KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM RITUAL MANDI SAKRAL DI PURA

advertisement
KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM RITUAL MANDI SAKRAL DI PURA SURANADI
KABUPATEN LOMBOK BARAT
Nyoman Suyasa
Tenaga Pengajar Pada SMAN 1 Lingsar
Abstrak
Upaya penyucian diri secara lahir maupun batin ini merupakan bentuk kesadaran umat
Hindu bahwa untuk menghubungkan diri dengan Brahman haruslah di dekati dengan kesucian.
Sehingga setiap akan melakukan pemujaan atau persembahyangan, terlebih dahulu melakukan
pembersihan atau penyucian diri yang biasa disebut dengan ritual mandi sakral. Penelitian ini
dilakukan di Pura Suranadi Kabupaten Lombok Barat. Subyek penelitian adalah pelaku ritual
mandi sakral, dan obyek penelitian adalah komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bentuk komunikasi simbolik dalam ritual
mandi sakral, proses komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral, makna yang tersirat dibalik
komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral. Penelitian ini dirancang dalam bentuk deskriftif
kualitatif. Landasan teori ang digunakan adalah teori tindakan komunikatif, teori semiotika dan
teori interaksionisme simbolik. Teknik pengumpulan data dengan tekik observasi, wawancara,
dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk komunikasi simbolik adalah
bentuk komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Proses terjadinya komunikasi simbolik
dalam ritual mandi sakral di Pura Suranadi yaitu komunikasi secara vertikal dengan yang dipuja
dan horizontal antar sesama dalam satu tujuan tercapainya kebahagiaan hidup yang sempurna.
Makna yang tersirat dibalik komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral di Pura Suranadi
bahwa berkomunikasi yang berkualitas adalah berkomunikasi dengan rasa sehingga pesan yang
terkirim lewat simbol bisa diterima dengan baik dan bermanfaat dalam kehidupan.
Kata Kunci: Komunikasi Simbolik, Ritual, Mandi Sakral.
PENDAHULUAN
Umat Hindu menyadari bahwa peningkatan kehidupan spiritual merupakan upaya yang
sangat penting dalam kehidupan beragama. Banyak cara yang dilakukan oleh umat Hindu dalam
meningkatkan kehidupan spiritualnya. Salah satu caranya adalah dengan menjaga dan
memelihara kebersihan dan kesucian diri baik secara lahir maupun batin. Upaya penyucian diri
secara lahir maupun batin ini merupakan bentuk kesadaran umat Hindu bahwa untuk
menghubungkan diri dengan Brahman haruslah di dekati dengan kesucian. Sehingga setiap akan
melakukan pemujaan atau persembahyangan, terlebih dahulu melakukan pembersihan atau
penyucian diri agar mendapat anugrah berupa kesucian pula.
Hal ini disebutkan dalam :
Manawa DharmaÇastra V.105.
Jnanam tapo’gniraharau mrinmano waryupanjanam, wayuh karmarkakalau ca
cuddheh kartrini dehinam.
Artinya: Yang merupakan sarana-sarana penyucian bagi mahluk-mahluk hidup adalah
pengetahuan akan ke-maha pengasihan Tuhan, api, makanan suci, tanah, pengendalian
pikiran, air, menggosok diri dengan tahi sapi kering, angin, upacara suci, matahari dan
sang waktu. (Pudja,1995:301).
Manawa DharmaÇastra V.109.
Adbhirgatrani Çudhayanti manah satyena cuddhayati, widyatapobhyam bhutatma
budhir jnanena cuddhyati.
Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia
dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
(Pudja,1995:301).
Hal senada juga juga dinyatakan di dalam sloka 20 buku Silakrama :
Adbhir gatrani sudyanthi, manah styena sudyanthi, widyattapobhyam bhrtatma,
budhir jnanena sudyati.
Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa (atman)
dibersihkan
dengan
ilmu,
dan
akal
(budi)
dibersihkan
dengan
kebijaksanaan(Sumber:http://stitidharma.org/pola-hidup-bersih-dan-sehat-ditinjau-dariperspektif-hindu diunduh pada hari Jumat,22-Agustus 2014 pukul 17.00).
Air sebagai pembentuk badan manusia disebut panca maha bhuta, hal ini disabdakan
oleh Tuhan dalam Bhagawadgita VII.4
Bhumir apo 'nalo vayuh kharh mano buddhir eva ca, ahankara itiyam me bhinna
prakrtir astadha.
Artinya : Tanah, air, api, udara, ether, pikiran, budhi dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang
terpisah. (Pudja,2005:186).
Wujud nyata yang dilakukan oleh umat Hindu dalam meningkatkan kesucian diri dapat
dilihat melalui ritual-ritual yang banyak dilakukan oleh umat Hindu seperti melakukan ritual
mandi sakral di pura Suranadi Kabupaten Lombok Barat. Pura Suranadi dilengkapi dengan
kolam khusus tempat melaksanakan ritual mandi sakral disamping nilai sejarah pura yang
dibangun oleh Dang Hyang Dwijendra.
Fenomena masyarakat yang semakin banyak melakukan ritual mandi sakral di Pura
Suranadi, menggugah kami untuk meneliti “Komunikasi Simbolik dalam Ritual Mandi Sakral di
Pura Suranadi Kabupaten Lombok Barat”. Berkenaan dengan temuan tersebut perlu dilakukan
eksplorasi pada aspek komunikatif dalam rangka untuk mengungkap entitas-entitas penting yang
berguna, bagi peningkatan kualitas kesadaran individu yang melakukan tindakan tersebut dan
juga bagi masyarakat umum dapat mengetahui tentang aktivitas mandi sakral tersebut.
Mengacu dari uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahannya
sebagai berikut, bagaimana bentuk, proses dan makna yang tersirat dibalik komunikasi simbolik
dalam ritual mandi sakral di Pura Suranadi?
Hasil penelitian ini bisa dijadikan referensi bagi para praktisi komunikasi agama Hindu
untuk mengembangkan dan mensosialisasikan ritual mandi sakral dan bagi masyarakat Desa
Suranadi Kabupaten Lombok Barat, dalam ritual mandi sakral tersebut dapat dijadikan sebagai
kearifan lokal, tradisi budaya dan objek wisata budaya..
PEMBAHASAN
Komunikasi simbolik tidak hanya bersifat vertikal antara pemuja dengan yang dipuja
tetapi juga antar peserta Yadnya dan intra personal. Komunikasi simbolik dapat dimaknai sebagai
proses pemaknaan pesan sebuah sekelompok masyarakat terhadap aktifitas religi dan sistem
kepercayaan yang dianutnya. Dalam prosesnya selalu terjadi pemaknaan simbol-simbol tertentu
yang menandakan terjadinya proses komunikasi simbolik tersebut.
Ritual pada dasarnya merupakan rangkaian kata, tindakan, perbuatan yang dilaksanakan
oleh pemeluk agama dengan menggunakan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan pakaian
tertentu pula. Ritual merupakan media bagi manusia untuk membangun komunikasi vertikal
dengan Tuhan dan membangun komunikasi horisontal sesama manusia (Suprayogo dan Tobroni,
2001:41).
Endaswara (2006:175) mengklasifikasi ritual menjadi dua. Pertama, ritual krisis hidup,
artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan
mengalami krisis hidup, ketika masuk dalam peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam
lingkup krisis karena terjadi perubahan tahapan hidup termaksud dalam lingkup ini antara lain
kelahiran, pubertas dan kematian. Kedua ritual gangguan, yakni ritual sebagai negosiasi dengan
roh agar tidak menggangu hidup manusia. Ritual semacam ini dalam masyarakat Mandar sering
diwujudkan dalam tradisi selamatan.
Ritual Mandi Sakral adalah upacara keagamaan yang dilakukan dengan cara mandi di
kolam khusus dengan aturan tertentu baik atas pengetahuan pribadi maupun atas petunjuk
rohaniawannya. Setiap hari ada saja orang yang melaksanakan Ritual mandi sakral dengan
beragam sarana upacara sesuai dengan pemahaman masing-masing.
Konsep Habermas mengenai 'rasionalitas komunikatif' mengacu pada tiga dimensi yaitu
(a) untuk membangun dan memperbarui hubungan antara kedua pihak, dimana si pembicara
menetapkan suatu hubungan dengan sesuatu di dunia tatanan (sosial) yang sah; (b) untuk
merepresentasikan (atau memisalkan) keadaan dan peristiwa, di mana si pembicara menetapkan
suatu hubungan dengan sesuatu di dunia kondisi yang ada; (c) untuk menunjukkan pengalamanyaitu untuk menunjukkan dirinya sendiri-di mana si pembicara menetapkan suatu hubungan
dengan sesuatu di dunia subjektif yang berhak ia masuki. Subjek- subjek yang berbicara dan
bertindak secara berbalasan saling mengajukan tiga jenis klaim yang berbeda untuk mencapai
kesepakatan bersama dalam tindakan komunikatif. Ketiga dimensi tersebut dibangun ke dalam
struktur inti komunikasi bicara.
Dengan
teori
tindakan
komunikatif,
sudah
menjadi
tujuan
Habermas
untuk
menggulingkan individualisme monolog dari teori masyarakat yang liberal dan utilitarian (Pusey,
2011:109). Komunikasi merupakan suatu seni karenanya komunikasi berproses yang menuntut
untuk dilatih secara kontinyu. Gestur dan sikap hati yang murni tulus dan ikhlas sangat dituntut
dalam komunikasi agar mampu menampilkan suatu komunikasi yang berkualitas dan penuh
inspiratif.
Dalam kaitannya dengan kehidupan komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral di
Lombok Barat, khususnya di Suranadi tempat ritual mandi sakral dilaksanakan, teori interaksi
komunikatif Habermas dapat mengungkap beberapa peluang bagi dialog antar suku, agama, dan
budaya.
Roland Barthes (1915-1980) terkenal dengan model signifikansi dua tahap. Saussure
mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, sementara Barthes
menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru
mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi
terhadap ideologi tertentu.
Menurut Mead, interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam bentuk utama yaitu : (1)
percakapan isyarat (interaksi nonsimbolik) dan (2) penggunaan simbol-simbol penting (interaksi
simbolik). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa mengembangkan konsep dirinya melalui
interaksi dengan orang lain dalam masyarakat dan itu dilakukan lewat komunikasi. Jadi kita
mengenal diri kita lewat orang lain, yang menjadi cermin yang memantulkan bayangan kita
(Mulyana, 2010:11).
Orang berkomunikasi untuk menunjukan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi
diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Bila kita berdiam diri, orang lain akan
memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, kita sebenarnya
menyatakan bahwa kita ada (Mulyana, 2010:12). Dalam perspektif interaksionisme simbolik
komunikasi dan masyarakat dijelaskan sebagai berikut: (1) Orang-orang mengambil keputusan
dan berperilaku sesuai dengan pemahaman subjektifnya mengenai situasi dimana mereka berada
(menemukan dirinya sendiri), (2) Kehidupan sosial lebih terdiri dari proses-proses interaksi dari
pada struktur-struktur dan karenanya berubah secara constant, (3) Orang-orang memahami
pengalamannya melalui makna yang ditemukan di dalam simbol- simbol yang ada pada
kelompok primernya, dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat, (4)
Dunia dibentuk dari objek-objek sosial yang dinamai dan secara sosial telah mengukuhkan
makna-makna, (5) Perilaku orang didasarkan pada interpretasi mereka dimana objek-objek
relevan dan perilaku pada situasi itu didefinisikan, (6) Diri seseorang itu sendiri adalah objek
signifikan dan seperti semua objek sosial didefinisikan melalui interaksi sosial dengan yang
lainnya.
Teori interaksi simbolik bukan parspektif yang paling sempurna dalam kajian
komunikasi. Karenanya teori ini lebih tepat digunakan bersama dengan pendekatan kualitatif
untuk mengurangi kelemahan metode kualitatif seperti (1) perlunya metode atau teknik-teknik
yang agak rumit dan intervensi peneliti akan berpengaruh terhadap diri informan, (2) kesempatan
informan untuk menyampaikan pendapat sangat terbatas, (3) Realiability dan validity kurang
dapat ditentukan secara objektif-sangat mungkin dihadapi oleh peneliti.
Teori ini dipilih untuk menjawab permasalahan yang kedua yaitu bagaimana proses
terjadinya komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral di Pura Suranadi.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor mengartikan bahwa
Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata (bisa lisan untuk penelitian sosial, budaya, filsafat), catatan-catatan yang berhubungan
dengan makna, nilai serta pengertian (Kaelan, 2005:5). Metode kualitatif adalah metode
pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara atau penelaahan dokumen. Metode ini
digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih
mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode kualitatif menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan. Ketiga, metode kualitatif ini lebih peka
dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman dengan pengaruh bersama terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2014:9). Melalui metode kualitatif, memungkinkan
peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklarifikasikan data yang menarik. Dengan
demikian, penelitian kualitatif ini membimbing peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan
yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis yang baru.
Sumber data penelitian kualitatif dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu narasumber
(Informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi dan dokumen atau arsip (Suprayogo
Tobroni, 2001: 162-163). Sumber data berupa narasumber (informan) yang digunakan dalam
penelitian ini dengan alasan karena informan sebagai sumber informasi dan sekaligus berperan
sebagai aktor yang ikut menentukan keberhasilan penelitian berdasarkan informasi yang
diberikan. Sumber data informan dalam penelitian ini yakni informan langsung di lokasi atau
mereka yang pernah melakukan ritual mandi sakral.
Dalam penelitian ini observasi digunakan untuk mengetahui proses ritual mandi sakral
dari sebelum dilakukan, saat dilakukannya mandi sakral, hingga selesai. Dalam penelitian ini
dilakukan wawancara mendalam dimana dalam proses memperoleh keterangan untuk menjawab
rumusan masalah penelitian dengan cara tanya jawab dengan atau tanpa menggunakan pedoman
wawancara (Bungin, 2012:111). Pada saat melakukan wawancara, peneliti menggunakan alat
bantu seperti alat perekam, kamera, gambar, brosur dan material lain yang dapat membantu
kelancaran pelaksanaan wawancara. Wawancara mendalam adalah metode yang selaras dengan
interaksionisme simbolik, karena hal tersebut memungkinkan informan mendefinisikan dirinya
sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai
fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan (Mulyana, 2013:183).
Dalam penelitian ini diutamakan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan praktisi spiritual untuk mendapatkan makna, proses dan bentuk komunikasi simbolik dalam
ritual mandi sakral di Desa Suranadi Kabupaten Lombok Barat.
Studi dokumentasi adalah suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian, dengan cara mengumpulkan segala macam dokumen yang berkaitan dengan
penelitian yang dilakukan dan mencatat dengan sistematis. Dokumen-dokumen yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah dokumen yang terkait komunikasi simbolik dalam riual mandi sakral
di Pura Suranadi Kabupaten Lombok Barat.
Dalam penelitian ini studi dokumen digunakan untuk mendapatkan bentuk dan makna
komunikasi simbolik dalam proses ritual mandi sakral.
Penelitian ini melakukan reduksi data sekaligus selama melakukan penggalian data di lapangan.
Reduksi data dalam penelitian ini melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian dan
penyederhanaan data kasar yang diambil dari catatan penulis selama melakukan pengumpulan
data di lapangan. Sebenarnya reduksi tidak hanya dilaksankan setelah semua data diperoleh,
namun berlangsung terus-menerus selama penelitian. Cara ini berpeluang memunculkan
hubungan antara peneliti dengan informan menjadi lebih eksplisit.
Terkait dengan penelitian ini reduksi data dilakukan dengan cara pemilahan,
penggolongan dan penomoran data yang diperoleh dilapangan disesuaikan dengan rumusan
masalah dalam penelitian ini. Oleh karena data yang dikumpulkan dari lapangan jumlahnya akan
cukup banyak, tentu tidak semua itu akan dituangkan dalam hasil analisis, namun akan dipilih
dan dirangkum hal-hal pokok dan penting dicari tema yang sesuai dengan fokus penelitian,
rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Desa Suranadi sebagai salah satu desa yang berkembang kearah desa pariwisata dan desa
swakarsa, bila melihat dari kondisi mata pencaharian masyarakat yaitu mata pencaharian
penduduk sudah mulai begeser dari sektor primer ke industri, penerapan teknologi pada usaha
pertanian, kerajinan dan sektor skunder mulai berkembang.
Berkenaan dengan hal tersebut berikut ini pernyataan yang diungkapkan oleh informan
"Mandi Sakral penting saya lakukan, karena merupakan media ampuh menangkal ilmu
hitam, saya menderita sakit pusing selama satu tahun sudah berbagai dokter tempat saya
berobat, tapi ridak sembuh-sembuh, setelah saya mandi sakral, saya sehat dan bisa
beraktifitas lagi." (Wawancara dengan Ni Ketut Yasawati tanggal 5 Oktober 2014).
Berdasarkan pernyataan diatas bersinergi dengan Semiologi, dalam teori Barthes, pada
dasarnya memaknai (to signify) berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Pengalaman hidup informan diatas bisa
dianggap “Mitos” . Menurut Barthes mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi
tersebut akan menjadi mitos.
Umumnya pelaku ritual mandi sakral mengenakan petelesan (kain) warna putih saat
melaksanakan ritual mandi sesuai anjuran pemangku ditempat pemandian. Pelaku ritual mandi
sakral yang mengenakan selain warna putih tidak lantas dilarang karena keyakinan pelaku ritual
dihargai dan dihormati. Seperti yang disampaikan oleh Pemangku :
” pelaku mandi sakral disarankan mengenakan kain putih, tapi jika ada yang mengenakan
kain selain warna putih karena kepercayaan atau aturan kelompok kami merasa sungkan
untuk melarang, tetapi selama ini jarang sekali yang melaksanakan ritual mandi sakral
dengan mengenakan kain tidak berwarna putih”. (Wawancara tanggal 8 oktober 2014)
Tanda dapat dikategorikan dalam ikon, indeks dan simbol. Kategori paling banyak
adalah simbol, karena beberapa hal termasuk klasifikasi simbol. Hal-hal tersebut yakni:
1. Benda yang berujud, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan (bunga, buah, pohon), bagian
rumah, susunan keraton, motif-motif pada kain dan busana, perlengkapan upacara;
2. Warna;
3. Gerak (dengan isyarat mimik muka, bahasa tubuh, sikap);
4. Kata-kata;
5. Perbuatan yang mengandung simbol;
6. Bilangan, angka, huruf (Suwondo, 1981: 236).
1. Bentuk Komunikasi Simbolik Dalam Ritual Mandi Sakral Di Pura Suranadi.
Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan, karena budaya merupakan bagian terpenting dari komunikasi, dengan adanya latar
belakang kebudayaan yang sama komunikasi nonverbal dapat berlangsung secara efektif.
Manusia dapat memahami suatu komunikasi secara non verbal. Budaya merupakan hasil karya
dari pemikiran manusia atau suatu kelompok yang berguna untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Kebudayaan yang di hasilkan oleh masyarakat kemudian menjadi ciri khas yang
selanjutnya dipergunakan masyarakat untuk beradaptasi dan mempertahankan hidupnya yang
nantinya akan menciptakan kebudayaan-kebudayaan lain berkaitan dengan kebutuhan hidup
manusia yang tidak terbatas.
Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat merupakan bagian-bagian kebudayaan yang
memisahkan hasil kebudayaan sesuai dengan kebutuhan manusia. Kebudayaan sebagai suatu
yang kompleks mencakup kebudayaan yang bersifat abstrak seperti peraturan-peraturan, ide-ide,
dan norma misalnya ritual mandi sakral yang harus dilakukan oleh pelaku mandi sakral.
Sedangkan kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia adalah kebudayaan yang bersifat fisik
seperti benda yang dapat dilihat dan diraba misalnya Padmasana dan patung di ujung kolam pura
Pabersihan Desa Suranadi.
Komunikasi Non Verbal
Komunikasi Verbal Lisan atau Tulisan Berjenis Komunikasi Sosial
Komunikasi Trancendental berjenis Komunikasi Ritual
Komunikasi Vertikal, Horizontal Berjenis Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi Kelompok, Intrapribadi dan Antarpribadi.
2. Proses Komunikasi Simbolik dalam Ritual Mandi Sakral di Pura Suranadi
Tahapan dalam pelaksanaan ritual mandi sakral meliputi:
1. Memakai kain putih
2. Mandi dialiran sungai
3. Matur Paungu dengan sarana Canang atau Daksina.
4. Mandi sacral
5. Persembahyangan
3. Proses Komunikasi Simbolik dalam Ritual Mandi Sakral
Penjelasan Turner tentang ritual sesungguhnya telah memberi gambaran pada apa yang ia
sebut dengan simbol-simbol (Turner, 1974:19). Hal ini mirip dengan apa yang ditunjukkan oleh
pelaku ritual mandi sakral, yang melakukan ritual sebagai media pemurnian jiwa yang dilakukan
dengan penuh khusuk dan menyertakan simbol-simbol di dalamnya. Ritual mandi sakral mulai
dilakukan saat adanya pembangunan kolam mandi sakral dan pengakuan terhadap eksistensi air
suci yang berkhasiat menyembuhkan dan ketenangan. Menariknya, keberadaan ritual mandi
sakral melahirkan berbagai tafsir mistis, bahkan mereka meyakini adanya kaitan sebuah
kelangsungan hidup, khususnya perkembangan kehidupan perekonomian para pelaku mandi
sakral. Eksistensi ritual ini dalam masyarakat telah semakin populer. Salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dalam ritual mandi sakral adalah bertambahnya ilmu
pengetahuan masyarakat, khususnya dalam ilmu agama. Komunitas atau masyarakat yang
memiliki pengetahuan mendalam dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu agama, menganggap
melakukan ritual mandi sakral merupakan perilaku yang baik dan bermanfaat untuk kesehatan,
membuang sial dan keselamatan.
4. Makna Yang Tersirat Dibalik Komunikasi Simbolik Dalam Ritual Mandi Sakral Di
Pura Suranadi.
Makna komunikasi simbolik adalah memupuk karma baik atau usaha terbebas dari
hukum hukum karma, hal ini dapat dimengerti bahwasanya semua perbuatan di masa lalu, kini
dan nanti pasti membuahkan hasil. Komunikasi Simbolik harus didorong oleh degupan rasa
(impuls), seperti rasa cinta dan benci (Raga dan Dvesa), yang merupakan pendorong otomatis
dalam menangkap maupun mengirim pesan.
Komunikasi simbolik harus selalu terkontrol
dengan upaya yang terus menerus, diulang-ulang menuju yang benar (Abhyasa).
SIMPULAN.
Simpulan dari hasil penelitian ini adalah:
1.
Komunikasi simbolik adalah jalan, melalui dia orang-orang mencari informasi dan
mengembangkan sejumlah kriteria untuk mana mereka terbagi dalam pekerjaan. Komunikasi
simbolik tidak hanya bersifat vertikal antara pemuja dengan yang dipuja tetapi juga antar
peserta Yadnya dan intra personal. Komunikasi simbolik dapat dimaknai sebagai proses
pemaknaan pesan sebuah sekelompok masyarakat terhadap aktifitas religi dan sistem
kepercayaan yang dianutnya, maka
2.
Bentuk komunikasi simbolik secara umum adalah komunikasi non verbal namun terdapat
juga bentuk komunikasi yang lain yaitu komunikasi verbal lisan atau tulisan, komunikasi
trancenden, komunikasi vertikal atau horisontal, komunikasi kelompok, komunikasi
intrapribadi atau komunikasi antarpribadi
3.
Proses terjadinya komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral di Pura Suranadi yaitu
komunikasi trancenden dengan yang dipuja dan horizontal antar sesama pelaku mandi sakral
dalam satu tujuan tercapainya kebahagiaan hidup yang sempurna.
4.
Makna yang tersirat dibalik komunikasi simbolik dalam ritual mandi sakral di Pura Suranadi
bahwa komunikasi yang berkualitas adalah berkomunikasi dengan rasa sehingga pesan yang
terkirim lewat simbol bisa diterima dengan baik dan bermanfaat dalam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Sachari, Agus. Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
Suwondo, Bambang, et. al. Adat istiadat Daerah-daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2012. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Endaswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press
Fiske,John.2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Edkins, Jenny. 2013. Teori-teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Imam Suprayogo, Tobroni, 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian kualitatif Bidang filsafat. Jogyakarta: Paradigma
Kriyantono, Rachmat.2010.Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:Kencana Prenada Media
Group
Kutha Ratna,Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy.2010. Ilmu Komunikasi Suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy.2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Masri Singarimbun, Sofian Efendi.1999. Metode Penelitian Survai, Jakarta:LP3ES
Morissan & Andy Corry Wardhany.2009. Teori Komunikasi. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Pudja, Gde.2005. Bhagawadgita. Surabaya:Paramitha
Pusey, Michael. 2011. Habermass Dasar dan Konteks Pemikiran. Yogyakarta:Resist Book
Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta:Graha Ilmu
Sivananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Denpasar: Paramitha.
Soyomukti, Nurani. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:Ar-Ruzz Media.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sobur, Alex. 2013. Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tim Pengkaji Sejarah dan Babad Bendesa Manik Mas. 2010. Sejarah dan Babad Pretisentana
Bendesa Manik Mas. Denpasar.Catur Bayu Mas Aksara.
Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bogor:Ghalia Indonesia
Widoyoko, Eko Putro. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Wiana, Ketut. 1999. Arti Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Jakarta: Yayasan Wisma
Karma.
Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu
(www.ruswanto.com/p/teknik-penyajian-data-html ).
(http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol).
http://stitidharma.org/pola-hidup-bersih-dan-sehat-ditinjau-dari-perspektif-hindu.
Download