Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 ENTEROTOKSEMIA YANG DISEBABKAN Clostridium perfringens TIPE C PADA IKAN PAUS PUTIH (Delphinapterus Leucas) Enterotoxemia Caused by Clostridium perfringens Type C in White Whale (Delphinapterus leucas) LILY NATALIA dan A. PRIADI Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT The Beluga or white whale, Delphinapterus leucas, is an Arctic and sub-Arctic species of cetacean. This marine mammal is commonly referred to Beluga or Sea Canary due to its high-pitched twitter. From a conservation perspective, the Beluga is considered "near threatened" by the International Union for Conservation of Nature (2009). Three Belugas owned by Gelanggang Samudra, Ancol died in February – March 2011. The first Beluga died suddenly and the second and the third Beluga looked unhealthy and died within a week. Necropsy was carried out immediately and tissue samples were submitted to laboratory. Grossy, severe and extensive haemorrhagic organs (liver, intestine, heart, spleen and lungs) gave the red appearance of the whole body which is entirely due to hemolyzed red blood cells. Clostridium perfringens was found dominantly in gut sample. Mouse neutralization test to the bacterial culture supernatant demonstrated alpha and beta toxins and classified as Cl. perfringens type C (alpha and beta toxin producer), and the toxin produced was > 100 MLDs/ml. Moreover, mouse neutralization test using alpha and beta antitoxins against body fluids of the Beluga indicated the presence of toxins that could be neutralized by Cl. perfringens type C antitoxin. The results indicated that Beluga whale died from enterotoxemia caused by Cl. perfringens type C. Escherichia coli and Plesiomonas shigelloides were also isolated from the gut sample while Streptococcus group C/G. were found in liver. But these bacteria were classified as nonpathogenic bacteria on Congo red agar. Our findings offer insight for guiding policy and management decision regarding Beluga risk of enteric infection by opportunistic bacterial pathogens in Indonesia. Key Words: Beluga Whale, Enterotoxaemia, Clostridium Perfringens Type C ABSTRAK Paus Beluga atau Paus Putih (Delphinapterus leucas) adalah jenis cetacean yang terdapat di wilayah perairan laut kutub utara dan sekitarnya. Hewan mamalia laut ini disebut Beluga atau Kenari Laut karena ciri khas dari lengkingan suaranya yang tinggi. Hewan ini terancam punah, dilindungi oleh International Union for Conservation of Nature (2009). Sebanyak tiga ekor Ikan Paus Beluga yang dimiliki Gelanggang Samudra, Ancol ditemukan mati dalam bulan Februari – Maret 2011. Seekor mati mendadak dan disusul dengan seekor lagi yang mulai terlihat sakit seminggu sebelum kematiannya. Ikan paus Beluga yang ketiga juga mati tidak lama setelah kematian yang ke dua. Nekropsi dilakukan segera dan beberapa sampel organ dikirim ke laboratorium. Pada nekropsi, terlihat perdarahan hebat terjadi hampir di semua organ (hati, usus, jantung, limpa dan paru-paru), sehingga terkesan semua berwarna merah yang disebabkan oleh sel darah merah yang mengalami hemolisis. Dari hasil pemeriksan bakteriologis pada sampel usus ditemukan bakteri dominan, yaitu Clostridium perfringens. Penentuan tipe toksin Cl. perfringens menggunakan mouse neutralization test menunjukkan bahwa bakteri ini menghasilkan toksin alpha dan beta. Hasil ini membuktikan bahwa bakteri tersebut adalah Cl. perfringens tipe C (penghasil toksin alpha dan beta) yang dapat menghasilkan toksin > 100 MLDs/ml. Mouse neutralization test terhadap sampel cairan tubuh (hati dan paru-paru) Paus Putih juga menunjukkan adanya toksin yang dapat dinetralisasi dengan antitoksin Cl. perfringens tipe C. Hal ini menunjukkan ikan paus mengalami enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe C. Bakteri Escherechia coli dan Plesiomonas shigelloides juga ditemukan pada usus dan pada hati ditemukan Streptococcus grup C/G. Tetapi bakteri-bakteri ini tidak menunjukkan patogenitas pada pemeriksaan dengan 894 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Congo red agar. Kejadian ini dapat sebagai masukan dalam manajemen pemeliharaan Beluga di Indonesia terhadap resiko infeksi usus oleh bakteri patogen oportunis seperti Cl. perfringens. Kata Kunci: Paus Beluga, Enterotoksemia, Clostridium perfringens type C PENDAHULUAN Informasi tentang infeksi bakterial pada hewan mamalia laut sangat bervariasi. Setiap tahun spesies bakteri tertentu ditemukan menginfeksi mamalia laut dan beberapa bakteri tersebut mempunyai potensi untuk dapat menginfeksi manusia atau hewan lainnya dengan cara langsung ataupun tidak langsung (HIGGINS, 2000). Beluga adalah salah satu dari 2 jenis paus keluarga Monodontidae, bersama dengan Narwhal. Mamalia laut ini dikenal secara umum sebagai Beluga atau Kenari Laut karena ciri khas dari lengkingan suaranya yang tinggi. Panjang Beluga dapat mencapai 5 meter dengan warna tubuh yang putih, sementara kepalanya berbentuk melon. Sekilas, ikan ini mirip dengan lumba-lumba. Namun, ternyata ikan berukuran besar ini adalah paus, atau lengkapnya paus Beluga. Beluga sendiri berasal dari kata belukha dari bahasa Rusia yang artinya putih. Panjang Beluga dapat mencapai 5 meter dan beratnya bisa mencapai 1,5 ton dengan warna tubuh yang putih (JEFFERSON et al., 2009) Ikan ini selalu hidup berkelompok di perairan kutub utara, kecuali paus Beluga jantan yang selalu menyendiri. Pada saat lahir, ikan ini berwarna abu-abu, tapi ketika umurnya terus bertambah warnanya menjadi semakin putih. Ikan besar ini umurnya 30 – 35 tahun atau lebih. Sayang ikan ini sudah hampir punah karena populasinya semakin sedikit dan terus menurun. Berbagai penyebab menurunnya populasi ikan ini antara lain adalah perubahan iklim (TYNAN dan DEMASTER, 1997; MACLEOD, C., 2009), infeksi berbagai mikroba patogen (HIGGINS, 2009, MILLER et al., 2009), bahan beracun dalam habitatnya (MARTINEAU et al., 1994, MCKINNEY et al., 2006 ) dan perburuan oleh penduduk asli setempat(IWC, 1997, 2000, HUNTINGTON et al., 1999, INNES et al., 2002). Telah ditetapkan bahwa paus Beluga terancam punah dan layak mendapat perlindungan ketat berdasarkan Endangered Spesies Act (IWC, 2009; MARTINEAU et al., 2003). Beberapa bakteri dan jamur mungkin merupakan flora normal yang ada dalam lingkungan tempat hidupnya. Beberapa bakteri ini dapat bersifat oportunistik dan dapat menyebabkan penyakit jika kondisi hewan sesuai untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Pada umumnya, gejala klinis tidak dapat diamati dan tidak dapat diperoleh (HIGGINS, 2000). Tulisan ini memberi informasi mengenai infeksi yang terjadi pada paus Beluga yang dipelihara di Indonesia dan juga tinjauan dari pengendalian dan pencegahan penyakitnya. MATERI DAN METODE Anamnese Ikan paus putih atau Beluga dipelihara di kolam Gelanggang Samudra Jaya Ancol dengan air yang berasal dari perairan Jakarta yang telah dilakukan filtrasi, suhu air 24 – 26°C, kadar total chlorine 0,4 – 1,0 ppm. Ikan ini mendapat pakan ikan segar dan sudah terlatih untuk dapat melakukan atraksi kepada pengunjung. Sebanyak 3 ekor ikan Beluga ditemukan mati selama bulan Februari sampai Maret 2011. Pada tanggal 23 Januari 2010 seekor ikan paus Beluga betina sakit dan dari sampel blowhole Beluga ditemukan bakteri Vibrio algnolitycus, yang merupakan marine bacterium Gram negatif yang sering ditemukan menyebabkan kematian dan sakit pada lumbalumba (BUCK et al., 1991). Pemberian antibiotik berupa injeksi enrofloxacin dan dilanjutkan cefadroxil, injeksi biosollamin injeksi metoclopramide HCL (primperan) dan pemberian oral metoclopramide HCL (primperan) dan anti histamine dapat mengembalikan kesehatan ikan tersebut (SAPUTRA, 2010). Tetapi pada bulan Februari 2011, ikan Beluga ini mati mendadak. Ikan ini telah berumur 6 tahun dengan berat sekitar 800 kg. Kematian ikan ini disusul dengan kematian 2 ekor ikan paus Beluga lainnya. 895 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Nekropsi Nekropsi dilakukan dengan melihat semua perubahan atau kelainan yang terjadi. Sampel usus, tulang, trachea, paru-paru, hati, jantung dan usus dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan bakteriologis. Isolasi dan identifikasi patogen Terhadap semua sampel organ yang diambil saat nekropsi, dilakukan preparasi, untuk kemudian ditumbuhkan pada media pertumbuhan bakteri. Sampel yang ditumbuhkan pada lempeng agar darah dan brain heart infusion (BHI) broth ditumbuhkan secara aerobik dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 jam. Selain itu sampel juga diinokulasikan dalam Robertson’s cooked meat medium (RCMM) dan media agar darah, lalu ditumbuhkan secara anaerobik dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 18 – 24 jam Seleksi terhadap bakteri patogen dilakukan dengan menumbuhkan isolat pada Congo red agar (PANIGRAPHY dan LING, 1990; BERKHOFF dan VINAL, 1985). Isolat bakteri patogen akan berwarna merah dan non patogen akan tidak berwarna. Terhadap isolat yang berwarna merah dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk mengidentifikasi bakteri patogen pada sampel. Isolat bakteri aerob yang tumbuh diidentifikasi dengan pewarnaan Gram, melihat reaksinya pada triple sugar iron agar (TSIA), uji indol, oksidase, produksi urease serta menggunakan API 20 NE dan BD BBL Crystal Microbial ID System. Isolasi dan identifikasi bakteri yang tumbuh secara anaerob dan mengarah ke pada Clostridium spp., dilakukan dengan menggunakan Fluorescent Antibody Technique (COLLINS dan LYNE, 1976). Sesudah diketahui spesies Clostridium dilakukan penentuan tipe dengan menggunakan mouse protection test dengan menggunakan berbagai antisera (antitoksin Cl. Perfringens tipe A, B, dan C) dan juga tripsinasi guna mendeteksi toksin epsilon (LEVETT, 1991). Uji Toksisitas Toksin Clostridium Terhadap kultur Clostridium perfringens, dilakukan uji mouse neutralization test 896 (LEVETT, 1991) untuk menentukan jenis toksin yang dihasilkannya. Hal serupa dilakukan juga terhadap cairan tubuh (cairan hati dan paruparu) yang diduga mengandung toksin. Untuk mengetahui potensi toksin dari kultur Cl. perfringens, dilakukan uji letalitas pada mencit. Cairan sampel yang mengandung toksin diencerkan secara desimal dan tiap enceran disuntikkan secara intravena pada mencit. Sebagai kontrol negatif digunakan cairan NaCl fisologis steril. Mencit diobservasi terhadap adanya kematian. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada nekropsi, terlihat adanya perdarahan dihampir semua bagian tubuh bagian dalam ikan Beluga. Hemolisis juga terlihat nyata dengan darah yang sulit membeku. Pada organ usus terlihat adanya bagian yang nekrotik dan hemoragik. Terlihat adanya perdarahan pada hampir semua organ yaitu hati, usus, jantung, limpa dan paru-paru (Gambar 1 dan 2). Terkesan semua tubuh hewan ini berwarna merah. Dari dalam saluran pencernaan ditemukan benda asing, antara lain seperti baud dan cincin. Dari sampel usus yang ditumbuhkan pada lempeng agar darah dan diinkubasi secara anaerobik, terlihat adanya pertumbuhan bakteri yang didominasi oleh koloni bakteri dengan double zone hemolysis. Selain itu juga terdapat koloni lainnya yang bersifat non hemolitik. Pada media RCMM, ditemukan adanya produksi gas yang kuat. Terhadap setiap macam koloni dilakukan isolasi dan pemurnian dengan mengambil koloni bakteri tunggal dari tiap jenis koloni bakteri yang berbeda. Dari pewarnaan Gram, terlihat bahwa bakteri ini bersifat Gram positif dan berbentuk batang. Dari hasil uji FAT, terlihat adanya bakteri yang bersinar pada preparat ulas bakteri yang diberi konjugat anti Cl. perfringens yang dilabel dengan FITC (Gambar 3). Dari hasil ini dipastikan bahwa bakteri yang diisolasi adalah Clostridium perfringens. Penentuan tipe Cl. perfringens dengan uji mouse neutralization test menunjukkan bahwa bakteri tersebut merupakan Cl. perfringens tipe C yang merupakan penghasil toksin alfa yang bersifat necrotizing dan hemolitik serta toksin beta yang bersifat lethal dan necrotizing. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Gambar 1. Perdarahan pada berbagai organ ikan paus Beluga yang mati yang diduga sebagai akibat aktivitas toksin alpha Cl. perfringens yang bersifat hemolitik Gambar 3. Cl. perfringens yang diisolasi dari usus ikan paus Beluga, dilihat dengan Fluorescent Antibody Technique (FAT), pembesaran 1000× Kerja dari toksin alfa yang jelas terlihat adalah terjadinya hemolisis dan sel darah merah dan juga ditemukannya peradangan usus yang bersifat nekrotik. Uji mouse neutralization test untuk menentukan toksin Cl. perfringens (LEVETT, 1991) pada cairan tubuh ikan paus juga menunjukkan adanya toksin alpha dan beta dari Clostridium perfringens tipe C. Dalam uji tersebut, mencit menunjukkan kematian dalam waktu singkat (beberapa menit) bila disuntik cairan hati dan paru-paru ikan paus. Penambahan antitoksin Cl. perfringens tipe C dapat mencegah kematian mencit. Hal ini memastikan adanya toksin alfa dan beta dari Cl. perfringens yang menyebabkan enteroksemia dan menimbulkan kematian ikan paus. Kesan banyaknya perdarahan pada Gambar 2. Enteritis hemoragis dan nekrotika, serta perdarahan pada hati ikan paus Beluga hampir semua organ ikan paus dapat merupakan akibat aktivitas toksin alfa yang bersifat sangat hemolitik. Kelainan patologik seperti ini sudah sering ditemukan pada kasus enterotoksemia pada hewan sapi dan kerbau yang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe A (penghasil toksin alfa) maupun tipe C (penghasil toksin alfa dan beta) di Indonesia (WORRALL et al., 1987; NATALIA et al., 1989; KALENDER et al., 2007). Dari sampel usus yang diinokulasikan pada lempeng agar darah, BHI broth, dan diinkubasikan secara aerobik, ditemukan juga bakteri berbentuk batang, dan bersifat Gram negatif. Dari sampel hati, yang diinokulasikan pada lempeng agar darah, BHI broth, ditemukan satu macam bakteri saja, yaitu berbentuk coccus, bersifat Gram positif. Semua isolat bakteri yang diperoleh dari sampel hati, usus, jantung, limpa, paru-paru dan tulang ekor ditumbuhkan pada Congo red agar untuk melakukan skrining terhadap bakteri patogen. Koloni bakteri yang berwarna merah diidentifikasi lebih lanjut sesuai dengan sifat dan jenis bakterinya. Ternyata tidak ditemukan bakteri patogen lain dan kemungkinan besar kematian ikan paus ini disebabkan oleh enterotoksemia akibat Cl. perfringens tipe C. Dari sampel sumsum tulang, ditemukan adanya Streptococcus sp. yang bersifat non patogen. Sedangkan dari trakhea, paru-paru dan jantung juga tidak ditemukan bakteri patogen. Sesudah melihat reaksinya pada triple sugar iron agar (TSIA), uji indol, oksidase, 897 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 produksi urease dan juga diinokulasikan pada BBL Crystal untuk enterobacteria diperoleh hasil bahwa dari sampel usus ditemukan Plesiomonas shigeloides dengan tingkat kepercayaan 99,9%. Isolat tunggal dari sampel hati yang diidentifikasi menggunakan API Strep dan BD BBL Crystal untuk Gram positif menunjukkan bahwa bakteri yang diisolasi tersebut adalah adalah Streptococcus Grup C/G dengan tingkat kepercayaan 98,11%. Clostridium perfringens sebagai penyebab kematian dari hewan mamalia laut telah dilaporkan. (BUCK et al., 1987; HIGGINS, 2000). Pada ikan paus Beluga, telah ditemukan Cl. perfringens pada saluran pencernaan oleh BUCK et al. (1989). Bakteri ini juga menimbulkan kematian pada bottlenose dolphine dan pada anjing laut (MILLER et al., 2010) dan invertebrata laut (MILLER, 2006). Myositis dan enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens pada mamalia laut telah ditemukan dan dijelaskan bahwa patogenesis dan wabah penyakit ini hampir sama dengan yang ditemukan pada hewan yang hidup di darat (ASCHFALK dan MULLER, 2002). Dalam penelitian ASCHFALK dan MULLER (2002), ditemukan adanya wabah enterotoksemia pada hooded seals disebabkan oleh toksin alfa dari Cl. perfringens penyebab enterotoksemia. Enterotoksemia oleh Cl. perfringens pada umumnya dimulai dengan adanya faktor predisposisi yang terjadi pada hewan, seperti adanya faktor-faktor yang menyebabkan perlukaan pada usus hewan yang akhirnya menimbulkan area nekrosis, tempat yang baik untuk berkembangkiaknya bakteri Cl. perfringens yang bersifat anaerob. Selain itu, faktor stres akibat transportasi hewan, lingkungan tempat hidup yang tidak sesuai, perubahan pakan secara mendadak telah terbukti pula dapat menimbulkan kejadian enterotoksemia. Ikan paus Beluga, biasanya hidup di wilayah perairan laut kutub utara dan sekitarnya dalam air dengan suhu yang cukup rendah. Pemeliharaan ikan paus Beluga di daerah tropis tentunya akan menimbulkan perubahan lingkungan dan keadaan stres pada hewan. Keadaan stres semacam ini mampu menimbulkan enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens (WORRALL, et al., 1987; SONGER, 1996; KALENDER et al., 2007). 898 Clostridium perfringens adalah bakteri patogen oportunis yang sering ditemukan pada mamalia laut (MILLER et al., 2010; LISLE et al., 2004; MILLER et al., 2006). Prevalensi kematian yang ditimbulkannya pada sea otters cukup tinggi dibandingkan dengan bakteri enterik patogen lainnya (MILLER et al., 2010). Pada hewan ternak, pencegahan penyakit dilakukan dengan vaksinasi dengan menyuntikkan toksoid dari Cl. perfringens. Pengobatan dengan antibiotik tidak efektif karena tidak dapat menetralisasi toksin yang beredar dalam tubuh ikan. Pemberian antiserum untuk pemberian kekebalan pasif pada hewan dapat dilakukan dan menyembuhkan penyakit tetapi hal ini kurang efektif karena tidak memberikan kekebalan aktif dan tidak efisien. Jika prevalensi kematian akibat enterotoksemia yang disebabkan Cl. perfringens cukup tinggi dan pengobatan hampir tidak efektif untuk dilakukan, maka perlu dipelajari kemungkinan melakukan program vaksinasi untuk pencegahan penyakit. Vaksin yang digunakan adalah toksoid dari Cl. perfringens yang dapat memberikan kekebalan yang cukup baik. Streptococcus spp. juga telah dilaporkan menyebabkan penyakit pada ikan paus Beluga (BUCK et al., 1989, HIGGINS, 2000). Bakteri ini dapat menimbulkan infeksi pada paru-paru, dapat diidentifikasi dari parenkhim paru-paru, pharynx, dan cairan pericardial. Dalam penelitian ini, Streptococcus grup C/G non patogen diisolasi dari hati 2 ekor ikan paus Beluga yang mati. Plesiomonas shigelloides dapat merupakan bakteri patogen oportunis (KAIN et al., 1989). Derajat patogenisitas P. shigelloides masih diragukan, meskipun bakteri ini pernah diisolasi dari feses, paru-paru, hati dan otak hewan mamalia laut seperti flippers dan walrus (MILLER et al., 2010). KESIMPULAN Dari tiga ekor ikan paus Beluga yang mati, pada sampel usus 2 ekor ikan paus Beluga dapat ditemukan adanya dominasi dari koloni bakteri Clostridium perfringens tipe C toksigenik dengan kemampuan menghasilkan toksin di atas 100 MLDs/ml. Selain itu, ditemukan pada cairan tubuh dari hati dan paru-paru ditemukan adanya toksin yang dapat Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 dinetralisisr dengan anti toksin Cl. perfringens tipe C. Bakteri Plesiomonas shigelloides dan E. coli juga Streptococcus grup C/G juga dapat diisolasi, tetapi bersifat non patogen. Enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe C dapat terjadi antara lain karena adanya faktor predisposisi seperti adanya stres, mengingat lingkungan tempat asalnya merupakan laut dengan suhu rendah di daerah kutub utara. Untuk pencegahan penyakit, perlu dilakukan pengurangan faktor stres dan perlu dipelajari kemungkinan diterapkannya program vaksinasi pada ikan yang dipelihara dalam kolam. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tujukan ke pada pihak Gelanggang Samudera Jaya Ancol dan Bpk Sarwito dari Dinas Peternakan Jakarta Selatan yang telah membantu dalam mengirimkan sampel dan memberikan seluruh data yang diperlukan. Ucapan terima kasih juga kami tujukan ke pada M. Syafarudin dan Andi Mulyadi, A. Md. yang telah membantu dalam pemeriksaan di laboratorium Bakteriologi, Bbalitvet. DAFTAR PUSTAKA ASCHFALK, A. and W. Muller. 2002. Clostridium perfringens toxin in hooded seals in the Greenland sea, determined by PCR and ELISA. J. Vet. Med. 48(10): 765 – 769. BERKHOFF, H.A. and A.C. VINAL. 1985. Congo red medium to distinguish between invasive and non invasive Escherichia coli pathogenic for poultry. Avian Dis. 30: 117 – 121. BUCK, J.D., L.L. SHEPARD and S. SPOTTE. 1987. Clostridium perfringens as a cause of death of a captive Atlantice bottlenose dolphin (Tursiops truncatus). J. Wild Dis. 23: 488 – 491. BUCK, J.D., L.L. SHEPARD, P.M. BUBUCIS, S. SPOTTE, K. MCCLAVE and R.A. COOK. 1989. Microbiological characteristics of white whale (Delphinapterus leucas) from capture through extended captivity. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 46: 1914 – 1921. BUCK J.D., N.A OVERSTROM., G.W. PATTON, H.F ANDERSON and J.F. GORZELANY. 1991, Bacteria Associated with Stranded Cetaceans From the Northeast USA and Southwest Florida Gulf Coasts. Dis. of Aquatic Org. 10: 147 – 152. COLLINS, C.H. and P.M. LYNE. 1976. Microbiological methods 4th Ed. Butterworths & Co. Publishers Ltd. pp. 226 – 234. HIGGINS, R. 2000. Bacteria and Fungi of Marine Mammals: A review. Can Vet. J. 41: 105 – 116. HUNTINGTON, H.P. 1999 Traditional Knowledge of the Ecology of Beluga Whales (Delphinapterus leucas) in the Eastern Chukchi and Northern Bering Seas, Alaska. Arctic 52(1): 49 – 61. INNES S, M.P. HEIDE-JØRGENSEN, J.L. LAAKE, K.L. LAIDRE, H.J.CLEATOR, P. RICHARD and R.E.A. STEWART. 2002. Surveys of Belugas and Narwhals in the Canadian High Arctic in 1996. NAMMCO Sci. Pub. 4: 169 – 190. INTERNATIONAL WHALING COMMISSION (IWC). 1997. Report of the IWC Workshop on Climate Change and Cetaceans. Rep. Int. Whal. Comm. 47: 293 – 318. INTERNATIONAL WHALING COMMISSION (IWC). 2000. International Whaling commission. Report of the Scientific Committee from its Annual Meeting 3 – 15 May 1999 in Grenada. J. Ceta. Res. Manage 2 (Suppl.). INTERNATIONAL UNION FOR CONSERVATION OF NATURE (IUCN). 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>. JEFFERSON, T.A., L. KARCZMARSKI, K. LAIDRE, G. O'CORRY-CROWE, R.R. REEVES, L. ROJASBRACHO, E.R. SECCHI, E. SLOOTEN, B.D. SMITH, J.Y. WANG and K. ZHOU. 2008. Delphinapterus leucas. In: IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.2. www.iucnredlist.org. JEFFERSON, T.A., S. LEATHERWOOD and M.A. WEBBER. 1993. FAO Species identification guide. Marine mammals of the world. UNEP/FAO, Rome, 320 pp. KAIN, K. and M.T. KELLY. 1989. Clinical features, epidemiology and treatment of Plesiomonas shigelloides diarrhea. J. Clin Microbiol. 27: 998 – 1001. KALENDER, H., A. KILIC and E. ATIL. 2007. Enterotoxaemia in a cow due to Clostridium perfringens type A. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 31: 83 – 84. 899 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 LEVETT, P.N. 1991. Anaerobic Microbiology. A Practical Approach. pp. 168 – 181. LISLE, J.T., J.J. SMITH, D.D. EDWARDS and G.A. MCFETERS. 2004. Occurence of microbial indicators indicators and Clostridium perfringens in wastewater, water column samples, sediments, drinking water and Weddell seal feces collected at McMurdo station, Antartica. Appl. Environ. Microbiol. 70: 7269 – 7296. MACLEOD, C. 2009. Global climate change, range changes and potential implications for the conservation of marine cetaceans: a review and synthesis. ESR 7: 125 – 136. MARTINEAU, D., S. DE GUISE, M. FOURNIER, L. SHUGART C. GIRARD, A. LAGACE and P. BÉLAND. 1994. Pathology and toxicology of Beluga whales from the St. Lawrence Estuary, Quebec, Canada. Past, present and future. Sci. Total. Env. 154: 201 – 115. MCKINNEY, M.A., S. DE GUISE, D. MARTINEAU, P. BELAND, M..LEBEUF and R.J. LETCHER. 2006. Organohalogen contaminants and metabolites in Beluga whale (Delphinapterus leucas) liver from two Canadian populations. Environ. Toxicol. Chem. 25: 1246 – 1257. MILLER, M.A., B.A. BYRNE, S.S. JANG, E.M. DODD, E. DORFMEIER, M.D. HARRIS, J. AMES, D. PARADIES, K. WORCESTER, D.A. JESSUP and W.A. MILLER. 2010. Enteric bacterial pathogen detection in southern sea otters (Enhydra lutris nereis) is associated with coastal urbanization and freshwater runoff. Vet. Res. 41: 01. MILLER, W.A., B.A. MILLER, I.A. GARDNER, E.R. ATWILL, B.A. BYRNE and S. JANG. 2006. Salmonella spp., Vibrio spp., Clostridium perfringens and Plesiomonas shigelloides in freshwater and marine invertebrates from coastal California ecosystems. Microb. Ecol. 52: 198 – 206. MYMRIN, N.I. and H.P. HUNTINGTON. (1999) Traditional Knowledge of the Ecology of Beluga Whales (Delphinapterus leucas) in the Northern Bering Sea, Chukotka, Russia. Arctic 52 (1): 62 – 70. NATALIA, L., M. SYAFARUDIN dan S. HARDJOUTOMO. 1989. Enterotoksemia pada sapi impor di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 21(38): 107 – 110NATALIA, L. and A. PRIADI. 2005. Penggunaan probiotik untuk pengendalian Clostridial Necrotic Enteritis pada ayam pedaging. JITV 10(1) :71 – 78. PANIGRAPHY, B. and Y. LING. 1990. Differentiation of pathogenic and nonpathogenic Eschericia coli isolated from poultry. Avian Dis. 34: 941 – 943. SAPUTRA, Y.A. 2010. Respiratory Disease pada Beluga whale (Delphinapterus leucas) vet02ugm. SHELDEN, K.E.W., D.J. RUGH, B.A. MAHONEY and M.E. DAHLHEIM. (2003) Killer whale predation on Belugas in Cook Inlet, Alaska: Implications for a depleted population. Mar. Mamm. Sci. 19: 529 – 544. SONGER, J.G. 1996. Clostridial enteric diseases of domestic animals. Clin. Microbiol. Rev. 69: 216 – 234. TYNAN C.T. and D.P. DEMASTER. 1997. Observations and predictions of Arctic climatic change: Potential effects on marine mammals. Arctic 50: 308 – 322. WORRALL, E.E., L. NATALIA, P. RONOHARDJO, S. PARTOUTOMO dan TARMUJI. 1987. Enterotoxaemia in Water Buffaloes Caused by Clostridium perfringens type A. Vet. Record. 121: 278 – 279. DISKUSI Pertanyaan: 1. Apakah kemungkinan kematian ikan disebabkan keracunan klorin karena efeknya sama, perdarahan pada semua organ? 2. Apakah dilakukan pengecekan asal dari serangan bakteri – bakteri tersebut apakah dari air, makanan atau yang lainnya? 3. Rekomendasi apa yang dapat diberikan untuk pencegahan agar tidak terulang kasus tersebut? 900 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Jawaban: 1. Air laut yang dipakai adalah yang difilter sehingga tidak diberi kaporit. Dan hasilnya dari cairan tubuh didapatkan toksin d alpha dan beta dari Cl. perfringens tipe C yang dalam uji letalitas pada mencit menunjukkan letalitas tinggi. Jadi toksin dan adalah penyebab kematian (Enteratoxemia). 2. Clostridium perfringens secara normal ada di lingkungan kita (air, tanah, debu, hewan, manusia dsb.). 3. Untuk terjadinya infeksi dibutuhkan adanya faktor stress yang akan mengganggu keseimbangan bakteri dalam saluran pencernaan, faktor stress dapat berupa pakan yang tidak sesuai, suhu tempat hidup yang tidak sesuai, transportasi dsb. Pencegahan : - Usahakan tempat hidup hewan seperti tempat asalnya (suhu dingin) - Lakukan vaksinasi/imunisasi dengan toxoid seperti yang dilakukan pada hewan di darat. 901