Mengembalikan “Khitoh” Dosen Sebagai The Scientific Leader

advertisement
Mengembalikan “Khitoh” Dosen Sebagai The Scientific Leader
Ardian Bakhtiar Rivai
Magister Manajemen Pendidikan Tinggi UGM
Masi segar dalam ingatan kita, tentang kasus korupsi Kepala SKK Migas beberapa
waktu lalu. Rubi Rbiandini, yang saat berstatus tersangka masih menjabat sebagai
kepala SKK Migas, sebelumnya merupakan penyandang predikat dosen berprestasi
nasional. Selain karena reputasi akademik yang memang sudah mendunia, Rudi
Rubiandini juga sangat aktif dalam berbagai publikasi dan karya-karya akademik
yang sangat mengagumkan. Lalu, dimana masalahnya?. Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah, bagaiamana mungkin seorang pendidik dengan predikat berprestasi
dan memiliki reputasi akademik yang membanggakan bisa terjerat sebuah skandal
memalukan di lembaga yang dipimpinya. Tentu pertanyaan ini cukup menarik
untuk dibahas dalam perspektif manajemen pendidikan tinggi.
Rudi Rubiandini sesungguhnya merupakan salah satu pendidik dari sekian banyak
pendidik lainya yang sedang berspekulasi di dalam ranah lembaga birokratik. Sosok
lain yang layak juga perlu mendapat perhatian adalah yang sedang dihadapi oleh
Anggito Abimanyu dalam jabatanya sebagai Dirjen Penyelenggaraan Haji dan
Umroh di Kementrian Agama. Anggito sebagai pendidik juga memiliki reputasi
yang sangat membanggakan di kalangan civitas akademika. Selain karena karyakaryanya yang mendunia, juga karena sumbangsih ide-idenya selama ini sangat
mencerahkan masyarakat luas, meski tak bisa dinafikkan juga, beberapa waktu
terkahir setelah lama beralih menjadi birokrat, jatuh terperosok juga dalam kasus
plagiarisme.
Kedua sosok tersebut menarik untuk saya bahas sebagai sebuah diskurus wacana
tentang bagaimana sesungguhnya seorang pendidik memiliki tanggung jawab
akademik tidak saja hanya kepada dirinya sebagai individu, tetapi lebih daripada itu,
bertanggung jawab kepada instansi yang membesarkan namanya sebagai sebuah
akademisi dan ilmuwan. Ada semacam label yang tidak bisa lepas dari seorang
pendidik, dalam wacana ini adalah dosen yang selalu melekat kepadanya hingga
kapanpun. Tidak bisa dipungkiri, dosen sebagai pendidik memiliki semacam
piutang sejarah kepada sebuah peradaban bangsa. Dari tangan para dosenlah kelak
akan lahir para manusia-manusia yang membangun republik ini.
Sesungguhnya ada banyak realitas yang menunjukkan bahwa beralihnya dosen
menjadi seorang birokrat menjadi semacam diskusi yang menarik. Pertama, adanya
seorang dosen yang dapat menduduki jabatan pemerintahan strategis menjadi
semacam kebanggaan institusi asalnya sebagai sebuah capaian prestasi nonakademis. Dalam banyak cerita yang pernah saya dengar misalnya, bahkan pihak
kampus melakukan semacam acara syukuran untuk merayakan apabila ada salah
satu anggota civitas akademikanya yang dapat mencapai jabatan struktural tertentu.
Terlebih lagi jabatan tersebut merupakan jabatan strategis nasional dan memiliki
kewenangan yang sangat penting.
Kedua, di sisi lain, adanya dosen yang beralih menjadi birokrat justru menimbulkan
masalah baru bagi manajemen pendidikan tinggi. Banyak realitas menunjukkan
ketika banyaknya dosen-dosen terbaik pergi meninggalkan kampus untuk
mengabdi sebagai birokrat, kampus sesungguhnya sedang kehilangan pendidikpendidik terbaik untuk membangun kualitas mahasiswanya. Dampak lain tentu
akan sangat berpengaruh dari sisi produktifitas akademik sebuah universitas
tersebut entah itu dalam bentuk riset maupun bentuk publikasi lainya. Kondisi ini
sekaligus menjelaskan adanya prinsip yang terciderai oleh kondisi alih fungsi
seorang dosen menjadi birokrat.
Pada prinsipnya seorang dosen direkrut adalah untuk mengabdi kepada institusi
pendidikan sebagai agen pencipta dan pengembang sumber daya manusia disuatu
bangsa. Di sisi lain, dosen memang khitohnya adalah bertanggung jawab kepada tiga
hal, yaitu, pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Ketika di tengah jalan dengan bekal reputasi akademis yang sudah dicapainya
selama ini diabaikan untuk meraih jabatan struktural pemerintahan, tentu secara
otomatis, tiga khitoh tersebut akan perlahan mulain diabaikan. Seorang dosen yang
telah beralih menjadi birokrat akan kian tergerus dengan arus institusi
pemerintahan yang dipimpinya yang kemudian berdampak kepada hilangnya spirit
sebagai seorang pendidik.
Quo Vadis Dosen Indonesia?
Pertanyaan yang kemudian muncul dari gambaran tentang kondisi dosen saat ini
adalah mau dibawa kemana sesungguhnya arah jabatan akademik dosen sebagai
penjaga gerbang pendidikan tinggi Indonesia yang maha suci ini?. Ada dua hal
sebenarnya yang cukup mengganjal pikiran saya untuk berusaha mengembalikan
lagi khitoh dosen sebagai seorang pemimpin keilmuwan. Pertama, dosen
meninggalkan kampus untuk jabatan struktural pemerintahan. Kedua, kondisi
kampus yang sepi secara semiotik, dalam artian kampus yang ditinggalkan oleh
pendidik terbaik sesungguhnya sedang berada dalam kesunyian akademis akibat
berkurangnya produktifitas akademik oleh orang-orang terbaik di kampus tersebut.
Untuk mengurai kedua aspek tersebut, ada beberapa faktor yang bisa digunakan
untuk menjelaskan mengapa seorang pendidik meninggalkan kampusnya untuk
sebuah jabatan struktural pemerintahan yang lebih strategis. Faktor pertama,
ketidak nyamanan kondisi kerja di universitas tempatnya mengabdi. Faktor ini
cukuplah perlu mendapat perhatian penting, lihatlah misalnya, masih banyak
profesor-profesor di berbagai universitas yang ruang kerjanya bahkan sangat tidak
layak. Di sisi lain, bentuk apresiasi dan penghormatan instansi yang relatif tidak
maksimal. Faktor ini tentu akan mengganggu kenyamanan seorang pendidik untuk
memikirkan bagaimana mencari kenyamanan di tempat lain.
Faktor kedua, tidak terbangunya habitus pendidikan tinggi yang menjunjung nilainilai akademis. Kebanyakan sivitas akademika saat ini, mengukur keberhasilan
bukan dari bagaimana hasil karya atau ilmu yang telah dikembangkan oleh seorang
dosen, melainkan sejauh mana dosen tersebut mampu meraih jabatan struktural
yang pernah diduduki. Lihatlah misalnya, seorang profesor yang pernah menjadi
mentri jauh lebih dihormati daripada seorang profesor yang pernah berinovasi
suatu hal dalam bidang ilmu tertentu. Tak bisa dipungkiri, masyarakat juga punya
kontribusi yang cukup signifikan untuk mendorong kemana sesungguhnya jabatan
akademik dosen ini akan dibawa.
Dosen Sebagai The Scientific Leader
Susanto (2014) memiliki sebuah pemikiran yang saya pinjam untuk mereproduksi
wacana tentang jabatan akademik seorang dosen. Di tengah-tengah permasalahan
manajemen pendidikan tinggi seperti sudah saya jelasan sebelumnya, bahwa
memang sudah saatnya dosen sebagai pendidik dikembalikan lagi kepada khitohnya
dalam tanggung jawab kependidikan di sebuah universitas. Seorang dosen harus
diberikan posisi yang terhormat, posisi yang diagungkan dalam suasana akademik
yang nyaman. Kondisi yang memungkinkan untuk seorang dosen bisa berkarya
secara maksimal adalah sebuah dambaan. Kondisi yang demikian itu, bisa tercapai
apabila dosen dikembalikan posisi dan tanggung jawabnya dalam sebuah gagasan
pemimpin keilmuan atau apa yang disebut Susanto (2014) sebagai “The Scientific
Leader”.
Susanto (2014) menyebutkan ada tiga pedoman yang harus digunakan untuk
mendudukkan dosen sebagai “The Scientific Leader”. Prinsip pertama, dosen
merupakan tenaga pengajar yang indepen dalam sistem lembaga perguruan tinggi
yang tunduk pada sistem birokrasi. Prinsip pertama ini didukung oleh teori agen
seperti yang pernah disampaikan oleh McLendon; 2003 (dalam Tandberg dan
Griffith, 2013). Prinsip teori agen menjelaskan konsep bahwa dosen merupakan agen
dari kontrol politik institusi pemerintah dan birokrasi dalam menjalankan kebijakankebijakan pemerintahan terkait pendidikan tinggi. Dalam teori ini dijelaskan bahwa
dosen sesungguhnya merupakan bentuk artikulasi kepentingan pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan di suatu negara.
Lebih lanjut McLendon; 2003 (dalam Tandberg dan Griffith, 2013) menjelaskan
bahwa dosen juga menjadi agen untuk starting poin untuk mengkonseptualisasikan
bagaimana dan mengapa kontrol pemerintah kepada instansi pendidikan tinggi,
agen untuk merespon bagaimana kontrol politik, dan agen untuk melaksanakan
kebijakan. Sederhananya, di satu sisi menjadi agen yang tunduk kepada pemerintah,
namun di sisi lain, dosen juga bebas untuk independen sebagai bentuk prinsip
kebebasan akademis.
Prinsip kedua dalam konsep scientific leader yaitu mendudukkan dosen dalam tugas
dan fungsi yang lebih kepada manajemen keilmuan (Susanto, 2014). Itu artinya,
bahwa memang tugas utama seorang dosen adalah hanya pada pengembangan
keilmuan, tidak dalam bentuk yang lain. Begitu juga dalam menjalankan fungsi,
dosen harus dipandang sebagai pengemban fungsi peningkatan mutu pendidikan
tinggi di negara tercinta Indonesia. Dalam pemikiran lain, tugas dosen sebagai
manajemen kelimuan juga didukung oleh Petrides & Nguyen (2006) tentang apa
yang disebut sebagai konowledge management. Petrides & Nguyen (2006) menjelaskan
bahwa dosen memiliki fungsi untuk manajerial ilmu pengetahuan sebagai bentuk
penghasil solusi, penerapan yang spesifik, dan aktivitas transfer informasi yang
berkelanjutan. Itu artinya, dosen memiliki tugas untuk bagaimana memberikan
jawaban atas permasalahan sosial yang sedang melanda suatu bangsa. Dosen juga
menjadi konseptor untuk menerapkan solusi tersebut, ke dalam penerapanpenerapan yang spesifik. Dan yang terakhir, dosen memiliki tugas dalam
pengembangan sumber daya manusia suatu bangsa dalam aktifitas transfer ilmu
pengetahuan yang berkesinambungan.
Prinsip ketiga, dosen sebagai the scientific leader merupakan pemimpin ilmu yang
membawahi anggota dengan bidang keilmuan yang sama (Susanto, 2014). Itu
artinya, bahwa memang apabila sekelompok individu berkumpul dengan bidang
ilmu yang sama, akan memperdalam dan memperluas kajian ilmu yang
dikembangkan. Sehingga, diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan tinggi
saat ini. Prinsip ketiga ini akan mengingatkan kita kepada konsep apa yang disebut
sebagai academic freedom.
Metzger; 1987 (dalam Karran, 2009) menjelaskan bahwa dosen memiliki kebebasan
akademis dalam memimpin sebuah komunitas bidang ilmu tertentu, untuk
menginvestigasi sebuah kebenaran dan melaporkanya dalam sebuah temuan untuk
dipublikasikan dalam perkuliahan. Selain itu, dosen juga memiliki hak kebebasan
untuk menikmati pengajaran dan penelitian di universitas. Kebebasan-kebebasan
tersebut merupakan hak prerogatif dosen sebagai pelaku profesi akademik, dan
menjadi kondisi paling asasi bagi seorang dosen di semua universitas di dunia.
Pada akhirnya, bisa disimpulkan bahwa memang secara kodrati fungsi dan
tanggung jawab seorang dosen adalah berat adanya. Beratnya tanggung jawab
tersebut hendaknya diberikan ruang dan posisi yang terhormat sebagai bentuk
apresiasi segenap penyelenggara pendidikan tinggi dalam rangka menjaga
kemurnian dan kehormatan dosen sebagai sutradara peradaban suatu bangsa. Atas
dasar itulah, maka perlu kiranya mengembalikan fungsi dosen sebagai pemimpin
yang sebenar-benarnya pemimpin di institusi pendidikan tinggi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bacaan
Karran, Terence. 2009. Academic Freedom: Essential Liberty or Extravagant Luxury?.
Dalam The Future of Higher Education Policy, Pedagogy, and the Student
Experience. Editor Les Bell, Mike Neary, and Howard Stevenson.
Continum. New York.
Petrides, Lisa A. & Nguyen, Lilly. 2006. Knowledge Management Trends: Challenges
and Opportunities for Educational Institutions. Dalam Knowledge
Management and Higher Education A Critical Analysis. Editor Amy Scott
Metcalfe. Information Science Publishing. Hershey.
Susanto, Sahid. 2014. Pengembangan Kepemimpinan Keilmuan (Scientific Leader) Prinsip
dan Best Practice. Power Point Presentasi Workshop Kepemimpinan
Suportif Helm USAID. Makasar.
Tandberg, David A. & Griffith, Casey. 2013. State Support of Higher Education: Data,
Measures, Findings, and Directions for Future Research. Dalam Higher
Education: Handbook of Theory and Research Volume 28. Editor Michael
B. Paulsen. Springer. The University of Iowa. New York.
Download