ENTEROTOKSEMIA YANG DISEBABKAN Clostridium perfringens

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
ENTEROTOKSEMIA YANG DISEBABKAN Clostridium
perfringens TIPE C PADA IKAN PAUS PUTIH
(Delphinapterus Leucas)
Enterotoxemia Caused by Clostridium perfringens Type C in White Whale
(Delphinapterus leucas)
LILY NATALIA dan A. PRIADI
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT
The Beluga or white whale, Delphinapterus leucas, is an Arctic and sub-Arctic species of cetacean. This
marine mammal is commonly referred to Beluga or Sea Canary due to its high-pitched twitter. From a
conservation perspective, the Beluga is considered "near threatened" by the International Union for
Conservation of Nature (2009). Three Belugas owned by Gelanggang Samudra, Ancol died in February –
March 2011. The first Beluga died suddenly and the second and the third Beluga looked unhealthy and died
within a week. Necropsy was carried out immediately and tissue samples were submitted to laboratory.
Grossy, severe and extensive haemorrhagic organs (liver, intestine, heart, spleen and lungs) gave the red
appearance of the whole body which is entirely due to hemolyzed red blood cells. Clostridium perfringens
was found dominantly in gut sample. Mouse neutralization test to the bacterial culture supernatant
demonstrated alpha and beta toxins and classified as Cl. perfringens type C (alpha and beta toxin producer),
and the toxin produced was > 100 MLDs/ml. Moreover, mouse neutralization test using alpha and beta
antitoxins against body fluids of the Beluga indicated the presence of toxins that could be neutralized by Cl.
perfringens type C antitoxin. The results indicated that Beluga whale died from enterotoxemia caused by Cl.
perfringens type C. Escherichia coli and Plesiomonas shigelloides were also isolated from the gut sample
while Streptococcus group C/G. were found in liver. But these bacteria were classified as nonpathogenic
bacteria on Congo red agar. Our findings offer insight for guiding policy and management decision regarding
Beluga risk of enteric infection by opportunistic bacterial pathogens in Indonesia.
Key Words: Beluga Whale, Enterotoxaemia, Clostridium Perfringens Type C
ABSTRAK
Paus Beluga atau Paus Putih (Delphinapterus leucas) adalah jenis cetacean yang terdapat di wilayah
perairan laut kutub utara dan sekitarnya. Hewan mamalia laut ini disebut Beluga atau Kenari Laut karena ciri
khas dari lengkingan suaranya yang tinggi. Hewan ini terancam punah, dilindungi oleh International Union
for Conservation of Nature (2009). Sebanyak tiga ekor Ikan Paus Beluga yang dimiliki Gelanggang Samudra,
Ancol ditemukan mati dalam bulan Februari – Maret 2011. Seekor mati mendadak dan disusul dengan seekor
lagi yang mulai terlihat sakit seminggu sebelum kematiannya. Ikan paus Beluga yang ketiga juga mati tidak
lama setelah kematian yang ke dua. Nekropsi dilakukan segera dan beberapa sampel organ dikirim ke
laboratorium. Pada nekropsi, terlihat perdarahan hebat terjadi hampir di semua organ (hati, usus, jantung,
limpa dan paru-paru), sehingga terkesan semua berwarna merah yang disebabkan oleh sel darah merah yang
mengalami hemolisis. Dari hasil pemeriksan bakteriologis pada sampel usus ditemukan bakteri dominan,
yaitu Clostridium perfringens. Penentuan tipe toksin Cl. perfringens menggunakan mouse neutralization test
menunjukkan bahwa bakteri ini menghasilkan toksin alpha dan beta. Hasil ini membuktikan bahwa bakteri
tersebut adalah Cl. perfringens tipe C (penghasil toksin alpha dan beta) yang dapat menghasilkan toksin >
100 MLDs/ml. Mouse neutralization test terhadap sampel cairan tubuh (hati dan paru-paru) Paus Putih juga
menunjukkan adanya toksin yang dapat dinetralisasi dengan antitoksin Cl. perfringens tipe C. Hal ini
menunjukkan ikan paus mengalami enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe C. Bakteri
Escherechia coli dan Plesiomonas shigelloides juga ditemukan pada usus dan pada hati ditemukan
Streptococcus grup C/G. Tetapi bakteri-bakteri ini tidak menunjukkan patogenitas pada pemeriksaan dengan
894
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Congo red agar. Kejadian ini dapat sebagai masukan dalam manajemen pemeliharaan Beluga di Indonesia
terhadap resiko infeksi usus oleh bakteri patogen oportunis seperti Cl. perfringens.
Kata Kunci: Paus Beluga, Enterotoksemia, Clostridium perfringens type C
PENDAHULUAN
Informasi tentang infeksi bakterial pada
hewan mamalia laut sangat bervariasi. Setiap
tahun spesies bakteri tertentu ditemukan
menginfeksi mamalia laut dan beberapa bakteri
tersebut mempunyai potensi untuk dapat
menginfeksi manusia atau hewan lainnya
dengan cara langsung ataupun tidak langsung
(HIGGINS, 2000). Beluga adalah salah satu dari
2 jenis paus keluarga Monodontidae, bersama
dengan Narwhal. Mamalia laut ini dikenal
secara umum sebagai Beluga atau Kenari Laut
karena ciri khas dari lengkingan suaranya yang
tinggi. Panjang Beluga dapat mencapai 5 meter
dengan warna tubuh yang putih, sementara
kepalanya berbentuk melon. Sekilas, ikan ini
mirip dengan lumba-lumba. Namun, ternyata
ikan berukuran besar ini adalah paus, atau
lengkapnya paus Beluga. Beluga sendiri
berasal dari kata belukha dari bahasa Rusia
yang artinya putih. Panjang Beluga dapat
mencapai 5 meter dan beratnya bisa mencapai
1,5 ton dengan warna tubuh yang putih
(JEFFERSON et al., 2009)
Ikan ini selalu hidup berkelompok di
perairan kutub utara, kecuali paus Beluga
jantan yang selalu menyendiri. Pada saat lahir,
ikan ini berwarna abu-abu, tapi ketika umurnya
terus bertambah warnanya menjadi semakin
putih. Ikan besar ini umurnya 30 – 35 tahun
atau lebih. Sayang ikan ini sudah hampir punah
karena populasinya semakin sedikit dan terus
menurun. Berbagai penyebab menurunnya
populasi ikan ini antara lain adalah perubahan
iklim (TYNAN dan DEMASTER, 1997;
MACLEOD, C., 2009), infeksi berbagai mikroba
patogen (HIGGINS, 2009, MILLER et al., 2009),
bahan beracun dalam habitatnya (MARTINEAU
et al., 1994, MCKINNEY et al., 2006 ) dan
perburuan oleh penduduk asli setempat(IWC,
1997, 2000, HUNTINGTON et al., 1999, INNES
et al., 2002). Telah ditetapkan bahwa paus
Beluga terancam punah dan layak mendapat
perlindungan ketat berdasarkan Endangered
Spesies Act (IWC, 2009; MARTINEAU et al.,
2003).
Beberapa bakteri dan jamur mungkin
merupakan flora normal yang ada dalam
lingkungan tempat hidupnya. Beberapa bakteri
ini dapat bersifat oportunistik dan dapat
menyebabkan penyakit jika kondisi hewan
sesuai untuk pertumbuhan bakteri tersebut.
Pada umumnya, gejala klinis tidak dapat
diamati dan tidak dapat diperoleh (HIGGINS,
2000).
Tulisan ini memberi informasi mengenai
infeksi yang terjadi pada paus Beluga yang
dipelihara di Indonesia dan juga tinjauan dari
pengendalian dan pencegahan penyakitnya.
MATERI DAN METODE
Anamnese
Ikan paus putih atau Beluga dipelihara di
kolam Gelanggang Samudra Jaya Ancol
dengan air yang berasal dari perairan Jakarta
yang telah dilakukan filtrasi, suhu air 24 –
26°C, kadar total chlorine 0,4 – 1,0 ppm. Ikan
ini mendapat pakan ikan segar dan sudah
terlatih untuk dapat melakukan atraksi kepada
pengunjung. Sebanyak 3 ekor ikan Beluga
ditemukan mati selama bulan Februari sampai
Maret 2011.
Pada tanggal 23 Januari 2010 seekor ikan
paus Beluga betina sakit dan dari sampel
blowhole Beluga ditemukan bakteri Vibrio
algnolitycus,
yang
merupakan
marine
bacterium Gram negatif yang sering ditemukan
menyebabkan kematian dan sakit pada lumbalumba (BUCK et al., 1991). Pemberian
antibiotik berupa injeksi enrofloxacin dan
dilanjutkan cefadroxil, injeksi biosollamin
injeksi metoclopramide HCL (primperan) dan
pemberian
oral
metoclopramide
HCL
(primperan) dan anti histamine dapat
mengembalikan kesehatan ikan tersebut
(SAPUTRA, 2010). Tetapi pada bulan Februari
2011, ikan Beluga ini mati mendadak. Ikan ini
telah berumur 6 tahun dengan berat sekitar 800
kg. Kematian ikan ini disusul dengan kematian
2 ekor ikan paus Beluga lainnya.
895
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Nekropsi
Nekropsi dilakukan dengan melihat semua
perubahan atau kelainan yang terjadi. Sampel
usus, tulang, trachea, paru-paru, hati, jantung
dan usus dikirim ke laboratorium untuk
pemeriksaan bakteriologis.
Isolasi dan identifikasi patogen
Terhadap semua sampel organ yang diambil
saat nekropsi, dilakukan preparasi, untuk
kemudian
ditumbuhkan
pada
media
pertumbuhan
bakteri.
Sampel
yang
ditumbuhkan pada lempeng agar darah dan
brain heart infusion (BHI) broth ditumbuhkan
secara aerobik dan diinkubasi pada suhu 37°C
selama 18 jam. Selain itu sampel juga
diinokulasikan dalam Robertson’s cooked meat
medium (RCMM) dan media agar darah, lalu
ditumbuhkan secara anaerobik dan diinkubasi
pada suhu 37°C selama 18 – 24 jam
Seleksi terhadap bakteri patogen dilakukan
dengan menumbuhkan isolat pada Congo red
agar (PANIGRAPHY dan LING, 1990; BERKHOFF
dan VINAL, 1985). Isolat bakteri patogen akan
berwarna merah dan non patogen akan tidak
berwarna. Terhadap isolat yang berwarna
merah dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk
mengidentifikasi bakteri patogen pada sampel.
Isolat bakteri aerob yang tumbuh
diidentifikasi dengan pewarnaan Gram, melihat
reaksinya pada triple sugar iron agar (TSIA),
uji indol, oksidase, produksi urease serta
menggunakan API 20 NE dan BD BBL Crystal
Microbial ID System.
Isolasi dan identifikasi bakteri yang tumbuh
secara anaerob dan mengarah ke pada
Clostridium
spp.,
dilakukan
dengan
menggunakan Fluorescent Antibody Technique
(COLLINS dan LYNE, 1976).
Sesudah diketahui spesies Clostridium
dilakukan penentuan tipe dengan menggunakan
mouse protection test dengan menggunakan
berbagai antisera (antitoksin Cl. Perfringens
tipe A, B, dan C) dan juga tripsinasi guna
mendeteksi toksin epsilon (LEVETT, 1991).
Uji Toksisitas Toksin Clostridium
Terhadap kultur Clostridium perfringens,
dilakukan uji mouse neutralization test
896
(LEVETT, 1991) untuk menentukan jenis toksin
yang dihasilkannya. Hal serupa dilakukan juga
terhadap cairan tubuh (cairan hati dan paruparu) yang diduga mengandung toksin.
Untuk mengetahui potensi toksin dari
kultur Cl. perfringens, dilakukan uji letalitas
pada mencit. Cairan sampel yang mengandung
toksin diencerkan secara desimal dan tiap
enceran disuntikkan secara intravena pada
mencit. Sebagai kontrol negatif digunakan
cairan NaCl fisologis steril. Mencit diobservasi
terhadap adanya kematian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada nekropsi, terlihat adanya perdarahan
dihampir semua bagian tubuh bagian dalam
ikan Beluga. Hemolisis juga terlihat nyata
dengan darah yang sulit membeku. Pada organ
usus terlihat adanya bagian yang nekrotik dan
hemoragik. Terlihat adanya perdarahan pada
hampir semua organ yaitu hati, usus, jantung,
limpa dan paru-paru (Gambar 1 dan 2).
Terkesan semua tubuh hewan ini berwarna
merah. Dari dalam saluran pencernaan
ditemukan benda asing, antara lain seperti baud
dan cincin.
Dari sampel usus yang ditumbuhkan pada
lempeng agar darah dan diinkubasi secara
anaerobik, terlihat adanya pertumbuhan bakteri
yang didominasi oleh koloni bakteri dengan
double zone hemolysis. Selain itu juga terdapat
koloni lainnya yang bersifat non hemolitik.
Pada media RCMM, ditemukan adanya
produksi gas yang kuat. Terhadap setiap
macam koloni dilakukan isolasi dan pemurnian
dengan mengambil koloni bakteri tunggal dari
tiap jenis koloni bakteri yang berbeda. Dari
pewarnaan Gram, terlihat bahwa bakteri ini
bersifat Gram positif dan berbentuk batang.
Dari hasil uji FAT, terlihat adanya bakteri yang
bersinar pada preparat ulas bakteri yang diberi
konjugat anti Cl. perfringens yang dilabel
dengan FITC (Gambar 3). Dari hasil ini
dipastikan bahwa bakteri yang diisolasi adalah
Clostridium perfringens.
Penentuan tipe Cl. perfringens dengan uji
mouse neutralization test menunjukkan bahwa
bakteri tersebut merupakan Cl. perfringens tipe
C yang merupakan penghasil toksin alfa yang
bersifat necrotizing dan hemolitik serta toksin
beta yang bersifat lethal dan necrotizing.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Gambar 1. Perdarahan pada berbagai organ ikan
paus Beluga yang mati yang diduga
sebagai akibat aktivitas toksin alpha Cl.
perfringens yang bersifat hemolitik
Gambar 3. Cl. perfringens yang diisolasi dari usus
ikan paus Beluga, dilihat dengan
Fluorescent Antibody Technique (FAT),
pembesaran 1000×
Kerja dari toksin alfa yang jelas terlihat adalah
terjadinya hemolisis dan sel darah merah dan
juga ditemukannya peradangan usus yang
bersifat nekrotik.
Uji mouse neutralization test untuk
menentukan toksin Cl. perfringens (LEVETT,
1991) pada cairan tubuh ikan paus juga
menunjukkan adanya toksin alpha dan beta dari
Clostridium perfringens tipe C. Dalam uji
tersebut, mencit menunjukkan kematian dalam
waktu singkat (beberapa menit) bila disuntik
cairan hati dan paru-paru ikan paus.
Penambahan antitoksin Cl. perfringens tipe C
dapat mencegah kematian mencit. Hal ini
memastikan adanya toksin alfa dan beta dari
Cl.
perfringens
yang
menyebabkan
enteroksemia dan menimbulkan kematian ikan
paus. Kesan banyaknya perdarahan pada
Gambar 2. Enteritis hemoragis dan nekrotika, serta
perdarahan pada hati ikan paus Beluga
hampir semua organ ikan paus dapat
merupakan akibat aktivitas toksin alfa yang
bersifat sangat hemolitik. Kelainan patologik
seperti ini sudah sering ditemukan pada kasus
enterotoksemia pada hewan sapi dan kerbau
yang disebabkan oleh Cl. perfringens tipe A
(penghasil toksin alfa) maupun tipe C
(penghasil toksin alfa dan beta) di Indonesia
(WORRALL et al., 1987; NATALIA et al., 1989;
KALENDER et al., 2007).
Dari sampel usus yang diinokulasikan pada
lempeng agar darah, BHI broth, dan
diinkubasikan secara aerobik, ditemukan juga
bakteri berbentuk batang, dan bersifat Gram
negatif. Dari sampel hati, yang diinokulasikan
pada lempeng agar darah, BHI broth,
ditemukan satu macam bakteri saja, yaitu
berbentuk coccus, bersifat Gram positif.
Semua isolat bakteri yang diperoleh dari
sampel hati, usus, jantung, limpa, paru-paru
dan tulang ekor ditumbuhkan pada Congo red
agar untuk melakukan skrining terhadap
bakteri patogen. Koloni bakteri yang berwarna
merah diidentifikasi lebih lanjut sesuai dengan
sifat dan jenis bakterinya. Ternyata tidak
ditemukan
bakteri patogen lain
dan
kemungkinan besar kematian ikan paus ini
disebabkan oleh enterotoksemia akibat Cl.
perfringens tipe C.
Dari sampel sumsum tulang, ditemukan
adanya Streptococcus sp. yang bersifat non
patogen. Sedangkan dari trakhea, paru-paru
dan jantung juga tidak ditemukan bakteri
patogen.
Sesudah melihat reaksinya pada triple
sugar iron agar (TSIA), uji indol, oksidase,
897
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
produksi urease dan juga diinokulasikan pada
BBL Crystal untuk enterobacteria diperoleh
hasil bahwa dari sampel usus ditemukan
Plesiomonas shigeloides dengan tingkat
kepercayaan 99,9%.
Isolat tunggal dari sampel hati yang
diidentifikasi menggunakan API Strep dan BD
BBL Crystal untuk Gram positif menunjukkan
bahwa bakteri yang diisolasi tersebut adalah
adalah Streptococcus Grup C/G dengan tingkat
kepercayaan 98,11%.
Clostridium perfringens sebagai penyebab
kematian dari hewan mamalia laut telah
dilaporkan. (BUCK et al., 1987; HIGGINS,
2000). Pada ikan paus Beluga, telah ditemukan
Cl. perfringens pada saluran pencernaan oleh
BUCK et al. (1989). Bakteri ini juga
menimbulkan kematian pada bottlenose
dolphine dan pada anjing laut (MILLER et al.,
2010) dan invertebrata laut (MILLER, 2006).
Myositis dan enterotoksemia yang disebabkan
oleh Cl. perfringens pada mamalia laut telah
ditemukan dan dijelaskan bahwa patogenesis
dan wabah penyakit ini hampir sama dengan
yang ditemukan pada hewan yang hidup di
darat (ASCHFALK dan MULLER, 2002). Dalam
penelitian ASCHFALK dan MULLER (2002),
ditemukan adanya wabah enterotoksemia pada
hooded seals disebabkan oleh toksin alfa dari
Cl. perfringens penyebab enterotoksemia.
Enterotoksemia oleh Cl. perfringens pada
umumnya dimulai dengan adanya faktor
predisposisi yang terjadi pada hewan, seperti
adanya faktor-faktor yang menyebabkan
perlukaan pada usus hewan yang akhirnya
menimbulkan area nekrosis, tempat yang baik
untuk
berkembangkiaknya
bakteri
Cl.
perfringens yang bersifat anaerob. Selain itu,
faktor stres akibat transportasi hewan,
lingkungan tempat hidup yang tidak sesuai,
perubahan pakan secara mendadak telah
terbukti pula dapat menimbulkan kejadian
enterotoksemia.
Ikan paus Beluga, biasanya hidup di wilayah
perairan laut kutub utara dan sekitarnya dalam
air dengan suhu yang cukup rendah.
Pemeliharaan ikan paus Beluga di daerah tropis
tentunya akan menimbulkan perubahan
lingkungan dan keadaan stres pada hewan.
Keadaan stres semacam ini mampu
menimbulkan enterotoksemia yang disebabkan
oleh Cl. perfringens (WORRALL, et al., 1987;
SONGER, 1996; KALENDER et al., 2007).
898
Clostridium perfringens adalah bakteri
patogen oportunis yang sering ditemukan pada
mamalia laut (MILLER et al., 2010; LISLE et al.,
2004; MILLER et al., 2006). Prevalensi
kematian yang ditimbulkannya pada sea otters
cukup tinggi dibandingkan dengan bakteri
enterik patogen lainnya (MILLER et al., 2010).
Pada hewan ternak, pencegahan penyakit
dilakukan
dengan
vaksinasi
dengan
menyuntikkan toksoid dari Cl. perfringens.
Pengobatan dengan antibiotik tidak efektif
karena tidak dapat menetralisasi toksin yang
beredar dalam tubuh ikan. Pemberian antiserum
untuk pemberian kekebalan pasif pada hewan
dapat dilakukan dan menyembuhkan penyakit
tetapi hal ini kurang efektif karena tidak
memberikan kekebalan aktif dan tidak efisien.
Jika prevalensi kematian akibat enterotoksemia
yang disebabkan Cl. perfringens cukup tinggi
dan pengobatan hampir tidak efektif untuk
dilakukan, maka perlu dipelajari kemungkinan
melakukan
program
vaksinasi
untuk
pencegahan penyakit. Vaksin yang digunakan
adalah toksoid dari Cl. perfringens yang dapat
memberikan kekebalan yang cukup baik.
Streptococcus spp. juga telah dilaporkan
menyebabkan penyakit pada ikan paus Beluga
(BUCK et al., 1989, HIGGINS, 2000). Bakteri ini
dapat menimbulkan infeksi pada paru-paru,
dapat diidentifikasi dari parenkhim paru-paru,
pharynx, dan cairan pericardial. Dalam
penelitian ini, Streptococcus grup C/G non
patogen diisolasi dari hati 2 ekor ikan paus
Beluga yang mati.
Plesiomonas shigelloides dapat merupakan
bakteri patogen oportunis (KAIN et al., 1989).
Derajat patogenisitas P. shigelloides masih
diragukan, meskipun bakteri ini pernah
diisolasi dari feses, paru-paru, hati dan otak
hewan mamalia laut seperti flippers dan walrus
(MILLER et al., 2010).
KESIMPULAN
Dari tiga ekor ikan paus Beluga yang mati,
pada sampel usus 2 ekor ikan paus Beluga
dapat ditemukan adanya dominasi dari koloni
bakteri Clostridium perfringens tipe C
toksigenik dengan kemampuan menghasilkan
toksin di atas 100 MLDs/ml. Selain itu,
ditemukan pada cairan tubuh dari hati dan
paru-paru ditemukan adanya toksin yang dapat
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
dinetralisisr dengan anti toksin Cl. perfringens
tipe C. Bakteri Plesiomonas shigelloides dan E.
coli juga Streptococcus grup C/G juga dapat
diisolasi, tetapi bersifat non patogen.
Enterotoksemia yang disebabkan oleh Cl.
perfringens tipe C dapat terjadi antara lain
karena adanya faktor predisposisi seperti
adanya stres, mengingat lingkungan tempat
asalnya merupakan laut dengan suhu rendah di
daerah kutub utara. Untuk pencegahan penyakit,
perlu dilakukan pengurangan faktor stres dan
perlu dipelajari kemungkinan diterapkannya
program vaksinasi pada ikan yang dipelihara
dalam kolam.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan ke pada
pihak Gelanggang Samudera Jaya Ancol dan
Bpk Sarwito dari Dinas Peternakan Jakarta
Selatan yang telah membantu dalam
mengirimkan sampel dan memberikan seluruh
data yang diperlukan. Ucapan terima kasih
juga kami tujukan ke pada M. Syafarudin dan
Andi Mulyadi, A. Md. yang telah membantu
dalam
pemeriksaan
di
laboratorium
Bakteriologi, Bbalitvet.
DAFTAR PUSTAKA
ASCHFALK, A. and W. Muller. 2002. Clostridium
perfringens toxin in hooded seals in the
Greenland sea, determined by PCR and
ELISA. J. Vet. Med. 48(10): 765 – 769.
BERKHOFF, H.A. and A.C. VINAL. 1985. Congo red
medium to distinguish between invasive and
non invasive Escherichia coli pathogenic for
poultry. Avian Dis. 30: 117 – 121.
BUCK, J.D., L.L. SHEPARD and S. SPOTTE. 1987.
Clostridium perfringens as a cause of death of
a captive Atlantice bottlenose dolphin
(Tursiops truncatus). J. Wild Dis. 23:
488 – 491.
BUCK, J.D., L.L. SHEPARD, P.M. BUBUCIS, S. SPOTTE,
K. MCCLAVE and R.A. COOK. 1989.
Microbiological characteristics of white whale
(Delphinapterus leucas) from capture through
extended captivity. Can. J. Fish. Aquat. Sci.
46: 1914 – 1921.
BUCK J.D., N.A OVERSTROM., G.W. PATTON, H.F
ANDERSON and J.F. GORZELANY. 1991,
Bacteria Associated with Stranded Cetaceans
From the Northeast USA and Southwest
Florida Gulf Coasts. Dis. of Aquatic Org. 10:
147 – 152.
COLLINS, C.H.
and P.M. LYNE.
1976.
Microbiological methods 4th Ed. Butterworths
& Co. Publishers Ltd. pp. 226 – 234.
HIGGINS, R. 2000. Bacteria and Fungi of Marine
Mammals: A review. Can Vet. J. 41:
105 – 116.
HUNTINGTON, H.P. 1999 Traditional Knowledge of
the
Ecology
of
Beluga
Whales
(Delphinapterus leucas) in the Eastern
Chukchi and Northern Bering Seas, Alaska.
Arctic 52(1): 49 – 61.
INNES S, M.P. HEIDE-JØRGENSEN, J.L. LAAKE, K.L.
LAIDRE, H.J.CLEATOR, P. RICHARD and R.E.A.
STEWART. 2002. Surveys of Belugas and
Narwhals in the Canadian High Arctic in
1996. NAMMCO Sci. Pub. 4: 169 – 190.
INTERNATIONAL WHALING COMMISSION (IWC).
1997. Report of the IWC Workshop on
Climate Change and Cetaceans. Rep. Int.
Whal. Comm. 47: 293 – 318.
INTERNATIONAL WHALING COMMISSION (IWC).
2000. International Whaling commission.
Report of the Scientific Committee from its
Annual Meeting 3 – 15 May 1999 in Grenada.
J. Ceta. Res. Manage 2 (Suppl.).
INTERNATIONAL UNION FOR CONSERVATION OF
NATURE (IUCN). 2009. IUCN Red List of
Threatened
Species.
Version
2009.2.
<www.iucnredlist.org>.
JEFFERSON, T.A., L. KARCZMARSKI, K. LAIDRE, G.
O'CORRY-CROWE, R.R. REEVES, L. ROJASBRACHO, E.R. SECCHI, E. SLOOTEN, B.D.
SMITH, J.Y. WANG and K. ZHOU. 2008.
Delphinapterus leucas. In: IUCN 2009. IUCN
Red List of Threatened Species. Version
2009.2. www.iucnredlist.org.
JEFFERSON, T.A., S. LEATHERWOOD and M.A.
WEBBER. 1993. FAO Species identification
guide. Marine mammals of the world.
UNEP/FAO, Rome, 320 pp.
KAIN, K. and M.T. KELLY. 1989. Clinical features,
epidemiology and treatment of Plesiomonas
shigelloides diarrhea. J. Clin Microbiol. 27:
998 – 1001.
KALENDER, H., A. KILIC and E. ATIL. 2007.
Enterotoxaemia in a cow due to Clostridium
perfringens type A. Turk. J. Vet. Anim. Sci.
31: 83 – 84.
899
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
LEVETT, P.N. 1991. Anaerobic Microbiology. A
Practical Approach. pp. 168 – 181.
LISLE, J.T., J.J. SMITH, D.D. EDWARDS and G.A.
MCFETERS. 2004. Occurence of microbial
indicators
indicators
and
Clostridium
perfringens in wastewater, water column
samples, sediments, drinking water and
Weddell seal feces collected at McMurdo
station, Antartica. Appl. Environ. Microbiol.
70: 7269 – 7296.
MACLEOD, C. 2009. Global climate change, range
changes and potential implications for the
conservation of marine cetaceans: a review
and synthesis. ESR 7: 125 – 136.
MARTINEAU, D., S. DE GUISE, M. FOURNIER, L.
SHUGART C. GIRARD, A. LAGACE and P.
BÉLAND. 1994. Pathology and toxicology of
Beluga whales from the St. Lawrence Estuary,
Quebec, Canada. Past, present and future. Sci.
Total. Env. 154: 201 – 115.
MCKINNEY, M.A., S. DE GUISE, D. MARTINEAU, P.
BELAND, M..LEBEUF and R.J. LETCHER. 2006.
Organohalogen contaminants and metabolites
in Beluga whale (Delphinapterus leucas) liver
from two Canadian populations. Environ.
Toxicol. Chem. 25: 1246 – 1257.
MILLER, M.A., B.A. BYRNE, S.S. JANG, E.M. DODD,
E. DORFMEIER, M.D. HARRIS, J. AMES, D.
PARADIES, K. WORCESTER, D.A. JESSUP and
W.A. MILLER. 2010. Enteric bacterial
pathogen detection in southern sea otters
(Enhydra lutris nereis) is associated with
coastal urbanization and freshwater runoff.
Vet. Res. 41: 01.
MILLER, W.A., B.A. MILLER, I.A. GARDNER, E.R.
ATWILL, B.A. BYRNE and S. JANG. 2006.
Salmonella spp., Vibrio spp., Clostridium
perfringens and Plesiomonas shigelloides in
freshwater and marine invertebrates from
coastal California ecosystems. Microb. Ecol.
52: 198 – 206.
MYMRIN, N.I. and H.P. HUNTINGTON. (1999)
Traditional Knowledge of the Ecology of
Beluga Whales (Delphinapterus leucas) in the
Northern Bering Sea, Chukotka, Russia.
Arctic 52 (1): 62 – 70.
NATALIA, L., M. SYAFARUDIN dan S. HARDJOUTOMO.
1989. Enterotoksemia pada sapi impor di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Penyakit
Hewan 21(38): 107 – 110NATALIA, L. and A.
PRIADI. 2005. Penggunaan probiotik untuk
pengendalian Clostridial Necrotic Enteritis
pada ayam pedaging. JITV 10(1) :71 – 78.
PANIGRAPHY, B. and Y. LING. 1990. Differentiation
of pathogenic and nonpathogenic Eschericia
coli isolated from poultry. Avian Dis. 34:
941 – 943.
SAPUTRA, Y.A. 2010. Respiratory Disease pada
Beluga whale (Delphinapterus leucas)
vet02ugm.
SHELDEN, K.E.W., D.J. RUGH, B.A. MAHONEY and
M.E. DAHLHEIM. (2003) Killer whale
predation on Belugas in Cook Inlet, Alaska:
Implications for a depleted population. Mar.
Mamm. Sci. 19: 529 – 544.
SONGER, J.G. 1996. Clostridial enteric diseases of
domestic animals. Clin. Microbiol. Rev. 69:
216 – 234.
TYNAN C.T. and D.P. DEMASTER. 1997.
Observations and predictions of Arctic
climatic change: Potential effects on marine
mammals. Arctic 50: 308 – 322.
WORRALL, E.E., L. NATALIA, P. RONOHARDJO, S.
PARTOUTOMO
dan
TARMUJI.
1987.
Enterotoxaemia in Water Buffaloes Caused by
Clostridium perfringens type A. Vet. Record.
121: 278 – 279.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Apakah kemungkinan kematian ikan disebabkan keracunan klorin karena efeknya sama,
perdarahan pada semua organ?
2. Apakah dilakukan pengecekan asal dari serangan bakteri – bakteri tersebut apakah dari air,
makanan atau yang lainnya?
3. Rekomendasi apa yang dapat diberikan untuk pencegahan agar tidak terulang kasus tersebut?
900
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Jawaban:
1. Air laut yang dipakai adalah yang difilter sehingga tidak diberi kaporit. Dan hasilnya dari
cairan tubuh didapatkan toksin d alpha dan beta dari Cl. perfringens tipe C yang dalam uji
letalitas pada mencit menunjukkan letalitas tinggi. Jadi toksin  dan  adalah penyebab
kematian (Enteratoxemia).
2. Clostridium perfringens secara normal ada di lingkungan kita (air, tanah, debu, hewan,
manusia dsb.).
3. Untuk terjadinya infeksi dibutuhkan adanya faktor stress yang akan mengganggu keseimbangan
bakteri dalam saluran pencernaan, faktor stress dapat berupa pakan yang tidak sesuai, suhu
tempat hidup yang tidak sesuai, transportasi dsb.
Pencegahan :
- Usahakan tempat hidup hewan seperti tempat asalnya (suhu dingin)
- Lakukan vaksinasi/imunisasi dengan toxoid seperti yang dilakukan pada hewan di darat.
901
Download