dapat dilakukan dengan tidak melewatkannya satu pun.
7.
Memiliki antisipasi. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan
berusaha untuk menghadapi seluruh kegiatan dengan antisipasi untuk mencegah
terjadinya kegagalan.
Gellerman (dalam Ifdil, 2007) menyatakan bahwa orang yang memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi akan merasa senang jika dia dapat memenangkan sebuah persaingan.
Orang ini mampu mengambil segala resiko yang ada untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan definisi dari beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa motivasi
berprestasi adalah dorongan yang berasal dari internal maupun eksternal yang mengarahkan
14
mereka untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dengan menghasilkan prestasi sebagai
hasilnya.
Dalam penelitian yang dilakukan Profesor Hung-Wen Lee (2010), ia mengutip teoriteori Spence dan Helmreich mengenai motivasi berprestasi. Spence dan Helmreich
mendefinisikan prestasi sebagai perilaku yang berorientasi pada tugas yang biasanya
dibandingkan dengan standar yang ada atau dengan pencapaian orang lain sebagai penilaian.
Sementara itu, mereka melakukan analisis dan berpendapat bahwa motivasi
berprestasi terdiri dari tiga elemen, yaitu mastery of needs, work orientation, competition
yang merupakan kunci utama yang memberikan kontribusi terhadap individu.
Definisi awal mengenai motivasi berprestasi berasal dari Atkinson (dalam Hung Wen Lee, 2010). Ia mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai perbandingan kinerja
seseorang dengan orang lain terhadap standar kegiatan tertentu. Bigge dan Hunt (dalam Lee,
2010) menyatakan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan untuk bekerja dengan tekun
dan mengarahkannya ke target atau tujuan untuk mendominasi tugas-tugas yang menantang
dan menciptakan rasa prestasi sebagai hasilnya. Bigge dan Hunt membaginya dengan tiga
elemen, yaitu: stimulasi kemampuan pribadi, usaha yang dilakukan terus menerus, dan upaya
untuk mendapatkan kepuasan.
Menurut Spence dan Helmreich (dalam Lee, 2010), motivasi berprestasi terdiri dari
beberapa faktor, yaitu:
1.
Mastery of Needs
Yaitu seseorang lebih menyukai pekerjaan yang menantang dan menuntut pada
intelektual. Ia menyukai peran kepemimpinan dalam kelompok dan mampu
menyelesaikan tugas-tugas yang ada.
15
2.
Work Orientation
Yaitu seorang individu mengambil sikap proaktif dan menunjukkan bahwa
mereka menyukai pekerjaan mereka. Ia mendapat kepuasan dari pekerjaan yang
dilakukan dan berupaya untuk mengembangkan dirinya.
3.
Competition
Seorang individu berharap memperoleh kemenangan dan mempunyai hasrat
untuk dapat unggul dibandingkan dengan yang lain.
2.1.3 Kontrak Psikologis (Psychological Contract)
Argyris (dalam Lee, 2010) merupakan orang pertama yang memperkenalkan kontrak
ke dalam psikologis. Ia menganalisis wawancara antara karyawan dan manajer di sebuah
pabrik. Terminologi yang ia gunakan untuk menggambarkan hubungan keduanya adalah
“Kerja dalam Kontrak Psikologis” yang diharapkan berpengaruh pada perilaku dan hubungan
antara keduanya.
Menurut Mathis dan Jackson (2006), kontrak psikologis merupakan harapan yang
tidak tertulis antara atasan dan karyawan mengenai hubungan kerja mereka. Kontrak
psikologis bersifat individual dan subjektif serta fokus kepada harapan tentang keadilan yang
mungkin tidak didefinisikan dengan jelas oleh karyawan.
Mathis dan Jackson (2006) mengungkapkan kontrak psikologis yang efektif terdiri
dari komponen-komponen berikut:
16
Tabel 2.1 Komponen Kontrak Psikologis yang Efektif
Yang Disediakan Atasan
Kompensasi
dan
tunjangan
Kontribusi Karyawan
yang Perbaikan keterampilan secara terus-
kompetitif.
menerus dan peningkatan produktivitas.
Peluang pengembangan karir.
Waktu untuk organisasi.
Fleksibiltas untuk keseimbangan antara Usaha yang ekstra ketika dibutuhkan.
pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Seperti yang dikutip Husain (2011) bahwa Rousseau dan Robinson menyatakan
bahwa kontrak psikologis merupakan kontrak yang informal, tidak tertulis antara karyawan
dan manajer. Rousseau (dalam Sels, 2004) juga mengatakan bahwa kontrak psikologis
merupakan kepercayaan antara karyawan dan manajer sesuai dengan ketentuan atau
perjanjian yang telah disepakati bersama. Kepercayaan itu dapat terbentuk dari nilai, motif,
praktek sosialisasi, dan norma dalam perusahaan.
Menurut Djokopranoto (2003) dalam bukunya, ia mengatakan bahwa apabila
seseorang menandatangi kontrak untuk menjadi karyawan di sebuah perusahaan, maka
sebenarnya secara langsung ia juga menandatangani kontrak psikologis yang tidak tertulis.
Kontrak tersebut mencantumkan bahwa karyawan bersedia untuk mencurahkan waktu,
keahlian, bakat, dan tenaga untuk perusahaan. Dan sebagai imbalannya, karyawan diberikan
imbalan berupa gaji ataupun fasilitas tertentu. Imbalan yang diberikan perusahaan juga
diberikan dalam bentuk lainnya, yaitu keamanan kerja, perilaku adil, pengakuan martabat,
jaminan hari tua, hubungan yang serasi dengan atasan dan rekan kerja, serta dukungan dari
perusahaan untuk pengembangan diri karyawan tersebut.
17
2.1.3.1 Dimensi Kontrak Psikologis
Menurut Rousseau dan McLean Parks (dalam Sels, 2004), ada enam dimensi
mengenai kontrak psikologis, yaitu:
1.
Tangibility
Menurut Rousseau, tangibility didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan
merasakan kontrak mereka dijelaskan secara eksplisit oleh perusahaan (dalam
Sels, 2004). Freese & Schalk mengatakan bahwa hubungan kerja yang nyata
ditunjukkan melalui aturan yang formal dan berbagai kesepakatan yang dibuat
antara karyawan dan perusahaan (dalam Sels, 2004).
2.
Scope
Dimensi ini mengacu pada sejauh mana batas antara hubungan kerja seseorang
dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Dimensi ini menggambarkan
mengenai bagaimana kepedulian perusahaan terhadap aspek lain dalam
kehidupan karyawan, seperti keluarga. Selain itu mengenai pengorbanan yang
dilakukan untuk atasan, pembagian dengan tegas antara kepentingan pekerjaan
dengan kehidupan pribadi, dan juga hubungan ekonomi antara karyawan dengan
perusahaan.
3.
Stability
Menurut McLean (dalam Sels, 2004), stability didefinisikan sebagai sejauh mana
kontrak psikologis membatasi kemampuan seseorang untuk berkembang dan
berubah. Dimensi ini digambarkan dengan peraturan ketat yang ada di
perusahaan, serta sejauh mana karyawan merasa fleksibel untuk berkembang.
18
4.
Time Frame
Dalam kontrak psikologis, time frame mengacu pada durasi yang dirasakan dalam
hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan. Indikatornya digambarkan
melalui keamanan kerja, serta mobilitas karyawan dalam upaya perusahaan
mempertahankan hubungan kerja yang telah terjalin antara karyawan dengan
perusahaan.
5.
Exchange Symmetry
Dimensi ini mengacu pada sejauh mana karyawan merasakan hubungan kerja
yang diterima. Hal ini digambarkan dengan hubungan formal antara tingkat yang
berbeda, mengatasi keadaan dengan formal, mematuhi aturan, dan rasa hormat
antara setiap individu yang ada di perusahaan.
6.
Contract Level
Dimensi ini didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan merasa kontrak mereka
diatur secara individual atau kolektif. Dimensi ini digambarkan dengan keputusan
yang dilakukan dalam aspek kerja, bekerja sesuai aturan yang berlaku,
kesepakatan yang diambil, perlakuan dan kesempatan yang sama, dan praktek
yang dilakukan karyawan dalam organisasi.
Mengelola kontrak psikologis merupakan salah satu aspek yang penting bagi
perusahaan. Menurut Ivancevich (2008) semakin besar pemahaman atasan terhadap
kebutuhan dan ekspetasi dari bawahan, maka semakin besar hal yang mungkin muncul dan
dipertahankan dalam kontrak psikologis, dan hal ini secara positif mempengaruhi arah,
intesitas, motivasi, dan ketekunan di dalam organisasi.
Menurut Robbins (2008) yang terjadi jika kontrak psikologis tersebut tidak terpenuhi
adalah timbulnya reaksi-reaksi negatif yang mempengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan.
19
2.1.4 Kinerja
Kinerja (performance) merupakan suatu bentuk atau tampilan yang membuktikan
apakah perusahaan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Menurut Mathis
(2006) kinerja adalah apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Sedangkan
menurut Rivai (2004) kinerja merupakan perilaku nyata yang dihasilkan oleh setiap karyawan
yang ada di perusahaan sebagai prestasi kerja sesuai dengan perannya masing-masing di
dalam perusahaan.
Jadi, menurut pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan
adalah tindakan yang dilakukan oleh tiap individu dalam perusahaan dengan bentuk nyata
sesuai dengan peran dan tugasnya masing-masing dalam perusahaan.
2.1.4.1 Indikator Kinerja
Dalam teori Mitchell, seperti yang dikutip oleh Hidayat (2011) dan Sedarmayanti
(2001) mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil atau taraf kesuksesan yang dicapai oleh
pekerja dalam bidangnya menurut kriteria tertentu dan dievaluasi dengan cara tertentu,
dimana indikator-indikator dalam kinerja seseorang dilihat dari:
1.
Kemampuan (capability) meliputi kemampuan dan keterampilan yang dimiliki,
serta kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya atau potensi.
2.
Inisiatif (initiative) meliputi pemberian gagasan dalam perusahaan, dan tindakan
yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
3.
Ketepatan waktu (promptness) meliputi penataan rencana kerja, ketepatan
rencana kerja dengan hasil kerja, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan
tugas.
20
4.
Kualitas hasil kerja (quality of work) meliputi hasil kerja yang diperoleh,
kesesuaian hasil kerja dengan tujuan organisasi, dan manfaat hasil kerja tersebut.
5.
Komunikasi (communication) baik yang dilakukan ke dalam perusahaan maupun
keluar perusahaan.
2.1.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Muljani (2002) dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, salah satu
faktor penting yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah kompensasi. Menurutnya
perusahaan merupakan tempat dimana karyawan dapat memenuhi kebutuhannya, salah
satunya adalah kompensasi yang merupakan imbalan yang diberikan perusahaan pada
karyawan atas jasa yang diberikan. Dengan dipenuhinya kebutuhan tersebut, karyawan akan
termotivasi sehingga kinerja karyawan tersebut juga akan meningkat.
Menurut Mathis (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan antara
lain:
1.
Kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut.
Hal ini meliputi bakat, minat, dan faktor kepribadian dari individu tersebut.
2.
Usaha yang dicurahkan.
Meliputi motivasi, etika dalam bekerja, dan kehadiran individu.
3.
Dukungan organisasi.
Meliputi dukungan dari perusahaan yang berupa penyediaan fasilitas seperti
pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, standar kerja, manajemen,
serta rekan kerja dalam organisasi.
21
Sedangkan menurut Gibson (dalam Tan, 2010) dikatakan bahwa ada tiga faktor yang
mempengaruhi kinerja individu, yaitu: (1) motivasi, (2) kemampuan, dan (3) lingkungan
kerja.
Jadi, dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja individu dapat berasal dari dalam diri (internal) maupun berasal dari
luar (eksternal).
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka dan permasalahan diatas, maka skema penelitian ini
ditunjukkan oleh model gambar sebagai berikut:
Motivasi
Berprestasi (X):
Kontrak Psikologis
(Y):
• Mastery of
Needs.
• Work
Orinetation
• Competition
saaewf
•
•
•
•
•
Tangibility
Scope
Stability
Time Frame
Exchange
Symmetry
• Contract
Level
sstasdf
Sumber : Steven 2014
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Kinerja (Z):
• Kemampuan
• Inisiatif
• Ketepatan
Waktu
• Kualitas Kerja
• Komunikasi
22
2.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian
(Sugiyono, 2009). Hipotesis dikatakan sementara karena masih didasarkan pada teori-teori
yang ada, belum diuji berdasarkan fakta melalui pengumpulan data.
H0 : Tidak ada pengaruh atau hubungan antar variabel
Ha : Ada pengaruh atau hubungan antar variabel
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka hipotesis sementara
yang dapat disimpulkan dipenelitian ini yaitu:
1.
Untuk T – 1
H0 : Motivasi berprestasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
karyawan.
Ha : Motivasi berprestasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
karyawan.
2.
Untuk T – 2
H0 : Motivasi berprestasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kontrak
psikologis.
Ha : Motivasi berprestasi berpengaruh secara signifikan terhadap kontrak
psikologis.
3.
Untuk T – 3
H0 : Kontrak psikologis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
karyawan.
Ha : Kontrak psikologis berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.
Download