10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Pemikiran Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.2 Tinjaun Umum Perlindungan Hukum 2.2.1 Pengertian Perlindungan Hukum Kata Perlindungan hukum menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberikan perlindungan kepada orang yang lemah.15 15 W.J.S Poerbadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan IX. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal.600. 11 Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.16 Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.17 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.18 Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu : 1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah 16 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 74 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 25 18 Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. hlm. 3 17 12 terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif. 2. Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.19 Pengertian perlindungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan bahwa perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (Rechtidee) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berfungsi 19 Philipus M. Hadjon. Op Cit. hlm. 30 13 sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur : a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit) b. Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit) c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit) d. Jaminan (Doelmatigkeit).20 Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadahak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif. 2.3 Pengaturan Mengenai Perjanjian 2.3.1 Pengertian Perjanjian Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur dalam buku ke III tentang perikatan. Kata “Perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari kata “Perjanjian”. Sebab dalam buku ke III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul akibat perbuatan yang melawan hukum dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan, akan tetapi sebagian besar dari buku ke III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.21 Dalam pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya 20 21 Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 43 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hal.122 14 terhadap satu orang lain atau lebih.22 Sedangkan menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, dari peristiwa itu timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.23 2.3.2 Syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menurut pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai syarat-syarat tersebut : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan antara para pihak yang membuat perjanjian berarti terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak yang terjadi diantara para pihak.24 Kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu dikehendaki pula oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, misalnya dalam perjanjian jual beli, si penjual menginginkan sejumlah uang sedangkan si pembeli menginginkan suatu barang dari si penjual. 22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diindonesiakan oleh R.Subekti. (Jakarta: PT Praditya Paramita. 2004), Pasal 1313. 23 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hal.1. 24 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Akhlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hal.129. 15 Kesepakatan yang dimaksud tersebut harus diberikan secara bebas, artinya bebas dari paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana tercantum dalam pasal 1321 KUHPerdata. Paksaan yang dimaksud baik paksaan rohani atau paksaan jiwa dan juga paksaan badan. Bentuk paksaan jiwa misalnya salah satu pihak diancam akan dibongkar rahasia pribadinya makan dipaksa menyetujui suatu perjanjian. Sedangkan bentuk paksaan fisik misalnya dengan melakukan penganiayaan guna mendapat persetujuan pihak yang dianiaya atau dilukai. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Untuk membuat suatu perjanjian, parra pihak harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbalig dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan siapa saja para pihak yang tidak cakap, yaitu : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Orang yang belum dewasa dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas perjanjian yang dilakukannya. Sementara itu orang yang di taruh dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas atas harta kekayaannya. Ia berada dibawah pengawasan pengampuan. 3) Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu adalah obyek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya. Dalam perjanjian jual beli misalnya, hal tertentu adalah harga dan barang, jadi dalam perjanjian jual beli tidak di mungkinkan untuk membuat perjanjian tanpa di tentukan harganya dan jenis barang yang di jual, meskipun barang yang dijual tidak harus telah 16 ada pada saat perjanjian disepakati. Dengan demikian dimungkinkan barang yang diperjanjikan baru ada di kemudian hari sesuai dengan yang diperjanjikan.25 4) Suatu Sebab yang Halal Syarat terakhir dalam syarat sahnya perjanjian adalah sebab yang halal. Dengan sebab ini yang dimaksud adalah perjanjian. Sebab yang halal maksudnya adalah isi suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undangundang disini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum.26 2.3.3 Azaz-Azaz Perjanjian Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). 1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi perhatian, bahwa atas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) BW tersebut hendaknya 25 Ibid., hal 132. Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cet. 2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99. 26 17 dibaca/diinterpretasikan dalam kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang – proporsional.27 Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. 2) Asas Konsensualisme (Concensualism) Asas konsensualisme Pasal 1338 (1) BW yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah (garis bahwa oleh penulis) berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 BW).28 Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 (1) BW.29 3) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Asas pacta sunt servanda terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servada) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Unutk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, makan kontrak yang dibuat secara sah dan mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.30 27 Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), hal 120. 28 Ibid. 29 Ibid., hal 121. 30 Ibid., hal 124. 18 4) Asas Itikad Baik (Good Faith) Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 1338 (1) BW tersimpula asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme serat daya mengikatnya perjanjian. Terkait dengan daya mengikatnya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda), pada situasi tertentu daya berlakunya (strekking) dibatasi, antara lain dengan itikad baik.31 Asas itikad baik juga tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” 5) Asas Kepribadian (Personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. 31 Ibid., hal 134. 19 Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas. 2.3.4 Hubungan Antara Perikatan dan Perjanjian Mengenai definisi perjanjian dapat dilihat ketentuan pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”32 Sedangkan Prof. Subekti, S.H. memberikan pengertian dari suatu perjanjian sebagai berikut : “ Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”33 Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian adalah salah satu sumber dari perikatan. 2.4 Hukum Perikatan Pada Umumnya 2.4.1 Pengertian Perikatan Buku ketiga KUH Perdata tidak memberikan suatu definisi dari hukum perikatan. Menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut definisi bahwa perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.34 32 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1313. R.Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta: PT Intermasa, 2004 ), hal.1. 34 Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata. Buku ketiga, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2015). hal.9. 33 20 Pengertian perikatan itu sendiri oleh para ahli hukum diartikan bermacam-macam. R.Subekti mengatakan bahwa karena undang-undang tidak memberikan sutu definisi, arti perikatan harus disimpulkan dari keterangan undang-undang yang mengatur mengenai perikatan. Istilah perikatan diartikannya sebagai berikut : “Suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”35 2.4.2 Sumber Perikatan Doktrin pada umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1233 KUH Perdata kurang lengkap. Di luar dari apa yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata itu, masih banyak lagi sumber perikatan, yaitu ilmu pengetahuan Hukum Perdata, hukum yang tidak tertulis, dan keputusan hakim (Yurisprudensi).36 Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.37 Perikatan yang lahir dari suatu perbuatan hukum yang sah, yang sebagai akibatnya undang-undang menetapkan hak dan kewajiban para pihak, tanpa kesepakatan para pihak tersebut, misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela (Pasal 1534 KUH Perdata) dan dari perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata).38 2.4.3 Unsur-Unsur Hukum Perikatan Unsur-unsur hukum perikatan terdiri dari empat komponen39, yaitu : 1. Subjek hukum a. Kreditur 35 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2004), hal 1. Ibid.,hal 10. 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid., hal 12. 36 21 Di dalam perikatan terdapat pihak yang aktif yang dinamakan debitur. Lazimnya kreditur ditentukan secara individual. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif, adalah kreditur atau si ber piutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif, adalah debitur atau si berutang. Mereka ini yang disebut subjek perikatan.40 b. Debitur Seorang debitur harus selamanya diketahui karena seseorang tentu tidak dapat menagih dari seseorang yang tidak dikenal. Debitur bersifat tertentu dan individual karena mengenai pribadi debitur. Berdasarkan kepentingan itu, maka untuk pengalihan utang diisyaratkan adanya persetujuan dari kreditur.41 2. Hubungan Hukum Hubungan hukum terjadi antara dua lalu lintas masyarakat di antara dua orang atau lebih. Hukum meletakan hak pada satu pihak dan meletakan kewajiban pada pihak lainnya.42 3. Kekayaan Yang dimaksudkan dengan kriteria kekayaan itu adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan.43 4. Objek hukum perikatan Yang merupakan objek hukum perikatan adalah sesuatu yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur. Objek perikatan ini dinamakan prestasi. Prestasi diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata.44 2.4.4 Yang Dapat Membuat Hapusnya Perikatan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan.45 Cara-cara tersebut : 1. Pembayaran 40 Ibid. Ibid., hal 15. 42 Ibid., hal 16. 43 Ibid., hal 17. 44 Ibid. 45 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 41 22 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan 3. Pembaharuan hutang 4. Perjumpaan hutang atau kompensasi 5. Percampuran hutang 6. Pembebasan Hutang 7. Musnahnya barang yang terhutang 8. Kebatalan/pembatalan 9. Berlakunya suatu syarat batal dan 10. Lewatnya waktu Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dibahas lebih lengkapnya seperti dibawah ini: 1. Pembayaran Menurut pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hakhak si berpiutang. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juag kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima bagi si berpiutang adalah sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah mendapat manfaat karenanya. Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran hutangnya sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi. Mengenai tempatnya pembayaran, pasal 1933 Kitab Undangundang Hukum Perdata menerangkan sebagai berikut : “Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.” 23 Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang,selama orang itu terus menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat tinggalnya si berhutang”. Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat di mana barang berada sewaktu perjanjian ditutup adalah, sama dengan ketentuan dalam pasal 1477 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli , dimana juga tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat dimana barang yang dijual harus diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan “pembayaran” dalam arti yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan. Ketentuan dalam ayat kedua, berlaku juga dalam pembayaranpembayaran di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang yang dapat dihabiskan, teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang berupa uang pada azasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur,dengan perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang wesel. Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal 1395 ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran harus dipikul oleh debitur. 2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan atau Penitipan Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan 24 bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal. Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaris atau juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaris atau juru sita di atas surat proses verbal tersebut. 3. Pembaharuan Hutang atau Novasi Menurut pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang atau novasi itu, yaitu : a. Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya. b. Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpihutang dibebaskan dari perikatannya. c. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya. Novasi yang disebutkan pada (A) , dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui adalah obyeknya perjanjian, sedangkan yang disebutkan pada (b) dan (C) dinamakan novasi subyektif , karena yang diperbaharui di situ adalah subyekti-subyeknya atau orangorangnya dalam perjanjian. Jika yang diganti debiturnya (b) maka novasi itu dinamakan subyektif pasif, sedangkan apabila yang diganti itu kreditur (c) novasi dinamakan subyektif aktif. 25 4. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan,demikianlah diterangkan oleh pasal 1424 Kitab undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan setidak tahunya orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Agar supaya dua hutang dapat diperjumpakan,maka perlulah bahwa dua hutang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa hutang-pihutang antara kedua belah pihak itu telah dilahirkan, terkecuali : a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya. b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan. c. Terdapat sesuatu barang yang bersumber kepada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi). Demikianlah dapat dibaca dari pasal 1429 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Maksudnya adalah terang jika kita memperkenankan perjumpaan dalam hal-hal yang disebutkan di atas, maka itu akan berarti mengesahkan seorang yang main hakim sendiri atas ketentuan hukum. Maka dari itu pasal tersebut di atas mengadakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang disebutkan itu. 5. Percampuran Hutang Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang 26 puiutang itu diapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul “demihukum” dalm arti otomatis. 6. Pembebasan Hutang Menurut pasal 1438 KUH Perdata : “ pembebasan suatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.” Keabsahan suatu pembebasan utang harus didukung oleh alat bukti. Alat bukti yang dapat dipergunakan adalah alat bukti yang diatur di dalam Pasal 1865 dan 1866 KUH Perdata.46 7. Musnahnnya Barang yang Terhutang Apabila benda yang menjadi objek dari suatu perikatan musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu “keadaan memaksa” atau “force majeure” sehingga undang-undang perlu mengadakan peraturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.47 Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu, hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.48 8. Kebatalan/ Pembatalan Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata ,ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang 46 Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hal 188. 47 Ibid., hal 191. 48 Ibid., hal 192. 27 dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dihapus. Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable). Syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (Pasal 1320) Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan sisitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu. 9. Berlakunya Suatu Syarat-Batal Dalam Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Suatu perikatan adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.” Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. 10. Lewatnya Waktu Menurut pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu”ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (Atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”. Daluwarsa dari macam yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarasa itu suatu masalah 28 yang memerlukan pembicaraan tersendiri. Dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku IV bersama-sama dengan soal pembuktian49. Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggal pada suatu “perikatan bebas” (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayarkan boleh tetapi tidak dapat dituntut di muka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat mengajukan eksepsi tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan. 2.5 Wanprestasi 2.5.1 Pengertian Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. 50 Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Sedangkan menurut Rutten, “wanprestasi merupakan species dari genus perbuatan melawan hukum yaitu mengenai pelanggaran terhadap hak 49 50 Kitab Undang-undang Hukum perdata Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 15 29 subjektif.“ Dengan perkataan lain wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum adalah merupakan ’Lex Specialis Derogat Legi Generali.51 2.5.2 Ruang Lingkup Wanprestasi dalam KUH Perdata52 1. Bentuk-bentuk wanprestasi: a. Debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali b. Debitur berprestasi tetapi tidak tepat waktu c. Debitur berprestasi tetapi tidak sesuai atau keliru 2. Tata cara menyatakan debitur wanprestasi: a) Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri. b) Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri. 3. Isi Peringatan: a. Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi b. Dasar teguran 4. Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi: a. Pemenuhan/pembatalan prestasi b. Pemenuhan/pembatalan prestasi dan ganti rugi c. Ganti rugi 5. Bentuk Khusus Wanprestasi: a. Dalam suatu perjanjian jual beli, salah satu kewajiban Penjual menanggung adanya cacat tersembunyi, jika ini tidak terpenuhi berarti prestasi tidak terlaksana. b. Cacat tersembunyi merupakan bentuk wanprestasi khusus karena akibat wanprestasi ini berbeda dengan wanprestasi biasa. 6. Akibat Wanprestasi bentuk khusus: a. Actio redhibitoria : Barang dan uang kembali b. Actio quantiminoris : Barang tetap dibeli, tetapi ada pengurangan harga 51 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003) hal 25. 52 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), cet. Ke-6. hal.18 30 Berdasarkan ketentuan pasal 1234 KUH Perdata53, maka penggantian kerugian dapat dituntut menurut kitab UU, yaitu berupa : 1. Biaya-biaya yang sesungguhnya telah dikeluarkan (konsten), atau 2. kerugian yang sesungguhnya menimpa harta benda si berpiutang (schaden), 3. Kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berutang tidak lalai. 2.6 Ganti Rugi Perspektif Hukum Positif 2.6.1 Ganti Rugi Perdata Perspektif Hukum Positif Menurut pasal 1243 KUH Perdata54, pengertian ganti rugi perdata lebih menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenubinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditir akibat kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi: 1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan. 2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur. 3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan. 2.6.2 Ganti Rugi Pidana Perspektif Hukum Positif Ganti kerugian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada orang yang telah bertindak melawan hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain karena kesalahannya tersebut. Pada masa ini telah dikenal adanya “personal reparation”, yaitu semacam pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut. Pada masa belum adanya pemerintahan, atau dalam masyarakat yang masih berbentuk suku-suku ini (tribal organization) bentuk-bentuk hukuman seperti ganti rugi merupakan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari. Pada masa ini terlihat, sanksi ganti kerugian merupakan suatu tanggung jawab pribadi 53 54 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1234. Subekti, KUH Perdata, (Jakarta: PT. AKA, 2004), cet. Ke-34, hlm. 324 31 pelaku tindak pidana kepada pribadi korban. Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana. 2.6.3 Konsep Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.55 Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu: 1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan. 2. Kerugian karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga. 3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur tersebut harus ada. yang ada mungkin kerugian yang sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya. 55 Subekti, KUH Perdata, (Jakarta: PT. AKA, 2004), cet. Ke-34, hlm. 324 32 Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus di penuhi oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi: 1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUH Perdata).56 2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate.57 Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur. 3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUH Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUH Perdata tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum. 2.7 Sita Jaminan 2.7.1 Pengertian Sita Jaminan Sita jaminan adalah penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan atas barang bergerak atau tidak bergerak, milik penggugat atau tergugat untuk menjamin adanya tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan atau pemohon sita. Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual menurut Pasal 197 ayat 9, Pasal 199 HIR. Serta Pasal 212, dan 214 Rbg. 56 57 Subekti, KUH Perdata, (Jakarta: PT. AKA, 2004), cet. Ke-34, hlm. 325 33 2.7.2 Macam-Macam Sita yang diatur di dalam HIR adalah : 1) Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR) Pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat minta, baik secara lisan maupun tertulis, kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita. Barang yang disita secara revindicatoir adalah barang bergerak dan terperinci milik penggugat. Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan. Akibat hukum sita ini adalah penggugat tidak dapat menguasai barang yang telah disita, sebaliknya tergugat dilarang untuk mengalihkannya. Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita revindicatoir itu dinyatakan dicabut. 2) Sita Conservatoir (Pasal 227 HIR) Penyitaan (beslag) ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menjual barang tergugat yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Barang yang disita secara conservatoir adalah barang bergerak dan tidak bergerak milik tergugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan penggugat (Pasal 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Untuk mengajukan sita jaminan ini harus ada dugaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan oleh hakim atau selama putusan belum dijalankan mencari akal untuk menggelapkan atau melarikan barangnya. Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dinyatakan sah dan berharga, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita conservatoir itu dinyatakan dicabut. 34 Setiap saat tergugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut, apabila dikabulkan maka tergugat harus menyediakan tanggungan yang mencukupi. 3) Sita Ekesekutoir (Pasal 197 HIR) Penyitaan yang dilakukan sesudah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penyitaan dilakukan oleh panitera Pengadilan Negeri, yang wajib, yang membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita kalau ia hadir, dan penitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara. Barang yang disita adalah barang bergerak dan tidak bergerak, kecuali barang atau hewan yang digunakan untuk mencari nafkah. Untuk barang tidak bergerak, dibuat Berita Acara, diumumkan dan dicatat oleh Kepala Desa, salinannya didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah. 3.8 Badan Hukum Dalam ilmu hukum, subyek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Subyek hukum dapat merupakan orang atau natuurlijkpersoon (menselijkpersoon)dan bukan orang (rechtspersoon). Rechtspersoon biasa disebut badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan demikian dianut oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga Langemeyer. Mereka badan hukum adalah hanyalah fiksi hukum. Oleh karena itu pendapat ini disebut teori fiktif atau teori fiksi.58 3.8.1 Peseroan Sebagai Badan Hukum Dalam Pasal 1 Undang- undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjabarkan apa yang dimaksud dengan PT sebagai berikut : “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, 58 http://www.jimly.com/pemikiran/view/14. Tanggal 26 Januari 2016. Pukul 20.40 pm 35 didirikan berdasarkan perjanjian, melkaukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undangundang ini serta peraturan pelaksananya.” 3.8.2 Organ Perseroan Terbatas Di dalam perseroan, terdapat organ perseroan untuk dapat menjalankan perseroan tersebut, organ-organ perseroan tersebut, seperti tercantum dalam pasal 1 ayat 2 No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu terdiri atas : 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang memiliki kewenangan eksklusif. Kewenangan ini, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 4 UUPT 2007, tidak akan pernah diberikan atau dialihkan kepada komisaris ataupun direksi. RUPS merupakan sebuah forum yang mewakili seluruh pemegang saham perseroan, kewenangan utama dimana untuk para pemegang memperoleh saham memiliki keterangan-keterangan mengenai perseroan, baik komisaris maupun direksi. 2. Komisaris Komisaris atau biasa disebut dewan komisaris bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi berdasarkan anggaran dasar perseroan. Pengawasan oleh komisaris meliputi pengawasan atas kebijakan direksi dalam melakukan dan menjalankan pengurusan perseroan, baik mengenai perseroan maupun kegiatan usaha perseroan. 3. Direksi Pengertian direksi yang terdapat dalam pasal 5 Undangundang No.40 tahun 2007, yang berbunyi : “Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujusn perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar ”.59 59 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas 36 Sebagai pengurus perseroan, direksi mewakili perseroan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Kewenangan tersebut dimiliki direksi secara tidak terbatas, dan tidak bersyarat, selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan anggaran dasar serta keputusan RUPS. 3.8.3 Tanggung Jawab RUPS dalam Organ Perseroan Terbatas Menurut Pasal 3 ayat (1) UU PT, pemegang saham Perseroan Terbatas (“Perseroan”) tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ketentuan di dalam pasal ini mempertegas ciri dari Perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Namun, masih ada kemungkinan pemegang saham harus bertanggung jawab hingga menyangkut kekayaan pribadinya berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU PT yang menyatakan bahwa ketentuan di dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku apabila: 1) persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; 2) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; 3) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau 4) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Selain itu berkaitan dengan masalah likuidasi, menurut Pasal 150 ayat (5) UU PT pemegang saham wajib mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi secara proporsional dengan jumlah yang diterima terhadap jumlah tagihan. Kewajiban untuk mengembalikan sisa kekayaan hasil likuidasi 37 tersebut wajib dilakukan oleh pemegang saham apabila dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor yang belum mengajukan tagihannya. 3.8.4 Tanggung Jawab Direksi dalam Organ Perseroan Terbatas Direksi merupakan organ perseroan yang bertugas dan bertanggungjawab penuh untuk menjalankan pengurusan perseroan. Dengan kata lain, direksi merupakan personifikasi dari perseroan itu sendiri. Kedudukan direksi dalam perseroan adalah sebagai eksekutif, dimana tindakan-tindakannya dibatasi oleh anggaran dasar perseroan. Seperti diketahui direksi bertanggung jawab terhadap kegiatan PT. Oleh karena itu, bila ada kerugian karena direksi tidak menjalankan tugas dengan penuh itikad baik, kerugian yang diderita oleh PT menjadi tanggung jawba pribadi Direksi. Hal ini secara tegas dijabarkan dalam pasal 97 UUPT sebagai berikut60 : 1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) . 2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. 3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 4) Dalan hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. 5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan : a. Kerugian tersebut bukan karena keslahan atau kelalaiannya. b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. 60 Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: Nuansa Aulia, 2012). Hal 101. 38 c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. e. Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atas kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan. f. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan. 2.9 Piercing The Corporate Veil Berkaitan dengan doktrin piercing the corporate veil ini, dapat dikemukakan pendapat Henry Campbell Black61, yang menyatakan : “menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktivitas perusahaan : misalnya ketika dalam hal perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman.”62 61 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary. 6th ed. St.Paul, Minn, West Publishing Co, 1990. Try Widiono, Direksi Perseroan Terbatas Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal 82. 62 39 Peralihan tanggung jawab pemegang saham, komisaris, dan direksi perseroan dari semula terbatas menjadi tidak terbatas, antara lain disebabkan oleh doktrin piercing the corporate veil.63 Dalam hal ini, dikemukakan terjadinya piercing corporate veil atau lifting the veil adalah sebagai berikut. 1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau badfaith) memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. 3. Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. 4. Pemegang saham, baik langsung maupun tidak langsung, secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan atau ( pasal 3 ayat 2 UUPT) (I.G. Rai Wijaya, 2000: 146 63 Ibid.