BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak, Hak-hak Anak dan Kedudukannya dalam Aspek Sosiologis A.1. Defenisi Anak dan Anak Jalanan Konsep “anak” didefenisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak: anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak: anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dapat disimpulkan bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun yang belum mampu bertanggungjawab terhadap diri-sendiri dan masih berada di bawah tanggungan orang lain yaitu keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Anak adalah aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan besar sabagai generasi penerus bangsa. Peran strategi ini telah dikenal oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah deklarasi dan konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai mahkluk yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Anak adalah orang yang dianggap belum mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan masih berada di bawah tanggungan orang lain yaitu keluarga (orang tua), masyarakat, pemerintah. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa dan Sumber Daya Manusia yang berkualitas (Frans van Dijk,1999;3). Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum, yang masih berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan 12 Universitas Sumatera Utara kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilan yang tidak terurus dan mobilitasnya tinggi. Anak jalanan juga merupakan kelompok anak marginal perkotaan, yang melakukan kegiatan di jalan, pasar, terminal, tempat-tempat umum, baik mereka yang masih tinggal dengan orang tua maupun tidak (Depsos kerjasama YKAI,1999;57). Anak jalanan merupakan istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal. A.2. Hak-Hak Anak Dalam Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang hak-hak anak, dinyatakan seperti juga halnya orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia. Akan tetapi karena kebutuhan-kebutuhan dan kerawanannya maka hak-hak anak perlu diperlakukan dan diperhatikan secara khusus. Dalam Keputusan ini Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak-hak sebagai berikut, yaitu: Pertama, hak untuk hidup. Setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan akses atau pelayanan kesehatan dan menikmati standard hidup yang layak, termasuk makanan yang cukup, air bersih dan tempat tinggal. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan. Kedua, hak untuk tumbuh dan berkembang. Setiap anak berhak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Anak berhak memperoleh pendidikan baik formal maupun informal secara memadai. Konkritnya anak berhak diberi kesempatan untuk bermain, berkreasi, dan beristirahat. 13 Universitas Sumatera Utara Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan. Artinya setiap anak berhak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang dari segala bentuk diskriminasi. Ini juga berlaku bagi anak yang tidak lagi mempunyai orang tua dan anak-anak yang berada di kampung pengungsian. Mereka berhak mendapatkan perlindungan. Keempat, hak untuk berpartisipasi. Artinya setiap anak diberi kesempatan menyuarakan pandangan dan ide-idenya, terutama berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak (Konvensi Hak Anak, 1999). Dalam UU RI No.4 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar (Liliawaty M,1999;57). Jadi, pada dasarnya hak-hak pokok anak adalah hak untuk hidup yang layak, hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, hak untuk dilindungi, hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga yang baik dan berguna, hak untuk berperan serta, dan hak untuk memperoleh pendidikan. 14 Universitas Sumatera Utara A.3. Kedudukan anak dalam aspek sosiologis Kedudukan anak dalam aspek sosiologis menunjukkan anak sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Menurut kodratnya anak manusia adalah mahkluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna. Menurut Kartini Kartono (1998:125), anak manusia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat, tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan cultural sekelompok manusia, tak dapat dibayangkan adanya anak tanpa sesuatu lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Asosiasi dengan pendapat ini dikemukakan bahwa anak manusia itu bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan kedalam lingkungan manusia lain. Itulah sebabnya diperlukan pendidikan. B. Anak Jalanan, Penyebab dan Permasalahannya B.1. Anak Jalanan dan Pengelompokannya B.1.1. Anak Jalanan Bicara anak jalanan sudah merupakan kata yang biasa bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, 15 Universitas Sumatera Utara keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan, hingga kini merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat terhadapnya sangat rendah. Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia lazimnya. Sebab dalam anggapan mereka, anak jalanan adalah sampah yang tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat (Frans van Dijk, 1993;11). Jadi, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan, masih berusia 5-18 tahun dan melakukan kegiatan di jalanan, pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya. B.1.2. Pengelompokan Anak Jalanan Menurut yayasan kesejahteraan anak Indonesia (1999:22-24) anak jalanan dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali kerumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 16 Universitas Sumatera Utara 2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering kali diidentikkan sebagai pekerja migrant kota, yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek, penyapu mobil dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, mereka berada di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka kejalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran. 4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) kekota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung. Berdasarkan kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibagi kedalam tiga kelompok (Surbakti dalam Suyanto, 2001;41) yaitu : Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Anak jalanan pada kelompok ini membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan. 17 Universitas Sumatera Utara Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa anak masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Biasanya anak turun kejalanan disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh keluarga. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang pada kategori ini sangat rawan terhadap perilaku menyimpang, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, children from families on the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan segala resikonya. B.2. Penyebab Munculnya Anak Jalanan Faktor utama yang menyebabkan munculnya anak jalanan adalah kemiskinan. Keadaan ekonomi keluarga miskin akan menghasilkan daya beli keluarga yang lemah, kebutuhan pokoknya saja tidak dapat terpenuhi dengan baik. Kondisi seperti ini akan sangat rawan, terlebih jika keluarga tidak mampu mendiami rumah yang layak, bahkan hanya menempati gubuk darurat yang umumnya tersebar dalam kawasan daerah kumuh, maka hal ini sangat menunjang banyaknya anak yang lebih memilih untuk hidup di jalan (Fanggidae, 1993:117). Kemiskinan keluarga telah mendorong orang tua untuk memaksa anak bekerja. Kurangnya keterampilan dan pendidikan merupakan alasan mengapa mereka kemudian terjun ke sektor informal yang seringkali menuntut mereka untuk bekerja tanpa batas waktu, sehingga keberadaan anak-anak di jalanan dalam jangka waktu yang lama menjadi 18 Universitas Sumatera Utara tidak terelakkan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya masalah-masalah sosial yang akut diantaranya banyaknya anak yang putus sekolah atau sama sekali tidak sekolah. Pergaulan lingkungan jalanan juga membawa perubahan perilaku kearah pelecehan, pelanggaran norma dan hukum. Kemudian mulai terbentuknya komunitas sebaya (Peer Group) sebagai keluarga kedua yang seringkali dimanfaatkan oleh anak-anak itu sendiri atau oleh orang lain untuk tujuan kriminal atau asusila. Kemiskinan yang membuat masyarakat semakin terpuruk, juga disebabkan oleh pembangunan yang dilaksanakan tidak merata, yang semestinya ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya yaitu masih banyaknya masyarakat yang tidak tersentuh dengan pembangunan dan sebagian masyarakat hanya menjadi “tumbal” dari pembangunan itu sendiri. Ini membuat masyarakat semakin tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini diperkirakan bertambah sangat besar dalam kurun waktu yang relatif singkat. Data terakhir BPS memperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada pertengahan tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa yakni sekitar 39,1% dari jumlah penduduk miskin secara absolut di Indonesia meningkat sebanyak 56,9 juta jiwa sejak tahun 1996. Pada tahun 1996, jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan sebesar 22,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 7,2 juta orang merupakan penduduk miskin di daerah perkotaan dan 15,3 juta jiwa tersebar di wilayah pedesaan. Pada tahun 1998 diperkirakan jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebanyak 22,6 juta jiwa dan di daerah pedesaan 56,8 juta jiwa (Tambunan, 1999;78). Selain faktor ekonomi keluarga seperti yang dijelaskan di atas, anak-anak tersebut turun kejalan juga bisa disebabkan oleh tidak betah di rumah, karena broken home, 19 Universitas Sumatera Utara pertengkaran dalam keluarga, dan kekerasan fisik yang dialami anak. Anak jalanan murni yang sudah lepas dari keluarga, itu biasanya berawal dari kebiasaan “nongkrong” di jalanan. Akhirnya keterusan, lebih senang tidur di jalanan sehingga lama kelamaan lepas dari orang tuanya. Mereka masih anak-anak, masih butuh perlindungan. Mereka seharusnya menikmati masa kanak-kanak dengan bermain, belajar dan mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh teman-teman seusianya yang lebih beruntung (Hariady, 2002:33). Faktor yang mendorong anak turun ke jalan juga dikemukakan oleh Surjana, dimana faktor tersebut terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut: a. Tingkatan mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak adalah lari dari rumah atau keluarga, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh untuk putus sekolah. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis seperti ditolak orang tua, salah didikan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child abuse), kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orang tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini, saling terkait satu sama lain. b. Tingkat Meso (underlying causes), yaitu faktor agar berhubungan dengan struktur masyarakat. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah asset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain. Pergi ke kota untuk bekerja adalah kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak. 20 Universitas Sumatera Utara c. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat. Sebab yang dapat diidentifikasi secara ekonomi adalah membutuhkan modal dan keahlian besar. Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus lama bekerja di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah. Secara ekonomi ketimpangan desa dan kota turut menyebabkan urbanisasi penduduknya yang mau tak mau diikuti oleh anak – anak mereka. Kesimpulannya, banyak faktor yang saling mempengaruhi dalam meningkatnya anak jalanan. Meningkatnya “gejala” masalah keluarga seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda serta kekerasan dalam keluarga sebagai akibat dari memburuknya kondisi ekonomi dan politik di Indonesia membuat keluarga tidak memiliki keberdayaan dalam melindungi anggota keluarganya. Semakin menyudutnya ketidakberdayaan masyarakat, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka dengan alasan “demi pembangunan” merupakan salah satu sebab meningkatnya jumlah anak yang turun ke jalan. B.3. Permasalahan Anak Jalanan Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang “terbuang” adalah sebuah fakta sosial yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang tidak mampu mengikutinya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, tentu memberikan kontribusi yang buruk pada hampir segala sektor kehidupan di Indonesia. Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah menurunnya daya beli masyarakat. Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 21 Universitas Sumatera Utara Sedangkan orang tuanya tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja. Menurut Gosita, Arief (1985;34) permasalahan anak jalanan dapat dipetakan sebagai berikut: a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidakberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. b. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan. c. Rendahnya pendidikan orangtua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orangtua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak. d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, pemda, maupun Departemen Sosial. e. Belum optimalnya sosial control di dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan ini awalnya tidak terjun begitu saja ke jalanan. Biasanya mereka melakukan proses pembelajaran secara bertahap. Awalnya mereka lari dari rumah, satu dua hari bahkan sampai seminggu kemudian pulang, lalu lari lagi selama dua minggu bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya benar-benar lari, tidak lagi kembali selama setahun-dua tahun. Proses tahap kedua yang harus dijalani adalah proses “inisiasi”. 22 Universitas Sumatera Utara Biasanya anak-anak yang baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa (Hariadi, 2001;213). Sejumlah studi menemukan, anak-anak jalanan yang kecil biasanya sering “ditampar” oleh yang lebih besar. Selain itu preman yang ada di sekitarnya tak segan merampas barang dagangan atau meminta uang. Intimidasi adalah peristiwa sehari-hari yang dapat kita lihat menjadi “makanan” anak jalanan. Dalam beberapa kasus dan kesempatan memang anak jalanan itu mampu mengembangkan mekanismenya sendiri guna menghindari intimidasi dan ancaman kekerasan. Tetapi yang sering terjadi mereka hanya pasrah terhadap ancaman kekerasan yang dialaminya (Suyanto,2001;135). Marginal, rentan dan eksploitasi adalah istilah-istilah yang dapat menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, tidak dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun kemasa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang yang dilihat dari segi kesehatan maupun sosial sangatlah rawan. Eksploitasi karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) yang sangat lemah, tersubordinasi cenderung menjadi objek perlakuan yang semena-mena dari ulah preman dan oknum-oknum lain yang tidak bertanggungjawab. Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan atas pekerjaannya, hubungan dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan serta jenis kelaminnya. Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mengalami penderitaan ganda. Bukan saja menjadi objek kekerasan otoritas, tetapi juga akses mereka untuk berkembang semakin tertutup seiring dengan penderitaan yang dialami orang tua mereka. Maka, dalam konteks 23 Universitas Sumatera Utara piramida penderitaan, anak-anak jalanan berada dilapisan terujung/terendah. Anak jalanan bukanlah kriminal yang harus terus diburu. Mereka adalah anggota masyarakat yang mengalami korban keresahan dan kemiskinan keluarga yang perlu ditangani. Oleh karena itu security approach (pendekatan keamanan) tidak mencukupi lagi dan tidak akan pernah betul-betul menyapu anak di jalanan. Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan) melalui kebijakan nasional dan lokal (pemda) hendaknya mulai dipikirkan (ISJ,1997;29). Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan. Mereka sudah biasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, barang dagangan dirampas oleh preman (Irwanto,1998;120). Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Rasa keadilan dan peri kemanusiaan apalagi kepastian hukum seakan enggan menjamah anak jalanan. Kekerasan yang sering terjadi pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan patologis, seperti studi yang dilakukan oleh Hadi Utomo pada tahun1998. salah satu perilaku yang popular menyimpang adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti mengisap lem. Diperkirakan sekitar 60-75% anak yang seharian hidup mencari nafkah di jalanan menggunakan zat ini (Irwanto, dalam Adi, 2002;43). Anak jalanan merupakan salah satu potret penderitaan dan kemiskinan, sedang penderitaan dan kemiskinan adalah produk dari ketidakadilan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan selama ini dimulai dari rezim orde baru hanya menyentuh 24 Universitas Sumatera Utara warga perkotaan. Sementara warga desa terabaikan, dampaknya muncul kesenjangan sosial ekonomi atau labelisasi kaya-miskin atau maju-terbelakang. Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota ini, juga mengakibatkan banyak penduduk desa berduyun-duyun pergi ke kota untuk mengadu nasib, namun karena tidak cukupnya bekal pengetahuan serta keahlian membuat sebagian dari mereka terlempar dari persaingan dan dengan terpaksa hidup di tempat-tempat kumuh, bahkan di kolong-kolong jembatan untuk mempertahankan hidup. Buruknya lagi mereka datang dengan anak-anak mereka. Dengan kondisi mereka yang buruk, mengakibatkan anak-anak dipaksa untuk ikut menanggung beban hidup keluarga (Fanggidae, 1993;104). Pembangunan juga telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Selain hal tersebut, meningkatnya angka anak putus sekolah juga telah mengakibatkan sebagian anak mencari pekerjaan, dan jalanan mereka jadikan sebagai salah satu tempat untuk mencari uang. Fenomena keberadaan mereka semakin dirasakan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1997. Berdasarkan penelitian diperoleh gambaran umum yang menunjukkan 60% anak jalanan telah putus sekolah dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka (Depsos kerjasama YKAI, 1999;61). C. Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan Pada hakekatnya manusia atau lebih khususnya lagi anak jalanan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia pasti membutuhkan orang lain dan lingkungannya, sebab pada awalnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang harus 25 Universitas Sumatera Utara hidup berdampingan dengan orang lain. Seiring dengan perkembangan teknologi maka banyak yang menjadi tuntutan kebutuhan hidup manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut manusia mempunyai keterbatasan, oleh karena itu manusia membutuhkan pelayanan sosial, baik yang diberikan oleh perorangan, masyarakat, ataupun lembaga tertentu. Alfred J. Khan (dalam Sumarnugroho 1987;35) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian pelayanan sosial sebagi berikut: “Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat serta kemampuan perorangan untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran”. Defenisi di atas menjelaskan adanya kewajiban dan keyakinan masyarakat akan perlunya penyediaan fasilitas pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kemampuan setiap warga negara untuk menjangkau dan menggunakan setiap pelayanan yang sudah menjadi haknya. Disamping itu pelayanan sosial hanya diberikan kepada sekelompok orang atau masyarakat yang memang secara sosial tidak dapat atau terhambat dalam menjalankan fungsinya. Pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau intervensi-intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan langsung dan terorganisasi, yang bertujuan membantu individu atau kelompok dan lingkungan sosial dalam upaya saling penyesuaian. Disebut pelayanan dalam arti bahwa program ini memberikan jasa kepada orang-orang dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka, bukan untuk kepentingan atau keuntungan sendiri (Nurdin, 1990;50). 26 Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan pelayanan sosial mencakup adanya perbuatan yang aktif antara pemberi dan penerima. Bahwa untuk mencapai sasaran sebaik mungkin maka pelaksanaan pelayanan sosial mempergunakan sumber-sumber tersedia sehingga benar-benar efisien dan tepat guna. Dalam pelaksanaan pelayanan sosial maka adanya metode akan mempermudah pelaksanaan suatu pekerjaan guna mencapai suatu tujuan. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Salim, 2002;973). Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka metode adalah cara teratur yang paling mudah dan efisien yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan guna mencapai suatu tujuan. Tujuan memakai metode adalah supaya setiap kegiatan dapat terlaksana dengan baik, rasional, dan terarah sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal dan optimal. Dalam melaksanakan usaha untuk mengembalikan fungsi sosial seseorang atau sekelompok orang maka harus ada usaha atau cara tertentu yang disebut metode yang harus diberikan, demikian halnya dalam usaha menangani masalah anak jalanan. Setiap lembaga sosial atau panti dan yayasan yang menangani kasus anak jalanan juga memiliki metode sendiri dalam memberikan pelayanan terhadap kliennya. Menurut Dra. Susilawati, M.Si seorang staf pengajar sosiologi di Universitas Indonesia dalam membantu kehidupan anak jalanan ada tiga metode pendekatan yaitu: Pertama, eliminasi yaitu berangkat dari asumsi bahwa kehidupan keluarga adalah kehidupan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, untuk itu seorang anak yang selama ini telah meninggalkan rumah, harus ditarik lagi kembali ke rumah dan 27 Universitas Sumatera Utara melakukan reintegrasi dengan keluarga. Oleh karena itu pendekatan ini lebih menenkankan pada bagaimana anak dapat kembali ditarik kerumah. Kedua, pendekatan penguatan komunitas atau yang biasa dikenal dengan subkultur, ini adalah kebalikan dari pendekatan eliminasi. Gagasan ini lebih dekat dengan gerakan budaya yang telah terbangun di jalanan. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana membangun dan mengembangkan komunitas dan budaya di jalan dimana tempat tersebut sebagai tempat dan sekaligus media untuk mengembangkan segala potensi dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama oleh anak jalanan. Ketiga, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada pengembangan skill dan kemampuan anak. Gagasan ini dilatar belakangi oleh asumsi bahwa siapapuan orangnya. Jika memiliki keterampilan dan kemampuan, maka ia akan dapat lebih mandiri. Mediamedia pengembangan dapat dilakukan dengan media, melukis, musik, bengkel. Titik tekan dari pendekatan ini adalah bagaimana anak lebih berdaya dengan skill dan dengan kemampuan yang dimilikinya. Idealnya dalam program anak jalanan ini melibatkan multi disiplin agar bisa berhasil sesuai harapan. Untuk mengangkat ekonomi anak jalanan, maka organisasi masyarakat juga bisa memberdayakan dan memberikan pendidikan serta meningkatkan kualitas SDM mereka agar tidak terbuka pikirannya untuk tidak melakukan aktifitas ekonomi di jalanan (Susilawaty, 2007 http//www.pikiranrakyat.com). Untuk menjalankan ketiga metode diatas tersebut maka ada dua metode pekerja sosial seperti yang dinyatakan oleh Warner dan Walter berikut: Warner Boehm (1959:44), menyatakan bahwa bimbingan sosial perseorangan merupakan suatu metode pekerja sosial yang melakukan intervensinya dalam aspek-aspek psikologis dari kehidupan seseorang untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan atau mengembangkan fungsionalitas 28 Universitas Sumatera Utara sosialnya melalui peningkatan kemampuannya untuk melaksanakan peranannya sesuai dengan statusnya. Dari defenisi Boehm dapat disimpulkan bahwa bimbingan sosial perseorangan merupakan suatu metode pekerja sosial yang menjadikan individu sebagai sasaran pelayanan dan bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan keberfungsian seseorang dan juga memusatkan perhatian pada interaksi diantara individu dengan individu lain dan dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan, Walter menyatakan bahwa metode pokok untuk membantu seseorang dalam masalahnya adalah social group work atau bimbingan sosial kelompok dimana dapat diuraikan bahwa social group work mempunyai sasaran ganda yaitu: individu sebagai anggota kelompok dan kelompok sebagai tempat individu bernaung, dan disini lebih menekankan pengembangan individu/pribadi agar mampu berpartisipasi dengan sempurna didalam kelompok atau masyarakat dimana ia menjadi anggotanya. D. Rumah Singgah sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan Sosial bagi Anak Jalanan Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana resosialisasi kepada anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat setempat. Rumah singgah merupakan tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya, oleh karenanya penting menciptakan rumah singgah sebagai tempat yang aman, nyaman, menarik, dan menyenangkan bagi anak jalanan. Rumah singgah juga ibarat sebuah keluarga dimana pekerja sosial bertindak sebagai orang tua atau kakak untuk anak jalanan. Dalam sebuah keluarga, hubungan yang terjadi bersifat informal dimana satu sama lain saling mengasihi dan memperhatikan kesulitan. Sebagai orang tua, para pekerja sosial membimbing anak jalanan kearah perilaku sehari-hari yang sesuai dengan norma. Salah 29 Universitas Sumatera Utara satu usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak khususnya anak jalanan adalah didirikannya rumah singgah yang empat-lima tahun belakangan ini mulai bermunculan di Indonesia. Rumah singgah didefenisikan sebagai suatu “wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka (Gosita,1991;22). Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan menagatasi masalahmasalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah membentuk sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat; mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga-lembaga pengganti lainnya jika diperlukan; dan memberikan berbagai alteratif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga yang produktif. Rumah singgah memiliki fungsi sebagai berikut: a). Tempat pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan, mengkaji kebutuhan dan melakukan kegiatan program, dimana pekerja sosial melakukan pendekatan sebagai tahap awal dan selanjutnya dapat menganalisa apa yang menjadi kebutuhan dari anak jalanan. b). Tempat untuk mengkaji masalah anak agar dapat diketahui seperti apa pelayanan yang harus diberikan. c).Rumah singgah merupakan tempat perlindungan bagi anak dari kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi, dan bentuk-bentuk kriminal lainnya yang terjadi di jalanan. 30 Universitas Sumatera Utara d). Pusat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan lain-lain. e). Tempat untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak, dimana para pekerja sosial diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan membetulkan sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan mampu menumbuhkan keberfungsian sosial anak. Prinsip-prinsip rumah singgah yang disusun sesuai dengan karakteristik pribadi kehidupan anak jalanan, adalah: a). Semi institusional; anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya mengikuti kegiatan. b). Pusat kegiatan; merupakan tempat kegiatan, pusat informasi dan akses seluruh kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di luar rumah singgah, terbuka 24 jam, anak jalanan boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal rumah singgah. c). Hubungan informal (kekeluargaan); anak jalanan dibimbing sebagai anggota keluarga besar, dimana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara/kakak atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat; bebas untuk apa saja bagi anak, mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja, seperti tidur, bermain, bercanda, mandi dan sebagainya. d). Persinggahan dari jalanan kerumah singgah atau ke alternatif lain, misalnya kembali kerumah, mengikuti saudara, masuk panti, kembali bersekolah dan sebagainya. 31 Universitas Sumatera Utara Rumah singgah sebagai salah satu bentuk pelayanan untuk anak jalanan memiliki program untuk membina dan mengembangkan kemampuan diri anak jalanan. Program secara harafiah diartikan sebagai rencana kegiatan dalam suatu wadah tertentu. Dari batasan tersebut terlihat bahwa program itu berhubungan dengan suatu kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai wujud dari suatu rencana. Program juga sebagai suatu rencana yang diolah dengan memperhatikan faktor kemampuan ruang, waktu dan urutan-urutan penyelenggaraan secara tegas dan teratur sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa, dimana, dan bagaimana. Suatu program ditujukan untuk mengubah/meningkatkan pengetahuan, sikap atau tingkah laku seseorang, mengubah institusi dimana dilakukan untuk perubahan masyarakat ke yang lebih baik. Rumah singgah dalam memberikan pelayanan kepada anak jalanan, dilihat dari pengertian pelayanan sosial seperti yang dikemukakan oleh Alfred J Khan dalam Sumarnonugroho (1991) harus memperhatikan beberapa prinsip, yaitu: Pertama, prinsip pencegahan; dimana anak jalanan yang terlanjur ke jalanan diupayakan ditarik kembali kepada keluarganya dan anak-anak yang masih tinggal dengan keluarganya diupayakan jangan sampai ke jalanan. Untuk mengatasi penyebabnya, diselenggarakan program pemberdayaan keluarga untuk anak sendiri seperti modal dan beasiswa bagi anak yang masih sekolah. Kedua, prinsip penyembuhan; ini ditujukan kepada anak jalanan yang memiliki perilaku menyimpang. Bersama pekerja sosial, anak belajar untuk terlibat dalam memahami masalah, merencanakan dan melaksanakan penanganannya. Anak dilatih bertanggungjawab dalam memecahkan masalahnya. 32 Universitas Sumatera Utara Ketiga, prinsip pengembangan; dimana anak jalanan memiliki potensi, aspirasi, dan inisiatif juga daya tahan yang kuat, kemauan keras dan tidak putus asa. Dalam prinsip pengembangan ini, anak bersama pekerja sosial mengembangkan potensinya untuk mengatasi masalah dan berguna bagi masa depannya. Adapun program pelayanan dan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh rumah singgah adalah: a. Penjangkauan dan pendampingan di jalanan. Meliputi kunjungan lapangan dan perkenalan, pemeliharaan hubungan dengan anak, pembentukan kelompok jalann, serta konseling dan mendampingi kegiatan anak jalanan. b. Identifikasi anak. Meliputi pengisian file profil anak, pengisian file monitoring perkembangan anak. Ini dilakukan untuk mengetahui secarajelas mengenai anak jalanan yang akan diberi bimbingan di suatu rumah singgah. c. Resosialisasi. Meliputi pengenalan kegiatan keagamaan, pengajaran dan diskusi tentang norma sosial, permainan, pertunjukan seni dan olah raga, membaca buku, majalah, membimbing sosial perilaku sehari-hari, bimbingan sosial kasus, pemeliharaan kesehatan, penyatuan kembali dengan keluarga, kunjungan kerumah orang tua anak jalanan, pertemuan dengan warga sekitar rumah singgah. d. Pemberdayaan anak jalanan. Meliputi pendidikan, pelatihan, pelayanan keterampilan kerja, bantuan modal usaha dan membantu anak menemukan pekerjaan lain. e. Pemberdayaan untuk orang tua anak jalanan. Pengertian pemberdayaan orang tua anak binaan adalah kegiatan bantuan modal usaha kepada para orang tua anak jalanan yang bersekolah. Tujuannya membantu orang tua meneruskan usahanya dan 33 Universitas Sumatera Utara meningkatkan pendapatan orang tua. Sasaran program ini adalah orang tua yang anaknya dibina dirumah singgah, mempunyai kegiatan usaha dan berpotensi untuk dikembangkan, orang tua yang mendapat pemberdayaan adalah orang tua perempuan. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi bimbingan dan penyuluhan, pemberian modal dan bimbingan usaha. f. Terminasi (pengakhiran pelayanan) dilakukan untuk mengakhiri proses penanganan anak jalanan. Kegiatan ini dilakukan agar anak jalann tidak selalu menggantungkan diri mereka pada rumah singgah, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri (Sumarnonugroho.1999;43). Dr. Inanam Kardono juga mengemukakan suatu program penanggulangan anak jalanan yaitu melalui penyantunan dan pengentasan anak. Penyantunan dan pengentasan anak terlantar dimaksud sebagai upaya pembinaan kesejahteraan sosial anak yang bersifat pencegahan, pemulihan atau penyantunan dan pengembangan dengan cara meningkatkan kemampuan anak, meningkatkan fungsi-fungsi dan peranan keluarga, masyarakat sehingga tercipta kondisi sosial yang dinamis yang memungkinkan anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar (Kardono, 2007 http//www.suaramerdeka.com.htm). E. Keterampilan sebagai Salah Satu Faktor Pemberdayaan Anak Jalanan Keterampilan merupakan kemampuan yang berasal dari pengetahuan, latihan, belajar, bakat untuk melakukan sesuatu yang baik. Keahlian khusus untuk melakukan sesuatu yang baik diperoleh dari belajar dan latihan, untuk itu anak jalanan sangat memerlukan bimbingan khusus agar memperoleh keterampilan dalam bekerja. Anak jalanan juga harus mendapat bimbingan dalam orientasi dan mobilitas, dimana dengan 34 Universitas Sumatera Utara orientasi dan mobilitas serta pemahaman konsep-konsep anak jalanan mampu berjalan menuju dunia baru dengan percaya diri, antusias, dan mandiri. A. Mangunharjana (1984;165), mengemukakan bahwa program penanggulangan anak jalanan tidak terlepas dari proses pemberdayaan dan peningkatan skill dari anak jalanan tersebut. Pemberdayaan dan peningkatan skill adalah mengembangkan individu atau klien dari keadaan kurang mampu menjadi mampu, dan yang belum tahu menjadi tahu. Seperti yang dikemukakan oleh Sumarnonugroho, pemberdayaan untuk anak jalanan meliputi bantuan modal usaha, pendidikan, pelatihan dan keterampilan kerja sehingga anak jalanan akan menemukan pekerjaan lain. Karna itu suatu proses peningkatan keterampilan pada intinya ditujukan guna “individu memperoleh kemampuan untuk melakukan dan mengerjakan suatu kegiatan yang dapat membantu kelangsungan hidupnya”. Peningkatan keterampilan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan dan membuat suatu usaha untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (Shadow, dalam Adi, 2002;93). Adapun upaya dalam peningkatan keterampilan anak jalanan yaitu adanya partisipasi dari berbagai pihak dalam menangani masalah anak jalanan yaitu, keluarga, tokoh agama, tokoh akademisi, aparat keamanan, aktivis LSM, masyarakat dan pemerintah. Menurut Soerdijan (1990;10) menyebutkan bahwa program peningkatan keterampilan anak jalanan adalah: 1. Memberikan pendidikan bagi individu atau anak tentang keterampilanketerampilan agar individu tersebut mempunyai keahlian guna memperoleh pekerjaan yang lebih layak. 35 Universitas Sumatera Utara 2. Memberikan pelayanan/fasilitas yang memadai bagi anak jalanan guna kelancaran akan pengetahuan tentang keterampilan. 3. Memberikan bimbingan yang maksimal bagi anak jalanan dalam pendidikan dan keterampilan. Keberhasilan dalam memberikan pelayanan yang dapat menunjang atau meningkatkan daya kreatifitas ataupun keterampilan anak sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan sosial dan fasilitas yang ada sebagai pendukung pelayanan program kerja yang jelas yakni sebagai berikut: 1. Keterampilan yang terdiri dari keterampilan olah raga, kesenian. 2. Dalam pendidikan, seperti pemberian beasiswa (uang SPP), Pendidikan Luar Sekolah (paket A,B,C) yang bekerjasama dengan Badan Pelatihan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP). 3. Keterampilan Lifeskill seperti: pelatihan sablon, belajar mengemudi, belajar komputer, salon, menjahit, tenun, dll. 4. Bidang kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan 1 kali dalam seminggu, pemberian makanan tambahan (PMT) kerjasama dengan Depkes. Keterampilan yang diperoleh anak dari rumah singgah akan dapat menjadi bekal hidup yang berharga kelak bila sudah keluar dari dunia anak jalanan. Pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada anak akan sangat mendorong kelancaran proses tumbuh kembang yang pada gilirannya dapat ikut serta dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan peran dan tugas sebagai generasi penerus bangsa. 36 Universitas Sumatera Utara F. Kerangka Pemikiran Jumlah anak jalanan yang bertambah banyak sekarang ini salah satunya disebabkan keadaan ekonomi di Negara kita yang tidak jelas kapan akan membaik. Keadaan tersebut membuat semakin banyak keluarga yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya seluruh anggota keluarga harus mencari nafkah termasuk anak-anak, banyak anak-anak yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Mereka adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun, tingkat pendidikannya rendah serta tidak memiliki keterampilan yang memadai, membuat mereka sulit mencari nafkah disektor formal sehingga terpaksa mencari nafkah di sektor informal seperti jalanan. Pekerjaan tersebut kerapkali berkaitan dengan perlakuan kasar atau perbuatan buruk dari segolongan orang seperti diperas, dicabuli ataupun tindakan kekerasan lainnya. Mereka sering menyaksikan perilaku-perilaku menyimpang. Ini secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kepribadian anak. Walaupun demikian, mereka yang menjadi anak jalanan bukan saja berasal dari keluarga miskin. Ada juga mereka yang berasal dari keluarga kaya tetapi tidak terjadi keharmonisan didalam keluarga tersebut. Sehingga membuat anak merasa tidak bahagia dan tidak merasa betah berada di lingkungan keluarga. Ini membuat mereka mencari pelarian kejalanan. Mereka bergabung dengan ank-anak jalanan untuk bekerja dengan tujuan untuk mencari kesenangan yang tidak diperoleh dalam keluarga. Oleh karena itu, setiap anak jalanan yang menjadi anak jalanan memiliki beberapa sebab yang berbeda. Lembaga atau yayasan yang turun langsung untuk membantu mereka sangat diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya suatu lembaga atau yayasan yang memperhatikan hak-hak anak dan 37 Universitas Sumatera Utara kesenjangan anak khususnya anak jalanan akan membuat anak jalanan merasa aman. Lembaga atau yayasan yang sesuai dengan hal diatas adalah rumah singgah anak jalanan. Suatu rumah singgah mempunyai fungsi sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka seperti keluarga. Kondisi rumah singgah akan mempengaruhi anak jalanan yang singgah ditempat tersebut. Perkembangan anak jalanan berhubungan dengan akses negatif dari strategi pengembangan kawasan perkotaan, pertambahan anak-anak yang putus sekolah, terjadinya disharmonisasi keluarga, lemahnya faktor ekonomi serta adanya rangsang konsumtif anak. Keberhasilan suatu rumah singah dalam memberikan pelayanan yang dapat menunjang atau meningkatkan daya kreatifitas ataupun keterampilan anak sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan sosial, fasilitas yang ada sebagai pendukung pelayanan program kerja yang jelas seperti: pertama, keterampilan yang terdiri dari keterampilan olah raga (sepak bola), kesenian (seni musik). Kedua: pendidikan seperti pemberian beasiswa (uang SPP), pendidikan Luar Sekolah (paket A,B,C) bekerja sama dengan Badan Pelatihan Pendidikan luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP). Ketiga: keterampilan life skill seperti pelatihan sablon, belajar mengemudi, menjahit, saloon, tenun dan lain-lain. Keempat, bidang kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan 1 kali dalam seminggu dan pemberian makanan tambahan 1 kali dalam 1 bulan. Keefektifan pelayanan rumah singgah serta kelengkapan sarana dan prasarana yang tersedia akan sangat meningkatkan kualitas keahlian dan keterampilan anak jalanan. Keterampilan yang diperoleh anak dari rumah singgah akan dapat menjadi bekal hidup yang berharga kelak bila sudah keluar dari dunia anak jalanan. Penyediaan rumah singgah merupakan upaya agar hak-hak anak dari anak jalanan dapat terpenuhi dan dapat 38 Universitas Sumatera Utara mendorong kelancaran proses tumbuh kembang yang pada gilirannya dapat ikut serta dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan peran dan tugas sebagai generasi penerus bangsa. Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 1. Kerangka Pemikiran Rumah singgah sebagai bentuk pelayanan sosial bagi anak jalanan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pelayanan Rumah Singgah Penjangkauan dan pendampingan anak jalanan. Identifikasi anak Resosialisasi Pemberdayaan anak jalanan Pemberdayaan orang tua anak jalanan Terminasi Pendidikan Kesehatan Keterampilan Life Skill Keterampilan (Life Skill) Anak Jalanan: - Salon - Menjahit - Mengemudi - Sablon - Bermain Musik - Tenun G.Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional G.1. Defenisi Konsep Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu 39 Universitas Sumatera Utara sosial. Konsep penelitian sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan atau kesalahpahaman yang dapat mengaburkan tujuan-tujuan penelitian. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Yayasan AGAPE merupakan induk dari Rumah Singgah AGAPE. Segala rencana dan program yang akan dijalankan bersumber dari yayasan AGAPE. 2. Rumah Singgah adalah suatu lembaga sosial atau organisasi sosial yang digunakan untuk memberikan pelayanan sosial bagi anak jalanan agar mereka dapat tumbuh berkembang dengan wajar. 3. Anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur dibawah 18 tahun yang mencari nafkah di jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya serta membiayai sekolahnya bagi mereka yang masih sekolah. 4. Pelayanan sosial berarti pemberian bantuan kepada orang lain berupa materi maupun non materi, dengan tujuan untuk membantu orang tersebut mengatasi masalahnya. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah anak jalanan. 5. Keterampilan adalah kemampuan yang berasal dari pengetahuan, latihan, bakat untuk melakukan sesuatu yang baik. Keahlian khusus untuk melakukan sesuatu yang baik yang diperoleh melalui belajar dan latihan. G.2. Definisi Operasional Defenisi operasional merupakan penguraian indikator-indikator yang termasuk dalam suatu variabel agar dalam melakukan pengukuran menjadi jelas. Dengan defenisi operasional maka akan diketahui indikator-indikator apa saja yang melekat dan perlu untuk 40 Universitas Sumatera Utara diukur. Adapun tingkat program pelayanan rumah singgah dengan indikatornya sebagai berikut: 1. Yayasan AGAPE ditunjukkan oleh seberapa besar pengaruh lembaga terhadap jalannya program yang direncanakan di rumah singgah. 2. Rumah Singgah merupakan fasilitas pendukung, sarana dan prasarana yang tersedia: Gedung dan bangunan-bangunan Tempat bermain dan olah raga Perlengkapan alat keterampilan (musik dll) Perlengkapan belajar Perpustakaan dan media informasi bagi anak jalanan. 3. Pelayanan sosial ditunjukkan oleh program-program pelayanan yang ada dan diberikan rumah singgah bagi anak jalanan yang menjadi bagian dari rumah singgah tersebut. Pelayanan tersebut meliputi pemberian beasiswa, pemberian pendidikan keterampilan, pelayanan kesehatan, bimbingan dan bantuan usaha. 4. Keterampilan anak di ukur dari ada atau berkembang tidaknya keahlian / keterampilan anak jalanan seperti keahlian bermain musik (drum, gitar, bass, vocal), bermain olah raga (sepak bola), pendidikan. Disini akan dilihat perkembangan keterampilan anak jalanan selama menjadi anak binaan AGAPE. 5. Anak jalanan diukur dari jumlah anak jalanan yang menjadi binaan rumah singgah. Batasan terhadap umur anak jalanan juga ditentukan, sehingga anak yang sudah dewasa tidak selamanya tergantung pada rumah singgah. 41 Universitas Sumatera Utara