BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Agresif 2.1.2. Teori Perilaku Agresif Teori perilaku agresif mempunyai dua pendekatan utama, yakni pendekatan biologis dan pendekatan belajar (Koeswara, 1988). Pendekatan biologis adalah pendekatan yang memiliki akar sejarah yang panjang serta melibatkan sejumlah tokoh yang memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda yang meliputi psikologi, biologi, dan antropologi. Inti pendekatan biologis asumsinya bahwa perilaku organisme, termasuk perilaku agresif, bersumber atau ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis. Pendekatan biologis menggunakan konsep naluri (instinct) sebagai faktor bawaan yang menjadi sumber agresi. Tokoh atau teoris utama yang mewakili kelompok pendekatan biologis diantaranya adalah Sigmund Freud, Konrad Lorenz, dan Robert Ardrey (Koeswara, 1988). Pendekatan yang bertentangan dengan pendekatan biologis adalah pendekatan belajar. Dalam pendekatan belajar menekankan bahwa perilaku agresif dihasilkan melalui proses belajar, baik dengan pengkondisian instrumental, yaitu belajar melalui hadiah dan hukuman, maupun meniru yaitu belajar melalui observasi terhadap model (Krahe, 2005). Tokoh utama dalam pendekatan belajar 9 adalah Ivan Pavlov dan dilanjutkan oleh tokoh behaviorisme lainnya seperti Edward Thorndike, Edward Tolman, Clark Hull, John Dollard, Neal Miller, dan B.F. Skinner. Disamping para teoris behavioris terdapat para teoris yang juga meyakini agresi sebagai hasil belajar, yang berlangsung dalam lingkup lebih luas melibatkan faktor sosial atau situasional (pendekatan belajar sosial). Teoris pendekatan belajar sosial adalah Albert Bandura, Richard Walters, Robert Baron, dan Leonard Eron (Koeswara, 1988). Dalam penelitian ini teori perilaku agresif mengacu pada pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner, karena instrumen yang dipakai untuk mengukur perilaku agresif adalah kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) yang mengacu pada teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner. Belajar menurut teori pendekatan behavioral merupakan proses perubahan perilaku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan individu mempunyai pengalaman baru. Seseorang dianggap telah belajar jika dapat menunjukkan ada perubahan dalam perilakunya. Dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan kepada peserta didik, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan. Teori pendekatan belajar behavioral berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati Skinner (dalam Hergenhann & Olson, 2008). Hasil yang diharapkan dari penerapan teori pendekatan belajar behavioral adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Perilaku yang diinginkan mendapat 10 penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Teori belajar pendekatan behavioral menjelaskan penyebab terjadinya perilaku agresif yang dilakukan oleh individu. Menurut teori belajar pendekatan behavioral perilaku agresif terhadap individu lain bukan bersifat instingtif (naluri/bawaan), tetapi diperoleh melalui hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor (stimulus) eksternal sebagai determinan dalam pembentukan perilaku agresif. Thorndike dalam (Koeswara, 1988) mengembangkan teori belajar koneksionisme. Dalam teori koneksionisme, belajar merupakan proses pembentukan koneksi (hubungan/interaksi) antara stimulus dan respons. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respons adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Thorndike dalam (Hergenhahn, 2008) mengemukakan tiga hukum pokok dalam belajar: 1. Law of readiness (hukum kesiapan) Bila respons terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak, maka respons itu akan memuaskan. Konsekuensi dari law of readiness adalah: a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila melakukannya akan memuaskan. b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila tidak melakukannya akan menjengkelkan. c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu tindakan tetapi dipaksa melakukan maka melakukannya akan menjengkelkan. 11 2. Law of exercise (hukum latihan) Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu: a. Semakin sering suatu koneksi (hubungan) stimulus dan respon dipraktekkan maka koneksi itu makin erat. Bagian dari hukum latihan ini dinamakan law of use (hukum penggunaan) b. Bila koneksi (hubungan) yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak pernah lagi dipraktikkan, maka koneksi itu akan melemah dan akhirnya menghilang. Bagian dari hukum ini dinamakan hukum low of disuse (hukum ketidakgunaan). 3. Law of effect (hukum akibat) Hukum law of effect adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respons. Jika suatu respon diikuti dengan keadaan yang memuaskan, kekuatan koneksi itu menjadi lebih kuat. Jika respons diikuti dengan keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan koneksi itu menjadi menurun. Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memainkan peranan penting. Individu cenderung akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Berangkat dari rumusan di atas, Thorndike dalam pandangannya menyatakan bahwa dari tiga hukum pokok, law of effect memiliki peranan dalam pembentukan perilaku agresif. Sebab, perilaku agresif yang terbentuk dan dilakukan berulang-ulang oleh individu, menimbulkan efek atau hasil yang menyenangkan baginya. Sebaliknya, apabila dengan agresi tersebut individu memperoleh hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka individu tersebut tidak akan mengulanginya. Teori belajar koneksionisme Thorndike menerangkan bahwa perilaku agresif dapat terjadi dikarenakan hasil belajar dari proses pembentukan koneksi (hubungan/interaksi) antara stimulus dan respons. Sebab, belajar sebagai suatu proses pengasosiasian stimulus respons akan terjadi apabila respons yang diungkapkan oleh individu memperoleh perkuatan. Sedangkan pereduksian 12 dorongan dapat memperkuat suatu respons. Apabila individu gagal dalam usahanya mereduksi suatu dorongan atau dalam mencapai suatu tujuan, maka individu tersebut dapat mengalami frustasi. Salah satu bentuk respons atau perilaku yang kemungkinan ditunjukkan oleh individu sebagai reaksi terhadap frustasi yang dialaminya itu dapat berujung pada terjadinya perilaku agresif. Skinner (1985) mengembangkan sebuah teori belajar operant conditioning. Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku (reinforcement) baik penguatan positif atau negatif yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan (Prasetyani, 2007). Skinner berpendapat setiap suatu tindakan yang telah dibuat ada konsekuensinya, dan konsekuensikonsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Skinner (Hergenhahn, 2008) pengkondisian operan terdiri dari dua konsep utama, yaitu: 1. Penguatan (reinforcement) Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Penguatan boleh jadi kompleks. Penguatan berarti memperkuat. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian: a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang 13 mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah, perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (Juara 1, 2, dsb). b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dll). 2. Hukuman (punishment) Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku atau apa saja yang menyebabkan sesuatu respon atau perilaku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat mengatakan bahwa hukuman adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan organisme, atau memberi sesuatu yang tidak diinginnya. Skinner (Hergenhahn, 2008) menghasilkan hukum-hukum diantaranya : 14 belajar, a. Law of operant conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Teori belajar operant conditioning, Skinner memberikan penjelasan bahwa belajar merupakan proses pengasosiasian respons dan penguatan. Di mana penguatan yang positif akan menghasilkan kemungkinan kemunculan respons atau perilaku yang tinggi, dan sebaliknya perkuatan yang negatif menghasilkan kemungkinan kemunculan respons atau perilaku yang rendah atau bahkan menghapus kemungkinan kemunculan perilaku tersebut. Skinner juga memberikan gambaran bahwa perilaku sebagai sebuah instrumen yang digunakan oleh individu untuk memperoleh penguatan yang positif atau efek yang menyenangkan. Sehingga perilaku agresif muncul sebagai respons atau perilaku instrumental. Oleh sebab itu, apabila teori belajar operant conditioning Skinner dipakai untuk menerangkan proses bagaimana individu menjadi agresif maka dapat dikemukakan bahwa perilaku agresif pada individu terbentuk karena diikuti oleh penguatan positif dan perilaku tersebut akan diulang oleh individu untuk memperoleh penguatan kembali. Sebaliknya individu yang melakukan perilaku agresif yang mendapatkan penguatan negatif maka perilaku agresif tersebut akan berkurang dan semakin lama akan terhapus. Dengan mengacu pada teori behavioral Thorndike dan Skinner (dalam Hergenhahn, 2008), Buss dan Perry mendefinisikan perilaku agresif sebagai 15 perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992). Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Kecenderungan perilaku agresif merupakan hasrat atau keinginan yang selalu timbul berulang-ulang untuk menyakiti, merusak dan melukai individu lain baik secara fisik yaitu maupun mental. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi, perilaku harus memiliki karakteristik yang pertama, perilaku agresif merupakan perilaku yang bersifat membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Karakteristik yang kedua, agresif merupakan suatu perilaku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja. Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidak sengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresif. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresif. Karakteristik yang ketiga, agresi tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya melalui kegiatan yang menghina atu menyalahkan. Buss dan Perry (1992) menyebut empat aspek perilaku agresif yaitu : a. Aspek pertama yakni agresi fisik yang merupakan tindakan agresi yang menyakiti individu lain secara fisik, seperti memukul dan menendang. 16 b. Aspek kedua adalah agresi verbal, yaitu respons vokal yang menyampaikan stimulus yang menyakiti mental atau psikis dalam bentuk penolakan dan ancaman. Seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat. c. Aspek ketiga adalah kemarahan, yakni emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada syaraf otonomi, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatik atau jasmani maupun verbal atau lisan. d. Aspek keempat adalah hostility atau permusuhan, yakni tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan dan antagonisme kepada pihak lain. 2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Buss & Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) menyatakan faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku agresif. Faktor – faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 17 1. Petunjuk Untuk Melakukan Tindakan Agresif (Aggressive Cues) Aggresssive Cues adalah objek yang menimbulkan konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi dalam memori. Contohnya ketika seseorang dihadapkan pada sebuah senjata, akan lebih agresif dibanding ketika dihadapkan dengan sebuah raket. Selain senjata, objek lain yang termasuk dalam kategori ini adalah tayangan bermuatan kekerasan di televisi, film, dan video games. 2. Provokasi Provokasi mencakup hinaan, ejekan, sindiran kasar, agresi fisik, gangguan gangguan yang menghambat pencapaian suatu tujuan dan sejenisnya. Karyawan yang mendapatkan provokasi untuk mempersepsikan bahwa ia mendapat perlakuan yang tidak adil terbukti lebih agresif di tempat kerjanya. 3. Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan Kondisi-kondisi fisik lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dapat meningkatkan agresivitas. Lingkungan yang bising, terlalu panas, ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif. 4. Obat-obatan Penggunaan obat-obatan atau zat-zat seperti kafein atau alkohol dapat meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung. Individu yang berada di bawah pengaruh alkohol ataupun zat psikotropika, lebih mudah terprovokasi, merasa frustrasi, ataupun menangkap petunjuk untuk melakukan kekerasan dibanding individu yang tidak menggunakan zat-zat tersebut. 18 2.1.3. Pengukuran Perilaku Agresif Dibutuhkan strategi-strategi pengukuran yang dapat memberikan informasi mengenai tingkat perilaku agresif. Catatan perilaku agresif dapat diperoleh melalui dua pendekatan umum, yaitu observasi dan bertanya Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005). 1. Observasi Tindakan observasional memudahkan pencatatan perilaku agresif pada saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah. Misalnya di kalangan anak-anak ditempat bermain mereka di sekolah, atau di latar laboratoris yang dirancang dengan sengaja. Variasi pengukuran perilaku agresif melalui observasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Observasi alamiah Salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah adalah untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam setting tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini bisa disebut sebagai observasi naturalistik. Sebagai contoh, Humpert dan Dann (1988) mencatat interaksi yang berhubungan dengan agresi selama pelajaran sekolah dengan menggunakan sistem pengodean yang dikembangkan secara khusus, yang meliputi 10 kategori perilaku agresif, seperti merusak milik teman sekelas, merampas benda-benda milik orang lain, mengamcam, dan menfitnah teman. 19 Dalam tipe pengukuran observasi alamiah, alur alamiah perilaku pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit analisis yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan ke dalam kategorikategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan dan dimana sampel perilaku diambil dan bagaiman cara menetapkan unit-unit analisis dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan metodelogis ini. b. Eksperimen lapangan Pengukuran dengan metode eksperimen lapangan menggabungkan variasi sebuah variabel independen (misalnya kekuatan suatu frustrasi) dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen (misalnya intensitas respon agresif). Metode ini dilakukan Baron (1976) dengan menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa. Melalui eksperimen ini, Baron melihat reaksi agresif pengemudi melalui penetapan berdasarkan latensi dan durasi membunyikan klakson untuk melihat respons terhadap frustasi karena seorang eksperimen sengaja menghalangi mobilnya sehingga pengemudi tidak dapat menjalankan mobilnya ketika lampu hijau sudah menyala. Contoh penggunaan eksperimen lapangan yang lain dalam mengukur perilaku agresif misalnya dengan menggunakan situasi pada suatu antrean, orang-orang yang menunggu dalam antrean yang merasa frustrasi karena seorang petugas eksperimen dengan sengaja 20 menyerobot antrean. Respons – respons agresif mereka dikaji sebagai fungsi dari seberapa dekat mereka berusaha menuju antrean terdepan. c. Ekperimen laboratoris Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol dalam penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti berikut: 1) Paradigma guru-murid Milgram (1974) menggunakan eksperimen belajar dengan cara menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus mempresentasikan tugas asosiasi kata kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Untuk kesalahan yang dibuat oleh murid akan diberikan hukuman oleh guru dengan menerapkan stimulus advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini dilakukan secara bergantian sehingga setiap responden berkesempatan memainkan peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya merupakan indeks kritis bagi perilaku agresifnya. 2) Paradigma evaluasi esai Pradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz (1962). Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif sebagai respons terhadap frustasi atau provokasi yang telah dialami sebelumnya. Subyek diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi masalah. Kemudian tugas tersebut akan dievaluasi yang akan diekspresikan dalam bentuk jumlah kejutan listrik. Tanpa 21 memerdulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing subjek akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase kedua peran dibalik subjek mendapat kesempatan untuk mengevaluasi solusi yang dibut orang lain. Jumlah kejutan listrik yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen dan menunjukkan kekuatan respon agresif mereka. 3) Paradigma boneka Bobo Bandura, Ross dan Ross (1963) dalam penelitiannya mengukur perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang bertindak agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak terhadap boneka Bobo diobservasi dan diukur dalam bentuk frekuensi tindakan yang dilakukan. 4) Agresi verbal Baron dan Richardson (1994) pengukuran perilaku agresif dilakukan dengan cara subjek dihadapkan pada sejumlah manipulasi yang dirancang untuk memunculkan respon agresif. Setelah itu reaksi verbal mereka dicatat, baik secara respons bebas yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya maupun sebagai evaluasi terstandar dari orang yang memprovokasi reaksi agresif. 22 2. Bertanya Pendekatan bertanya dibutuhkan untuk mengukur perilaku agresif yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi, misalnya tindakan kekerasan, seperti serangan fisik, perkosaan, atau pembunuhan. Pada kasus semacam ini, peneliti harus bersandar pada metode meminta laporan tentang perilaku, dan dalam konteks lain pernyataan penelitian perlu memfokuskan pada variabel-variabel internal, seperti pikiran dan khayalan agresif, yang tidak dapat diobservasi. Variasi pengukuran perilaku agresif melalui metode bertanya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Laporan diri tentang perilaku (behavioral self-report) Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan verbal mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks survei berskala besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji hipotesis. Berdasarkan tujuan pertanyaannya, subjek dapat diminta untuk melaporkan pola perilaku agresifnya secara umum, atau hanya tindakan khusus pada ranah tertentu. Ukuran perilaku agresif umum itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik dan verbal dari kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang disusun oleh Buss dan Perry (1992). Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan dengan laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara laporan diri dan laporan orang lain. Contoh skala yang dapat 23 digunakan adalah skala taktik konflik (conflict tactics scale) yang dikembangkan oleh Straus (1979) untuk mengukur kekerasan rumah tangga. b. Nominasi orang lain/teman sebaya (peer/other nominations) Metode ini telah digunakan oleh Eron, Husman (1972). Dalam metode ini membutuhkan peran orang lain yang tahu banyak mengenai subjek diminta untuk menyumbangkan informasinya mengenai subjek tersebut. Guru, orang tua, teman sebaya, yang memiliki pengetahuan tangan pertama mengenai perilaku agresif subjek yang dimaksud, diminta membuat catatan perilaku, yang kemudian satu sama lain dapat dilihat konvergensinya dan dibandingkan dengan laporan diri yang dibuat oleh subjek yang bersangkutan. c. Catatan arsip Peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai perilaku agresif yang dilakukan subjek dari data arsip yang dikumpulkan untuk keperluan lain. Misalnya penelitian Anderson (1989) yang memakai statistik kriminalitas dan catatan suhu udara yang sangat relevan dalam konteks penelitian agresi. d. Skala kepribadian dan teknik proyektif Di luar permintaan untuk melaporkan agresi pada tingkat perilaku, peneliti sering tertarik untuk meneliti kondisi kognitif dan afektif perilaku agresif serta mengidentifikasi perbedaan individual yang 24 bersifat tetap dalam disposisi tindakan agresif. Untuk memenuhi tujuan ini, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama ada dalam pengembangan skala kepribadian terstandar dimana responden diminta untuk mendiskripsikan tentang keadaan yang ada dalam dirinya saat ini atau disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner agresi yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) berisi dua skala semacam itu, yaitu mengukur amarah dan permusuhan. Perbedaan antara keadaan saat ini dan ciri sifat yang stabil dicerminkan dalam state trait anger scale yang dikembangkan oleh Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane (1983). Pendekatan kedua untuk mengeksplorasi faktor pendukung intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif. Dalam metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu, seperti bercak-bercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration test (Rosenzweig, 1981). Berdasarkan rumusan tentang metode pengukuran perilaku agresif, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner perilaku agresif yang disusun oleh Buss dan Perry (1992). Melalui kuesioner ini, perilaku agresif diukur berdasarkan skor yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner perilaku agresif yang berjumlah 29 item dengan ketentuan semakin tinggi skor yang diperoleh berarti semakin tinggi tingkat perilaku agresif siswa, dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh berarti semakin rendah tingkat perilaku agresif siswa. Sementara 25 itu, pengukuran perilaku agresif juga dapat diidentifikasi melalui aspek agresi verbal, agresi fisik, kemarahan, dan permusuhan. 2.1.4. Upaya Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi Perilaku Agresif Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya. Peserta didik (konseli) sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses perkembangan atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan atau kemandirian, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Perkembangan individu tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, maupun sosial. Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi dan kekerasan di televisi dan VCD, minuman keras, dan obat-obatan terlarang, ketidak harmonisan dalam keluarga sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia). Salah satu contoh perilaku yang menyimpang adalah timbulnya perilaku agresif pada konseli (siswa). Upaya untuk menangkal atau mencegah perilaku menyimpang, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kopetensi kemandirian. 26 Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilaksanakan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang memengaruhinya. Upaya yang dapat dilakukan guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi perilaku agresif yang dilakukan oleh konseli diantaranya adalah: 1. Guru BK dapat memberikan contoh atau teladan berperilaku secara baik (sesuai dengan kaidah moral / aturan sekolah) kepada siswanya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Bandura (dalam Hergenhahn, 2008) perilaku agresif dapat dipelajari melalui pengamatan (observasi) dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada disekitarnya. Model akan sangat efektif jika dilihat memilki kehormatan, kompetensi, status tinggi, atau kekuasaan. Oleh karena itu guru BK dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru BK juga harus memahami dalam proses belajar observasional siswa diatur oleh empat variabel yakni siswa meretensi perilaku sebuah model yang dilihatnya. Dalam proses retensi sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan verbal seseorang. Oleh karenannya guru BK harus memerhatikan kemampuan verbal siswa saat akan merencanakan modeling. Dalam proses mereduksi guru BK juga harus mengetahui proses pembentukan perilaku siswa. Jika siswa memerhatikan, menyimpan, dan mampu melakukan perilaku yang dipelajari lewat observasi itu, siswa harus punya dorongan untuk melakukannya. Dalam tahapan ini guru BK harus melakukan pemberian motivasi, 27 Misalnya dengan memberikan pujian, hadiah, dan penghargaan apabila siswa mampu menunjukkan apa yang telah mereka pelajari. Dalam proses pemberian modeling kepada siswa, guru BK dapat juga menggunakan media seperti: film, televisi, ceramah, demonstrasi sebagai model efektif utuk tujuan pendidikan. 2. Bagi siswa yang telah terindikasi berperilaku agresif maka guru BK dapat menyelenggarakan konseling dengan pendekatan behavioral. Tujuan dari konseling behavioral yaitu Menghapus atau menghilangkan perilaku maladaptif (bermasalah) untuk digantikan dengan perilaku baru yaitu perilaku adaptif yang diinginkan oleh konseli. Dalam konseling behavioral Guru BK (konselor) berfungsi sebagi konsultan, guru, penasihat, pemberi dukungan dan fasilitator. Konselor juga dapat memodifikasi perilaku konseli melalui pemberian penguatan. Agar konseli terdorong untuk merubah perilaku agresifnya, penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui perilaku konseli. Selanjutnya konseli diminta untuk mengurangi frekuensi berlangsungnya perilaku agresif. Konselor juga dapat mengkondisikan perubahan perilaku melalui pemberian contoh atau model seperti: film, tape recorder, atau contoh nyata langsung dari perilaku konselor. Selanjutnya apabila konseli berhasil menunjukkan perilaku baru (berhasil mencontoh perilaku 28 adaptif) maka konselor dapat memberikan ganjaran/hadiah, misalnya berupa pujian. 2.2 Eksposur Kekerasan dalam Video Game 2.2.1. Pengertian Video Game Video game adalah semua multi media interaktif yang merupakan bentuk dari hiburan, yang digerakkan oleh komputer elektronik, dikendalikan oleh keyboard, controller atau mouse dan ditampilkan pada sejenis layar (Merino, 2006). Video game ditemukan tahun 1970an sebagai teknologi komunikasi baru yang merupakan gabungan dari teknologi televisi dan komputer. Secara teknis, video game menggunakan interaksi dengan antarmuka pengguna melalui gambar yang dihasilkan oleh piranti video. Permainan ini umumnya menyediakan sistem penghargaan, misalnya skor yang dihitung berdasarkan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam menyelesaikan tugas-tugas yang ada di dalam permainan. Ada semacam hukuman misalnya pengurangan skor jika melakukan kesalahan atau tidak menjalankan misi tertentu dengan tuntas. Perkembangan selanjutnya video game memuat musik, gambar tiga dimensi (3D), efek getar, hingga penggunaan sensor gerak yang fungsinya adalah untuk menyajikan hiburan pada pemainnya (Wijaya, 2005). Tujuan utama pembuatan game yang paling banyak adalah untuk menyajikan hiburan. Sifat permainan adalah sebagai alat penghibur, tetapi jika terlalu serius dan semakin lama individu memainkan permainan tersebut maka berdampak negatif bagi diri pribadi individu tersebut (Afrianti, 2009). Video game dapat dimainkan oleh: 29 a. Television-based systems (seperti Sony Play Station, Nintendo Game Cube™, Microsoft’s Xbox® and Xbox360™), yang menggunakan televisi sebagai monitor untuk perangkat lunak dan dikendalikan oleh alat yang berhubungan dengan konsol tersebut. b. DVD-ROMS atau CD-ROMS pada komputer pribadi baik yang berhubungan (On-line) atau tidak berhubungan (off-line) dengan internet, dikendalikan dengan keyboard dan mouse atau alat lain yang dipasangkan pada perangkat keras komputer. c. Games-specific handheld consoles, seperti Nintendo’s Game Boy dan Sony’s PSP, yang menggunakan software atau disket dan dapat dimanipulasi menggunakan joystick untuk mengontrol alat tersebut. d. Other handheld units, seperti Personal Digital Assistants (PDAs), komputer portabel dan ponsel. 2.2.2. Jenis-jenis Video Game Menurut Nilwan (dalam Agustin, 2009) Video game dibagi menjadi: a. Fun games Fun game adalah permainan seperti; skate bord, bilyard, catur, puzzle, tetris, golf dan semua permainan yang animasinya sedikit dan pembuatannya relatif mudah. Permainan semacam ini terlihat mudah dari segi grafiknya tetapi biasanya sulit dalam algoritma, yang termasuk ke dalam permainan jenis ini misalnya Ayodance, Idol steet, dan Crazy kart. b. Arcade games Arcade games adalah semua permainan yang mudah dimengerti, menyenangkan dan grafiknya bagus walau biasanya sederhana. Pengertian mudah dimengerti menyenangkan karena permainan ini hanyalah berkisar pada hal-hal yang disenangi secara umum, seperti; pukul-memukul, tembak-menembak, tusuk menusuk, kejar mengejar, dan semuanya yang mudah dan menyenangkan. Jenis permainan ini misalnya Ghosh online, RF, Dot A, Prefeck World, Counter Strike, Point Blank. c. Strategic games Staregic games biasanya permainan perang atau bisa juga permainan lain tetapi tetap saja memerlukan startegi untuk memenangkannya misalnya strategi bisnis dan strategi politik. d. Adventure games Anventure games terbagi atas tiga macam yaitu petualangan biasa. Dungeon Underworld Adventure (3D Adventure), Roll Playing, Game Adventure. Biasanya algoritma untuk membuat game ini adalah dari taraf sedang sampai sulit. Tapi grafik jenis permainan ini benar-benar sulit. Contoh permainan jenis ini adalah The Sims. 30 e. Simulasi games Dari semua jenis permainan yang ada, masing-masing memiliki tingkat kesulitan dan kemudahannya, jika bukan algoritmanya maka akan mudah dalam hal animasinya, akan tetapi game simulasi bisa disebut sebagai jenis permainan yang paling sulit. Berdasarkan jenis – jenis video game, dapat disimpulkan bahwa video game dibagi dalam dua kelompok yaitu video game non kekerasan dan jenis kekerasan. Video game non kekerasan meliputi: Fun Games, Strategic Games, Adventure Games, dan Simulasi Games dikelompokkan menjadi jenis game non kekerasan karena di dalam game tersebut hanya bersifat “mengolah” otak dan tidak mengandung unsur kekerasan atau perilaku agresif. Sedangkan video game jenis kekerasan, seperti; Arcade Games dikatakan game jenis kekerasan karena di dalam Arcade game terdapat permainan pukul-memukul, tembak-menembak, tusuk-menusuk, kejar-mengejar dan semua dilakukan dengan mudah dan menyenangkan. Menurut Gunter (dalam Triananda, 2006) kadar kekerasan yang digambarkan dalam tampilan video game dapat dilihat dari lima hal, yaitu: 1) gambaran kekerasan, 2) jenis watak, 3) bentrokan fisik, 4) akibat kekerasan, 5) penekanan kekerasan. Sedangkan video game yang dikategorikan mengandung kekerasan memiliki kriteria: pelaku kekerasan dalam video game mencoba menyakiti makluk hidup lain, dalam permainan tersebut diperlihatkan akibat dari kekerasan yang dilakukan. 31 2.2.3. Dampak Video Game Penelitian di Manchester University dan Central Lanchashire University membuktikan bahwa gamer yang bermain game 18 jam per minggu (rata-rata 2.5 jam/hari) memiliki koordinasi yang baik antara tangan dan mata setara dengan kemampuan atlet. Bryce, kepala penelitian di suatu universitas di Inggris menemukan bahwa gamer sejati punya daya konsentrasi tinggi yang memungkinkan mereka mampu menuntaskan beberapa tugas. Penelitian di Rochester University mengungkapkan bahwa anak-anak yang memainkan game action secara teratur memiliki ketajaman mata yang lebih cepat daripada mereka yang tidak terbiasa bermain game. Sama halnya dengan belajar, bermain game yang tidak berlebihan dapat meningkatkan kinerja otak bahkan memiliki kapasitas jenuh yang lebih sedikit dibandingkan dengan belajar dan membaca buku. Bermain game juga dapat meningkatkan kemampuan membaca. Tak jarang juga ditemukan banyak pria yang mahir bahasa Inggris di sekolah ataupun di universitas tanpa melalui kursus adalah orang-orang yang suka bermain game. Profesor di Loyola University, Chicago telah mengadakan penelitian dan menyimpulkan bahwa game online dapat menumbuhkan interaksi sosial yang menentang stereotip gamer yang terisolasi. Para peneliti di Indiana University menjelaskan bahwa bermain game dapat mengendurkan ketegangan syaraf. Itu artinya, video game menjadi sarana hiburan dan pelepas penat bagi penggunanya. (http://nupho.wordpress.com/2008/12/09/positif-dan-negatif-dari-game-online/) Sebaliknya penelitian Walsh (dalam Gentile 2004) menemukan hubungan negatif signifikan antara jumlah bermain video game dan prestasi di sekolah pada anak-anak, remaja dan mahasiswa. Jumlah bermain video game dapat mempengaruhi prestasi belajar di sekolah dimana waktu yang dimiliki untuk belajar dan kegiatan sosial lainnya digantikan dengan bermain video game. Hipotesis ini mengatakan bahwa penggunaan media elektronik dapat mempengaruhi kegiatan belajar dan sosial dengan menggantikan kegiatan seperti membaca, kegiatan dengan keluarga, dan bermain dengan teman sebaya. Jika ratarata anak bermain video game selama 7 jam seminggu, maka anak tidak membaca, mengerjakan tugas rumahnya dan kegiatan sosial lainnya sejumlah waktu yang sama (7 jam). 32 Meskipun video game dibuat untuk menghibur, menantang dan memiliki unsur pendidikan, kebanyakan permainan yang terdapat dalam video game berisikan unsur kekerasan. Analisis pada isi dari video game menunjukkan bahwa sekitar 89% mengandung unsur kekerasan (Ritcher dan Dill dalam Gentile, 2004). Kebanyakan dari permainan yang dikonsumsi dan dimainkan oleh remaja dan anak-anak berisikan unsur kekerasan. Anderson dan Bushman (2001) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara video game dengan unsur kekerasan dengan perilaku agresif. Hasilnya, ditemukan bahwa bermain video game yang berisikan unsur kekerasan meningkatkan perilaku agresif, kognisi agresi, emosi agresi, mempengaruhi keterbangkitan fisik dan menurunkan perilaku prososial. Salah satu dampak yang menjadi perhatian adalah kecanduan akan video game. Adiksi video game atau penggunaan video game secara berlebihan adalah penggunaan komputer dan video game secara kompulsif yang menggangu kehidupan sehari-hari, seperti mengisolasi diri sendiri, menghindari kontak atau kegiatan lainnya dan hanya berfokus untuk menyelesaikan permainan dalam video game. Kebanyakan penelitian tentang adiksi terhadap video game melibatkan diagnostik patologis. David (2009) menuliskan dampak buruk video game yang berpengaruh pada perkembangan aspek pendidikan, kesehatan, keadaan psikologis, dan kehidupan sosial. a. Aspek Pendidikan Video game berpengaruh pada proses belajar akademik. Suasana kelas seakan-akan merupakan penjara bagi jiwa anak. Tubuhnya ada di kelas, tetapi 33 pikirannya, rasa penasaran dan keinginan ada di video game. Kadang anak juga malas belajar atau sering membolos sekolah hanya untuk bermain video game. b. Aspek kesehatan Dari sisi kesehatan, pengaruh video game jelas banyak sekali dampaknya. Penyakit ini semacam nyeri sendi, yang apabila tidak ditangani secara serius dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan. c. Aspek psikologi Berjam-jam duduk untuk bermain video game berdampak juga pada keadaan psikis. Video game menimbulkan sensasi yang menyenangkan pada perasaan dan emosi yang memberikan dorongan yang sangat kuat untuk kembali bermain. Sensasi itu timbul oleh rasa senang dan nyaman dalam permainan video game. Secara psikologik video game memberikan kepuasan namun pada gilirannya video game memberi akibat yaitu seseorang menjadi tidak bisa mengontrol dirinya secara rasional untuk mengendalikan diri terhadap keinginan bermain video game, secara psikologik subjek akan cenderung terobsesi dengan video game sehingga mencari objek untuk melampiaskan emosi, subjek akan mengungkapkan agresi verbal. d. Dampak sosial Muncul keberanian dan perilaku melanggar janji bahkan aturan sosial dalam masyarakat, antara lain berbohong pada orang tua, tidak peduli terhadap orang tua dan kewajiban sosial lainnya. 2.2.4. Pengertian Eksposur Kekerasan dalam Video Game Pengertian eksposur kekerasan dalam video game dapat dijelaskan melalui teori belajar observasional Bandura. Hal ini dikarenakan peneliti menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Anderson dan Dill (2000) yang mengacu pada teori belajar observasional Bandura sebagai instrumen untuk mengukur eksposur kekerasan dalam video game. Teori belajar observasional memiliki asumsi dasar bahwa sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada disekitarnya Bandura (dalam Koeswara, 1988). Dalam teori Bandura model adalah apa saja 34 yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pameran, gambar, video game, atau instruksi (Hergenhahn, 2008). Menurut Bandura (dalam Koeswara, 1988) dalam belajar observasional terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yakni: 1. Proses atensional, yakni proses individu tertarik untuk memerhatikan atau mengamati perilaku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Model yang sering tampil dan memiliki karakteristik yang menarik dimata pengamat, atau memiliki pengaruh terhadap individu, lebih mudah mengundang perhatian pengamat dibandingkan dengan model yang jarang tampil, tidak menarik, atau tidak memiliki pengaruh. 2. Proses retensi, yakni proses individu menyimpan perilaku model yang telah diamatinya didalam ingatannya, baik melalui kode verbal maupun kode imajinal atau pembayangan gerak. 3. Proses reproduksi, yaitu proses individu mencoba mengungkap ulang perilaku model yang telah diamatinya. Pengungkapulangan atau reproduksi perilaku model ini pada mulanya bersifat kaku dan kasar, tetapi dengan pengulangan yang intensif lambat laun induvidu bisa mengungkapkan perilaku model itu dengan sempurna atau setidaknya mendekati perilaku model. 4. Proses motivasional dan perkuatan. Perilaku yang telah diamati tidak akan diungkapkan oleh individu apabila individu kurang termotivasi. Seperti teoris belajar umumnya, Bandura percaya bahwa perkuatan 35 positif bisa memotivasi individu kearah pengungkapan perilaku, dalam hal ini perilaku yang telah diamati. Disamping itu perkuatan juga memengaruhi proses atensional individu. Artinya, individu lebih tertarik untuk mengamati dan mencontoh perilaku yang menghasikan perkuatan yang besar dibandingkan denga perilaku yang menghasilkan perkuatan yang kecil. Untuk menjelaskan belajar observasional (observasional learning) Bandura (dalam Koeswara, 1988) melakukan percobaan terhadap dua kelompok anak. Kelompok I disuruh melihat perilaku model, yaitu sekelompok orang dewasa yang berebut menyerbu bola. Kemudian kelompok II tidak disuruh melihat model. Kemudian kelompok I dan II disuruh memasuki suatu ruangan yang didalamnya terdapat boneka yang lucu-lucu. Hasilnya terdapat perbedaan perilaku anak dari kelompok I dan II. Kelompok I secara beramai-ramai menyerbu boneka dan kelompok II tidak menyerbu boneka. Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan itu ialah bahwa derajat imitasi (peniruan) dari anak sangat tergantung dari dua hal yaitu: 1. Karakteristik penonton : anak yang memerhatikan dengan sungguhsungguh perilaku sebuah model, cara menirunya berbeda dengan yang tidak sungguh-sungguh. 2. Karakteristik model : model yang disenangi atau mempunyai status tertentu, lebih diperhatikan dari pada model yang pribadinya tidak disenangi atau kurang bermanfaat bagi anak. 36 Dalam teori belajar observasional memberikan sebuah kerangka teoritis untuk melihat pengaruh eksposur kekerasan dalam video game terhadap perilaku agresif. Dalam teori belajar observasional, video game merupakan salah satu contoh model yang ada disekitar individu. Adegan kekerasan dalam video game jenis kekerasan, seperti pembunuhan, perusakan, dan perilaku lain yang mencelakakan atau menyakiti subjek atau orang lain adalah bagian yang umumnya dianggap menarik dalam sebuah tayangan video game (Baron, dkk, 2006). Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi alternatif (Bandura, 1986). Kekerasan bukan hanya digambarkan bisa membuahkan hasil, tetapi juga sering dipakai oleh tokoh pahlawan, yang menghabisi musuhnya dengan cepat seolah-olah nyawa tidak ada harganya sama sekali. Adegan-adegan kekerasan dalam video game digemari pemain sehingga frekuensi dan intensitas kemunculannya makin meningkat. Oleh karenanya model berupa kekerasan yang ditampilkan dalam video game dapat menjadi teladan perilaku agresif bagi pemainnya. Anderson & Dill (2000) menyatakan bahwa efek bermain video game jenis kekerasan memiliki potensi merugikan yang lebih besar dibandingkan kekerasan di film bioskop atau di televisi. Hal ini disebabkan pertama, bermain video game mengharuskan pemainnya mangadopsi peran penyerang dan bertindak menurut sudut pandang penyerang di sepanjang permainan. Kedua, video game memaksa pemain untuk berpartisipasi aktif dan bukan sekedar menjadi penerima pasif. Ketiga, permainan itu bersifat adiktif 37 (menimbulkan ketergantungan) karena mediumnya tersedia secara konstan dan bersifat menguatkan. Dengan mengacu pada teori Bandura, dalam penelitian ini peneliti membuat definisi operasional bahwa eksposur kekerasan dalam video game didefinisikan sebagai frekuensi dan intensitas seseorang bermain video game jenis kekerasan sehingga dapat mengimitasi atau meniru agresi yang dilihatnya. Dalam hal ini frekuensi diartikan sebagai keseringan atau lama waktu yang dibutuhkan oleh individu dalam bermain video game. Intensitas adalah tingkat atau kadar kekerasan yang diterima oleh individu dari tayangan video game. Imitasi atau meniru adalah suatu proses melakukan tindakan maupun aksi (atensional, retensi, reproduksi dan motivasi) seperti yang dilakukan oleh model berupa video game berjenis kekerasan. 2.2.5. Pengukuran Eksposur Kekerasan dalam Video game Pengukuran eksposur terhadap kekerasan video game mengikuti perhitungan eksposur terhadap kekerasan pada studi yang dilakukan oleh Anderson & Dill (2000). Subjek diminta untuk menyebutkan lima game favorit, kemudian subjek diminta menilai tingkat kekerasan pada masing-masing item dengan menggunakan skala Likert dari 1 hingga 5. Angka 1 mewakili tidak ada agresi (0%), angka 2 mewakili terdapat sekitar 25% agresi terjadi dalam permainan, angka 3 mewakili 50% agresi terjadi dalam permainan, angka 4 mewakili 75% agresi terjadi dalam permainan, dan angka 5 mewakili agresi terjadi disepanjang permainan (100%). Rating yang diberikan siswa kemudian 38 dikalikan dengan frekuensi bermain game tersebut dalam satu minggu dalam satuan jam. Selanjutnya, rata-rata hasil kali antara frekuensi dan tingkat kekerasan dari kelima item tersebut dihitung sebagai nilai eksposur kekerasan dalam video game. 2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Berkaitan dengan penelitian ini yaitu hubungan eksposur kekerasan dalam video game dengan perilaku agresif salah satu faktor yang ditengarai berpengaruh terhadap perilaku agresif remaja adalah faktor permainan pada video game ataupun tayangan televisi yang menampilkan adegan kekerasan. Perilaku agresif yang muncul di media elektronik sering dihubungkan dengan agresif di dunia nyata. Tanggal 20 April 1999 dua orang pelajar Columbine High School, Colorado, AS, Eric Harris dan Dylan Klebod, secara membabi – buta menembakkan senapan mesin ke arah teman-temannya, kemudian pelajar tersebut bunuh diri setelah menewaskan 13 orang dan melukai 23 lainnya. Salah satu penyebab terjadinya peristiwa tersebut adalah video game yang mengandung unsur kekerasan yang tinggi yang berjudul Doom sebuah permainan yang mengajarkan bagaimana membunuh lawan dengan efektif (www.kompas.com). Dari hasil survey awal yang dilakukan Kumoro ( 2008 ) terhadap 25 remaja di salah satu kecamatan di wilayah Sidoarjo menunjukkan bahwa sebanyak 13 pelajar pernah berkelahi di sekolah dan merusak barang-barang yang ada bila sedang marah. Dari hasil survei juga diketahui bahwa sebanyak 13 orang siswa senang bermain video game jenis kekerasan dan pernah meniru adegan-adegan 39 yang dilakukan oleh karakter dalam beberapa game tersebut seperti memukul dan menendang orang lain Perilaku agresif yang sering muncul di media elektronik sering dihubunghubungkan dengan perilaku agresif di dunia nyata. Hal itu ditegaskan dalam penelitian terbaru di Amerika Serikat dan dipublikasikan di jurnal Pediatrics oleh Michelle L.Ybarra (2007) dari lembaga internet solution for kids, bahwasanya perilaku agresif di dalam media berhubungan dengan perilaku agresif yang serius di kalangan remaja. American Academy of Pediatric menyatakan bahwa, perilaku agresif di media merupakan faktor utama agresivitas di kalangan remaja. Adapun dalam survey terbaru pada 1.558 remaja usia 15 sampai 18 tahun, diteliti hubungan antara agresivitas di dunia nyata seperti banyak yang bertemakan kekerasan, seperti memukul, menendang, menembak lawan, mencuri ataupun menyerang secara seksual. Para peneliti menyimpulkan, responden yang mengakses situs yang menampilkan perkelahian, penembakan, dan pembunuhan maka lima kali berpotensi terlibat tindak kekerasan di dunia nyata daripada mereka yang tidak mengakses situs semacam itu. Media lainnya seperti televisi, film, musik, dan game yang berpengaruh terhadap agresivitas remaja (Kristo, 2008) Bandura (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa pengamatan atau observasi terhadap tingkah laku sebuah model akan membentuk perilaku pada sang pengamat. Perilaku agresif yang dilakukan oleh model juga akan membentuk perilaku agresif pada sang pengamat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eksposur kekerasan dalam video game mempunyai hubungan yang signifikan 40 dengan perilaku agresif pada pemainnya. Lusiana (2009) menyatakan ada perbedaan yang signifikan pada remaja yang bermain game online jenis agresif dan non agresif dengan tingkat perilaku agresif. Giarti (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “ video game jenis kekerasan dan agresivitas anak” yang mengambil sampel kelas V SD di gugus Yos Sudarso Salatiga, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara video game jenis kekerasan dengan agresivitas anak yang ditunjukkan dengan korelasi sebesar 0,318 dengan tingkat signifikansi 0,000. Bertentangan dengan itu, penelitian lain menunjukkan bahwa video game tidak mempunyai hubungan dengan agresivitas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rani Desai di Yale University, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa sebagian besar remaja yang sering bermain video game tidak akan memicu dirinya memiliki perilaku buruk. Penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam dan di luar pribadi seorang anak itu sendiri, video game tampaknya tidak berbahaya untuk mereka (www.healthday.com). Hasil penelitian Kumoro (2008) mengenai “Hubungan antara frekuensi bermain video game jenis kekerasan dengan kecenderungan agresi ” yang mengambil sampel penelitian siswa laki-laki kelas II SMU Trimurti Surabaya yang senang bermain video game. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi bermain video game jenis kekerasan mempunyai hubungan yang tidak signifikan dengan kecenderungan agresi {p (0,102) > 0,05}. Hasil ini dikarenakan subjek yang diteliti lebih menyukai game jenis olah raga bola. 41 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan yang signifikan antara eksposur kekerasan dalam video game dengan perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Suruh Kabupaten Semarang. 42