1 EFEKTIFITAS PENGELOLAAN PENYAMPAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM OLEH POLRES HALMAHERA TIMUR The Effectiveness of the Management of Expressing Opinion in Public Abdul Hafidz, Musakkir dan Marthen Arie ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) perilaku hukum masyarakat Halmahera Timur saat menyampaikan pendapat di muka umum, 2) efektifitas pengelolaan fungsi hukum fasilitatif dalam pengelolaan penyampaian pendapat di muka umum oleh Polres Halmahera Timur. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Halmahera Timur yang meliputi Polres Halmahera Timur dan beserta jajarannya dan di Kecamatan Maba Selatan. Sampel dipilih secara acak sebanyak 75 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, kuesioner, dan pengamatan langsung. Data yang diperoleh di analisis secara kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan oleh Polres Halmahera Timur mengedepankan fungsi hukum fasilitatif sangat efektif dipergunakan dalam menghadapi masyarakat yang menyampaikan pendapat di muka umum, karena lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dimana hukum dihadapkan ke masyarakat dan bukan ke negara, sehingga keamanan dan ketertiban di masyarakat dapat terjaga. Kata Kunci : Menyampaikan Pendapat, Fungsi Hukum ABSTRACT The aims of the research are to investigate (1) the legal behavior of East Halmahera community when expressing opinion public, and (2) the effectiveness of the management of facilitative legal function in the management of expressing opinion in public by East Halmahera District Police. The research was conducted in East 'Halmahera Regency involving District Police of East Halmahera and its whole officials and South Maba District. The sample consisted of 75 people selected by using random sampling method. The methods of collecting the data were interview, questionnaire, and direct observation. The data were analyzed quantitatively. The results reveal that the management of expressing opinion in public done by East Halmahera District Police put forward the facilitative legal function which is very effective to use in dealing with people who are expressing their opinions in public because it gives more priority to public interest in which law is intended for community interest and not for state interest so that the security and public order can be maintained. Keywords : expressing opinion public, legal function PENDAHULUAN Kebebasan mengeluarkan pendapat dimuka umum di dalam konstitusi Indonesia UndangUndang Dasar 1945 pasca Amandemen kedua telah diatur dalam pasal 28E ayat (3) yang menyatakan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Disini maksud setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat berbentuk ungkapan atau pernyataan dimuka umum atau dalam bentuk tulisan ataupun juga dapat berbentuk sebuah aksi unjuk rasa atau demonstrasi. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum pada Pasal 1 menyatakan bahwa Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak 2 setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat, mewujudkan iklim yang kondusif bagi perkembanganya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi, dan menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok. Berbagai aksi penyampaian pendapat dimuka umum sejak era reformasi yang dilakukan oleh masyarakat luas maupun kelompok kecil, baik dilakukan secara damai maupun anarkis antara lain unjuk rasa Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, Front Hisbullah dan FPI Surakarta (FPIS) didepan Gedung DPR RI (15 oktober 2001) yang berakhir dengan pembubaran paksa oleh Polda Metro Jaya serta mengakibatkan puluhan demonstran luka-luka termasuk wartawan, lima mobil dan tiga motor rusak serta dua belas orang ditahan. Kejadian lainnya, demo mahasiswa pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka The 2nd International Junior Science Olympiad di Yogyakarta yang dibubarkan Poltabes dengan alasan tanpa pemberitahuan. Di Maluku utara yang paling menonjol adalah aksi penyampaian pendapat dimuka umum yang dilakukan oleh massa AGAR sebanyak 186 kali dalam kurun waktu tahun 2007 s/d 2008 terkait Pemilukada Maluku Utara. Secara khusus, penyampaian pendapat dimuka umum di wilayah Halmahera timur antara lain; unjuk rasa mencermati proses rekrutmen pegawai pemerintahan daerah yang disinyalir terdapat unsur KKN. Aksi ini berakhir dengan penyegelan kantor Bupati Halmahera Timur. Contoh lainnya, unjuk rasa menuntut percepatan penyerahan tersangka penganiayaan atas nama Rudi Erawan yang berakhir dengan pemblokiran jalan masuk dari SofifiMaba dan pemblokiran akses jalan menuju bandara. Tugas pokok Kepolisian sesuai dengan Pasal 13 UU Nomor 2 tahun 2002, bila dikaitkan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 dijelaskan bahwa polisi berkewajiban untuk melayani aksi tersebut dengan tindakan pengawalan dan sebelum para demonstran melaksanakan aksi penyampaian aspirasi adalah berkewajiban untuk memberitahu sebelumnya kepada pihak berwajib yang dalam hal ini Polri setempat kaitan rangkaian kegiatan demo, tempat berkumpul awal, jumlah pendemo, siapa pengkoordinir para pendemo, sarana dan prasarana dalam mendukung aksi tersebut, sasaran tempat tujuan, termasuk juga bila diperlukan melaporkan siapa saja yang akan memberikan materi dalam unjuk rasa tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 10 UU No.9 Tahun 1998. Kepolisian Daerah Maluku Utara (Polda Maluku Utara) merupakan satuan kewilayahan Polri yang memiliki wilayah hukum propinsi Maluku Utara dan memiliki 8 (delapan) Kepolisian Resor yakni Polres Ternate, Polres Tidore, Polres Halmahera Timur, Polres Halmahera Utara, Polres Halmahera Selatan, Polres Halmahera Barat, Polres Halmahera Tengah, Polres Sula. Polres Halmahera Timur memberikan pelayananan yang Humanis terhadap demonstran/pengunjuk rasa sehingga mereka benar-benar terlindungi dalam aksi penyampaian pendapatnya di muka umum baik aksi tersebut disampaikan/ diberitahu dulu kepada pihak Polres Halmahera Timur ataupun tidak. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat semata dengan pengedepanan diskresi tindakan kepolisian dengan penganalisaan secara matang sejalan dengan akselerasi program transformasi yang diterapkan Polri. Pelaksanaan pelayanan terhadap aksi unjuk rasa di wilayah hukum Polres Halmahera Timur melibatkan satuan fungsi Kepolisian yang ada di Polres Halmahera Timur beserta jajaran Polsek dimana manajemen penanganan dikendalikan Kabag Ops Polres Halmahera Timur atas petunjuk Kapolres. Penanganan yang diterapkan adalah pengedepanan fungsi hukum fasilitatif dengan barometer terukur berdasar ekskalasi dan de-ekskalasi pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. 3 Konsep Dasar Hak Azasi Manusia dan Dasar Hukum yang Mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU No. 39 Tahun 1999 (Tentang Hak Asasi Manusia), Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. John Locke berpendapat bahwa Hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Pendapat Koentjoro Poerbapranoto (1976), Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hakhak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Pengertian kemerdekaan menyampaikan pendapat, lebih tepatnya jika dikaji secara etimologi (kebahasaan). Kemerdekaan berarti keadaan tanpa tekanan/ bebas. Untuk pendapat padat diartikan sebagai gagasan atau buah pikiran bebas. Berpendapat berarti mengemukakan pikiran atau mengeluarkan gagasan. Dengan demikian, kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah keadaan bebas dari tekanan untuk mengemukakan gagasan atau buah pikiran, baik secara lesan maupun tertulis. Menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh mahkluk hidup yang bernama manusia. Semua manusia memiliki hak-hak yang melekat dalam dirinya dan hak tersebut merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha kuasa. Hak yang melekat dalam diri manusia biasa disebut dengan hak asasi manusia. Kemerdekaan berpendapat merupakan salah satu ciri kebebasan yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia. Kemerdekaan berpendapat akan mendorong masyarakat untuk menghargai perbedaan pendapat dan saling kritik sehingga dimungkinkan adanya dialog yang dinamis ke arah kemajuan cara berpikir masyarakat sehingga negara menjadi lebih demokratis. Konsep Perlindungan Hukum Polri dalam Penanganan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Kunarto (1997:52) dengan mengutip kamus Belanda Kramers, menjelaskan makna dari polisi sebagai system, organ dan fungsi, adalah: 1. Tata pemerintahan yang menjamin tata tertib umum dan keselamatan dari orang perorang dengan segala miliknya; 2. Suatu korps pegawai negara yang ditugaskan untuk itu; 3. Dalam pemerintahan negara atau kota, yang menyelenggarakan ketertiban rakyat, yang menyelenggarakan ketertiban rakyat yang ditujukan ketertiban, keamanan dan keselamatan. Undang-undang kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 diatur mengenai tugas Polri. Tugas pokok Polri diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sebagaimana saya jelaskan dalam bab I. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, yang sifatnya masih sangat umum dan luas, maka tugas pokok tersebut diperjelas dalam pasal 13 (1) berbunyi : Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. melaksanakan peraturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 4 d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolsian khusus penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratirium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/ atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasai manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Suparlan (2004: 72) bahwa: Fungsi polisi dalam masyarakat adalah sebagai pengayom dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu rasa aman serta merugikan secara kejiwaan dan materil dengan cara memelihara keteraturan dan ketertiban social, menegakkan hukum atau lebih tepatnya menegakkan keadilan dalam masyarakat berdasarkan hukum, mendeteksi serta mencegah terjadinya kejahatan. Kewenangan Polri tertuangkan dalam pasal 15 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 yang berbunyi : Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Repuklik Indonesia secara umum berwenang : a. menerima laporan dan/ atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kestauna bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggrakan pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiaatn masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Perlindungan hukum adalah suatu Proses, cara atau tindakan yang konsisten untuk menimbulkan/memberikan rasa aman sebagai penghargaan hak-hak individu guna menciptakan lingkungan yang kondusif, mencegah dan/atau menghapuskan dampak langsung dari pola kekerasan tertentu, dan memperbaiki kondisi hidup yang dilakukan secara preventif serta represif. 5 Menurut Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. bahwa salah satu alat bagi penegak hukum untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam menciptakan hukum yang bermatabat adalah dengan cara lebih memahami adanya 3 (tiga) jenis ilmu hukum dan juga 3 (tiga) jenis pendekatan dalam ilmu hukum. 3 (tiga) Jenis ilmu hukum yaitu : 1. Ilmu tentang asas-asas fundamental di bidang hukum (Beggriffenwissenscheft); 2. Ilmu tetang norma hukum dan aturan hukum (Normwissenschaft); 3. Ilmu tentang perilaku hukum, tindakan hukum dan realitas hukum (Tatsacherwissenschaft). Polri pada umumnya masih perlu melakukan pembenahan untuk berubah menjadi polisi yang sipil dan demokratis dalam penanganan penyampaian pendapat dimuka umum. Polri telah menyiapkan piranti hukum melalui Peraturan Kapolri 1). Perkap No. 6/2005 ttg Pedoman Tindakan Bg Anggota Polri Dlm Gunkuat Polri. 2). Perkap No. 14/2005 ttg Pedoman Perilaku Angt Polri Sbg Lind, Yom, & Yanmas 3). Perkap No. 16/2006 ttg Pedoman Dalmas. 4). Perkap No. 9/2008 ttg Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di muka Umum. 5). Perkap No. 1/2009 ttg Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. 6). Perkap No. 8/2009 ttg Pedoman Dasar Implementasi Prinsip & Standar HAM dlm Penyelenggaraan Tugas Polri 7). Protap Kapolri No. 1/2010 ttg Penanggulangan Anarki. Teori Penegakan Hukum Soerdjono Soekanto merumuskan bahwa secara konsepsional hukum dalam arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidahkaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.. Menurut teori penegakan hukum bahwa hukum dapat ditegakkan di masyarakat itu tergantung pada 3 (tiga) sisi yaitu : 1. Materi hukum; 2. Aparat penegak hukum; 3. Kesadaran hukum masyarakat. Menurut Soekanto bahwa dalam kesadaran hukum terdapat 4 (empat) indikator yaitu : 1. Pengetahuan hukum; 2. Pemahaman hukum; 3. Penilaian dan sikap terhadap hukum; 4. Ketaatan hukum. Selanjutnya bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga Negara. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum adalah : 1. Faktor hukum atau perundang-undangan; 2. Faktor penegakan hukum; 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, lingkungan yang menjadi tempat hukum diberlakukan dan diterapkan; 5. Faktor Kebudayaan, karya, cipta, dan rasa manusia yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Teori Efektifitas Hukum Dalam Teori hukum, dibedakan antara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut: 1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah 6 ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat. 2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). 3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Soeryono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu: 1. Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat. 2. Teori pengakuan, (Annerkennungstheorie). Kaedah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakan tempat hukum itu berlaku. METODE PENELITIAN Pengambilan sumber data penelitian ini menggunakan teknik “purposive sampling” dengan populasi meliputi unsur pimpinan dipolres Halmahera timur tiap satuan/ bagian dalam polres, pelaksana satuan/ bagian yang menangani/ memiliki peran dalam menghadapi para pengunjuk rasa serta polsek jajaran Polres Halmahera timur dan peserta demonstrasi serta peserta non demonstrasi sebanyak 750 Orang. Sampel ditetapkan dengan teknik non random sampling (tanpa rambang) secara purposive (sengaja) sebanyak 75 orang yang terdiri dari aparat penegak hukum sebanyak 25 orang antara lain Kapolres, Wakapolres, Kabag Ops, Kabag Binamitra, Kasat Samapta, Kasat Intel, Kasat Lantas, Kapolsek Wasile Selatan, Danton Dalmas, Bintara Identifikasi, Bapul Baket Polsek Maba Selatan, Kanit Lidik Reskrim, Kanit Lidik Intelkam serta beberapa perwakilan anggota Dalmas dan 25 orang yang sering melakukan demonstrasi serta 25 orang perwakilan kelompok masyarakat diluar pendemo. Sumber data yang dipakai diperoleh dari 2 sumber yaitu data primer melalui hasil observasi dan wawancara dan data sekunder meliputi bahan pustaka yakni bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan data penelitian dengan cara, antara lain: 1. Pengamatan merupakan metode yang penting dalam kegiatan pengumpulan data pada penelitian, bahkan pengamatan dikatakan telah dikarakterisasi sebagai metode dasar yang fundamental dalam ilmu-ilmu sosial dan perilaku sebagai mainstray of the etnographic enterprise (Cresswell, 2002). Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan terhadap para aktor yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 2. Wawancara yang tidak berstruktur atau tidak berpatokan. 3. Kuesioner yaitu berupa daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis sesuai penelitian yang dilakukan. Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, maka dalam menganalisa data digunakan adalah analisis kualitatif mengingat analisis ini digunakan terhadap data yang tidak dapat dikuantifikasi seperti bahan pustaka, hasil wawancara yang diperoleh dari responden. Analisis ini mempergunakan data sekunder seperti data yang telah diperoleh dari kajian dan penelusuran tentang penemuan asas dan dokrin hukum. 7 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Situasi Penyampaian Pendapat di Muka Umum Perkembangan situasi dalam kehidupan bermasyarakat akan mengalami peningkatan seiring dengan adanya aktifitas tertentu yang menjadi perhatian masyarakat seperti kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dengan melakukan aksi unjuk rasa dari suatu kelompok atau elemen tertentu. Aliansi Pemerhati Masyarakat Halmahera Timur (AMPERA), sebagai salah satu organisasi masyarakat yang berada di Halmahera Timur beserta masyarakat sekitar akan melaksanakan aksi unjuk rasa pada waktu, tempat dan serta maksud sesuai dengan surat pemberitahuan yang telah disampaikan kepada Pihak Polres Halmahera Timur. Dengan adanya aksi unjuk rasa, dapat menimbulkan gangguan kamtibmas sehingga mengakibatkan kegiatan tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik dan lancar sehingga menimbulkan gangguan kamtibmas yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa maupun materiil serta terganggunya kamtibcar lantas. Dari situasi diatas, maka gangguan kamtibmas yang diprediksikan akan timbul antara lain : 1) Kemacetan arus kendaraan baik menuju maupun keluar lokasi kegiatan unjuk rasa. 2) Kecelakaan Lalulintas yang mengakibatkan korban jiwa / materiil. 3) Pencurian kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat yang diparkir. 4) Penganiayaan/konflik antar massa pengunjuk rasa dengan kelompok /komunitas sasaran unjuk rasa. 5) Pengrusakan terhadap sarana/prasarana umum maupun kendaraan yang disebabkan sikap emosional massa pengunjuk rasa yang kecewa karena tidak bisa bertemu dengan obyek aksi unjuk rasa ataupun tidak puas karena apa yang disampaikan tidak dapat dipenuhi. 6) Penganiayaan yang dimulai dan diakibatkan karena mengkonsumsi minuman keras selama pelaksanaan aksi unjuk rasa. Hasil Observasi Titik lokasi penyampaian pendapat tanggal 13-15 Januari 2009 di Kantor Bupati Halmahera Timur yang lama, Tanggal 11 Januari 2010 di kantor DKP Kab Halmahera Timur, tanggal 27 s/d 29 Januari 2010 di halaman Kantor Bupati Halmahera Timur baru, tanggal 3-5 februari 2010 di PT MPR Maba, tanggal 12-15 maret 2010 di PT KPT wasile selatan, tanggal 07 juni 2010 di kota maba dan pulau pakal maba, tanggal 14 Juni 2010 di PT. Antam Tbk Divisi Maluku Utara, tanggal 21-25 juli 2010 di PT KPT wasile selatan, tanggal 26 juli 2010 di DPRD Kab Haltim, tanggal 27 juli 2010 di PT STS Maba, tanggal 13-26 Agustus 2010 di buli maba, tanggal 16-20 agustus 2010 di PT KPT wasile selatan, tanggal 26-28 september 2010 di PT KPT wasile selatan, tanggal 20-22 oktober 2010 di PT KPT wasile selatan. Terhadap aksi penyampaian pendapat di muka umum tersebut, kecuali aksi tanggal 13-15 januari 2009 tidak ada perlawanan pasif, aktif maupun agresif yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan. Sesuai Renpam Unras Nomor: 03/I/2010/Polres Haltim bahwa mekanisme pengamanan pelaksanaan unjuk rasa dengan pengedepanan fungsi pelayanan yang baik, prima, tepat sasaran untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Halmahera Timur khususnya masyarakat Maba kota serta tegaknya hukum maka dilaksanakan dengan cara pengamanan terbuka (300 personel) diperbanyak (Polisi yang memakai seragam, atribut lengkap, dilengkapi tongkat, tameng, tali, kendaraan dinas, megaphone dll ) dan metodenya yaitu bersikap bersahabat (ramah, humanis, lugas dan tegas) dengan pendemo dan pengamanan tertutup yang berjumlah 10 orang (anggota Intel untuk mencari baket lengkap dan anggota Reskrim sebagai tim identifikasi/ pemotretan). Hasil Wawancara Polres Haltim dalam menangani unjuk rasa/demo dalam menyampaikan pendapat dimuka umum mempedomani Pasal 28 UUD Tahun 1945, UU No.9 Tahun 1998, UU No.9 Tahun 1999, UU No.2 Tahun 2002. Karena penyampaian pendapat dimuka umum adalah sah dan menjadi hak individu manusia dan telah diatur dalam undang-undang, dan menjadi tugas Polres untuk melayani 8 aksi tersebut dengan baik sesuai fungsi dan tugas pokok Polri. Pendekatan humanis sangat penting dilakukan dalam pelayanan terhadap penyampaian pendapat dimuka umum karena para penyampai pendapat dimuka umum haknya telah dilindungi undang-undang. Efektifitas pengelolaan yang dilakukan oleh polres Halmahera timur dengan pola fasilitasi kepada pendemo sesuai dengan sebaran kuesioner yang diperuntukan kepada perwakilan orang yang pernah melakukan demonstrasi diwilayah Halmahera timur serta masyarakat lain yang tidak terlibat demo dan aktifitas kesehariannya pernah bersinggungan dengan para pendemo dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1 Distribusi frekuensi penilaian responden terhadap pengelolaan Polres Halmahera timur kepada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di muka umum di wilayah Halmahera timur Kategori jawaban Sikap responsif, humanis, simpatik, bersahabat Biasa saja Arogan, sok kuasa, represif Jumlah Sumber: data Primer 2010 Kode isian frekuensi persentase 3 35 70 % 2 1 13 2 50 26 % 4% 100 % Tabel 1 menunjukan bahwa penilaian responden terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh Polres Halmahera timur dengan mengedepankan fungsi hukum fasilitatif kepada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di muka umum di wilayah Halmahera timur yang menjawab mereka mendapat pelayanan dengan Sikap responsif, humanis, simpatik, bersahabat oleh anggota Polres Halmahera Timur sebanyak 35 orang (70%), yang menjawab mendapat pelayanan biasa saja 13 orang (26%) dan sebanyak 2 orang (4%) yang menjawab mendapat pelayanan arogan, sok kuasa, represif. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Polres Haltim bekerja sama dengan tokoh pimpinan pendemo untuk dapat mengendalikan para peserta penyampai pendapat dimuka umum untuk berperilaku patuh dengan cara kehadiran personil berseragam, sikap dan prilaku humanis, penuh persahabatan, memperkenalkan tugasnya ke pendemo, memberitahukan, mengarahkan, bahkan menyampaikan konsekwensi hukum bila kaidah penyampaian pendapat dilanggar, dan masih banyak metode dari polres Halmahera timur untuk membuat mereka patuh saat berdemo. Dalam hal pengendalian massa yang anarkis polres Haltim berpedoman pada protap Kapolri 01/X/2010 penggulangan anarkis dimana perlindungan akan HAM tetap lebih diutamakan sehingga ada eskalasi dan de-eskalasi penanganannya tergantung perilaku penyampai pendapat dimuka umum. Polres Halmahera Timur tidak pernah mendapati peserta penyampai pendapat dimuka umum di wilayah Hukum Halmahera timur membawa senjata tajam yang secara khusus dipersiapkan untuk perlawanan. Perilaku/ sikap pendemo berdasarkan penggolongan oleh Polri dapat dilihat di tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Distribusi frekuensi penilaian responden (Polri dan masyarakat non demo) terhadap perilaku/ sikap masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di muka umum dengan pengelolaan fasilitasi oleh Polres Halmahera Timur Kategori jawaban Patuh Patuh belum membuat keputusan melawan Tindakan/ perlawanan pasif Tindakan/ perlawanan aktif Tindakan/ perlawanan agresif Tindakan agresif, melukai, Kode isian 6 frekuensi 20 persentase 40 % 5 20 40 % 4 3 2 1 10 - 20 % 9 membahayakan kesusilaan jumlah Sumber: data Primer 2010 kehormatan 50 100 % Tabel 2 menunjukan bahwa frekuensi penilaian responden (Polri dan masyarakat non demo) terhadap pengelolaan fasilitasi oleh Polres Haltim menunjukkan bahwa 40 % menjawab para pendemo bersikap patuh, para pendemo berperilaku Patuh belum membuat keputusan melawan sebanyak 20 orang (40%) dan sebanyak 10 orang (20%) menjawab para pendemo berperilaku tindakan/ perlawanan pasif. Pengelolaan oleh Polres Halmahera Timur Mekanisme pengamanan pelaksanaan unjuk rasa dengan pengedepanan fungsi hukum fasilitatif dengan pelayanan yang baik, responsif, humanis, simpatik, prima, bersahabat, tepat sasaran untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Halmahera timur serta tegaknya hukum. Perlibatan tokoh masyarakat (tomas) untuk mengurangi jumlah masyarakat pendemo, bersama polri menjaga/ menciptakan harkamtibmas wilayah. Sedangkan perlibatan sat pol PP bila aksi demo dilaksanakan pada kantor pemerintahan daerah. Perlibatan brimob sebagai tim tindak bila massa sudah anarkis, perlibatan TNI sebagai standby on call. Selain penggunaan aspek yuridis dalam hal ini UU, aspek lainnya (sosiologis, filosofis) juga harus digunakan untuk mengimbangi dinamika hukum dimasyarakat yang semakin maju. Mengingat jumlah pendemo memiliki kuantitas besar, oleh karena itu semestinya kekuatan polri yang bertugas mengamankan aksi penyampaian pendapat dimuka umum harus lebih banyak dari pada pendemo. Perbandingan ideal 2 polisi mengamankan 1 pendemo. Pengembangan model fasilitasi ternyata efektif, sebagaimana pendapat Hengki Poerwanto, bahwa fasilitasi lebih efektif dari pada represif untuk meredam demo mengingat fasilitasi mengedepankan negoisasi, mediasi untuk cipta harkamtibmas yang kondusif diwilayah. Tinjauan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Menjamin Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan menyatakan kehendak yang dilakukan oleh masyarakat Halmahera Timur merupakan salah satu hak dasar dari warga Negara Indonesia dan diakui serta dijamin oleh undang-undang Republik Indonesia. Kebebasan menyatakan pendapat yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat Halmahera Timur dengan kurun waktu tahun 20092010 berbentuk unjuk rasa, demonstrasi atau pengerahan massa namun tidak melanggar kebebasan orang lain dalam menjalankan aktifitas keseharian dan tidak pernah menimbulkan ekses besar kerugian kepentingan publik secara luas dengan pengaturan serta pelayanan oleh polres Halmahera Timur. Kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum yang dilakukan oleh masyarakat Halmahera Timur ditahun 2009-2010 selalu mendapat perlindungan hukum oleh Kepolisian resort Halmahera Timur. Perlindungan hukum yang dilakukan dengan tindakan yang konsisten untuk menimbulkan/memberikan rasa aman sebagai penghargaan hak-hak individu guna menciptakan lingkungan yang kondusif, mencegah dan/atau menghapuskan dampak langsung dari pola kekerasan tertentu, dan memperbaiki kondisi hidup yang dilakukan secara preventif serta represif sehingga titik temu tercapai dimana; 1) hak untuk mengemukakan pendapat telah dilaksanakan oleh masyarakat penyampai aspirasi (Pasal 5 UU No.9 Tahun 1998), 2) aturan yang mengatur tentang pelaksanaan penyampaian pendapat dimuka umum ditaati dengan baik (Pasal 6, 9 (2), UU No.9 Tahun 1998), 3) ada polisi yang melakukan pelayanan terhadap aksi tersebut(dengan prosedur yakni melalui piranti hukum Peraturan Kapolri 1). Perkap No. 6/ 2005 ttg Pedoman Tindakan Bg Anggota Polri Dlm Gunkuat Polri. 2). Perkap No. 14/ 2005 ttg Pedoman Perilaku Angt Polri Sbg Lind, Yom, & Yanmas 3). Perkap No. 16/ 2006 ttg Pedoman 10 Dalmas. 4). Perkap No. 9/ 2008 ttg Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di muka Umum. 5). Perkap No. 1/ 2009 ttg Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. 6). Perkap No. 8/ 2009 ttg Pedoman Dasar Implementasi Prinsip & Standar HAM dlm Penyelenggaraan Tugas Polri 7) Protap Kapolri No. 1/ 2010 ttg Penanggulangan Anarki dan atau diskresi dengan pertimbangan mengutamakan kepentingan umum), 4) masyarakat lain yang menginginkan keamanan dan ketertiban terwujud atas pola pengamanan yang humanis oleh polres Halmahera Timur. Dengan demikian akan terwujud dilingkungan tersebut hukum yang bermatabat mengingat pemahaman akan ilmu hukum disertai pendekatan ilmu hukumnya baik empiris, normatif, filosofis yang lebih memasukkan kajian sosiologi hukum dilakukan oleh Polres Halmahera Timur diimplementasikan secara proporsional dan harmonis. Penegakan Hukum Dalam Kasus Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pada tahap aplikasi, dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum ini sebelum melakukan kegiatan diharuskan untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian. Hal ini diatur dalam Pasal 10 UU No.9 Tahun 1998, antara lain: Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3X24 (tiga kali dua puluh empat jam) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Untuk masa-masa mendatang, pantas kiranya lebih diperhatikan peningkatan budaya hukum yang terkandung di dalam Undang-undang No.9 tahun 1998 sehingga penanganan kasuskasus kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, betul-betul dapat mencerminkan nilai-nilai substansial yang dikehendaki Undang-undang No.9 tahun 1998 pada khususnya dan perangkat peraturan perundang-undangan lainnya yang menyangkut penghargaan hak-hak asasi manusia pada umumnya di Indonesia. Proses penegakan hukum Undang-undang No.9 tahun 1998, kiranya pantas menjadi tolok ukur utama (corner stone) pembangunan sistem hukum beserta penegakan hukumnya dalam kerangka penghargaan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pada khususnya dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia pada umumnya di dalam konteks masyarakat bangsa ini di masa-masa selanjutnya. Faktor Budaya hukum (tercermin dalam wujud faktor politik, sosio-kultural dan masyarakat) yang belum sepenuhnya menunjang terselenggarakannya proses penegakan hukum Undang-undang No.9 tahun 1998 pada khususnya dan Undang-undang yang menyangkut HAM pada umumnya. Pengungkapan fakta penegakan hukum diatas menekankan perbandingan peran hakim dalam menangani perkara di berbagai negara dan indonesia, sungguh terdapat perbedaan profesional yang berbeda, namum semua pada dasarnya bermuara pada persoalan kesejahteraan yang akhirnya dapat menggoyahkan pesoalan profesionalisme. Berbeda dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh hakim, polisi sebagai perangkat pertama dalam hal pengamanan dan ketertiban serta penegakan hukum telah menghargai perundang-undangan yang berlaku, bahkan secara khusus pendekatan yang dilakukan oleh Polres Halmahera Timur membuat kreativitaskreativitas dengan melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Beberapa faktor yang menyebabkan suatu demonstrasi menjadi anarki antara lain: 1. Keinginan pengunjuk rasa atau demonstran yang tidak terpenuhi dan Hal ini sering sekali terjadi pada saat terjadi unjuk rasa. 2. Rendahnya kemampuan pengendalian massa oleh aparat keamanan, 3. Kurangnya koordinasi antara para pelaku unjuk rasa dengan aparat keamanan. 4. Personil polri yang melakukan tugas pengamanan tidak sebanding dengan kelompok masyarakat yang melakukan aksi penyampaian pendapat dimuka umum. 5. Cara pikir para para penyampai pendapat di muka umum yang menyimpang. 6. Faktor psikologis Mengikuti hasil kerja LeBon (1896) mengenai perilaku kerumunan (crowd behavior), para ahli psikologi sosial telah mengeksplorasi pendapat bahwa keanggotaan dalam kelompok anonim besar menyebabkan individu-individu didalamnya berperilaku lebih agresif dan lebih anti-sosial dibandingkan ketika ia seorang diri (Goldstein, 1994). 11 Tinjauan Efektifitas Hukum dalam Menjamin Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hukum secara efektif dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak dan untuk melihatnya maka hukum dijadikan sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut: 1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat. 2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). 3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut diatas. Jika tidak terpenuhinya salah satu unsur tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Beragam contoh penyampaian pendapat di muka umum yang terjadi di berbagai belahan bumi pertiwi yang berakhir dengan bentrokan, pembubaran paksa dan lain sebagainya dan ada kerugian didalamnya baik fisik, material, maupun lainnya menandakan hukum tidak berjalan sesuai yang dicita-citakan bersama hanya karena alasan normatif yaitu aksi tersebut tidak diberitahu sebelumnya, aksi tersebut dilakukan pada hari libur, maupun alasan-alasan normatif pihak aparat hukum yang tidak efektif diberlakukan saat ini mengingat dinamika kehidupan hukum dimasyarakat sudah maju pesat. Hal ini berbeda jauh jauh dengan pengelolaan pengunjuk rasa oleh Polres Halmahera Timur dimana pengedepanan fungsi hukum fasilitasi yang sesuai kaedah hukum diatas (yuridis, sosiologis, filosofis) telah dilaksanakan dengan baik (memenuhi rasa keadilan dan berlandaskan hati nurani) dan efektif (tidak memerlukan ongkos social yang tinggi) sehingga terpelihara keamanan dan ketertiban wilayah dan terpercayanya keberadaan Polri di Halmahera Timur. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perilaku pengunjuk rasa di wilayah hukum Polres Halmahera Timur selama ini menunjukkan sikap patuh hingga perlawanan pasif dalam menyampaikan pendapatnya di muka umum, tidak terdapat perlawanan aktif hingga agresif, sehingga tidak menimbulkan gerakan anarkisme. 2. Penegakan hukum dengan mengedepankan fungsi hukum sebagai fasilitator yang dikembangkan oleh Polres Halmahera Timur dengan mengarahkan, merencanakan, mengendalikan dan mengkoordinasikan secara baik dalam pengelolaan penyampaian pendapat di muka umum dengan bekerja sama dan melibatkan tokoh masyarakat, koordinasi antar instansi terkait, serta menjalankan penyesuaian atau negosiasi dengan tokoh dan penanggung jawab pengunjuk rasa baik yang memberitahukan aksinya ataupun tidak kepada pihak aparat penegak hukum lebih efektif dan menjadikan aksi penyampaian pendapat di muka umum tepat sasaran hingga agretifitas tindakan yang menimbulkan kerugian jiwa, harta benda dan psikologi tidak terjadi dalam penyampaian pendapat dan tercipta Harkamtibmas diwilayah tersebut. Saran Berbagai keterbatasan dalam penelitian ini, kita sadari bahwa lokasi wilayah penelitian hanya di wilayah hukum Halmahera Timur saja dengan karakteristik kepribadian manusianya yang terbatas, sehingga hasil penelitian ini bersifat spesifik, oleh karena itu perlu memperluas penelitian yang sejenis pada wilayah lain, sehingga kesimpulan dapat diberlakukan secara general. 12 Pelaksanaan fasilitasi yang dikembangkan oleh Polres Halmahera Timur perlu ditindaklanjuti dan dijadikan dasar dalam menangani penegakan hukum dalam penyampaian pendapat di muka umum dengan mengedepankan faktor sosiologis dan budaya, sehingga penegakan hukum tidak memerlukan tindakan represif yang akan membawa dampak kerugian yang besar dari berbagai pihak. DAFTAR PUSTAKA Finlay Mark, Zveki Uglesa, Alternatif Kegiatan Polisi Masyarakat Tinjauan Lintas Budaya, Jakarta: PT Cipta Manunggal, 1998. Goldstein, Herman “ Mengendalikan dan Mengkaji Kontak Polisi Penduduk ”. dalam Police Deviance (Penyimpangan Polisi). Editor, Thomas Barker dan David L. Carter. Penyadur. Kunarto. Jakarta : Cipta Manunggal, 1999. Henry J. Abraham, 1967. Freedom and Court Civil rights and Liberties in The United States, New York, Oxford University, hal. 125 : reedom to think as you will and to speak as you think are means. Ifdal Kasim, 2001. Editor, Hak Sipil dan Politik, Esai-esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, hal. XI-XIII. Irsan Koesparmono. Hukum Humaniter Sebagai Bagian dari Hukum Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ubhara Jaya, 2004. Kunarto. Etika Kepolisian. Jakarta: PT Cipta Manunggal,1997. Rahman, Fitriana Sidikah. “ Negoisasi dalam Pengendalian Unjuk Rasa oleh Tim Negoisator Polda Metro Jaya”. Sebuah Tesis dalam rangka mencapai Gelar Magister Sains, Jakarta, 2003. Santoso Thomas. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta : Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, 2002. Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Sosial. Jakarta. Balai Pustaka, 1996. Sekjen DPR RI, 1996. Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Jakarta, Maret, hal. 40. Sekjen DPR RI, 1999. Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapatdi Umum di Muka, Jakarta Maret, hal. 38-39. Skolnick J, Fyfe J.J. Brutalis Polisi, Penggunaan Kekerasan yang Berlebihan, Jakarta: PT Cipta Manunggal, 2001. Strauss, Alsem dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, tata langkah dan teknik-teknik teoritisasi data. Kamdani (penyuting), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005. Suparlan, Supardi. “ Diklat Metodologi Penelitian Kualitatif.’ Jakarta: Program Kajian Wilayah Amerika Program Pasca Sarjana. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta : Balai Pustaka, 2001. Undang- Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang- Undang No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Undang- Undang No 8 tahun 1985 Tentang organisasi kemasyarakatan. Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1986 tentang pelaksanaan Undang- Undang no 8 tahun 1985. Peraturan menteri dalam negeri No 5 tahun 1986 tentang ruang lingkup, tata cara pemberitahuan kepada pemerintah serta papan nama dan lambang organisasi kemasyarakatan.