Tingkat Proteksi dan Dampak Kebijaksanaan

advertisement
111. TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Anatomi Kebijaksanaan
Intervensi pemerintah dalam perekonomian suatu negara, bak
negara berkembang maupun maju, sangat populer pada dua dekade
terakhn- dalam posisi dimana masing-masing negara menghadapi pasar
*
alasan, balk
dunia. Intervensi pemerintah diterapkan dengan .,berbagai
berdasarkan ekonomi milupun politik. Tetapi alasan yang paling mendasar
mengapa intervensi perdagangan ditempuh adalah untuk mencapai
tujuan-tujuan pembanpan suatu negara. Diantaranya adalah tujuan
melindungi produsen dm konsumen domestlk dari tekanan pasar dunia,
meningkatkan pendapatan negara, meningkatkan efisiensi perekonomian,
dan mengatur distribusi pendapatan (Simatupang, 1993). Intervensi
pemerintah yang ditandai dengan penerapan berbagai kebijaksanaan pada
akhirnya berdampak pada sistem perdagangan.
Anatomi kebijaksanaan dapat ditinjau dm sifat, jenis, dan instrumen
kebijaksanaannya. Uraian mengenai intervensi pemerintah ditunjukkan
oleh Tabel 3.1.1. Dari Tabel 3.1.1 terlihat bahwa kebijaksanaan dapat
bersifat langsung dan tidak langsung. Kebijaksanaan bersifat iangsung
mencakup pada perdagangan luar negeri, dalam negeri, dan produksi.
Sedangkan kebijaksanaan tidak langsung menyangkut pada lingkup makro
dan terhadap komoditas yang dapat mendukung pengembangan suatu
komoditas yang diunggdkan dirnana efek kebijaksanaan secara langsung
menentukan kemampuan bersaing k o m d t a s lainnya.
Jenis kebijaksanaan pada umumnya ialah pengenaan tarif dan
non-tarif, pengaturan distribusi (tataniaga), stabilisasi pasar, pengaturan
nilai tukar, pengaturan sukubunga, alokasi kredit atau segmentasi pasar
kredit, dan pengaturan investasi. Berdasarkan penjenisan kebijaksanaan
ini maka instrumen yang digunakan dalam kebijaksanaan itu terdiri dari
pajak, kuota dan syarat eksternahtas; seperti lingkungan hidup, kesehatan
dimana instrumen ini dapat dinyatakan sebagai kuasi kuota, retribusi,
pengaturan tataniaga perdagangan komoditas, subsidi harga'input produksi,
penetapan atau pengaturan harga output, pengaturan penggunaan faktor
produksi jenis tertentu, revaluasi dan devaluasi nilai tukar, subsidi
sukubunga, portofolio kredit perbankan, dan insentif prasarana dm sarana,
dan monopoli perusahaan.
Dengan mernperhatkan amtomi kebijaksanaan ini maka pengertian
kebijaksanaan secara operasional dalam analisis ini adalah upaya yang
ditempuh oleh pemerintah untuk mempengaruhi ekonomi perberasan
dengan menerapkan berbagai kebijaksanaan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap perekonomian. Oleh karena itu semua instrumen
kebijaksanaan dapat menjadi insentif dan disinsentif terhadap pelaku
ekonomi.
Dengan memperhatikan Tabel 3.1.1, k e b i j h a a n harga, chkungan
harga output dan subsidi harga input, ialah bagian integral dari
kebijaksanaan. Karena semua instnunen kebijaksanaan digunakan secara
simultan dalam perekonomian maka upaya untuk menganalisis b p a k
kebijaksanaan harus dilakukan secara agregatif. Misalnya, bagairnana
dampak distorsi pasar dan penggunaan sumberadaya dome& dan efisiensi
Tabel 3.1 . l . Sifat, Jenis, dan Instrumen Kebijaksanaan
C
.
,
,
No.
A.
Kebijaksanaan langsung:
1. Perdagangan luar negeri
a. Tarif
- Pajak ekspor-impor
- Subsidi ekspor
* Syarat kesehatan
* Syarat Ungkungan hidup
* Syarat krrantina
2. Perdagangan dalam negeri
a, Tarif
- Pajak pcnjualan
3. Produksi
b. Pengoturan distribusi
c. Stabilisasi hargalpasar
a. Tarif
- Harga dasar dan tertinggi
- Subsldi langsung produsen
- PaJak langsung produsen
- Harga produksi dan sarana produksi
b, Pengaturan harga
c. Pengaturan penggunaan sarana
produksi
B.
Kebijaksanaan tak langsung
I. Ekonami makro
a. Pengaturan nilai tukar
b. Pengaturan sukubunga
c. Segmentaselalokasi kredit
- Retribusi
- Tataniaga komodltas
- Penggunaan faktor produksi tertentu
- Revaluasi dan devaluasi nilai tukar
- Subsidi sukubunga untuk komoditas strategis
- Portofolio kredit perbankan untuk kredit
pengusaha kecfl dan koperasi
2. Terhadap faktor
penunjang
a. In\ estasi sumberdaga
-b. Investasi frsik
- Insentif pendidikan dan penyuluhan
- Insentif prasarana, sarana produksi, dan
pelabuhan
*c.
Investasi lainnya
Sutnber : Disarikan dari Simatupang, 1993
- Insentif riset dan pengembangan
produksi, keunggulan komparatif, dan derajat intervensi pemerintah
(Nelson and Panggabean, 1991 ; Simatupang, 199 1).
Pendekatan agregatif yang dzgunakan untuk menjelaskan fenomena
kebijaksanaan mengakibatkan analisis didekati dari dua sisi, yaitu dari sisi
darnpak distorsi pasar dm dampak transfer pendapatan kepada konsumen
dan produsen (Simatupang, 1993). Distorsi ditunjukkan oleh perbedaan
harga a h a 1 dengan harga s e h m n y a terjadi biia pasar bebas. Dengan
+
*
adanya sibsidi harga pupuk, misalnya, maka harga yang diterima oleh
petani produsen pengguna pupuk akan lebih rendah dari harga yang
seharusnya terjadi. Atau, tarif mengakibatkan harga yang diterima oleh
konsumen lebih besar daripada harga pada kondisi pasar bebas.
3.2.
Beberapa Pemikiran dan Hasil Penelitian Empirik
Menurut Monke dan Pearson (1989) intervensi dapat mempercepat
laju pertumbuhan pendapatan. Kebijaksanaan investasi, seperti memperbaiki idiastruktur, irigasi, sistem penyuIuhan, dan penelitian untuk
penemuan dan penguasaan teknologi adalah contoh bentuk intevensi dalam
sektor publik untuk meningkatkan aktifitas ekonomi. Disamping itu,
kegagalan pasar, ekstemditas, distribusi pendapatan, dan stabilisasi harga
adalah alasan lainnya mengapa intervensi perlu dilakukan oleh pemerintah.
Perlakuan kebijaksanaan adatah terhadap komoditt perdagangan
yang dayasaing internasionalnya lemah dan biasanya kebijaksanaan
diberlakukan karena sektor perekonomian yang dilindungi menyangkut
sebagian besar kehidupan rakyat. Intervensi dalam bentuk pemberian
subsidi terhadap sektor padi adalah dalarn kerangka peningkatan skala
usaha dan efisiensi usahatani, stabilisasi harga, peningkatan pendapatan
petani, dan swasembada beras. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa
kebijaksanaan dapat mendistorsi pasar sehingga kondisi yang tercapai
adalah kondisi tujuan non-efisiensi. Menurut Barker dan Hayarni (1976
dan 1978) pengenaan subsidi terhadap sektor pertanian merupakan
altematif kebijaksanaan pokok dalam mewujudkan program swasembada
pangan suatu negara.
Jadi tidaklah mengherankan negara-negara*
berkembang menerapkan kebijaksanaan subsid harga input dan dukungan
harga output pertanian pangan, khususnya beras.
Di antara faktor produksi yang mendapat perhatian serius dalam
produksi adalah pupuk kimia karena pupuk kimia sangat menentukan
produksi. Atau, dengan kata lain elastisitas produksi d m pupuk relatif
tinggi.
Fan (1991) menyatakan bahwa elastisitas produksi dari pupuk
kimla di China naik sepanjang tahun sedangkan elastisitas produk input
tradrsional turun. Untuk Indonesia, laju pertumbuhan konsumsi pupuk
mineral per hektar lahan pertanian selama tahun 1978 - 1988 mencapai
76.4%. Dengan demikian pupuk kimia memegang peranan penting untuk
meningkatkan produksi padi. Altemeier, Heyten, Daris, Astuti, dan
Suprapti (1989) mengungkapkan bahwa permintaan pupuk cukup responsif
meshpun elastisitas produksi setara beras terhadap harga pupuk rendah di
Indonesia. Menurut McCorriston dm Sheldon (199 1) pengenaan subsidi
pupuk tergantung pa& situasi pasar. Subsidi optimal akan naik (turun) bila
stiuktur pasarnya kurang (lebih) kompetitif.
Berbagai hasil penelitian telah dapat tnengungkapkan bagaimana
program stabilisasi h a r e (penyesmian struktural) dilaksanakan di beberapa
negara baik ditinjau dari sisi llnplikasi kesejahteraan maupun pasar. Dalam
Tabel 3.2.1, Konandreas dan Schrnitz (1978), dengan menggunakan
analisis kesejahteraan, menyatakan bahwa produsen dan konsumen pangan
(biji-bijian) di Amerika Serikat diuntungkan oleh adanya stabilisasi harga,
kecuali untuk komoditas gandum.
I
Di Filipina, penerapan subsidi harga pupuk sangat penting untuk
tujuan swasembada beras karena Filipina adalah negara importir beras
kedua terbesar di dunia setelah Indonesia. Ketergantungan terhadap*
internasional dapat menyebabkan ti&
stabdnya perekonomian bila terjadi
perubahan harga internasional. hplikasi subsidi harga pupuk terhadap
beban pernerintah adaiah rendah sehingga subsidi juga dapat melindungi
penclapatan petani dan menghemat devisa (Barker dan Hayami, 1976 dan
1978).
Intervensi p e m e ~ t a h&am perekonomian juga terjadi di Jepang,
khususnya terhadap beras, w a l q u n Jepang telah menjadi negara industri.
Riethrnuller, Wallace, dan Tie (1988) menyatakan bahwa stabilisasi
ekonomi Jepang berakibat pa& beberapa hal, yaitu bertambahnya
penawaran pangan, peningkatan produktifitas, kontribusi pernerintah
terhadap penerimaan petani sangat tinggi dan bahkan tertinggi di antara
negara-negara maju, dm perbedaan harga produsen dan domestik dengan
internasional dua kali lipat.
Kebijaksanaan perberasan di Jepang yang disukai adalah subsih
harga beras s e h g k a n subsidi harga input kurang disukai. Subsidi harga
beras di Jepang mengalciiatkan h a r e beras domestik mencapai empat kali
lipat dari harga dunia. Input yang tidak disubsidi dapat dikompensasi oleh
petani dari pinjarnan dengan sukubunga rendah, program peneiitian,
pembiayaan untuk perbadcan lahan, dan fasilitas penanganan hail dan
penyimpanan.
*
Tingkat perlindungan pemerintah Jepang terhadap petani produsen
sangat tinggi. Sehngga petani Jepang adalah penerima tertinggi dukungan
pemerintah di antara negara-negara maju. Berdasarkan pada producer
subsidy equivalent, menurut OECD, 59% penerimaan petani bersumber
dm program pemerintah sedangkan negara-negara Masyarakat Eropa 43%,
Amerika Serikat 16%, Australia 5%, dan Swiss clan negara-negara
Skandinavia, seperb Finlandia, Norwegia, dan juga Islandia mencapai
56%.4) Khusus untuk beras, kontribusi kebijaksanaan pemerintah Jepang
terhadap penerirnaan produsen mencapai 80%.
Sementara itu untuk kasus negara-negara MEE dan AS, Devados
dan Choi (1991) menunjukkan bahwa stabilisasi harga diterapkan terhadap
sektor primer adalah untuk menentukan keputusan produksi dalarn
memperkecil ketak-ten-
)'
dan resiko harga. Due dan Gladwin (199 l),
Studi OECD (1987) dan U S Department of Agricultural (1984) untuk periode
1982- 1984 dalarn Riethmuller,
(1 988)
dengan menganalisis pembangunan pertanian di negara-negara AHca,
menyatakan bahwa penghapusan subsidi pupuk aka1 menyebabkan naiknya
harga input lebih cepat danpada harga output. Dari gambaran di atas dapat
dinyatakan bahwa program kebijaksanaan dan subsidi untuk sektor
pertanian adalah penting, khususnya untuk beras, dan penerapannya tidak
hanya di negara berkembang juga di negara maju.
Ditinjau dan mekanisme pllihan, menurut Chambers (1992), sangat
tergantung dari tujuan. Jika pemerintah memilih kebijaksanaan harga maka
pemerintah lebih menyenangi low cost producer interest. Jepang memilih
kebijaksanaan harga output "daripada harga input. Indonesia memilih
keduanya, harga output dan harga input.
Meslupun impfikasi positif dirasakan oleh berbagai negara dalam
intervensi pemerintah namun berbagai countervaihg juga dikenakan
terhadap negara-negara yang intensif memberikan perlindungan. Taylor
dm Phillips (1991) menyatakan bahwa negara-negara pepgekspor pangan
akan dikenakan pajak atau bea dan negara-negara pengirnpor pangan akan
dkenakan i n s e n t i f d mengurangi ketergantungan impor. Moschini dam
Meilke (1992) menyatakan bahwa tKa masuk akan dkenakan oleh suatu
negara dalam perdagangan internasional bila subsidi produksi diterapkan
di negara pengekspor.
Dengan disetwjuinya Putaran Uruguay dalam forum GATT maka
>
negara produsen beras meskipun telah mengalami surplus beras dihmskan
mengimpor beras sebesar 3 - 5% dari total konswnsi domestiknya.
q
Tabel 3.2.1 . Beberapa Pemikiran dan Hasil Studi Mengenai
Stabilisasi Ekonomi Beberapa Negara
"7
Madd hdw
He
1.
Barker dan
Hayami
1978
Filipina
Analisis pasar beras dan q u k
untuk mengetahui efek s u L i
2.
Konandreas
dan Schmitz
1978
Amerika
Serikat
Analisis kesejahteraan akibal
stabihsasi harga produk biii-biban
3.
Nain golan
dan uprapto
1987
Indonesia
Model fungsi penawaran untuk
mengetahui respon penawaran
beras di Jawa
4.
Lains
1987
Indonesia
Model fungsi perrnintaan beras
untuk mengetahui efek subsfitusi
dan pendapatan
5.
Riethmuller,
Wallace, dan
Ti
1988
Jepang
Analisis model Nominal Proteckn
Rate (NPR) terhadap sektm
pertanian
6.
Alterneier dkk
1989
Indonesia
Model fungsi keuntungan untuk
men etahui angsa dan pengaruh
pupu terh ap usahatani
!
& 9
7.
Suprapto
1987
Indonesia
Model General Equilibriumunhk
mengetahui dampak penghapirsan
subsidi pu uk pada pendapaQn
dan produ si beras
e
Due dan
Gladwin
1991
9.
Tayfors dan
Phllis
1991
10
Devados dan
Choi
1991
-
11
Moschini dan
Meilke
1992
Kanada
dm AS
Chambers
1992
8.
12
Mka
Analisis da ak Structural
Ad'ustment rogram (SAP)
te adap petani wanita
ill
Sgtms
-
"B
Analisis NPR dengan adanya
diMrninasi harga
Analisis teoritis efek s t a b i i
terhadap keputusan produsen
dengan adanya resiko harga
Analisis perdagangan akibat
adan a subsidi produksi terhadap
tern dan daging babi
&
Analisis teoritis terhadap
rancangan mekanisme
kebiaksanaan pertanian akibat
adanya informasi yang tidak
simetris
Disamping itu subsidi sektor pertanian akan dkurang~sebesar 2 1 % selama
enam tahun. Indonesia dan Jepang adalah negara yang terkena peraturan
GATT dalam perdagangan beras internasional. Perhaan kerugian yang
akan halami oleh Indonesia dalam perdagangan bebas mencapai US $ 1.9
miliar atau selutar Rp 4.0 triliun.')
Untuk kasus Indonesia, alasan proteksionisme sektor pertanian
adalah dalam perubahan struktur perekonomian; merangsang produksi,
*
menjamin harga yang wajar untuk konsurnen, insentif perdagangan, dan
hubungan harga yang wajar antar daerah dan internasional, serta surnber
penerimaan pemerintah (Mears dan Afiff, 1969; Timmer, 1981 ; Afiff,
Falcon, dan Timmer, 1987; Mff, 1990 dan 1991). Dalam proses
perubahan, permintaan relatif untuk produk pertanian merosot s e b g g a
pertumbuhan permintaan rendah. Disamping itu perlu menanggulangi
penurunan dan fluktuasi pendapatan petani dan countervailing terhadap
negara lain yang memberikan perlindungan terhadap sektor pertanian.
Dalam ha1 ekspor pertanian, Saragh (1990) menyatakan tantangan
yang dihadapi oleh Indonesia adalah konsentrasi pasar pada beberapa
negara, kebijaksanaan perdagangan dengan negara mitra, baik negara maju
maupun
berkembang,
diversifikasi
produk,
perbaikan
kualitas,
ketidak-stabilan harga, dan konsistensi kebijaksanaan pemerintah.
Lihat "Siap-siap Menyambut Perdagangan Bebas", majalah Tempo, vol
XXIII(43), 25 Desember 1993.
*
4
Sementara itu, Tjiptoherianto (1992) menyatakan bahwa kebijaksanaan
sektor padi juga merupakan penjabaran demokrasi ekonomi yang dianut
oleh Indonesia.
Proteksionisme ekonomi juga mendapat tanggapan negatif dari sisi
pengembangan efisiensi perekonomian. Dari kebijaksanaan sektor industri,
Nasution (1 992) menyatakan bahwa kebijaksanaan industri yang memberikan kebijaksanaan yang berlebih-lebihan mengalubatkan perekonomian
bersifat anti penciptaan lapangan kerja, anti ekspor impor, memat&an
persaingan dalam dan luar negeri. Tambunan (1990) menyatakan bahwa
kebijaksanaan sektor pertanian mengakibatkan fleksibilitas rendah.
Sehmgga perubahan produksi tidak &pat menghti perubahan permintaan
pasar dalam dan luar negeri.
Pendapat di atas didukung oleh Sayogyo (1989) yang melihat dari
sisi kesejahteraan petani dm menyatakan bahwa had revolusi hijau,
sejalan dengan kebijaksanaan ekspansif melindungi petani, lebih dinikmati
oleh petani padi lapisan atas desa. Hal ini berkaitan dengan peranan
kelembagaan yang berkembang sejalan dengan penerapan kebijaksanaan
dimana kelembagaan dapat memperbesar rente ekonomi.
Menurut Suprapto (1989) bahwa penghapusan subsidi secara nyata
mempengaruhi harga-harga faktor, output, pendapatan riil rumah tangga,
dan penerimaan riil pemerintah clan perusahaan swasta. Tingkat upah naik
2
- 2.8% dan harga modal naik
15.3%. Harga komoditas naik 12.1%
secara agregat, dan turunnya pendapatan rumah tangga 7.5%. Studi
40
Suprapto ini telah mengungkapkan dampak penghapusan subsidi terhadap
subsektor beras dengan mang lingkup dan metode analisis adalah model
kesetimbangan umum (CGE). Model CGE memang komprehensif karena
menggunakan pasar ganda. Tetapi kelemahannya terletak pada sifat
subyeMtas dalam penentuan koefisien dan penggunaan data penampang
yang bersifat deterministik berdasarkan data SAM. Hal ini tidak terlepas
dm model yang dikembangkan berdasarkan simulasi. Disamping itu data
deterministik kurang dapat mempredksi kondisi perekonomian.
Model analisis yang dikembangkan oleh Barker dan Hayarni dan
juga digunakan oleh Hayami dm Herdt (1978) untuk menganalisis
pengaruh teknologi adalah salah satu model yang relevan dikembangkan
untuk menganalisis pengaruh
subsidi di
negara berkembang.
Kelemahannya adalah penyederhmaan model pasar beras yang sangat
s b t k komparatif. Dengan demiluan analisis mengenai kebijaksanaan dan
penganrh subsidi mash relevan dilakukan.
Menanggapi masalah kebijaksanaan pertanian, khususnya stabilisasi
harga, APO (1 990) merumuskan tiga aliran pemikiran yang berkembang,
yaitu pertama, aliran pasar bebas yang menyatakan bahwa stabilisasi harga
tidak efisien dalam alokasi sumberdaya, dapat memperbesar pengejar rente,
dan manfaatnya rendah. Aliran ini cenderung menolak kebijaksanaan
kebijaksanaan ekonomi. Kedua, aliran strukturalis yang menyatakan
bahwa stabllisasi harga harus ada, khususnya untuk bahan pangan, karena
menyangkut pada ketersediaan pangan, stabilitas, dan pendapatan petani.
Masalah inflasi sangat ditentukan oleh harga beras dan kesejahteraan petani
ditentukan oleh tingkat harga rid pa& dan produktifitasnya (Amang, 1984;
Pakpahan, Hermanto, clan Ahahman, 1993; Sutrisno, 1993). Ketiga, aliran
pragmatis yang menyatakan bahwa stabilisasi harga memang bermanfiat
tetapi juga mahal.
Aliran ketiga ini dapat menerirna tindakan
kebijaksanaan sesuai deagan tujuan dan kondisi pembangunan itu sen&.
Mernperhatikan aliran-alkan tentang intervensi pemerintah di atas,
a
Indonesia cenderung menganut aliran carnpuran antara strukturalis dan
pragmatis. Hal ini dapat terZihat dari kebijaksanaan pembangunan ekonomi
Indonesia dimana pemerintah sangat menentukan arah perkembangan
ekonomi, khususnya sejak tahun 1969, awal dari Pembangunan Jangka
Panjang 25 Tahun Pertama.
Selma PJPT II intervensi pemerintah
terhadap sektor yang strategis masih terus dilakukan. Namun pandangan
Indonesia cenderung berubah ke arah aliran pragrnatis sejalan dengan
keikut-sertaan Indonesia dalam persetujuan menuju perdagangan M a s .
hi juga sejalan dengan strategi swasembada on trend yang dikembangkm
oleh pemerintah Indonesia dalam perberasan. Perubahan tersebut disertai
dengan upaya penyesuaian tarif, sarnpai tahun 2025 climana perdagangan
bebas mulai berlaku.
Download