5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Diare a. Definisi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Diare
a. Definisi Diare
Diare didefinisikan sebagai meningkatnya frekuensi buang air besar
(BAB) disertai perubahan konsistensi tinja dibandingkan BAB normal
(Spruill dan Wade, 2008). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan
tinja, berbentuk cairan atau setengah cairan (setengah padat), dengan
demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari biasanya. Dalam
keadaan biasa kandungan air berjumlah sebanyak 100-200 ml per jam tinja
(Daldiyono, 1997). Umumnya frekuensi > 3 kali/ hari, atau dengan perkiraan
volume tinja > 200 gr/hari (Soebagyo, 2008).
b. Klasifikasi Diare
Penyakit diare secara umum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1) Diare akut
Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari.
Sedangkan
menurut
World Gastroenterologi Organisation global
guiedelines (2005), diare akut didefenisikan sebagai pasase tinja yang
cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang
dari 14 hari (Simadibrata, 2006).
5
6
2) Diare kronis
Diare kronik adalah diare yang berlanjut sampai 2 minggu atau lebih
dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah
selama masa diare. Patogenesis diare kronik lebih rumit karena
terdapat beberapa faktor yang satu sama lain saling mempengaruhi
(Suraatmaja, 2007).
Berdasarkan ada tidaknya infeksi, diare dibagi menjadi 2 yaitu diare
spesifik dan diare non
spesifik.
Diare spesifik
adalah diare
yang
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau parasit. Diare non spesifik
adalah diare yang disebabkan oleh makanan (Akhmadi, 2009).
c. Etiologi Diare
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6
besar yaitu karena infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, immuno defisiensi,
dan penyebab lain, tetapi yang sering ditemukan di lapangan ataupun klinis
adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan (Depkes RI, 2002).
Etiologi Penyakit Diare yaitu Infeksi beberapa jenis bakteri dapat
termakan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi dan
menyebabkan diare, contohnya Campylobacter, Salmonella, Shigella
dan
Escherichia coli. Infeksi virus yang menyebabkan diare yaitu rotavirus,
Norwalk virus, cytomegalovirus, virus herpes simplex dan virus hepatitis.
Intoleransi makanan, seperti pada orang yang tidak dapat mencerna
komponen makanan berupa laktosa ( gula dalam susu). Parasit yang masuk ke
dalam tubuh melalui makanan atau minuman dan menetap dalam sistem
7
pencernaan, contohnya Giardia lamblia, Entamoeba histolytica dan
Cryptosporidium. Reaksi obat contoh antibiotik, obat- obat tekanan darah dan
antasida yang mengandung magnesium. Penyakit Intestinal, penyakit
inflamasi usus atau penyakit abdominal. Gangguan fungsi usus, seperti
sindroma iritasi usus dimana usus tidak dapat bekerja secara normal
(Amiruddin, 2007).
d. Patofisiologi Diare
Mekanisme
terjadinya
diare dapat
dibagi
menjadi
kelompok
osmotik, sekretorik, eksudatif, dan gangguan motilitas. Diare osmotik
terjadi
bila
ada
bahan
yang
tidak dapat
diserap
meningkatkan
osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi
diare. Diare sekretorik bisa terjadi karena gangguan pengangkutan (transport)
elektrolit baik absorpsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat.
Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya
toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek,
atau laksatif non osmotik. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan
kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan
eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu transit usus menjadi lebih cepat, sehingga menyebabkan diare (Zein
dkk, 2004).
8
e. Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu
tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau
darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena
tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena
seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat
makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat
diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum
atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut
meradang
atau akibat
gangguan
elektrolit.
Bila
penderita
elektrolit,
maka
gejala
keseimbangan
telah banyak
dehidrasi
makin
asam-basa
kehilangan
dan
cairan
tampak. Berat
dan
badan
menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan
tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan
hipertonik (Mansjoer, 2009).
Untuk mengetahui derajat dehiodrasi dapat dilihat pada tabel I.
9
Tabel I. Derajat Dehidrasi (Sandhu, 2001)
Gejala dan
Tanda
Keadaan
Umum
Mata
Mulut
/Lidah
Rasa Haus
Kulit
%
turun
BB
Estimasi
defiensi
cairan
Tanpa
dehidrasi
Baik,
sadar
Normal
Basah
Minum
normal,tidak
haus
Dicubit
kembali
cepat
<5
50%
Gejala dan
Tanda
Keadaan
Umum
Mata
Mulut
/Lidah
Rasa Haus
Kuli
%
turun
BB
Estimasi
defiensi
cairan
Dehidrasi
ringansedang
Gelisah
Cekung
Kering
Tampak
kehausan
Kembali
lambat
5-10
50-100%
Dehidrasi
berat
Kesadaran
Menurun
Sangat
cekung
dan
kering
Sangat
kering
Sulit tidak
bisa minum
Kembali
sangat
lambat
>10
>100
f. Gejala Diare
Gejala diare adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4 kali atau lebih
dalam sehari, yang kadang disertai dengan muntah-muntah, badan lesu atau
lemah, panas, tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual
dan muntah- muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi
virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah,
demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pula
mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala- gejala lain seperti flu
misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan
bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah
atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
10
g. Tata Laksana Terapi Diare
Secara garis besar pengobatan diare dikategorikan ke dalam
beberapa jenis, yaitu: pengobatan cairan, pengobatan kausal, pengobatan
simtomatik, dan pengobatan dietetik (Noerasid dkk, 1988).
1) Pengobatan Cairan
Menurut World Gastroenterologi Organisation Global Guidelines
(2013), aspek paling penting adalah menjaga hidrasi yang kuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi
oral, yang harus dilakukan pada semua pasien, kecuali jika tidak dapat minum
atau diare hebat membahayakan jiwa yang memerlukan hidrasi intavena.
Ideal-nya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5
gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per
liter air. Jika terapi intravena diperlukan, dapat diberikan cairan normotonik,
seperti ringer laktat, suplemen kalium diberikan sesuai panduan kimia darah.
Status hidrasi harus dipantau dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda
vital, pernapasan, dan urin, serta penyesuaian infus jika diperlukan.
Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin (Zulkifli,
2015).
2) Pengobatan kausal
Pengobatan kausal yang tepat dapat diberi setelah diketahui
penyebabnya
yang pasti.
Jika
kasus
diare
ini
merupakan penyakit
parenteral dapat diberikan antibiotik sistemik. Antibiotik hanya boleh
11
diberikan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bakteri patogen,
karena pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini kadang – kadang sulit
atau hasil pemeriksaannya datang terlambat. Antibiotik dapat diberikan
dengan memperhatikan antara lain: umur penderita, perjalanan penyakit,
sifat tinja dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, maka penyakit diare
hanya boleh diberikan antibiotik apabila:
a)
Ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopik dan atau
biakannya.
b) Pada pemeriksaan makroskopik dan atau mikroskopik ditemukan
darah pada tinja.
c) Secara klinis terdapat tanda-tanda yang menyokong adanya infeksi interal.
d) Di daerah endemik kolera (Noerasid dkk, 1988).
3) Pengobatan simptomatik
Pengobatan simptomatik meliputi :
a) Obat – obat antidiare
Obat – obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat
seperti
belladon)
anti spasmodik/spasmolitik
justru
atau
opium
(papaverin,
ekstrak
akan memperburuk kadaan karena akan menyebabkan
terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya
perlipatgandaan bakteri, gangguan digesti dan absorpsi. Obat – obat ini
hanya berkhasiat untuk menghentikan peristaltik saja, tetapi justru akibatnya
sangat berbahaya karena diarenya terlihat sudah tidak ada tetapi perut
12
bertambah kembung dan dehidrasi menjadi bertambah parah yang
akhirnya dapat berakibat fatal bagi penderita (Noerasid dkk, 1988).
b) Adsorbent
Obat – obat adsorbent seperti kaolin, pektin, charchoal (norit,
tabonal), bismuth subbikarbonat dan sebagainya, telah dibuktikan tidak ada
manfaatnya (Noerasid dkk, 1988).
c) Antiemetik
Obat antiemetik seperti klorpromazin terbukti selain mencegah
muntah juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama
tinja. Pemberian
dalam dosis adekuat (sampai dengan 1 mg/kgbb/hari)
kiranya cukup bermanfaat (Noerasid dkk, 1988).
d) Antipiretik
Obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosal, aspirin) dalam
dosis rendah (25 mg/kgbb/kali) ternyata selain berguna untuk menurunkan
panas yang terjadi sebagai akibat dehidrasi atau panas karena infeksi
ternyata
juga
mengurangi
sekresi
cairan yang keluar bersama tinja
(Noerasid dkk, 1988).
4) Pengobatan Dietetik
Makanan diberikan kepada penderita diare sesegera mungkin,
termasuk susu. Susu buatan khusus (susu rendah laktosa, susu formula, atau
lainnya) hanya diberikan atas indikasi yang jelas. Pada anak yang lebih besar
makanan yang direkomendasikan meliputi tajin, kentang, pisang, gandum dan
sereal. Makanan yang harus dihindarkan adalah makanan dengan kandungan
13
tinggi gula sederhana yang dapat memperburuk diare seperti minuman kaleng
dan sari buah apel. Juga makanan tinggi lemak yang sulit ditoleransi karena
menyebabkan lambatnya pengosongan lambung (Dongoes, 2000).
2. Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama
fungi yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.
Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh
(Setiabudy, 2012).
Antibiotik merupakan obat yang sangat penting dan dipakai
untuk memberantas berbagai penyakit infeksi, misalnya radang paru-paru,
typhus, luka-luka yang berat dan sebagainya. Pemakaian antibiotik ini harus
di bawah pengawasan seorang dokter, karena obat ini dapat menimbulkan
kerja ikutan yang tidak dikehendaki dan dapat mendatangkan kerugian
yang cukup besar bila pemakaiannya tidak dikontrol dengan betul
(Widjajanti, 1989).
Berdasarkan luas aktivitasnya, artinya aktif terhadap banyak atau
sedikit jenis kuman, antibiotik dapat dibedakan menjadi :
a. Antibiotik narrow-spectrum (aktivitas sempit)
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja,
misalnya penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin
dan asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman gram-positif, sedangkan
streptomisin, gentamisin, polimiksin-B dan asam nalidiksat khusus aktif
terhadap kuman gram-negatif.
14
b. Antibiotik broad-spectrum (aktivitas luas)
Bekerja terhadap lebih banyak baik jenis gram-positif maupun gramnegatif. Antara lain : sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol,
tetrasiklin dan rifampisin (Tjay dan Rahardja, 2007).
Beberapa bahaya yang dapat diakibatkan pada pemakaian antibiotik
antara lain:
a. Gejala resistensi, pada pengobatan yang tidak cukup yaitu terlalu
singkat waktunya atau terlampau lama dengan dosis terlalu rendah
atau digunakan pada pengobatan yang tidak perlu misalnya pada luka
yang kecil dan sebagainya dapat mengakibatkan
bakteri
akan
memberikan
perlawanan
resistensi,
terhadap kerja
artinya
antibiotik,
sehingga khasiat antibiotik ini akan menjadi berkurang atau tidak
berkhasiat sama sekali.
b. Gejala kepekaan yang disebut alergi, misalnya gatal-gatal. Sebagai
contoh, penisilin bila diberikan kepada seseorang yang tidak tahan
(peka) dapat menimbulkan bintik-bintik merah, gatal-gatal bahkan dapat
sampai pingsan.
c. Supra infeksi, ini terutama terjadi pada pemakaian antibiotik broad
spectrum, karena kegiatannya demikian luasnya sehingga flora bakteri
usus juga dimatikan dan keseimbangan bakteri normal juga terganggu
(Widjajanti, 1989).
Tanda-tanda keberhasilan terapi antibiotik dapat dilihat pada hal-hal
berikut:
15
a. Klinis, meliputi :
1) Suhu badan turun
2) Nyeri, warna merah, pembengkakan berkurang
3) Sputum menjadi jernih
4) Air kemih kurang keruh/kurang bau
b. Laboratoris, meliputi :
1) Jumlah leukosit menurun
2) Tidak tampak dan tidak ada pertumbuhan kuman (Juwono dan
Prayitno, 2003).
Penyebab ketidakberhasilan terapi antibiotik adalah:
a. Mikroorganisme penyebab infeksi resisten terhadap antibiotik yang
digunakan.
b. Diagnosa salah.
c. Pilihan antibiotik benar, tetapi dosis/dan rute pemberiannya salah.
d. Antibiotik tidak bisa mencapai tempat infeksi.
e. Pasien tidak mematuhi pengobatan (Juwono dan Prayitno, 2003).
Pemberian antibiotik pada penyakit diare diindikasikan pada:
pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses
berdarah, leukosit pada feses, dimaksudkan untuk mengurangi ekskresi
dan kontaminasi lingkungan dan untuk penyelamatan jiwa pada diare
infeksi (Zein dkk., 2004).
Untuk mengetahui pilihan antibiotik yang dapat digunakan pada
diare Shigellosis dan Amoebiasis dapat dilihat pada tabel II.
16
Tabel II. Pilihan dan dosis antibiotik pada diare spesifik
Shigellosis
WHO*
Kotrimoksazol
WHO*
Dosis :
Tablet = SMX 800-1600mg, TMP 160320 mg tiap 12-24 jam selama 3 hari
Suspensi = SMX 400 mg dan TMP 80
mg tiap 12-24 jam selama 3 hari
Amoebiasis
World Gasteroenterology Organisation Metronidazole
Practice Guidelines**
Dosage Guidelines for Commonly Used Dosis : 500 mg tiap 8 jam
Antibiotics in Adults***
Keterangan : *
**
= WHO (2005)
= World Gasteroenterology Organisation Practice
Guidelines
( 2008)
**** = Dosage Guidelines for Commonly Used Antibiotics in Adults (2009)
3. Rasionalitas Penggunaan Obat
Pemberian obat yang rasional adalah pemberian obat yang
mencakup tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan waspada
efek samping obat. Pemilihan obat yang tepat yaitu: efektif, aman, dan
dapat diterima dari segi mutu dan biaya serta diresepkan pada waktu
yang tepat, dosis yang benar, cara pemakaian yang tepat dan jangka waktu
yang benar (Priyanto, 2009).
Menurut BPOM (2008), penggunaan obat yang tidak tepat, tidak
efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis atau lebih dikenal dengan
istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam
pelayanan
kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Kriteria penggunaan obat rasional adalah sebagai berikut:
17
a) Tepat diagnosis
Obat
diberikan
sesuai
dengan
diagnosis.
Apabila
diagnosis
tidak
ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah.
b) Tepat indikasi penyakit
Obat yang diberikan harus tepat bagi suatu indikasi penyakit.
c) Tepat obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih haruslah memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d) Tepat dosis
Tepat dosis meliputi jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat.
Apabila salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi, maka dapat
menyebabkan efek terapi tidak tercapai (Depkes, 2008).
4. Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat Puskesmas
adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertangung
jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja
(Kemenkes RI, 2014b).
Definisi Puskesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Puskesmas adalah fasilitas pelayanan
18
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Kemenkes RI, 2014a).
B. Kerangka Pemikiran
Pada tahun 2013 terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) diare di 6 provinsi. Penderita
terbanyak terdapati di Jawa Tengah yakni
mencapai 294 kasus. Angka kematian
(CFR) akibat KLB diare tertinggi terjadi
di Sumatera Utara yaitu sebesar 11,76%
Penyakit diare merupakan salah satu dari
10 besar penyakit terbanyak di Puskesmas
Karangpandan. Banyaknya penggunaan
antibiotik pada diare di Puskesmas
Karangpandan. Antibiotik seharusnya
hanya diberikan pada diare spesifik, yaitu
diare yang terjadi karena adanya infeksi
virus, bakteri dan parasit.
Penelitian
mengenai
studi
penggunaan
antibiotik
berdasarkan ketepatan obat dan
ketepatan dosis pada pasien diare
spesifik
di
Puskesmas
Karangpandan
Kabupaten
Karanganyar.
Belum adanya penelitian terkait studi
penggunaan antibiotik pada pasien diare
spesifik di Puskesmas Karangpandan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
19
C. Keterangan Empirik
Menurut penelitian Hanifah (2014) menunjukkan bahwa dari 10 kasus
pasien diare anak di instalasi rawat inap RSUD Dr.Moewardi yang
menggunakan antibiotik dinyatakan semua tepat indikasi, 9 dari 10 kasus
dinyatakan tepat obat, dan 7 kasus tepat dosis dan 3 kasus tidak tepat dosis.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik
dan rasionalitas penggunaan antibiotik berdasarkan ketepatan obat dan
ketepatan dosis pada pasien diare spesifik dengan mencari data pasien dari
resep yang meliputi penggunaan antibiotik serta ketepatan obat dan dosis
pada penggunaan antibiotik
Karangpandan tahun 2015.
untuk pasien diare spesifik di Puskesmas
Download