BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bentang alam yang beragam. Salah satu bentang alam (landscape) yang memiliki potensi dan nilai strategis adalah kawasan karst Citatah-Rajamandala terletak di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Menurut Haryono dkk. (2012) karst merupakan bentang alam tiga dimensi dengan kondisi hidrologi yang khas, terbentuk sebagai akibat proses pelarutan lapisan batuan dasar, khususnya batuan karbonat. Kawasan karst ini sebagian besar dijadikan areal pertambangan baik skala besar maupun secara kecil sehingga menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian kawasan karst. Menurut Yunianto (2009) sumberdaya alam yang diusahakan di Kecamatan Cipatat antara lain; pertambangan bahan galian golongan C berjumlah 36 usaha, industri besar 15 usaha, dan industri kecil 50 usaha. Pertambangan tersebut berupa bahan galian marmer dengan luas 88,87 ha, pasir 40,9 ha, kapur 9 ha, andesit 1 ha dan kuarsa. Aktivitas penambangan yang berlangsung terus menerus berdampak terhadap kerusakan ekosistem karst dan sekitarnya yang bersifat permanen. Menurut Maulana (2011) kerusakan itu diantaranya mata air hilang, polusi udara hasil pembakaran dan residu penambangan serta rusaknya kawasan cagar budaya Gua Pawon, Gua Bancana dan Gunung Masigit. Situs Gua Pawon merupakan situs purbakala sebagai habitat kelelawar, tetapi saat ini semakin rusak akibat adanya kegiatan penambangan fosfat alam yang terbentuk dari kotoran kelelawar. Menurut Yondri (2009) Gua Pawon memiliki peninggalan budaya prasejarah yang lengkap namun mengalami keterancaman oleh kegiatan penambangan kandungan fosfat (guano) atau kotoran kelelawar yang bersarang dibagian atap gua. Sedangkan menurut Kasno dkk. (2009) fosfat guano yang merupakan hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping karena pengaruh air hujan dan air tanah. 2 Adanya fosfat guano di Gua Pawon maka tidak menutup kemungkinkan terdapat populasi mikroba tanah khususnya bakteri pelarut fosfat. Menurut Jha dkk. (1992) dalam Widawati dan Suliasih (2006), bahwa tanah merupakan satuan subtansi yang saling berkaitan antara jenis iklim, sifat kimia dan fisika, variasi mikroba tanah serta vegetasi yang tumbuh berkembang di area tersebut. Menurut Spedding (2003) bahwa bakteri pelarut fosfat merupakan kelompok bakteri yang dapat melarutkan fosfat di dalam media tanam sehingga dapat diserap oleh tanaman. Aktivitas mikroba pelarut fosfat dapat dimanfaatkan untuk penyediaan unsur hara fosfat bagi tanaman sehingga produktivitasnya optimal. Bakteri tipe ini mampu melakukan mekanisme pelarutan fosfat dengan mengekskresikan sejumlah asam organik yang memiliki molekul rendah seperti oksalat, suksinat, fumarat, malat (Ilham dkk., 2014). Potensi tersebut dapat dipastikan dengan adanya isolasi dan identifikasi bakteri, baik secara konvensional maupun molekuler. Sejauh ini telah dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri secara konvensional oleh Putri (2015) berdasarkan hasil pengamatan morfologi secara makroskopis, mikroskopis dan uji biokimia diketahui ada salah satu isolat bakteri pelarut fosfat yang potensial yaitu KR.1.BP.2 sedangkan aplikasinya dalam melarutkan unsur P pada cabai merah menunjukan hasil yang berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, berat basah dan panjang akar tanaman cabai dengan taraf signifikan 95 %. Identifikasi mikroba oleh Putri hanya diperoleh data sampai tingkat genus dan karakter fenotif. Menurut Gonzalez dkk. (2005) bahwa metode identifikasi konvensional hanya berhasil mendeteksi satu/ dua jenis bakteri dari total mikroba tanah. Metode ini memungkinkan bakteri lain yang memiliki fenotif sama teridentifikasi menjadi spesies yang sama, padahal keduanya belum tentu secara genetik memiliki kesamaan. Karakter fenotif dalam identifikasi bakteri memberikan hasil yang belum akurat maka perlu adanya identifikasi lanjut hingga tingkat genotif dengan pendekatan molekuler. Aplikasi molekuler untuk menganalisis genotif bakteri melalui analisis gen 16S rRNA dapat mengatasi kesulitan identifikasi konvensional. Menurut Suryani dkk. (2009) menyatakan bahwa gen 16S rRNA sesuai untuk 3 identifikasi bakteri karena gen ini terdapat pada semua organisme. Sekuen gen penyandi 16S rRNA dari berbagai organisme yang sudah dapat dikulturkan maupun yang tidak dapat dikulturkan telah dibuat dalam bentuk database. Terdapat lebih dari 4000 sekuen yang terdapat pada database 16S rRNA dan mencakup sekitar 1800 spesies yang jumlahnya terus bertambah. Metode identifikasi konvesional dan molekuler memungkinkan memperoleh hasil yang sama sampai tingkat genus dan lebih diperjelas sampai tingkat spesies pada molekuler. Penelitian Fatimawali (2013) hasil isolasi dan identifikasi bakteri resinten merkuri dengan pengamatan secara makroskopis, mikroskopis dan uji biokimia serta analisis gen 16S rRNA menunjukkan hasil yang sama yaitu spesies bakteri Klebsiella pneumonia. Hasil ini menunjukkan kesesuaian kedua metode, baik secara konvensional maupun dengan analisis gen 16S rRNA. Berdasarkan dari latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui jenis bakteri isolat KR.1.BP.2 dengan menggunakan gen 16S rRNA. 1.2 Rumusan Masalah 1. Jenis bakteri pelarut fosfat apakah isolat KR.1.BP.2 yang dianalisis menggunakan sekuen gen 16S rRNA? 2. Bagaimana pohon filogenetik bakteri pelarut fosfat isolat KR.1.BP.2 dengan jenis bakteri lain? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui spesies bakteri pelarut fosfat dari isolat KR.1.BP.2 yang dianalisis menggunakan sekuen gen 16S rRNA. 2. Menjelaskan pohon filogenetik bakteri pelarut fosfat isolat KR.1.BP.2 dengan jenis bakteri lain. 4 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Menambah informasi dibidang Mikrobiologi dan Genetika Molekuler dengan diketahui adanya jenis bakteri pelarut fosfat 2. Mengetahui hubungan kekerabatan isolat KR.1.BP.2 dengan bakteri yang lainnya. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Bahan informasi awal pada tahap identifikasi molekuler. 2. Isolat KR.1 BP.2 dapat dimanfaatkan dan dikembangkan pada sektor pertanian. 5