ii. tinjauan pustaka

advertisement
4 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Fosfor dalam Tanah
Fosfor adalah unsur yang sangat esensial untuk pertumbuhan tanaman
setelah nitrogen. Namun ketersediaan unsur ini untuk tanaman dibatasi oleh
perbedaan reaksi kimia khusunya pada tanah arid dan semiarid. Fosfor
memainkan peranan penting dalam aktivitas fisiologi dan biokimia tanaman
seperti fotosintesis, transformasi gula ke zat tepung, dan penurunan ciri-ciri
genetik . Sharma (2002) dalam Mehvarz et al. (2008) melaporkan salah satu
keuntungan dari pemberian tanaman dengan fosfor menghasilkan akar yang lebih
dalam dan. Malakooti dan Nafisi (1995) dalam Mehrvarz et al. (2008)
menyatakan bahwa pH terbaik untuk fosfor dapat diambil oleh tanaman adalah
6.5. Mineral fosfat dalam tanah dipelajari lebih intensif daripada mineral nutrisi
lainnya kecuali nitrogen. Meskipun memerlukan usaha yang besar, sedikit hal
pasti bisa dikatakan tentang keadaan fosfat dalam tanah. Ketidakpastian tentang
kimia fosfat dalam tanah disebabkan interaksi kuat fosfat fase padat anorganik
dan organik, pengambilan oleh tanaman dan mikroorganisme secara terusmenerus, seringnya kembali dari peluruhan organik, dan tingkat reaksi yang
lambat (Bohn et al. 1979).
2.2. Kandungan Fosfor
Tanah perawan dan tanah-tanah muda di area yang memiliki curah hujan
rendah biasanya memiliki total fosfor yang tinggi (Tisdale et al. 1985). Fosfor
dalam tanah sebagian besar terdapat dalam bentuk ortofosfat. Kandungan total
berkisar antara 0.02 - 0.15%, sebagian besar dari bentuk P ini berasosiasi dengan
bahan organik dan di tanah mineral proporsi dari P organik terletak antara 20 80% dari total P.
2.3. Bentuk dan Ketersediaan
Fosfor (P) merupakan salah satu unsur yang diperlukan tanaman dan
memegang peranan penting dalam proses metabolisme. Dalam tanah dijumpai
fosfor organik dan anorganik, keduanya merupakan sumber hara penting bagi
5 tanaman. Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk H2PO4-, HPO4-, PO4-. Pada
umumnya bentuk H2PO4- lebih tersedia bagi tanaman daripada HPO4- dan PO4-.
Ketersediaan fosfor anorganik sangat ditentukan oleh pH tanah , jumlah dan
dekomposisi bahan organik, serta kegiatan jasad mikro dalam tanah (Lal 2002
dalam Suliasih dan Rahmat 2007)
Fosfor tanah bisa dikelompokkan secara umum sebagai fosfor organik dan
fosfor anorganik, tergantung pada kandungan-kandungan alamiah dimana bentuk
P tersebut terjadi. Fraksi organik ditemukan dalam humus dan bahan organik yang
mungkin atau tidak mungkin berasosiasi dengan humus. Ukuran P-organik dalam
tanah sangat besar berkisar dari 0 hingga melebihi 0.2% (Tisdale et al. 1985).
Kosentrasi fosfat yang berada pada larutan tanah berkisar antara 0.1 hingga 1 ppm
(10-5 hingga 10-6 M). Fosfat tanah disebut labil atau tidak labil, tergantung dari
tingkat dimana fosfat mengalami pertukaran dengan radioaktif PO4. Fraksi yang
tidak labil dipertimbangkan akan menjadi sejumlah fosfat yang tersedia bagi
tanaman (Bohn et al. 1979).
2.4. P Organik Tanah
Secara alami dan reaksi dari fosfat organik tanah tidak begitu dipahami
dengan baik. Tapi penjelasan berikut akan memberikan pemahaman yang baik
tentang fosfat organik tanah. Bentuk fosfat organik tanah sebagian besar secara
alamiah bentuk fosfat organik tanah adalah ester dari asam orthofosfat dan
sejumlah mono dan diester yang telah dikarekterisasi. Ester fosfat organik
diidentifikasi ke dalam lima kelas : fosfat inositol, fosfolipid, asam nukleat,
nukleotida dan gula fosfat. Tiga bentuk pertama merupakan bentuk yang dominan
(Tisdale et al. 1985).
Fosfat Inositol. Inositol adalah sebuah kandungan gula homosiklik,
C6H12O6, yang mana terbentuk dari sebuah rangkaian wilayah ester fosfat dari
monofosfat ke hexafosfat. Asam phytic (asam myoinositol hexafosfor) adalah
sejumlah besar ester bentuk ini yang dtemukan dalam tanah. Fosfat inositol
dilepaskan dari substansi organik ke dalam tanah pada tingkat yang sangat lambat
daripada ester lain, namun bisa dengan cepat stabil dan bisa terakumulasi
dibeberapa tanah, dan merupakan fosfat yang terhitung lebih dari setengah fosfat
6 organik dan jumlahnya sekitar seperempat dari total fosfor di tanah (Tisdale et al.
1985).
Asam nukleat. Dua perbedaan bentuk dari asam nukleat, asam ribonukleat
dan asam deoksiribonukleat, terdapat dalam semua bentuk kehidupan. Masingmasing terdiri dari unit rantai gula, baik ribose maupu deoksiribosa bergabung
dengan jembatan ester fosfat. Sebuah basa nitrogen baik yang berasal dari purin
maupun pirimidin diberikan ke masing-masing molekul gula. Nukleosida adalah
unit-unit yang hanya mengandung satu molekul gula yang berikatan dengan satu
molekul dari basa nitrogen. Fosfat berasal dari nuklosida yang disebut nukleotida
(Tisdale et al. 1985).
Asam nukleat dimungkinkan dilepaskan ke dalam tanah lebih banyak dan
cepat daripada fosfat inositol dan mengalami kerusakan lebih cepat. Karena tidak
mungkin untuk mengisolasi asam nukleat murni dari tanah, Pengukurannya
biasanya berdasarkan pada sejumlah nukleotida dari turunan purin atau pirimidin
yang dibebaskan oleh hidrolisis dari fraksi bahan organik tanah. (Tisdale et al.
1985).
2.5. P Anorganik Tanah
Fosfat terlarut dari material pupuk, dalam air limbah, dan sumber tanah
setempat serta bereaksi dengan unsur tanah menghasilkan bentuk yang sukar larut.
Fosfat kemudian hilang dari fase larutan akibat ditahan atau diikat oleh koloid
tanah. Pemahaman dari perubahan tersebut adalah penting dalam manajemen
pupuk fosfat dan untuk tujuan lain seperti pemilharaan lahan dari limbah cair.
Sejumlah mekanisme ditujukan untuk menjelaskan retensi fosfat. Mekanisme
tersebut termasuk reaksi pengendapan-pelarutan, reaksi penyerapan-pelepasan,
dan reaksi mineralisasi–immobilisasi. Reaksi pelarutan-presipitasi rendah terdapat
dalam tanah yang dipengaruhi oleh penamabahan pupuk fosfat dipelajari lebih
ekstensif (Tisdale et al. 1985). Di bawah kondisi lapang dimana pupuk fosfat
diaplikasikan ke tanah dalam bentuk granul atau droplet dalam kosentrasi tinggi
dan berdekatan dengan tanah yang berhubungan larutan tanah yang mengandung
kosentrasi yang tinggi dari fosfat dan yang mengelilingi kation. Reaksi retensi
7 fosfat dimulai di lingkungan seperti ini, yang mana sering memperkenankan
presipitasi in situ dari bahan fosfat (Tisdale et al. 1985).
Bentuk fosfat sukar larut bila bergabung dengan Fe3+, and Al3+ pada pH
rendah, lebih larut bila bergabung dengan Ca2+ dan Mg2+ pada nilai pH mendekati
netral, dan sukar larut bila bergabung dengan Ca2+ pada nilai pH yang lebih tinggi
ada wilayah yang lebar dalam pelarutan berbagai macam bahan fosfat ini dan
ketersediaan mereka untuk tanaman biasanya paling besar dengan pH pada skala
6-7 untuk sebagian besar tanah pertanian (Tisdale et al. 1985).
2.6. Pemupukan Fosfat dan Permasalahannya
Untuk meningkatkan produksi pangan pada tanah-tanah masam seperti
ultisol diperlukan penambahan P-anorganik seperti fosfat alam dan bahan organik,
baik pupuk kandang maupun sisa-sisa tanaman. Pupuk fosfat seperti fosfat alam
bukan hanya merupakan sumber P, tapi juga Ca, disamping itu mengandung hara
esensial seperti Mg, S, Fe, Cu dan Zn (Dev 1996 dalam Noor 2003). Pupuk fosfat
alam yang digunakan secara langsung umumnya memiliki kelarutan yang rendah
dibandingkan dengan pupuk kimia, sehingga diperlukan suatu usaha yang dapat
meningkatkan kelarutannya seperti penggunaan mikroorganisme dan bahan
organik (Noor 2003).
Daya larut fosfat dalam karier fosfat yang berbeda adalah berubah-ubah.
Daya larut air dari pupuk fosfat tidak selalu menjadi kriteria yang terbaik dari
ketersediaaan elemen ini untuk tanaman. Kemungkinan pengukuran yang paling
tepat untuk ketersediaan bagi tanaman dari elemen nutrisi adalah memperluas
penyerapan oleh tanaman di bawah kondisi yang sesuai untuk tumbuh.
Penentuannya tidak mudah, yakni kapan ketersediaan dari unsur pupuk harus di
tentukan dengan cepat pada sejumlah besar sampel, sebagaimana dalam
pengendalian pemupukan untuk tanaman (Tisdale et a.l 1985).
Keefektivan pupuk fosfat ditentukan oleh sifat dari garam fosfat dan
kesuburan tanah serta reaksi dimana terdapat pupuk fosfat dengan berbagai
macam unsur tanah. Pelarutan granul dari pupuk fosfat terlarut air sangat cepat,
bahkan di bawah kondisi kadar air tanah rendah. Kecukupan air untuk mengawali
pelarutan, mengubah granul dengan kapilaritas atau transport uap air. Larutan
8 yang mendekati jenuh dari bahan pupuk fosfat berada di sekitar pupuk berbentuk
granul dan droplet. (Tisdale et al. 1985).
2.7. Efektivitas Pemupukan Fosfat
Sejumlah sifat pupuk dan kondisi tanah mempengaruhi junlah pupuk yang
diberikan ke tanah dan juga mempengaruhi efektivitasnya di dalam tanah.
Menurut Tisdale et al. (1985) hal yang mempengaruhi efektivitas pemupukan
fosfat adalah 1) Pengaruh dari ukuran granul, 2) Kadar air Tanah, 3) Distribusi
granul, 4) Tingkat aplikasi, 5) Residu fosfat. Dibawah kondisi tropik, dimana
fosfat terlarut mudah tercuci dari tanah pasir masam, maka aplikasi dari batuan
fosfat diperlukan. Percobaan dengan tebu di Hawai menunjukkan bahwa batuan
fosfat memiliki keefektivan yang sama dengan superfosfat (Ayers and Haghara
1961 dalam Mengel dan Kirkby 1982).
2.8. Masalah Fosfor
Sebagian tanah mengandung zat yang menyediakan total P, sebagain besar
dari itu tinggal dalam bentuk iner, dan hanya kurang dari 10% dari P tanah yang
masuk dalam siklus hewan-tanaman (Kucey et al. 1989 dalam Sundara et al.
2002). Akibatnya kekurangan P meluas dan sebagian besar pupuk P diperlukan
untuk menjaga produksi pangan. Walaupun P dalam pupuk ini mulanya tersedia
bagi tanaman,
namun akhirnya itu secara cepat berekasi dengan tanah dan
menjadi makin kurang tersedia untuk diambil tanaman. Penambahan ke tanah
fosfat terlarut kemudian berekasi dengan komponen-komponen tanah dan
membentuk senyawa yang kurang larut (Sundara et al. 2002).
Soepardi (1983) menyatakan, salah satu masalah fosfor yang terpenting
adalah sebagian fosfor tidak tersedia bagi tanaman, dan juga bila fosfor larut
ditambahkan ke dalam tanah, sebagian dari fosfor tersebut diikat dan dibuat
menjadi tidak tersedia bagi tanaman,
sekalipun keadaan tanah sangat baik.
Pemakaian pupuk fosfat hampir sebanding dengan pemakaian pupuk nitrogen.
Namun demikian kehilangan fosfor dari tanah terangkut tanaman adalah rendah
dibandingkan dengan nitrogen dan kalium, dalam banyak hal berkisar antara
9 seperempat hingga sepertiga unsur tersebut. Secara singkat, masalah menyeluruh
dari fosfor adalah :1) jumlah sedikit yang terdapat dalam tanah 2)
ketidaktersediaan fosfor yang sudah ada dalam tanah 3) adanya fiksasi fosfor yang
kontras.
Pada tanah tua fosfat akan membentuk komplek hidrooksida Fe-P,
hidrooksida Al-P, sedang pada tanah alkali mebentuk komplek Ca-P. Pada tanah
Andosol akan berikatan dengan alofan membentuk alofan fosfat (Leiwakabessy
1989 dalam Lestari 1994) sedangkan pada kondisi masam ion Al dan Fe bereaksi
dengan ion fosfat membentuk gaeam Fe-P atau Al-P yang tidak larut. Pupuk
fosfat Ca(H2PO4)2 diberikan ke tanah akan berubah seperti gambar 1
Hanafiah (2005) menyatakan dibanding N, maka P-tersedia dalam tanah
relatif cepat menjadi tidak tersedia akibat segera 1) terikat oleh kation tanah
(terutama Al dan Fe pada kondisi masam atau dengan Ca dan Mg pada kondisi
netral) yang kemudian mengalami presipitasi (pengendapan) atau 2) terfiksasi
pada permukaan positif koloidal tanah (liat dan oksida Al/Fe) atau lewat
pertukaran kation (terutama dengan OH-).
Ca(H2PO4)2
P tersedia
H2O
H3PO4 + CaHPO4
P kurang tersedia
Al (OH)3 atau Fe (OH)3
Al (OH)2H2PO4 + Fe (OH)2H2PO4
P tidak tersedia
Gambar 1 Bentuk P dalam tanah
Tisdale et al. (1985) menyatakan terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi retensi fosfat dalam tanah. Faktor tersebut antara lain : 1) sifat
alamiah dan jumlah unsur tanah, 2) pH, 3) ion-ion lainnya, 4) kinetik, dan 5)
kejenuhan dari komplek jerapan.
10 2.9. Kebutuhan Fosfor Tanaman
Kadar kosentrasi fosfat yang terdapat dalam tanaman berkisar antara 0.1
sampai 0.4%. Jumlah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan hara
nitrogen dan kalium yang terdapat pada tanaman (Tisdale et al. 1985). Jika jumlah
fosfat tersedia berada dalam kisaran yang normal, jumlah fosfat yang harus
diaplikasikan ke tanah harus sesuai dengan jumlah yang diambil oleh tanaman.
Beberapa fosfat yang bersifat labil diubah menjadi immobil. Tingkat aplikasi
fosfat harus lebih tinggi dari 10 hingga 50% dari jumlah yang diambil oleh
tanaman. Umumnya tingkat aplikasi yang baik untuk tanaman yakni antara 20
hingga 80 kg P/ha sesuai dengan spesies tanaman dan kondisi tanah. Tanaman
dengan pertumbuhan yang tinggi, produksi bahan organik dengan jumlah yang
besar, memiliki kebutuhan yang lebih tinggi terhadap fosfat. Seperti yang
diaplikasikan pada tanaman jagung, produksi rumput intensif, kentang dan tebu
(Mengel dan Kirkby 1982).
Jumlah P yang ada dalam larutan tanah, bahkan dalam tanah dengan
ukuran tinggi dari ketersediaan fosfat hanya berkisar 0.3 hingga 3 kg P/ha.
Kecepatan pertumbuhan tanaman menyerap sejumlah fosfat dalam sehari berkisar
1 kg P/ha, ini menjelaskan bahwa fosfat dalam larutan tanah harus diberikan ke
tanah beberapa kali sehari dengan mobilisasi fosfat dari kelompok fosfat labil.
Fosfat labil ini lebih atau kurang identik dengan isotop pertukaran fosfat. Jumlah
dari bagian ini terpadat pada lapisan atas tanah (20 cm) memiliki jumlah antara
150 hinnga 500 kg P/ha. Fosfat ini memiliki tingkat desorpsi yang tinggi dalam
tanah dan
kapasitas penyangga fosfat yang tinggi. Berdasarkan ini, maka
sebaiknya tanah mampu menjaga kosentrasi fosfat pada larutan tanah selama
musim penanaman (Williams 1970 dalam Mengel & Kirkbi 1982).
Suplai yang cukup dari fosfat berhubungan dengan sejumlah besar jerami
padi. mutu dari buah, makanan ternak, sayuran, dan tanaman padi-padian dapat
berkembang dan peningkatan ketahanan terhadap penyakit saat tanaman-tanaman
ini mempunyai kecukupan dalam nurisi fosfor (Tisdale et al. 1985).
11 2.10. Mikroorganisme Pelarut Fosfat
Kandungan anorganik yang tidak larut dari fosfor, sebagian besar tidak
tersedia untuk tanaman, tapi terdapat banyak mikroorganisme yang bisa
membawa fosfat ke dalam larutan. Hal ini sering kelihatan, karena sepersepuluh
hingga setengah bakteri yang dites umumnya mampu melarutkan kalsium fosfat
(Ca3(PO4)2) dan jumlah bakteri yang dapat melarutkan fosfat yang tidak larut
berada pada 105 hingga 107 per gram tanah. Sebagai contoh seperti bakteri yang
sering melimpah pada permukaan akar (Raghu et al. 1966 dalam Alexander
1977). Spesies seperti Pseudomonas, Mycobacterium, Micrococcus, Bacillus,
Flavobacterium, Penicillium, Sclerotium, Fusarium, Aspergillus, dan lain-lainnya
sangat aktif dalam proses pengubahan fosfat yang tidak larut air menjadi larut air
(Alexander 1977).
Beberapa bakteri tanah, khususnya yang termasuk dalam kelompok
Pseudomonas dan Bacillus dan fungi yang termasuk dalam kelompok Penicillium
dan Aspergillus menunjukkan kemampuan mengubah fosfat yang tidak larut
dalam tanah ke dalam bentuk larut dengan mengeluarkan asam organik seperti
asam format, asetat, propionat, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Asam-asam
ini menyebabkan pH lebih rendah dan memutus ikatan yang membentuk fosfat
(Rao 1982).
Sebagian besar fosfat organik tanah berada dalam bentuk ester fosfat
inositol, hexafosfat inositol dan beberapa di-tri dan tetrafosfat dari inositol.
Beberapa fosfat organik ini diproduksi oleh tanaman, dan sebagian besar
disintesis oleh mikrooragnisme (Dalal 1977 dalam Mengel dan Kirkby 1982).
Peningkatan fosfat tanah tersedia terutama dihasilkan dari dekomposissi
bahan organik. Dekomposisi yang paling baik terjadi pada kondisi tanah netral,
tanah alkalin, dan tanah-tanah ini memiliki kandungan bahan organik yang tinggi.
Beberapa mikroorganisme yang menghasilkan asam sebagai hasil dari akktivitas
metabolisme, juga memiliki peranan dalam melarutkan fosfat mineral tanah yang
tidak tersedia bagi tanaman (Tisdale et al. 1985).
12 2.11. Potensi Bakteri dan Fungi Melarutkan Fosfat
Beberapa bakteri tanah seperti bakteri pelarut fosfat mempunyai
kemampuan untuk melarutkan P organik menjadi bentuk fosfat terlarut yang
tersedia bagi tanaman. Efek pelarutan biasanya disebabkan oleh adanya produksi
asam organik seperti asam asetat, asam format, asam laktat, asam oksalat, asam
malat, dan asam sitrat yang dihasilkan oleh mikroba tersebut. Mikroba tersebut
juga memproduksi asam amino, vitamin, dan growth promoting substance seperti
IAA dan asam giberellin yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
(Richardson 2001, Gyaneshwar et al. 2002; Ponmugaran 2006 dalam Suliasih
2007).
Diantara populasi bakteri tanah, bakteri pelarut fosfat merupakan pelarut
yang berpotensi melarutkan fosfat antara 1 hingga 50% , sedangkan fungi pelarut
fosfat hanya menunjukkan 0.1-0.5% potensi pelarutan (Chen et al. 2006 dalam
Panhwar et al. 2011).
Interaksi mikroorganisme tanah dalam tanaman di daerah perakaran bisa
jadi sangat menguntungkan, netral, bervariasi atau mengganggu pertumbuhan
tanaman. Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas mikroorganisme ini termasuk
produksi atau perubahan dalam kosentrasi hormon tanaman seperti IAA, Asam
giberelin, sitokinin, etilen; fiksasi nitrogen, tekanan pertumbuhan dari organisme
pengganggu dengan produksi siderofor, chitinase, antibiotik, dan pelarutan fosfat
dan unsur lainnya (Bhadbhade et al. 2002 dalam Kukreja et al. 2010).
Pupuk biologis (bakteri pelarut fosfat) dinilai sebagai penyokong tanaman
yang baik untuk mensuplai fosfor ke kadar yang sesuai. Pupuk ini diproduksi
berdasarkan seleksi mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang mana
mempunyai efisiensi tinggi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
menyediakan makanan dalam bentuk yang dapat diserap. Aplikasi dari inokulan
yang disediakan oleh mikroorganisme ini meningkat, banyak mikroorganisme
yang aktif dan efektif untuk daerah aktivitas akar, yang mana meningkatkan
kemampuan tanaman untuk mengambil unsur hara dalam jumlah yang lebih
banyak (Mehrvarz et al. 2008).
Alexander (1977) menyatakan mikroorganisme berperan pada sejumlah
transformasi dari unsur fosfat. Peranan tersebut diantaranya (a) mengubah
13 kelarutan dari kandungan anorganik fosfat, (b) mineralisasi kandungan organik
dengan pelepasan fosfat anoragnik, (c) mengubah fosfat anorganik, menyediakan
anion ke dalam komponen sel, sebuah proses immobilisasi analog yang terjadi
dengan nitrogen, (d) berperan pada oksidasi dan reduksi dari kandungan fosfat
anorganik, khususnya dalam proses immobilisasi.
Indikasi dari kegunaan mikroorganisme pelarut fosfat bisa dicapai dengan
membandingkan pertumbuhan dan komposisi kimia dari pertumbuhan tanaman
dengan kehadiran atau tidak hadirnya mikroorganisme. Sebagai contoh, ketika
barley dibenihkan ke dalam sampel tanah steril dan nonsteril, dengan ukuran yang
rendah dari ketersediaan fosfat, hasil dan kandungan fosfat ialah kekurangan di
tanah nonsteril. Penurunan pertumbuhan oleh mikroflora di tanah alamiah tidak
kelihatan jika fosfat yang disediakan tinggi (Benians G.J. dan D.A. Barber 1974
dalam Alexander 1977).
Bahan organik tanah mengandun P, yang mana mineralisasi dari bahan
organik tanah melepaskan fosfat ke dalam larutan tanah. Fosfat yang dilepaskan
dengan cara ini melibatkan keseimbangan ion fosfat yang dilepas dan ion fosfat
yang diserap. Penguraian bahan organik oleh mikroba berhubungan dengan
peningkatan produksi CO2 yang mana memungkinkan peningkatan larutan fosfat
tanah (Mengel dan kirkby 1982)
2.12. Mekanisme Pelarutan Fosfat
Pelarutan fosfat oleh Pseudomonas didahului dengan sekresi asam-asam
organik, diantaranya asam sitrat, asam glutamate, suksinat, laktat, oksalat,
glioksilat, malat, dan fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai
katalisator, pengkhelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut
membentuk senyawa komplek dengan kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga
terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman
(Rao 1982 dalam Wulandari 2001). Lestari (1994) menyatakan proses utama
terhadap pelarutan senyawa fosfat sukar larut adalah produksi asam organik oleh
mikroorganisme dan sebagian asam anorganik yang dapat berinteraksi dengan
senyawa P sukar larut serta melarutkan fosfor dari komplek Al-P, Fe-P, Mn-P dan
14 Ca-P. seperti yang diungkapkan oleh Basyaruddin (1982) dalam suatu reaksi
sederhana sebagai berikut :
OH
OH + OH-
Al (H2O)
OH
Al (H2O)
H2PO4
Fase Padat
Larutan
OH
Padat
OH
OH + OH-
Fe (H2O)
Larutan
Larutan
OH
Fe (H2O)
H2PO4
Fase Padat
OH+ H2PO4-
OH + H2PO4OH
Padat
Larutan
Gambar 2 Reaksi sederhana pelarutan P sukar larut dari komplek Al-P dan Fe-P
Asam organik seperti asam sitrat dan asam sulfat berperan dalam
meningkatkan kelarutan fosfat dalam batuan fosfat (Alexander 1977 dalam
Lestari 1994), ditegaskan oleh Leiwakabessy (1989) dalam Lestari (1994) dalam
mekanisme berikut:
P anorganik
P tidak larut
HNO3, H2SO4/ Asam Organik
P Larut
Gambar 3 Mekanisme pelarutan fosfat oleh asam organik
Pelepasan H2PO4- menyebabkan jumlah fosfat dalam larutan tanah akan
bertambah. Mengel dan Kirkby (1982) menyatakan proses akhir dimana fosfat
organik diubah menjadi tersedia dengan pemecahan fosfat anorganik dengan
sejumlah reaksi fosfat. Enzim fosfat dihasilkan oleh akar tanaman tingkat tinggi
oleh sejumlah mikroorganisme (Aspergillus, Penicillium, Mucor, Rhizopus,
Bacillus, Pseudomonas).
Walaupun pelarutan fosfat umumnya memerlukan produksi asam,
mekanisme yang lain dapat diperhitungkan untuk mobilisasi fosfat besi, di tanah
15 banjir, besi dalam fosfat besi yang tidak larut dapat direduksi, sebuah proses yang
menunjukkan ke pembentukkan larutan besi dengan dengan pelepasan yang
bersamaan dari fosfat ke dalam larutan (Patrick et al 1973 dalam Alexander
1977). Fosfat dapat juga dibuat lebih tersedia untuk diambil tanaman dengan
memastikan bakteri yang membebaskan hydrogen sulfida, sebagai produk yang
bereaksi dengan fosfat besi untuk menghasilkan besi sulfida pembebasan fosfat
(Sperber 1957 dalam Alexander 1977). Penambahan asam nukleat murni ke
dalam tanah dengan cepat mengalami defosforilasi. Sejumlah besar berbagai
heterotrof dapat berkembang pada media yang mengandung nukleotida sebagai
sumber tunggal dari karbon, nitrogen, dan fosfor. Mineralisasi dipengaruhi oleh
pH, dan tingkat penurunan dari akibat kemasaman meningkat. Proses tranformasi
dari suatu inisial depolimerisasi dari RNA oleh ribonuklease dan DNA oleh
deoksiribonuklease dan pemecah fosfat berasal dari produk yang dibangun oleh
depolimer enzim-enzim. Fosfor dalam sel mikroba, sebagian besar terdapat dalam
bentuk RNA dan DNA, dibebaskan dengan cepat oleh beberapa organisme
walaupun itu dibebaskan dengan lambat oleh organisme lainnya (Mills &
Alexander 1974 dalam Alexander 1977).
2.13. Hasil-Hasil Penelitian Penggunaan Bakteri dan Fungi Pelarut Fosfat
Mikroorganisme dilibatkan dalam sejumlah proses yang mempengaruhi
transformasi P tanah yang kemudian menjadi bagian integral dari bagian siklus P.
Khususnya mikroorganisme tanah efektif dalam melepaskan P dari kelompok
anorganik dan organik P total tanah melalui pelarutan dan mineralisasi (Hilda &
Fraga 1999 dalam Y.P. Chen et al. 2006).
Mikroorganisme tanah memainkan peranan penting dalam dinamika P
tanah yang berakibat ketersediaannya untuk tanaman (Richardson 2001 dalam
Khan et al. 2009).
Belakangan ini, perhatian diberikan untuk memungkinkan penggunaan
sejumlah besar sumber batu fosfat yang tersedia dengan aksi mikroorganisme
pelarut fosfat. Dalam kaitannya, percobaan lapang dilakukan di India dengan
menggunakan kultur suspensi dari Bacillus polymixa, Bacillus circulans,
16 Pseudomonas striata dan Aspergillus awamori dengan dan tanpa super fosfat dan
batuan fosfat pada hasil panen gandum dan padi (Gaur et al. 1980 dalam Rao
1982). Hasilnya menunjukan bahwa peningkatan yang signifikan pada hasil panen
padi yang memungkinkan ketika gandum diinokulasi dengan P. striata dengan
batuan fosfat pada dosis 100 kg P2O5/ha. Hal yang sama juga terjadi, panen padi
meningkat secara signifikan saat padi diinokulasi dengan B. polymiyxa dengan
batuan fosfat.
Benik dan Dey (1982) dalam Lestari (1994) mengisolasi beberapa
mikroorganisme pelarut fosfat dari tanah alluvial (Fluvakuent), diperoleh dua
strain fungi yaitu ACF2 (Aspergillus candidadus) dan ACF1 (Aspergillus
fumigatus), dua strain bakteri yaitu ACB5, dan ACB13 serta satu strain
Aktinomycetes yang efisien melarutkan P dari Ca3(PO4)2. Mikroorganisme
tersebut memproduksi asam oksalat dan asam tartat tanpa atau dengan asam sitrat,
menunjukkan kemampuan yang tinggi melarutkan P anorganik sukar larut.
Aspergillus fumigatus mempunyai kemampuan paling tinggi melarutkan batuan
fosfat (31.5 ug). Secara umum strain ACF2 mempunyai kemampuan lebih baik
dalam melarutkan fosfat dibanding yang lain.
Dalam percobaan yang sebenarnya dalam media yang mengandung
glukosa sebagai sumber karbon, Aspergillus niger mengasimilasi 0.24 hingga
0.40 bagian, Streptomyces sp. mengasimilasi 0.27 hingga 0.63, sedangkan
gambaran untuk campuran flora tanah berada pada selang 0.16 hingga 0.36 bagian
fosfor untuk masing-masing seratus bagian dari glukosa yang dioksidasi
(Alexander 1977).
2.14. Pupuk Hayati
Kerusakan lingkungan dapat disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia
yang tidak ramah lingkungan. Pupuk hayati memiliki peranan yang sangat penting
karena memiliki sifat yang ramah lingkungan, tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pupuk hayati yang dimaksud terdiri dari mikroba hidup yang diseleksi dan
menguntungkan, yang mana ditambahkan di tanah sebagai inokulan mikroba.
Beberapa mikroba seperti Cyanobacteria. Azolla, diazotrop endofitik, dan
17 mikroorganisme pelarut fosfat saat ini digunakan sebagai pupuk hayati
(Kannaiyan et al. 2004 dalam Sharma et al. 2007).
Pupuk hayati yang dibuat yang dibuat mengandung mikroorganisme
tertentu dalam jumlah yang banyak dan mampu menyediakan hara serta
membantu pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati dapat diterima sebagai pupuk
yang berharga murah dibanding pupuk kimia, dan tidak berdampak negative baik
terhadap kesehatan tanah maupun lingkungan. Pupuk hayati yang banyak
dikembangkan merupakan pemasok nitrogen dan fosfor. Pupuk hayati merupakan
alternative bagi petani untuk memanfaatkan pasokan N2 udara yang cukup besar,
disamping memanfaatkan bentuk P tak tersedia menjadi bentuk tersedia. Melalui
masukkan teknologi rendah, petani dapat memperoleh keuntungan yang lebih
besar (Sutanto 2001).
2.15. Bunga Krisan
Krisan (Chrysanthemum sp) adalah salah satu bunga potong utama di
dunia. Jumlah bunga potong krisan menempati urutan pertama dari pemasaran
semua bunga potong yang dipasarkan setiap tahun di Indonesia menyalurkan US$
1 juta untuk pendapatan nasional pada tahun 2003 dan jumlahnya meningkat naik
hingga US$ 1.8 juta pada tahun 2005. Namun, negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia hanya mensuplai kurang dari 10% dari krisan pasar dunia
(Chomchalow 2005 dalam Budiarto et al. 2006). Perubahan-perubahan trend
yang cepat dan dinamis dalam pasar budidaya bunga menentukan faktor dalam
kelas dan harga. Hal ini berkaitan dengan preferensi konsumen pada warna,
ukuran dan tipe bunga. Namun, bunga krisan yang dihasilkan oleh petani
Indonesia mempunyai penampilan fisik yang kurang baik dan kualitas yang
bergantung pada bahan tanaman yang baik dan metode pembudidayaan,
selanjutnya berpengaruh pada harga yang tidak kompetitif dan kurang
menguntungkan (Budiarto et al. 2006). Berikut adalah klasifikasi botani tanaman
hias krisan:
18 Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermathophyta
Subdivisi
: Angiospermae (biji berkeping dua)
Ordo
: Asterales (Compositae)
Famili
: Asteraceae
Genus
: Chrysanthemum
Spesies
: C. morifolium Ramat, C. Indicum, C. daisy dll.
Permintaan pasar akan bunga potong krisan meningkat sekitar 11.8% per
tahun, berkaitan dengan hal itu upaya penyediaan benih yang bermutu di dalam
negeri perlu mendapatkan prioritas (Soerojo 1991 dalam Raharjo et al. 2008). Hal
itu dikarenakan usaha perluasan produksi bunga ditingkat petani selalu
membutuhkan ketersediaan benih dalam jumlah yang memadai. Jika penyediaan
benih tidak mampu mengimbangi lonjakan permintaan, maka produsen akan
mencari alternatif dengan mengimpor bibit dari luar negeri. Bagi produsen yang
tidak mampu mengimpor bibit, maka terpaksa menggunakan tanaman induk yang
lama dengan resiko kualitas yang rendah. Untuk mendukung penyediaan benih
bermutu tanaman krisan, Balai Penelitian Tanaman Hias telah mengembangkan
teknik perbanyakan bibit dan produksi tanaman induk secara tepat (Marwoto et al.
2004 dalam Raharjo et al. 2008).
Sebagian besar penanaman bunga krisan berada di Jawa (Cipanas,
Bandung, Yogyakarta) dengan tiga musim tanam setiap tahun. Pada penanaman
tradisional, tanaman biasanya ditanami di rumah plastik yang dibangun dari
bambu, karena tanaman bambu jumlahnya banyak dan tumbuh secara alamiah di
alam. Namun, beberapa pembatas masih diperlihatkan selama proses produksi
yang belum terpecahkan hingga saat ini dan kualitas serta produktivitas bunga
perlu untuk dikembangkan. Penggunaan bambu untuk pembangunan rumah
plastik, dinilai kurang tahan lama dibandingkan dengan kayu dan bahan permanen
lainnya seperti aluminium. Kondisi ini mengarah para petani untuk merkonstruksi
dan merenovasi rumah plastik hampir setiap lima tahun. Biaya-biaya dari aktivitas
ini menjadi tambahan biaya dan akhirnya membuat proses produksi kurang
menguntungkan (Boudoin dan Zabeltititz 2002 dalam Budiarto et al. 2007).
19 Disamping konstruksi bambu, masa hidup dari rumah kayu adalah 10 tahun. Di
rumah kayu ada 20% lebih sinar yang masuk dibandingkan rumah plastik yang
dibangun dengan bambu (Gunadi et al. 2006, diacu dalam Budiarto et al. 2007).
Krisan berasal dari daerah subtropis, sehingga suhu yang terlalu tinggi
merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Temperatur rata-rata
untuk pertumbuhan krisan berada pada suhu harian antara 17 0C sampai 30 0C.
Pada fase vegetatif, kisaran suhu harian 22 sampai 28 0C pada siang hari dan tidak
melebihi 26 0C pada malam dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal krisan
(Khattak &Pearson 1997 dalam PUSLITBANGHORT 2006). Suhu harian pada
fase
generatif
16
0
C
sampai
18
0
C
(Wiltkins
et
al. 1990
dalam
PUSLITBANGHORT 2006). Menurut Maswinkel dan Sulyo (2004) dalam
PUSLITBANGHORT (2006), pada suhu di atas 25 0C, proses inisiasi bunga akan
terhambat dan menyebabkan pembentukan bakal bunga juga terhambat. Suhu
yang terlalu tinggi juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung
berwarna hitam, pucat dan memudar.
Tingkat pemberian pupuk untuk kehidupan atau masa pemberian makanan
dari krisan pada pot, berdasarkan pada nitrogen adalah 350 - 400 ppm N.
Selanjutnya, 375 ppm N digunakan sebagai taraf standar (100%) untuk studi.
Jumlah fosfor dan kalium dalam 375 ppm larutan pupuk N adalah 175 dan 354
ppm, untuk masinng-masing pupuk. Masing-masing perlakuan pupuk dibuat
menjadi pupuk lengkap. Untuk menjaga kesamaan perbandingan dari semua unsur
makro dan mikro, keragaman pemberian pupuk dilakukan secara lurus dari pupuk
ke tingkat spesifik dari setiap percobaan (Chau et al. 2005).
Beberapa pengaruh pembudidayaan menunjukkan pengaruh yang kuat
pada pengaruh musim daripada pengaruh-pengaruh lainnya. ‘Tara’ dikenal dalam
produksi komersial untuk pertumbuhan yang lebih kuat pada suhu produksi yang
lebih tinggi, yang mana ditunjukkan dengan peningkatan cabang pada percobaan
diakhir musim semi dan gugur (Schoellhorn 1996). Krisan merupakan salah satu jenis bunga potong yang banyak diminati
konsumen untuk digunakan sebagai bahan dekorasi dan rangkaian bunga, karena
relatif lebih tahan dibandingkan dengan jenis bunga potong lainnya. Pada saat ini
ada dua jenis krisan yang dibudidayakan oleh petani, baik petani pengusaha
20 maupun petani kecil pada ketinggian tempat 600-1200 m dpl, yaitu krisan standar
dan krisan spray dengan sekitar 30 varietas. Pada daerah pusat promosi dan
pemasaran bunga Rawabelong juga terlihat adanya pasokan bunga krisan jenis
lokal dan Holland. Krisan Holland volumenya hampir dua kali lipat dari volume
krisan lokal. Pada pasar internasional krisan juga merupakan komoditi penting.
Beberapa negara berkembang telah menjadi pemasok (supplier) ke pusat eropa,
seperti Columbia (32%), Zimbawe (26%), dan Afrika Selatan (15%) (Ridwan
2005).
Kedudukan Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki sumberdaya
lahan dan agroklimat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman hias bunga potong,
telah memungkinkan tanaman krisan diproduksi sepanjang tahun. Perkembangan
luas panen produksi dan produktivitas tanaman krisan pada tahun 2000
menunjukkan terjadinya peningkatan luas panen sebesar 62.20% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Peningkatan luas panen tersebut diimbangi dengan
peningkatan produksi sebesar 55.26%, meskipun produktivitasnya menurun dari
2.05 tangkai/m2 menjadi 1.97 tangkai/m2 (Direktorat Tanaman Sayuran, Hias,
dan Aneka Tanaman 2001 dalam Ridwan 2005)
Perbedaan produktivitas dan kualitas dari pemotongan dihasilkan oleh
tanaman induk bunga krisan di bawah kondisi terbuka menunjukkan perbedaan
dalam respon tumbuh ke lingkungan yang lebih ekstrim. Studi dilakukan di
musim hujan. curah hujan yang tinggi (22.54 mm/hari) diduga tidak hanya
memberikan pengaruh fisik (pukulan air hujan) tapi juga akibat negatif ke
lingkungan tanaman induk, seperti peningkatan kelembaban dan kondisi air di
zona akar. Disamping, kondisi berawan disiang hari yang mempengaruhi jumlah
tipe cahaya matahari yang diterima oleh tanaman, ketidaksesuaian lingkungan
pada kondisi terbuka mempengaruhi kondisi fisiologi tanaman kualitas
pertumbuhan yang mana akhirnya menurunkan produksi bunga potong (Hiclenton
dan McRae 1984 dalam Budiarto & Marwoto 2009).
Jumlah bunga dari tanaman krisan dari penutupan polyetilen transparan
secara signifikan lebih tinggi daripada dibawah penutupan polyetilen berwarna
sedangkan tanaman dibawah bayangan polyetilen biru mempunyai jumlah bunga
yang paling rendah. Hasil pola yang berlawanan ditemukan dalam hubungan
21 diameter tanaman. Bayangan polyetilen berwarna menurunkan jumlah bunga dan
hasil biomassa sementara terjadi peningkatan diameter dan tinggi tanaman.
Kandungan bioaktif dalam tanaman yang sehat yang tumbuh di bawah naungan
polyetilen yang berbeda, mencapai puncaknya pada tahap yang berbeda melalui
studi waktu, naungan polyetilen biru mempengaruhi biomassa dan akumulasi
kandungan bioaktif (Jin et al. 2012). Pemberian sukrosa di dalam larutan
perendam hendaknya dilakukan pada kondisi optimal, karena pada kondisi
tersebut sukrosa berfungsi sebagai substrat respirasi untuk menghasilkan energi
yang akan digunakan dalam proses kehidupan sehingga kesegaran bunga akan
lebih lama (Wiraatnmajaya 2007).
Petani mempunyai pilihan jenis, warna bunga, dan asal bibit yang
menghasilkan benih krisan sehingga dapat memperhitungkan secara ekonomi
untuk memperoleh keuntungan maksimal dalam agribisnis tanaman hias dan tentu
saja harus memperhitungkan jarak transportasi asal bibit, biaya yang dikeluarkan,
pemasaran, minat konsumen dalam hal dan jenis bunga yang akan dijual ke pasar
(Sukiyono 2005; Bachrein 2006; dalam Masyhudi dan Suhardi 2009).
Pengalaman petani dalam budidaya bunga krisan juga turut memengaruhi
pertumbuhan tanaman dan produksi bunga krisan. Kemampuan petani dan
pengalaman
bercocok
tanam
lebih
menguatkan
usahatani
dan
lebih
mengembangkan teknologi budidaya krisan. Teknologi budidaya krisan lebih
berkembang lagi pada tahun 2006 hingga 2007 dengan berbagai usaha efisiensi
dan lebih merapatkan jarak tanam menjadi 8x8 cm bahkan pucuk apikal tanaman
dipotong sehingga tanaman dapat memproduksi cabang dari ketiak daun yang
berjumlah 2-4 cabang. Teknik ini lebih menguntungkan karena produksi bunga
dapat meningkat 2-4 kuntum percabang sehingga dapat menambah keuntungan
(Masyhudi dan Suhardi 2009).
Krisan merupakan salah satu jenis tanaman hias bunga yang sangat
populer dan memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi di Indonesia serta
mempunyai prospek pemasaran cerah. Selain menghasilkan bunga potong dan
krisan dapat juga dimanfaatkan sebagai bunga pot yang digunakan untuk
memperindah ruangan dan menyegarkan suasana, beberapa varietas krisan juga
berkhasiat sebagai obat, antara lain untuk mengobati sakit batuk, nyeri perut, dan
22 sakit kepala akibat peradangan rongga sinus (sinusitis) dan sesak napas (Rukmana
& Mulyana 1997; Anonim 2000, dalam Widiastuti 2004). Meningkatnya
pemberian intensitas cahaya dari 55% menjadi 75% sampai dengan 100% diikuti
dengan semakin lambatnya pemunculan cabang pada tanaman krisan, yang
ditunjukkan oleh jumlah hari pengamatan yang banyak. Hal ini disebabkan sifat
tanaman krisan sendiri yang selalu tumbuh tinggi bila mendapatkan intensitas
cahaya matahari yang banyak. Intensitas cahaya tinggi berpengaruh terhadap
aktivitas auksin pada meristem apikal. Apabila intensitas cahaya tinggi maka
intensitas auksin meningkat pula sehingga menyebabkan tanaman krisan tumbuh
tinggi (Widiastuti 2004).
Download