Hubungan Eksposur Kekerasan dalam Video Game dengan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Agresif
2.1.2. Teori Perilaku Agresif
Teori perilaku agresif mempunyai dua pendekatan utama, yakni
pendekatan biologis dan pendekatan belajar (Koeswara, 1988). Pendekatan
biologis adalah pendekatan yang memiliki akar sejarah yang panjang serta
melibatkan sejumlah tokoh yang memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda
yang meliputi psikologi, biologi, dan antropologi. Inti pendekatan biologis
asumsinya bahwa perilaku organisme, termasuk perilaku agresif, bersumber atau
ditentukan oleh faktor bawaan yang sifatnya biologis. Pendekatan biologis
menggunakan konsep naluri (instinct) sebagai faktor bawaan yang menjadi
sumber agresi. Tokoh atau teoris utama yang mewakili kelompok pendekatan
biologis diantaranya adalah Sigmund Freud, Konrad Lorenz, dan Robert Ardrey
(Koeswara, 1988).
Pendekatan yang bertentangan dengan pendekatan biologis adalah
pendekatan belajar. Dalam pendekatan belajar menekankan bahwa perilaku
agresif dihasilkan melalui proses belajar, baik dengan pengkondisian instrumental,
yaitu belajar melalui hadiah dan hukuman, maupun meniru yaitu belajar melalui
observasi terhadap model (Krahe, 2005). Tokoh utama dalam pendekatan belajar
9
adalah Ivan Pavlov dan dilanjutkan oleh tokoh behaviorisme lainnya seperti
Edward Thorndike, Edward Tolman, Clark Hull, John Dollard, Neal Miller, dan
B.F. Skinner. Disamping para teoris behavioris terdapat para teoris yang juga
meyakini agresi sebagai hasil belajar, yang berlangsung dalam lingkup lebih luas
melibatkan faktor sosial atau situasional (pendekatan belajar sosial). Teoris
pendekatan belajar sosial adalah Albert Bandura, Richard Walters, Robert Baron,
dan Leonard Eron (Koeswara, 1988). Dalam penelitian ini teori perilaku agresif
mengacu pada pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner, karena
instrumen yang dipakai untuk mengukur perilaku agresif adalah kuesioner agresi
(aggression questionnaire) yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) yang
mengacu pada teori pendekatan belajar behavioral Thorndike dan Skinner.
Belajar menurut teori pendekatan behavioral merupakan proses perubahan
perilaku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang
menyebabkan individu mempunyai pengalaman baru. Seseorang dianggap telah
belajar jika dapat menunjukkan ada perubahan dalam perilakunya. Dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan kepada peserta didik, sedangkan respons
adalah reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan.
Teori pendekatan belajar behavioral berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan
diamati Skinner (dalam Hergenhann & Olson, 2008). Hasil yang diharapkan dari
penerapan teori pendekatan belajar behavioral adalah terbentuknya suatu perilaku
yang diinginkan. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Perilaku yang diinginkan mendapat
10
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif.
Teori belajar pendekatan behavioral menjelaskan penyebab terjadinya perilaku
agresif yang dilakukan oleh individu. Menurut teori belajar pendekatan behavioral
perilaku agresif terhadap individu lain bukan bersifat instingtif (naluri/bawaan),
tetapi diperoleh melalui hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor (stimulus)
eksternal sebagai determinan dalam pembentukan perilaku agresif.
Thorndike dalam (Koeswara, 1988) mengembangkan teori belajar
koneksionisme.
Dalam
teori
koneksionisme,
belajar
merupakan
proses
pembentukan koneksi (hubungan/interaksi) antara stimulus dan respons. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan,
atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respons
adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Agar tercapai hubungan antara
stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat
serta melalui percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih
dahulu. Thorndike dalam (Hergenhahn, 2008) mengemukakan tiga hukum pokok
dalam belajar:
1. Law of readiness (hukum kesiapan)
Bila respons terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk
bertindak, maka respons itu akan memuaskan.
Konsekuensi dari law of readiness adalah:
a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila
melakukannya akan memuaskan.
b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila tidak
melakukannya akan menjengkelkan.
c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu tindakan
tetapi
dipaksa
melakukan
maka
melakukannya
akan
menjengkelkan.
11
2. Law of exercise (hukum latihan)
Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Semakin sering suatu koneksi (hubungan) stimulus dan respon
dipraktekkan maka koneksi itu makin erat. Bagian dari hukum
latihan ini dinamakan law of use (hukum penggunaan)
b. Bila koneksi (hubungan) yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak
pernah lagi dipraktikkan, maka koneksi itu akan melemah dan
akhirnya menghilang. Bagian dari hukum ini dinamakan hukum
low of disuse (hukum ketidakgunaan).
3. Law of effect (hukum akibat)
Hukum law of effect adalah penguatan atau pelemahan dari suatu
koneksi antara stimulus dan respons. Jika suatu respon diikuti dengan
keadaan yang memuaskan, kekuatan koneksi itu menjadi lebih kuat.
Jika respons diikuti dengan keadaan yang tidak memuaskan, maka
kekuatan koneksi itu menjadi menurun. Hadiah (reward) dan
hukuman (punishment) memainkan peranan penting. Individu
cenderung akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut
menimbulkan efek yang menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak
akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan
efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya.
Berangkat dari rumusan di atas, Thorndike dalam pandangannya
menyatakan bahwa dari tiga hukum pokok, law of effect memiliki peranan dalam
pembentukan perilaku agresif. Sebab, perilaku agresif yang terbentuk dan
dilakukan berulang-ulang oleh individu, menimbulkan efek atau hasil yang
menyenangkan baginya. Sebaliknya, apabila dengan agresi tersebut individu
memperoleh hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka individu
tersebut tidak akan mengulanginya.
Teori belajar koneksionisme Thorndike menerangkan bahwa perilaku
agresif dapat terjadi dikarenakan hasil belajar dari proses pembentukan koneksi
(hubungan/interaksi) antara stimulus dan respons. Sebab, belajar sebagai suatu
proses pengasosiasian stimulus respons akan terjadi apabila respons yang
diungkapkan oleh individu memperoleh perkuatan. Sedangkan pereduksian
12
dorongan dapat memperkuat suatu respons. Apabila individu gagal dalam
usahanya mereduksi suatu dorongan atau dalam mencapai suatu tujuan, maka
individu tersebut dapat mengalami frustasi. Salah satu bentuk respons atau
perilaku yang kemungkinan ditunjukkan oleh individu sebagai reaksi terhadap
frustasi yang dialaminya itu dapat berujung pada terjadinya perilaku agresif.
Skinner
(1985)
mengembangkan
sebuah
teori
belajar
operant
conditioning. Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu
proses penguatan perilaku (reinforcement) baik penguatan positif atau negatif
yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau
menghilang sesuai dengan keinginan (Prasetyani, 2007). Skinner berpendapat
setiap suatu tindakan yang telah dibuat ada konsekuensinya, dan konsekuensikonsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin,
2000).
Skinner (Hergenhahn, 2008) pengkondisian operan terdiri dari dua konsep
utama, yaitu:
1. Penguatan (reinforcement)
Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan
probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi.
Penguatan boleh jadi kompleks. Penguatan berarti memperkuat.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian:
a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa
frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang
13
mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah
berupa hadiah, perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk
menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau
penghargaan (Juara 1, 2, dsb).
b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa
frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan
stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk
penguatan
negatif
antara
lain:
menunda/tidak
memberi
penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan
perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa
dll).
2. Hukuman (punishment)
Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan
probabilitas terjadinya suatu perilaku atau apa saja yang menyebabkan
sesuatu respon atau perilaku menjadi berkurang atau bahkan langsung
dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat
mengatakan bahwa hukuman adalah mencegah pemberian sesuatu
yang diharapkan organisme, atau memberi sesuatu yang tidak
diinginnya.
Skinner (Hergenhahn, 2008) menghasilkan hukum-hukum
diantaranya :
14
belajar,
a.
Law of operant conditioning yaitu jika timbulnya perilaku
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan meningkat.
b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah.
Teori belajar operant conditioning, Skinner memberikan penjelasan bahwa
belajar merupakan proses pengasosiasian respons dan penguatan. Di mana
penguatan yang positif akan menghasilkan kemungkinan kemunculan respons
atau perilaku yang tinggi, dan sebaliknya perkuatan yang negatif menghasilkan
kemungkinan kemunculan respons atau perilaku yang rendah atau bahkan
menghapus kemungkinan kemunculan perilaku tersebut.
Skinner juga memberikan gambaran bahwa perilaku sebagai sebuah
instrumen yang digunakan oleh individu untuk memperoleh penguatan yang
positif atau efek yang menyenangkan. Sehingga perilaku agresif muncul sebagai
respons atau perilaku instrumental. Oleh sebab itu, apabila teori belajar operant
conditioning Skinner dipakai untuk menerangkan proses bagaimana individu
menjadi agresif maka dapat dikemukakan bahwa perilaku agresif pada individu
terbentuk karena diikuti oleh penguatan positif dan perilaku tersebut akan diulang
oleh individu untuk memperoleh penguatan kembali. Sebaliknya individu yang
melakukan perilaku agresif yang mendapatkan penguatan negatif maka perilaku
agresif tersebut akan berkurang dan semakin lama akan terhapus.
Dengan mengacu pada teori behavioral Thorndike dan Skinner (dalam
Hergenhahn, 2008), Buss dan Perry mendefinisikan perilaku agresif sebagai
15
perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain,
baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992).
Skinner (1938)
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar. Kecenderungan perilaku agresif merupakan
hasrat atau keinginan yang selalu timbul berulang-ulang untuk menyakiti,
merusak dan melukai individu lain baik secara fisik yaitu maupun mental. Agar
perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi, perilaku harus memiliki
karakteristik yang pertama, perilaku agresif merupakan perilaku yang bersifat
membahayakan, menyakitkan, dan melukai orang lain. Karakteristik yang kedua,
agresif merupakan suatu perilaku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk
melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain
dilakukan dengan sengaja. Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur
ketidak sengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresif.
Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan
sebagai perilaku agresif. Karakteristik yang ketiga, agresi tidak hanya dilakukan
untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologis), misalnya
melalui kegiatan yang menghina atu menyalahkan.
Buss dan Perry (1992) menyebut empat aspek perilaku agresif yaitu :
a. Aspek pertama yakni agresi fisik yang merupakan tindakan agresi
yang menyakiti individu lain secara fisik, seperti memukul dan
menendang.
16
b. Aspek kedua adalah agresi verbal, yaitu respons vokal yang
menyampaikan stimulus yang menyakiti mental atau psikis dalam
bentuk penolakan dan ancaman. Seperti mengumpat, menyebarkan
cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang
lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat.
c. Aspek ketiga adalah kemarahan, yakni emosi negatif yang
disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk
ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Reaksi
emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang
merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri,
serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi
kuat pada syaraf otonomi, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian
simpatik dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan
lahiriah, baik yang bersifat somatik atau jasmani maupun verbal atau
lisan.
d. Aspek keempat adalah hostility atau permusuhan, yakni tindakan
yang mengekspresikan kebencian, permusuhan dan antagonisme
kepada pihak lain.
2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif
Buss & Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) menyatakan faktor –
faktor yang mempengaruhi perilaku agresif. Faktor – faktor tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
17
1. Petunjuk Untuk Melakukan Tindakan Agresif (Aggressive Cues)
Aggresssive Cues adalah objek yang menimbulkan konsep-konsep
yang berhubungan dengan agresi dalam memori. Contohnya ketika seseorang
dihadapkan pada sebuah senjata, akan lebih agresif dibanding ketika
dihadapkan dengan sebuah raket. Selain senjata, objek lain yang termasuk
dalam kategori ini adalah tayangan bermuatan kekerasan di televisi, film, dan
video games.
2. Provokasi
Provokasi mencakup hinaan, ejekan, sindiran kasar, agresi fisik,
gangguan gangguan yang menghambat pencapaian suatu tujuan dan
sejenisnya. Karyawan yang mendapatkan provokasi untuk mempersepsikan
bahwa ia mendapat perlakuan yang tidak adil terbukti lebih agresif di tempat
kerjanya.
3. Rasa Sakit dan Ketidaknyamanan
Kondisi-kondisi fisik lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan
dapat meningkatkan agresivitas. Lingkungan yang bising, terlalu panas,
ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif.
4. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan atau zat-zat seperti kafein atau alkohol dapat
meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung. Individu yang berada di
bawah pengaruh alkohol ataupun zat psikotropika, lebih mudah terprovokasi,
merasa frustrasi, ataupun menangkap petunjuk untuk melakukan kekerasan
dibanding individu yang tidak menggunakan zat-zat tersebut.
18
2.1.3. Pengukuran Perilaku Agresif
Dibutuhkan strategi-strategi pengukuran yang dapat memberikan informasi
mengenai tingkat perilaku agresif. Catatan perilaku agresif dapat diperoleh
melalui dua pendekatan umum, yaitu observasi dan bertanya Baron dan
Richardson (dalam Krahe, 2005).
1. Observasi
Tindakan observasional memudahkan pencatatan perilaku agresif pada
saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah. Misalnya di
kalangan anak-anak ditempat bermain mereka di sekolah, atau di latar
laboratoris yang dirancang dengan sengaja.
Variasi pengukuran perilaku agresif melalui observasi dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Observasi alamiah
Salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam setting
tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini bisa disebut
sebagai observasi naturalistik.
Sebagai contoh, Humpert dan Dann (1988) mencatat interaksi yang
berhubungan dengan agresi selama pelajaran sekolah dengan
menggunakan sistem pengodean yang dikembangkan secara khusus,
yang meliputi 10 kategori perilaku agresif, seperti merusak milik
teman sekelas, merampas benda-benda milik orang lain, mengamcam,
dan menfitnah teman.
19
Dalam tipe pengukuran observasi alamiah, alur alamiah perilaku
pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit analisis
yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan ke dalam kategorikategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan
dan dimana sampel perilaku diambil dan bagaiman cara menetapkan
unit-unit analisis dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan
metodelogis ini.
b. Eksperimen lapangan
Pengukuran dengan metode eksperimen lapangan menggabungkan
variasi sebuah variabel independen (misalnya kekuatan suatu frustrasi)
dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen (misalnya intensitas
respon agresif). Metode ini dilakukan Baron (1976) dengan
menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa. Melalui eksperimen
ini, Baron melihat reaksi agresif pengemudi melalui penetapan
berdasarkan latensi dan durasi membunyikan klakson untuk melihat
respons terhadap frustasi karena seorang eksperimen sengaja
menghalangi mobilnya sehingga pengemudi tidak dapat menjalankan
mobilnya ketika lampu hijau sudah menyala.
Contoh penggunaan eksperimen lapangan yang lain dalam
mengukur perilaku agresif misalnya dengan menggunakan situasi
pada suatu antrean, orang-orang yang menunggu dalam antrean yang
merasa frustrasi karena seorang petugas eksperimen dengan sengaja
20
menyerobot antrean. Respons – respons agresif mereka dikaji sebagai
fungsi dari seberapa dekat mereka berusaha menuju antrean terdepan.
c. Ekperimen laboratoris
Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol
dalam penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti
berikut:
1) Paradigma guru-murid
Milgram (1974) menggunakan eksperimen belajar dengan cara
menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus
mempresentasikan tugas asosiasi kata kepada orang lain yang
berperan sebagai murid. Untuk kesalahan yang dibuat oleh murid
akan diberikan hukuman oleh guru dengan menerapkan stimulus
advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini dilakukan
secara bergantian sehingga setiap responden berkesempatan
memainkan peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya
merupakan indeks kritis bagi perilaku agresifnya.
2) Paradigma evaluasi esai
Pradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz (1962).
Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif
sebagai respons terhadap frustasi atau provokasi yang telah dialami
sebelumnya. Subyek diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi
masalah. Kemudian tugas tersebut akan dievaluasi yang akan
diekspresikan dalam bentuk jumlah kejutan listrik. Tanpa
21
memerdulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing
subjek akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase
kedua
peran
dibalik
subjek
mendapat
kesempatan
untuk
mengevaluasi solusi yang dibut orang lain. Jumlah kejutan listrik
yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen dan
menunjukkan kekuatan respon agresif mereka.
3) Paradigma boneka Bobo
Bandura, Ross dan Ross (1963) dalam penelitiannya mengukur
perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang
bertindak agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak
terhadap boneka Bobo diobservasi dan diukur dalam bentuk
frekuensi tindakan yang dilakukan.
4) Agresi verbal
Baron dan Richardson (1994) pengukuran perilaku agresif
dilakukan dengan cara subjek
dihadapkan pada sejumlah
manipulasi yang dirancang untuk memunculkan respon agresif.
Setelah itu reaksi verbal mereka dicatat, baik secara respons bebas
yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya maupun sebagai
evaluasi terstandar dari orang yang memprovokasi reaksi agresif.
22
2. Bertanya
Pendekatan bertanya dibutuhkan untuk mengukur perilaku agresif
yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi, misalnya
tindakan kekerasan, seperti serangan fisik, perkosaan, atau pembunuhan.
Pada kasus semacam ini, peneliti harus bersandar pada metode meminta
laporan tentang perilaku, dan dalam konteks lain pernyataan penelitian
perlu memfokuskan pada variabel-variabel internal, seperti pikiran dan
khayalan agresif, yang tidak dapat diobservasi.
Variasi pengukuran perilaku agresif melalui metode bertanya dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Laporan diri tentang perilaku (behavioral self-report)
Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan
verbal mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks
survei berskala besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji
hipotesis. Berdasarkan tujuan pertanyaannya, subjek dapat diminta
untuk melaporkan pola perilaku agresifnya secara umum, atau hanya
tindakan khusus pada ranah tertentu. Ukuran perilaku agresif umum
itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik dan verbal dari
kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang disusun oleh Buss
dan Perry (1992).
Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan
dengan laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara
laporan diri dan laporan orang lain. Contoh skala yang dapat
23
digunakan adalah skala taktik konflik (conflict tactics scale) yang
dikembangkan oleh Straus (1979) untuk mengukur kekerasan rumah
tangga.
b. Nominasi orang lain/teman sebaya (peer/other nominations)
Metode ini telah digunakan oleh Eron, Husman (1972). Dalam
metode ini membutuhkan peran orang lain yang tahu banyak
mengenai subjek diminta untuk menyumbangkan informasinya
mengenai subjek tersebut. Guru, orang tua, teman sebaya, yang
memiliki pengetahuan tangan pertama mengenai perilaku agresif
subjek yang dimaksud, diminta membuat catatan perilaku, yang
kemudian satu sama lain dapat dilihat konvergensinya dan
dibandingkan dengan laporan diri yang dibuat oleh subjek yang
bersangkutan.
c. Catatan arsip
Peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai perilaku agresif
yang dilakukan subjek dari data arsip yang dikumpulkan untuk
keperluan lain. Misalnya penelitian Anderson (1989) yang memakai
statistik kriminalitas dan catatan suhu udara yang sangat relevan
dalam konteks penelitian agresi.
d. Skala kepribadian dan teknik proyektif
Di luar permintaan untuk melaporkan agresi pada tingkat perilaku,
peneliti sering tertarik untuk meneliti kondisi kognitif dan afektif
perilaku agresif serta mengidentifikasi perbedaan individual yang
24
bersifat tetap dalam disposisi tindakan agresif. Untuk memenuhi
tujuan ini, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama ada dalam
pengembangan skala kepribadian terstandar dimana responden
diminta untuk mendiskripsikan tentang keadaan yang ada dalam
dirinya saat ini atau disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner
agresi yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) berisi dua
skala semacam itu, yaitu mengukur amarah dan permusuhan.
Perbedaan antara keadaan saat ini dan ciri sifat yang stabil
dicerminkan dalam state trait anger scale yang dikembangkan oleh
Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane (1983).
Pendekatan kedua untuk mengeksplorasi faktor pendukung
intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif.
Dalam metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu,
seperti bercak-bercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration
test (Rosenzweig, 1981).
Berdasarkan rumusan tentang metode pengukuran perilaku agresif, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner perilaku agresif yang disusun oleh
Buss dan Perry (1992). Melalui kuesioner ini, perilaku agresif diukur berdasarkan
skor yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner perilaku agresif yang
berjumlah 29 item dengan ketentuan semakin tinggi skor yang diperoleh berarti
semakin tinggi tingkat perilaku agresif siswa, dan sebaliknya semakin rendah skor
yang diperoleh berarti semakin rendah tingkat perilaku agresif siswa. Sementara
25
itu, pengukuran perilaku agresif juga dapat diidentifikasi melalui aspek agresi
verbal, agresi fisik, kemarahan, dan permusuhan.
2.1.4. Upaya Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi Perilaku Agresif
Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam
memfasilitasi
individu
mencapai
tingkat
perkembangan
yang
optimal,
pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan
fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya. Peserta didik (konseli)
sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses perkembangan atau
menjadi (on becoming), yaitu berkembang kearah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan atau kemandirian, konseli memerlukan bimbingan
karena mereka masih kurang memiliki pemahaman dalam menentukan arah
kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses
perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari
masalah. Perkembangan individu tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik,
psikis, maupun sosial. Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti :
maraknya tayangan pornografi dan kekerasan di televisi dan VCD, minuman
keras, dan obat-obatan terlarang, ketidak harmonisan dalam keluarga sangat
mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja)
yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia).
Salah satu contoh perilaku yang menyimpang adalah timbulnya perilaku agresif
pada konseli (siswa). Upaya untuk menangkal atau mencegah perilaku
menyimpang, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka
secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kopetensi kemandirian.
26
Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus
dilaksanakan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli
beserta berbagai faktor yang memengaruhinya.
Upaya yang dapat dilakukan guru bimbingan dan konseling dalam
mengatasi perilaku agresif yang dilakukan oleh konseli diantaranya adalah:
1. Guru BK dapat memberikan contoh atau teladan berperilaku secara
baik (sesuai dengan kaidah moral / aturan sekolah) kepada siswanya
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Bandura (dalam Hergenhahn,
2008) perilaku agresif dapat dipelajari melalui pengamatan (observasi)
dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada
disekitarnya. Model akan sangat efektif jika dilihat memilki
kehormatan, kompetensi, status tinggi, atau kekuasaan. Oleh karena
itu guru BK dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru BK
juga harus memahami dalam proses belajar observasional siswa diatur
oleh empat variabel yakni siswa meretensi perilaku sebuah model
yang dilihatnya. Dalam proses retensi sebagian besar dipengaruhi oleh
kemampuan verbal seseorang. Oleh karenannya guru BK harus
memerhatikan kemampuan verbal siswa saat akan merencanakan
modeling. Dalam proses mereduksi guru BK juga harus mengetahui
proses pembentukan perilaku siswa. Jika siswa memerhatikan,
menyimpan, dan mampu melakukan perilaku yang dipelajari lewat
observasi itu, siswa harus punya dorongan untuk melakukannya.
Dalam tahapan ini guru BK harus melakukan pemberian motivasi,
27
Misalnya dengan memberikan pujian, hadiah, dan penghargaan
apabila siswa mampu menunjukkan apa yang telah mereka pelajari.
Dalam proses pemberian modeling kepada siswa, guru BK dapat juga
menggunakan media seperti: film, televisi, ceramah, demonstrasi
sebagai model efektif utuk tujuan pendidikan.
2. Bagi siswa yang telah terindikasi berperilaku agresif maka guru BK
dapat menyelenggarakan konseling dengan pendekatan behavioral.
Tujuan
dari
konseling
behavioral
yaitu
Menghapus
atau
menghilangkan perilaku maladaptif (bermasalah) untuk digantikan
dengan perilaku baru yaitu perilaku adaptif yang diinginkan oleh
konseli. Dalam konseling behavioral Guru BK (konselor) berfungsi
sebagi konsultan, guru, penasihat, pemberi dukungan dan fasilitator.
Konselor juga dapat memodifikasi perilaku konseli melalui pemberian
penguatan.
Agar
konseli
terdorong
untuk
merubah
perilaku
agresifnya, penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang
cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata
ditampilkan melalui perilaku konseli. Selanjutnya konseli diminta
untuk
mengurangi
frekuensi
berlangsungnya
perilaku agresif.
Konselor juga dapat mengkondisikan perubahan perilaku melalui
pemberian contoh atau model seperti: film, tape recorder, atau contoh
nyata langsung dari perilaku konselor. Selanjutnya apabila konseli
berhasil menunjukkan perilaku baru (berhasil mencontoh perilaku
28
adaptif) maka konselor dapat memberikan ganjaran/hadiah, misalnya
berupa pujian.
2.2 Eksposur Kekerasan dalam Video Game
2.2.1. Pengertian Video Game
Video game adalah semua multi media interaktif yang merupakan bentuk
dari hiburan, yang digerakkan oleh komputer elektronik, dikendalikan oleh
keyboard, controller atau mouse dan ditampilkan pada sejenis layar (Merino,
2006). Video game ditemukan tahun 1970an sebagai teknologi komunikasi baru
yang merupakan gabungan dari teknologi televisi dan komputer. Secara teknis,
video game menggunakan interaksi dengan antarmuka pengguna melalui gambar
yang dihasilkan oleh piranti video. Permainan ini umumnya menyediakan sistem
penghargaan, misalnya skor yang dihitung berdasarkan tingkat keberhasilan yang
dicapai dalam menyelesaikan tugas-tugas yang ada di dalam permainan. Ada
semacam hukuman misalnya pengurangan skor jika melakukan kesalahan atau
tidak menjalankan misi tertentu dengan tuntas. Perkembangan selanjutnya video
game memuat musik, gambar tiga dimensi (3D), efek getar, hingga penggunaan
sensor gerak yang fungsinya adalah untuk menyajikan hiburan pada pemainnya
(Wijaya, 2005). Tujuan utama pembuatan game yang paling banyak adalah untuk
menyajikan hiburan. Sifat permainan adalah sebagai alat penghibur, tetapi jika
terlalu serius dan semakin lama individu memainkan permainan tersebut maka
berdampak negatif bagi diri pribadi individu tersebut (Afrianti, 2009). Video
game dapat dimainkan oleh:
29
a. Television-based systems (seperti Sony Play Station, Nintendo Game Cube™,
Microsoft’s Xbox® and Xbox360™), yang menggunakan televisi sebagai monitor
untuk perangkat lunak dan dikendalikan oleh alat yang berhubungan dengan
konsol tersebut.
b. DVD-ROMS atau CD-ROMS pada komputer pribadi baik yang berhubungan
(On-line) atau tidak berhubungan (off-line) dengan internet, dikendalikan dengan
keyboard dan mouse atau alat lain yang dipasangkan pada perangkat keras
komputer.
c. Games-specific handheld consoles, seperti Nintendo’s Game Boy dan Sony’s
PSP, yang menggunakan software atau disket dan dapat dimanipulasi
menggunakan joystick untuk mengontrol alat tersebut.
d. Other handheld units, seperti Personal Digital Assistants (PDAs), komputer
portabel dan ponsel.
2.2.2. Jenis-jenis Video Game
Menurut Nilwan (dalam Agustin, 2009) Video game dibagi menjadi:
a. Fun games
Fun game adalah permainan seperti; skate bord, bilyard, catur,
puzzle, tetris, golf dan semua permainan yang animasinya sedikit dan
pembuatannya relatif mudah. Permainan semacam ini terlihat mudah
dari segi grafiknya tetapi biasanya sulit dalam algoritma, yang
termasuk ke dalam permainan jenis ini misalnya Ayodance, Idol
steet, dan Crazy kart.
b. Arcade games
Arcade games adalah semua permainan yang mudah dimengerti,
menyenangkan dan grafiknya bagus walau biasanya sederhana.
Pengertian mudah dimengerti menyenangkan karena permainan ini
hanyalah berkisar pada hal-hal yang disenangi secara umum, seperti;
pukul-memukul, tembak-menembak, tusuk menusuk, kejar
mengejar, dan semuanya yang mudah dan menyenangkan. Jenis
permainan ini misalnya Ghosh online, RF, Dot A, Prefeck World,
Counter Strike, Point Blank.
c. Strategic games
Staregic games biasanya permainan perang atau bisa juga permainan
lain tetapi tetap saja memerlukan startegi untuk memenangkannya
misalnya strategi bisnis dan strategi politik.
d. Adventure games
Anventure games terbagi atas tiga macam yaitu petualangan biasa.
Dungeon Underworld Adventure (3D Adventure), Roll Playing,
Game Adventure. Biasanya algoritma untuk membuat game ini
adalah dari taraf sedang sampai sulit. Tapi grafik jenis permainan ini
benar-benar sulit. Contoh permainan jenis ini adalah The Sims.
30
e. Simulasi games
Dari semua jenis permainan yang ada, masing-masing memiliki
tingkat kesulitan dan kemudahannya, jika bukan algoritmanya maka
akan mudah dalam hal animasinya, akan tetapi game simulasi bisa
disebut sebagai jenis permainan yang paling sulit.
Berdasarkan jenis – jenis video game, dapat disimpulkan bahwa video
game dibagi dalam dua kelompok yaitu video game non kekerasan dan jenis
kekerasan. Video game non kekerasan meliputi: Fun Games, Strategic Games,
Adventure Games, dan Simulasi Games dikelompokkan menjadi jenis game non
kekerasan karena di dalam game tersebut hanya bersifat “mengolah” otak dan
tidak mengandung unsur kekerasan atau perilaku agresif. Sedangkan video game
jenis kekerasan, seperti; Arcade Games dikatakan game jenis kekerasan karena di
dalam Arcade game terdapat permainan pukul-memukul, tembak-menembak,
tusuk-menusuk, kejar-mengejar dan semua dilakukan dengan mudah dan
menyenangkan.
Menurut Gunter (dalam Triananda, 2006) kadar kekerasan yang
digambarkan dalam tampilan video game dapat dilihat dari lima hal, yaitu: 1)
gambaran kekerasan, 2) jenis watak, 3) bentrokan fisik, 4) akibat kekerasan, 5)
penekanan kekerasan. Sedangkan video game yang dikategorikan mengandung
kekerasan memiliki kriteria: pelaku kekerasan dalam video game mencoba
menyakiti makluk hidup lain, dalam permainan tersebut diperlihatkan akibat dari
kekerasan yang dilakukan.
31
2.2.3. Dampak Video Game
Penelitian di Manchester University dan Central Lanchashire University
membuktikan bahwa gamer yang bermain game 18 jam per minggu (rata-rata 2.5
jam/hari) memiliki koordinasi yang baik antara tangan dan mata setara dengan
kemampuan atlet. Bryce, kepala penelitian di suatu universitas di Inggris
menemukan bahwa gamer sejati punya daya konsentrasi tinggi yang
memungkinkan mereka mampu menuntaskan beberapa tugas. Penelitian di
Rochester University mengungkapkan bahwa anak-anak yang memainkan game
action secara teratur memiliki ketajaman mata yang lebih cepat daripada mereka
yang tidak terbiasa bermain game. Sama halnya dengan belajar, bermain game
yang tidak berlebihan dapat meningkatkan kinerja otak bahkan memiliki kapasitas
jenuh yang lebih sedikit dibandingkan dengan belajar dan membaca buku.
Bermain game juga dapat meningkatkan kemampuan membaca. Tak jarang juga
ditemukan banyak pria yang mahir bahasa Inggris di sekolah ataupun di
universitas tanpa melalui kursus adalah orang-orang yang suka bermain game.
Profesor di Loyola University, Chicago telah mengadakan penelitian dan
menyimpulkan bahwa game online dapat menumbuhkan interaksi sosial yang
menentang stereotip gamer yang terisolasi. Para peneliti di Indiana University
menjelaskan bahwa bermain game dapat mengendurkan ketegangan syaraf. Itu
artinya, video game menjadi sarana hiburan dan pelepas penat bagi penggunanya.
(http://nupho.wordpress.com/2008/12/09/positif-dan-negatif-dari-game-online/)
Sebaliknya penelitian Walsh (dalam Gentile 2004) menemukan hubungan
negatif signifikan antara jumlah bermain video game dan prestasi di sekolah pada
anak-anak, remaja dan mahasiswa. Jumlah bermain video game dapat
mempengaruhi prestasi belajar di sekolah dimana waktu yang dimiliki untuk
belajar dan kegiatan sosial lainnya digantikan dengan bermain video game.
Hipotesis
ini
mengatakan
bahwa
penggunaan
media
elektronik
dapat
mempengaruhi kegiatan belajar dan sosial dengan menggantikan kegiatan seperti
membaca, kegiatan dengan keluarga, dan bermain dengan teman sebaya. Jika ratarata anak bermain video game selama 7 jam seminggu, maka anak tidak membaca,
mengerjakan tugas rumahnya dan kegiatan sosial lainnya sejumlah waktu yang
sama (7 jam).
32
Meskipun video game dibuat untuk menghibur, menantang dan memiliki
unsur pendidikan, kebanyakan permainan yang terdapat dalam video game
berisikan unsur kekerasan. Analisis pada isi dari video game menunjukkan bahwa
sekitar 89% mengandung unsur kekerasan (Ritcher dan Dill dalam Gentile, 2004).
Kebanyakan dari permainan yang dikonsumsi dan dimainkan oleh remaja dan
anak-anak berisikan unsur kekerasan.
Anderson dan Bushman (2001) melakukan penelitian untuk melihat
hubungan antara video game dengan unsur kekerasan dengan perilaku agresif.
Hasilnya, ditemukan bahwa bermain video game yang berisikan unsur kekerasan
meningkatkan perilaku agresif, kognisi agresi, emosi agresi, mempengaruhi
keterbangkitan fisik dan menurunkan perilaku prososial.
Salah satu dampak yang menjadi perhatian adalah kecanduan akan video
game. Adiksi video game atau penggunaan video game secara berlebihan adalah
penggunaan komputer dan video game secara kompulsif yang menggangu
kehidupan sehari-hari, seperti mengisolasi diri sendiri, menghindari kontak atau
kegiatan lainnya dan hanya berfokus untuk menyelesaikan permainan dalam video
game. Kebanyakan penelitian tentang adiksi terhadap video game melibatkan
diagnostik patologis.
David (2009) menuliskan dampak buruk video game yang berpengaruh
pada perkembangan aspek pendidikan, kesehatan, keadaan psikologis, dan
kehidupan sosial.
a.
Aspek Pendidikan
Video game berpengaruh pada proses belajar akademik. Suasana kelas
seakan-akan merupakan penjara bagi jiwa anak. Tubuhnya ada di kelas, tetapi
33
pikirannya, rasa penasaran dan keinginan ada di video game. Kadang anak juga
malas belajar atau sering membolos sekolah hanya untuk bermain video game.
b. Aspek kesehatan
Dari sisi kesehatan, pengaruh video game jelas banyak sekali dampaknya.
Penyakit ini semacam nyeri sendi, yang apabila tidak ditangani secara serius
dampak yang terparah adalah menyebabkan kecacatan.
c. Aspek psikologi
Berjam-jam duduk untuk bermain video game berdampak juga pada keadaan
psikis. Video game menimbulkan sensasi yang menyenangkan pada perasaan dan
emosi yang memberikan dorongan yang sangat kuat untuk kembali bermain.
Sensasi itu timbul oleh rasa senang dan nyaman dalam permainan video game.
Secara psikologik video game memberikan kepuasan namun pada gilirannya video
game memberi akibat yaitu seseorang menjadi tidak bisa mengontrol dirinya
secara rasional untuk mengendalikan diri terhadap keinginan bermain video game,
secara psikologik subjek akan cenderung terobsesi dengan video game sehingga
mencari objek untuk melampiaskan emosi, subjek akan mengungkapkan agresi
verbal.
d. Dampak sosial
Muncul keberanian dan perilaku melanggar janji bahkan aturan sosial dalam
masyarakat, antara lain berbohong pada orang tua, tidak peduli terhadap orang tua
dan kewajiban sosial lainnya.
2.2.4. Pengertian Eksposur Kekerasan dalam Video Game
Pengertian eksposur kekerasan dalam video game dapat dijelaskan melalui
teori belajar observasional Bandura. Hal ini dikarenakan peneliti menggunakan
kuesioner yang dikembangkan oleh Anderson dan Dill (2000) yang mengacu pada
teori belajar observasional Bandura sebagai instrumen untuk mengukur eksposur
kekerasan dalam video game.
Teori belajar observasional memiliki asumsi dasar bahwa sebagian besar
perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi)
dan meniru atas perilaku yang ditampilkan oleh model yang ada disekitarnya
Bandura (dalam Koeswara, 1988). Dalam teori Bandura model adalah apa saja
34
yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pameran, gambar,
video game, atau instruksi (Hergenhahn, 2008).
Menurut Bandura (dalam Koeswara, 1988) dalam belajar observasional
terdapat empat proses yang satu sama lain berkaitan, yakni:
1. Proses atensional, yakni proses individu tertarik untuk memerhatikan
atau mengamati perilaku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi
kehadiran model dan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Model yang sering tampil dan memiliki karakteristik yang menarik
dimata pengamat, atau memiliki pengaruh terhadap individu, lebih
mudah mengundang perhatian pengamat dibandingkan dengan model
yang jarang tampil, tidak menarik, atau tidak memiliki pengaruh.
2. Proses retensi, yakni proses individu menyimpan perilaku model yang
telah diamatinya didalam ingatannya, baik melalui kode verbal
maupun kode imajinal atau pembayangan gerak.
3. Proses reproduksi, yaitu proses individu mencoba mengungkap ulang
perilaku model yang telah diamatinya. Pengungkapulangan atau
reproduksi perilaku model ini pada mulanya bersifat kaku dan kasar,
tetapi dengan pengulangan yang intensif lambat laun induvidu bisa
mengungkapkan perilaku model itu dengan sempurna atau setidaknya
mendekati perilaku model.
4. Proses motivasional dan perkuatan. Perilaku yang telah diamati tidak
akan diungkapkan oleh individu apabila individu kurang termotivasi.
Seperti teoris belajar umumnya, Bandura percaya bahwa perkuatan
35
positif bisa memotivasi individu kearah pengungkapan perilaku, dalam
hal ini perilaku yang telah diamati. Disamping itu perkuatan juga
memengaruhi proses atensional individu. Artinya, individu lebih
tertarik untuk mengamati dan mencontoh perilaku yang menghasikan
perkuatan yang besar dibandingkan denga perilaku yang menghasilkan
perkuatan yang kecil.
Untuk menjelaskan belajar observasional (observasional learning)
Bandura (dalam Koeswara, 1988) melakukan percobaan terhadap dua kelompok
anak. Kelompok I disuruh melihat perilaku model, yaitu sekelompok orang
dewasa yang berebut menyerbu bola. Kemudian kelompok II tidak disuruh
melihat model. Kemudian kelompok I dan II disuruh memasuki suatu ruangan
yang didalamnya terdapat boneka yang lucu-lucu. Hasilnya terdapat perbedaan
perilaku anak dari kelompok I dan II. Kelompok I secara beramai-ramai menyerbu
boneka dan kelompok II tidak menyerbu boneka. Kesimpulan yang dapat diambil
dari percobaan itu ialah bahwa derajat imitasi (peniruan) dari anak sangat
tergantung dari dua hal yaitu:
1. Karakteristik penonton : anak yang memerhatikan dengan sungguhsungguh perilaku sebuah model, cara menirunya berbeda dengan yang
tidak sungguh-sungguh.
2. Karakteristik model : model yang disenangi atau mempunyai status
tertentu, lebih diperhatikan dari pada model yang pribadinya tidak
disenangi atau kurang bermanfaat bagi anak.
36
Dalam teori belajar observasional memberikan sebuah kerangka teoritis
untuk melihat pengaruh eksposur kekerasan dalam video game terhadap perilaku
agresif. Dalam teori belajar observasional, video game merupakan salah satu
contoh model yang ada disekitar individu. Adegan kekerasan dalam video game
jenis kekerasan, seperti pembunuhan, perusakan, dan perilaku lain yang
mencelakakan atau menyakiti subjek atau orang lain adalah bagian yang
umumnya dianggap menarik dalam sebuah tayangan video game (Baron, dkk,
2006). Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan
orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi
alternatif
(Bandura,
1986). Kekerasan bukan hanya
digambarkan bisa
membuahkan hasil, tetapi juga sering dipakai oleh tokoh pahlawan, yang
menghabisi musuhnya dengan cepat seolah-olah nyawa tidak ada harganya sama
sekali. Adegan-adegan kekerasan dalam video game digemari pemain sehingga
frekuensi dan intensitas kemunculannya makin meningkat. Oleh karenanya model
berupa kekerasan yang ditampilkan dalam video game dapat menjadi teladan
perilaku agresif bagi pemainnya. Anderson & Dill (2000) menyatakan bahwa efek
bermain video game jenis kekerasan memiliki potensi merugikan yang lebih besar
dibandingkan kekerasan di film bioskop atau di televisi. Hal ini disebabkan
pertama, bermain video game mengharuskan pemainnya mangadopsi peran
penyerang dan bertindak menurut sudut pandang penyerang di sepanjang
permainan. Kedua, video game memaksa pemain untuk berpartisipasi aktif dan
bukan sekedar menjadi penerima pasif. Ketiga, permainan itu bersifat adiktif
37
(menimbulkan ketergantungan) karena mediumnya tersedia secara konstan dan
bersifat menguatkan.
Dengan mengacu pada teori Bandura, dalam penelitian ini peneliti
membuat definisi operasional bahwa eksposur kekerasan dalam video game
didefinisikan sebagai frekuensi dan intensitas seseorang bermain video game jenis
kekerasan sehingga dapat mengimitasi atau meniru agresi yang dilihatnya. Dalam
hal ini frekuensi diartikan sebagai keseringan atau lama waktu yang dibutuhkan
oleh individu dalam bermain video game. Intensitas adalah tingkat atau kadar
kekerasan yang diterima oleh individu dari tayangan video game. Imitasi atau
meniru adalah suatu proses melakukan tindakan maupun aksi (atensional, retensi,
reproduksi dan motivasi) seperti yang dilakukan oleh model berupa video game
berjenis kekerasan.
2.2.5. Pengukuran Eksposur Kekerasan dalam Video game
Pengukuran eksposur terhadap kekerasan
video game mengikuti
perhitungan eksposur terhadap kekerasan pada studi yang dilakukan oleh
Anderson & Dill (2000). Subjek diminta untuk menyebutkan lima game favorit,
kemudian subjek diminta menilai tingkat kekerasan pada masing-masing item
dengan menggunakan skala Likert dari 1 hingga 5. Angka 1 mewakili tidak ada
agresi (0%), angka 2 mewakili terdapat sekitar 25% agresi terjadi dalam
permainan, angka 3 mewakili 50% agresi terjadi dalam permainan, angka 4
mewakili 75% agresi terjadi dalam permainan, dan angka 5 mewakili agresi
terjadi disepanjang permainan (100%). Rating yang diberikan siswa kemudian
38
dikalikan dengan frekuensi bermain game tersebut dalam satu minggu dalam
satuan jam. Selanjutnya, rata-rata hasil kali antara frekuensi dan tingkat kekerasan
dari kelima item tersebut dihitung sebagai nilai eksposur kekerasan dalam video
game.
2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Berkaitan dengan penelitian ini yaitu hubungan eksposur kekerasan dalam
video game dengan perilaku agresif salah satu faktor yang ditengarai berpengaruh
terhadap perilaku agresif remaja adalah faktor permainan pada video game
ataupun tayangan televisi yang menampilkan adegan kekerasan. Perilaku agresif
yang muncul di media elektronik sering dihubungkan dengan agresif di dunia
nyata. Tanggal 20 April 1999 dua orang pelajar Columbine High School,
Colorado, AS, Eric Harris dan Dylan Klebod, secara membabi – buta
menembakkan senapan mesin ke arah teman-temannya, kemudian pelajar tersebut
bunuh diri setelah menewaskan 13 orang dan melukai 23 lainnya. Salah satu
penyebab terjadinya peristiwa tersebut adalah video game yang mengandung
unsur kekerasan yang tinggi yang berjudul Doom sebuah permainan yang
mengajarkan bagaimana membunuh lawan dengan efektif (www.kompas.com).
Dari hasil survey awal yang dilakukan Kumoro ( 2008 ) terhadap 25 remaja di
salah satu kecamatan di wilayah Sidoarjo menunjukkan bahwa sebanyak 13
pelajar pernah berkelahi di sekolah dan merusak barang-barang yang ada bila
sedang marah. Dari hasil survei juga diketahui bahwa sebanyak 13 orang siswa
senang bermain video game jenis kekerasan dan pernah meniru adegan-adegan
39
yang dilakukan oleh karakter dalam beberapa game tersebut seperti memukul dan
menendang orang lain
Perilaku agresif yang sering muncul di media elektronik sering dihubunghubungkan dengan perilaku agresif di dunia nyata. Hal itu ditegaskan dalam
penelitian terbaru di Amerika Serikat dan dipublikasikan di jurnal Pediatrics oleh
Michelle L.Ybarra (2007) dari lembaga internet solution for kids, bahwasanya
perilaku agresif di dalam media berhubungan dengan perilaku agresif yang serius
di kalangan remaja. American Academy of Pediatric menyatakan bahwa, perilaku
agresif di media merupakan faktor utama agresivitas di kalangan remaja. Adapun
dalam survey terbaru pada 1.558 remaja usia 15 sampai 18 tahun, diteliti
hubungan antara agresivitas di dunia nyata seperti banyak yang bertemakan
kekerasan, seperti memukul, menendang, menembak lawan, mencuri ataupun
menyerang secara seksual. Para peneliti menyimpulkan, responden yang
mengakses situs yang menampilkan perkelahian, penembakan, dan pembunuhan
maka lima kali berpotensi terlibat tindak kekerasan di dunia nyata daripada
mereka yang tidak mengakses situs semacam itu. Media lainnya seperti televisi,
film, musik, dan game yang berpengaruh terhadap agresivitas remaja (Kristo,
2008)
Bandura (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa pengamatan atau
observasi terhadap tingkah laku sebuah model akan membentuk perilaku pada
sang pengamat. Perilaku agresif yang dilakukan oleh model juga akan membentuk
perilaku agresif pada sang pengamat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
eksposur kekerasan dalam video game mempunyai hubungan yang signifikan
40
dengan perilaku agresif pada pemainnya. Lusiana (2009) menyatakan ada
perbedaan yang signifikan pada remaja yang bermain game online jenis agresif
dan non agresif dengan tingkat perilaku agresif. Giarti (2008) dalam penelitiannya
yang berjudul “ video game jenis kekerasan dan agresivitas anak” yang
mengambil sampel kelas V SD di gugus Yos Sudarso Salatiga, menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara video game jenis
kekerasan dengan agresivitas anak yang ditunjukkan dengan korelasi sebesar
0,318 dengan tingkat signifikansi 0,000.
Bertentangan dengan itu, penelitian lain menunjukkan bahwa video game
tidak mempunyai hubungan dengan agresivitas. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rani Desai di Yale University, Amerika Serikat, menunjukkan
bahwa sebagian besar remaja yang sering bermain video game tidak akan memicu
dirinya memiliki perilaku buruk. Penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam dan
di luar pribadi seorang anak itu sendiri, video game tampaknya tidak berbahaya
untuk mereka (www.healthday.com). Hasil penelitian Kumoro (2008) mengenai
“Hubungan antara frekuensi bermain video game jenis kekerasan dengan
kecenderungan agresi ” yang mengambil sampel penelitian siswa laki-laki kelas II
SMU Trimurti Surabaya yang senang bermain video game. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa frekuensi bermain video game jenis kekerasan mempunyai
hubungan yang tidak signifikan dengan kecenderungan agresi {p (0,102) > 0,05}.
Hasil ini dikarenakan subjek yang diteliti lebih menyukai game jenis olah raga
bola.
41
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut :
Ada hubungan yang signifikan antara eksposur kekerasan dalam video
game dengan perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Suruh Kabupaten
Semarang.
42
Download