Kertas Posisi Yayasan Pemantau Hak Anak 1

advertisement
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
MENYOAL LANDASAN HUKUM RATIFIKASI KONVENSI HAK ANAK
I.
Pendahuluan
a. Internasionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM)
Rezim global hak asasi manusia (HAM) sesungguhnya berakar pada Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights), tahun 1948 dan kemudian dielaborasi
tahun 1966 melalui Kovenan HAM Internasional (International Human Rights Covenants).1 Dokumendokumen ini merefleksikan apa yang disebut sebagai model Deklarasi Universal Internasional (the
Universal Declaration model of international).2 Terdapat 4 (empat) elemen yang sudah semestinya
mendapatkan penekanan dalam model Deklarasi Universal Internasional yakni : fokus pada HAM (its
focus on rights); pembatasan terhadap hak-hak individual (the restriction to individual rights);
keseimbangan antara hak-hak-hak sipil dan politik dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (the
balance between civil and political rights and economic, social and cultural rights); dan
pertanggungjawaban negara untuk mengimplementasikan HAM yang telah mendapatkan
pengakuan internasional (national responsibility for implementing internationally recognized human
rights).3
Paragraf ketiga preambular DUHAM secara implisit menyiratkan pentingnya elemen
keempat dari model Deklarasi Universal Internasional di atas. Paragraf tersebut menyatakan : “... it
is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny
and oppression, that human rights should be protected by the rule of law.” Makna penting paragraf
ini berada pada terma “Negara melalui sistem hukum domestik harus melindungi dan menjamin
penikmatan penuh HAM setiap warga negara secara efektif.” 4
Oleh karenanya DUHAM
diproklamasikan sebagai "a common standard of achievement for all peoples and all nations”.5
Dengan kata lain pengakuan HAM secara internasional membebankan kewajiban kepada Negara
untuk melegalisasi hubungan antara warga negara dan negara.6
Pemuatan HAM dalam substansi hukum, termasuk peraturan perundang-undangan nasional
suatu negara, menjadi signifikan untuk mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawa untuk
dibebani kewajiban. HAM belum dikatakan sebagai hak secara penuh (full-fledged rights) apabila
keberadaanya tidak didasari oleh hukum. Untuk mendasari keberadaan HAM, James W. Nickel
1
Kovenan HAM Internasional yang dimaksud adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)
2
Jack Donnelly, The Universal Declaration Model of Human Rights: A Liberal Defense, Human Rights Working Papers, Number
12, Posted 12 February 2001. Ketiga Instrumen hukum HAM internasional di atas ditambah dengan First Optional Protocol
to the International Covenant on Civil and Political Rights dikenal dengan International Bill of Rights . Lihat David Weissbrodt,
Joan Fitzpatrick, Frank Newman, International Human Rights : Law, Policy, and Process, (Third Edition) Anderson Publishing
Co, Cincinnati, Ohio, 2001
3
Jack Donnelly, The Universal Declaration Model of Human Rights, ibid
4
OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR
ASSOCIATION, Human Rights in the Administration of Justice: A Manual on Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers,
UNITED NATIONS, New York and Geneva, 2003
5
Jack Donnelly, Ethics and International Human Rights, Human Rights Working Papers, Number 1, Posted 15 Desember 1999
6
Jack Donnelly, The Universal Declaration Model of Human Rights, op.cit
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
1
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
mengemukakan teori pemberian pemberian hak yang diimplementasikan melalui hukum (legally
implemented entitlements theory).7
Senada dengan DUHAM, The Vienna Declaration 1993, paragraf pertama menetapkan
bahwa operasionalisasi dan implementasiperlindungan dan pemajuan HAM menjadi kewajiban
utama pemerintah.8
Kewajiban pemerintah tersebut dalam kerangka pendekatan berbasis hak (rights-based
approach) terbagi dalam :
1. Kewajiban untuk menghormati (to respect), yakni mengharuskan negara menahan diri untuk
tidak campur tangan dalam penikmatan atas hak-hak asasi manusia.9
2. Kewajiban untuk melindungi (to protect), yakni mengharuskan negara mencegah
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia oleh pihak ketiga.10
3. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfil), yakni mengharuskan negara untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang
memadai guna memenuhi sepenuhnya atas hak-hak asasi manusia.11
Dalam melaksanakan kewajiban ketiga ini persinggungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional suatu Negara tidak terelakan. Upaya implementasi hukum internasional melalui
hukum nasional menjadi conditio sina quanon berlakunya hukum internasional pada yurisdiksi
nasional suatu Negara secara efektif. Pernyataan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri
(consent to be bound) merupakan langkah awal proses transformasi untuk memberlakukan normanorma hukum HAM internasional yang telah terkodifikasi dalam perjanjian internasional ke dalam
hukum positif suatu Negara. Persinggungan awal ini merupakan prasyarat untuk memberlakukan
instrumen hukum internasional ke dalam hukum domestik suatu Negara.
b. Pemberlakuan Hukum HAM Internasional dalam Hukum Domestik
Istilah HAM semestinya dipandang sebagai penyatuan (incorporating) hak-hak asasi
tradisional yang telah dijamin dalam International Bill of Rights dan perjanjian internasional
sesudahnya, norma-norma khusus di level universal dan regional, dan juga hak-hak asasi manusia
sebagaimana telah diatur dalam hukum perang internasional (international humanitarian law) dan
hukum pengungsi (refugee law) menjadi standar norma bersama bagi upaya perlindungan dan
pemajuan HAM bagi seluruh umat manusia.12 Di titik ini terjadi internasionalisasi isu HAM secara
progresif. Isu HAM mengalami proses internasionalisasi melalui pengembangan sejumlah instrumen
HAM yang memuat aneka prinsip dan norma-norma HAM yang sangat mendasar. Rujukan hukum
7
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refleksi Teoritis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, 1996
8
Jack Donnelly, Ethics and International Human Rights, loc.cit
9
Respecting rights means that state laws, policies, programmes and practices must not violate rights. State must avoid
interfering with people’s pursuit of their rights, whether through torture or arbitrary arrest, illegal forced housing evictions or
the introduction of medical fees that make healthcare unaffordable for poor people. Lihat dalam Joachim Theis,; Promoting
Rights-Based Approaches: Experiences and Ideas from Asia and the Pacific; Save The Children Sweden, 2004
10
Protecting rights means that states must prevent violations by others and must provide affordable, accessible redress, for
example: ensuring that employers comply with basic labour standards, preventing monopoly ownership of media or preventing
parents from keeping their children out of school. Lihat dalam Joachim Theis, ibid
11
Fulfilling rights means that states must take positive actions to realize rights, for example: creating legislation that enshrines
equal pay for equal work or increasing budgets for poorest region. Lihat dalam Joachim Theis, ibid
12
David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick, Frank Newman, International Human Rights : Law, Policy, and Process, (Third Edition)
Anderson Publishing Co, Cincinnati, Ohio, 2001
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
2
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
tersebut terdapat pada deklarasi, prinsip-prinsip, pedoman, aturan standar dan rekomendasi yang
tidak mengikat secara hukum (non binding legal effect) namun mengikat secara politik. Rujukan ini
merupakan hasil kesepakatan internasional atau persetujuan dan praktik-praktik negara. Di samping
itu, pengakuan eksistensi HAM didasari oleh perjanjian internasional yang dapat ditemui pada
kovenan, protokol atau konvensi.13
Dalam praktik, sumber hukum internasional14 yang paling penting dan berguna dari hukum
HAM internasional adalah perjanjian internasional yang secara jelas dan langsung menciptakan
kewajiban internasional. Perjanjian internasional bersifat mengikat hanya apabila perjanjian ini
berlaku dan hanya terkait dengan negara yang secara tegas menjadi peserta.15 Pernyataan suatu
Negara untuk terikat pada perjanjian internasional dapat melalui ratifikasi (ratification), akseptasi
(acceptance), persetujuan (approval), aksesi (accession) dan penandatanganan (signature).16
Sampai saat ini terdapat 9 (sembilan) instrumen hukum HAM internasional utama (the core
international human rights treaties)17 yang mengatur HAM dengan kategori tertentu guna
mengelaborasi lebih lanjut DUHAM 1948. Instrumen-instrumen ini sebagai perangkat standar
internasional untuk perlindungan dan pemajuan HAM bagi setiap negara yang terikat padanya.
Kesembilan instrument tersebut terdiri dari :
1. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966, dan 2 optional protocol:
a. Optional Protocol on individual complaints, 1966
b. Second Optional Protocol on aiming at the abolition of the death penalty, 1989.
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966;
3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965;
4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979; dan optional
protocol on individual complaints and inquiries, 1999;
5. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,
1984, dan optional protocol on establishes nationaland international monitoring mechanism,
2002;
6. Convention on the Rights of the Child,1989 dan 2 optional protocol:
a. Optional Protocol on the Rights of the Child on the involvement of children in armed
conflict, 2000;
b. Optional Protocol on the sale of children, child prostitution, and child pornography, 2000.
13
Judith Asher, The Right to Health : A Resource Manual for NGO, Commonwealth Medical Truth, AAAS Science and Human
Rights Program, dan HURIDOCS, 2004
14
Menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of Justice) sumber hukum
internasional terdiri dari : (i) perjanjian internasional; (ii) kebiasaan hukum internasional; (iii) prinsip-prinsip umum hukum;
dan (iv) putusan pengadilan dan ajaran hukum yang berkualifikasi.
15
Richard B. Bilder, Tinjauan Umum Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dalam Materi Kursus HAM untuk Pengacara,
Angkatan VII, Elsam, 2002. Rezim Hukum HAM Internasional ditegakkan melalui perjanjian internasional karena perjanjian
internasional mendasari sumber utama hukum HAM internasional. Lihat David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick, Frank
Newman, op.cit,
16
OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS, Working With the United Nations Human Rights Programme,
New York & Geneva, 2008, hal. 7 Rezim Hukum HAM Internasional ditegakkan melalui perjanjian internasional karena
perjanjian internasional mendasari sumber utama hukum HAM internasional. Lihat David Weissbrodt, Joan Fitzpatrick,
Frank Newman, op.cit,
17
Keutamaan instrumen ini terletak pada : (1) menciptakan kewajiban hukum bagi negara peratifikasi untuk memajukan
dan melindungi HAM pada level nasional; (2) terdapatnya mekanisme internasional untuk menilai kepatuhan negara
peratifikasi dalam mengimplementasikan kewajiban hukumnya; (3) mekanisme tersebut dikawal oleh sebuah komite yang
bertugas memonitor implementasi negara peratifikasi. Lihat Office of the United Nations High Commissioner for Human
Rights, The United Nations Human Rights Treaty System : An introduction to the core human rights treaties and the treaty
bodies, Fact Sheet No. 30
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
3
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
7. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members
of Their Families, 1990.
8. Convention on the Rights of Persons with Disabilities, 2009, dan Optional Protocol on individual
complaints, 2006.
9. International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Dissapearance, 2006. 18
Setelah negara meratifikasi, apakah substansi yang terkandung dalam suatu instrumen
hukum HAM internasional relevan dengan situasi HAM di Negara tersebut, dibutuhkan parameterparameter berikut :
1. Apakah perjanjian itu mengandung bahasa yang tegas yang mewajibkan para pihak untuk
menghormati HAM tertentu yang sedang menjadi persoalan;
2. Apakah perjanjian itu telah berlaku, mengingat perjanjian internasional menyaratkan suatu
jumlah minimum tertentu negara peratifikasi;
3. Apakah negara yang bersangkutan dalam kenyataan telah meratifikasi19 perjanjian tersebut
karena penandatangan tidak mengikat secara hukum; dan
4. Apakah negara yang bersangkutan mengemukakan keberatan yang secara tegas yang
memodifikasi kewajibannya terhadap perjanjian yang terkait.20
Pada titik ini, Negara berdasarkan kedaulatannya berpotensi mereduksi secara substantif jaminan
hukum internasional (de jure) penikmatan HAM melalui tindakan reservasi (reservation).21
Pemberlakuan hukum internasional menjadi hukum nasional secara teori terbagi menjadi :
1. Menurut teori monist, hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan
sistem hukum. Dengan demikian apabila suatu negara telah meratifikasi suatu perjanjian
internasional maka secara otomatis menjadi bagian hukum nasional.
2. Menurut teori dualist, hukum internasional dan hukum nasional merupakan sistem hukum
yang berbeda sehingga memerlukan adopsi secara khusus (specifically adopted) atau
transformasi menjadi hukum domestik.22
Proses transformasi atau adopsi khusus menjadi hukum nasional guna bergantung pada
mekanisme ketatanegaraan yang berlaku di negara yang bersangkutan guna memenuhi formalitas
hukum nasional. Transformasi tersebut dapat melalui pemuatan dalam peraturan perundangundangan maupun putusan pengadilan.
18
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, ibid,
Ratifikasi ini membawa implikasi yuridis berdasar prinsip pacta sunt servanda, yakni Negara Republik Indonesia harus
melaksanakan kewajiban perjanjian berdasarkan itikad baik (in good faith) berdasar prinsip pacta sunt servanda. Artinya
Negara ini tidak boleh menghindari tanggung jawab di bawah hukum internasional dengan menggunakan hukum internal
sebagai justifikasi kegagalan dalam melaksanakan kewajiban internasionalnya. Pada prinsip Hukum HAM internasional
meletakkan tanggung jawab Negara secara mutlak apabila Negara melanggar kewajiban perjanjian tersebut. Lihat OFFICE
OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION,
op.cit.
20
Richard B. Bilder, loc. Cit.
21
Reservasi adalah suatu siatem dimana suatu Negara yang merupakan pihak pada suatu perjanjian dapat menyatakan
pensyaratan terhadap pasal-pasal tertentu. Apabila pensyaratan tersebut diterima maka Negara yang bersangkutan dapat
menolak pelaksanaan pasal-pasal tersebut. Pensyaratan ini dapat diajukan pada saat penandatanganan, ratifikasi, akseptasi,
dan aksesi. Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni,
2000
22
OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE INTERNATIONAL BAR
ASSOCIATION, op.cit.
19
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
4
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Mengenai perlunya transformasi formal hukum internasional ke dalam hukum nasional
bergantung pada 2 (dua) hal pokok, yakni:23
1. Sifat dan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang bersangkutan. Terdapat
beberapa perjanjian internasional tertentu merupakan perjanjian internasional yang selfoperating atau self-executing dan tidak mensyaratkan implementasi legislatif
2. Praktik konstitusional atau administrasi pada setiap negara itu sendiri dan implementasi pada
level lokal di suatu negara. Terdapat juga perjanjian internasional yang memerlukan
transformasi struktural dari kaidah yang ditetapkan dalam perjanjian internasional tersebut
Upaya ini dalam perspektif John Rawls dalam A Theory of Justice merupakan rangkaian sebagai
berikut : pertama, tahap awal di mana orang mencoba untuk merumuskan serta mempertahankan
prinsip-prinsip transhistoris tentang moralitas dan keadilan. Tahap ini merupakan tahap yang paling
abstrak dan paling filosofis. Kedua, tahap konstitusional di mana orang merumuskan hak-hak spesifik
serta kewajiban-kewajiban yang menerapkan prinsip-prinsip abstrak ke negara-negara tertentu
sesuai dengan masalah, sumberdaya, dan institusinya. Ketiga, proses ini berlanjut ke tahap legislatif
dan akhirnya norma-norma konstitusional dan legislatif diaplikasikan pada tahap yudisial.24
c. Pemberlakuan Instrumen Hukum HAM Nasional menurut Hukum Indonesia
Dalam konteks Negara Indonesia, sebelum berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional dan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, proses tranformasi di atas berbeda-beda.25 Sebelum berlaku kedua undang-undang ini,
secara konstitusional landasan hukum pembuatan perjanjian internasional hanya mengacu Pasal 11
UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan persetujuan
dengan Negara lain.
Oleh karena itu, dalam praktik ketetanegaraan, Presiden mengalami kesulitan untuk
membedakan perjanjian internasional mana yang perlu mendapatkan persetujuan DPR dan mana
yang menjadi kewenangan ekslusif Presiden. Pasal ini kemudian dielaborasi melalui Surat Presiden RI
23
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2001
James W. Nickel, op.cit. Berkaitan dengan HAM, Indonesia telah mengadopsi norma-norma hukum internasional ke
dalam konstitusi (Pasal 28A-28J amandeman ke-2 UUD 1945) dan beberapa undang-undang yang mengelaborasi hak-hak
konstitusional yang telah dijamin dalam UUD 1945 antara lain UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM; UU nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekekerasan dalam Rumah Tangga. Di samping itu, telah terbentuk 3 (tiga) institusi nasional HAM
dengan mandat dan konstituen yang berbeda, yakni Komisi Nasional HAM; Komnas Perempuan; dan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia Meskipun terdapat titik-titik konvergensi kepentingan (overlaping consensus) yakni pemajuan dan
perlindungan HAM
25
Pada kedua undang-undang ini terdapat ketentuan yang menyangkut pengesahan perjanjian internasional dan substansi
apa yang diatur dalam suatu perjanjian internasional sehingga harus diatur dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang antara lain berkenaan dengan hak asasi manusia dan lingkungan hidup dan pembentukan kaidah
hukum baru. Kemudian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 8
menyatakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan
UUD tahun 1945 antara lain mengenai hak asasi manusia ; hak dan kewajiban warga negar; kewarganegaraan dan
kependudukan serta diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang
24
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
5
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
No. 2826/HK/6026, pada 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada DPR. Surat ini dibuat oleh Presiden
untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan perjanjian dengan Negara lain. Melalui surat tersebut
ratifikasi dapat dilakukan dengan cara berbeda bergantung pada jenis perjanjian tersebut. Untuk
Perjanjian ditentukan bahwa perjanjian internasional baru disahkan oleh Presiden setelah disetujui
dari DPR. Karena perjanjian bentuk ini harus mendapatkan persetujuan dari DPR maka perjanjian ini
diberi landasan hukum dengan
Undang-Undang. Syarat ini tidak berlaku bagi perjanjian
internasional dengan bentuk persetujuan karena cukup disahkan sendiri oleh Presiden dengan
Keputusan Presiden (Keppres).27 Surat ini dapat dianggap sebagai konvensi
di bidang
ketatanegaraan dan merupakan upaya untuk menginterpretasi ketentuan Pasal 11 UUD 1945.
Meskipun telah ada Surat Presiden sebagai pedoman untuk meratifikasi perjanjian
internasional,
dalam
implementasinya
terdapat
penyimpangan-penyimpangan
dan
ketidakseragaman dalam memberikan landasan hukum ratifikasi.28 Penyimpangan dan
ketidakseragaman pemberian landasan hukum ini juga terlihat manakala Negara Indonesia
meratifkasi instrument hukum HAM internasional. Padahal substansi yang diatur dalam instrumen
hukum tersebut sama yakni mengatur pemajuan dan perlindungan HAM.
Dari kesembilan instrument hukum HAM internasional utama di atas, Pemerintah Republik
Indonesia telah meratifikasi 6 (enam) instrumen hukum HAM dengan pemberian landasan hukum
yang berbeda seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Nama Instrumen Hukum HAM Internasional
International Covenant on Civil and Political Rights,
1966
International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights, 1966
International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination, 1965
Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women, 1979
Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,
1984
Convention on the Rights of the Child (KHA),1989
Landasan Hukum Ratifikasi
UU No. 12 Tahun 2005
UU No. 11 Tahun 2005
UU No. 29 Tahun 1999
UU No. 7 Tahun 1984
UU No. 5 Tahun 1998
Keppres No. 36 Tahun 1990
Berdasarkan tabel di atas dari keenam instrumen hukum HAM internasional utama yang
telah diratifikasi Negara Indonesia, hanya ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 (KHA)
atau Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi dengan menggunakan Keputusan Presiden,
instrumen yang lain menggunakan undang-undang.
26
Menurut surat Presiden tersebut hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja dalam bentuk perjanjian (treaty) untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan Presiden yang meliputi materi : (a) soal-soal politik atau soal-soal yang
dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah
atau penetapan tapal batas; (b) ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar
negeri dapat terjadi bahwa ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi, kerjasama teknik atau
kerjasama pinjaman uang.; (c) soal-soal yang menurut UUD atau menurut perundang-undangan kita harus diatur dengan
Undang-Undang seperti soal-soal kehakiman. Sedangkan perjanjian-perjanjian dengan materi lain yang biasanya dalam
bentuk persetujuan (agreement) hanya disampaikan ke DPR untuk diketahui setelah disahkan Presiden. Lihat Boer Mauna,
op.cit.
27
Boer Mauna, ibid
28
Boer Mauna, ibid
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
6
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Pemberian landasan hukum ini tidak sesuai dengan Surat Presiden No. 2826/HK/60 dan
konvensi ketatanegaraan dalam meratifikasi peranjian internasional.
Menurut surat Presiden
tersebut hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja dalam bentuk perjanjian (treaty) untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan Presiden yang meliputi materi : (a) soal-soal politik
atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian-perjanjian
persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas; (b) ikatan-ikatan yang
sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa
ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi, kerjasama teknik atau
kerjasama pinjaman uang; (c) soal-soal yang menurut UUD atau menurut perundang-undangan kita
harus diatur dengan Undang-Undang seperti soal-soal kehakiman.
Permasalahan HAM merupakan persoalan politik karena menempatkan Negara sebagai
pelaku utama yang akan menerima komitmen internasional untuk melaksanakan kewajiban melalui
reformasi hukum. Di samping itu, HAM juga akan mempengaruhi haluan politik luar negeri karena isu
HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup menjadi isu-isu strategis hubungan internasional.
Dalam kaitan tersebut sampai saat ini terdapat 2 (dua) opsional protokol KHA yang belum
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia yakni:
1. Optional Protocol on the Rights of the Child on the involvement of children in armed
conflict, 2000;
2. Optional Protocol on the sale of children, child prostitution, and child pornography, 2000.
Melihat kedua substansi perjanjian internasional tersebut mengatur persoalan HAM maka
seharusnya dilakukan diratifikasi dengan undang-undang. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, permasalahan pemberian landasan hukum ratifikasi bergantung
pada substansi perjanjian internasional tersebut. Menurut ke dua UU ini, substansi muatan yang
harus diatur dengan undang-undang antara lain mengatur permasalahan HAM.29 Namun hal ini
memiliki implikasi yuridis bagi upaya melakukan reformasi hukum melalui upaya legislatif karena
optional protokol sebagai instrument derivasi atau instrument turunan dari KHA diratifikasi dengan
undang-undang sementara KHA sebagai instrument induk atau pokok diratifikasi dengan Keppres.
Dengan kata lain, dalam upaya pembuatan undang-undang yang terkait dengan pengaturan anak
sebagai subyek hak atau kepentingan lain yang terkait dengan permasalahan anak di masa
mendatang Keppres No. 36 Tahun 1990 tidak dapat dijadikan landasan yuridis undang-undang. Di
samping Keppres secara hirarkis dalam tata urutan peraturan perundang-undangan lebih rendah
dibandingkan dengan undang-undang, menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Keppres tidak termasuk peraturan perundang-undangan, Keppres
merupakan keputusan tata usaha Negara sehingga masuk ruang lingkup administrasi Negara.
Keprihatinan Komite Hak Anak mengenai pemberian landasan hukum ratifikasi tanpa
melibatkan institusi legislatif (parlemen) terbaca dalam Kesimpulan Pengamatan (Concluding
Observation) Komite Hak Anak ketika menanggapi Laporan yang disampaikan oleh Negara
Indonesia. Komentar Komite pada paragraf 13 dan 14 menyatakan bahwa:30
13. Komite juga berbagi keprihatinan yang dinyatakan oleh Indonesia bahwa ratifikasi dari
Konvensi tersebut tidak didukung oleh UU dari parlemen.
29
Kesimpulan Pengamatan Komite Hak Anak paragraph 15 menyatakan bahwa Komite juga mendorong pertimbangan
lebih lanjut atas ratifikasi instrumentasi-instrumentasi HAM lainnya dan untuk melaksanakannya dengan dukungan undangundang dari parlemen.
30
CRC/C/15/Add.233, 26 Februari 2002
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
7
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
14. Komite mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan dukungan
terhadap ratifikasi Konvensi melului undang-undang dari parlemen.
Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh Katarina Tomaševski Pelapor Khusus Hak atas Pendidikan
(Special Rapporteur on the Right to Education) dalam menjalankan misi kunjungannya di Indonesia.
Paragraf 10 laporannya menyatakan bahwa:31
Sebuah perjanjian yang telah diratifikasi menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia
dilakukan dengan melibatkan parlemen melalui undang-undang. Namun, KHA diratifikasi
dengan Keppres (Presidential Decree) yang memiliki status terendah dalam hirarki sumber
hukum di Indonesia.
Undang-undang sebagai landasan ratifikasi di samping sebagai upaya memberikan dampak hukum
eksistensi hak anak, juga merepresentasikan bahwa sistem demokrasi yang tengah berproses di
Indonesia mendekati sistem demokrasi yang substansial.
Terkait dengan permasalahan ini mengemuka pertanyaan sejauhmana implikasi hukum
ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 terhadap upaya pemajuan dan
perlindungan hak asasi anak dalam sistem hukum Indonesia? Apakah Pemerintah dapat dikatakan
telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap anak-anak?
Berangkat dari pertanyaan di atas, penting untuk melakukan kajian ini, mengingat ratifikasi
KHA melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 berimplikasi hukum terhadap pemajuan dan perlindungan
hak asasi anak dalam politik hukum HAM di Indonesia.
II. Implikasi Hukum Ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 : Perspektif
Teori Stufenbau des Rechts Hans Kelsen
a.
Reduksi-Reduksi Upaya Implementasi KHA dalam Ranah Hukum Domestik
Pada bulan Mei 2002, mendahului Sidang Umum Majelis Umum PBB pada sesi khusus
pembahasan isu anak-anak, diselenggarakan suatu pertemuan di New York yang dihadiri oleh sekitar
30 institusi nasional HAM yang berdasarkan undang-undang Negara masing-masing diberikan
kewenangan untuk mempromosikan, melindungi, dan memonitor pemajuan dan perlindungan hak
asasi anak. Dalam menilai kemajuan yang telah dicapai pada 12 tahun dan separuh tahun sejak Majelis
Umum PBB mengadopsi KHA para delegasi menyatakan bahwa :
“ Kita tidak dapat mentolerir dekade lain yang menunjukkan ketidakpatuhan (non-compliance)
terhadap KHA. ... Setelah dekade pembentukan standar internasional yang menentukan aktivitas
dan ratifikasi instrumen hukum internasional HAM, setiap negara seharusnya memfokuskan pada
upaya implementasi secara penuh setiap HAM yang dijamin dalam instrumen tersebut. Jaminan
tersebut kecil maknanya atau tidaklah bermakna sesuatu apabila negara tidak dapat
menegakkannya.”32
Berangkat dari pernyataan ini maka terdapat 2 (dua) permasalahan penting terkait dengan
implementasi KHA yakni:
31
E/CN.4/2003/9/Add.1, 4 November 2002
Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow LAYING THE FOUNDATIONS FOR CHILDREN’S RIGHTS : An Independent Study of some
Key Legal and Institutional Aspectsof the Impact of the Convention on the Rights of the Child, The UNICEF Innocenti Research
Centre, Giuntina, Florence, Italy, UNICEF, 2005
32
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
8
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
1. Kepatuhan Negara peratifikasi terhadap prinsip-prinsip dan norma-norma KHA; dan
2. Upaya menegakkan hak asasi anak (law enforcement) yang dijamin dalam KHA.
Permasalahan pertama berada pada substansi peraturan perundang-undangan yang
mentransformasi prinsip dan norma hukum internasional agar berlaku secara efektif dan menjadi
hukum positif. Lokusnya berada pada otoritas pembuat peraturan perundang-undangan yakni
eksekutif dan legislatif. Proses transformasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Mengikatkan diri :
 Tanda tangai
 Ratifikasi
 Asesi
Hukum Internasional
Transformasi :
 Peraturan perundangundangan
 Putusan Hakim
Hukum Nasional
Gambar 1 : Proses transformasi hukum internasional menjadi hukum nasional
Permasalahan kedua berada pada aparat Negara sebagai pelaksana peraturan perundang-undang
yang akan mengoperasionalkan ketentuan KHA dalam kebijakan publik dan penegakkan hukum.
Dalam konteks ini Johan Galtung menyatakan HAM harus dilihat sebagai kontruksi kompleks
imajinatif yang mengkombinasikan elemen hukum nasional dan hukum internasional. HAM
diimplementasikan sebagai tindakan yang mengikat Negara.33 Di sini diperlukan tranformasi hukum
baik melalui elaborasi maupun konkritisasi untuk mencocokkan dengan kebutuhan praktik. Artinya
permasalahan HAM tidak eklusif menjadi kewenangan hukum internasional saja, namun
bersinggungan dengan hukum nasional. H. Hart menunjukkan bahwa persinggungan ini disebabkan
ketentuan hukum internasional yang bersifat open texture34 sehingga hukum nasional berperan di
sini. Ketentuan hukum internasional yang open texture berarti terdapat bidang-bidang tindakan
(conduct) di mana banyak yang harus diserahkan pada pengadilan atau pejabat-pejabat resmi untuk
dapat memberikan keseimbangan di antara berbagai kepentingan yang saling berlawanan yang
bobotnya berbeda dari satu kasus ke kasus lainnya. Pemecahan seperti ini tidak diberikan di dalam
hukum internasional karena permasalahan open texture dilaksanakan secara desentralisasi, yakni
oleh Negara itu sendiri.35 Dengan demikian eksistensi HAM diakui jika telah diatur dalam hukum
nasional. Paradigma implementasi hukum di tingkat nasional bagi sebuah HAM memiliki 2 (dua)
peranan :
33
Naning Mardiniah, et. al., Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan, Jakarta, LP3ES, 2005
Open texture merupakan ketentuan dari hukum internasional yang seringkali terlalu umum dan smar-samar. Ketentuan
seperti ini akan banyak membuka kemungkinan dan dengan demikian menimbulkan keraguan sehubungan dengan apa
yang dimaksud dalam ketentuan hukum internasional. Lihat G.J.H.Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber-Sumber Hukum
Internasional, Bandung, Alumni, 2000
35
G.J.H.Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber-Sumber Hukum Internasional, ibid
34
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
9
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
1. Pengaturan dalam istilah-istilah abstrak di dalam suatu konstitusi, dan
2. Pengaturan dalam istilah-istilah yang lebih spesifik di dalam undang-undang yang menjadi
bagian peraturan sehari-hari untuk bidang ini.36
Namun sebelum diatur dalam hukum nasional, terlebih dahulu dilakukan tindakan yang
menyatakan Negara berkehendak untuk mengingkatkan diri pada suatu perjanjian internasional.
Ratifikasi menjadi modalitas awal bagi Negara untuk terikat secara hukum pada perjanjian
termaksud. Tindakan ini merupakan persinggungan awal antara hukum internasional dengan hukum
nasional. Melalui tindakan ini pula Negara
berpotensi mengurangi daya laku suatu perjanjian
37
internasional melalui reservasi.
Dalam proses ini, pertimbangan kepentingan politik Negara kerap
lebih mewarnai ketimbang substansi yang diatur di dalamnya. Praktik-praktik Negara memperlihat
sengitnya perdebatan untuk menerima universalitas HAM. Di sini doktrin kedaulatan Negara
dihadap-hadapkan untuk menolak standar HAM internasional.38 Oleh karena itu, eksaminasi awal
untuk melihat kesungguhan Negara dalam memajukan HAM, dapat dilihat pada saat Negara
tersebut meratifikasi perjanjian internasional apakah melakukan mereservasi ketentuan-ketentuan
tertentu dari perjanjian internasional untuk disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Reservasi
juga dilakukan oleh Negara Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan tertentu dari instrument hukum
HAM Internasional utama yang diratifikasi. Tabel berikut menunjukkan ketentuan-ketentuan yang
diratifikasi oleh Negara Indonesia.
Tabel 2: Reservasi yang dilakukan oleh Negara Indoensia terhadap Instrumen Hukum HAM internasional utama yang telah
diratifikasi 39
Instrument
Pasal-Pasal yang direservasi
International Convention
on the Elimination of All
Forms of Racial
Discrimination
Article 22:
Dispute between two or more
States Parties with respect to
the interpretation or
application of this Convention
referred to the International
Court of Justice
International Covenant on
Economic, Social and
Cultural Rights
Article 1:
All peoples have the right of
self-determination. By virtue of
that right they freely
Reservasi
Reservation:
"The Government of the Republic of
Indonesia does not consider itself bound
by the provision of Article 22 and takes
the position that disputes relating to
the interpretation and application of
the [Convention] which cannot be
settled through the channel provided
for in the said article, may be referred to
the International Court of Justice only
with the consent of all the parties to the
dispute."
Declaration:
"With reference to Article 1 of the
International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights, the
36
James W. Nickel, op.cit.
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Pasal 2.1 (d)) menyatakan bahwa reservasi berarti suatu
pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu Negara ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau
mengaksesi suatu perjanjian internasional dengan tujuan untuk mengecualikan atau memodifikasi akibat hukum dari
ketentuan-ketentuan tertentu dalam penererapannya kepada Negara tersebut. Lihat C. de Rover, To Serve & To Protect :
Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2000
38
Jack Donelly, HAM dan “Nilai-Nilai Asia” dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op.cit.
39
http://www.ohchr.org/english/countries/ratification/11.htm
37
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
10
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
determine their political status
and freely pursue their
economic, social and cultural
development.
International Covenant on
Civil and Political Rights
Article 1:
All peoples have the right of
self-determination. By virtue of
that right they freely
determine their political status
and freely pursue their
economic, social and cultural
development.
Convention on the
Elimination of All Forms of
Discrimination against
Women
Article 29 (1):
dispute between two or more
States Parties with respect to
the
interpretation or application of
this Convention shall be
referred to the International
Court of Justice
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
Government of [the] Republic of
Indonesia declares that, consistent with
the Declaration on the Granting of
Independence to Colonial Countries and
Peoples, and the Declaration on
Principles of International Law
concerning Friendly Relations and
Cooperation among States, and the
relevant paragraph of the Vienna
Declaration and Program of Action of
1993, the words "the right of selfdetermination" appearing in this article
do not apply to a section of people
within a sovereign independent state
and can not be construed as authorizing
or encouraging any action which would
dismember or impair, totally or in part,
the territorial integrity or political unity
of sovereign and independent states."
Declaration:
"With reference to Article 1 of the
International Covenant on Civil and
Political Rights, the Government of the
Republic of Indonesia declares that,
consistent with the Declaration on the
Granting of Independence to Colonial
Countries and Peoples, and the
Declaration on Principles of
International Law concerning Friendly
Relations and Cooperation Among
States, and the relevant paragraph of
the Vienna Declaration and Program of
Action of 1993, the words "the right of
self-determination" appearing in this
article do not apply to a section of
people within a sovereign independent
state and can not be construed as
authorizing or encouraging any action
which would dismember or impair,
totally or in part, the territorial integrity
or political unity of sovereign and
independent states."
Reservation:
The Government of the Republic of
Indonesia does not consider itself bound
by the provisions of article 29,
paragraph 1 of this Convention and
takes the position that any dispute
relating to the interpretation or
application of the Convention may only
be submitted to arbitration or to the
11
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Convention against
Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment
Convention on the Rights
of the Child
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
Article 20 :
Committee receives reliable
information which appears to
it to contain well-founded
indications that torture is
being systematically practised
in the territory of a State
Party, the Committee shall
invite that State Party to cooperate in the examination of
the information and to this
end to submit observations
with regard to the
information concerned
Article 30:
Any dispute between two or
more States Parties
concerning the interpretation
or application of this
Convention to agree on the
organization of the arbitration
and may refer the dispute to
the International Court of
Justice
Article 1:
For the purposes of the
present Convention, a child
means every human being
below the age of eighteen
years
Article 14:
Respect the right of the child
to freedom of thought,
conscience and religion.
Article 16:
Interference with his or her
privacy, family, home or
correspondence, nor to
unlawful attacks on his or her
honour and reputation.
Article 17:
The child has access to
information and material from
a diversity of national and
international sources
Article 21 :
The system of adoption shall
ensure that the best interests
International Court of Justice with the
agreement of all the parties to the
dispute."
Declaration:
"The Government of the Republic of
Indonesia declares that the provisions
of paragraphs 1, 2, and 3 of article 20 of
the Convention will have to be
implemented in strict compliance with
the principles of the sovereignty and
territorial integrity of States.
Reservation:
The Government of the Republic of
Indonesia does not consider itself
bound by the provision of article 30,
paragraph 1, and takes the position
that disputes relating to the
interpretation and application of the
Convention which cannot be settled
through the channel provided for in
paragraph 1 of the said article, may be
referred to the International Court of
Justice only with the consent of all
parties to the disputes."
Reservation:
The 1945 Constitution of the Republic
of Indonesia guarantees the
fundamental rights of the child
irrespective of their sex, ethnicity or
race. The Constitution prescribes those
rights to be implemented by national
laws and regulations.
The ratification of the Convention on
the Rights of the Child by the Republic
of Indonesia does not imply the
acceptance of obligations going
beyond the Constitutional limits nor
the acceptance of any obligation to
introduce any right beyond those
prescribed under the Constitution.
With reference to the provisions of
articles 1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29 of this
Convention, the Government of the
Republic of Indonesia declares that it
will apply these articles in conformity
with its Constitution.
12
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
of the child
Article 22:
State party shall take
appropriate measures to
ensure that a child who is
seeking refugee status or who
is considered a refugee
Article 29:
The education of the child
Dengan reservasi-reservasi tersebut di atas, maka Negara Indonesia tidak terikat secara yuridis
untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut. Artinya Negara Indonesia mempunyai
dalih untuk mengambil kebijakan lain dalam mengimplementasikan pemajuan dan pemenuhan hakhak tersebut. Meskipun berdampak pada derajat keterpenuhan HAM warga negaranya.
Mengapa pada saat meratifikasi instrument HAM selalu disertai tindakan reservasi oleh Negara
Indonesia? Dalam konteks, KHA mengapa reservasi ditujukan justru pada ketentuan-ketentuan yang
terkait dengan hak-hak yang mendasar yang dimiliki oleh anak-anak?. Salah satu alasan mengapa hal
ini terjadi karena terdapat penolakan klaim universal HAM dilawankan dengan pandangan
relativisme budaya. Perdebatan mengenai kebudayaan dan HAM pada tahun 1990-an, menyangkut
“nilai-nilai Asia”40 menjadi latar belakang historis mengapa Negara Indonesia melakukan reservasi
terhadap KHA. Argumentasi Menteri Luar Negeri Indonesia dalam Konferensi Wina 1993,
merefleksikan keyakinan akan “Nilai-Nilai Asia”, bahwa praktik-praktik budaya suatu Negara
merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.41 Argumentasi yang disampaikan
oleh Menteri Luar Negeri sebagai berikut :
“Tatkala seorang Kepala Negara sudah mengambil keputusan atas persoalan yang menyangkut
kehidupan negaranya, maka hak-hak dari individu-individu mesti tunduk pada apa yang
dipertimbangkannya sebagai keniscayaan-keniscayaan dari keadaan saat itu.”42
Konstruksi
demikian
nampak ketika
Negara Indonesia memodifikasi kewajiban
internasionalnya untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan KHA. Modifikasi kewajiban
tersebut dilakukan untuk disesuaikan dengan pertimbangan politik HAM Negara Indonesia.
Reservasi Pasal-Pasal KHA di atas dapat merepresentasikan bagaimana sesungguhnya politik HAM
Negara Indonesia dalam memajukan dan memenuhi hak asasi anak. Implementasi HAM memang
selalu berkaitan dengan politik HAM karena implementasi tersebut melibatkan variabel tertentu
seperti prioritas, anggaran dan sumber-sumber sosial, serta kemauan politik pemerintah. Sebagai
contoh, Negara harus membuka akses informasi seluas-luasnya kepada anak-anak, namun
kebebasan ini dapat ditolak dengan dalih tidak sesuai dengan ketentuan UUD1945.43
Dalih ini mendapatkan justifikasi karena Negara Indonesia mereservasi ketentuan KHA
mengenai hak anak atas informasi sebagaimana diatur Pasal 17 KHA. Reservasi yang dilakukan oleh
Indonesia terhadap Pasal-Pasal KHA di atas secara substantif jelas menghambat anak-anak untuk
menikmati hak asasinya secara penuh. Karena reservasi yang dilakukan Negara Indonesia terkait
dengan salah satu prinsip fundamental KHA, yakni prinsip penghargaan terhadap pendapat anak
40
Jack Donelly, HAM dan “Nilai-Nilai Asia” dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, ibid
Jack Donelly, HAM dan Relativisme Budaya, dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, ibid
42
Jack Donelly, HAM dan “Nilai-Nilai Asia” dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, ibid
43
Artidjo Alkostar, Pengadilan HAM, Indonesia, dan Peradaban, Yogyakarta, INSIST Press, 2004
41
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
13
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle).44 Prinsip ini
terkait dengan pelaksanaan hak-hak politik dan kebebasan anak-anak dalam rangka mewujudkan
pemajuan dan pemenuhan hak-hak asasi anak yang lain. Perwujudan hak politik dan kebebasan anak
harus diikuti dengan prakondisi-prakondisi sebagai berikut : (i) hak atas pendapat; (ii) kebebasan
berekspresi; (iii) kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama; (iv) kebebabasan untuk berkumpul
dan berorganisasi secara damai; (v) hak untuk mengetahui dan praktik-praktik kebudayaan
tradisional; (vi) hak atas privasi; dan (viii) hak atas informasi yang wajar.45 Kondisi-kondisi ini sulit
terbangun apabila reservasi dilakukan oleh suatu Negara terkait dengan hak-hak tersebut.
Menurut Pasal 19 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969 terkait
dengan reservasi dinyatakan bahwa:
Setiap negara pada waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau
mengaksesi perjanjian internasional dapat membuat reservasi, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. Reservasi secara eksplisit dinyatakan dilarang oleh perjanjian internasional yang
bersangkutan untuk keseluruhan atau ketentuan tertentu dari perjanjian internasional
yang bersangkutan;
2. Perjanjian internasional yang bersangkutan menetapkan bahwa hanya reservasi khusus
dapat dibuat; dan
3. Reservasi tidak sesuai dengan sasaran dan maksud perjanjian internasional yang
bersangkutan
Terkait dengan upaya ratifikasi, suatu Negara yang telah menyepakati untuk terikat pada instrument
hukum HAM internasional akan berupaya mencapai 2 (dua) tujuan yakni:46
1. Untuk memajukan standar HAM baik domestik maupun internasional atau keduanya;
2. Untuk meminimalkan pelanggaran perjanjian internasional karena terkait dengan aspek
kedaulatan Negara yang tidak ingin dilepaskan.
Resevasi merupakan sarana untuk mempertemukan 2 (dua) tujuan tersebut. Dengan mengajukan
reservasi ketika melakukan ratifikasi, Negara dapat menjadi pihak dalam perjanjian internasional
sedangkan aspek-aspek perjanjian yang membatasi Negara karena
bertentangan dengan
kepentingan domestik suatu Negara pihak berusaha untuk melindungi kepentingan domestiknya. 47
Dalam hal reservasi yang dilakukan oleh Negara-Negara para pihak terhadap KHA, Komite
Hak Anak (Committee of The Rights of The Child) melarang setiap reservasi yang bertentangan
dengan objek dan tujuan konvensi. Bahkan lebih jauh, Komite menyatakan keprihatinannya
terhadap upaya yang dilakukan Negara untuk membatasi hak asasi anak melalui konstitusi,
undang-undang, maupun hukum agama.48 Sikap serupa juga diperlihatkan oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) yang berpendapat bahwa sebagian reservasi yang
44
Terdapat 5 (lima) prinsip fundamental CRC yang mencakup : (i) prinsip non diskriminasi (non-discrimination principle); (ii)
prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child principle); (iii) prinsip hak untuk hidup dan perkembangan
secara maksimal (right to life and maximum development principle) ; (iv) prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan
hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle); dan (v) prinsip bahwa hak asasi anak tidak
terpisah dan saling bergantung (indivisibility and interdependence of rights principle). Lihat Ma. Teresa dela Cruz et.al, ,
Small Steps, Great Strides : Doing Participatory Research with Children, UNICEF, 2002
45
Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides, ibid
46
Ryan Goodman, Human Rights Treaties, Invalid Reservations, and State Consent, The American Journal of International Law,
Vol. 96:531, 2002.
47
Ryan Goodman, ibid
48
Lihat General Comment No. 5 mengenai General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child
(arts. 4, 42 and 44, para. 6)
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
14
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
dilakukan oleh negara mengakibatkan keutuhan umum perjanjian internasional terancam. Apalagi
jika reservasi yang dilakukan tersebut bersifat substantif.49 Kemudian, seturut dengan pandangan
Komisi Hukum Internasional, Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) melalui Komentar
Umum (General Comment) No. 24
mensinyalir peningkatan jumlah Negara yang mereservasi
Kovenan yang berdampak mengurangi efektivitas dan memperlemah kewajiban Negara-negara
peserta.50
Pada 2005 melalui Menteri Luar Negeri Negara Indonesia menarik reservasi terhadap KHA.
Piagam Penarikan Pernyataan (Instrument of Withdrawal of Declaration) menyatakan bahwa:
Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa Pemerintah
Republik Indonesia telah dapat berpartisipasi penuh pada Konvensi tahun 1989 dimaksud;
Menyatakan menarik pernyataan atas kententuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22, dan 29
dari Konvensi tahun 1989 dimaksud.
Dengan penarikan reservasi tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia terikat penuh untuk
mengimplementasikan seluruh prinsip-prinsip dan norma-norma yang ada dalam KHA dengan itikad
baik. Namun demikian, penarikan reservasi terhadap KHA masih menyisakan permasalahan yuridis
khususnya dalam ranah hukum nasional karena tindakan tersebut masih terbatas pada lingkup
hukum internasional. Efektivitas penarikan reservasi tersebut berada pada ranah hukum domestik
sehingga membutuhkan landasan hukum agar dapat menjamin perlindungan terhadap hak anak
secara penuh.
Pemberian landasan hukum upaya penarikan reservasi KHA dengan undang-undang di
samping memperkuat eksistensi hukum anak sebagai subyek hak yang diakui secara penuh
sebagaimana telah dijamin dalam KHA. Pemberian tersebut juga sesuai dengan ketentuan yang ada
dalam UU No. UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UU Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena substansinya mengatur HAM.
Lebih jauh upaya ini juga merupakan upaya implementasi kewajiban negara sebagaimana
dimandatkan Pasal 4 KHA bahwa negara harus melakukan langkah-langkah legislatif, yudisial,
administrasi, dan langkah-langkah lain sehingga hak-hak yang dijamin dalam KHA dapat dinikmati.
Idealnya upaya pemberian landasan hukum penarikan reservasi dengan undang-undang dilakukan
bersamaan dengan menaikan status hukum hirarki landasan hukum ratifikasi KHA dari Keppres
menjadi undang-undang. Kewajiban Pasal 4 tersebut memiliki keterkaitan erat dengan ketentuan
Pasal 42 KHA yang merumuskan bahwa:
Negara-negara Pihak berusaha membuat prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi diketahui secara meluas dengan cara yang tepat dan aktif, baik oleh remaja maupun
anak-anak.
Dalam kaitan ini Komite Hak Anak menggarisbawahi pentingnya melakukan diseminasi prinsipprinsip dan norma-norma KHA kepada setiap warga Negara. Selanjutnya, Komentar Komite Hak
Anak dalam Pedoman untuk Laporan Awal dan Laporan Berkala
telah menekankan bahwa
diseminasi KHA dapat mencapai beberapa tujuan antara lain:51
49
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Pasal 19 menyatakan bahwa reservasi diperkenankan dengan
perkecualian : (a) reservasi tersebut dilarang oleh perjanjian internasional;
(b) perjanjian internasional menentukan
bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu, yang tidak termasuk reservasi tersebut, yang boleh dibuat; dan (c) dalam hal
yang tidak berada di bawah sub paagraf (a) dan (b), reservasi tidak sesuai dengan obyek dan tujuan perjanjian internasional
tersebut. Lihat C. de Rover, loc.cit,
50
Lihat C. de Rover, ibid
51
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, New York,
United Nations Children’s Fund 2002
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
15
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Memastikan hak-hak anak semakin nyata terpenuhi;
Meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak anak;
Menegaskan kembali nilai-nilai hak anak yang fundamental;
Meningkatkan demokratisasi pada institusi-institusi;
Mewujudkan rekonsiliasi nasional;
Mendorong perlindungan terhadap hak-hak anak yang termasuk kelompok yang minoritas;
Mengubah pandangan negatif terhadap anak-anak;
Memerangi dan menghapuskan prasangka yang ada terhadap kelompok rentan dan praktikpraktik budaya yang membahayakan anak-anak.
Berdasarkan tekanan yang dinyatakan oleh Komite maka pencabutan reservasi KHA semestinya
segera ditindaklanjuti dengan pemberian landasan hukum sehingga akan memberikan dampak
yuridis bagi perlindungan anak dan memperkuat eksistenis hukum anak sebagai subyek hak.
Kemudian, implemtasi KHA yang reduktif juga dapat dilihat pada komitmen Negara yang
tidak memiliki kehendak untuk secara penuh (reception in complexu) mengadopsi prinsip-prinsip
KHA dalam sistem hukum Indonesia. UUD 1945 sebagai konstitusi Negara hanya secara dangkal
mengkonstruksi hukum hak asasi anak. Ide dasar falsafah KHA yakni anak-anak karena alasan
ketidakdewasaan fisik dan jiwanya membutuhkan perlindungan secara khusus tidak dielaborasi lebih
jauh.52 Model pembentukan konstitusi demikian berakibat HAM tidak dilihat sebagai kebenaran
moral terberi, tetapi sebaliknya sebagai konstruksi lembaga legislatif. Konsekuensi logis HAM yang
memiliki sifat yuridis yang inheren, secara konseptual diarahkan kepada penegakkannya secara
positif.53 Dalam titik ini jaminan konstitusional hak asasi anak dalam konteks Negara Indonesia
bergantung pada bagaimana MPR menempatkan permasalahan anak. Sampai saat ini, MPR memang
telah melakukan 4 (empat) kali amendemen terhadap UUD 1945, namun hasilnya masih terasa
belum cukup menjamin hak-hak konstitusi warga Negara, apalagi hak asasi anak. Akar permasalahan
lemahnya jaminan HAM dalam UUD 1945 karena paham konstitusionalisme yang dianut Negara
Indonesia cenderung memberikan hak terlalu besar kepada Negara sehinga hasil amandemen UUD
1945 cenderung hanya memperkuat lembaga-lembaga Negara, namun di sisi lain perlindungan HAM
warga Negara justru dilemahkan. Hal ini dapat dilihat pengaturan HAM tidak diikuti dengan
pembentuk institusi yang memiliki mandat untuk menegakan hak konstitusionalitas warga Negara.
Dalam UUD 1945 belum terdapat pengakuan penuh bahwa anak sebagai subyek hak yang
dilekati dengan hak-hak subyektif (subjective rights) sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan
spesifik anak. Di samping itu, kewajiban Negara (the duty of the state) dalam memberikan
perlindungan terhadap anak, serta arah dari kebijakan sosial Negara dalam menjamin kesejahteraan
anak berdasarkan prinsip-prinsip KHA dalam kemasan khusus child charter belum terejawantah.
Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak masih ditempatkan bersamaan dengan hak asasi
warga Negara lain.54 Situasi ini menunujukkan bahwa Negara Indonesia belum memiliki komitemen
yang tinggi dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Lebih jauh rendahnya
komitmen Negara terlihat dengan tidak diakomodasikannya 2 (dua) prinsip fundamental KHA yakni
52
Mengadopsi pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto yang mentautkan permasalahan konstitusi, konstitusionalisme, dan
HAM dalam Soetandyo Wignjosoebroto Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, 2002, hal. 406 - 407
53
Jurgen Habermas, Beberapa Catatan Tentang Legitimasi yang Berdasar pada HAM, dalam dalam HAM : Aneka Suara dan
Pandangan, Frans Ceunfin (editor), Maumere, Ladero, 2006, hal. 59
54
Mengadopsi Mas Achmad Santosa dalam Jimly Asshidiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
16
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip hak anak untuk didengar dalam konstitusi.
Semestinya keempat prinsip KHA yang terformulasikan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 12
terintegrasi ditambah hak-hak fundamental anak lainnya baik sipil,politik, ekonomi, sosial, dan
budaya.
Pengintegrasian prinsip dan norma-norma KHA dalam konstitusi menjadi penting dilakukan
karena konstitusi dapat menjadi alat untuk melakukan reformasi legislasi dan kebijakan suatu negara
(constitusions as tool of legislative and policy reforms). Konstitusi merupakan norma tertinggi dalam
suatu sehingga akan memiliki dampak lebih bagi upaya perlindungan anak dalam kehidupan
bernegara. Lebih jauh konstitusi yang memiliki keberpihakan pada anak akan menjadi dasar
pertimbangan dalam memformulasikan substansi dan proses pengembangan reformasi legislasi dan
kebijakan yang juga akan memiliki nuansa keberpihakan terhadap anak. Implikasi hukum termuatnya
prinsip-prinsip dan norma-norma antara lain:55
1. Konstitusi sebagai landasan hukum tertinggi Negara dalam menyelenggarakan urusannya;
2. Konstitusi sebagak kerangka dasar untuk melakukan reformasi legislative;
3. Konstitusi sebagak kerangka dasar untuk melakukan reformasi kebijakan;
4. Konstitusi akan memperkuat status anak sebagai subyek hak asasi manusia.
Dalam konteks, implementasi KHA sebagaimana telah diuraikan di atas, Pasal 4 KHA
menentukan bahwa implementasi tersebut dilakukan melalui
semua tindakan legislatif,
administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi.
Pasal tersebut dapat juga dibaca bagaimana Negara menempatkan ratifikasi KHA dalam sistem
hukum Negara tersebut. Dalam hal ini pemberian landasan hukum ratifikasi KHA menjadi titik awal di
mana sesungguhnya keberpihakan Negara Indonesia dalam memandang permasalahan hak asasi
anak yang menjadi substansi KHA. Mengingat eksistensi HAM di level domistik bergantung pada
sistem hukum nasionalnya, maka pilihan pemberian landasan hukum ratifikasi berdampak pada
tingkat efektifitas implementasi norma-norma yang diatur di dalamnya. Jika dilihat dari teori
Stufenbau des Recht Han Kelsen56 yang dianut oleh Negara Indonesia, penempatan ratifikasi dalam
hirarki peraturan perundang-undangan, sudah menjelaskan sejauhmana keberpihakan Negara untuk
menjamin hak asasi anak.
Menurut hirarki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia, kekuatan
hukum Keputusan Presiden, yang menjadi landasan hukum ratifikasi KHA, lebih lemah dibandingkan
dengan undang-undang. Keputusan Presiden berdasarkan teori Stufenbau, pada masa sebelum
berlaku UU Nomor 10 Tahun 2004, merupakan fungsi delegasian dari Peraturan Pemerintah dan
sekaligus undang-undang yang dilaksanakannya. Fungsi Keputusan Presiden di sini merupakan fungsi
yang berdasarkan teori Stufenbau di mana suatu peraturan di bawah itu selalu berlaku, bersumber,
dan berdasarkan peraturan yang lebih tinggi di atasnya.57
Dalam sistem demokratis, Keputusan Presiden tentu tidak mendapatkan legitimasi yang luas
karena hanya merupakan pernyataan sepihak Presiden. Keputusan Presiden merupakan ekspresi
kekuasaan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, pada
masyarakat yang demokratis, undang-undang merupakan produk hukum yang lebih terlegitimasi
karena melibatkan legislatif yang merepresentasi kedaulatan rakyat. Di titik ini terdapat relasi antara
55
Nadine Perrault, et.al., Handbook on Legislative Reform: Realising Children’s Rights, Vol.1, United Nations Children’s Fund
(UNICEF), Gender, Rights and Civic Engagement, Division of Policy and Practice, New York,2008
56
Pembahasan lebih lanjut dari teori Stufenbau des Recht Hans Kelsen ini dan dampaknya pada bangunan sistem hukum
Indonesia dalam memajukan hak asasi anak akan diuraikan pada bagian lain dari tulisan ini
57
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hal.
117.
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
17
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
kedaulatan rakyat dan HAM yang menjadi dasar legitimasi suatu undang-undang, yakni hak atas
komunikasi dan hak atas partisipasi.58 Pada prinsipnya demokrasi, pembangunan, dan HAM memang
memiliki pertalian konseptual dan praktis yang penting. Hal yang paling penting ialah norma-norma
HAM internasional menuntut pemerintahan yang demokratis. Sebagimana ditegaskan Pasal 21
DUHAM, yang menyatakan bahwa “kehendak rakyat harus menjadi landasan dari kekuasaan
pemerintahan.” Sebangun dengan Pasal 21 DUHAM, Deklarasi Wina menegaskan bahwa “demokrasi
dilandaskan pada kehendak yang diungkapkan secara bebas oleh rakyat guna menentukan berbagai
sistem politik, ekonomi, sosial, budayanya sendiri, serta keterlibatan mereka secara penuh di dalam
setiap kehidupannya”. Dengan demikian, pemajuan dan perlindungan HAM menyaratkan terdapatnya
pemerintahan yang demokratis atau pemerintahan rakyat yang dimaknai oleh David Held:
1. bahwa semua orang harus dilibatkan dalam urusan legislatif, dalam memutuskan kebijakan
umum, dan dalam hal administrasi pemerintahan;
2. bahwa semua orang harus secara pribadi terlibat dalam proses pengambil keputusan yang
penting; dan
3. bahwa penguasa harus bertanggung jawab kepada orang-orang yang diperintahnya, dengan
kata lain berkewajiban untuk mengabsahkan berbagai tindakannya kepada rakyat.59
Undang-undang dalam masyarakat yang demokratis dikerangkai oleh Negara berdasar atas hukum
(rule of law/rechtsstaat) material.60 Dalam Negara berdasarkan atas hukum material ini Negara
berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan rakyat sehingga intervensi Negara dalam mengurusi
kepentingan ekonomi, politik, sosial, budaya, lingkungan hidup, serta masalah lainnya tidak dapat
dielakkan. Malahan undang-undang diharapkan memberikan pengarahan kepada pemerintah dalam
perlindungan HAM warga Negara.61
Di sisi lain, Keputusan Presiden merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang
tidak terlegitimasi karena hanya berasal dari kehendak Presiden semata. Keputusan Presiden
merupakan produk perundang-undangan yang amat fleksibel, karena dapat berbentuk
pendelegasian maupun pengatribusian langsung dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Hal ini telah
membuat Keputusan Presiden sebagai salah satu instrumen perundang-undangan yang rawan
terhadap distorsi dalam bidang hukum, terutama mengingat keleluasaan presiden yang luar biasa
dalam menentukan materi muatan dari Keputusan Presiden tersebut. Kerawanan tersebut ditambah
dengan tidak adanya sistem kontrol terhadap produk perundang-undangan tersebut oleh DPR.62
Dalam konteks inilah, ratifikasi KHA pada tahun 1990 dengan mendapatkan landasan hukum
berupa Keputusan Presiden, dapat diartikan bahwa pemberian landasan hukum ini dilatarbelakangi
politik hukum Negara Indonesia yang diorientasikan untuk mendukung pembangunan ekonomi.63
Perhatian yang hanya terfokus pada pembangunan ekonomi berarti segala sesuatu yang berkaitan
dengan kehidupan perempuan, anak-anak, dan lingkungan bukan menjadi prioritas utama. Kondisi
58
Jurgen Habermas, Beberapa Catatan Tentang Legitimasi yang Berdasar pada HAM, dalam ibid, hal. 50
Jack Donelly, Demokrasi, Pembangunan, dan HAM, dalam ibid, hal. 267-272
60
Ciri-ciri Rechtsstaat material ditandai dengan adanya : (i) prinsip perlindungan HAM; (ii) prinsip pemisahan kekuasaan; (iii)
prinsip pemerintahan berdasarkan undang-undang; (iv) prinsip peradilan administrasi; dan (v) prinsip pemerintahan yang
menciptakan kemakmuran rakyat. Lihat, Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, op. cit, hal. 128
61
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid
62
http://www.transparansi.or.id/pers/pers4.html
63
Pada masa Pemerintahan Orde Baru (1966 -1998) perkembangan hukum di Indonesia diwarnai dengan dijadikannya
hukum sebagai alat untuk mewujudkan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dijadikan sebagai target dengan
indikator pencapaian pertumbuhan setinggi-tingginya. Pada masa tersebut teori hukum pembangunan yang digagas oleh
Mochtar Kusumaatmadja diintroduksi dalam GBHN 1973. Lihat Siharta, op. cit, hal. 317
59
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
18
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
perempuan, anak-anak, dan lingkungan tidak pernah dipakai sebagai indikator pembangunan. Hal
ini dicapai lewat pengabaian terhadap 2 (dua) permasalahan yang tidak terlihat. Pertama, kontribusi
alam, perempuan, dan anak-anak terhadap pertumbuhan ekonomi pasar diabaikan dan diingkari.
Kedua, dampak negatif dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi terhadap perempuan, anakanak, dan lingkungan tidak dijadikan pertimbangan dan catatan. Dengan kata lain permasalahan
perempuan, anak-anak, dan lingkungan secara statistik ekonomi tidak terlihat sehingga kebijakan
publik yang diambil tidak merespon permasalahan-permasalahan tersebut.64 Proses yang reduktif
di atas dapat digambarkan di bawah ini.
Adopsi
Reduksi
Hak hukum internasional
Adopsi
Reduksi
Hak hukum nasional
Hak hukum lokal
Gambar 2 : Proses reduksi substansi HAM dalam proses transformasi
Dalam konsepsi sistem hukum (system of law) yang dikemukakan Lawrence M. Friedman
kepatuhan negara dalam mengimplemetasikan kewajiban hukum Pasal 4 tersebut. Sistem hukum
sesungguhnya dapat dilihat pada 3 (tiga) matra, yakni :
1. struktur sistem hukum (structure of a legal system) yang mencakup institusi peradilan dan
mekanismenya, legislatif, aparat pemerintahan, dll. Dengan arti lain persinggungan dari
pelbagai sistem hukum;
2. substansi hukum (substance of law), yaitu aturan-aturan, norma-norma, dan pola perilaku dari
orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah sistem hukum;
3. budaya hukum si hukum (culture of law); yakni sikap masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan, termasuk kepercayaan, nilai-nilai, gagasan, dan harapan
masyarakat. Dengan kata lain, budaya hukum merupakan iklim dari keyakinan sosial dan
kekuatan sosial yang mana akan menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, dan
disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak berdaya.65
Matra pertama dan kedua lokusnya berada pada aparat Negara (state apparatus) yang diberikan
kewenangan atribusi untuk menjamin pemajuan dan perlindungan hak-hak anak. Jika memedomani
karakteristik HAM yakni dijamin oleh hukum internasional (guaranteed by international standards);
secara hukum dilindungi dan menetapkan kewajiban hukum (legally protected and define legal
64
Vandana Shiva, Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-Anak yang Jadi Korban, dalam Ecofeminisme:
Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, Vandana Shiva dan Maria Mies, Yogyakartam IRE Press, 2005, hal. 84
65
Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, CV Utomo, 2006, hal. 179 -180
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
19
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
obligations); dan menempatkan kewajiban pada Negara dan aktor-aktor Negara (place obligations on
states and state actors);66 sekaligus mengadvokasikan67 hak-hak asasi anak maka substansi hukum
menjadi pedoman utama. Dengan demikian konstitusi yang secara formal menjadi norma
fundamental Negara (staatsfundamentalnorm), dapat dijadikan sebagai sarana pertama untuk
mengeksaminasi keberpihakan Negara terhadap pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi anak.
Di Indonesia, UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai konstitusi di mana semua norma berdiri
dan dibangun dengan merujuk padanya. Secara hirarkis, ruang lingkup sumber hukum formil68 di
Indonesia diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pasal 7 dari undang-undang ini menetapkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia meliputi :
1. UUD 1945
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturam Daerah69
Mengacu pada hirarki di atas, yang menempatkan konstitusi sebagai sumber utama normanorma, maka keberpihakan negara terhadap anak dapat dieksaminasi. Pertanyaan mendasarnya
apakah prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi anak yang termaktub dalam KHA telah menjadi
hak konstitusional ?
Terdapat 3 (tiga) kategorisasi untuk mengeksaminasi pendekatan konstitusi suatu negara
menyangkut status konstitusional hak asasi anak yakni:
1. Konstitusi ’anak yang tersembunyi (The ‘invisible child’ constitution), yakni konstitusi tidak
mengekspresikan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan
anak-anak.70
66
Judith Asher, The Right to Health: A Resource Manual for NGOs, Commonwealth Medical Trust, AAAS Science and Human
Rights Program, HURIDOCS, Printing B.V., Bergstraat 21, Amersfoort, The Netherlands, 2004, hal. 12
67
Tujuan dan sasaran utama advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan publik, maka kebijakan publik yang meliputi
seluruh keputusan politik dan terwujud secara tertulis melalui undang-undang, peraturan-peraturan, dan keputusan
Negara. Dengan demikian, titik berat perhatian advokasi pada naskah (text) dari hukum tertulis atau aspek tertulis dari
sistem hukum yang tertulis. Lihat Roem Topatimasang, et.al, Sehat Itu Hak : Panduan Advokasi Masalah Kesehatan
Masyarakat, Koalisi untuk Indonesia Sehat, INSIST, danPusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, FKM UI, 2005,
hal.83-84. Dengan kata lain, advokasi bukan merupakan revolusi, tetapi lebih merupakan usaha perubahan sosial secara
bertahap maju (incremental) melalui semua salauran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi
yang terdapat dalam sistem yang berlaku. Lihat Mansour Fakih, Memahami Advokasi dalam Merubah Kebijakan Publik, Roem
Topatimasang, Mansour Fakih, Toto Raharjo, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Read, INSIST, dan PACT, 2002, hal. iv
68
Pengertian dan ruang lingkup sumber hukum formil dapat diklasifikasikan dalam beberapa unsure berikut : (a) sumber
hukum dalam pengertian bentuk perumusan kaidah-kaidahnya; (b) tempat yang menentukan atau menyebabkan
berlakunya suatu kaidah hukum; (c) tempat di mana aturan hukum itu dapat diketahui; dan (d) berkaitan dengan cara yang
menyebabkan peraturan hukum formil itu berlaku. Lihat Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, Jakarta, KONpress, 2006,
hal. 187
69
Jazim Hamidi, ibid, hal. 68 - 82
70
Substansi-substansi konstitusi yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini adalah: (i) konstitusi memuat semua
referensi HAM, namun tidak menempatkan referensi hak-hak anak: (ii) konstitusi mengasumsikan bahwa hak asasi anak
sudah tercakup secara penuh dengan cara menafsirkan referensi HAM yang ada. Manakala pengalaman historis tidak
menunjukkan praktik-praktik positif yang sama terhadap penghargaan hak asasi anak maka jurisprudensi menjadi penting
untuk menegakkan hak asasi anak (iii) secara historis beberapa prinsip dasar menjadi usulan, namun terdapat korelasi yang
terbalik dalam beberapa kasus antara memperluas cakupan aturan hak-hak anak dalam konstitusi dan praktik-praktik
penghargaan terhadap hak asasi anak. Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, op.cit, hal. 22-23
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
20
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
2. Konstitusi ‘perlindungan khusus (The ‘special protection’ constitution), yakni konstitusi yang
telah merefleksikan perlakuan khusus yang ditujukan untuk memastikan bahwa anak-anak
mendapatkan perlindungan dari faktor yang mengancam kehidupan mereka71
3. Konsitusi ‘hak asasi anak’ (The ‘children’s rights’ constitution), yakni konstitusi yang telah
mengakomodasi seluruh prinsip-prinsip atau sebagian besar norma-norma yang terkandung
dalam KHA.72
Menurut Philip Alston, Konstitusi Indonesia termasuk konstitusi kategori kedua di mana isu yang
menjadi substansi konstitusi secara eksplisit (tersurat) hanya kewajiban untuk memberikan
perlindungan/dukungan terhadap kelompok anak tertentu seperti anak yatim, difabel, dan anak-anak
yang sangat membutuhkan (a special obligation to protect/support certain groups of children such as
orphans, the disabled and needy).73 Kemudian, Pasal 28B (2) 74 hasil amandemen II UUD 1945 juga
telah mengatur hak asasi anak. Namun dengan mengadopsi sebagain dari prinsip-prinsip KHA dan
hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, namun menghilangkan prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard
principle); dan prinsip bahwa hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and
interdependence of rights principle). Di samping itu, UUD 1945 sangat sedikit mengatur hak-hak anak
yang seharusnya menjadi hak konstitusionalitas anak dan menjadi kewajiban konstitutif Negara.
Ketentuan UUD 1945 yang begitu sederhana dan singkat ini sama sekali tidak cukup
menjamin hak asasi anak-anak. Dengan minimnya pengaturan hak asasi anak maka dalam
konstitusi, konsekuensi logisnya pengaturan lebih lanjut hak asasi anak akan didelegasikan melalui
undang-undang. Permasalahannya seringkali justru undang-undang malah mendistorsi dan
mereduksi jaminan pemajuan dan perlindungan anak.
Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membebani
tanggung jawab pidana bagi anak terlalu dini, yakni 8 tahun. Bahkan prinsip diversi dan keadilan
restoratif yang menjadi standar universal penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
(children in conflict with the law) belum terakomodasi dalam undang-undang tersebut.
Namun perlu diakui, ratifikasi KHA membawa perubahan dalam bangunan sistem hukum
Indonesia dalam upaya memajukan dan melindungi hak asasi anak. Setidak-tidaknya setelah Negara
71
Suatu konstitusi dikatakan memberikan perlindungan khusus yang dapat direfleksikan dengan cara sebagai berikut : (i)
penekanannya pada perlindungan ketimbang HAM, meskipun beberapa kasus anak dikatakan telah mempunyai hak yang
relevan dengan perlindungan; (ii) perspektif utamanya melalui pendekatan terhadap perlindungan anak untuk melihat
apakah hak asasi anak telah menjadi perhatian, dan (iii) Ruang lingkup isu hak asasi anak dalam konstitusi masih terbatas
jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dalam CRC. Isu-isu anak yang masuk dalam konstitusi meliputi : (i)
perlindungan terhadap keluarga dan ibu (protection of the family and of motherhood); (ii) perlakuan khusus terhadap anak
dalam perlindungan dan perwatan (special measures of protection and assistance for children); (iii) non diskriminasi dalam
perlakuan (non-discrimination in relation to these measures ); (iv) perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial
(protection of children from economic and social exploitation); (v) perlindungan dari kondisi berbahaya dan pekerjaan
berbahaya (protection from harmful or dangerous work); dan (vi) pembatasan usia anak yang dipekerjakan (age limits for
child labour). Lihat Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, ibid, hal. 23-24
72
Konstitusi hak asasi anak ditandai dengan hal-hal berikut: (i) mengadopsi secara khas pendekatan dengan menyebutkan
satu persatu hak-hak anak; (ii) hanya sedikit hak asasi anak yang dijamin dalam CRC terekspresikan dalam konstiusi, namun
konstitusi mengatur isu anak yang sebenarnya penting yakni permasalahan hak pengungsi anak dan hak masyarakat
pribumi anak, dan (iii) konstitusi telah memuat spectrum hak asasi anak yang luas, namun belum belum mengatur secara
spesifik partisipasi anak. Lihat Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, op. cit, hal. xi
73
Lihat Pasal 34 (1) hasil amandemen IV yang mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara.
74
Lihat Pasal 28B (2) hasil amandemen II yang mengatur bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
21
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Indonesia meratifikasi KHA, kemudian diikuti ratifikasi
instrumen-instrumen hukum HAM
75
internasional yang lain, seperti:
1. Minimum Age Convention, 1973 (No. 138) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1999
2. Worst Forms of Child Labour Convention, 1999 (No. 182) diratifikasi melalui Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 200076
Sementara itu, upaya mengatur materi pemajuan dan perlindungan hak asasi anak melalui undangundang juga dilakukan, meskipun tidak secara progresif, tersistematis, dan harmonis. Bahkan secara
substantif banyak ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrument Hukum HAM yang ada.
Seperti telah diuraikan di atas, pembuatan undang-undang tersebut tidak terlepas dari politik
HAM secara umum. UUD 1945 sebagai sumber hukum formil tertinggi akan mendelegasikan
kepada undang-undang. Hal ini timbul karena konstruksi pemikiran mengenai HAM dalam UUD 1945
adalah konstitusi menetapkan negara yang akan memberikan HAM kepada warga negaranya.77
Sebagai contoh, yakni Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang membuat atribusi kepada undang-undang
untuk menetapkan lebih lanjut penegakan dan perlindungan HAM sesuai dengan prinsip Negara
hukum yang demokratis. Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks di atas, terdapat 2 (dua) periodesasi pengembangan sistem hukum Indonesia
yang materi muatannya mengatur permasalahan anak dan mentautkan dengan permasalahan anak.
yakni : (i) setelah ratifikasi KHA;78 dan (ii) amandemen UUD 1945.79
Kemudian, terkait dengan
materi muatannya pembangunan sistem hukum
sesuai dengan periodesasi di atas dapat
dikategorisasi menjadi 3 (tiga), yakni :
1. Undang-undang yang materi muatannya mengatur hak asasi anak secara sui generis80 lihat
pada table 3;
75
Instrumen hukum HAM internasional yang mengatur hak asasi anak yang belum diratifikasi sebagai berikut : (i) Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography (CRCOPSC); dan (ii) Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict
(CRC-OPAC)
76
Terkait dengan perlindungan anak yang dipekerjakan, Negera Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO sebagai berikut :
The Abolition Of Forced Labour, 1957 (No. 105) diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999; dan Labour
Inspection In Industry And Commerce diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003. Lihat catatan kaki no. 29
77
Koesnadi Hardjasoemantri, et.al., AMANDEMEN UUD 1945 MENUJU INDONESIA YANG DEMOKRATIS : Usulan Masyarakat
Transparansi Indonesia tentang Perubahan UUD 1945, Jakarta, MASYARAKAT TRANSPARANSI INDONESIA, 1999, hal. 56
78
Pengundangan ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 pada 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 menjadi titik awal untuk mengeksaminasi implementasi Negara Indonesia dalam memajukan dan
melindungi hak asasi anak melalui produk peraturan perundang-undangan, anggaran public, dan upaya administrasi.
Kewajiban hukum ini merupakan madat dari Pasal 4 Convention on the Rights of the Child,1989. Prinsip fundamental dalam
mentransformasi hak hukum internasional anak menjadi hak hukum nasional adalah prinsip kesesuaian dengan prinsipprinsip dan norma-norma yang terkandung dalam konvensi.
79
Amandemen II UUD 1945 yang mengatur hak asasi anak secara expressive verbis yakni Pasal 28 ayat (2) pada tanggal 18
Agustus 2000, menjadi momentum untuk menilai sejauhmana ketentuan pasal ini dielaborasi lebih jauh melalui undangundang.
80
Sui generis dalam term hukum dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu klasifikasi hukum yang keberadaannya mandiri
sebab ia spesifik dan khas. Atau suatu hak yang diciptakan secara spesifik dari suatu keberhakan atau kewajiban. Lihat
http://en.wikipedia.org/wiki/Sui_generis
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
22
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
2. Undang-undang yang materi muatannya bertautan antara hak asasi anak dengan HAM pada
umumnya lihat pada tabel 4;
3. Undang-undang yang materi muatannya mempunyai dampak terhadap kepentingan dan
permasalahan anak-anak lihat pada tabel 5.
Keseluruhan produk undang-undang tersebut dan keterkaitannya dengan KHA nampak pada tabeltabel di bawah ini.
Ketentuan
UU Nomor 3 Tahun
1997
UU Nomor 23 Tahun
2002
Materi
Periode
Kaitan dengan KHA
Pengadilan Anak
Setelah ratifikasi KHA
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 40
Perlindungan Anak
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Pasal 4 , Pasal 18
Tabel 3 :
Undang-Undang yang sui generis mengatur hak asasi anak
Ketentuan
UU Nomor 39
Tahun 1999
UU Nomor 26
Tahun 2000
UU Nomor 23
Tahun 2004
UU Nomor 27
Tahun 2004
UU Nomor 13
Tahun 2006
UU Nomor 21
Tahun 2007
Materi
Periode
Kaitan dengan KHA
Hak Asasi Manusia
Setelah ratifikasi KHA
Pasal 4
Pengadilan Hak Asasi
Manusia
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
Perlindungan Saksi dan
Korban
Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Pasal 4, Pasal 39, Pasal
40
Pasal 4, Pasal 19, Pasal
28 (2), dan 37,
Pasal 4, Pasal 12, Pasal
39, Pasal 40
Pasal 4, Pasal 12, Pasal
40
Pasal 4, Pasal, 19, Pasal
34, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37
Tabel 4 :
Undang-Undang yang materi muatanya materi muatannya
bertautan antara hak asasi anak dengan HAM pada umumnya.
Ketentuan
UU Nomor 4 Tahun
1992
UU Nomor 23 Tahun
1992
UU Nomor 24 Tahun
1992
UU Nomor 12 Tahun
1995
UU Nomor 7 Tahun
1996
Materi
Periode
Perumahan dan Permukiman
Setelah ratifikasi KHA
Kesehatan
Setelah ratifikasi KHA
Penataan Ruang
Setelah ratifikasi KHA
Pemasyarakatan
Setelah ratifikasi KHA
Pangan
Setelah ratifikasi KHA
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
Kaitan dengan KHA
Pasal 4, Pasal 24,
Pasal 27
Pasal 4, Pasal 24,
Pasal 27
Pasal 4, Pasal 27,
Pasal 31,
Pasal 4, Pasal 40
Pasal 4, Pasal 6,
Pasal 24, Pasal 27
23
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
UU Nomor 4 Tahun
1997
UU Nomor 5 Tahun
1997
UU Nomor 22 Tahun
1997
UU Nomor 9 Tahun
1998
Penyandang Cacat
Setelah ratifikasi KHA
Pasal 4, Pasal 23
Psikotropika
Setelah ratifikasi KHA
Pasal 4, Pasal 33
Narkotika
Setelah ratifikasi KHA
Pasal 4, Pasal 33
Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum
Setelah ratifikasi KHA
UU Nomor 8 Tahun
1999
UU Nomor 40 Tahun
1999
UU Nomor 25 Tahun
2000
UU Nomor 2 Tahun
2002
UU Nomor 20 Tahun
2002
UU Nomor 31 Tahun
2002
Perlindungan Konsumen
Setelah ratifikasi KHA
Pers
Setelah ratifikasi KHA
Pasal 4, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15
Pasal 4, Pasal 6,
Pasal 24
Pasal 4, Pasal 17
Program Pembangunan
Nasional (Propenas)
Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Ketenagalistrikan81
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
UU Nomor 13 Tahun
2003
UU Nomor 12 Tahun
2003
UU Nomor 17 Tahun
2003
UU Nomor 18 Tahun
2003
UU Nomor 20 Tahun
2003
UU Nomor 23 Tahun
2003
UU Nomor 4 Tahun
2004
Ketenagakerjaan
UU Nomor 5 Tahun
2004
UU Nomor 7 Tahun
2004
UU Nomor 8 Tahun
2004
UU Nomor 16 Tahun
Partai Politik
Pemilihan Umum DPR, DPRD,
dan DPD
Keuangan Negara
Advokat
Sistem Pendidikan Nasional
Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden
Perubahan atas UU nomor 14
Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Perubahan Atas UU Nomor 14
tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung
Sumber Daya Air
Perubahan Atas UU Nomor 2
Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum
Kejaksaan Republik Indonesia
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Pasal 4, Pasal 26
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 40
Pasal 4, Pasal 6,
Pasal 24, Pasal 28
Pasal 2, Pasal 4,
Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15
Pasal 4, Pasal 32,
Pasal 36
Pasal 3, Pasal 4
Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 12, Pasal 40
Pasal 4, Pasal 28,
Pasal 29
Pasal 3, Pasal 4
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 12, Pasal 40
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 12, Pasal 40
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Pasal 4, Pasal 6,
Pasal 24, Pasal 27
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 12, Pasal 40
Setelah ratifikasi KHA dan
Pasal 3, Pasal 4,
81
Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Mengikat, berdasarkan Keputusan M.K. Dalam Perkara No.
001/PUU-I/2003
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
24
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
2004
UU Nomor 25 Tahun
2004
UU Nomor 27 Tahun
2004
UU Nomor 29 Tahun
2004
UU Nomor 32 Tahun
2004
UU Nomor 40 Tahun
2004
UU Nomor 14 Tahun
2005
UU Nomor 12 Tahun
2006
UU Nomor 23 Tahun
2006
UU Nomor 25 Tahun
2007
UU Nomor 40 Tahun
2007
UU Nomor 32 Tahun
2009
Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi 82
Praktik Kedokteran
Pemerintah Daerah
Sistem Jaminan Sosial
Guru dan Dosen
Kewarganegaraan Republik
Indonesia
Administrasi Kependudukan
Penanaman Modal
Perseroan Terbatas
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Setelah ratifikasi KHA dan
amandemen II UUD 1945
Pasal 40
Pasal 3, Pasal 4
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 39
Pasal 4, Pasal 24
Pasal 3, Pasal 4
Pasal 4, Pasal 26
Pasal 4, Pasal 28,
Pasal 29
Pasal 4, Pasal 7,
Pasal 8
Pasal 4, Pasal 7,
Pasal 8
Pasal 3, Pasal 27,
Pasal 32, Pasal 36,
Pasal 4, Pasal 32,
Pasal 36
Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 6, Pasal 24,
Pasal 27
Tabel 5:
Undang-Undang yang materi muatanya materi muatannya mempunyai dampak terhadap kepentingan
dan permasalahan anak-anak
Hal yang bisa menjadi catatan penting di sini apakah keseluruhan produk undang-undang di
atas konsistenan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA yang menjadi referensinya?
Pertanyaan ini mengemuka karena referensi yang seharusnya menjadi rujukan, yakni Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990, tidak dapat dijadikan sandaran hukum untuk membuat undang-undang.
Hal ini berdampak pada substansi peraturan perundang-undangan tersebut tidak berpihak pada
perlindungan dan pemenuhan hak anak yang spesifik.
Situasi ini dapat terjadi karena berdasarkan teori ilmu perundang-undangan, peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah derajat kedudukan hukumnya tidak dapat dijadikan rujukan
oleh peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat hirarkis lebih tinggi. Hal ini juga sesuai
dengan asas-asas hukum jika terjadi kontradiksi normatif antara peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, yakni asas lex superior
derogate lege inferiori, bukan sebaliknya. Ini berarti ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden
berimplikasi terhadap upaya adopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA ke dalam undang-undang.
Sehubungan dengan hal ini, Negara Indonesia dapat dikatakan Negara telah membatasi anak-anak
untuk menikmati hak-haknya melalui pemberian landasan hukum ratifikasi KHA dengan Keputusan
Presiden. Dengan kata lain, secara hukum Negara Indonesia telah melanggar kewajiban hukum
yang terbit dari perjanjian internasional yang diratifikasinya. Kewajiban ini secara expresive verbis
telah dirumuskan dalam Pasal 4 KHA di mana negara diwajibkan mengambil langkah-langkah yang
82
Dinyatakan Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Yang Mengikat oleh Putusan MK No.006/PUU-IV/2006
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
25
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
menjadi kewenangan atributifnya. Melalui kewenangannya tersebut, negara harus mengambil semua
langkah legislatif, administrasi, dan langkah lain yang tepat.83
Lebih jauh, berdasarkan ketentuan Pasal 4 KHA , tindakan-tindakan yang menjadi acuan bagi
implementasi tersebut meliputi 84:
1. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh
berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan ketentuan KHA ;
2. Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hakhak anak ;
3. Pengalokasian dan analisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak.
Untuk melihat sejauhmana implementasi KHA ke dalam hukum nasional, terdapat 3 (tiga) komponen
sistem HAM untuk menganalisis, upaya tersebut, yakni : 85
1. Pertama, semua kategori HAM didasarkan pada ketentuan standar dasar yang menjamin
kehidupan manusia. Di sisi lain secara legitimasi seluruh anggota komunitas memiliki hak
untuk mengajukan tuntutan kepada negara untuk memenuhi hak-haknya.
2. Kedua, permasalahan HAM mempertautkan relasi antara individu/kelompok dengan negara.
HAM memberikan legitimasi kepada setiap orang untuk menuntut negara yang melalaikan
kewajibannya.
3. Ketiga, HAM mempunyai dimensi hukum dan mekanisme lain bagi korban pelanggaran HAM
untuk menuntut negara agar melaksanakan kewajibannya.
Jika mengacu pada batasan-batasan yang ada, maka pemberian landasan hukum ratifikasi KHA
dengan Keputusan Presiden tidak dapat memberikan jaminan dan sandaran hukum yang kuat bagi
bagi pemajuan hak-hak asasi anak.
Legislasi nasional sebagai salah satu upaya agar KHA bisa
ditegakkan terhambat karena faktor pemberian landasan hukum yang tidak tepat. Oleh karenanya
kontradiksi substansi yang terjadi berdampak semakin menjauhkan anak-anak dapat menikmati hak
asasinya secara penuh.
Kegagalan serupa dapat juga dilihat pada lingkup pelaksanaan kewajiban untuk memenuhi HAM
yang dikategorikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kegagalan ini bersumber pada politik
kebijakan anggaran public yang dijalankan pleh Negara. Dalam hal ini, Negara berdalih bahwa
kegagalan tersebut karena keterbatasan sumber daya yang ada. Pada hal General Comment CESCR
No. 3, 1990, On The Nature of States Obligations, Pasal 2 telah menetapkan bahwa konsep realisasi
progresif86 memiliki batas-batas. Dalam masalah halangan sumber daya, Negara harus menjamin
sedikitnya tingkat minimal dari setiap hak untuk dipenuhi.87 Kedua kondisi di atas pada akhirnya
berdampak pada terhambatnya realisasi penuh hak-hak asasi anak sebagaimana telah dijamin dalam
instrumen hukum HAM internasional. Atas kegagalan ini, Negara Indonesia sebenarnya tidak boleh
83
Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on The Rightd of the Child, UNICEF, 1998,
Geneva, Switzerland, Atar SA, hal. 51
84
Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook, op.cit, hal. 57 – 67
85
Rolf Kunnemann dan Sandra Epal-Ratjen, The Right to Food : A Resource Manual for NGO’S, HURIDOCS, 2004, hal. 23 – 24
86
Paragraf kedua, Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Ekonomi menyatakan : “Tiap Negara Peserta …
melaksanakan langkah-langkah … sampai tingkat maksimum dari sumber-sumbernya yang tersedia …secara progresif realisasi
penuh hak-hak yang dinyatakan dalam kovenan ini dengan segala cara yang memungkinkan…”. Lihat Allan McChesney,
Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Insist Press, 2003, hal. 28
87
Allan McChesney, ibid, hal. 29
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
26
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
mengemukakan dalih bahwa ketentuan-ketentuan hukum nasional menjadi justifikasi atas
kegagalannya melaksanakan kewajiban yang dimandatkan oleh KHA.88
Kondisi-kondisi di atas menunjukkan, bangunan sistem hukum Indonesia tidak secara utuh
mampu menciptakan aturan yang berpihak pada anak, yakni memastikan bahwa semua peraturan
perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan
ketentuan KHA . Situasi ini berbeda dengan sistem hukum HAM internasional yang secara harmonis
dan sinergis dalammemberikan perlindungan terhadap hak anak. Setiap instrument hukum HAM
internasional saling melengkapi sehingga terwujud universalitas (universality), kesalingterkaitan
(interdependent), dan ketidakterpisahan (indivisible) satu sama lain. KHA hadir untuk melengkapi
instrumen hukum HAM internasional yang belum secara paripurna menjawab kebutuhan anak yang
sangat spesifik dan unik. Keharmonisan dan kesinergisan instrument HAM yang ada dalam
memberikan perlindungan kepada anak dapat dideskripsikan melalui ragaan di bawah ini.
Keterangan :
KHA
ICCPR, ICESCR, CEDAW, CERD, CAT, ICRMW
UDHAR
Gambar 3:
Sistem Hukum HAM Internasional yang melindungi hak asasi anak secara utuh dan harmonis
Hal ini berbeda dengan situasi sistem hukum Indonesia yang seringkali berkontradiksi materi
muatannya antara undang-undang yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan pembuat undangundang baik eksekutif maupun legislative tidak memahami prinsip-prinsip dan norma-norma KHA
yang semestinya ditransformasikan menjadi norma hukum positif sebagaimana dimandatkan Pasal
4 KHA. Namun realita yang terjadi Negara Indonesia gagal untuk menerapkan prinsip-prinsip dan
norma-norma KHA secara utuh dan menyeluruh dalam melakukan reformasi hukum dan kebijakan.
Kegagalan mengimplementasikan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam produk legislasi
dapat digambarkan melalui ragaan diagram ven di bawah ini.
88
Lihat Pasal 27 Konvensi Wina 1969, tentang Perjanjian Internasional
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
27
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
UU KDRT
UU PTPO
UU
Pengadilan HAM
UU
yang
lain
UUPA
UU KKR
UU HAM
UU PS&K
Gambar 4 :
Sistem Hukum Indonesia yang belum berpihak kepada anak secara utuh dan harmonis
Semestinya pembuat undang-undang dalam menyusun norma hukum yang terkait dengan hak anak
atau kepentingan anak harus memperhatikan anak sebagai subyek hak (rights holders) dan Negara
sebagai pengemban tugas
(duties barriers). Baru setelah itu, menyusun ketentuan dari sudut
pandang subyek yang diatur. Di samping itu, pengaturan susunan suatu undang-undang selalu
diharuskan bersifat fungsional. Artinya, pembuat undang-undang harus selalu mengacu kepada
kebutuhan untuk memenuhi tujuan atau untuk mencapai maksud dan tujuan yang secara garis besar
telah dirumuskan.89 Oleh sebab itu, perlu upaya untuk menaikkan derajat norma perlindungan anak
menjadi norma konstitusi. Konstitusionalisasi norma hukum perlindungan anak dalam UUD 1945
maka setiap produk undang-undang yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif harus mengacu pada
norma konstitusi90. Dengan demikian dapat tercipta harmonisasi undang-undang yang mengatur
anak sebagai subyek hak yang diatur dalam undang-undang tersebut.
b.
Kedudukan Hukum Ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 dalam Pendekatan
Teori Stuffenbau des Rechts Hans Kelsen
Dalam proses transformasi hak asasi anak dari hak hukum internasional menjadi hak hukum
nasional semestinya memperkuat jaminan hak asasi mereka, bukan malah melemahkan. Mengakui
eksistensi hak anak berari mengakui keterkaitan antara HAM dan hak-hak warga Negara sebagai
berikut,
hak-hak yang berlandaskan secara moral ditransformasikan ke dalam hak-hak dapat
dituntut secara yuridis sekaligus menjadi hak konstitusional. Keterkaitan ini merupakan sebuah
model legitimasi demokratis dalam mentransformasi ketentuan KHA.91 Dalam konteks ratifikasi KHA,
seperti telah diuraikan di atas, reduksi di awali pada saat meratifikasi
instrumen hak asasi
internasional tersebut. Reservasi menjadi alat pertama reduksi nilai-nilai universalisme HAM.
89
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal.236
Mengadopsi pemikiran Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
91
Albrecht Wellmer, HAM dan Demokrasi, dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op.cit., hal. 294-295
90
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
28
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Reduksi tersebut terus berlanjut manakala proses transformasi hukum tersebut ditanggapi berbeda
oleh pemilik otoritas. Proses legislasi nilai-nilai universalisme bias jadi dikalahkan oleh pertarungan
kepentingan demi menjaga status quo. Di titik ini pertentangan nilai universal HAM dibenturkan
dengan nilai-nilai relativisme dan keterbatasan sumber daya.
Kasus ratifikasi KHA paling tidak menggambarkan dengan gamblang bagaimana politik HAM
Negara mendiskriminasi penikmatan penuh hak asasi anak-anak. Politik HAM yang diskriminatif
tersebut nampak pada :
1. Substansi Convention on the Rights of the Child,1989 yang direduksi melalui reservasi,
meskipun pada 2005 telah ditarik oleh Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri;
2. Pemberian landasan hukum ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989 melalui
Keputusan Presiden
Pemberian landasan hukum melului Keputusan Presiden dalam meratifikasi KHA menunjukkan bahwa
permasalan hak asasi anak dianggap menjadi permasalahan pinggiran. Padahal jika merujuk pada
materi muatannya perihal hak asasi anak semestinya ratifikasi KHA diberi landasan hukum berupa
undang-undang.
Secara konseptual setiap undang-undang (statute) dapat berisi ketentuan (provision) yang
bersifat mandatori (mandatory provision) atau yang bersifat direktori (directory provision).
Ketentuan yang bersifat mandatori harus ditaati secara tepat atau mutlak, sedangkan ketentuan
yang hanya bersifat direktori dipandang sudah cukup jika ditaati secara substansial. Ciri
membedakan kedua jenis ketentuan ini adalah menciptakan hak dan kewajiban (the creation of
rights and obligation). Jika suatu undang-undang melahirkan hak dan kewajiban dengan menentukan
cara keduanya dilaksanakan (enforcement) maka ketentuan yang demikian dianggap bersifat
mandatori dan pembentuknya menginginkan agar pemenuhan atas ketentuan demikian dijadikan
sebagai hal yang pokok dalam rangka pemberlakuan undang-undang yang bersangkutan. 92 Konsep
ini sesuai dengan pendekatan berbasis HAM (rights-based approach) yang secara normatif berbasis
pada standar-standar HAM. Pendekatan ini mendorong terjadinya integrasi norma, standar, dan
prinsip dari sistem hukum HAM internasional ke dalam tataran hukum domestik.93 Dalam hal ini,
hukum HAM membagi secara diametral antara pemegang hak (rights-holders) yakni semua warga
Negara dan pengemban tugas (duty-bearers), yakni Negara. Bahkan Negara dikatakan sebagai
penyandang tugas utama (principal duty-bearers).
Kewajiban Negara untuk memberikan landasan hukum berupa undang-undang terhadap
perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Pasal ini menetapkan
bahwa pengesahan perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang antara lain berkenaan dengan HAM, lingkungan hidup, dan
pembentukan kaidah hukum baru. Kewajiban serupa untuk menjadikan HAM sebagai materi muatan
undang-undang dapat terbaca pada Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2004. Pasal ini menyatakan bahwa
materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut
ketentuan UUD 1945 yang meliputi: (1) hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga Negara, …(5)
kewarganegaraan dan kependudukan. Hak asasi anak jelas merupakan bagian dari HAM dan
sekaligus merupakan kaidah hukum positif baru melalui proses transformasi. Oleh karenanya
ratifikasi KHA memenuhi kualifikasi untuk diberi landasan hukum melalui undang-undang. Hal ini juga
ada kaitannya dengan adanya materi-materi tertentu yang bersifat khusus yang mutlak hanya dapat
92
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal. 28-29
Cecilia Ljungman, Applying A Rights-Based Approuch to Development : Concepts and Principles, Sage Publication, New
Delhi, 2005
93
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
29
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
dituangkan dalam bentuk undang-undang. Salah satu materi tersebut adalah pengesahan perjanjian
internasional.94
Keputusan Presiden yang menjadi landasan hukum ratifikasi KHA mengandung problematika
hukum yang serius yang justru bersumber pada bentuk formilnya. Keputusan Presiden secara
konseptual dikategorikan sebagai produk hukum yang tidak bersifat mengatur (regeling), melainkan
hanya menetapkan atau penetapan (beschikking) yang karenanya tidak dapat disebut sebagai
peraturan. Produk yang bersifat penetapan dapat disebut sebagai Ketetapan atau Keputusan yang
tidak berisi aturan. Isinya tidak boleh mengandung materi normatif yang bersifat pengaturan dan
karena itu, tidak dapat disebut sebagai peraturan (legislations/regulation).95
Keputusan Presiden yang memberikan eksistensi hukum KHA dalam perspektif stufenbau
theorie des recht yang dikembangkan oleh Hans Kelsen tentu tidak tepat. Menurut ajaran Hans
Kelsen, hirarki norma hukum terdiri atas:
1. norma dasar (fundamental norms);
2. norma umum (general norms); dan
3. norma konkret (concrete norms).
Fundamental norms terdapat dalam konstitusi, general norms terdapat dalam undang-undang
(statute/legislative acts), sedangkan concrete norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis)
dan keputusan pejabat administrasi Negara.96 Teori Stufenbau des Rechts pada prinsipnya
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu hirarki tata
susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
lagi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).97
Kemudian, Hans Nawiasky, mengembangkan teori Stufenbau des Rechts dengan membagi
norma hukum suatu Negara menjadi 4 (empat) kelompok yakni:
1. staatsfundamentalnorm (norma fundamental Negara);
2. staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara);
3. formell gesetz (undang-undang formal); dan
4. verordnung & autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).98
Sementara Keputusan Presiden karena bukan termasuk produk hukum yang bersifat mengatur,
maka Keputusan Presiden tidak dapat dimasukkan ke dalam pengertian norma hukum yang
diajarkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Maksud norm dalam kedua teori di atas adalah
norma yang bersifat khusus yaitu norma hukum yang mengatur dan bersifat umum, abstrak, dan
berlaku terus menerus (dauerhaftig). Sedangkan, Keputusan Presiden bersifat einmalig, yakni
penetapan (beschikking) di mana sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai.99 Kedua
94
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op.cit. hal. 213
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 20
96
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 38
97
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Pembentukannya, Yogyakarta, Kanisius, 1998,
hal. 25. Hans Kelsen mengungkapkan 2 (dua) gagasan mengenai grundnorm yaitu : (i) grundnorm dalam kerangka teori
asalnya sumber hukum; dan (ii) grundnorm dalam pemahaman teori jenjang tata hukum. Lihat Jazim Hamidi, op. cit, hal. 57
98
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 27
99
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 51
95
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
30
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
teori ini jika disandingkan dengan bangunan sistem hukum Indonesia tergambar seperti di bawah ini.
100
Gambar 5 : Hirarki norma hukum berdasar teori Stuffenbau
Teori hirarki dari Kelsen sebenarnya diilhami oleh Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa
suatu norma hukum mempunyai 2 (dua) wajah (das doppelte rechtsantlitz), yakni suatu norma hukum
itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar
dan menjadi sumber norma hukum di bawahnya. Oleh karena itu. Suatu norma hukum mempunyai
masa berlaku (rechtskracht) yang relatif bergantung pada masa berlaku norma hukum yang menjadi
sandaran di atasnya. Apabila norma hukum yang menjadi sandarannya dicabut atau dihapus maka
norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.101 Teori Adolf Merkl
dapat digambarkan di bawah ini.102
100
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 38
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan,op. cit. hal. 25-26
102
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 36
101
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
31
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Gambar 6 : Wajah 2 (dua) norma hukum dari Adolf Merkl
Keputusan Presiden tentu sulit diletakkan dalam kerangka teori ini karena dalam praktik
ketatanegaraan Indonesia Keputusan Presiden memiliki 2 (dua) fungsi, yakni fungsi atributif dari
UUD 1945 sehingga bersifat mandiri atau merupakan peraturan delegasian dari peraturan
perundang-undangan di atasnya.103 Dalam praktik ketatanegaraan sebelum dikeluarkan UU Nomor
10 Tahun 2004, Keputusan Presiden merupakan bentuk peraturan yang bisa mengatur dan bisa
pula mandiri. Kemandirian Keputusan Presiden tersebut dimaknai bahwa Keputusan Presiden tidak
terikat peraturan di atasnya. Akibatnya seringkali Keputusan Presiden mengatur sesuatu yang
seharusnya diatur oleh undang-undang, misalnya pelaksanaan Pasal 33 UUD 45.104 Praktik-pratik di
atas memang bersumber pada ambigiutas materi yang diatur dalam Keputusan Presiden itu yang
tidak dapat dibedakan secara jelas antara materi yang bersifat mengatur atau regulatif (regeling)
dengan materi yang bersifat penetapan administratif biasa (beschikking) seperti misalnya Keputusan
Presiden mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat, Keputusan Presiden mengenai
pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya.105 Bedasarkan hal ini, jika
melihat konsideran Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan KHA, yang
mendasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, maka Keputusan Presiden ini bersifat
mandiri. Kemandirian norma hukum tidak dikenal dalam teori Adolf Merkl karena setiap norma
103
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid, hal. 117
Sri Soemantri menanggapi pernyataan anggota DPR RI Albert Hasibuan mengenai perlunya penyempurnaan Ketetapan
MPRS No XX/MPRS/1966. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/28/0010.html
105
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, op. cit, hal. 25-26
104
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
32
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
hukum harus mempunyai sandaran hukum. Dengan demikian Keputusan Presiden yang melandasi
ratifikasi KHA di luar kelaziman teori-teori di atas.
Dalam konteks bangunan sistem hukum Indonesia, teori Stufenbau nampak pada:
Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber
Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia;
2. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan; dan
3. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.106
1.
Ketiga produk hukum ini berbeda-beda dalam menentukan hirarki peraturan perundangundangan dalam sistem hukum Indonesia. Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dalam Lampiran II menetapkan tata urutan
peraturan perundangan menurut UUD 1945 sebagai berikut :
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden, dan
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti :
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. dll107
Kemudian, berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 menentukan bahwa tata urutan peraturan perundangundangan Republik Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Berdasarkan kedua Ketatapan MPR/S di atas jika dikerangkakan berdasarkan teori Stufenbau Hans
Kelsen maka tergambarkan hirarki sistem hukum Indonesia sebagai berikut :108
106
107
108
Lihat Jazim Hamidi, loc. cit, hal. 57
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, op. cit, hal. 47
Maria Farida Indrati Seoprapto, Ilmu Perundang-Undangan, ibid , hal. 55
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
33
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Gambar 7 :
Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan 2 (dua) Ketetapan MPR/S tentang tata urutan peraturan perundangundangan
Melihat gambar di atas, jika merujuk teori Stufenbau, nampak terlihat bagaimana kedudukan
Keputusan Presiden pada tata urutan perundang-undangan berdasar pada 2 (dua) Ketetapan MPR/S
di atas. Artinya, Keputusan Presiden berlaku jika dan hanya jika bersumber dan berdasar pada
norma hukum yang mempunyai kedudukan lebih tinggi/atas darinya. Artinya Keputusan Presiden
tidak boleh berdiri sendiri tanpa merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi.
Sementara jika mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Keputusan Presiden dihapus sebagai salah satu bentuk peraturan perundangundangan. Pasal 7 dari undang-undang ini
menetapkan bahwa jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia meliputi :
1. UUD 1945
2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturam Daerah
Berangkat dari ketentuan di atas, berikut ini akan digambarkan hirarki peraturan perundangundangan di Indonesia, di mana eksistensi hukum Keputusan Presiden ditiadakan.
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
34
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
UUD 1945
UU/Perpu
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah
Gambar 8 :
Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasar UU No. 10 Tahun 2004
Eksistensi hukum Keputusan Presiden sebagai landasan hukum ratifikasi
KHA masih
terdapat dalam kedua Ketetapan MPR di atas. Namun pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, eksistensi hukum Keputusan Presiden dalam hirarki
peraturan perundang-udangan tidak lagi diakui. Lebih jauh, sandaran hukum bagi ratifikasi KHA
berdasar Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, yakni 2 (dua) Ketetapan MPR yakni Ketetetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Hukum Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia dan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan, sudah tidak berlaku.109
Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber
Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia dinyatakan tidak berlaku menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.110 Sedangkan, Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan karena
materi muatannya telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
109
Penghapusan Ketetapan MPR sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan karena MPR hasil Pemilu
Umum 2004 dengan dasar UUD 1945 Amandemen IV tidak lagi berwenang menetapkan garis-garis besar haluan Negara
dan ketetapan-ketetpan yang bersifat mengatur (regeling) dan mengikat untuk umum. Menurut UUD 1945 Amandemen
IV Pasal 3 jo Pasal 8 jo Pasal 37, MPR hanya memiliki 4 (empat) kewenangan, yaitu : (i) mengubah dan menetapkan undangundang dasar; (ii) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden; (iii) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk
mengisi lowongan jabatan; dan (iv) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, op.cit. hal 52
110
Pasal 7 menyatakan bahwa : Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan
yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
35
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Perundang-Undangan, maka Ketetapan MPR ini sudah tidak berlaku lagi.111 Ketidakberlakuan
Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 ini, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR than 1960
sampai dengan Tahun 2002. Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, menentukan Ketetapan
MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, di mana salah satu
diantaranya adalah Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000.112 Dengan demikian timbul permasalahan di
manakah letak eksistensi Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 yang meratifikasi KHA.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diambil 2 (dua) kesimpulan sebagai berikut:
1. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 sebagai landasan hukum eksistensi
ratifikasi
Convention on the Rights of the Child,1989 sudah tidak mempunyai sandaran hukumnya lagi
karena Keputusan Presiden menurut Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sudah tidak diakui sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur;
2. Ketetetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber
Hukum Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan yang memuat eksistensi hukum Ketetapan Presiden
sudah dinyatakan tidak berlaku lagi;
c.
Menyoal Landasan Hukum Ratifikasi Convention on the Rights of the Child,1989
Pembangunan Sistem Hukum Indonesia
dalam
Setiap hak memberikan basis rasional bagi suatu tuntutan yang dibenarkan untuk
mendapatkan kepemilikannya secara aktual. Satu hak tidak menghasilkan satu tuntutan bahwa
orang tersebut dikatakan berhak memiliki sesuatu. Atau orang tersebut dijanjikan akan memiliki
sesuatu. Isi dari sebuah hak apapun haknya adalah hak untuk memiliki sesuatu yang menjadi haknya.
Satu hak bukanlah hak untuk memiliki satu hak, namun juga hak untuk memiliki sesuatu yang lain.
Dengan demikian satu klaim/tuntutan bisa dan bisa tidak menjadi satu langkah awal menuju
pemenuhan hak-hak yang sudah diatur dalam instrument hukum.113 Kemudian, terkait dengan
jaminan hak secara sosial merupakan aspek yang paling penting menyangkut satu hak standar
karena aspek inilah yang menimbulkan kewajiban korelatif. Satu hak lazimnya merupakan satu
tuntutan yang dibenarkan agar orang lain menyediakan fasilitas sehingga seseorang akan tetap
memiliki substansi dari hak tersebut. Lebih jauh, suatu hak telah dijamin hanya manakala sudah
dibuat pengaturan-pengaturan bagi orang-orang yang berhak untuk memiliki hak itu. Karena
memang sebuah hak belum terpenuhi sampai pengaturan-pengaturan tersebut de facto sudah ada
bagi orang agar memiliki apa saja yang menjadi hak mereka. Lazimnya, pengaturan-pengaturan
tersebut itu berupa peraturan perundang-undangan yang membuat hak-hak itu menjadi legal dan
sekaligus moral.114
Pemahaman mengenai hak-hak dasar merupakan kewajiban moralitas karena sesungguhnya
bertujuan untuk memberikan perlindungan minimal terhadap ketidakberdayaan total bagi orangorang yang terlalu lemah untuk melindungi diri mereka sendiri. Hak-hak dasar adalah sebuah perisai
111
Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op.cit., hal. 63
Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid., hal. 59
113
Henry Shue, Keamanan dan Subsistensi, dalam HAM : Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, Maumere,
Ledalero, 2002, hal. 269
114
Henry Shue, Keamanan dan Subsistensi, ibid, hal. 270
112
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
36
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
bagi orang-orang yang tidak berdaya sekurang-kurangnya terhadap beberapa ancaman hidup yang
berciri lebih menghancurkan. Di samping itu, hak-hak dasar adalah satu pengendalian terhadap
kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik, yang apabila tidak dikendalikan maka akan menjadi terlalu
kuat untuk dilawan. Hak-hak dasar merupakan sebuah jaminan sosial untuk melawan berbagai
perampasan hak, apakah potensial atau faktual, atas sekurang-kurangnya beberapa kebutuhan
tertentu. Hak-hak dasar juga suatu upaya untuk memberikan kepada kelompok tidak berdaya satu
veto atas beberapa kekuatan yang justru akan mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi
dirinya. Singkatnya hak-hak dasar merupakan moralitas kedalaman yang menentukan garis terbawah
di mana tak seorang pun diperbolehkan untuk lebih terperosok dan tenggelam.115
Dari perspektif pemajuan dan perlindungan HAM, aksentuasi pemenuhan hak-hak dasar di
atas dapat dikerangkakan dalam konsep penghapusan terhadap tindakan diskriminasi (elimininating
of all forms discrimination). Komite Hak Asasi Manusia (The Human Rights Committee), melalui
Komentar Umum Nomor (General Comment) No. 18 menekankan bahwa prinsip non diskriminasi,
kesajajaran di muka hukum, dan kesamaan perlindungan oleh hukum merupakan karakteristik
umum dan mendasar bagi
pemajuan dan penikmatan HAM. Kemudian mengutip Pasal 1
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination dan Pasal 1
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, diskriminasi dimaknai
oleh Komite Hak Asasi Manusia. sebagai :
“Setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pengistimewaan apapun berdasarkan
alasan seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan kepercayaan, keyakinan
politik, asal usul kebangsaan atau social, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya yang
mempunyai tujuan atau pengaruh untuk meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan,
atau pemenuhan semua hak dan kebebasan semua orang secara setara.”116
Dalam konteks penghapusan diskriminasi terhadap anak, Komite Hak Asasi Manusia
menegaskan bahwa komitmen ini ditandai dengan sejauhmana Negara telah melakukan upaya
legislatif, administrasi, dan tindakan-tindakan lain untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan
perlindungan dari tindakan diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi merupakan prinsip utama dari KHA
sebagaimana diatur Pasal 2 yang menentukan :
1. Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada
setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa
menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat
lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status
yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.
2. Negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi
dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang
diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.
Pasal 2 di atas dinterpretasikan oleh Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child) dengan
penekakan pada kewajiban negara untuk mencegah diskriminasi secara aktif yang mensyaratkan
aspek implementasi, semua upaya termasuk tinjauan, perencanaan strategis, legislasi, pengawasan,
115
Henry Shue, Keamanan dan Subsistensi, ibid, hal. 273
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New
York, 1998, hal. 21
116
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
37
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
menumbuhkan kesadaran, pendidikan dan informasi, dan tindakan evaluasi yang ditujukan untuk
mengurangi perbedaan-perbedaan tersebut.117
Hal yang penting dari Pasal 2 KHA adalah konvensi mengadopsi pendekatan yang
komprehensif. Namun yang menjadi catatan KHA tidak memberikan batasan hukum secara tegas
mengenai penghapusan diskriminasi terhadap anak perempuan sebagai bagian dari kelompok
rentan. Prinsip umum KHA diterapkan untuk menentukan implementasi semua hak-hak asasi anak
yang diabadikan dalam KHA. Hal ini dapat terbaca pada pasal-pasal yang ada yang menyatakan:
setiap Negara harus menghargai dan memastikan …hak…setiap anak ….tanpa diskriminasi macam
apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau
status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak…setiap Negara harus
memastikan…kehidupan dan perkembangan anak…setiap Negara mengakui hak anak
untuk…mencapai standar kesehatan tertinggi…dll (Lihat Pasal-Pasal 2, 6, 12, 24, 27, 28, 32, dan 34).118
Pembatasan hukum yang tidak tegas-tegas menyebutkan penghapusan diskriminasi
terhadap anak perempuan dilengkapi oleh Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (CEDAW). CEDAW merupakan instrument hukum HAM yang secara
langsung ditujukan untuk kebutuhan yang benar-benar memaksa guna mendorong bagi perbaikan
status perempuan dan anak perempuan dan ditekankan bagi penghapusan semua bentuk
diskriminasi terhadap mereka. Substansi KHA dan CEDAW secara mutualis saling menguatkan prinsipprinsip untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak perempuan dan untuk
mengakhiri diskriminasi berbasis gender. 119 Keterkaitan keduanya akan memperkuat upaya-upaya
untuk memastikan dampak maksimal intervensi dalam penghormatan hak asasi anak perempuan.120
Dengan demikian kedua Konvensi ini memberikan kepada masyarakat sipil, Negara, dan Badan-Badan
PBB dengan landasan hukum internasional yang solid untuk dijadikan pedoman bagi upaya legislasi
nasional dan kebijakan sosial untuk menghasilkan keadilam gender yang berdasar pada keadilan
sosial dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi keberlangsungan hidup, pengasuhan,
dan perkembangan anak-anak. Lebih jauh kedua Komite menyokong inkorporasisasi/transformasi
substansi kedua Konvensi ke dalam konstitusi nasional dan sekaligus juga mengimplementasikan
berbagai hak yang telah dijamin kedua Konvensi melalui legislasi. Menurut Komite Hak Asasi
Manusia, perlindungan dari tindakan diskriminasi diupayakan melalui tindakan afirmatif yang
ditujukan untuk menghapuskan kondisi-kondisi yang melanggengkan diskriminasi sebagaimana telah
dilarang oleh Kovenan.121
Kemudian Philip Alston dalam Bulletin of Human Rights memberikan komentar yang
menyatakan
tindakan afirmatif (affirmative action) merupakan bagian kewajiban dari Negara
untuk memastikan (to ensure) penikmatan hak asasi anak yang diatur KHA.122 Tindakan afirmatif
117
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook, ibid, hal. 22
Moushira Khatab, The Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, UN-DAW, Expert Group
Meeting Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, UNICEF Innocenti Research Centre,
Florence, Italy, 25-28 September 2006, hal. 4-5
119
Moushira Khatab, The Elimination of All Forms of Discrimination, ibid
120
Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination and Violence Against the Girl Child, Background paper
for the Expert Group Meeting, UN-DAW, Expert Group Meeting Elimination of All Forms of Discrimination and Violence
Against the Girl Child, UNICEF Innocenti Research Centre, Florence, Italy, 25-28 September 2006, hal. 12
121
Lihat General Comment No. 18: Non-discrimination, paragraph 5 &10
122
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook, op.cit. hal.22
118
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
38
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
sebagai bagian dari kebijakan sosial dapat berkontribusi memperkuat efektifitas implementasi
hukum penghapusan diskriminasi melalui pendelegasian kekuatan politik dan alokasi sumber daya.123
Kelompok-kelompok yang tidak berdaya yang harus diberikan perlakuan khusus dalam
doktrin HAM dikenal sebagai kelompok rentan (vulnerable groups), seperti : anak-anak (children)
pengungsi (refugees); pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDP’s); kelompok
minoritas (national minorities); pekerja migrant (migrant workers); penduduk asli pedalaman
(indigenous peoples); dan perempuan (women).124 Kerentanan ini disebabkan karena mereka
merupakan kelompok sosial yang tidak popular, dan menjadi sasaran diskriminasi baik secara sosial,
politik atau ekonomi sehingga akses mereka untuk mendapatkan bagian yang adil atas berbagai
sumber daya atau peluang sosial yang tersedia terbatas.125
Dalam kerangka perlindungan anak, terdapat sekelompok anak yang disebut anak-anak
dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP) yang mewajibkan Negara untuk
memberikan perlakuan kepada mereka secara khusus. Menurut Komite Hak Anak PBB terdapat 4
(empat) kelompok anak yang termasuk kategori ini: 126
1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak
(children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally
displaced people) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of
armed conflict);
2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi, penyalahgunaan obat (drug
abuse), eksplotasi seksual, perdagangan anak (trafficking), dan ekploitasi bentuk lainnya;
3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law);
4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous
people and minorities).
Terkait dengan hal tersebut maka konsep perlindungan anak dalam hukum HAM internasional dapat
diinterpretasikan sebagai berikut: 127
1. Negara harus memberikan perlindungan kepada anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi
sebagai salah satu dimensi tanggung jawab Negara untuk menghargai dan memajukan,
melindungi serta memenuhi HAM;
2. Negara harus menghentikan kekerasan dan melindungi anak-anak dari pelaku kekerasan
yang dilakukan oleh pihak ketiga;
3. Negara juga mesti memenuhi hak-hak ekonomi, social, dan budaya anak-anak.
123
Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination, op.cit, hal. 25
Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hoesin, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku
Terasing, dll) dalam Perspketif HAM, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, 2003. Komite PBB untuk Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Commitee on Economic, Social, and Cultural Rights) juga menempatkan anak-anak sebagai
bagian dari kelompok rentan lain yang meliputi: petani yang tidak memiliki tanah; pekerja di desa; pengangguran di desa;
pengangguran di kota; kaum miskin kota; usia lanjut; dan kelompok khusus lainny. Lihat Asbjorn Eide, Hak Atas Standar
Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da
Masenus Arus (ed.), Jakarta, Elsam, 2001, hal. 108.
125
Rhoda E. Howard dan Jack Donelly, Liberalisme dan HAM: Sebuah Pertautan yang Niscaya, dalam HAM : Aneka Suara dan
Pandangan, op. cit, hal. 39
126
Lihat Overview of the reporting procedured : 24/10/94 CRC/C/33. Sebangun dengan konsep hukum di atas, Vitit
Muntarbhorn mengidentifikasi kelompokkelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan (children in
especially difficult circumstances/ CEDC) sebagai berikut : (1) Anak-anak pedesaan; (2) Anak-anak jalanan dan daerah kumuh
perkotaan; (3) Anak perempuan; (4) Pekerja anak; (5) Pelacuran anak; (6) Anak-anak diffabel; (7) Anak-anak pengungsi dan
tidakberkewarganegaraan; (8) Anak-anak dalam penjara; dan (9) Anak-anak korban kekerasan dan terlantar. Lihat Candra
Gautama, Konvensi Hak Anak :Panduan Bagi Jurnalis , Jakarta, LSPP, 2001, hal. 6 – 10
127
Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination, op.cit, hal.21
124
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
39
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Perlindungan terhadap anak-anak menurut KHA dimaknai sebagai perlindungan dari tindak
kekerasan, penyalahgunaan, dan eksploitasi. Kegagalan Negara melaksanakan kewajiban dapat
dikatakan Negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak-anak.
Oleh karena anak-anak dalam kategori di atas berada pada situasi sosial ekonomi berbasis
masyarakat, maka intervensi kasus per kasus tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahan
mereka. Mereka juga berada pada situasi termarjinal di luar arus utama masyarakat dan
mekanisme perlindungan formal yang ada. Mekanisme formal yang ada juga mungkin tidak akan
menyelesaikan permasalahan tersebut, mengingat cakupan masalah mereka demikian luas.
Intervensi struktural yang luas lebih dibutuhkan untuk menyasar penyebab mendasar permasalahan
anak-anak tersebut dan meniadakan marjinalisasi terhadap mereka. Intervensi struktural tersebut
dengan mengajukan permasalahan mereka untuk menjangkau pelayanan yang dibutuhkan dan
memungkin mereka untuk mengakses hak-hak konstitusionalnya. Intervensi struktural lokus secara
eksklusif berada pada wilayah negara dan menjadi kewenangan atributif institusi-institusi Negara.
Konsekuensi logisnya Negara harus mengimplementasikan semua ketentuan dari KHA, melalui
pendekatan multidisiplin dakan perencanaan, pengimplementasian, dan pengevalusian program bagi
anak-anak. Koordinasi diantara aparat Negara yang menyediakan layanan dan dukungan yang
berbeda-beda menjadi faktor yang penting dalam rangka memajukan dan memenuhi hak asasi anak.
Untuk itu, masing-masing aparat Negara tersebut harus mengenali peran masing-masing sehingga
upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi anak dapat diimplementasikan.128
Apabila ditelisik lebih jauh sumber permasalahan anak-anak dalam situasi khusus adalah
kemiskinan keluarga dan masyarakat setempat di mana anak hidup. Kemiskinan yang melingkupi
kehidupan anak merupakan bagian integral dari permasalahan sosial ekonomi.129 Kemiskinan adalah
fenomena yang multi aspek dengan dampak yang destruktif bagi kehidupan anak-anak. Hal ini
menciptakan batas bagi anak-anak untuk merealisasikan seluruh hak-haknya. 130
Dalam konteks
Negara Indonesia, kemiskinan yang melingkupi kehidupan 39,5 juta penduduknya,131 merupakan
ancaman tersendiri terhadap kehidupan anak karena secara sosiologis anak bergantung pada
lingkungan sosial terdekatnya, yakni keluarga dan masyarakat setempat. Kemiskinan yang menjadi
ruang hidup adalah kondisi di luar diri anak132 yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan
hak anak sebagai manusia, yang meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas,
proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang.133 Di samping itu, kemiskinan juga harus
128
Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides loc.cit,
Dan O'Donnell, & Dan Seymour, Child protection : A handbook for parliamentarians, Inter-Parliamentary Union, UNICE,
2004, hal. 9
130
Cassiem S; Perry H; Sadan M and Streak J, Are Poor Children Being Put First ? Child Poverty and the Budget 2000 Idasa,
Cape Town 2000, viii, 2-3.
131
Data kemiskinan pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1
September 2006 menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta orang atau
17,75 persen dari total penduduk. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2005, berarti jumlah penduduk miskin bertambah
3,95 juta orang, dengan catatan 2,06 juta di perdesaan dan 1,89 juta di perkotaan. Lihat http://www.kompas.com/kompascetak/0609/14/opini/2953305.htm
132
Merujuk pada Mukadimah KHA dinyatakan bahwa keluarga sebagai kelompok dasar masyarakat dan lingkungan alamiah
bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya terutama anak-anak, harus diberikan perlindungan dan bantuan
yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung jawabnya di dalam masyarakat ;
anak untuk perkembangan kepribadian sepenuhnya yang penuh dan serasi harus tumbuh berkembang dalam lingkungan
keluarganya dalam suasana kebahagiaan , cinta, dan pengertian
133
Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan orang tua si anak yang mengakibatkan anak tidak
terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena
meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan hak dasar dan kebutuhan anak. Kemiskinan
129
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
40
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
didasarkan pada tiadanya akses terhadap pangan, air, dan tempat tinggal dalam kualitas dan
kuantitas yang memungkinkan mereka untuk hidup sehat. Indikator yang berdasarkan pada nilai
ekonomis tidak mampu menangkap indikator kemiskinan hidup yang akan membebani generasi yang
akan mendatang, berupa ancaman-ancaman terhadap kelangsungan hidup.134 Dengan demikian
kemiskinan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak karena kemiskinan mendorong anakanak berkontribusi untuk tetap menjaga kehidupan keluarga tetap dapat berlangsung.135 Pada
akhirnya anak-anak terpaksa harus berhadapan dengan pihak-pihak ketiga, baik perorangan, institusi
sosial, institusi Negara, dan korporasi, yang berpotensi mengancam kehidupan mereka.
Kondisi-kondisi di atas sudah semestinya menjadi pertimbangan utama untuk
mengkonstruksi kerangka hukum dan sistem hukum Indonesia yang menjamin pemajuan dan
pemenuhan hak asasi anak. Namun hal tersebut tidak akan tercapai, apabila tidak dilakukan
harmonisasi
sistem hukum Indonesia agar sesuai dengan standar instrument hukum HAM
internasional yang telah diratifikasi. Secara konseptual hukum perjanjian internasional sulit
ditegakkan apabila substansi hukum ini tidak ditransformasi ke dalam sistem hukum nasional. Hal ini
disebabkan karena 2 (dua) sistem hukum ini mempunyai prosedur perlindungan yang berbeda.136
Hukum HAM internasional bersifat melengkapi hukam HAM nasional. Relasi kedua sistem hukum ini
bersifat koordinasi bukan subordinasi.
d. Analisis Substantif Keppres No. 36 Tahun 1990
Momentum ratifikasi KHA pada 1990, sesungguhnya dapat dipergunakan sebagai langkah
awal untuk melakukan harmonisasi substansi atau materi muatan semua peraturan perundangundangan yang dibuat sebelum ratifikasi. Sekaligus meletakan fondasi bagi konstruksi sistem
hukum Indonesia untuk menerapkan prinsip dan norma KHA. Namun, pemberian landasan hukum
ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 menjadi batu sandungan untuk
mengkonstruksi sistem hukum yang menghormati dan melindungi hak asasi anak.
Sebelum membahas lebih jauh, implikasi hukum ratifikasi KHA terhadap upaya pembangunan
sistem hukum Indonesia, di bawah ini akan diuraikan substansi dari Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990. Uraian substansi ini bermaksud untuk melihat latar belakang mengapa Negara memilih
meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden.
Rumusan-rumusan pada konsideran Mengingat dari Keputusan Presiden tersebut
sesungguhnya merefleksikan bagaimana sikap Negara terhadap substansi KHA. Sikap tersebut juga
sekaligus merupakan manifestasi dari politik HAM Negara Indonesia. Dalam konsideran
“Menimbang” huruf d nampak bahwa nilai-nilai universalitas KHA ditampik dengan dalih Negara
Indonesia memiliki ketentuan tersendiri. Penolakan ini tentu tidak terlepas kaitannya dengan Politik
HAM era 1990–an yang melatarbelangi ratifikasi KHA sebagaimana telah diuraikan di muka.
afeksi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antar anak dengan orang tua, anak dengan
kaum modal, dan anak dengan negara. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan anak yang rendah,
Kemiskinan partisipasi karena adanya diskriminasi dan peminggiran pada anak-anak dari proses pengambilan keputusankeputusan. Kemiskinan identitas terjadi karena adanya pemaksaan yang caranya langsung ataupun tidak langsung tentang
ideologi orang dewasa terhadap anak-anak, pada akhirnya mengakibatkan hancurnya kepecayaan diri dan kapabilitas anak.
Mengadopsi Position Paper KIKIS, Sudah Saatnya Anggaran Publik Berbasis Hak-Hak Dasar Si Miskin, 2004.
134
Mengadopsi pemikiran Vandana Shiva, dalam Pemiskinan terhadap Lingkungan:, op.cit., hal. 87
135
Katarina Tomaševski, Removing obstacles in the way of the right to education, Novum Grafiska AB, Gothenburg, 2001,
hal.17
136
Savitri Goonesekere, The Elimination of All Forms of Discrimination, op.cit, hal. 2
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
41
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Rumusan “Menimbang” huruf d, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang ratifikasi KHA
menyatakan:
“ bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut pada huruf c, sudah tercakup di dalam
peraturan perundang-undangan nasional mengenai anak.”
Kedua sikap paternalistik penguasa yang mendasarkan pada pandangan bahwa selaku penguasa
mereka diberikan legitimasi untuk mengambil keputusan bagi anak-anak berdasarkan perspektif
penguasa.137 Anak-anak sebagai kelompok yang berkepentingan dan sebagai subyek yang diatur oleh
KHA, tidak dilibatkan untuk berpartisipasi. Dalam wacana Negara demokratis, semestinya
kepentingan anak-anak tersebut direpresentasikan oleh DPR. Keputusan Presiden ini adalah sikap
politik HAM sepihak Presiden yang menisbikan peran DPR. Artinya secara tidak langsung juga
meniadakan kepentingan anak-anak. Padahal anak-anak merupakan bagian integral dalam
kehidupan bernegara yang memiliki hak hukum dan kepentingan politik agar hak-haknya terpenuhi.
Secara substansi, materi muatan KHA semestinya diatur dengan undang-undang, artinya dengan
keterlibatan DPR. Hal ini ditunjukkan dengan konvensi ketatanegaraan dalam meratifikasi instrument
hukum HAM internasional yang lain menggunakan undang-undang. Tabel berikut menunjukkan
ketidakkonsisten Negara Indonesia dalam meratifikasi instrument Hukum HAM Internasional utama.
Instrumen Hukum HAM Utama
Landasan Hukum Ratifikasi
Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment, 1984
Convention on the Rights of the Child,1989
Undang-Undang No. 5 Tahun, 1998
Convention on the Elimination of All Forms
Discrimination against Women (CEDAW), 1979
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990
Tabel 6:
Ratifikasi instrumen Hukum HAM Internasional utama Periode Sebelum Amandemen UUD 1945
Titik ketidakkonsistenan tersebut terjadi pada saat Negara Indonesia meratifikasi KHA dengan
menggunakan Keputusan Presiden. Ketidakkonsistenan tersebut merefleksikan sikap politik HAM
Presiden terhadap upaya pemajuan hak asasi anak. Sikap politik sepihak ini ditunjukkan pada
konsideran “Menimbang” huruf e, Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang ratifikasi KHA
yang menyatakan:
“bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan Amanat Presiden Republik Indonesia kepada
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan
Perjanjian dengan Negara lain, dipandang perlu mengesahkan konvensi tersebut dengan Keputusan
Presiden.”
137
Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis,Yogyakarta,
REaD Book, 2002, hal. 483 - 485
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
42
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Pertimbangan ini merupakan justifikasi secara sepihak oleh Presiden bahwa hak asasi anak yang
menjadi substansi konvensi cukup menjadi lingkup kewenangan Presiden, tanpa perlu melibatkan
DPR.
Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Presiden pada masa itu, memberikan landasan
hukum ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Terdapat 2 (dua) sebab
yang melatarbelakangi tindakan tersebut:
1. Permasalahan anak-anak dianggap tidak politis;
2. Keputusan Presiden digunakan untuk menunjukkan bahwa Presiden mempunyai kekuasaan
yang lebih dibanding DPR; dan
3. Presiden tidak mau membagi kekuasaanya dengan DPR tatkala melakukan tindakan
meratifikasi suatu perjanjian internasional.
Untuk melegalkan tindakan di atas Presiden merujuk pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum
amandemen. Pasal ini selalu digunakan sebagai landasan yuridis mengapa Keputusan Presiden
diterbitkan. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.”
Sebab kedua dan ketiga, merupakan strategi Presiden masa itu untuk memasukkan substansi suatu
perjanjian internasional ke dalam ruang lingkup kekuasaan Presiden dan sekaligus membatasi
intervensi DPR atas tindakannya meratifikasi perjanjian internasional. Sesungguhnya UUD 1945
mengatur bahwa ratifikasi menjadi kewenangan Presiden bersama dengan DPR. Pasal 11 UUD 1945
menyatakan bahwa:
”Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan persetujuan
dengan Negara lain.”
Kembali ke pokok permasalahan implikasi hukum landasan hukum ratifikasi KHA melalui
Keputusan Presiden terhadap pembangunan sistem hukum Indonesia dalam memajukan hak asasi
anak. Permasalahan ini memang tidak terlepas dari keberlakuan yuridis138 Keputusan Presiden yang
dilematis. Suatu norma hukum, secara
yuridis dikatakan berlaku apabila norma hukum itu
memenuhi kriteria-kriteria seperti:
1. Berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau lebih tinggi seperti dalam pandangan
Hans Kelsen dengan teorinya Stufenbau des Recht;.
2. Ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu
kondisi dengan akibatnya;
3. Ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku;
dan
4. Ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwenang.139
Namun, kriteria-kriteria tersebut sulit untuk diterapkan pada Keputusan Presiden No. 36
Tahun 1990 karena Keputusan Presiden ini bersifat mandiri atau berasal dari kewenangan atributif
berdasar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Dengan mengacu pada kriteria di atas justru
138
Keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum dengan melihat
pertimbangan yang bersifat teknis yuridis. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op.cit., hal. 242
139
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
43
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
kemandirian Keputusan Presiden ini bertentangan dengan keberlakuan yuridis suatu norma
berdasar pada hukum yang lebih tinggi.
Kemudian apabila ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden dikerangkai dengan teori
Stufenbau des Recht maka dapat dipastikan setiap undang-undang tidak mencantumkan Keputusan
Presiden Nomor 36 tahun 1990
dalam konsideran yuridis
“Mengingat”. Pilihan pemberian
landasan hukum ini pada akhirnya berimplikasi pada upaya legislasi nasional dalam mentransformasi
prinsip dan norma universal hak asasi anak ke dalam norma hukum nasional.
Secara normatif implementasi prinsip dan norma KHA ke dalam hukum domestik memang
menjadi kewenangan Negara peratifikasi. Namun upaya ratifikasi tersebut semestinya memperkuat
hak asasi anak secara hukum bukan melemahkannya. Nampaknya, Negara Indonesia dalam
memberikan landasan hukum ratifikasi KHA tidak memperhatikan bagaimana kekuatan hukum
Keputusan Presiden dan implikasi hukum terhadap eksistensi dan kekuatan hukum KHA dalam
membangun sistem hukum Indonesia. Dalam hal ini, undang-undang selain derajat hukumnya lebih
tinggi, undang-undang juga mempunyai kekuatan hukum lebih kuat ketimbang Keputusan Presiden.
Semestinya pilihan pemberian landasan hukum ratifikasi KHA tetap berpijak pada ketentuan hukum
yang ada sehingga tidak menimbulkan implikasi hukum di masa yang akan datang.
e. Tinjauan terhadap Konsideran Yuridis Beberapa Undang-Undang
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, konstruksi sistem hukum Indonesia sangat kentara
dipengaruhi teori Stufenbau des Rechts. Bahkan sampai saat ini teori ini tetap menjadi pardigma
pembangunan sistem hukum Indonesia seperti nampak pada UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan
teori tersebut Keputusan Presiden yang mempunyai derajat lebih rendah tidak mungkin dirujuk
oleh undang-undangan yang derajatnya lebih tinggi. Lebih jauh eksistensi hukum Keputusan
Presiden sudah dihapus dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Keputusan Presiden
dikembalikan pada fungsi asalnya yakni hanya menetapkan atau penetapan (beschikking).
Paradigma dan ketentuan tersebut berimplikasi secara hukum yakni Keputusan Presiden
ratifikasi KHA kemudian tidak dapat dijadikan sebagai rujukan dalam konsideran landasan yuridis
suatu undang-undang.
1. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
notabene sui generis ditujukan untuk melindungi anak-anak tidak memuat ratifikasi KHA yang
menjadi rujukan hukum utama dalam konsideran “Mengingat” (konsideran/landasan yuridis).
Namun, undang-undang lain yang mengesahkan instrument hukum HAM internasional yang lain
yang telah diratifikasi dimuat di dalamnya. Dampaknya terdapat ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a) Perluasan definisi anak yang mencakup anak yang masih berada dalam kandungan.
Permasalahannya UU ini tidak memberikan batasan sampai usia berapakah anak dalam
kandungan yang harus mendapatkan perlindungan hukum.
b) Pemenuhan hak
anak untuk mendapatkan lingkungan pengasuh dan keluarga
alternatif
berbasis pendekatan sekterian bukan berdasarkan prinsip kepentingan
terbaik bagi anak (Pasal 31 ayat (4); Pasal 33 ayat (3); Pasal 37 ayat (3); (4); dan Pasal 39
ayat (3); (5).
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
44
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
c)
d)
e)
f)
Dalam undang-undang ini dikenal dengan kewajiban asasi anak seperti diatur pada Pasal
19. Pasal ini justru mewajibkan anak-anak untuk melakukan kewajiban yang ditujukan
kepada para pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi
anak, seperti: orang tua, guru, keluarga, masyarakat, dan Negara.
Penganggaran perlindungan anak yang menjadi kewajiban pemerintah belum diatur
dalam UU ini, setiap hak anak yang termasuk dalam ruang lingkup hak ekonomi, hak
sosial, dan hak budaya membutuhkan intervensi pemerintah melalui anggaran publik.
Dari perspektif pendekatan berbasis hak (rights bases approach) judul UU no. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak mereduksi 3 (tiga) kewajiban utama Negara terkait
dengan isu HAM, yakni (i) penghormatan; (ii) perlindungan; dan (iii) pemenuhan. Di
samping itu, aturan-aturan dalam KHA juga dapat dikategorisasi dalam 3 (tiga) pilar
utama kewajiban Negara yakni: (i) penyediaan; (ii) perlindungan; dan (iii) partisipasi.
Kewenangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat limitatif karena tidak
memiliki kewenangan penyelidikan pemeriksaan jika ada pelanggaran hak anak. Prinsipprinsip Paris Prinsip-prinsip Paris 1991, mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional
untuk Melindungi dan Memajukan Hak Asasi Manusia belum menjadi acuan.
Di samping permasalahan substantive di atas, dalam struktur naskah konsideran yuridis UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mencantumkan Keppres No. 36
Tahun 1990 sebagai referensi yuridis pembentukan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Perhatikan konsideran yuridis UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai
berikut:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Mengingat :
1.
Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);
Hak Anak
Hak Asasi Manusia
6. adalah
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning 45
Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3835);
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
2. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Hal yang serupa juga ditemukan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)
mengenai sistem peradilan yang mengatur anak yang berhadapan dengan hukum, yakni UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini juga tidak
mencantumkan ratifikasi KHA sebagai referensi yuridis
sementara undang-undang lain yang
mengatur hal yang sama dicantumkan dalam konsideran pembentukan UU ini.
Oleh karena
perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sama dengan pelaku tindak pidana orang
dewasa. Hal ini ditunjukkan proses peradilan penanganan perkara anak mutatis mutandis dengan
perkara pidana yang melibatkan orang dewasa, seperti mengenal banding dan kasasi, dan
peninjauan kembali. Bahkan anak yang masih berusia 8 tahun dianggap memiliki kapasitas
bertanggung jawab secara pidana.
Sementara prinsip yang bersifat universal dalam penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum yakni prinsip diversi dan keadilan restoratif belum diatur dalam UU ini. Artinya UU ini lebih
menekankan penghukuman bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini ditunjukkan
dengan masih berlakunya KUHP dan KUHAP dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Dengan demikian hukum acara bagi penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
masih mengkaitkan dengan model dan prosedur bagi orang dewasa. Demikian pula halnya dengan
sanksi pidana bagi anak juga disamakan dengan orang dewasa. Sanksi yang dapat dikenakan
kepada anak yang berhadapan dengan hukum dapat berupa
sanksi pidana pokok maupun
tambahan yakni pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana pengawasan, perampasan
barang tertentu, dan pembayaran ganti rugi.
Situasi demikian terjadi karena prinsip dan norma KHA tidak dijadikan acuan bagi
pengembangan sistem peradilan pidana anak. Perhatikan konsideran yuridis pada Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Mengingat:
1.
2.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986
Hak Anak
adalah
Asasi Manusia
46
Nomor
20,Hak
Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3327);
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Paradigma teori Stufenbau des recht yang menjadi paradigma pembangunan sistem hukum
Indonesia memang tidak memungkinkan Keputusan Presiden menjadi referensi yuridis sehingga
prinsip-prinsip dan norma-norma KHA tidak tertransformasi menjadi norma hukum positif.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diundangkan untuk
mengatur jaminan HAM secara umum. Hak Anak diatur pada Bagian Kesepuluh, dari Pasal 52 – Pasal
66, namun dari seluruh pasal tersebut pilar utama yakni, prinsip penghargaan terhadap pendapat
anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle) atau
dikenal dengan hak anak untuk berpartisipasi tidak diadopsi. Padahal hak anak untuk berpartisipasi
dalam KHA memiliki dimensi yang luas seperti diatur dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan
Pasal 17. KHA yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden tidak dijadikan sandaran hukum bagi
pembuatan undang-undang ini. Bahkan undang-undang ini juga tidak merujuk pada ratitifikasi
instrument hukum HAM internasional yang telah diratifikasi dengan undang-undang seperti CEDAW
dan CAT. Oleh karenanya, di dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang ganjil yakni
pengaturan Kewajiban Dasar Manusia yang dicantumkan dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69.
Konsideran yuridis Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut :
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Mengingat :
1.
2.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 Pasal
32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Seturut dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan dengan tujuan untuk mengadili pelanggaran berat
HAM, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Persoalan krusial pada
undang-undang ini menyerahkan pengaturannya kepada KUHAP sepanjang belum diatur dalam
undang-undang termaksud. Mekanisme pengadilan yang ramah terhadap anak (justice child friendly
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
47
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
justice ) tidak diatur dalam UU ini, padahal anak-anak dalam pengadilan HAM berat berhak untuk
berpartisipasi dalam proses peradilan yang terkait dengan mereka (Pasal 12 KHA). Selain itu,
pengaturan perlindungan terhadap saksi dan korban anak-anak belum mendapatkan aturan secara
khusus. Padahal anak-anak merupakan korban langsung maupun tidak langsung dari kejahatan
berat HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 8 mengenai kejahatan genosida dan Pasal 9 mengenai
kejahatan terhadap kemanusiaan. KHA mengamanatkan perlunya pengaturan perlindungan secara
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, undang-undang ini mereduksi
bentuk-bentuk kejahatan berat terhadap HAM hanya pada kejahatan terhadap kemanusiaan dan
genosida. Reduksi ini terjadi karena instrument hukum internasional yang dirujuk yakni Statuta
Roma 1998 disimpangi. Bahkan, landasan hukum ratifikasi instrument hukum HAM internasional
CEDAW dan CAT yang telah diratifikasi tidak dicantumkan sehingga permasalahan khas yang menjadi
ruang lingkup kedua instrumen ini tidak terakomodasi, sebagai contoh kejahatan kemanusian
berbasis gender.
Perhatikan konsideran “Mengingat” Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM di bawah ini.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Manakala hak-hak anak telah menjadi hak konstitusional melalui Amandemen II UU 1945,
permasalahan anak masih saja belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dalam
pembangunan sistem hukum Indonesia. Terlepas dari sumir dan reduktifnya UUD 1945 dalam
menjamin hak asasi anak, semestinya pemuatan hak anak dalam konstitusi menjadi pijakan hukum
untuk mengkonstruksi sistem hukum yang berpihak pada pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak.
Namun, realitanya permasalahan anak masih tetap saja dianggap tidak signifikan. Produk undangundang yang dibuat setelah amandemen kedua ini belum merujuk pada hak konstitusional anak.
Parameternya adalah Pasal 28B ayat (2) yang menjamin konstitusionalitas hak anak tidak
dicantumkan dalam rujukan hukum pada konsideran yuridis undang-undang. Terdapat 2 (dua)
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
48
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
produk undang-undang yang mencantumkan Pasal ini pada konsideran yuridisnya yaitu UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun kedua undang-undang ini seakan-akan
berdiri sendiri mengatur permasalahannya masing-masing. Titik-titik keterkaitan permasalahan
yang diatur tidak mendapatkan sandaran hukum. Semestinya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga memuat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan CEDAW. Dengan memuat undang-undang ini, keterkaitan antara permasalahan anak
yang diatur dalam KHA dan permasalahan perempuan yang diatur dalam CEDAW terjembatani.
Mengingat terintegrasinya instrument-instrumen hukum HAM internasional dalam satu kesatuan
norma hukum HAM. Pada kedua konvensi ini, jembatan tersebut nampak pada konsideran masingmasing konvensi ini merujuk pada instrument-instrumen HAM internasional yang lain. Konsideran
KHA yang menunjukkan titik-titik keterkaitannya pada paragraph berikut:
“Mengakui bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Deklarasi Universal tentang Hak- hak Asasi
Manusia dan Kovenan-kovenan Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia, menyatakan dan
menyetujui bahwa setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dinyatakan
didalamnya, tanpa pembedaan macam apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik, atau pendapat yang lain, kewarganegaraan atau asal usul sosial, harta
kekayaan atau status yang lain.”.
Pengakuan di atas dipertegas kembali pada Pasal 2 ayat (1) KHA yang menyatakan: “Negara-negara
Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap
anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa
menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain,
kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang
lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.”
Konstruksi yang serupa dapat terlihat pada Konsideran CEDAW yang menetapkan bahwa:
“Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-Hak asasi Manusia menegaskan azas
mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan
bebas dan sama dalam martabat dan haknya , dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan
jenis kelamin.”
Namun keintegrasian ini, justru tidak nampak pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Semestinya konstruksi sistem hukum Indonesia mengacu seperti instrument hukum HAM di
atas di mana terdapat prinsip-prinsip hukum yang harus menjadi acuan bersama atau paling tidak
masing-masing undang-undang merujuk satu sama lain pada konsiderannya. Untuk melihat uraian
ini, berikut konsideran yuridis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,
Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
49
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
Selain kedua undang-undang di atas, produk undang-undang lain yang mengatur dan mengelaborasi
jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM kembali tidak merujuk Pasal 28B ayat 2 UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi tidak menjadikan
pasal ini sebagai salah satu rujukan hukum mengapa undang-undang ini dibuat. Padahal anak-anak
juga mempunyai kepentingan terhadap pengungkapan pelanggaran berat HAM masa lalu. Anakanak mempunyai hak atas akses informasi (Pasal 17 KHA) mengenai hal tersebut secara benar. Hak
anak atas informasi dalam konsep rekonsiliasi dapat dikategorikan sebagai hak untuk mengetahui
kebenaran masa lalu (right to know the truth). Dengan bahasa lain, anak-anak juga merupakan
korban peristiwa korban pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga anak-anak berhak untuk
mengetahui kebenaran (victim’s right to know). Hal ini terjadi karena setiap terjadi peristiwa
pelanggaran HAM sudah hak asasi anak-anak juga dilanggar. Oleh karenanya kondisi ini
mengimplikasikan timbulnya kewajian Negara untuk mengingatkan.140 Kemudian mengenai
peraturan pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban, termasuk anak-anak
sebagai ahli warisnya, belum mengakomodasi prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Hal terpenting
lain adalah bagaimana mekanisme partisipasi anak dalam proses pencarian keadilan masa lalu
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Permasalahan ini belum terakomodasi dalam UU ini.
Konsideran “Mengingat” undang-undang ini dapat menunjukkan kenapa permasalahan di
atas luput diatur di dalamnya.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi
Mengingat:
1.
2.
Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945;
Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (lembaran negara
republik indonesia tahun 2000 nomor 208, tambahan lembaran negara republik indonesia nomor
4026);
140
Ifdhal Kasim & Eddie Riyadi Terre (Editor)Pendahuluan: Pencarian Keadilan di Masa Transisi dalam Pencarian Keadilan di
Masa Transisi, , Jakarta, ELSAM, 2003, hal. 9
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
50
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Meskipun UU ini telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui keputusan No 006/PUU-IV/2006
karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Namun demikian Indonesia masih membutuhkan kehadiran Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang dibangun dengan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru dengan
perspektif hak anak.
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam kaitannya dengan anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya anak yang
menjadi korban tindak pidana dan anak yang bersaksi atas peristiwa suatu tindak pidana, terdapat
undang-undang yang mengatur ruang lingkup permasalahan tersebut. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir untuk menanggapi kebutuhan tersebut.
Namun terdapat substansi yang lepas dari cakupan pengaturan dalam undang-undang tersebut.
Aturan khusus yang mengatur perlakuan dan metode terhadap kesaksian anak dan perempuan
belum terakomodasi di dalamnya. Anak diberikan hak berpartisipasi dalam setiap proses peradilan,
demikian substansi dari rumusan Pasal 12 KHA. Artinya kesaksian anak dalam proses peradilan
merupakan bagian dari hak partisipasi tersebut. Hanya saja harus disesuaikan dengan tingkat
kematangan dan usia anak. Dengan kata lain dibutuhkan mekanisme yang ramah terhadap anak.
Namun demikian, hal-hal penting tersebut belum terakomodasi dalam UU tersebut, situasi ini
karena
UU ini tidak mencantumkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan hak
konstitusionak anak. Permasalahan tersebut juga terkait dengan tidak dijadikannya KHA sebagai
landasan sebagai acuan dalam penyusunan norma-norma perlindungan saksi dan korban.
Dampaknya norma hak asasi anak yang fundamental ini tidak terelaborasi lebih jauh. Padahal kasuskasus tindak pidana yang menimpa anak-anak kecenderungannya semakin meningkat ke depan.
Pada titik ini undang-undang ini tidak berpijak pada landasan sosiologis yang menjadi dasar alasan
kenapa undang-undang ini harus ada. Landasan sosiologis undang-undang harus dikembalikan pada
tuntutan kebutuhan masyarakat itu sendiri akan suatu norma hukum yang sesuai dengan realiatas
kesadaran hukum masyarakat.141 Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga tidak termuat dalam konsideran yuridis dalam undang-undang ini sehingga
kebutuhan khusus sesuai dengan karakteristik anak dan perempuan belum diatur. Perhatikan
konsideran dari undang-undang ini.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
141
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
51
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
8.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Lain dengan kondisi di atas, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana
Perdagangan Orang yang disahkan pada 20 Maret 2007 lalu, terdapat perkembangan positif dalam
menyusun landasan hukum pada konsideran yuridisnya. Terlepas dari definisi perdagangan anak
belum diakomodasi secara penuh sebagaimana diatur dalam Protokol Palermo. Konsideran yuridis
undang-undang ini telah mencantumkan Pasal 28B ayat 1 UUD 1945, Undang-Undang Nomor 7 Yahun
1984 tentang Pengesahan CEDAW, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Artinya terdapat titik perhatian yang sama terhadap penanganan dengan perlakuan yang
khusus bagi anak korban perdagangan orang. Namun tetap saja, KHA tidak dapat dipergunakan
sebagai rujukan hukum dalam konsideran yuridis undang-undang tersebut. Konsideran UndangUndang tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang berikut ini.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of
Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4235);
III. Penutup : Kesimpulan dan Rekomendasi
a. Kesimpulan
Dewasa ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur
peraturan
perundang-undangan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, yang menggantikan kedudukan hukum Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
Menyangkut pencantuman peraturan perundang-undangan pada konsideran yuridis
lampiran
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dalam Sistematika Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, kembali menegaskan
dianutnya teori stufenbau des recht Hans Kelsen. Lampiran undang-undang ini pada bagian Dasar
Hukum (B.4.) angka 27 menyatakan:
“Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan
Perundang-Undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.”
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
52
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Berdasarkan undang-undang itu pula, pada konsideran yuridis setiap undang-undang, selain
mencantumkan secara rinci dan tepat ketentuan UUD 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk
penyebutan pasal dan ayat atau bagian tertentu dari UUD 1945, juga mencantumkan undangundang lain yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang bersangkutan.
Pencantuman undang-undang ini diperlukan sebagai upaya menyatukan undang-undang tersebut
dalam bagian dari kesatuan sistem norma yang mengatur permasalahan yang sama.142
Kasus ratifikasi KHA dengan landasan hukum berupa Keputusan Presiden menunjukkan
bahwa pemajuan dan perlindungan hak asasi anak tidak mendapatkan dukungan politis dari Negara
karena tidak didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Dalam
bahasa yang lain, keberlakuan politis ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang pada
akhirnya legitimasi keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan.143
Situasi ini terkait dengan politik hukum masa itu dan terdapat pandangan-pandangan berikut :
1. Permasalahan anak tidak berdampak secara politis sehingga tidak masuk dalam agenda
politik;
2. Kebijakan pemerintah cenderung didominasi masalah perekonomian ketimbang tujuantujuan
pelayanan jaminan sosial sehingga cenderung rekatif daripada proaktif;
3. Anak-anak dipandang sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif;
4. Anak-anak tidak diberikan haknya untuk memberikan suaranya sehingga kebutuhan dan
kepentingan mereka dikalahkan oleh kebutuhan orang dewasa yang mempunyai suara.144
Dampaknya, prinsip-prinsip dan norma-norma KHA tidak pada akhirnya luput sebagai gagasan
dasar untuk membangun sistem hukum berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi anak-anak.
Pengaturan secara khusus dengan mempertimbangkan kepentingan anak menjadi signifikan karena
undang-undang yang ada tidak memadai atau tidak peka dengan kekhasan permasalahan anak.
Padahal anak-anak menanggung ketidakadilan yang berlapis ketimbang orang dewasa.
Ketidakadilan tersebut semakin dirasakan oleh anak-anak apabila anak-anak tersebut menjadi bagian
dari anak dalam situasi khusus dan atau menjadi bagian dari kelompok rentan.
Sejak ratififikasi KHA, sudah sekian banyak undang-undang yang dibuat untuk mengatur
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun upaya pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak
masih termarjinalkan. Realita jaminan dan sandaran hukum yang mengatur secara khusus kebutuhan
anak-anak terabaikan dalam pembangunan sistem hukum Indonesia.
Marjinalisasi terhadap
permasalahan anak juga masih berlanjut pada masa pasca Amandemen II UUD 1945 pada 2000.
Melalui amandemen tersebut, hak asasi anak telah menjadi hak konstitusional.
Untuk melihat apakah undang-undang mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA
pada undang-undang dapat dilihat dengan menggunakan parameter-parameter berikut:
1. Terdapatnya keharmonisan materi muatan undang-undang tersebut dengan prinsip-prinsip
dan norma-norma KHA
2. Penggunaan terminologi hukum yang sama
3. Penggunaan indicator yang sama
4. Materi muatan undang-undang tersebut menampakan adanya overlapping consensus145
142
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, op. cit, hal. 172-173
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 243
144
Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta,
REaD Book, 2002, hal. 483 - 485
145
John Rawls menyatakan bahwa overlapping consensus merupakan kesepakatan tentang hal-hal yang menyatukan,
khususnya hal-hal yang menyangkut kemanusiaan agar setiap manusia dihargai setidak-tidaknya secara minimal dengan
143
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
53
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Langkah awal untuk melihat parameter-parameter di atas berada pada konsideran yuridis
undang-undang tersebut. Dalam perspektif ilmu peraturan perundang-undangan, konsideran yuridis
merupakan landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam suatu undangundang dan subyek-subyek hukum yang diatur oleh undang-undang tersebut.
Sehubungan dengan hal-hal di atas konsideran suatu undang-undang mencakup:
1. landasan filosofis,146
2. landasan sosiologis,147 dan
3. landasan politis. 148
Dengan demikian, dalam konsideran yang memuat landasan filosofis, politis atau sosiologis,
menjadi penting diperhatikan karena bagian ini akan menjiwai bagian tubuh suatu undang-undang.
Bagian konsideran merupakan hasil dari pemahaman dan penghayatan pembuat undang-undang
terhadap realita sosial. Artinya dengan melihat rumusan konsideran dapat dilihat apakah suatu
peraturan memiliki basis legitimasi untuk memajukan dan melindungi HAM suatu sekelompok
tertentu.149
Konsideran menimbang ini untuk melihat Aspek material suatu undang-undang
sehingga akan terlihat basis legitimasi tersebut. Sejumlah aksentuasi atau topik strategis yang dinilai
penting untuk mengeksaminasi aspek material undang-undang, meliputi :
1. Dasar pemikiran/latar belakang berpikir yang tercantum dalam konsideran, apakah
mengakomodasi prinsip-prinsip dan norma-norma pemajuan dan pemenuhan hak asasi anak
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan menempatkan kepentingan terbaik bagi anak;
3. Tindakan khusus Negara sebagai pengemban kewajiban untuk memajukan dan melindungi
hak asasi anak. 150
Oleh karenanya, prinsip-prinsip dan norma-norma hukum KHA sudah semestinya tercantum di
dalamnya, seperti :
1. Perlindungan dan pemeliharaan khusus bagi setiap anak karena ketidakmatangan jasmani
dan mentalnya (Preambular KHA)
2. Tidak bertentangan dengan 5 (lima) prinsip mendasar KHA yakni :
a) Prinsip non diskriminasi (non-discrimination principle);
b) Prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest of the child principle);
c) prinsip hak untuk hidup dan perkembangan secara maksimal (right to life and maximum
development principle) ;
d) Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the
child’s opinion and right to be heard principle); dan
tidak merampas hak-haknya atau tidak membiarkan kelompok manusia yang kurang beruntung tetap menderita dan
ditindas. Lihat Kata Pengantar dalam HAM : Aneka Suara dan Pandangan, op.cit., hal. xvi
146
Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah
mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, op.cit. hal. 169-173
147
Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat
sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang,
ibid
148
Dalam konsideran harus tergambar adanya rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung
dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undangundang yang bersangkutan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid
149
Tim Kajian Tiga Lembaga, Legal Opinion (Critical LegalAnalysis), Legal Opinion (Critical LegalAnalysis terhadap UU
Kehutanan No. 41/1999, dalam Gerakan Studi Hukum Kritis, Wacana, No. VI/2000, Yogyakarta, Insist Press, 2000, hal. 85-87
150
Tim Kajian Tiga Lembaga, Legal Opinion (Critical LegalAnalysis), ibid
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
54
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
e)
Prinsip bahwa hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and
interdependence of rights principle).
3. Derajat intervensi yang berbeda bagi anak-anak dalam situasi “normal” dan anak-anak
dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP) yang meliputi :
a) Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi
anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri
(internally displaced people) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata
(children in situation of armed conflict)
b) Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi, penyalahgunaan obat (drug
abuse), eksplotasi seksual, perdagangan anak (trafficking), dan ekploitasi bentuk lainnya
c) Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law)
d) Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from
indigenous people and minorities)
4. Mengadopsi tindakan afirmatif mengingat anak-anak sampai saat ini mengalami diskriminasi
pada setiap aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat
5. Mengalokasikan anggaran publik secara khusus untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi
anak berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).151
Landasan-landasan pembuatan undang-undang pada bagian konsideran filosofis-sosiologis-politis,
kemudian dikonkretkan pada bagian konsideran yuridis yang berisi landasan yuridis-normatif152
dibuatnya undang-undang tersebut. Dalam konsideran yurisdis ini harus disusun secara rinci dan
tepat hal-hal berikut:
1. ketentuan UUD 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat atau
bagian tertentu dari UUD 1945;
2. undang-undang lain yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang
bersangkutan.153
151
The Guideline for Periodic Report CRC Committee, mengelaborasi lebih lanjut alokasi anggaran berprinsip pada
kepentingan terbaik bagi anak, meliputi :
1. Mengambil langkah-langkah guna memastikan terdapatnya koordinasi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan
layanan sosial;
2. Pembagian anggaran public yang proporsional untuk belanja layanan sosial baik di level pemerintah pusat
maupun pemeintah daerah bagi kepentingan anak, termasuk kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan;
3. Terdapatnya kecenderungan kenaikan anggaran publik untuk kepentingan anak;
4. Mengambil langkah-langkah guna memastikan semua kompetensi nasional dan daerah, termasuk para pengambil
kebijakan anggaran publik diorientasikan untuk kepentingan anak serta mengevaluasi penetapan prioritas
alokasi anggaran yang ditujukan bagi kepentingan terbaik untuk anak,
5. Memastikan tindakan-tindakan yang telah diambil tidak menimbulkan disparitas antar wilayah dan kelompok
anak dan tindakan tersebut dapat menjembatani keterkaitan kebijakan alokasi anggaran publik dengan
perlindungan sosial
6. Memastikan tindakan-tindakan yang diambil berdampak pada anak-anak khususnya kelompok anak yang tidak
beruntung sehingga anak mendapatkan perlindungan terhadap risiko perubahan kebijakan ekonomi termasuk
pengurangan alokasi anggaran untuk sektor sosial
Lihat Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook, op.cit, hal. 61
152
Landasan yuridis dalam perumusan setiap undang-undang harus ditempatkan pada konsideran “Mengingat”. Dalam
konsideran mengingat ini harus disusun secara rinci dan tepat (i) ketentuan UUD 1945 yang dijadikan rujukan, termasuk
penyebutan pasal dan ayat atau bagian tertentu dari UUD 1945 harus ditentukan secara tepat; (ii) undang-undang yang lain
yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang bersangkutan Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal UndangUndang, ibid
153
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ibid, hal. 172
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
55
Kertas Posisi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Namun, prinsip-prinsip dan norma-norma KHA tidak nampak terejawantah dalam produk
undang-undang di atas (table 1, 2, dan 3) menjadi substansi norma-norma yang diatur di dalamnya.
Titik-titik krusial keseluruhan produk undang-undang tersebut adalah tidak satu pun undangundang ini dimaksudkan secara penuh mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA. Akar
permasalahan ini sesuai dengan tesis tulisan bahwa Keputusan Presiden yang dijadikan landasan
ratifikasi KHA tidak dapat dijadikan rujukan yuridis dalam suatu undang-undang. Berdasarkan teori
Stufenbau des Recht yang dianut dan menjadi paradigm pembangunan sistem hukum Indonesia
Keputusan Presiden tidak dapat dijadikan referensi yuridis pembentukan undang-undang. Uraian di
atas mendeskripsikan bahwa pemberian landasan hukum ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 ternyata mempunyai implikasi-implikasi hukum terjadinya marjinalisasi
permasalahan anak secara sistematis dan terstruktur. Kondisi ini ditandai semakin tereduksinya
prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam politik hukum di Indonesia.
b. Rekomendasi
Uraian di atas menggambarkan bahwa marjinalisasi permasalahan anak dalam konstruksi sistem
hukum Indonesia salah satunya bersumber pada pemberian landasan hukum ratifikasi KHA melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, ke depan merentang agenda yang
perlu dituntaskan dengan segera yakni:
1. Meningkatkan landasan hukum ratifikasi KHA dari Keputusan Presiden menjadi UndangUndang, selain bertujuan untuk mendapatkan legitimasi politik dan sosial lebih luas, ke
depan KHA dapat menjadi rujukan hukum bagi upaya membangun sistem hukum Indonesia.
2. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh
berkesesuaian dengan prinsip- prinsip dan norma KHA;
3. Melakukan analisis yang sistematis terhadap semua peraturan perundang-undangan dan
kebijakan publik yang berdampak pada anak sehingga dapat terwujud sistem hukum yang
harmonis dan berpihak pada kepentingan anak.
Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
56
Download