Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak MENYOAL LANDASAN HUKUM RATIFIKASI KONVENSI HAK ANAK I. Pendahuluan a. Internasionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Rezim global hak asasi manusia (HAM) sesungguhnya berakar pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights), tahun 1948 dan kemudian dielaborasi tahun 1966 melalui Kovenan HAM Internasional (International Human Rights Covenants).1 Dokumendokumen ini merefleksikan apa yang disebut sebagai model Deklarasi Universal Internasional (the Universal Declaration model of international).2 Terdapat 4 (empat) elemen yang sudah semestinya mendapatkan penekanan dalam model Deklarasi Universal Internasional yakni : fokus pada HAM (its focus on rights); pembatasan terhadap hak-hak individual (the restriction to individual rights); keseimbangan antara hak-hak-hak sipil dan politik dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (the balance between civil and political rights and economic, social and cultural rights); dan pertanggungjawaban negara untuk mengimplementasikan HAM yang telah mendapatkan pengakuan internasional (national responsibility for implementing internationally recognized human rights).3 Paragraf ketiga preambular DUHAM secara implisit menyiratkan pentingnya elemen keempat dari model Deklarasi Universal Internasional di atas. Paragraf tersebut menyatakan : “... it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law.” Makna penting paragraf ini berada pada terma “Negara melalui sistem hukum domestik harus melindungi dan menjamin penikmatan penuh HAM setiap warga negara secara efektif.” 4 Oleh karenanya DUHAM diproklamasikan sebagai "a common standard of achievement for all peoples and all nations”.5 Dengan kata lain pengakuan HAM secara internasional membebankan kewajiban kepada Negara untuk melegalisasi hubungan antara warga negara dan negara.6 Pemuatan HAM dalam substansi hukum, termasuk peraturan perundang-undangan nasional suatu negara, menjadi signifikan untuk mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawa untuk dibebani kewajiban. HAM belum dikatakan sebagai hak secara penuh (full-fledged rights) apabila keberadaanya tidak didasari oleh hukum. Untuk mendasari keberadaan HAM, James W. Nickel 1 Kovenan HAM Internasional yang dimaksud adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) 2 Jack Donnelly, The Universal Declaration Model of Human Rights: A Liberal Defense, Human Rights Working Papers, Number 12, Posted 12 February 2001. Ketiga Instrumen hukum HAM internasional di atas ditambah dengan First Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights dikenal dengan International Bill of Rights . Lihat David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick, Frank Newman, International Human Rights : Law, Policy, and Process, (Third Edition) Anderson Publishing Co, Cincinnati, Ohio, 2001 3 Jack Donnelly, The Universal Declaration Model of Human Rights, ibid 4 OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION, Human Rights in the Administration of Justice: A Manual on Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers, UNITED NATIONS, New York and Geneva, 2003 5 Jack Donnelly, Ethics and International Human Rights, Human Rights Working Papers, Number 1, Posted 15 Desember 1999 6 Jack Donnelly, The Universal Declaration Model of Human Rights, op.cit Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 1 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak mengemukakan teori pemberian pemberian hak yang diimplementasikan melalui hukum (legally implemented entitlements theory).7 Senada dengan DUHAM, The Vienna Declaration 1993, paragraf pertama menetapkan bahwa operasionalisasi dan implementasiperlindungan dan pemajuan HAM menjadi kewajiban utama pemerintah.8 Kewajiban pemerintah tersebut dalam kerangka pendekatan berbasis hak (rights-based approach) terbagi dalam : 1. Kewajiban untuk menghormati (to respect), yakni mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam penikmatan atas hak-hak asasi manusia.9 2. Kewajiban untuk melindungi (to protect), yakni mengharuskan negara mencegah pelanggaran atas hak-hak asasi manusia oleh pihak ketiga.10 3. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfil), yakni mengharuskan negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang memadai guna memenuhi sepenuhnya atas hak-hak asasi manusia.11 Dalam melaksanakan kewajiban ketiga ini persinggungan antara hukum internasional dengan hukum nasional suatu Negara tidak terelakan. Upaya implementasi hukum internasional melalui hukum nasional menjadi conditio sina quanon berlakunya hukum internasional pada yurisdiksi nasional suatu Negara secara efektif. Pernyataan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri (consent to be bound) merupakan langkah awal proses transformasi untuk memberlakukan normanorma hukum HAM internasional yang telah terkodifikasi dalam perjanjian internasional ke dalam hukum positif suatu Negara. Persinggungan awal ini merupakan prasyarat untuk memberlakukan instrumen hukum internasional ke dalam hukum domestik suatu Negara. b. Pemberlakuan Hukum HAM Internasional dalam Hukum Domestik Istilah HAM semestinya dipandang sebagai penyatuan (incorporating) hak-hak asasi tradisional yang telah dijamin dalam International Bill of Rights dan perjanjian internasional sesudahnya, norma-norma khusus di level universal dan regional, dan juga hak-hak asasi manusia sebagaimana telah diatur dalam hukum perang internasional (international humanitarian law) dan hukum pengungsi (refugee law) menjadi standar norma bersama bagi upaya perlindungan dan pemajuan HAM bagi seluruh umat manusia.12 Di titik ini terjadi internasionalisasi isu HAM secara progresif. Isu HAM mengalami proses internasionalisasi melalui pengembangan sejumlah instrumen HAM yang memuat aneka prinsip dan norma-norma HAM yang sangat mendasar. Rujukan hukum 7 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Teoritis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1996 8 Jack Donnelly, Ethics and International Human Rights, loc.cit 9 Respecting rights means that state laws, policies, programmes and practices must not violate rights. State must avoid interfering with people’s pursuit of their rights, whether through torture or arbitrary arrest, illegal forced housing evictions or the introduction of medical fees that make healthcare unaffordable for poor people. Lihat dalam Joachim Theis,; Promoting Rights-Based Approaches: Experiences and Ideas from Asia and the Pacific; Save The Children Sweden, 2004 10 Protecting rights means that states must prevent violations by others and must provide affordable, accessible redress, for example: ensuring that employers comply with basic labour standards, preventing monopoly ownership of media or preventing parents from keeping their children out of school. Lihat dalam Joachim Theis, ibid 11 Fulfilling rights means that states must take positive actions to realize rights, for example: creating legislation that enshrines equal pay for equal work or increasing budgets for poorest region. Lihat dalam Joachim Theis, ibid 12 David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick, Frank Newman, International Human Rights : Law, Policy, and Process, (Third Edition) Anderson Publishing Co, Cincinnati, Ohio, 2001 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 2 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak tersebut terdapat pada deklarasi, prinsip-prinsip, pedoman, aturan standar dan rekomendasi yang tidak mengikat secara hukum (non binding legal effect) namun mengikat secara politik. Rujukan ini merupakan hasil kesepakatan internasional atau persetujuan dan praktik-praktik negara. Di samping itu, pengakuan eksistensi HAM didasari oleh perjanjian internasional yang dapat ditemui pada kovenan, protokol atau konvensi.13 Dalam praktik, sumber hukum internasional14 yang paling penting dan berguna dari hukum HAM internasional adalah perjanjian internasional yang secara jelas dan langsung menciptakan kewajiban internasional. Perjanjian internasional bersifat mengikat hanya apabila perjanjian ini berlaku dan hanya terkait dengan negara yang secara tegas menjadi peserta.15 Pernyataan suatu Negara untuk terikat pada perjanjian internasional dapat melalui ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan (approval), aksesi (accession) dan penandatanganan (signature).16 Sampai saat ini terdapat 9 (sembilan) instrumen hukum HAM internasional utama (the core international human rights treaties)17 yang mengatur HAM dengan kategori tertentu guna mengelaborasi lebih lanjut DUHAM 1948. Instrumen-instrumen ini sebagai perangkat standar internasional untuk perlindungan dan pemajuan HAM bagi setiap negara yang terikat padanya. Kesembilan instrument tersebut terdiri dari : 1. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966, dan 2 optional protocol: a. Optional Protocol on individual complaints, 1966 b. Second Optional Protocol on aiming at the abolition of the death penalty, 1989. 2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966; 3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965; 4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979; dan optional protocol on individual complaints and inquiries, 1999; 5. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984, dan optional protocol on establishes nationaland international monitoring mechanism, 2002; 6. Convention on the Rights of the Child,1989 dan 2 optional protocol: a. Optional Protocol on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict, 2000; b. Optional Protocol on the sale of children, child prostitution, and child pornography, 2000. 13 Judith Asher, The Right to Health : A Resource Manual for NGO, Commonwealth Medical Truth, AAAS Science and Human Rights Program, dan HURIDOCS, 2004 14 Menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of Justice) sumber hukum internasional terdiri dari : (i) perjanjian internasional; (ii) kebiasaan hukum internasional; (iii) prinsip-prinsip umum hukum; dan (iv) putusan pengadilan dan ajaran hukum yang berkualifikasi. 15 Richard B. Bilder, Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dalam Materi Kursus HAM untuk Pengacara, Angkatan VII, Elsam, 2002. Rezim Hukum HAM Internasional ditegakkan melalui perjanjian internasional karena perjanjian internasional mendasari sumber utama hukum HAM internasional. Lihat David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick, Frank Newman, op.cit, 16 OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS, Working With the United Nations Human Rights Programme, New York & Geneva, 2008, hal. 7 Rezim Hukum HAM Internasional ditegakkan melalui perjanjian internasional karena perjanjian internasional mendasari sumber utama hukum HAM internasional. Lihat David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick, Frank Newman, op.cit, 17 Keutamaan instrumen ini terletak pada : (1) menciptakan kewajiban hukum bagi negara peratifikasi untuk memajukan dan melindungi HAM pada level nasional; (2) terdapatnya mekanisme internasional untuk menilai kepatuhan negara peratifikasi dalam mengimplementasikan kewajiban hukumnya; (3) mekanisme tersebut dikawal oleh sebuah komite yang bertugas memonitor implementasi negara peratifikasi. Lihat Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, The United Nations Human Rights Treaty System : An introduction to the core human rights treaties and the treaty bodies, Fact Sheet No. 30 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 3 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 7. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, 1990. 8. Convention on the Rights of Persons with Disabilities, 2009, dan Optional Protocol on individual complaints, 2006. 9. International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Dissapearance, 2006. 18 Setelah negara meratifikasi, apakah substansi yang terkandung dalam suatu instrumen hukum HAM internasional relevan dengan situasi HAM di Negara tersebut, dibutuhkan parameterparameter berikut : 1. Apakah perjanjian itu mengandung bahasa yang tegas yang mewajibkan para pihak untuk menghormati HAM tertentu yang sedang menjadi persoalan; 2. Apakah perjanjian itu telah berlaku, mengingat perjanjian internasional menyaratkan suatu jumlah minimum tertentu negara peratifikasi; 3. Apakah negara yang bersangkutan dalam kenyataan telah meratifikasi19 perjanjian tersebut karena penandatangan tidak mengikat secara hukum; dan 4. Apakah negara yang bersangkutan mengemukakan keberatan yang secara tegas yang memodifikasi kewajibannya terhadap perjanjian yang terkait.20 Pada titik ini, Negara berdasarkan kedaulatannya berpotensi mereduksi secara substantif jaminan hukum internasional (de jure) penikmatan HAM melalui tindakan reservasi (reservation).21 Pemberlakuan hukum internasional menjadi hukum nasional secara teori terbagi menjadi : 1. Menurut teori monist, hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian apabila suatu negara telah meratifikasi suatu perjanjian internasional maka secara otomatis menjadi bagian hukum nasional. 2. Menurut teori dualist, hukum internasional dan hukum nasional merupakan sistem hukum yang berbeda sehingga memerlukan adopsi secara khusus (specifically adopted) atau transformasi menjadi hukum domestik.22 Proses transformasi atau adopsi khusus menjadi hukum nasional guna bergantung pada mekanisme ketatanegaraan yang berlaku di negara yang bersangkutan guna memenuhi formalitas hukum nasional. Transformasi tersebut dapat melalui pemuatan dalam peraturan perundangundangan maupun putusan pengadilan. 18 Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, ibid, Ratifikasi ini membawa implikasi yuridis berdasar prinsip pacta sunt servanda, yakni Negara Republik Indonesia harus melaksanakan kewajiban perjanjian berdasarkan itikad baik (in good faith) berdasar prinsip pacta sunt servanda. Artinya Negara ini tidak boleh menghindari tanggung jawab di bawah hukum internasional dengan menggunakan hukum internal sebagai justifikasi kegagalan dalam melaksanakan kewajiban internasionalnya. Pada prinsip Hukum HAM internasional meletakkan tanggung jawab Negara secara mutlak apabila Negara melanggar kewajiban perjanjian tersebut. Lihat OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION, op.cit. 20 Richard B. Bilder, loc. Cit. 21 Reservasi adalah suatu siatem dimana suatu Negara yang merupakan pihak pada suatu perjanjian dapat menyatakan pensyaratan terhadap pasal-pasal tertentu. Apabila pensyaratan tersebut diterima maka Negara yang bersangkutan dapat menolak pelaksanaan pasal-pasal tersebut. Pensyaratan ini dapat diajukan pada saat penandatanganan, ratifikasi, akseptasi, dan aksesi. Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2000 22 OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION, op.cit. 19 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 4 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Mengenai perlunya transformasi formal hukum internasional ke dalam hukum nasional bergantung pada 2 (dua) hal pokok, yakni:23 1. Sifat dan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang bersangkutan. Terdapat beberapa perjanjian internasional tertentu merupakan perjanjian internasional yang selfoperating atau self-executing dan tidak mensyaratkan implementasi legislatif 2. Praktik konstitusional atau administrasi pada setiap negara itu sendiri dan implementasi pada level lokal di suatu negara. Terdapat juga perjanjian internasional yang memerlukan transformasi struktural dari kaidah yang ditetapkan dalam perjanjian internasional tersebut Upaya ini dalam perspektif John Rawls dalam A Theory of Justice merupakan rangkaian sebagai berikut : pertama, tahap awal di mana orang mencoba untuk merumuskan serta mempertahankan prinsip-prinsip transhistoris tentang moralitas dan keadilan. Tahap ini merupakan tahap yang paling abstrak dan paling filosofis. Kedua, tahap konstitusional di mana orang merumuskan hak-hak spesifik serta kewajiban-kewajiban yang menerapkan prinsip-prinsip abstrak ke negara-negara tertentu sesuai dengan masalah, sumberdaya, dan institusinya. Ketiga, proses ini berlanjut ke tahap legislatif dan akhirnya norma-norma konstitusional dan legislatif diaplikasikan pada tahap yudisial.24 c. Pemberlakuan Instrumen Hukum HAM Nasional menurut Hukum Indonesia Dalam konteks Negara Indonesia, sebelum berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, proses tranformasi di atas berbeda-beda.25 Sebelum berlaku kedua undang-undang ini, secara konstitusional landasan hukum pembuatan perjanjian internasional hanya mengacu Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan persetujuan dengan Negara lain. Oleh karena itu, dalam praktik ketetanegaraan, Presiden mengalami kesulitan untuk membedakan perjanjian internasional mana yang perlu mendapatkan persetujuan DPR dan mana yang menjadi kewenangan ekslusif Presiden. Pasal ini kemudian dielaborasi melalui Surat Presiden RI 23 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2001 James W. Nickel, op.cit. Berkaitan dengan HAM, Indonesia telah mengadopsi norma-norma hukum internasional ke dalam konstitusi (Pasal 28A-28J amandeman ke-2 UUD 1945) dan beberapa undang-undang yang mengelaborasi hak-hak konstitusional yang telah dijamin dalam UUD 1945 antara lain UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM; UU nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekekerasan dalam Rumah Tangga. Di samping itu, telah terbentuk 3 (tiga) institusi nasional HAM dengan mandat dan konstituen yang berbeda, yakni Komisi Nasional HAM; Komnas Perempuan; dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Meskipun terdapat titik-titik konvergensi kepentingan (overlaping consensus) yakni pemajuan dan perlindungan HAM 25 Pada kedua undang-undang ini terdapat ketentuan yang menyangkut pengesahan perjanjian internasional dan substansi apa yang diatur dalam suatu perjanjian internasional sehingga harus diatur dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang antara lain berkenaan dengan hak asasi manusia dan lingkungan hidup dan pembentukan kaidah hukum baru. Kemudian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 8 menyatakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD tahun 1945 antara lain mengenai hak asasi manusia ; hak dan kewajiban warga negar; kewarganegaraan dan kependudukan serta diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang 24 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 5 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak No. 2826/HK/6026, pada 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada DPR. Surat ini dibuat oleh Presiden untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan perjanjian dengan Negara lain. Melalui surat tersebut ratifikasi dapat dilakukan dengan cara berbeda bergantung pada jenis perjanjian tersebut. Untuk Perjanjian ditentukan bahwa perjanjian internasional baru disahkan oleh Presiden setelah disetujui dari DPR. Karena perjanjian bentuk ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR maka perjanjian ini diberi landasan hukum dengan Undang-Undang. Syarat ini tidak berlaku bagi perjanjian internasional dengan bentuk persetujuan karena cukup disahkan sendiri oleh Presiden dengan Keputusan Presiden (Keppres).27 Surat ini dapat dianggap sebagai konvensi di bidang ketatanegaraan dan merupakan upaya untuk menginterpretasi ketentuan Pasal 11 UUD 1945. Meskipun telah ada Surat Presiden sebagai pedoman untuk meratifikasi perjanjian internasional, dalam implementasinya terdapat penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseragaman dalam memberikan landasan hukum ratifikasi.28 Penyimpangan dan ketidakseragaman pemberian landasan hukum ini juga terlihat manakala Negara Indonesia meratifkasi instrument hukum HAM internasional. Padahal substansi yang diatur dalam instrumen hukum tersebut sama yakni mengatur pemajuan dan perlindungan HAM. Dari kesembilan instrument hukum HAM internasional utama di atas, Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi 6 (enam) instrumen hukum HAM dengan pemberian landasan hukum yang berbeda seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Nama Instrumen Hukum HAM Internasional International Covenant on Civil and Political Rights, 1966 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 Convention on the Rights of the Child (KHA),1989 Landasan Hukum Ratifikasi UU No. 12 Tahun 2005 UU No. 11 Tahun 2005 UU No. 29 Tahun 1999 UU No. 7 Tahun 1984 UU No. 5 Tahun 1998 Keppres No. 36 Tahun 1990 Berdasarkan tabel di atas dari keenam instrumen hukum HAM internasional utama yang telah diratifikasi Negara Indonesia, hanya ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 (KHA) atau Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi dengan menggunakan Keputusan Presiden, instrumen yang lain menggunakan undang-undang. 26 Menurut surat Presiden tersebut hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja dalam bentuk perjanjian (treaty) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan Presiden yang meliputi materi : (a) soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas; (b) ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi, kerjasama teknik atau kerjasama pinjaman uang.; (c) soal-soal yang menurut UUD atau menurut perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang seperti soal-soal kehakiman. Sedangkan perjanjian-perjanjian dengan materi lain yang biasanya dalam bentuk persetujuan (agreement) hanya disampaikan ke DPR untuk diketahui setelah disahkan Presiden. Lihat Boer Mauna, op.cit. 27 Boer Mauna, ibid 28 Boer Mauna, ibid Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 6 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Pemberian landasan hukum ini tidak sesuai dengan Surat Presiden No. 2826/HK/60 dan konvensi ketatanegaraan dalam meratifikasi peranjian internasional. Menurut surat Presiden tersebut hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja dalam bentuk perjanjian (treaty) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan Presiden yang meliputi materi : (a) soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas; (b) ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi, kerjasama teknik atau kerjasama pinjaman uang; (c) soal-soal yang menurut UUD atau menurut perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-Undang seperti soal-soal kehakiman. Permasalahan HAM merupakan persoalan politik karena menempatkan Negara sebagai pelaku utama yang akan menerima komitmen internasional untuk melaksanakan kewajiban melalui reformasi hukum. Di samping itu, HAM juga akan mempengaruhi haluan politik luar negeri karena isu HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup menjadi isu-isu strategis hubungan internasional. Dalam kaitan tersebut sampai saat ini terdapat 2 (dua) opsional protokol KHA yang belum diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia yakni: 1. Optional Protocol on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict, 2000; 2. Optional Protocol on the sale of children, child prostitution, and child pornography, 2000. Melihat kedua substansi perjanjian internasional tersebut mengatur persoalan HAM maka seharusnya dilakukan diratifikasi dengan undang-undang. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, permasalahan pemberian landasan hukum ratifikasi bergantung pada substansi perjanjian internasional tersebut. Menurut ke dua UU ini, substansi muatan yang harus diatur dengan undang-undang antara lain mengatur permasalahan HAM.29 Namun hal ini memiliki implikasi yuridis bagi upaya melakukan reformasi hukum melalui upaya legislatif karena optional protokol sebagai instrument derivasi atau instrument turunan dari KHA diratifikasi dengan undang-undang sementara KHA sebagai instrument induk atau pokok diratifikasi dengan Keppres. Dengan kata lain, dalam upaya pembuatan undang-undang yang terkait dengan pengaturan anak sebagai subyek hak atau kepentingan lain yang terkait dengan permasalahan anak di masa mendatang Keppres No. 36 Tahun 1990 tidak dapat dijadikan landasan yuridis undang-undang. Di samping Keppres secara hirarkis dalam tata urutan peraturan perundang-undangan lebih rendah dibandingkan dengan undang-undang, menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Keppres tidak termasuk peraturan perundang-undangan, Keppres merupakan keputusan tata usaha Negara sehingga masuk ruang lingkup administrasi Negara. Keprihatinan Komite Hak Anak mengenai pemberian landasan hukum ratifikasi tanpa melibatkan institusi legislatif (parlemen) terbaca dalam Kesimpulan Pengamatan (Concluding Observation) Komite Hak Anak ketika menanggapi Laporan yang disampaikan oleh Negara Indonesia. Komentar Komite pada paragraf 13 dan 14 menyatakan bahwa:30 13. Komite juga berbagi keprihatinan yang dinyatakan oleh Indonesia bahwa ratifikasi dari Konvensi tersebut tidak didukung oleh UU dari parlemen. 29 Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak paragraph 15 menyatakan bahwa Komite juga mendorong pertimbangan lebih lanjut atas ratifikasi instrumentasi-instrumentasi HAM lainnya dan untuk melaksanakannya dengan dukungan undangundang dari parlemen. 30 CRC/C/15/Add.233, 26 Februari 2002 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 7 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 14. Komite mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan dukungan terhadap ratifikasi Konvensi melului undang-undang dari parlemen. Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh Katarina Tomaševski Pelapor Khusus Hak atas Pendidikan (Special Rapporteur on the Right to Education) dalam menjalankan misi kunjungannya di Indonesia. Paragraf 10 laporannya menyatakan bahwa:31 Sebuah perjanjian yang telah diratifikasi menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia dilakukan dengan melibatkan parlemen melalui undang-undang. Namun, KHA diratifikasi dengan Keppres (Presidential Decree) yang memiliki status terendah dalam hirarki sumber hukum di Indonesia. Undang-undang sebagai landasan ratifikasi di samping sebagai upaya memberikan dampak hukum eksistensi hak anak, juga merepresentasikan bahwa sistem demokrasi yang tengah berproses di Indonesia mendekati sistem demokrasi yang substansial. Terkait dengan permasalahan ini mengemuka pertanyaan sejauhmana implikasi hukum ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 terhadap upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi anak dalam sistem hukum Indonesia? Apakah Pemerintah dapat dikatakan telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap anak-anak? Berangkat dari pertanyaan di atas, penting untuk melakukan kajian ini, mengingat ratifikasi KHA melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 berimplikasi hukum terhadap pemajuan dan perlindungan hak asasi anak dalam politik hukum HAM di Indonesia. II. Implikasi Hukum Ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 : Perspektif Teori Stufenbau des Rechts Hans Kelsen a. Reduksi-Reduksi Upaya Implementasi KHA dalam Ranah Hukum Domestik Pada bulan Mei 2002, mendahului Sidang Umum Majelis Umum PBB pada sesi khusus pembahasan isu anak-anak, diselenggarakan suatu pertemuan di New York yang dihadiri oleh sekitar 30 institusi nasional HAM yang berdasarkan undang-undang Negara masing-masing diberikan kewenangan untuk mempromosikan, melindungi, dan memonitor pemajuan dan perlindungan hak asasi anak. Dalam menilai kemajuan yang telah dicapai pada 12 tahun dan separuh tahun sejak Majelis Umum PBB mengadopsi KHA para delegasi menyatakan bahwa : “ Kita tidak dapat mentolerir dekade lain yang menunjukkan ketidakpatuhan (non-compliance) terhadap KHA. ... Setelah dekade pembentukan standar internasional yang menentukan aktivitas dan ratifikasi instrumen hukum internasional HAM, setiap negara seharusnya memfokuskan pada upaya implementasi secara penuh setiap HAM yang dijamin dalam instrumen tersebut. Jaminan tersebut kecil maknanya atau tidaklah bermakna sesuatu apabila negara tidak dapat menegakkannya.”32 Berangkat dari pernyataan ini maka terdapat 2 (dua) permasalahan penting terkait dengan implementasi KHA yakni: 31 E/CN.4/2003/9/Add.1, 4 November 2002 Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow LAYING THE FOUNDATIONS FOR CHILDREN’S RIGHTS : An Independent Study of some Key Legal and Institutional Aspectsof the Impact of the Convention on the Rights of the Child, The UNICEF Innocenti Research Centre, Giuntina, Florence, Italy, UNICEF, 2005 32 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 8 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 1. Kepatuhan Negara peratifikasi terhadap prinsip-prinsip dan norma-norma KHA; dan 2. Upaya menegakkan hak asasi anak (law enforcement) yang dijamin dalam KHA. Permasalahan pertama berada pada substansi peraturan perundang-undangan yang mentransformasi prinsip dan norma hukum internasional agar berlaku secara efektif dan menjadi hukum positif. Lokusnya berada pada otoritas pembuat peraturan perundang-undangan yakni eksekutif dan legislatif. Proses transformasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Mengikatkan diri : Tanda tangai Ratifikasi Asesi Hukum Internasional Transformasi : Peraturan perundangundangan Putusan Hakim Hukum Nasional Gambar 1 : Proses transformasi hukum internasional menjadi hukum nasional Permasalahan kedua berada pada aparat Negara sebagai pelaksana peraturan perundang-undang yang akan mengoperasionalkan ketentuan KHA dalam kebijakan publik dan penegakkan hukum. Dalam konteks ini Johan Galtung menyatakan HAM harus dilihat sebagai kontruksi kompleks imajinatif yang mengkombinasikan elemen hukum nasional dan hukum internasional. HAM diimplementasikan sebagai tindakan yang mengikat Negara.33 Di sini diperlukan tranformasi hukum baik melalui elaborasi maupun konkritisasi untuk mencocokkan dengan kebutuhan praktik. Artinya permasalahan HAM tidak eklusif menjadi kewenangan hukum internasional saja, namun bersinggungan dengan hukum nasional. H. Hart menunjukkan bahwa persinggungan ini disebabkan ketentuan hukum internasional yang bersifat open texture34 sehingga hukum nasional berperan di sini. Ketentuan hukum internasional yang open texture berarti terdapat bidang-bidang tindakan (conduct) di mana banyak yang harus diserahkan pada pengadilan atau pejabat-pejabat resmi untuk dapat memberikan keseimbangan di antara berbagai kepentingan yang saling berlawanan yang bobotnya berbeda dari satu kasus ke kasus lainnya. Pemecahan seperti ini tidak diberikan di dalam hukum internasional karena permasalahan open texture dilaksanakan secara desentralisasi, yakni oleh Negara itu sendiri.35 Dengan demikian eksistensi HAM diakui jika telah diatur dalam hukum nasional. Paradigma implementasi hukum di tingkat nasional bagi sebuah HAM memiliki 2 (dua) peranan : 33 Naning Mardiniah, et. al., Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan, Jakarta, LP3ES, 2005 Open texture merupakan ketentuan dari hukum internasional yang seringkali terlalu umum dan smar-samar. Ketentuan seperti ini akan banyak membuka kemungkinan dan dengan demikian menimbulkan keraguan sehubungan dengan apa yang dimaksud dalam ketentuan hukum internasional. Lihat G.J.H.Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung, Alumni, 2000 35 G.J.H.Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber-Sumber Hukum Internasional, ibid 34 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 9 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 1. Pengaturan dalam istilah-istilah abstrak di dalam suatu konstitusi, dan 2. Pengaturan dalam istilah-istilah yang lebih spesifik di dalam undang-undang yang menjadi bagian peraturan sehari-hari untuk bidang ini.36 Namun sebelum diatur dalam hukum nasional, terlebih dahulu dilakukan tindakan yang menyatakan Negara berkehendak untuk mengingkatkan diri pada suatu perjanjian internasional. Ratifikasi menjadi modalitas awal bagi Negara untuk terikat secara hukum pada perjanjian termaksud. Tindakan ini merupakan persinggungan awal antara hukum internasional dengan hukum nasional. Melalui tindakan ini pula Negara berpotensi mengurangi daya laku suatu perjanjian 37 internasional melalui reservasi. Dalam proses ini, pertimbangan kepentingan politik Negara kerap lebih mewarnai ketimbang substansi yang diatur di dalamnya. Praktik-praktik Negara memperlihat sengitnya perdebatan untuk menerima universalitas HAM. Di sini doktrin kedaulatan Negara dihadap-hadapkan untuk menolak standar HAM internasional.38 Oleh karena itu, eksaminasi awal untuk melihat kesungguhan Negara dalam memajukan HAM, dapat dilihat pada saat Negara tersebut meratifikasi perjanjian internasional apakah melakukan mereservasi ketentuan-ketentuan tertentu dari perjanjian internasional untuk disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Reservasi juga dilakukan oleh Negara Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dari instrument hukum HAM Internasional utama yang diratifikasi. Tabel berikut menunjukkan ketentuan-ketentuan yang diratifikasi oleh Negara Indonesia. Tabel 2: Reservasi yang dilakukan oleh Negara Indoensia terhadap Instrumen Hukum HAM internasional utama yang telah diratifikasi 39 Instrument Pasal-Pasal yang direservasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Article 22: Dispute between two or more States Parties with respect to the interpretation or application of this Convention referred to the International Court of Justice International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights Article 1: All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely Reservasi Reservation: "The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 22 and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the [Convention] which cannot be settled through the channel provided for in the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all the parties to the dispute." Declaration: "With reference to Article 1 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the 36 James W. Nickel, op.cit. Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Pasal 2.1 (d)) menyatakan bahwa reservasi berarti suatu pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu Negara ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksesi suatu perjanjian internasional dengan tujuan untuk mengecualikan atau memodifikasi akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam penererapannya kepada Negara tersebut. Lihat C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2000 38 Jack Donelly, HAM dan “Nilai-Nilai Asia” dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op.cit. 39 http://www.ohchr.org/english/countries/ratification/11.htm 37 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 10 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. International Covenant on Civil and Political Rights Article 1: All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women Article 29 (1): dispute between two or more States Parties with respect to the interpretation or application of this Convention shall be referred to the International Court of Justice Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia Government of [the] Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of selfdetermination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states." Declaration: "With reference to Article 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states." Reservation: The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provisions of article 29, paragraph 1 of this Convention and takes the position that any dispute relating to the interpretation or application of the Convention may only be submitted to arbitration or to the 11 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Convention on the Rights of the Child Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia Article 20 : Committee receives reliable information which appears to it to contain well-founded indications that torture is being systematically practised in the territory of a State Party, the Committee shall invite that State Party to cooperate in the examination of the information and to this end to submit observations with regard to the information concerned Article 30: Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention to agree on the organization of the arbitration and may refer the dispute to the International Court of Justice Article 1: For the purposes of the present Convention, a child means every human being below the age of eighteen years Article 14: Respect the right of the child to freedom of thought, conscience and religion. Article 16: Interference with his or her privacy, family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his or her honour and reputation. Article 17: The child has access to information and material from a diversity of national and international sources Article 21 : The system of adoption shall ensure that the best interests International Court of Justice with the agreement of all the parties to the dispute." Declaration: "The Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1, 2, and 3 of article 20 of the Convention will have to be implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States. Reservation: The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes." Reservation: The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees the fundamental rights of the child irrespective of their sex, ethnicity or race. The Constitution prescribes those rights to be implemented by national laws and regulations. The ratification of the Convention on the Rights of the Child by the Republic of Indonesia does not imply the acceptance of obligations going beyond the Constitutional limits nor the acceptance of any obligation to introduce any right beyond those prescribed under the Constitution. With reference to the provisions of articles 1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29 of this Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply these articles in conformity with its Constitution. 12 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak of the child Article 22: State party shall take appropriate measures to ensure that a child who is seeking refugee status or who is considered a refugee Article 29: The education of the child Dengan reservasi-reservasi tersebut di atas, maka Negara Indonesia tidak terikat secara yuridis untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut. Artinya Negara Indonesia mempunyai dalih untuk mengambil kebijakan lain dalam mengimplementasikan pemajuan dan pemenuhan hakhak tersebut. Meskipun berdampak pada derajat keterpenuhan HAM warga negaranya. Mengapa pada saat meratifikasi instrument HAM selalu disertai tindakan reservasi oleh Negara Indonesia? Dalam konteks, KHA mengapa reservasi ditujukan justru pada ketentuan-ketentuan yang terkait dengan hak-hak yang mendasar yang dimiliki oleh anak-anak?. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi karena terdapat penolakan klaim universal HAM dilawankan dengan pandangan relativisme budaya. Perdebatan mengenai kebudayaan dan HAM pada tahun 1990-an, menyangkut “nilai-nilai Asia”40 menjadi latar belakang historis mengapa Negara Indonesia melakukan reservasi terhadap KHA. Argumentasi Menteri Luar Negeri Indonesia dalam Konferensi Wina 1993, merefleksikan keyakinan akan “Nilai-Nilai Asia”, bahwa praktik-praktik budaya suatu Negara merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.41 Argumentasi yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri sebagai berikut : “Tatkala seorang Kepala Negara sudah mengambil keputusan atas persoalan yang menyangkut kehidupan negaranya, maka hak-hak dari individu-individu mesti tunduk pada apa yang dipertimbangkannya sebagai keniscayaan-keniscayaan dari keadaan saat itu.”42 Konstruksi demikian nampak ketika Negara Indonesia memodifikasi kewajiban internasionalnya untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan KHA. Modifikasi kewajiban tersebut dilakukan untuk disesuaikan dengan pertimbangan politik HAM Negara Indonesia. Reservasi Pasal-Pasal KHA di atas dapat merepresentasikan bagaimana sesungguhnya politik HAM Negara Indonesia dalam memajukan dan memenuhi hak asasi anak. Implementasi HAM memang selalu berkaitan dengan politik HAM karena implementasi tersebut melibatkan variabel tertentu seperti prioritas, anggaran dan sumber-sumber sosial, serta kemauan politik pemerintah. Sebagai contoh, Negara harus membuka akses informasi seluas-luasnya kepada anak-anak, namun kebebasan ini dapat ditolak dengan dalih tidak sesuai dengan ketentuan UUD1945.43 Dalih ini mendapatkan justifikasi karena Negara Indonesia mereservasi ketentuan KHA mengenai hak anak atas informasi sebagaimana diatur Pasal 17 KHA. Reservasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap Pasal-Pasal KHA di atas secara substantif jelas menghambat anak-anak untuk menikmati hak asasinya secara penuh. Karena reservasi yang dilakukan Negara Indonesia terkait dengan salah satu prinsip fundamental KHA, yakni prinsip penghargaan terhadap pendapat anak 40 Jack Donelly, HAM dan “Nilai-Nilai Asia” dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, ibid Jack Donelly, HAM dan Relativisme Budaya, dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, ibid 42 Jack Donelly, HAM dan “Nilai-Nilai Asia” dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, ibid 43 Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban, Yogyakarta, INSIST Press, 2004 41 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 13 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle).44 Prinsip ini terkait dengan pelaksanaan hak-hak politik dan kebebasan anak-anak dalam rangka mewujudkan pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi anak yang lain. Perwujudan hak politik dan kebebasan anak harus diikuti dengan prakondisi-prakondisi sebagai berikut : (i) hak atas pendapat; (ii) kebebasan berekspresi; (iii) kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama; (iv) kebebabasan untuk berkumpul dan berorganisasi secara damai; (v) hak untuk mengetahui dan praktik-praktik kebudayaan tradisional; (vi) hak atas privasi; dan (viii) hak atas informasi yang wajar.45 Kondisi-kondisi ini sulit terbangun apabila reservasi dilakukan oleh suatu Negara terkait dengan hak-hak tersebut. Menurut Pasal 19 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969 terkait dengan reservasi dinyatakan bahwa: Setiap negara pada waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi perjanjian internasional dapat membuat reservasi, kecuali dalam hal-hal berikut: 1. Reservasi secara eksplisit dinyatakan dilarang oleh perjanjian internasional yang bersangkutan untuk keseluruhan atau ketentuan tertentu dari perjanjian internasional yang bersangkutan; 2. Perjanjian internasional yang bersangkutan menetapkan bahwa hanya reservasi khusus dapat dibuat; dan 3. Reservasi tidak sesuai dengan sasaran dan maksud perjanjian internasional yang bersangkutan Terkait dengan upaya ratifikasi, suatu Negara yang telah menyepakati untuk terikat pada instrument hukum HAM internasional akan berupaya mencapai 2 (dua) tujuan yakni:46 1. Untuk memajukan standar HAM baik domestik maupun internasional atau keduanya; 2. Untuk meminimalkan pelanggaran perjanjian internasional karena terkait dengan aspek kedaulatan Negara yang tidak ingin dilepaskan. Resevasi merupakan sarana untuk mempertemukan 2 (dua) tujuan tersebut. Dengan mengajukan reservasi ketika melakukan ratifikasi, Negara dapat menjadi pihak dalam perjanjian internasional sedangkan aspek-aspek perjanjian yang membatasi Negara karena bertentangan dengan kepentingan domestik suatu Negara pihak berusaha untuk melindungi kepentingan domestiknya. 47 Dalam hal reservasi yang dilakukan oleh Negara-Negara para pihak terhadap KHA, Komite Hak Anak (Committee of The Rights of The Child) melarang setiap reservasi yang bertentangan dengan objek dan tujuan konvensi. Bahkan lebih jauh, Komite menyatakan keprihatinannya terhadap upaya yang dilakukan Negara untuk membatasi hak asasi anak melalui konstitusi, undang-undang, maupun hukum agama.48 Sikap serupa juga diperlihatkan oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) yang berpendapat bahwa sebagian reservasi yang 44 Terdapat 5 (lima) prinsip fundamental CRC yang mencakup : (i) prinsip non diskriminasi (non-discrimination principle); (ii) prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child principle); (iii) prinsip hak untuk hidup dan perkembangan secara maksimal (right to life and maximum development principle) ; (iv) prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle); dan (v) prinsip bahwa hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and interdependence of rights principle). Lihat Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides : Doing Participatory Research with Children, UNICEF, 2002 45 Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides, ibid 46 Ryan Goodman, Human Rights Treaties, Invalid Reservations, and State Consent, The American Journal of International Law, Vol. 96:531, 2002. 47 Ryan Goodman, ibid 48 Lihat General Comment No. 5 mengenai General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child (arts. 4, 42 and 44, para. 6) Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 14 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak dilakukan oleh negara mengakibatkan keutuhan umum perjanjian internasional terancam. Apalagi jika reservasi yang dilakukan tersebut bersifat substantif.49 Kemudian, seturut dengan pandangan Komisi Hukum Internasional, Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) melalui Komentar Umum (General Comment) No. 24 mensinyalir peningkatan jumlah Negara yang mereservasi Kovenan yang berdampak mengurangi efektivitas dan memperlemah kewajiban Negara-negara peserta.50 Pada 2005 melalui Menteri Luar Negeri Negara Indonesia menarik reservasi terhadap KHA. Piagam Penarikan Pernyataan (Instrument of Withdrawal of Declaration) menyatakan bahwa: Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah dapat berpartisipasi penuh pada Konvensi tahun 1989 dimaksud; Menyatakan menarik pernyataan atas kententuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22, dan 29 dari Konvensi tahun 1989 dimaksud. Dengan penarikan reservasi tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia terikat penuh untuk mengimplementasikan seluruh prinsip-prinsip dan norma-norma yang ada dalam KHA dengan itikad baik. Namun demikian, penarikan reservasi terhadap KHA masih menyisakan permasalahan yuridis khususnya dalam ranah hukum nasional karena tindakan tersebut masih terbatas pada lingkup hukum internasional. Efektivitas penarikan reservasi tersebut berada pada ranah hukum domestik sehingga membutuhkan landasan hukum agar dapat menjamin perlindungan terhadap hak anak secara penuh. Pemberian landasan hukum upaya penarikan reservasi KHA dengan undang-undang di samping memperkuat eksistensi hukum anak sebagai subyek hak yang diakui secara penuh sebagaimana telah dijamin dalam KHA. Pemberian tersebut juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena substansinya mengatur HAM. Lebih jauh upaya ini juga merupakan upaya implementasi kewajiban negara sebagaimana dimandatkan Pasal 4 KHA bahwa negara harus melakukan langkah-langkah legislatif, yudisial, administrasi, dan langkah-langkah lain sehingga hak-hak yang dijamin dalam KHA dapat dinikmati. Idealnya upaya pemberian landasan hukum penarikan reservasi dengan undang-undang dilakukan bersamaan dengan menaikan status hukum hirarki landasan hukum ratifikasi KHA dari Keppres menjadi undang-undang. Kewajiban Pasal 4 tersebut memiliki keterkaitan erat dengan ketentuan Pasal 42 KHA yang merumuskan bahwa: Negara-negara Pihak berusaha membuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi diketahui secara meluas dengan cara yang tepat dan aktif, baik oleh remaja maupun anak-anak. Dalam kaitan ini Komite Hak Anak menggarisbawahi pentingnya melakukan diseminasi prinsipprinsip dan norma-norma KHA kepada setiap warga Negara. Selanjutnya, Komentar Komite Hak Anak dalam Pedoman untuk Laporan Awal dan Laporan Berkala telah menekankan bahwa diseminasi KHA dapat mencapai beberapa tujuan antara lain:51 49 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Pasal 19 menyatakan bahwa reservasi diperkenankan dengan perkecualian : (a) reservasi tersebut dilarang oleh perjanjian internasional; (b) perjanjian internasional menentukan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu, yang tidak termasuk reservasi tersebut, yang boleh dibuat; dan (c) dalam hal yang tidak berada di bawah sub paagraf (a) dan (b), reservasi tidak sesuai dengan obyek dan tujuan perjanjian internasional tersebut. Lihat C. de Rover, loc.cit, 50 Lihat C. de Rover, ibid 51 Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, New York, United Nations Children’s Fund 2002 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 15 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Memastikan hak-hak anak semakin nyata terpenuhi; Meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak anak; Menegaskan kembali nilai-nilai hak anak yang fundamental; Meningkatkan demokratisasi pada institusi-institusi; Mewujudkan rekonsiliasi nasional; Mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak yang termasuk kelompok yang minoritas; Mengubah pandangan negatif terhadap anak-anak; Memerangi dan menghapuskan prasangka yang ada terhadap kelompok rentan dan praktikpraktik budaya yang membahayakan anak-anak. Berdasarkan tekanan yang dinyatakan oleh Komite maka pencabutan reservasi KHA semestinya segera ditindaklanjuti dengan pemberian landasan hukum sehingga akan memberikan dampak yuridis bagi perlindungan anak dan memperkuat eksistenis hukum anak sebagai subyek hak. Kemudian, implemtasi KHA yang reduktif juga dapat dilihat pada komitmen Negara yang tidak memiliki kehendak untuk secara penuh (reception in complexu) mengadopsi prinsip-prinsip KHA dalam sistem hukum Indonesia. UUD 1945 sebagai konstitusi Negara hanya secara dangkal mengkonstruksi hukum hak asasi anak. Ide dasar falsafah KHA yakni anak-anak karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya membutuhkan perlindungan secara khusus tidak dielaborasi lebih jauh.52 Model pembentukan konstitusi demikian berakibat HAM tidak dilihat sebagai kebenaran moral terberi, tetapi sebaliknya sebagai konstruksi lembaga legislatif. Konsekuensi logis HAM yang memiliki sifat yuridis yang inheren, secara konseptual diarahkan kepada penegakkannya secara positif.53 Dalam titik ini jaminan konstitusional hak asasi anak dalam konteks Negara Indonesia bergantung pada bagaimana MPR menempatkan permasalahan anak. Sampai saat ini, MPR memang telah melakukan 4 (empat) kali amendemen terhadap UUD 1945, namun hasilnya masih terasa belum cukup menjamin hak-hak konstitusi warga Negara, apalagi hak asasi anak. Akar permasalahan lemahnya jaminan HAM dalam UUD 1945 karena paham konstitusionalisme yang dianut Negara Indonesia cenderung memberikan hak terlalu besar kepada Negara sehinga hasil amandemen UUD 1945 cenderung hanya memperkuat lembaga-lembaga Negara, namun di sisi lain perlindungan HAM warga Negara justru dilemahkan. Hal ini dapat dilihat pengaturan HAM tidak diikuti dengan pembentuk institusi yang memiliki mandat untuk menegakan hak konstitusionalitas warga Negara. Dalam UUD 1945 belum terdapat pengakuan penuh bahwa anak sebagai subyek hak yang dilekati dengan hak-hak subyektif (subjective rights) sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik anak. Di samping itu, kewajiban Negara (the duty of the state) dalam memberikan perlindungan terhadap anak, serta arah dari kebijakan sosial Negara dalam menjamin kesejahteraan anak berdasarkan prinsip-prinsip KHA dalam kemasan khusus child charter belum terejawantah. Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak masih ditempatkan bersamaan dengan hak asasi warga Negara lain.54 Situasi ini menunujukkan bahwa Negara Indonesia belum memiliki komitemen yang tinggi dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Lebih jauh rendahnya komitmen Negara terlihat dengan tidak diakomodasikannya 2 (dua) prinsip fundamental KHA yakni 52 Mengadopsi pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto yang mentautkan permasalahan konstitusi, konstitusionalisme, dan HAM dalam Soetandyo Wignjosoebroto Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, 2002, hal. 406 - 407 53 Jurgen Habermas, Beberapa Catatan Tentang Legitimasi yang Berdasar pada HAM, dalam dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, Frans Ceunfin (editor), Maumere, Ladero, 2006, hal. 59 54 Mengadopsi Mas Achmad Santosa dalam Jimly Asshidiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 16 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip hak anak untuk didengar dalam konstitusi. Semestinya keempat prinsip KHA yang terformulasikan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 12 terintegrasi ditambah hak-hak fundamental anak lainnya baik sipil,politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pengintegrasian prinsip dan norma-norma KHA dalam konstitusi menjadi penting dilakukan karena konstitusi dapat menjadi alat untuk melakukan reformasi legislasi dan kebijakan suatu negara (constitusions as tool of legislative and policy reforms). Konstitusi merupakan norma tertinggi dalam suatu sehingga akan memiliki dampak lebih bagi upaya perlindungan anak dalam kehidupan bernegara. Lebih jauh konstitusi yang memiliki keberpihakan pada anak akan menjadi dasar pertimbangan dalam memformulasikan substansi dan proses pengembangan reformasi legislasi dan kebijakan yang juga akan memiliki nuansa keberpihakan terhadap anak. Implikasi hukum termuatnya prinsip-prinsip dan norma-norma antara lain:55 1. Konstitusi sebagai landasan hukum tertinggi Negara dalam menyelenggarakan urusannya; 2. Konstitusi sebagak kerangka dasar untuk melakukan reformasi legislative; 3. Konstitusi sebagak kerangka dasar untuk melakukan reformasi kebijakan; 4. Konstitusi akan memperkuat status anak sebagai subyek hak asasi manusia. Dalam konteks, implementasi KHA sebagaimana telah diuraikan di atas, Pasal 4 KHA menentukan bahwa implementasi tersebut dilakukan melalui semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi. Pasal tersebut dapat juga dibaca bagaimana Negara menempatkan ratifikasi KHA dalam sistem hukum Negara tersebut. Dalam hal ini pemberian landasan hukum ratifikasi KHA menjadi titik awal di mana sesungguhnya keberpihakan Negara Indonesia dalam memandang permasalahan hak asasi anak yang menjadi substansi KHA. Mengingat eksistensi HAM di level domistik bergantung pada sistem hukum nasionalnya, maka pilihan pemberian landasan hukum ratifikasi berdampak pada tingkat efektifitas implementasi norma-norma yang diatur di dalamnya. Jika dilihat dari teori Stufenbau des Recht Han Kelsen56 yang dianut oleh Negara Indonesia, penempatan ratifikasi dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sudah menjelaskan sejauhmana keberpihakan Negara untuk menjamin hak asasi anak. Menurut hirarki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia, kekuatan hukum Keputusan Presiden, yang menjadi landasan hukum ratifikasi KHA, lebih lemah dibandingkan dengan undang-undang. Keputusan Presiden berdasarkan teori Stufenbau, pada masa sebelum berlaku UU Nomor 10 Tahun 2004, merupakan fungsi delegasian dari Peraturan Pemerintah dan sekaligus undang-undang yang dilaksanakannya. Fungsi Keputusan Presiden di sini merupakan fungsi yang berdasarkan teori Stufenbau di mana suatu peraturan di bawah itu selalu berlaku, bersumber, dan berdasarkan peraturan yang lebih tinggi di atasnya.57 Dalam sistem demokratis, Keputusan Presiden tentu tidak mendapatkan legitimasi yang luas karena hanya merupakan pernyataan sepihak Presiden. Keputusan Presiden merupakan ekspresi kekuasaan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, pada masyarakat yang demokratis, undang-undang merupakan produk hukum yang lebih terlegitimasi karena melibatkan legislatif yang merepresentasi kedaulatan rakyat. Di titik ini terdapat relasi antara 55 Nadine Perrault, et.al., Handbook on Legislative Reform: Realising Children’s Rights, Vol.1, United Nations Children’s Fund (UNICEF), Gender, Rights and Civic Engagement, Division of Policy and Practice, New York,2008 56 Pembahasan lebih lanjut dari teori Stufenbau des Recht Hans Kelsen ini dan dampaknya pada bangunan sistem hukum Indonesia dalam memajukan hak asasi anak akan diuraikan pada bagian lain dari tulisan ini 57 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hal. 117. Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 17 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak kedaulatan rakyat dan HAM yang menjadi dasar legitimasi suatu undang-undang, yakni hak atas komunikasi dan hak atas partisipasi.58 Pada prinsipnya demokrasi, pembangunan, dan HAM memang memiliki pertalian konseptual dan praktis yang penting. Hal yang paling penting ialah norma-norma HAM internasional menuntut pemerintahan yang demokratis. Sebagimana ditegaskan Pasal 21 DUHAM, yang menyatakan bahwa “kehendak rakyat harus menjadi landasan dari kekuasaan pemerintahan.” Sebangun dengan Pasal 21 DUHAM, Deklarasi Wina menegaskan bahwa “demokrasi dilandaskan pada kehendak yang diungkapkan secara bebas oleh rakyat guna menentukan berbagai sistem politik, ekonomi, sosial, budayanya sendiri, serta keterlibatan mereka secara penuh di dalam setiap kehidupannya”. Dengan demikian, pemajuan dan perlindungan HAM menyaratkan terdapatnya pemerintahan yang demokratis atau pemerintahan rakyat yang dimaknai oleh David Held: 1. bahwa semua orang harus dilibatkan dalam urusan legislatif, dalam memutuskan kebijakan umum, dan dalam hal administrasi pemerintahan; 2. bahwa semua orang harus secara pribadi terlibat dalam proses pengambil keputusan yang penting; dan 3. bahwa penguasa harus bertanggung jawab kepada orang-orang yang diperintahnya, dengan kata lain berkewajiban untuk mengabsahkan berbagai tindakannya kepada rakyat.59 Undang-undang dalam masyarakat yang demokratis dikerangkai oleh Negara berdasar atas hukum (rule of law/rechtsstaat) material.60 Dalam Negara berdasarkan atas hukum material ini Negara berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan rakyat sehingga intervensi Negara dalam mengurusi kepentingan ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan hidup, serta masalah lainnya tidak dapat dielakkan. Malahan undang-undang diharapkan memberikan pengarahan kepada pemerintah dalam perlindungan HAM warga Negara.61 Di sisi lain, Keputusan Presiden merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak terlegitimasi karena hanya berasal dari kehendak Presiden semata. Keputusan Presiden merupakan produk perundang-undangan yang amat fleksibel, karena dapat berbentuk pendelegasian maupun pengatribusian langsung dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Hal ini telah membuat Keputusan Presiden sebagai salah satu instrumen perundang-undangan yang rawan terhadap distorsi dalam bidang hukum, terutama mengingat keleluasaan presiden yang luar biasa dalam menentukan materi muatan dari Keputusan Presiden tersebut. Kerawanan tersebut ditambah dengan tidak adanya sistem kontrol terhadap produk perundang-undangan tersebut oleh DPR.62 Dalam konteks inilah, ratifikasi KHA pada tahun 1990 dengan mendapatkan landasan hukum berupa Keputusan Presiden, dapat diartikan bahwa pemberian landasan hukum ini dilatarbelakangi politik hukum Negara Indonesia yang diorientasikan untuk mendukung pembangunan ekonomi.63 Perhatian yang hanya terfokus pada pembangunan ekonomi berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan perempuan, anak-anak, dan lingkungan bukan menjadi prioritas utama. Kondisi 58 Jurgen Habermas, Beberapa Catatan Tentang Legitimasi yang Berdasar pada HAM, dalam ibid, hal. 50 Jack Donelly, Demokrasi, Pembangunan, dan HAM, dalam ibid, hal. 267-272 60 Ciri-ciri Rechtsstaat material ditandai dengan adanya : (i) prinsip perlindungan HAM; (ii) prinsip pemisahan kekuasaan; (iii) prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang; (iv) prinsip peradilan administrasi; dan (v) prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat. Lihat, Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, op. cit, hal. 128 61 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid 62 http://www.transparansi.or.id/pers/pers4.html 63 Pada masa Pemerintahan Orde Baru (1966 -1998) perkembangan hukum di Indonesia diwarnai dengan dijadikannya hukum sebagai alat untuk mewujudkan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dijadikan sebagai target dengan indikator pencapaian pertumbuhan setinggi-tingginya. Pada masa tersebut teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja diintroduksi dalam GBHN 1973. Lihat Siharta, op. cit, hal. 317 59 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 18 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak perempuan, anak-anak, dan lingkungan tidak pernah dipakai sebagai indikator pembangunan. Hal ini dicapai lewat pengabaian terhadap 2 (dua) permasalahan yang tidak terlihat. Pertama, kontribusi alam, perempuan, dan anak-anak terhadap pertumbuhan ekonomi pasar diabaikan dan diingkari. Kedua, dampak negatif dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi terhadap perempuan, anakanak, dan lingkungan tidak dijadikan pertimbangan dan catatan. Dengan kata lain permasalahan perempuan, anak-anak, dan lingkungan secara statistik ekonomi tidak terlihat sehingga kebijakan publik yang diambil tidak merespon permasalahan-permasalahan tersebut.64 Proses yang reduktif di atas dapat digambarkan di bawah ini. Adopsi Reduksi Hak hukum internasional Adopsi Reduksi Hak hukum nasional Hak hukum lokal Gambar 2 : Proses reduksi substansi HAM dalam proses transformasi Dalam konsepsi sistem hukum (system of law) yang dikemukakan Lawrence M. Friedman kepatuhan negara dalam mengimplemetasikan kewajiban hukum Pasal 4 tersebut. Sistem hukum sesungguhnya dapat dilihat pada 3 (tiga) matra, yakni : 1. struktur sistem hukum (structure of a legal system) yang mencakup institusi peradilan dan mekanismenya, legislatif, aparat pemerintahan, dll. Dengan arti lain persinggungan dari pelbagai sistem hukum; 2. substansi hukum (substance of law), yaitu aturan-aturan, norma-norma, dan pola perilaku dari orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah sistem hukum; 3. budaya hukum si hukum (culture of law); yakni sikap masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, termasuk kepercayaan, nilai-nilai, gagasan, dan harapan masyarakat. Dengan kata lain, budaya hukum merupakan iklim dari keyakinan sosial dan kekuatan sosial yang mana akan menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak berdaya.65 Matra pertama dan kedua lokusnya berada pada aparat Negara (state apparatus) yang diberikan kewenangan atribusi untuk menjamin pemajuan dan perlindungan hak-hak anak. Jika memedomani karakteristik HAM yakni dijamin oleh hukum internasional (guaranteed by international standards); secara hukum dilindungi dan menetapkan kewajiban hukum (legally protected and define legal 64 Vandana Shiva, Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-Anak yang Jadi Korban, dalam Ecofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, Vandana Shiva dan Maria Mies, Yogyakartam IRE Press, 2005, hal. 84 65 Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, CV Utomo, 2006, hal. 179 -180 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 19 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak obligations); dan menempatkan kewajiban pada Negara dan aktor-aktor Negara (place obligations on states and state actors);66 sekaligus mengadvokasikan67 hak-hak asasi anak maka substansi hukum menjadi pedoman utama. Dengan demikian konstitusi yang secara formal menjadi norma fundamental Negara (staatsfundamentalnorm), dapat dijadikan sebagai sarana pertama untuk mengeksaminasi keberpihakan Negara terhadap pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi anak. Di Indonesia, UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai konstitusi di mana semua norma berdiri dan dibangun dengan merujuk padanya. Secara hirarkis, ruang lingkup sumber hukum formil68 di Indonesia diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pasal 7 dari undang-undang ini menetapkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia meliputi : 1. UUD 1945 2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturam Daerah69 Mengacu pada hirarki di atas, yang menempatkan konstitusi sebagai sumber utama normanorma, maka keberpihakan negara terhadap anak dapat dieksaminasi. Pertanyaan mendasarnya apakah prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi anak yang termaktub dalam KHA telah menjadi hak konstitusional ? Terdapat 3 (tiga) kategorisasi untuk mengeksaminasi pendekatan konstitusi suatu negara menyangkut status konstitusional hak asasi anak yakni: 1. Konstitusi ’anak yang tersembunyi (The ‘invisible child’ constitution), yakni konstitusi tidak mengekspresikan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan anak-anak.70 66 Judith Asher, The Right to Health: A Resource Manual for NGOs, Commonwealth Medical Trust, AAAS Science and Human Rights Program, HURIDOCS, Printing B.V., Bergstraat 21, Amersfoort, The Netherlands, 2004, hal. 12 67 Tujuan dan sasaran utama advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan publik, maka kebijakan publik yang meliputi seluruh keputusan politik dan terwujud secara tertulis melalui undang-undang, peraturan-peraturan, dan keputusan Negara. Dengan demikian, titik berat perhatian advokasi pada naskah (text) dari hukum tertulis atau aspek tertulis dari sistem hukum yang tertulis. Lihat Roem Topatimasang, et.al, Sehat Itu Hak : Panduan Advokasi Masalah Kesehatan Masyarakat, Koalisi untuk Indonesia Sehat, INSIST, danPusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, FKM UI, 2005, hal.83-84. Dengan kata lain, advokasi bukan merupakan revolusi, tetapi lebih merupakan usaha perubahan sosial secara bertahap maju (incremental) melalui semua salauran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Lihat Mansour Fakih, Memahami Advokasi dalam Merubah Kebijakan Publik, Roem Topatimasang, Mansour Fakih, Toto Raharjo, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Read, INSIST, dan PACT, 2002, hal. iv 68 Pengertian dan ruang lingkup sumber hukum formil dapat diklasifikasikan dalam beberapa unsure berikut : (a) sumber hukum dalam pengertian bentuk perumusan kaidah-kaidahnya; (b) tempat yang menentukan atau menyebabkan berlakunya suatu kaidah hukum; (c) tempat di mana aturan hukum itu dapat diketahui; dan (d) berkaitan dengan cara yang menyebabkan peraturan hukum formil itu berlaku. Lihat Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, Jakarta, KONpress, 2006, hal. 187 69 Jazim Hamidi, ibid, hal. 68 - 82 70 Substansi-substansi konstitusi yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini adalah: (i) konstitusi memuat semua referensi HAM, namun tidak menempatkan referensi hak-hak anak: (ii) konstitusi mengasumsikan bahwa hak asasi anak sudah tercakup secara penuh dengan cara menafsirkan referensi HAM yang ada. Manakala pengalaman historis tidak menunjukkan praktik-praktik positif yang sama terhadap penghargaan hak asasi anak maka jurisprudensi menjadi penting untuk menegakkan hak asasi anak (iii) secara historis beberapa prinsip dasar menjadi usulan, namun terdapat korelasi yang terbalik dalam beberapa kasus antara memperluas cakupan aturan hak-hak anak dalam konstitusi dan praktik-praktik penghargaan terhadap hak asasi anak. Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, op.cit, hal. 22-23 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 20 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 2. Konstitusi ‘perlindungan khusus (The ‘special protection’ constitution), yakni konstitusi yang telah merefleksikan perlakuan khusus yang ditujukan untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan dari faktor yang mengancam kehidupan mereka71 3. Konsitusi ‘hak asasi anak’ (The ‘children’s rights’ constitution), yakni konstitusi yang telah mengakomodasi seluruh prinsip-prinsip atau sebagian besar norma-norma yang terkandung dalam KHA.72 Menurut Philip Alston, Konstitusi Indonesia termasuk konstitusi kategori kedua di mana isu yang menjadi substansi konstitusi secara eksplisit (tersurat) hanya kewajiban untuk memberikan perlindungan/dukungan terhadap kelompok anak tertentu seperti anak yatim, difabel, dan anak-anak yang sangat membutuhkan (a special obligation to protect/support certain groups of children such as orphans, the disabled and needy).73 Kemudian, Pasal 28B (2) 74 hasil amandemen II UUD 1945 juga telah mengatur hak asasi anak. Namun dengan mengadopsi sebagain dari prinsip-prinsip KHA dan hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, namun menghilangkan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle); dan prinsip bahwa hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and interdependence of rights principle). Di samping itu, UUD 1945 sangat sedikit mengatur hak-hak anak yang seharusnya menjadi hak konstitusionalitas anak dan menjadi kewajiban konstitutif Negara. Ketentuan UUD 1945 yang begitu sederhana dan singkat ini sama sekali tidak cukup menjamin hak asasi anak-anak. Dengan minimnya pengaturan hak asasi anak maka dalam konstitusi, konsekuensi logisnya pengaturan lebih lanjut hak asasi anak akan didelegasikan melalui undang-undang. Permasalahannya seringkali justru undang-undang malah mendistorsi dan mereduksi jaminan pemajuan dan perlindungan anak. Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membebani tanggung jawab pidana bagi anak terlalu dini, yakni 8 tahun. Bahkan prinsip diversi dan keadilan restoratif yang menjadi standar universal penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law) belum terakomodasi dalam undang-undang tersebut. Namun perlu diakui, ratifikasi KHA membawa perubahan dalam bangunan sistem hukum Indonesia dalam upaya memajukan dan melindungi hak asasi anak. Setidak-tidaknya setelah Negara 71 Suatu konstitusi dikatakan memberikan perlindungan khusus yang dapat direfleksikan dengan cara sebagai berikut : (i) penekanannya pada perlindungan ketimbang HAM, meskipun beberapa kasus anak dikatakan telah mempunyai hak yang relevan dengan perlindungan; (ii) perspektif utamanya melalui pendekatan terhadap perlindungan anak untuk melihat apakah hak asasi anak telah menjadi perhatian, dan (iii) Ruang lingkup isu hak asasi anak dalam konstitusi masih terbatas jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dalam CRC. Isu-isu anak yang masuk dalam konstitusi meliputi : (i) perlindungan terhadap keluarga dan ibu (protection of the family and of motherhood); (ii) perlakuan khusus terhadap anak dalam perlindungan dan perwatan (special measures of protection and assistance for children); (iii) non diskriminasi dalam perlakuan (non-discrimination in relation to these measures ); (iv) perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial (protection of children from economic and social exploitation); (v) perlindungan dari kondisi berbahaya dan pekerjaan berbahaya (protection from harmful or dangerous work); dan (vi) pembatasan usia anak yang dipekerjakan (age limits for child labour). Lihat Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, ibid, hal. 23-24 72 Konstitusi hak asasi anak ditandai dengan hal-hal berikut: (i) mengadopsi secara khas pendekatan dengan menyebutkan satu persatu hak-hak anak; (ii) hanya sedikit hak asasi anak yang dijamin dalam CRC terekspresikan dalam konstiusi, namun konstitusi mengatur isu anak yang sebenarnya penting yakni permasalahan hak pengungsi anak dan hak masyarakat pribumi anak, dan (iii) konstitusi telah memuat spectrum hak asasi anak yang luas, namun belum belum mengatur secara spesifik partisipasi anak. Lihat Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, op. cit, hal. xi 73 Lihat Pasal 34 (1) hasil amandemen IV yang mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 74 Lihat Pasal 28B (2) hasil amandemen II yang mengatur bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 21 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Indonesia meratifikasi KHA, kemudian diikuti ratifikasi instrumen-instrumen hukum HAM 75 internasional yang lain, seperti: 1. Minimum Age Convention, 1973 (No. 138) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 2. Worst Forms of Child Labour Convention, 1999 (No. 182) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 200076 Sementara itu, upaya mengatur materi pemajuan dan perlindungan hak asasi anak melalui undangundang juga dilakukan, meskipun tidak secara progresif, tersistematis, dan harmonis. Bahkan secara substantif banyak ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada bertentangan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrument Hukum HAM yang ada. Seperti telah diuraikan di atas, pembuatan undang-undang tersebut tidak terlepas dari politik HAM secara umum. UUD 1945 sebagai sumber hukum formil tertinggi akan mendelegasikan kepada undang-undang. Hal ini timbul karena konstruksi pemikiran mengenai HAM dalam UUD 1945 adalah konstitusi menetapkan negara yang akan memberikan HAM kepada warga negaranya.77 Sebagai contoh, yakni Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang membuat atribusi kepada undang-undang untuk menetapkan lebih lanjut penegakan dan perlindungan HAM sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis. Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks di atas, terdapat 2 (dua) periodesasi pengembangan sistem hukum Indonesia yang materi muatannya mengatur permasalahan anak dan mentautkan dengan permasalahan anak. yakni : (i) setelah ratifikasi KHA;78 dan (ii) amandemen UUD 1945.79 Kemudian, terkait dengan materi muatannya pembangunan sistem hukum sesuai dengan periodesasi di atas dapat dikategorisasi menjadi 3 (tiga), yakni : 1. Undang-undang yang materi muatannya mengatur hak asasi anak secara sui generis80 lihat pada table 3; 75 Instrumen hukum HAM internasional yang mengatur hak asasi anak yang belum diratifikasi sebagai berikut : (i) Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography (CRCOPSC); dan (ii) Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict (CRC-OPAC) 76 Terkait dengan perlindungan anak yang dipekerjakan, Negera Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO sebagai berikut : The Abolition Of Forced Labour, 1957 (No. 105) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999; dan Labour Inspection In Industry And Commerce diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003. Lihat catatan kaki no. 29 77 Koesnadi Hardjasoemantri, et.al., AMANDEMEN UUD 1945 MENUJU INDONESIA YANG DEMOKRATIS : Usulan Masyarakat Transparansi Indonesia tentang Perubahan UUD 1945, Jakarta, MASYARAKAT TRANSPARANSI INDONESIA, 1999, hal. 56 78 Pengundangan ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 pada 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 menjadi titik awal untuk mengeksaminasi implementasi Negara Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi anak melalui produk peraturan perundang-undangan, anggaran public, dan upaya administrasi. Kewajiban hukum ini merupakan madat dari Pasal 4 Convention on the Rights of the Child,1989. Prinsip fundamental dalam mentransformasi hak hukum internasional anak menjadi hak hukum nasional adalah prinsip kesesuaian dengan prinsipprinsip dan norma-norma yang terkandung dalam konvensi. 79 Amandemen II UUD 1945 yang mengatur hak asasi anak secara expressive verbis yakni Pasal 28 ayat (2) pada tanggal 18 Agustus 2000, menjadi momentum untuk menilai sejauhmana ketentuan pasal ini dielaborasi lebih jauh melalui undangundang. 80 Sui generis dalam term hukum dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu klasifikasi hukum yang keberadaannya mandiri sebab ia spesifik dan khas. Atau suatu hak yang diciptakan secara spesifik dari suatu keberhakan atau kewajiban. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Sui_generis Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 22 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 2. Undang-undang yang materi muatannya bertautan antara hak asasi anak dengan HAM pada umumnya lihat pada tabel 4; 3. Undang-undang yang materi muatannya mempunyai dampak terhadap kepentingan dan permasalahan anak-anak lihat pada tabel 5. Keseluruhan produk undang-undang tersebut dan keterkaitannya dengan KHA nampak pada tabeltabel di bawah ini. Ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997 UU Nomor 23 Tahun 2002 Materi Periode Kaitan dengan KHA Pengadilan Anak Setelah ratifikasi KHA Pasal 3, Pasal 4, Pasal 40 Perlindungan Anak Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Pasal 4 , Pasal 18 Tabel 3 : Undang-Undang yang sui generis mengatur hak asasi anak Ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 UU Nomor 26 Tahun 2000 UU Nomor 23 Tahun 2004 UU Nomor 27 Tahun 2004 UU Nomor 13 Tahun 2006 UU Nomor 21 Tahun 2007 Materi Periode Kaitan dengan KHA Hak Asasi Manusia Setelah ratifikasi KHA Pasal 4 Pengadilan Hak Asasi Manusia Kekerasan Dalam Rumah Tangga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Perlindungan Saksi dan Korban Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Pasal 4, Pasal 39, Pasal 40 Pasal 4, Pasal 19, Pasal 28 (2), dan 37, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 39, Pasal 40 Pasal 4, Pasal 12, Pasal 40 Pasal 4, Pasal, 19, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 Tabel 4 : Undang-Undang yang materi muatanya materi muatannya bertautan antara hak asasi anak dengan HAM pada umumnya. Ketentuan UU Nomor 4 Tahun 1992 UU Nomor 23 Tahun 1992 UU Nomor 24 Tahun 1992 UU Nomor 12 Tahun 1995 UU Nomor 7 Tahun 1996 Materi Periode Perumahan dan Permukiman Setelah ratifikasi KHA Kesehatan Setelah ratifikasi KHA Penataan Ruang Setelah ratifikasi KHA Pemasyarakatan Setelah ratifikasi KHA Pangan Setelah ratifikasi KHA Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia Kaitan dengan KHA Pasal 4, Pasal 24, Pasal 27 Pasal 4, Pasal 24, Pasal 27 Pasal 4, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 4, Pasal 40 Pasal 4, Pasal 6, Pasal 24, Pasal 27 23 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak UU Nomor 4 Tahun 1997 UU Nomor 5 Tahun 1997 UU Nomor 22 Tahun 1997 UU Nomor 9 Tahun 1998 Penyandang Cacat Setelah ratifikasi KHA Pasal 4, Pasal 23 Psikotropika Setelah ratifikasi KHA Pasal 4, Pasal 33 Narkotika Setelah ratifikasi KHA Pasal 4, Pasal 33 Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Setelah ratifikasi KHA UU Nomor 8 Tahun 1999 UU Nomor 40 Tahun 1999 UU Nomor 25 Tahun 2000 UU Nomor 2 Tahun 2002 UU Nomor 20 Tahun 2002 UU Nomor 31 Tahun 2002 Perlindungan Konsumen Setelah ratifikasi KHA Pers Setelah ratifikasi KHA Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 Pasal 4, Pasal 6, Pasal 24 Pasal 4, Pasal 17 Program Pembangunan Nasional (Propenas) Kepolisian Negara Republik Indonesia Ketenagalistrikan81 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 UU Nomor 13 Tahun 2003 UU Nomor 12 Tahun 2003 UU Nomor 17 Tahun 2003 UU Nomor 18 Tahun 2003 UU Nomor 20 Tahun 2003 UU Nomor 23 Tahun 2003 UU Nomor 4 Tahun 2004 Ketenagakerjaan UU Nomor 5 Tahun 2004 UU Nomor 7 Tahun 2004 UU Nomor 8 Tahun 2004 UU Nomor 16 Tahun Partai Politik Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD Keuangan Negara Advokat Sistem Pendidikan Nasional Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Perubahan atas UU nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman Perubahan Atas UU Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Sumber Daya Air Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Kejaksaan Republik Indonesia Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Pasal 4, Pasal 26 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 40 Pasal 4, Pasal 6, Pasal 24, Pasal 28 Pasal 2, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 Pasal 4, Pasal 32, Pasal 36 Pasal 3, Pasal 4 Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 40 Pasal 4, Pasal 28, Pasal 29 Pasal 3, Pasal 4 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 40 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 40 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Pasal 4, Pasal 6, Pasal 24, Pasal 27 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 40 Setelah ratifikasi KHA dan Pasal 3, Pasal 4, 81 Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Mengikat, berdasarkan Keputusan M.K. Dalam Perkara No. 001/PUU-I/2003 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 24 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 2004 UU Nomor 25 Tahun 2004 UU Nomor 27 Tahun 2004 UU Nomor 29 Tahun 2004 UU Nomor 32 Tahun 2004 UU Nomor 40 Tahun 2004 UU Nomor 14 Tahun 2005 UU Nomor 12 Tahun 2006 UU Nomor 23 Tahun 2006 UU Nomor 25 Tahun 2007 UU Nomor 40 Tahun 2007 UU Nomor 32 Tahun 2009 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 82 Praktik Kedokteran Pemerintah Daerah Sistem Jaminan Sosial Guru dan Dosen Kewarganegaraan Republik Indonesia Administrasi Kependudukan Penanaman Modal Perseroan Terbatas Pengelolaan Lingkungan Hidup amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Setelah ratifikasi KHA dan amandemen II UUD 1945 Pasal 40 Pasal 3, Pasal 4 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39 Pasal 4, Pasal 24 Pasal 3, Pasal 4 Pasal 4, Pasal 26 Pasal 4, Pasal 28, Pasal 29 Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8 Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8 Pasal 3, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 36, Pasal 4, Pasal 32, Pasal 36 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 24, Pasal 27 Tabel 5: Undang-Undang yang materi muatanya materi muatannya mempunyai dampak terhadap kepentingan dan permasalahan anak-anak Hal yang bisa menjadi catatan penting di sini apakah keseluruhan produk undang-undang di atas konsistenan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA yang menjadi referensinya? Pertanyaan ini mengemuka karena referensi yang seharusnya menjadi rujukan, yakni Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, tidak dapat dijadikan sandaran hukum untuk membuat undang-undang. Hal ini berdampak pada substansi peraturan perundang-undangan tersebut tidak berpihak pada perlindungan dan pemenuhan hak anak yang spesifik. Situasi ini dapat terjadi karena berdasarkan teori ilmu perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajat kedudukan hukumnya tidak dapat dijadikan rujukan oleh peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat hirarkis lebih tinggi. Hal ini juga sesuai dengan asas-asas hukum jika terjadi kontradiksi normatif antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, yakni asas lex superior derogate lege inferiori, bukan sebaliknya. Ini berarti ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden berimplikasi terhadap upaya adopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA ke dalam undang-undang. Sehubungan dengan hal ini, Negara Indonesia dapat dikatakan Negara telah membatasi anak-anak untuk menikmati hak-haknya melalui pemberian landasan hukum ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden. Dengan kata lain, secara hukum Negara Indonesia telah melanggar kewajiban hukum yang terbit dari perjanjian internasional yang diratifikasinya. Kewajiban ini secara expresive verbis telah dirumuskan dalam Pasal 4 KHA di mana negara diwajibkan mengambil langkah-langkah yang 82 Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Mengikat oleh Putusan MK No.006/PUU-IV/2006 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 25 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak menjadi kewenangan atributifnya. Melalui kewenangannya tersebut, negara harus mengambil semua langkah legislatif, administrasi, dan langkah lain yang tepat.83 Lebih jauh, berdasarkan ketentuan Pasal 4 KHA , tindakan-tindakan yang menjadi acuan bagi implementasi tersebut meliputi 84: 1. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ; 2. Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hakhak anak ; 3. Pengalokasian dan analisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak. Untuk melihat sejauhmana implementasi KHA ke dalam hukum nasional, terdapat 3 (tiga) komponen sistem HAM untuk menganalisis, upaya tersebut, yakni : 85 1. Pertama, semua kategori HAM didasarkan pada ketentuan standar dasar yang menjamin kehidupan manusia. Di sisi lain secara legitimasi seluruh anggota komunitas memiliki hak untuk mengajukan tuntutan kepada negara untuk memenuhi hak-haknya. 2. Kedua, permasalahan HAM mempertautkan relasi antara individu/kelompok dengan negara. HAM memberikan legitimasi kepada setiap orang untuk menuntut negara yang melalaikan kewajibannya. 3. Ketiga, HAM mempunyai dimensi hukum dan mekanisme lain bagi korban pelanggaran HAM untuk menuntut negara agar melaksanakan kewajibannya. Jika mengacu pada batasan-batasan yang ada, maka pemberian landasan hukum ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden tidak dapat memberikan jaminan dan sandaran hukum yang kuat bagi bagi pemajuan hak-hak asasi anak. Legislasi nasional sebagai salah satu upaya agar KHA bisa ditegakkan terhambat karena faktor pemberian landasan hukum yang tidak tepat. Oleh karenanya kontradiksi substansi yang terjadi berdampak semakin menjauhkan anak-anak dapat menikmati hak asasinya secara penuh. Kegagalan serupa dapat juga dilihat pada lingkup pelaksanaan kewajiban untuk memenuhi HAM yang dikategorikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kegagalan ini bersumber pada politik kebijakan anggaran public yang dijalankan pleh Negara. Dalam hal ini, Negara berdalih bahwa kegagalan tersebut karena keterbatasan sumber daya yang ada. Pada hal General Comment CESCR No. 3, 1990, On The Nature of States Obligations, Pasal 2 telah menetapkan bahwa konsep realisasi progresif86 memiliki batas-batas. Dalam masalah halangan sumber daya, Negara harus menjamin sedikitnya tingkat minimal dari setiap hak untuk dipenuhi.87 Kedua kondisi di atas pada akhirnya berdampak pada terhambatnya realisasi penuh hak-hak asasi anak sebagaimana telah dijamin dalam instrumen hukum HAM internasional. Atas kegagalan ini, Negara Indonesia sebenarnya tidak boleh 83 Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on The Rightd of the Child, UNICEF, 1998, Geneva, Switzerland, Atar SA, hal. 51 84 Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook, op.cit, hal. 57 – 67 85 Rolf Kunnemann dan Sandra Epal-Ratjen, The Right to Food : A Resource Manual for NGO’S, HURIDOCS, 2004, hal. 23 – 24 86 Paragraf kedua, Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Ekonomi menyatakan : “Tiap Negara Peserta … melaksanakan langkah-langkah … sampai tingkat maksimum dari sumber-sumbernya yang tersedia …secara progresif realisasi penuh hak-hak yang dinyatakan dalam kovenan ini dengan segala cara yang memungkinkan…”. Lihat Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Insist Press, 2003, hal. 28 87 Allan McChesney, ibid, hal. 29 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 26 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak mengemukakan dalih bahwa ketentuan-ketentuan hukum nasional menjadi justifikasi atas kegagalannya melaksanakan kewajiban yang dimandatkan oleh KHA.88 Kondisi-kondisi di atas menunjukkan, bangunan sistem hukum Indonesia tidak secara utuh mampu menciptakan aturan yang berpihak pada anak, yakni memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA . Situasi ini berbeda dengan sistem hukum HAM internasional yang secara harmonis dan sinergis dalammemberikan perlindungan terhadap hak anak. Setiap instrument hukum HAM internasional saling melengkapi sehingga terwujud universalitas (universality), kesalingterkaitan (interdependent), dan ketidakterpisahan (indivisible) satu sama lain. KHA hadir untuk melengkapi instrumen hukum HAM internasional yang belum secara paripurna menjawab kebutuhan anak yang sangat spesifik dan unik. Keharmonisan dan kesinergisan instrument HAM yang ada dalam memberikan perlindungan kepada anak dapat dideskripsikan melalui ragaan di bawah ini. Keterangan : KHA ICCPR, ICESCR, CEDAW, CERD, CAT, ICRMW UDHAR Gambar 3: Sistem Hukum HAM Internasional yang melindungi hak asasi anak secara utuh dan harmonis Hal ini berbeda dengan situasi sistem hukum Indonesia yang seringkali berkontradiksi materi muatannya antara undang-undang yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan pembuat undangundang baik eksekutif maupun legislative tidak memahami prinsip-prinsip dan norma-norma KHA yang semestinya ditransformasikan menjadi norma hukum positif sebagaimana dimandatkan Pasal 4 KHA. Namun realita yang terjadi Negara Indonesia gagal untuk menerapkan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA secara utuh dan menyeluruh dalam melakukan reformasi hukum dan kebijakan. Kegagalan mengimplementasikan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam produk legislasi dapat digambarkan melalui ragaan diagram ven di bawah ini. 88 Lihat Pasal 27 Konvensi Wina 1969, tentang Perjanjian Internasional Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 27 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak UU KDRT UU PTPO UU Pengadilan HAM UU yang lain UUPA UU KKR UU HAM UU PS&K Gambar 4 : Sistem Hukum Indonesia yang belum berpihak kepada anak secara utuh dan harmonis Semestinya pembuat undang-undang dalam menyusun norma hukum yang terkait dengan hak anak atau kepentingan anak harus memperhatikan anak sebagai subyek hak (rights holders) dan Negara sebagai pengemban tugas (duties barriers). Baru setelah itu, menyusun ketentuan dari sudut pandang subyek yang diatur. Di samping itu, pengaturan susunan suatu undang-undang selalu diharuskan bersifat fungsional. Artinya, pembuat undang-undang harus selalu mengacu kepada kebutuhan untuk memenuhi tujuan atau untuk mencapai maksud dan tujuan yang secara garis besar telah dirumuskan.89 Oleh sebab itu, perlu upaya untuk menaikkan derajat norma perlindungan anak menjadi norma konstitusi. Konstitusionalisasi norma hukum perlindungan anak dalam UUD 1945 maka setiap produk undang-undang yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif harus mengacu pada norma konstitusi90. Dengan demikian dapat tercipta harmonisasi undang-undang yang mengatur anak sebagai subyek hak yang diatur dalam undang-undang tersebut. b. Kedudukan Hukum Ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 dalam Pendekatan Teori Stuffenbau des Rechts Hans Kelsen Dalam proses transformasi hak asasi anak dari hak hukum internasional menjadi hak hukum nasional semestinya memperkuat jaminan hak asasi mereka, bukan malah melemahkan. Mengakui eksistensi hak anak berari mengakui keterkaitan antara HAM dan hak-hak warga Negara sebagai berikut, hak-hak yang berlandaskan secara moral ditransformasikan ke dalam hak-hak dapat dituntut secara yuridis sekaligus menjadi hak konstitusional. Keterkaitan ini merupakan sebuah model legitimasi demokratis dalam mentransformasi ketentuan KHA.91 Dalam konteks ratifikasi KHA, seperti telah diuraikan di atas, reduksi di awali pada saat meratifikasi instrumen hak asasi internasional tersebut. Reservasi menjadi alat pertama reduksi nilai-nilai universalisme HAM. 89 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal.236 Mengadopsi pemikiran Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 91 Albrecht Wellmer, HAM dan Demokrasi, dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op.cit., hal. 294-295 90 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 28 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Reduksi tersebut terus berlanjut manakala proses transformasi hukum tersebut ditanggapi berbeda oleh pemilik otoritas. Proses legislasi nilai-nilai universalisme bias jadi dikalahkan oleh pertarungan kepentingan demi menjaga status quo. Di titik ini pertentangan nilai universal HAM dibenturkan dengan nilai-nilai relativisme dan keterbatasan sumber daya. Kasus ratifikasi KHA paling tidak menggambarkan dengan gamblang bagaimana politik HAM Negara mendiskriminasi penikmatan penuh hak asasi anak-anak. Politik HAM yang diskriminatif tersebut nampak pada : 1. Substansi Convention on the Rights of the Child,1989 yang direduksi melalui reservasi, meskipun pada 2005 telah ditarik oleh Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri; 2. Pemberian landasan hukum ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 melalui Keputusan Presiden Pemberian landasan hukum melului Keputusan Presiden dalam meratifikasi KHA menunjukkan bahwa permasalan hak asasi anak dianggap menjadi permasalahan pinggiran. Padahal jika merujuk pada materi muatannya perihal hak asasi anak semestinya ratifikasi KHA diberi landasan hukum berupa undang-undang. Secara konseptual setiap undang-undang (statute) dapat berisi ketentuan (provision) yang bersifat mandatori (mandatory provision) atau yang bersifat direktori (directory provision). Ketentuan yang bersifat mandatori harus ditaati secara tepat atau mutlak, sedangkan ketentuan yang hanya bersifat direktori dipandang sudah cukup jika ditaati secara substansial. Ciri membedakan kedua jenis ketentuan ini adalah menciptakan hak dan kewajiban (the creation of rights and obligation). Jika suatu undang-undang melahirkan hak dan kewajiban dengan menentukan cara keduanya dilaksanakan (enforcement) maka ketentuan yang demikian dianggap bersifat mandatori dan pembentuknya menginginkan agar pemenuhan atas ketentuan demikian dijadikan sebagai hal yang pokok dalam rangka pemberlakuan undang-undang yang bersangkutan. 92 Konsep ini sesuai dengan pendekatan berbasis HAM (rights-based approach) yang secara normatif berbasis pada standar-standar HAM. Pendekatan ini mendorong terjadinya integrasi norma, standar, dan prinsip dari sistem hukum HAM internasional ke dalam tataran hukum domestik.93 Dalam hal ini, hukum HAM membagi secara diametral antara pemegang hak (rights-holders) yakni semua warga Negara dan pengemban tugas (duty-bearers), yakni Negara. Bahkan Negara dikatakan sebagai penyandang tugas utama (principal duty-bearers). Kewajiban Negara untuk memberikan landasan hukum berupa undang-undang terhadap perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal ini menetapkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang antara lain berkenaan dengan HAM, lingkungan hidup, dan pembentukan kaidah hukum baru. Kewajiban serupa untuk menjadikan HAM sebagai materi muatan undang-undang dapat terbaca pada Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2004. Pasal ini menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: (1) hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga Negara, …(5) kewarganegaraan dan kependudukan. Hak asasi anak jelas merupakan bagian dari HAM dan sekaligus merupakan kaidah hukum positif baru melalui proses transformasi. Oleh karenanya ratifikasi KHA memenuhi kualifikasi untuk diberi landasan hukum melalui undang-undang. Hal ini juga ada kaitannya dengan adanya materi-materi tertentu yang bersifat khusus yang mutlak hanya dapat 92 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal. 28-29 Cecilia Ljungman, Applying A Rights-Based Approuch to Development : Concepts and Principles, Sage Publication, New Delhi, 2005 93 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 29 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak dituangkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu materi tersebut adalah pengesahan perjanjian internasional.94 Keputusan Presiden yang menjadi landasan hukum ratifikasi KHA mengandung problematika hukum yang serius yang justru bersumber pada bentuk formilnya. Keputusan Presiden secara konseptual dikategorikan sebagai produk hukum yang tidak bersifat mengatur (regeling), melainkan hanya menetapkan atau penetapan (beschikking) yang karenanya tidak dapat disebut sebagai peraturan. Produk yang bersifat penetapan dapat disebut sebagai Ketetapan atau Keputusan yang tidak berisi aturan. Isinya tidak boleh mengandung materi normatif yang bersifat pengaturan dan karena itu, tidak dapat disebut sebagai peraturan (legislations/regulation).95 Keputusan Presiden yang memberikan eksistensi hukum KHA dalam perspektif stufenbau theorie des recht yang dikembangkan oleh Hans Kelsen tentu tidak tepat. Menurut ajaran Hans Kelsen, hirarki norma hukum terdiri atas: 1. norma dasar (fundamental norms); 2. norma umum (general norms); dan 3. norma konkret (concrete norms). Fundamental norms terdapat dalam konstitusi, general norms terdapat dalam undang-undang (statute/legislative acts), sedangkan concrete norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) dan keputusan pejabat administrasi Negara.96 Teori Stufenbau des Rechts pada prinsipnya menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu hirarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).97 Kemudian, Hans Nawiasky, mengembangkan teori Stufenbau des Rechts dengan membagi norma hukum suatu Negara menjadi 4 (empat) kelompok yakni: 1. staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara); 2. staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara); 3. formell gesetz (undang-undang formal); dan 4. verordnung & autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).98 Sementara Keputusan Presiden karena bukan termasuk produk hukum yang bersifat mengatur, maka Keputusan Presiden tidak dapat dimasukkan ke dalam pengertian norma hukum yang diajarkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Maksud norm dalam kedua teori di atas adalah norma yang bersifat khusus yaitu norma hukum yang mengatur dan bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus menerus (dauerhaftig). Sedangkan, Keputusan Presiden bersifat einmalig, yakni penetapan (beschikking) di mana sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai.99 Kedua 94 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op.cit. hal. 213 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 20 96 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 38 97 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hal. 25. Hans Kelsen mengungkapkan 2 (dua) gagasan mengenai grundnorm yaitu : (i) grundnorm dalam kerangka teori asalnya sumber hukum; dan (ii) grundnorm dalam pemahaman teori jenjang tata hukum. Lihat Jazim Hamidi, op. cit, hal. 57 98 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 27 99 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 51 95 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 30 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak teori ini jika disandingkan dengan bangunan sistem hukum Indonesia tergambar seperti di bawah ini. 100 Gambar 5 : Hirarki norma hukum berdasar teori Stuffenbau Teori hirarki dari Kelsen sebenarnya diilhami oleh Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum mempunyai 2 (dua) wajah (das doppelte rechtsantlitz), yakni suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber norma hukum di bawahnya. Oleh karena itu. Suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif bergantung pada masa berlaku norma hukum yang menjadi sandaran di atasnya. Apabila norma hukum yang menjadi sandarannya dicabut atau dihapus maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.101 Teori Adolf Merkl dapat digambarkan di bawah ini.102 100 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 38 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan,op. cit. hal. 25-26 102 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 36 101 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 31 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Gambar 6 : Wajah 2 (dua) norma hukum dari Adolf Merkl Keputusan Presiden tentu sulit diletakkan dalam kerangka teori ini karena dalam praktik ketatanegaraan Indonesia Keputusan Presiden memiliki 2 (dua) fungsi, yakni fungsi atributif dari UUD 1945 sehingga bersifat mandiri atau merupakan peraturan delegasian dari peraturan perundang-undangan di atasnya.103 Dalam praktik ketatanegaraan sebelum dikeluarkan UU Nomor 10 Tahun 2004, Keputusan Presiden merupakan bentuk peraturan yang bisa mengatur dan bisa pula mandiri. Kemandirian Keputusan Presiden tersebut dimaknai bahwa Keputusan Presiden tidak terikat peraturan di atasnya. Akibatnya seringkali Keputusan Presiden mengatur sesuatu yang seharusnya diatur oleh undang-undang, misalnya pelaksanaan Pasal 33 UUD 45.104 Praktik-pratik di atas memang bersumber pada ambigiutas materi yang diatur dalam Keputusan Presiden itu yang tidak dapat dibedakan secara jelas antara materi yang bersifat mengatur atau regulatif (regeling) dengan materi yang bersifat penetapan administratif biasa (beschikking) seperti misalnya Keputusan Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat, Keputusan Presiden mengenai pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya.105 Bedasarkan hal ini, jika melihat konsideran Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan KHA, yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, maka Keputusan Presiden ini bersifat mandiri. Kemandirian norma hukum tidak dikenal dalam teori Adolf Merkl karena setiap norma 103 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 117 Sri Soemantri menanggapi pernyataan anggota DPR RI Albert Hasibuan mengenai perlunya penyempurnaan Ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/28/0010.html 105 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, op. cit, hal. 25-26 104 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 32 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak hukum harus mempunyai sandaran hukum. Dengan demikian Keputusan Presiden yang melandasi ratifikasi KHA di luar kelaziman teori-teori di atas. Dalam konteks bangunan sistem hukum Indonesia, teori Stufenbau nampak pada: Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia; 2. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan; dan 3. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.106 1. Ketiga produk hukum ini berbeda-beda dalam menentukan hirarki peraturan perundangundangan dalam sistem hukum Indonesia. Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dalam Lampiran II menetapkan tata urutan peraturan perundangan menurut UUD 1945 sebagai berikut : 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden, dan 6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti : a. Peraturan Menteri; b. Instruksi Menteri; c. dll107 Kemudian, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 menentukan bahwa tata urutan peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah : 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah. Berdasarkan kedua Ketatapan MPR/S di atas jika dikerangkakan berdasarkan teori Stufenbau Hans Kelsen maka tergambarkan hirarki sistem hukum Indonesia sebagai berikut :108 106 107 108 Lihat Jazim Hamidi, loc. cit, hal. 57 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, op. cit, hal. 47 Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid , hal. 55 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 33 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Gambar 7 : Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan 2 (dua) Ketetapan MPR/S tentang tata urutan peraturan perundangundangan Melihat gambar di atas, jika merujuk teori Stufenbau, nampak terlihat bagaimana kedudukan Keputusan Presiden pada tata urutan perundang-undangan berdasar pada 2 (dua) Ketetapan MPR/S di atas. Artinya, Keputusan Presiden berlaku jika dan hanya jika bersumber dan berdasar pada norma hukum yang mempunyai kedudukan lebih tinggi/atas darinya. Artinya Keputusan Presiden tidak boleh berdiri sendiri tanpa merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Sementara jika mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Keputusan Presiden dihapus sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan. Pasal 7 dari undang-undang ini menetapkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia meliputi : 1. UUD 1945 2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturam Daerah Berangkat dari ketentuan di atas, berikut ini akan digambarkan hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia, di mana eksistensi hukum Keputusan Presiden ditiadakan. Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 34 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak UUD 1945 UU/Perpu Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Gambar 8 : Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasar UU No. 10 Tahun 2004 Eksistensi hukum Keputusan Presiden sebagai landasan hukum ratifikasi KHA masih terdapat dalam kedua Ketetapan MPR di atas. Namun pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, eksistensi hukum Keputusan Presiden dalam hirarki peraturan perundang-udangan tidak lagi diakui. Lebih jauh, sandaran hukum bagi ratifikasi KHA berdasar Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, yakni 2 (dua) Ketetapan MPR yakni Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan, sudah tidak berlaku.109 Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.110 Sedangkan, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan karena materi muatannya telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan 109 Penghapusan Ketetapan MPR sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan karena MPR hasil Pemilu Umum 2004 dengan dasar UUD 1945 Amandemen IV tidak lagi berwenang menetapkan garis-garis besar haluan Negara dan ketetapan-ketetpan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum. Menurut UUD 1945 Amandemen IV Pasal 3 jo Pasal 8 jo Pasal 37, MPR hanya memiliki 4 (empat) kewenangan, yaitu : (i) mengubah dan menetapkan undangundang dasar; (ii) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; (iii) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi lowongan jabatan; dan (iv) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, op.cit. hal 52 110 Pasal 7 menyatakan bahwa : Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 35 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Perundang-Undangan, maka Ketetapan MPR ini sudah tidak berlaku lagi.111 Ketidakberlakuan Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 ini, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR than 1960 sampai dengan Tahun 2002. Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, menentukan Ketetapan MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, di mana salah satu diantaranya adalah Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000.112 Dengan demikian timbul permasalahan di manakah letak eksistensi Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 yang meratifikasi KHA. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil 2 (dua) kesimpulan sebagai berikut: 1. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 sebagai landasan hukum eksistensi ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 sudah tidak mempunyai sandaran hukumnya lagi karena Keputusan Presiden menurut Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sudah tidak diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur; 2. Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan yang memuat eksistensi hukum Ketetapan Presiden sudah dinyatakan tidak berlaku lagi; c. Menyoal Landasan Hukum Ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 Pembangunan Sistem Hukum Indonesia dalam Setiap hak memberikan basis rasional bagi suatu tuntutan yang dibenarkan untuk mendapatkan kepemilikannya secara aktual. Satu hak tidak menghasilkan satu tuntutan bahwa orang tersebut dikatakan berhak memiliki sesuatu. Atau orang tersebut dijanjikan akan memiliki sesuatu. Isi dari sebuah hak apapun haknya adalah hak untuk memiliki sesuatu yang menjadi haknya. Satu hak bukanlah hak untuk memiliki satu hak, namun juga hak untuk memiliki sesuatu yang lain. Dengan demikian satu klaim/tuntutan bisa dan bisa tidak menjadi satu langkah awal menuju pemenuhan hak-hak yang sudah diatur dalam instrument hukum.113 Kemudian, terkait dengan jaminan hak secara sosial merupakan aspek yang paling penting menyangkut satu hak standar karena aspek inilah yang menimbulkan kewajiban korelatif. Satu hak lazimnya merupakan satu tuntutan yang dibenarkan agar orang lain menyediakan fasilitas sehingga seseorang akan tetap memiliki substansi dari hak tersebut. Lebih jauh, suatu hak telah dijamin hanya manakala sudah dibuat pengaturan-pengaturan bagi orang-orang yang berhak untuk memiliki hak itu. Karena memang sebuah hak belum terpenuhi sampai pengaturan-pengaturan tersebut de facto sudah ada bagi orang agar memiliki apa saja yang menjadi hak mereka. Lazimnya, pengaturan-pengaturan tersebut itu berupa peraturan perundang-undangan yang membuat hak-hak itu menjadi legal dan sekaligus moral.114 Pemahaman mengenai hak-hak dasar merupakan kewajiban moralitas karena sesungguhnya bertujuan untuk memberikan perlindungan minimal terhadap ketidakberdayaan total bagi orangorang yang terlalu lemah untuk melindungi diri mereka sendiri. Hak-hak dasar adalah sebuah perisai 111 Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op.cit., hal. 63 Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid., hal. 59 113 Henry Shue, Keamanan dan Subsistensi, dalam HAM : Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, Maumere, Ledalero, 2002, hal. 269 114 Henry Shue, Keamanan dan Subsistensi, ibid, hal. 270 112 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 36 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak bagi orang-orang yang tidak berdaya sekurang-kurangnya terhadap beberapa ancaman hidup yang berciri lebih menghancurkan. Di samping itu, hak-hak dasar adalah satu pengendalian terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik, yang apabila tidak dikendalikan maka akan menjadi terlalu kuat untuk dilawan. Hak-hak dasar merupakan sebuah jaminan sosial untuk melawan berbagai perampasan hak, apakah potensial atau faktual, atas sekurang-kurangnya beberapa kebutuhan tertentu. Hak-hak dasar juga suatu upaya untuk memberikan kepada kelompok tidak berdaya satu veto atas beberapa kekuatan yang justru akan mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi dirinya. Singkatnya hak-hak dasar merupakan moralitas kedalaman yang menentukan garis terbawah di mana tak seorang pun diperbolehkan untuk lebih terperosok dan tenggelam.115 Dari perspektif pemajuan dan perlindungan HAM, aksentuasi pemenuhan hak-hak dasar di atas dapat dikerangkakan dalam konsep penghapusan terhadap tindakan diskriminasi (elimininating of all forms discrimination). Komite Hak Asasi Manusia (The Human Rights Committee), melalui Komentar Umum Nomor (General Comment) No. 18 menekankan bahwa prinsip non diskriminasi, kesajajaran di muka hukum, dan kesamaan perlindungan oleh hukum merupakan karakteristik umum dan mendasar bagi pemajuan dan penikmatan HAM. Kemudian mengutip Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination dan Pasal 1 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, diskriminasi dimaknai oleh Komite Hak Asasi Manusia. sebagai : “Setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pengistimewaan apapun berdasarkan alasan seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan kepercayaan, keyakinan politik, asal usul kebangsaan atau social, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya yang mempunyai tujuan atau pengaruh untuk meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan, atau pemenuhan semua hak dan kebebasan semua orang secara setara.”116 Dalam konteks penghapusan diskriminasi terhadap anak, Komite Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa komitmen ini ditandai dengan sejauhmana Negara telah melakukan upaya legislatif, administrasi, dan tindakan-tindakan lain untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi merupakan prinsip utama dari KHA sebagaimana diatur Pasal 2 yang menentukan : 1. Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. 2. Negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak. Pasal 2 di atas dinterpretasikan oleh Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child) dengan penekakan pada kewajiban negara untuk mencegah diskriminasi secara aktif yang mensyaratkan aspek implementasi, semua upaya termasuk tinjauan, perencanaan strategis, legislasi, pengawasan, 115 Henry Shue, Keamanan dan Subsistensi, ibid, hal. 273 Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, 1998, hal. 21 116 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 37 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak menumbuhkan kesadaran, pendidikan dan informasi, dan tindakan evaluasi yang ditujukan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan tersebut.117 Hal yang penting dari Pasal 2 KHA adalah konvensi mengadopsi pendekatan yang komprehensif. Namun yang menjadi catatan KHA tidak memberikan batasan hukum secara tegas mengenai penghapusan diskriminasi terhadap anak perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan. Prinsip umum KHA diterapkan untuk menentukan implementasi semua hak-hak asasi anak yang diabadikan dalam KHA. Hal ini dapat terbaca pada pasal-pasal yang ada yang menyatakan: setiap Negara harus menghargai dan memastikan …hak…setiap anak ….tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak…setiap Negara harus memastikan…kehidupan dan perkembangan anak…setiap Negara mengakui hak anak untuk…mencapai standar kesehatan tertinggi…dll (Lihat Pasal-Pasal 2, 6, 12, 24, 27, 28, 32, dan 34).118 Pembatasan hukum yang tidak tegas-tegas menyebutkan penghapusan diskriminasi terhadap anak perempuan dilengkapi oleh Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). CEDAW merupakan instrument hukum HAM yang secara langsung ditujukan untuk kebutuhan yang benar-benar memaksa guna mendorong bagi perbaikan status perempuan dan anak perempuan dan ditekankan bagi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap mereka. Substansi KHA dan CEDAW secara mutualis saling menguatkan prinsipprinsip untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak perempuan dan untuk mengakhiri diskriminasi berbasis gender. 119 Keterkaitan keduanya akan memperkuat upaya-upaya untuk memastikan dampak maksimal intervensi dalam penghormatan hak asasi anak perempuan.120 Dengan demikian kedua Konvensi ini memberikan kepada masyarakat sipil, Negara, dan Badan-Badan PBB dengan landasan hukum internasional yang solid untuk dijadikan pedoman bagi upaya legislasi nasional dan kebijakan sosial untuk menghasilkan keadilam gender yang berdasar pada keadilan sosial dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi keberlangsungan hidup, pengasuhan, dan perkembangan anak-anak. Lebih jauh kedua Komite menyokong inkorporasisasi/transformasi substansi kedua Konvensi ke dalam konstitusi nasional dan sekaligus juga mengimplementasikan berbagai hak yang telah dijamin kedua Konvensi melalui legislasi. Menurut Komite Hak Asasi Manusia, perlindungan dari tindakan diskriminasi diupayakan melalui tindakan afirmatif yang ditujukan untuk menghapuskan kondisi-kondisi yang melanggengkan diskriminasi sebagaimana telah dilarang oleh Kovenan.121 Kemudian Philip Alston dalam Bulletin of Human Rights memberikan komentar yang menyatakan tindakan afirmatif (affirmative action) merupakan bagian kewajiban dari Negara untuk memastikan (to ensure) penikmatan hak asasi anak yang diatur KHA.122 Tindakan afirmatif 117 Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook, ibid, hal. 22 Moushira Khatab, The Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, UN-DAW, Expert Group Meeting Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, UNICEF Innocenti Research Centre, Florence, Italy, 25-28 September 2006, hal. 4-5 119 Moushira Khatab, The Elimination of All Forms of Discrimination, ibid 120 Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, Background paper for the Expert Group Meeting, UN-DAW, Expert Group Meeting Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, UNICEF Innocenti Research Centre, Florence, Italy, 25-28 September 2006, hal. 12 121 Lihat General Comment No. 18: Non-discrimination, paragraph 5 &10 122 Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook, op.cit. hal.22 118 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 38 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak sebagai bagian dari kebijakan sosial dapat berkontribusi memperkuat efektifitas implementasi hukum penghapusan diskriminasi melalui pendelegasian kekuatan politik dan alokasi sumber daya.123 Kelompok-kelompok yang tidak berdaya yang harus diberikan perlakuan khusus dalam doktrin HAM dikenal sebagai kelompok rentan (vulnerable groups), seperti : anak-anak (children) pengungsi (refugees); pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDP’s); kelompok minoritas (national minorities); pekerja migrant (migrant workers); penduduk asli pedalaman (indigenous peoples); dan perempuan (women).124 Kerentanan ini disebabkan karena mereka merupakan kelompok sosial yang tidak popular, dan menjadi sasaran diskriminasi baik secara sosial, politik atau ekonomi sehingga akses mereka untuk mendapatkan bagian yang adil atas berbagai sumber daya atau peluang sosial yang tersedia terbatas.125 Dalam kerangka perlindungan anak, terdapat sekelompok anak yang disebut anak-anak dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP) yang mewajibkan Negara untuk memberikan perlakuan kepada mereka secara khusus. Menurut Komite Hak Anak PBB terdapat 4 (empat) kelompok anak yang termasuk kategori ini: 126 1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict); 2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi, penyalahgunaan obat (drug abuse), eksplotasi seksual, perdagangan anak (trafficking), dan ekploitasi bentuk lainnya; 3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law); 4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities). Terkait dengan hal tersebut maka konsep perlindungan anak dalam hukum HAM internasional dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 127 1. Negara harus memberikan perlindungan kepada anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi sebagai salah satu dimensi tanggung jawab Negara untuk menghargai dan memajukan, melindungi serta memenuhi HAM; 2. Negara harus menghentikan kekerasan dan melindungi anak-anak dari pelaku kekerasan yang dilakukan oleh pihak ketiga; 3. Negara juga mesti memenuhi hak-hak ekonomi, social, dan budaya anak-anak. 123 Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination, op.cit, hal. 25 Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hoesin, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku Terasing, dll) dalam Perspketif HAM, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, 2003. Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Commitee on Economic, Social, and Cultural Rights) juga menempatkan anak-anak sebagai bagian dari kelompok rentan lain yang meliputi: petani yang tidak memiliki tanah; pekerja di desa; pengangguran di desa; pengangguran di kota; kaum miskin kota; usia lanjut; dan kelompok khusus lainny. Lihat Asbjorn Eide, Hak Atas Standar Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, Elsam, 2001, hal. 108. 125 Rhoda E. Howard dan Jack Donelly, Liberalisme dan HAM: Sebuah Pertautan yang Niscaya, dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op. cit, hal. 39 126 Lihat Overview of the reporting procedured : 24/10/94 CRC/C/33. Sebangun dengan konsep hukum di atas, Vitit Muntarbhorn mengidentifikasi kelompokkelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan (children in especially difficult circumstances/ CEDC) sebagai berikut : (1) Anak-anak pedesaan; (2) Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan; (3) Anak perempuan; (4) Pekerja anak; (5) Pelacuran anak; (6) Anak-anak diffabel; (7) Anak-anak pengungsi dan tidakberkewarganegaraan; (8) Anak-anak dalam penjara; dan (9) Anak-anak korban kekerasan dan terlantar. Lihat Candra Gautama, Konvensi Hak Anak :Panduan Bagi Jurnalis , Jakarta, LSPP, 2001, hal. 6 – 10 127 Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination, op.cit, hal.21 124 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 39 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Perlindungan terhadap anak-anak menurut KHA dimaknai sebagai perlindungan dari tindak kekerasan, penyalahgunaan, dan eksploitasi. Kegagalan Negara melaksanakan kewajiban dapat dikatakan Negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak-anak. Oleh karena anak-anak dalam kategori di atas berada pada situasi sosial ekonomi berbasis masyarakat, maka intervensi kasus per kasus tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Mereka juga berada pada situasi termarjinal di luar arus utama masyarakat dan mekanisme perlindungan formal yang ada. Mekanisme formal yang ada juga mungkin tidak akan menyelesaikan permasalahan tersebut, mengingat cakupan masalah mereka demikian luas. Intervensi struktural yang luas lebih dibutuhkan untuk menyasar penyebab mendasar permasalahan anak-anak tersebut dan meniadakan marjinalisasi terhadap mereka. Intervensi struktural tersebut dengan mengajukan permasalahan mereka untuk menjangkau pelayanan yang dibutuhkan dan memungkin mereka untuk mengakses hak-hak konstitusionalnya. Intervensi struktural lokus secara eksklusif berada pada wilayah negara dan menjadi kewenangan atributif institusi-institusi Negara. Konsekuensi logisnya Negara harus mengimplementasikan semua ketentuan dari KHA, melalui pendekatan multidisiplin dakan perencanaan, pengimplementasian, dan pengevalusian program bagi anak-anak. Koordinasi diantara aparat Negara yang menyediakan layanan dan dukungan yang berbeda-beda menjadi faktor yang penting dalam rangka memajukan dan memenuhi hak asasi anak. Untuk itu, masing-masing aparat Negara tersebut harus mengenali peran masing-masing sehingga upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi anak dapat diimplementasikan.128 Apabila ditelisik lebih jauh sumber permasalahan anak-anak dalam situasi khusus adalah kemiskinan keluarga dan masyarakat setempat di mana anak hidup. Kemiskinan yang melingkupi kehidupan anak merupakan bagian integral dari permasalahan sosial ekonomi.129 Kemiskinan adalah fenomena yang multi aspek dengan dampak yang destruktif bagi kehidupan anak-anak. Hal ini menciptakan batas bagi anak-anak untuk merealisasikan seluruh hak-haknya. 130 Dalam konteks Negara Indonesia, kemiskinan yang melingkupi kehidupan 39,5 juta penduduknya,131 merupakan ancaman tersendiri terhadap kehidupan anak karena secara sosiologis anak bergantung pada lingkungan sosial terdekatnya, yakni keluarga dan masyarakat setempat. Kemiskinan yang menjadi ruang hidup adalah kondisi di luar diri anak132 yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan hak anak sebagai manusia, yang meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang.133 Di samping itu, kemiskinan juga harus 128 Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides loc.cit, Dan O'Donnell, & Dan Seymour, Child protection : A handbook for parliamentarians, Inter-Parliamentary Union, UNICE, 2004, hal. 9 130 Cassiem S; Perry H; Sadan M and Streak J, Are Poor Children Being Put First ? Child Poverty and the Budget 2000 Idasa, Cape Town 2000, viii, 2-3. 131 Data kemiskinan pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 September 2006 menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2005, berarti jumlah penduduk miskin bertambah 3,95 juta orang, dengan catatan 2,06 juta di perdesaan dan 1,89 juta di perkotaan. Lihat http://www.kompas.com/kompascetak/0609/14/opini/2953305.htm 132 Merujuk pada Mukadimah KHA dinyatakan bahwa keluarga sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya terutama anak-anak, harus diberikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung jawabnya di dalam masyarakat ; anak untuk perkembangan kepribadian sepenuhnya yang penuh dan serasi harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan , cinta, dan pengertian 133 Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan orang tua si anak yang mengakibatkan anak tidak terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan hak dasar dan kebutuhan anak. Kemiskinan 129 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 40 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak didasarkan pada tiadanya akses terhadap pangan, air, dan tempat tinggal dalam kualitas dan kuantitas yang memungkinkan mereka untuk hidup sehat. Indikator yang berdasarkan pada nilai ekonomis tidak mampu menangkap indikator kemiskinan hidup yang akan membebani generasi yang akan mendatang, berupa ancaman-ancaman terhadap kelangsungan hidup.134 Dengan demikian kemiskinan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak karena kemiskinan mendorong anakanak berkontribusi untuk tetap menjaga kehidupan keluarga tetap dapat berlangsung.135 Pada akhirnya anak-anak terpaksa harus berhadapan dengan pihak-pihak ketiga, baik perorangan, institusi sosial, institusi Negara, dan korporasi, yang berpotensi mengancam kehidupan mereka. Kondisi-kondisi di atas sudah semestinya menjadi pertimbangan utama untuk mengkonstruksi kerangka hukum dan sistem hukum Indonesia yang menjamin pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak. Namun hal tersebut tidak akan tercapai, apabila tidak dilakukan harmonisasi sistem hukum Indonesia agar sesuai dengan standar instrument hukum HAM internasional yang telah diratifikasi. Secara konseptual hukum perjanjian internasional sulit ditegakkan apabila substansi hukum ini tidak ditransformasi ke dalam sistem hukum nasional. Hal ini disebabkan karena 2 (dua) sistem hukum ini mempunyai prosedur perlindungan yang berbeda.136 Hukum HAM internasional bersifat melengkapi hukam HAM nasional. Relasi kedua sistem hukum ini bersifat koordinasi bukan subordinasi. d. Analisis Substantif Keppres No. 36 Tahun 1990 Momentum ratifikasi KHA pada 1990, sesungguhnya dapat dipergunakan sebagai langkah awal untuk melakukan harmonisasi substansi atau materi muatan semua peraturan perundangundangan yang dibuat sebelum ratifikasi. Sekaligus meletakan fondasi bagi konstruksi sistem hukum Indonesia untuk menerapkan prinsip dan norma KHA. Namun, pemberian landasan hukum ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 menjadi batu sandungan untuk mengkonstruksi sistem hukum yang menghormati dan melindungi hak asasi anak. Sebelum membahas lebih jauh, implikasi hukum ratifikasi KHA terhadap upaya pembangunan sistem hukum Indonesia, di bawah ini akan diuraikan substansi dari Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Uraian substansi ini bermaksud untuk melihat latar belakang mengapa Negara memilih meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden. Rumusan-rumusan pada konsideran Mengingat dari Keputusan Presiden tersebut sesungguhnya merefleksikan bagaimana sikap Negara terhadap substansi KHA. Sikap tersebut juga sekaligus merupakan manifestasi dari politik HAM Negara Indonesia. Dalam konsideran “Menimbang” huruf d nampak bahwa nilai-nilai universalitas KHA ditampik dengan dalih Negara Indonesia memiliki ketentuan tersendiri. Penolakan ini tentu tidak terlepas kaitannya dengan Politik HAM era 1990–an yang melatarbelangi ratifikasi KHA sebagaimana telah diuraikan di muka. afeksi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antar anak dengan orang tua, anak dengan kaum modal, dan anak dengan negara. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan anak yang rendah, Kemiskinan partisipasi karena adanya diskriminasi dan peminggiran pada anak-anak dari proses pengambilan keputusankeputusan. Kemiskinan identitas terjadi karena adanya pemaksaan yang caranya langsung ataupun tidak langsung tentang ideologi orang dewasa terhadap anak-anak, pada akhirnya mengakibatkan hancurnya kepecayaan diri dan kapabilitas anak. Mengadopsi Position Paper KIKIS, Sudah Saatnya Anggaran Publik Berbasis Hak-Hak Dasar Si Miskin, 2004. 134 Mengadopsi pemikiran Vandana Shiva, dalam Pemiskinan terhadap Lingkungan:, op.cit., hal. 87 135 Katarina Tomaševski, Removing obstacles in the way of the right to education, Novum Grafiska AB, Gothenburg, 2001, hal.17 136 Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination, op.cit, hal. 2 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 41 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Rumusan “Menimbang” huruf d, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang ratifikasi KHA menyatakan: “ bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut pada huruf c, sudah tercakup di dalam peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak.” Kedua sikap paternalistik penguasa yang mendasarkan pada pandangan bahwa selaku penguasa mereka diberikan legitimasi untuk mengambil keputusan bagi anak-anak berdasarkan perspektif penguasa.137 Anak-anak sebagai kelompok yang berkepentingan dan sebagai subyek yang diatur oleh KHA, tidak dilibatkan untuk berpartisipasi. Dalam wacana Negara demokratis, semestinya kepentingan anak-anak tersebut direpresentasikan oleh DPR. Keputusan Presiden ini adalah sikap politik HAM sepihak Presiden yang menisbikan peran DPR. Artinya secara tidak langsung juga meniadakan kepentingan anak-anak. Padahal anak-anak merupakan bagian integral dalam kehidupan bernegara yang memiliki hak hukum dan kepentingan politik agar hak-haknya terpenuhi. Secara substansi, materi muatan KHA semestinya diatur dengan undang-undang, artinya dengan keterlibatan DPR. Hal ini ditunjukkan dengan konvensi ketatanegaraan dalam meratifikasi instrument hukum HAM internasional yang lain menggunakan undang-undang. Tabel berikut menunjukkan ketidakkonsisten Negara Indonesia dalam meratifikasi instrument Hukum HAM Internasional utama. Instrumen Hukum HAM Utama Landasan Hukum Ratifikasi Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 Convention on the Rights of the Child,1989 Undang-Undang No. 5 Tahun, 1998 Convention on the Elimination of All Forms Discrimination against Women (CEDAW), 1979 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 Tabel 6: Ratifikasi instrumen Hukum HAM Internasional utama Periode Sebelum Amandemen UUD 1945 Titik ketidakkonsistenan tersebut terjadi pada saat Negara Indonesia meratifikasi KHA dengan menggunakan Keputusan Presiden. Ketidakkonsistenan tersebut merefleksikan sikap politik HAM Presiden terhadap upaya pemajuan hak asasi anak. Sikap politik sepihak ini ditunjukkan pada konsideran “Menimbang” huruf e, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang ratifikasi KHA yang menyatakan: “bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan Amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian dengan Negara lain, dipandang perlu mengesahkan konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden.” 137 Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis,Yogyakarta, REaD Book, 2002, hal. 483 - 485 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 42 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Pertimbangan ini merupakan justifikasi secara sepihak oleh Presiden bahwa hak asasi anak yang menjadi substansi konvensi cukup menjadi lingkup kewenangan Presiden, tanpa perlu melibatkan DPR. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Presiden pada masa itu, memberikan landasan hukum ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Terdapat 2 (dua) sebab yang melatarbelakangi tindakan tersebut: 1. Permasalahan anak-anak dianggap tidak politis; 2. Keputusan Presiden digunakan untuk menunjukkan bahwa Presiden mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding DPR; dan 3. Presiden tidak mau membagi kekuasaanya dengan DPR tatkala melakukan tindakan meratifikasi suatu perjanjian internasional. Untuk melegalkan tindakan di atas Presiden merujuk pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen. Pasal ini selalu digunakan sebagai landasan yuridis mengapa Keputusan Presiden diterbitkan. Pasal tersebut menyatakan bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Sebab kedua dan ketiga, merupakan strategi Presiden masa itu untuk memasukkan substansi suatu perjanjian internasional ke dalam ruang lingkup kekuasaan Presiden dan sekaligus membatasi intervensi DPR atas tindakannya meratifikasi perjanjian internasional. Sesungguhnya UUD 1945 mengatur bahwa ratifikasi menjadi kewenangan Presiden bersama dengan DPR. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa: ”Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan persetujuan dengan Negara lain.” Kembali ke pokok permasalahan implikasi hukum landasan hukum ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden terhadap pembangunan sistem hukum Indonesia dalam memajukan hak asasi anak. Permasalahan ini memang tidak terlepas dari keberlakuan yuridis138 Keputusan Presiden yang dilematis. Suatu norma hukum, secara yuridis dikatakan berlaku apabila norma hukum itu memenuhi kriteria-kriteria seperti: 1. Berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan teorinya Stufenbau des Recht;. 2. Ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya; 3. Ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku; dan 4. Ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwenang.139 Namun, kriteria-kriteria tersebut sulit untuk diterapkan pada Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 karena Keputusan Presiden ini bersifat mandiri atau berasal dari kewenangan atributif berdasar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Dengan mengacu pada kriteria di atas justru 138 Keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum dengan melihat pertimbangan yang bersifat teknis yuridis. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op.cit., hal. 242 139 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 43 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak kemandirian Keputusan Presiden ini bertentangan dengan keberlakuan yuridis suatu norma berdasar pada hukum yang lebih tinggi. Kemudian apabila ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden dikerangkai dengan teori Stufenbau des Recht maka dapat dipastikan setiap undang-undang tidak mencantumkan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dalam konsideran yuridis “Mengingat”. Pilihan pemberian landasan hukum ini pada akhirnya berimplikasi pada upaya legislasi nasional dalam mentransformasi prinsip dan norma universal hak asasi anak ke dalam norma hukum nasional. Secara normatif implementasi prinsip dan norma KHA ke dalam hukum domestik memang menjadi kewenangan Negara peratifikasi. Namun upaya ratifikasi tersebut semestinya memperkuat hak asasi anak secara hukum bukan melemahkannya. Nampaknya, Negara Indonesia dalam memberikan landasan hukum ratifikasi KHA tidak memperhatikan bagaimana kekuatan hukum Keputusan Presiden dan implikasi hukum terhadap eksistensi dan kekuatan hukum KHA dalam membangun sistem hukum Indonesia. Dalam hal ini, undang-undang selain derajat hukumnya lebih tinggi, undang-undang juga mempunyai kekuatan hukum lebih kuat ketimbang Keputusan Presiden. Semestinya pilihan pemberian landasan hukum ratifikasi KHA tetap berpijak pada ketentuan hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan implikasi hukum di masa yang akan datang. e. Tinjauan terhadap Konsideran Yuridis Beberapa Undang-Undang Sebagaimana telah dipaparkan di muka, konstruksi sistem hukum Indonesia sangat kentara dipengaruhi teori Stufenbau des Rechts. Bahkan sampai saat ini teori ini tetap menjadi pardigma pembangunan sistem hukum Indonesia seperti nampak pada UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan teori tersebut Keputusan Presiden yang mempunyai derajat lebih rendah tidak mungkin dirujuk oleh undang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Lebih jauh eksistensi hukum Keputusan Presiden sudah dihapus dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Keputusan Presiden dikembalikan pada fungsi asalnya yakni hanya menetapkan atau penetapan (beschikking). Paradigma dan ketentuan tersebut berimplikasi secara hukum yakni Keputusan Presiden ratifikasi KHA kemudian tidak dapat dijadikan sebagai rujukan dalam konsideran landasan yuridis suatu undang-undang. 1. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang notabene sui generis ditujukan untuk melindungi anak-anak tidak memuat ratifikasi KHA yang menjadi rujukan hukum utama dalam konsideran “Mengingat” (konsideran/landasan yuridis). Namun, undang-undang lain yang mengesahkan instrument hukum HAM internasional yang lain yang telah diratifikasi dimuat di dalamnya. Dampaknya terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a) Perluasan definisi anak yang mencakup anak yang masih berada dalam kandungan. Permasalahannya UU ini tidak memberikan batasan sampai usia berapakah anak dalam kandungan yang harus mendapatkan perlindungan hukum. b) Pemenuhan hak anak untuk mendapatkan lingkungan pengasuh dan keluarga alternatif berbasis pendekatan sekterian bukan berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 31 ayat (4); Pasal 33 ayat (3); Pasal 37 ayat (3); (4); dan Pasal 39 ayat (3); (5). Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 44 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak c) d) e) f) Dalam undang-undang ini dikenal dengan kewajiban asasi anak seperti diatur pada Pasal 19. Pasal ini justru mewajibkan anak-anak untuk melakukan kewajiban yang ditujukan kepada para pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi anak, seperti: orang tua, guru, keluarga, masyarakat, dan Negara. Penganggaran perlindungan anak yang menjadi kewajiban pemerintah belum diatur dalam UU ini, setiap hak anak yang termasuk dalam ruang lingkup hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya membutuhkan intervensi pemerintah melalui anggaran publik. Dari perspektif pendekatan berbasis hak (rights bases approach) judul UU no. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mereduksi 3 (tiga) kewajiban utama Negara terkait dengan isu HAM, yakni (i) penghormatan; (ii) perlindungan; dan (iii) pemenuhan. Di samping itu, aturan-aturan dalam KHA juga dapat dikategorisasi dalam 3 (tiga) pilar utama kewajiban Negara yakni: (i) penyediaan; (ii) perlindungan; dan (iii) partisipasi. Kewenangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat limitatif karena tidak memiliki kewenangan penyelidikan pemeriksaan jika ada pelanggaran hak anak. Prinsipprinsip Paris Prinsip-prinsip Paris 1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia belum menjadi acuan. Di samping permasalahan substantive di atas, dalam struktur naskah konsideran yuridis UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mencantumkan Keppres No. 36 Tahun 1990 sebagai referensi yuridis pembentukan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perhatikan konsideran yuridis UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143); 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277); 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668); 5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670); Hak Anak Hak Asasi Manusia 6. adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning 45 Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835); 7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 2. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Hal yang serupa juga ditemukan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) mengenai sistem peradilan yang mengatur anak yang berhadapan dengan hukum, yakni UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini juga tidak mencantumkan ratifikasi KHA sebagai referensi yuridis sementara undang-undang lain yang mengatur hal yang sama dicantumkan dalam konsideran pembentukan UU ini. Oleh karena perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sama dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Hal ini ditunjukkan proses peradilan penanganan perkara anak mutatis mutandis dengan perkara pidana yang melibatkan orang dewasa, seperti mengenal banding dan kasasi, dan peninjauan kembali. Bahkan anak yang masih berusia 8 tahun dianggap memiliki kapasitas bertanggung jawab secara pidana. Sementara prinsip yang bersifat universal dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum yakni prinsip diversi dan keadilan restoratif belum diatur dalam UU ini. Artinya UU ini lebih menekankan penghukuman bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini ditunjukkan dengan masih berlakunya KUHP dan KUHAP dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian hukum acara bagi penanganan anak yang berhadapan dengan hukum masih mengkaitkan dengan model dan prosedur bagi orang dewasa. Demikian pula halnya dengan sanksi pidana bagi anak juga disamakan dengan orang dewasa. Sanksi yang dapat dikenakan kepada anak yang berhadapan dengan hukum dapat berupa sanksi pidana pokok maupun tambahan yakni pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana pengawasan, perampasan barang tertentu, dan pembayaran ganti rugi. Situasi demikian terjadi karena prinsip dan norma KHA tidak dijadikan acuan bagi pengembangan sistem peradilan pidana anak. Perhatikan konsideran yuridis pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Mengingat: 1. 2. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Hak Anak adalah Asasi Manusia 46 Nomor 20,Hak Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327); Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Paradigma teori Stufenbau des recht yang menjadi paradigma pembangunan sistem hukum Indonesia memang tidak memungkinkan Keputusan Presiden menjadi referensi yuridis sehingga prinsip-prinsip dan norma-norma KHA tidak tertransformasi menjadi norma hukum positif. 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diundangkan untuk mengatur jaminan HAM secara umum. Hak Anak diatur pada Bagian Kesepuluh, dari Pasal 52 – Pasal 66, namun dari seluruh pasal tersebut pilar utama yakni, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle) atau dikenal dengan hak anak untuk berpartisipasi tidak diadopsi. Padahal hak anak untuk berpartisipasi dalam KHA memiliki dimensi yang luas seperti diatur dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 17. KHA yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden tidak dijadikan sandaran hukum bagi pembuatan undang-undang ini. Bahkan undang-undang ini juga tidak merujuk pada ratitifikasi instrument hukum HAM internasional yang telah diratifikasi dengan undang-undang seperti CEDAW dan CAT. Oleh karenanya, di dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang ganjil yakni pengaturan Kewajiban Dasar Manusia yang dicantumkan dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69. Konsideran yuridis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut : Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Mengingat : 1. 2. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Seturut dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan dengan tujuan untuk mengadili pelanggaran berat HAM, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Persoalan krusial pada undang-undang ini menyerahkan pengaturannya kepada KUHAP sepanjang belum diatur dalam undang-undang termaksud. Mekanisme pengadilan yang ramah terhadap anak (justice child friendly Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 47 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak justice ) tidak diatur dalam UU ini, padahal anak-anak dalam pengadilan HAM berat berhak untuk berpartisipasi dalam proses peradilan yang terkait dengan mereka (Pasal 12 KHA). Selain itu, pengaturan perlindungan terhadap saksi dan korban anak-anak belum mendapatkan aturan secara khusus. Padahal anak-anak merupakan korban langsung maupun tidak langsung dari kejahatan berat HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 8 mengenai kejahatan genosida dan Pasal 9 mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan. KHA mengamanatkan perlunya pengaturan perlindungan secara khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, undang-undang ini mereduksi bentuk-bentuk kejahatan berat terhadap HAM hanya pada kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Reduksi ini terjadi karena instrument hukum internasional yang dirujuk yakni Statuta Roma 1998 disimpangi. Bahkan, landasan hukum ratifikasi instrument hukum HAM internasional CEDAW dan CAT yang telah diratifikasi tidak dicantumkan sehingga permasalahan khas yang menjadi ruang lingkup kedua instrumen ini tidak terakomodasi, sebagai contoh kejahatan kemanusian berbasis gender. Perhatikan konsideran “Mengingat” Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di bawah ini. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327); 4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Manakala hak-hak anak telah menjadi hak konstitusional melalui Amandemen II UU 1945, permasalahan anak masih saja belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dalam pembangunan sistem hukum Indonesia. Terlepas dari sumir dan reduktifnya UUD 1945 dalam menjamin hak asasi anak, semestinya pemuatan hak anak dalam konstitusi menjadi pijakan hukum untuk mengkonstruksi sistem hukum yang berpihak pada pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak. Namun, realitanya permasalahan anak masih tetap saja dianggap tidak signifikan. Produk undangundang yang dibuat setelah amandemen kedua ini belum merujuk pada hak konstitusional anak. Parameternya adalah Pasal 28B ayat (2) yang menjamin konstitusionalitas hak anak tidak dicantumkan dalam rujukan hukum pada konsideran yuridis undang-undang. Terdapat 2 (dua) Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 48 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak produk undang-undang yang mencantumkan Pasal ini pada konsideran yuridisnya yaitu UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun kedua undang-undang ini seakan-akan berdiri sendiri mengatur permasalahannya masing-masing. Titik-titik keterkaitan permasalahan yang diatur tidak mendapatkan sandaran hukum. Semestinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga memuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW. Dengan memuat undang-undang ini, keterkaitan antara permasalahan anak yang diatur dalam KHA dan permasalahan perempuan yang diatur dalam CEDAW terjembatani. Mengingat terintegrasinya instrument-instrumen hukum HAM internasional dalam satu kesatuan norma hukum HAM. Pada kedua konvensi ini, jembatan tersebut nampak pada konsideran masingmasing konvensi ini merujuk pada instrument-instrumen HAM internasional yang lain. Konsideran KHA yang menunjukkan titik-titik keterkaitannya pada paragraph berikut: “Mengakui bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Deklarasi Universal tentang Hak- hak Asasi Manusia dan Kovenan-kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, menyatakan dan menyetujui bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dinyatakan didalamnya, tanpa pembedaan macam apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau pendapat yang lain, kewarganegaraan atau asal usul sosial, harta kekayaan atau status yang lain.”. Pengakuan di atas dipertegas kembali pada Pasal 2 ayat (1) KHA yang menyatakan: “Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.” Konstruksi yang serupa dapat terlihat pada Konsideran CEDAW yang menetapkan bahwa: “Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-Hak asasi Manusia menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan haknya , dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.” Namun keintegrasian ini, justru tidak nampak pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Semestinya konstruksi sistem hukum Indonesia mengacu seperti instrument hukum HAM di atas di mana terdapat prinsip-prinsip hukum yang harus menjadi acuan bersama atau paling tidak masing-masing undang-undang merujuk satu sama lain pada konsiderannya. Untuk melihat uraian ini, berikut konsideran yuridis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 49 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Selain kedua undang-undang di atas, produk undang-undang lain yang mengatur dan mengelaborasi jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM kembali tidak merujuk Pasal 28B ayat 2 UUD 1945. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak menjadikan pasal ini sebagai salah satu rujukan hukum mengapa undang-undang ini dibuat. Padahal anak-anak juga mempunyai kepentingan terhadap pengungkapan pelanggaran berat HAM masa lalu. Anakanak mempunyai hak atas akses informasi (Pasal 17 KHA) mengenai hal tersebut secara benar. Hak anak atas informasi dalam konsep rekonsiliasi dapat dikategorikan sebagai hak untuk mengetahui kebenaran masa lalu (right to know the truth). Dengan bahasa lain, anak-anak juga merupakan korban peristiwa korban pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga anak-anak berhak untuk mengetahui kebenaran (victim’s right to know). Hal ini terjadi karena setiap terjadi peristiwa pelanggaran HAM sudah hak asasi anak-anak juga dilanggar. Oleh karenanya kondisi ini mengimplikasikan timbulnya kewajian Negara untuk mengingatkan.140 Kemudian mengenai peraturan pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban, termasuk anak-anak sebagai ahli warisnya, belum mengakomodasi prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Hal terpenting lain adalah bagaimana mekanisme partisipasi anak dalam proses pencarian keadilan masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Permasalahan ini belum terakomodasi dalam UU ini. Konsideran “Mengingat” undang-undang ini dapat menunjukkan kenapa permasalahan di atas luput diatur di dalamnya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Mengingat: 1. 2. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945; Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (lembaran negara republik indonesia tahun 2000 nomor 208, tambahan lembaran negara republik indonesia nomor 4026); 140 Ifdhal Kasim & Eddie Riyadi Terre (Editor)Pendahuluan: Pencarian Keadilan di Masa Transisi dalam Pencarian Keadilan di Masa Transisi, , Jakarta, ELSAM, 2003, hal. 9 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 50 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Meskipun UU ini telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui keputusan No 006/PUU-IV/2006 karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun demikian Indonesia masih membutuhkan kehadiran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibangun dengan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru dengan perspektif hak anak. 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam kaitannya dengan anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang bersaksi atas peristiwa suatu tindak pidana, terdapat undang-undang yang mengatur ruang lingkup permasalahan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir untuk menanggapi kebutuhan tersebut. Namun terdapat substansi yang lepas dari cakupan pengaturan dalam undang-undang tersebut. Aturan khusus yang mengatur perlakuan dan metode terhadap kesaksian anak dan perempuan belum terakomodasi di dalamnya. Anak diberikan hak berpartisipasi dalam setiap proses peradilan, demikian substansi dari rumusan Pasal 12 KHA. Artinya kesaksian anak dalam proses peradilan merupakan bagian dari hak partisipasi tersebut. Hanya saja harus disesuaikan dengan tingkat kematangan dan usia anak. Dengan kata lain dibutuhkan mekanisme yang ramah terhadap anak. Namun demikian, hal-hal penting tersebut belum terakomodasi dalam UU tersebut, situasi ini karena UU ini tidak mencantumkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan hak konstitusionak anak. Permasalahan tersebut juga terkait dengan tidak dijadikannya KHA sebagai landasan sebagai acuan dalam penyusunan norma-norma perlindungan saksi dan korban. Dampaknya norma hak asasi anak yang fundamental ini tidak terelaborasi lebih jauh. Padahal kasuskasus tindak pidana yang menimpa anak-anak kecenderungannya semakin meningkat ke depan. Pada titik ini undang-undang ini tidak berpijak pada landasan sosiologis yang menjadi dasar alasan kenapa undang-undang ini harus ada. Landasan sosiologis undang-undang harus dikembalikan pada tuntutan kebutuhan masyarakat itu sendiri akan suatu norma hukum yang sesuai dengan realiatas kesadaran hukum masyarakat.141 Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak termuat dalam konsideran yuridis dalam undang-undang ini sehingga kebutuhan khusus sesuai dengan karakteristik anak dan perempuan belum diatur. Perhatikan konsideran dari undang-undang ini. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 141 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 51 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang Lain dengan kondisi di atas, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang disahkan pada 20 Maret 2007 lalu, terdapat perkembangan positif dalam menyusun landasan hukum pada konsideran yuridisnya. Terlepas dari definisi perdagangan anak belum diakomodasi secara penuh sebagaimana diatur dalam Protokol Palermo. Konsideran yuridis undang-undang ini telah mencantumkan Pasal 28B ayat 1 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 7 Yahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Artinya terdapat titik perhatian yang sama terhadap penanganan dengan perlakuan yang khusus bagi anak korban perdagangan orang. Namun tetap saja, KHA tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan hukum dalam konsideran yuridis undang-undang tersebut. Konsideran UndangUndang tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang berikut ini. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); III. Penutup : Kesimpulan dan Rekomendasi a. Kesimpulan Dewasa ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menggantikan kedudukan hukum Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Menyangkut pencantuman peraturan perundang-undangan pada konsideran yuridis lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, kembali menegaskan dianutnya teori stufenbau des recht Hans Kelsen. Lampiran undang-undang ini pada bagian Dasar Hukum (B.4.) angka 27 menyatakan: “Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan Perundang-Undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.” Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 52 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Berdasarkan undang-undang itu pula, pada konsideran yuridis setiap undang-undang, selain mencantumkan secara rinci dan tepat ketentuan UUD 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat atau bagian tertentu dari UUD 1945, juga mencantumkan undangundang lain yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang bersangkutan. Pencantuman undang-undang ini diperlukan sebagai upaya menyatukan undang-undang tersebut dalam bagian dari kesatuan sistem norma yang mengatur permasalahan yang sama.142 Kasus ratifikasi KHA dengan landasan hukum berupa Keputusan Presiden menunjukkan bahwa pemajuan dan perlindungan hak asasi anak tidak mendapatkan dukungan politis dari Negara karena tidak didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Dalam bahasa yang lain, keberlakuan politis ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada akhirnya legitimasi keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan.143 Situasi ini terkait dengan politik hukum masa itu dan terdapat pandangan-pandangan berikut : 1. Permasalahan anak tidak berdampak secara politis sehingga tidak masuk dalam agenda politik; 2. Kebijakan pemerintah cenderung didominasi masalah perekonomian ketimbang tujuantujuan pelayanan jaminan sosial sehingga cenderung rekatif daripada proaktif; 3. Anak-anak dipandang sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif; 4. Anak-anak tidak diberikan haknya untuk memberikan suaranya sehingga kebutuhan dan kepentingan mereka dikalahkan oleh kebutuhan orang dewasa yang mempunyai suara.144 Dampaknya, prinsip-prinsip dan norma-norma KHA tidak pada akhirnya luput sebagai gagasan dasar untuk membangun sistem hukum berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi anak-anak. Pengaturan secara khusus dengan mempertimbangkan kepentingan anak menjadi signifikan karena undang-undang yang ada tidak memadai atau tidak peka dengan kekhasan permasalahan anak. Padahal anak-anak menanggung ketidakadilan yang berlapis ketimbang orang dewasa. Ketidakadilan tersebut semakin dirasakan oleh anak-anak apabila anak-anak tersebut menjadi bagian dari anak dalam situasi khusus dan atau menjadi bagian dari kelompok rentan. Sejak ratififikasi KHA, sudah sekian banyak undang-undang yang dibuat untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun upaya pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak masih termarjinalkan. Realita jaminan dan sandaran hukum yang mengatur secara khusus kebutuhan anak-anak terabaikan dalam pembangunan sistem hukum Indonesia. Marjinalisasi terhadap permasalahan anak juga masih berlanjut pada masa pasca Amandemen II UUD 1945 pada 2000. Melalui amandemen tersebut, hak asasi anak telah menjadi hak konstitusional. Untuk melihat apakah undang-undang mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA pada undang-undang dapat dilihat dengan menggunakan parameter-parameter berikut: 1. Terdapatnya keharmonisan materi muatan undang-undang tersebut dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA 2. Penggunaan terminologi hukum yang sama 3. Penggunaan indicator yang sama 4. Materi muatan undang-undang tersebut menampakan adanya overlapping consensus145 142 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op. cit, hal. 172-173 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 243 144 Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, REaD Book, 2002, hal. 483 - 485 145 John Rawls menyatakan bahwa overlapping consensus merupakan kesepakatan tentang hal-hal yang menyatukan, khususnya hal-hal yang menyangkut kemanusiaan agar setiap manusia dihargai setidak-tidaknya secara minimal dengan 143 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 53 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Langkah awal untuk melihat parameter-parameter di atas berada pada konsideran yuridis undang-undang tersebut. Dalam perspektif ilmu peraturan perundang-undangan, konsideran yuridis merupakan landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam suatu undangundang dan subyek-subyek hukum yang diatur oleh undang-undang tersebut. Sehubungan dengan hal-hal di atas konsideran suatu undang-undang mencakup: 1. landasan filosofis,146 2. landasan sosiologis,147 dan 3. landasan politis. 148 Dengan demikian, dalam konsideran yang memuat landasan filosofis, politis atau sosiologis, menjadi penting diperhatikan karena bagian ini akan menjiwai bagian tubuh suatu undang-undang. Bagian konsideran merupakan hasil dari pemahaman dan penghayatan pembuat undang-undang terhadap realita sosial. Artinya dengan melihat rumusan konsideran dapat dilihat apakah suatu peraturan memiliki basis legitimasi untuk memajukan dan melindungi HAM suatu sekelompok tertentu.149 Konsideran menimbang ini untuk melihat Aspek material suatu undang-undang sehingga akan terlihat basis legitimasi tersebut. Sejumlah aksentuasi atau topik strategis yang dinilai penting untuk mengeksaminasi aspek material undang-undang, meliputi : 1. Dasar pemikiran/latar belakang berpikir yang tercantum dalam konsideran, apakah mengakomodasi prinsip-prinsip dan norma-norma pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak 2. Bagaimana peraturan perundang-undangan menempatkan kepentingan terbaik bagi anak; 3. Tindakan khusus Negara sebagai pengemban kewajiban untuk memajukan dan melindungi hak asasi anak. 150 Oleh karenanya, prinsip-prinsip dan norma-norma hukum KHA sudah semestinya tercantum di dalamnya, seperti : 1. Perlindungan dan pemeliharaan khusus bagi setiap anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya (Preambular KHA) 2. Tidak bertentangan dengan 5 (lima) prinsip mendasar KHA yakni : a) Prinsip non diskriminasi (non-discrimination principle); b) Prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child principle); c) prinsip hak untuk hidup dan perkembangan secara maksimal (right to life and maximum development principle) ; d) Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle); dan tidak merampas hak-haknya atau tidak membiarkan kelompok manusia yang kurang beruntung tetap menderita dan ditindas. Lihat Kata Pengantar dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op.cit., hal. xvi 146 Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, op.cit. hal. 169-173 147 Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid 148 Dalam konsideran harus tergambar adanya rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undangundang yang bersangkutan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid 149 Tim Kajian Tiga Lembaga, Legal Opinion (Critical LegalAnalysis), Legal Opinion (Critical LegalAnalysis terhadap UU Kehutanan No. 41/1999, dalam Gerakan Studi Hukum Kritis, Wacana, No. VI/2000, Yogyakarta, Insist Press, 2000, hal. 85-87 150 Tim Kajian Tiga Lembaga, Legal Opinion (Critical LegalAnalysis), ibid Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 54 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak e) Prinsip bahwa hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and interdependence of rights principle). 3. Derajat intervensi yang berbeda bagi anak-anak dalam situasi “normal” dan anak-anak dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP) yang meliputi : a) Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict) b) Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi, penyalahgunaan obat (drug abuse), eksplotasi seksual, perdagangan anak (trafficking), dan ekploitasi bentuk lainnya c) Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law) d) Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities) 4. Mengadopsi tindakan afirmatif mengingat anak-anak sampai saat ini mengalami diskriminasi pada setiap aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat 5. Mengalokasikan anggaran publik secara khusus untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi anak berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).151 Landasan-landasan pembuatan undang-undang pada bagian konsideran filosofis-sosiologis-politis, kemudian dikonkretkan pada bagian konsideran yuridis yang berisi landasan yuridis-normatif152 dibuatnya undang-undang tersebut. Dalam konsideran yurisdis ini harus disusun secara rinci dan tepat hal-hal berikut: 1. ketentuan UUD 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat atau bagian tertentu dari UUD 1945; 2. undang-undang lain yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang bersangkutan.153 151 The Guideline for Periodic Report CRC Committee, mengelaborasi lebih lanjut alokasi anggaran berprinsip pada kepentingan terbaik bagi anak, meliputi : 1. Mengambil langkah-langkah guna memastikan terdapatnya koordinasi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan layanan sosial; 2. Pembagian anggaran public yang proporsional untuk belanja layanan sosial baik di level pemerintah pusat maupun pemeintah daerah bagi kepentingan anak, termasuk kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan; 3. Terdapatnya kecenderungan kenaikan anggaran publik untuk kepentingan anak; 4. Mengambil langkah-langkah guna memastikan semua kompetensi nasional dan daerah, termasuk para pengambil kebijakan anggaran publik diorientasikan untuk kepentingan anak serta mengevaluasi penetapan prioritas alokasi anggaran yang ditujukan bagi kepentingan terbaik untuk anak, 5. Memastikan tindakan-tindakan yang telah diambil tidak menimbulkan disparitas antar wilayah dan kelompok anak dan tindakan tersebut dapat menjembatani keterkaitan kebijakan alokasi anggaran publik dengan perlindungan sosial 6. Memastikan tindakan-tindakan yang diambil berdampak pada anak-anak khususnya kelompok anak yang tidak beruntung sehingga anak mendapatkan perlindungan terhadap risiko perubahan kebijakan ekonomi termasuk pengurangan alokasi anggaran untuk sektor sosial Lihat Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook, op.cit, hal. 61 152 Landasan yuridis dalam perumusan setiap undang-undang harus ditempatkan pada konsideran “Mengingat”. Dalam konsideran mengingat ini harus disusun secara rinci dan tepat (i) ketentuan UUD 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat atau bagian tertentu dari UUD 1945 harus ditentukan secara tepat; (ii) undang-undang yang lain yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang bersangkutan Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, ibid 153 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 172 Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 55 Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak Namun, prinsip-prinsip dan norma-norma KHA tidak nampak terejawantah dalam produk undang-undang di atas (table 1, 2, dan 3) menjadi substansi norma-norma yang diatur di dalamnya. Titik-titik krusial keseluruhan produk undang-undang tersebut adalah tidak satu pun undangundang ini dimaksudkan secara penuh mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA. Akar permasalahan ini sesuai dengan tesis tulisan bahwa Keputusan Presiden yang dijadikan landasan ratifikasi KHA tidak dapat dijadikan rujukan yuridis dalam suatu undang-undang. Berdasarkan teori Stufenbau des Recht yang dianut dan menjadi paradigm pembangunan sistem hukum Indonesia Keputusan Presiden tidak dapat dijadikan referensi yuridis pembentukan undang-undang. Uraian di atas mendeskripsikan bahwa pemberian landasan hukum ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ternyata mempunyai implikasi-implikasi hukum terjadinya marjinalisasi permasalahan anak secara sistematis dan terstruktur. Kondisi ini ditandai semakin tereduksinya prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam politik hukum di Indonesia. b. Rekomendasi Uraian di atas menggambarkan bahwa marjinalisasi permasalahan anak dalam konstruksi sistem hukum Indonesia salah satunya bersumber pada pemberian landasan hukum ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, ke depan merentang agenda yang perlu dituntaskan dengan segera yakni: 1. Meningkatkan landasan hukum ratifikasi KHA dari Keputusan Presiden menjadi UndangUndang, selain bertujuan untuk mendapatkan legitimasi politik dan sosial lebih luas, ke depan KHA dapat menjadi rujukan hukum bagi upaya membangun sistem hukum Indonesia. 2. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip- prinsip dan norma KHA; 3. Melakukan analisis yang sistematis terhadap semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang berdampak pada anak sehingga dapat terwujud sistem hukum yang harmonis dan berpihak pada kepentingan anak. Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 56