proposal penelitian - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak, Hak-hak Anak dan Kedudukannya dalam Aspek Sosiologis
A.1. Defenisi Anak dan Anak Jalanan
Konsep “anak” didefenisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda sesuai
dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No.4 tahun 1979
tentang kesejahteraan anak: anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan
belum menikah. Sedangkan menurut UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak:
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dapat disimpulkan bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
yang belum mampu bertanggungjawab terhadap diri-sendiri dan masih berada di bawah
tanggungan orang lain yaitu keluarga, masyarakat maupun pemerintah.
Anak adalah aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan besar
sabagai generasi penerus bangsa. Peran strategi ini telah dikenal oleh masyarakat
internasional untuk melahirkan sebuah deklarasi dan konvensi yang intinya menekankan
posisi anak sebagai mahkluk yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang
dimilikinya. Anak adalah orang yang dianggap belum mampu bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri dan masih berada di bawah tanggungan orang lain yaitu keluarga (orang
tua), masyarakat, pemerintah. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan Sumber Daya Manusia yang berkualitas (Frans van Dijk,1999;3).
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di
tempat-tempat umum, yang masih berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan
12
Universitas Sumatera Utara
kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilan yang tidak terurus dan mobilitasnya tinggi.
Anak jalanan juga merupakan kelompok anak marginal perkotaan, yang melakukan
kegiatan di jalan, pasar, terminal, tempat-tempat umum, baik mereka yang masih tinggal
dengan orang tua maupun tidak (Depsos kerjasama YKAI,1999;57).
Anak jalanan merupakan istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. Manakala
menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar,
nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan,
keramaian atau terminal-terminal.
A.2. Hak-Hak Anak
Dalam Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang hak-hak anak, dinyatakan
seperti juga halnya orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia. Akan tetapi karena
kebutuhan-kebutuhan dan kerawanannya maka hak-hak anak perlu diperlakukan dan
diperhatikan secara khusus. Dalam Keputusan ini Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa
setiap anak memiliki hak-hak sebagai berikut, yaitu:
Pertama, hak untuk hidup. Setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan
akses atau pelayanan kesehatan dan menikmati standard hidup yang layak, termasuk
makanan yang cukup, air bersih dan tempat tinggal. Anak juga berhak memperoleh nama
dan kewarganegaraan.
Kedua, hak untuk tumbuh dan berkembang. Setiap anak berhak memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Anak berhak
memperoleh pendidikan baik formal maupun informal secara memadai. Konkritnya anak
berhak diberi kesempatan untuk bermain, berkreasi, dan beristirahat.
13
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan. Artinya setiap anak berhak untuk
dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan
atau penahanan yang sewenang-wenang dari segala bentuk diskriminasi. Ini juga berlaku
bagi anak yang tidak lagi mempunyai orang tua dan anak-anak yang berada di kampung
pengungsian. Mereka berhak mendapatkan perlindungan.
Keempat, hak untuk berpartisipasi. Artinya setiap anak diberi kesempatan
menyuarakan pandangan dan ide-idenya, terutama berbagai persoalan yang berkaitan
dengan anak (Konvensi Hak Anak, 1999).
Dalam UU RI No.4 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa setiap anak
berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa,
untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak juga berhak
atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar (Liliawaty M,1999;57).
Jadi, pada dasarnya hak-hak pokok anak adalah hak untuk hidup yang layak, hak
atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar, hak untuk dilindungi, hak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa
untuk menjadi warga yang baik dan berguna, hak untuk berperan serta, dan hak untuk
memperoleh pendidikan.
14
Universitas Sumatera Utara
A.3. Kedudukan anak dalam aspek sosiologis
Kedudukan anak dalam aspek sosiologis menunjukkan anak sebagai mahkluk
Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Menurut
kodratnya
anak
manusia
adalah
mahkluk
sosial,
dapat
dibuktikan
dimana
ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya
perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan
pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna.
Menurut Kartini Kartono (1998:125), anak manusia tidak mungkin hidup tanpa
masyarakat, tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh,
berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan
cultural sekelompok manusia, tak dapat dibayangkan adanya anak tanpa sesuatu
lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa
bantuan orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain.
Asosiasi dengan pendapat ini dikemukakan bahwa anak manusia itu bisa memasuki dunia
manusia jika dibawa atau dimasukkan kedalam lingkungan manusia lain. Itulah sebabnya
diperlukan pendidikan.
B. Anak Jalanan, Penyebab dan Permasalahannya
B.1. Anak Jalanan dan Pengelompokannya
B.1.1. Anak Jalanan
Bicara anak jalanan sudah merupakan kata yang biasa bagi kita. Manakala
menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar,
nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan,
15
Universitas Sumatera Utara
keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan, hingga kini merupakan manusia
yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang
jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah
kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang
liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan
pandangan masyarakat terhadapnya sangat rendah. Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak
menganggap mereka sebagai manusia lazimnya. Sebab dalam anggapan mereka, anak
jalanan adalah sampah yang tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan
sebagai generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat
(Frans van Dijk, 1993;11). Jadi, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
berada di jalanan, masih berusia 5-18 tahun dan melakukan kegiatan di jalanan, pasar,
terminal dan tempat-tempat umum lainnya.
B.1.2. Pengelompokan Anak Jalanan
Menurut yayasan kesejahteraan anak Indonesia (1999:22-24) anak jalanan
dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the street).
Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai
ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini
disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan,
penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali
kerumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan
mereka.
16
Universitas Sumatera Utara
2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang
bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering kali diidentikkan sebagai
pekerja migrant kota, yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada
umumnya mereka bekerja dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu,
pengasong, pengamen, tukang ojek, penyapu mobil dan kuli panggul. Tempat tinggal
mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan
orang tuanya, mereka berada di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka
kejalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang
tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.
4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk
mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD
bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa
(orang tua ataupun saudaranya) kekota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus
menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen,
pengemis dan pemulung.
Berdasarkan kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibagi kedalam tiga
kelompok (Surbakti dalam Suyanto, 2001;41) yaitu :
Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat
dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang
tuanya. Anak jalanan pada kelompok ini membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan.
17
Universitas Sumatera Utara
Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan,
baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa anak masih mempunyai hubungan dengan
orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Biasanya anak turun
kejalanan disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh keluarga. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak yang pada kategori ini sangat rawan terhadap perilaku
menyimpang, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.
Ketiga, children from families on the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan
kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat lain dengan segala resikonya.
B.2. Penyebab Munculnya Anak Jalanan
Faktor utama yang menyebabkan munculnya anak jalanan adalah kemiskinan.
Keadaan ekonomi keluarga miskin akan menghasilkan daya beli keluarga yang lemah,
kebutuhan pokoknya saja tidak dapat terpenuhi dengan baik. Kondisi seperti ini akan sangat
rawan, terlebih jika keluarga tidak mampu mendiami rumah yang layak, bahkan hanya
menempati gubuk darurat yang umumnya tersebar dalam kawasan daerah kumuh, maka hal
ini sangat menunjang banyaknya anak yang lebih memilih untuk hidup di jalan (Fanggidae,
1993:117).
Kemiskinan keluarga telah mendorong orang tua untuk memaksa anak bekerja.
Kurangnya keterampilan dan pendidikan merupakan alasan mengapa mereka kemudian
terjun ke sektor informal yang seringkali menuntut mereka untuk bekerja tanpa batas
waktu, sehingga keberadaan anak-anak di jalanan dalam jangka waktu yang lama menjadi
18
Universitas Sumatera Utara
tidak terelakkan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya masalah-masalah
sosial yang akut diantaranya banyaknya anak yang putus sekolah atau sama sekali tidak
sekolah. Pergaulan lingkungan
jalanan juga membawa perubahan perilaku kearah
pelecehan, pelanggaran norma dan hukum. Kemudian mulai terbentuknya komunitas
sebaya (Peer Group) sebagai keluarga kedua yang seringkali dimanfaatkan oleh anak-anak
itu sendiri atau oleh orang lain untuk tujuan kriminal atau asusila.
Kemiskinan yang membuat masyarakat semakin terpuruk, juga disebabkan oleh
pembangunan yang dilaksanakan tidak merata, yang semestinya ditujukan untuk
kesejahteraan seluruh masyarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya yaitu
masih banyaknya masyarakat yang tidak tersentuh dengan pembangunan dan sebagian
masyarakat hanya menjadi “tumbal” dari pembangunan itu sendiri. Ini membuat
masyarakat semakin tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini diperkirakan bertambah sangat besar
dalam kurun waktu yang relatif singkat. Data terakhir BPS memperkirakan bahwa jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada pertengahan tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa yakni
sekitar 39,1% dari jumlah penduduk miskin secara absolut di Indonesia meningkat
sebanyak 56,9 juta jiwa sejak tahun 1996. Pada tahun 1996, jumlah penduduk dibawah
garis kemiskinan sebesar 22,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 7,2 juta orang merupakan
penduduk miskin di daerah perkotaan dan 15,3 juta jiwa tersebar di wilayah pedesaan. Pada
tahun 1998 diperkirakan jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebanyak 22,6 juta
jiwa dan di daerah pedesaan 56,8 juta jiwa (Tambunan, 1999;78).
Selain faktor ekonomi keluarga seperti yang dijelaskan di atas, anak-anak tersebut
turun kejalan juga bisa disebabkan oleh tidak betah di rumah, karena broken home,
19
Universitas Sumatera Utara
pertengkaran dalam keluarga, dan kekerasan fisik yang dialami anak. Anak jalanan murni
yang sudah lepas dari keluarga, itu biasanya berawal dari kebiasaan “nongkrong” di
jalanan. Akhirnya keterusan, lebih senang tidur di jalanan sehingga lama kelamaan lepas
dari orang tuanya. Mereka masih anak-anak, masih butuh perlindungan. Mereka seharusnya
menikmati masa kanak-kanak dengan bermain, belajar dan mengembangkan diri seperti
yang dilakukan oleh teman-teman seusianya yang lebih beruntung (Hariady, 2002:33).
Faktor yang mendorong anak turun ke jalan juga dikemukakan oleh Surjana, dimana
faktor tersebut terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut:
a. Tingkatan mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak
dan keluarganya. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak adalah lari dari
rumah atau keluarga, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh
untuk
putus
sekolah.
Sebab-sebab
yang
berasal
dari
keluarga
adalah
ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis
seperti ditolak orang tua, salah didikan dari orang tua sehingga mengalami
kekerasan di rumah (child abuse), kesulitan berhubungan dengan keluarga karena
terpisah dari orang tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak
maupun keluarga ini, saling terkait satu sama lain.
b. Tingkat Meso (underlying causes), yaitu faktor agar berhubungan dengan struktur
masyarakat. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas
masyarakat miskin, anak-anak adalah asset untuk membantu meningkatkan
ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada
masyarakat lain. Pergi ke kota untuk bekerja adalah kebiasaan masyarakat dewasa
dan anak-anak.
20
Universitas Sumatera Utara
c. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur
masyarakat. Sebab yang dapat diidentifikasi secara ekonomi adalah membutuhkan
modal dan keahlian besar. Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus
lama bekerja di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah. Secara ekonomi
ketimpangan desa dan kota turut menyebabkan urbanisasi penduduknya yang mau
tak mau diikuti oleh anak – anak mereka.
Kesimpulannya, banyak faktor yang saling mempengaruhi dalam meningkatnya
anak jalanan. Meningkatnya “gejala” masalah keluarga seperti kemiskinan, pengangguran,
perceraian, kawin muda serta kekerasan dalam keluarga sebagai akibat dari memburuknya
kondisi ekonomi dan politik di Indonesia membuat keluarga tidak memiliki keberdayaan
dalam melindungi anggota keluarganya. Semakin menyudutnya ketidakberdayaan
masyarakat, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah
mereka dengan alasan “demi pembangunan” merupakan salah satu sebab meningkatnya
jumlah anak yang turun ke jalan.
B.3. Permasalahan Anak Jalanan
Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang “terbuang” adalah sebuah fakta
sosial yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang
tidak mampu mengikutinya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, tentu
memberikan kontribusi yang buruk pada hampir segala sektor kehidupan di Indonesia.
Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah menurunnya daya beli masyarakat. Anak
jalanan pada umumnya mempunyai keluarga dari golongan yang kurang mampu secara
materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
21
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan orang tuanya tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala
orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja.
Menurut Gosita, Arief (1985;34) permasalahan anak jalanan dapat dipetakan sebagai
berikut:
a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga
justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan
untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidakberfungsian keluarga dalam
memenuhi kebutuhan keluarga.
b. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di
rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk
anak turun ke jalan.
c. Rendahnya pendidikan orangtua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui
fungsi dan peran sebagai orangtua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak
anak.
d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik
kebijakan dari kepolisian, pemda, maupun Departemen Sosial.
e. Belum optimalnya sosial control di dalam masyarakat.
Dalam banyak kasus, anak jalanan ini awalnya tidak terjun begitu saja ke jalanan.
Biasanya mereka melakukan proses pembelajaran secara bertahap. Awalnya mereka lari
dari rumah, satu dua hari bahkan sampai seminggu kemudian pulang, lalu lari lagi selama
dua minggu bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya benar-benar lari, tidak lagi kembali
selama setahun-dua tahun. Proses tahap kedua yang harus dijalani adalah proses “inisiasi”.
22
Universitas Sumatera Utara
Biasanya anak-anak yang baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih
dewasa (Hariadi, 2001;213).
Sejumlah studi menemukan, anak-anak jalanan yang kecil biasanya sering
“ditampar” oleh yang lebih besar. Selain itu preman yang ada di sekitarnya tak segan
merampas barang dagangan atau meminta uang. Intimidasi adalah peristiwa sehari-hari
yang dapat kita lihat menjadi “makanan” anak jalanan. Dalam beberapa kasus dan
kesempatan memang anak jalanan itu mampu mengembangkan mekanismenya sendiri guna
menghindari intimidasi dan ancaman kekerasan. Tetapi yang sering terjadi mereka hanya
pasrah terhadap ancaman kekerasan yang dialaminya (Suyanto,2001;135).
Marginal, rentan dan eksploitasi adalah istilah-istilah yang dapat menggambarkan
kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan
yang tidak jelas jenjang kariernya, tidak dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan
prospek apapun kemasa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam
kerja yang sangat panjang yang dilihat dari segi kesehatan maupun sosial sangatlah rawan.
Eksploitasi karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position)
yang sangat lemah, tersubordinasi cenderung menjadi objek perlakuan yang semena-mena
dari ulah preman dan oknum-oknum lain yang tidak bertanggungjawab. Sebagai bagian dari
pekerja anak (child labour), anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka
cukup beragam, dan dapat dibedakan atas pekerjaannya, hubungan dengan orang tua atau
orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan serta jenis kelaminnya.
Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mengalami penderitaan ganda. Bukan
saja menjadi objek kekerasan otoritas, tetapi juga akses mereka untuk berkembang semakin
tertutup seiring dengan penderitaan yang dialami orang tua mereka. Maka, dalam konteks
23
Universitas Sumatera Utara
piramida penderitaan, anak-anak jalanan berada dilapisan terujung/terendah. Anak jalanan
bukanlah kriminal yang harus terus diburu. Mereka adalah anggota masyarakat yang
mengalami korban keresahan dan kemiskinan keluarga yang perlu ditangani. Oleh karena
itu security approach (pendekatan keamanan) tidak mencukupi lagi dan tidak akan pernah
betul-betul menyapu anak di jalanan. Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan)
melalui kebijakan nasional dan lokal (pemda) hendaknya mulai dipikirkan (ISJ,1997;29).
Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan.
Mereka sudah biasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi
korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, barang dagangan
dirampas oleh preman (Irwanto,1998;120). Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang
dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak
jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang
yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Rasa keadilan dan peri kemanusiaan apalagi
kepastian hukum seakan enggan menjamah anak jalanan. Kekerasan yang sering terjadi
pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan
tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan
patologis, seperti studi yang dilakukan oleh Hadi Utomo pada tahun1998. salah satu
perilaku yang popular menyimpang adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti
mengisap lem. Diperkirakan sekitar 60-75% anak yang seharian hidup mencari nafkah di
jalanan menggunakan zat ini (Irwanto, dalam Adi, 2002;43).
Anak jalanan merupakan salah satu potret penderitaan dan kemiskinan, sedang
penderitaan
dan
kemiskinan
adalah
produk
dari
ketidakadilan
pembangunan.
Kebijaksanaan pembangunan selama ini dimulai dari rezim orde baru hanya menyentuh
24
Universitas Sumatera Utara
warga perkotaan. Sementara warga desa terabaikan, dampaknya muncul kesenjangan sosial
ekonomi atau labelisasi kaya-miskin atau maju-terbelakang. Kesenjangan pembangunan
antara desa dan kota ini, juga mengakibatkan banyak penduduk desa berduyun-duyun pergi
ke kota untuk mengadu nasib, namun karena tidak cukupnya bekal pengetahuan serta
keahlian membuat sebagian dari mereka terlempar dari persaingan dan dengan terpaksa
hidup di tempat-tempat kumuh, bahkan di kolong-kolong jembatan untuk mempertahankan
hidup. Buruknya lagi mereka datang dengan anak-anak mereka. Dengan kondisi mereka
yang buruk, mengakibatkan anak-anak dipaksa untuk ikut menanggung beban hidup
keluarga (Fanggidae, 1993;104).
Pembangunan juga telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman
dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan
dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Selain hal
tersebut, meningkatnya angka anak putus sekolah juga telah mengakibatkan sebagian anak
mencari pekerjaan, dan jalanan mereka jadikan sebagai salah satu tempat untuk mencari
uang. Fenomena keberadaan mereka semakin dirasakan ketika krisis ekonomi menghantam
Indonesia pada tahun 1997. Berdasarkan penelitian diperoleh gambaran umum yang
menunjukkan 60% anak jalanan telah putus sekolah dan 80% anak jalanan masih tinggal
dengan orang tua mereka (Depsos kerjasama YKAI, 1999;61).
C. Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan
Pada hakekatnya manusia atau lebih khususnya lagi anak jalanan tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia pasti membutuhkan orang lain dan
lingkungannya, sebab pada awalnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang harus
25
Universitas Sumatera Utara
hidup berdampingan dengan orang lain. Seiring dengan perkembangan teknologi maka
banyak yang menjadi tuntutan kebutuhan hidup manusia. Dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya tersebut
manusia mempunyai keterbatasan, oleh karena itu
manusia
membutuhkan pelayanan sosial, baik yang diberikan oleh perorangan, masyarakat, ataupun
lembaga tertentu.
Alfred J. Khan (dalam Sumarnugroho 1987;35) memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai pengertian pelayanan sosial sebagi berikut:
“Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa
mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam
penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat serta kemampuan
perorangan untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan
pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga
masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran”.
Defenisi di atas menjelaskan adanya kewajiban dan keyakinan masyarakat akan
perlunya penyediaan fasilitas pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan
kemampuan setiap warga negara untuk menjangkau dan menggunakan setiap pelayanan
yang sudah menjadi haknya. Disamping itu pelayanan sosial hanya diberikan kepada
sekelompok orang atau masyarakat yang memang secara sosial tidak dapat atau terhambat
dalam menjalankan fungsinya.
Pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau intervensi-intervensi kasus yang
dilaksanakan secara diindividualisasikan langsung dan terorganisasi, yang bertujuan
membantu individu atau kelompok dan lingkungan sosial dalam upaya saling penyesuaian.
Disebut pelayanan dalam arti bahwa program ini memberikan jasa kepada orang-orang dan
membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka, bukan untuk kepentingan atau keuntungan
sendiri (Nurdin, 1990;50).
26
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan pelayanan sosial mencakup adanya perbuatan yang aktif antara
pemberi dan penerima. Bahwa untuk mencapai sasaran sebaik mungkin maka pelaksanaan
pelayanan sosial mempergunakan sumber-sumber tersedia sehingga benar-benar efisien dan
tepat guna. Dalam pelaksanaan pelayanan sosial maka adanya metode akan mempermudah
pelaksanaan suatu pekerjaan guna mencapai suatu tujuan.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, metode adalah cara teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan (Salim, 2002;973).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka metode adalah cara teratur yang
paling mudah dan efisien yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan guna
mencapai suatu tujuan. Tujuan memakai metode adalah supaya setiap kegiatan dapat
terlaksana dengan baik, rasional, dan terarah sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal
dan optimal. Dalam melaksanakan usaha untuk mengembalikan fungsi sosial seseorang
atau sekelompok orang maka harus ada usaha atau cara tertentu yang disebut metode yang
harus diberikan, demikian halnya dalam usaha menangani masalah anak jalanan. Setiap
lembaga sosial atau panti dan yayasan yang menangani kasus anak jalanan juga memiliki
metode sendiri dalam memberikan pelayanan terhadap kliennya.
Menurut Dra. Susilawati, M.Si seorang staf pengajar sosiologi di Universitas
Indonesia dalam membantu kehidupan anak jalanan ada tiga metode pendekatan yaitu:
Pertama, eliminasi yaitu berangkat dari asumsi bahwa kehidupan keluarga adalah
kehidupan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, untuk itu seorang
anak yang selama ini telah meninggalkan rumah, harus ditarik lagi kembali ke rumah dan
27
Universitas Sumatera Utara
melakukan reintegrasi dengan keluarga. Oleh karena itu pendekatan ini lebih menenkankan
pada bagaimana anak dapat kembali ditarik kerumah.
Kedua, pendekatan penguatan komunitas atau yang biasa dikenal dengan subkultur,
ini adalah kebalikan dari pendekatan eliminasi. Gagasan ini lebih dekat dengan gerakan
budaya yang telah terbangun di jalanan. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana
membangun dan mengembangkan komunitas dan budaya di jalan dimana tempat tersebut
sebagai tempat dan sekaligus media untuk mengembangkan segala potensi dan nilai-nilai
yang dibangun secara bersama oleh anak jalanan.
Ketiga, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada pengembangan skill dan
kemampuan anak. Gagasan ini dilatar belakangi oleh asumsi bahwa siapapuan orangnya.
Jika memiliki keterampilan dan kemampuan, maka ia akan dapat lebih mandiri. Mediamedia pengembangan dapat dilakukan dengan media, melukis, musik, bengkel. Titik tekan
dari pendekatan ini adalah bagaimana anak lebih berdaya dengan skill dan dengan
kemampuan yang dimilikinya. Idealnya dalam program anak jalanan ini melibatkan multi
disiplin agar bisa berhasil sesuai harapan. Untuk mengangkat ekonomi anak jalanan, maka
organisasi masyarakat juga bisa memberdayakan dan memberikan pendidikan serta
meningkatkan kualitas SDM mereka agar tidak terbuka pikirannya untuk tidak melakukan
aktifitas ekonomi di jalanan (Susilawaty, 2007 http//www.pikiranrakyat.com).
Untuk menjalankan ketiga metode diatas tersebut maka ada dua metode pekerja
sosial seperti yang dinyatakan oleh Warner dan Walter berikut: Warner Boehm (1959:44),
menyatakan bahwa bimbingan sosial perseorangan merupakan suatu metode pekerja sosial
yang melakukan intervensinya dalam aspek-aspek psikologis dari kehidupan seseorang
untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan atau mengembangkan fungsionalitas
28
Universitas Sumatera Utara
sosialnya melalui peningkatan kemampuannya untuk melaksanakan peranannya sesuai
dengan statusnya. Dari defenisi Boehm dapat disimpulkan bahwa bimbingan sosial
perseorangan merupakan suatu metode pekerja sosial yang menjadikan individu sebagai
sasaran pelayanan dan bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan keberfungsian
seseorang dan juga memusatkan perhatian pada interaksi diantara individu dengan individu
lain dan dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan, Walter menyatakan bahwa metode
pokok untuk membantu seseorang dalam masalahnya adalah social group work atau
bimbingan sosial kelompok dimana dapat diuraikan bahwa social group work mempunyai
sasaran ganda yaitu: individu sebagai anggota kelompok dan kelompok sebagai tempat
individu bernaung, dan disini lebih menekankan pengembangan individu/pribadi agar
mampu berpartisipasi dengan sempurna didalam kelompok atau masyarakat dimana ia
menjadi anggotanya.
D. Rumah Singgah sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan Sosial bagi Anak
Jalanan
Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana resosialisasi
kepada anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat setempat.
Rumah singgah merupakan tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan
selanjutnya, oleh karenanya penting menciptakan rumah singgah sebagai tempat yang
aman, nyaman, menarik, dan menyenangkan bagi anak jalanan. Rumah singgah juga ibarat
sebuah keluarga dimana pekerja sosial bertindak sebagai orang tua atau kakak untuk anak
jalanan. Dalam sebuah keluarga, hubungan yang terjadi bersifat informal dimana satu sama
lain saling mengasihi dan memperhatikan kesulitan. Sebagai orang tua, para pekerja sosial
membimbing anak jalanan kearah perilaku sehari-hari yang sesuai dengan norma. Salah
29
Universitas Sumatera Utara
satu usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak khususnya anak jalanan adalah
didirikannya rumah singgah yang empat-lima tahun belakangan ini mulai bermunculan di
Indonesia. Rumah singgah didefenisikan sebagai suatu “wahana yang dipersiapkan sebagai
perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka
(Gosita,1991;22).
Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan menagatasi masalahmasalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan
tujuan khususnya adalah membentuk sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat; mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika
memungkinkan atau ke panti dan lembaga-lembaga pengganti lainnya jika diperlukan; dan
memberikan berbagai alteratif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan
menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga yang produktif.
Rumah singgah memiliki fungsi sebagai berikut:
a). Tempat pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan,
mengkaji kebutuhan dan melakukan kegiatan program, dimana pekerja sosial melakukan
pendekatan sebagai tahap awal dan selanjutnya dapat menganalisa apa yang menjadi
kebutuhan dari anak jalanan.
b). Tempat untuk mengkaji masalah anak agar dapat diketahui seperti apa pelayanan yang
harus diberikan.
c).Rumah
singgah
merupakan
tempat
perlindungan
bagi
anak
dari
kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi, dan bentuk-bentuk kriminal lainnya yang terjadi
di jalanan.
30
Universitas Sumatera Utara
d). Pusat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti
data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan
lain-lain.
e). Tempat untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak, dimana para pekerja
sosial diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan membetulkan sikap
dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan mampu menumbuhkan keberfungsian sosial
anak.
Prinsip-prinsip rumah singgah yang disusun sesuai dengan karakteristik pribadi
kehidupan anak jalanan, adalah:
a). Semi institusional; anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk
baik untuk tinggal sementara maupun hanya mengikuti kegiatan.
b). Pusat kegiatan; merupakan tempat kegiatan, pusat informasi dan akses seluruh kegiatan
yang dilakukan di dalam maupun di luar rumah singgah, terbuka 24 jam, anak jalanan boleh
datang kapan saja, siang hari maupun malam hari terutama bagi anak jalanan yang baru
mengenal rumah singgah.
c). Hubungan informal (kekeluargaan); anak jalanan dibimbing sebagai anggota keluarga
besar, dimana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara/kakak atau orang tua.
Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah
keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan
sahabat; bebas untuk apa saja bagi anak, mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja,
seperti tidur, bermain, bercanda, mandi dan sebagainya.
d). Persinggahan dari jalanan kerumah singgah atau ke alternatif lain, misalnya kembali
kerumah, mengikuti saudara, masuk panti, kembali bersekolah dan sebagainya.
31
Universitas Sumatera Utara
Rumah singgah sebagai salah satu bentuk pelayanan untuk anak jalanan memiliki
program untuk membina dan mengembangkan kemampuan diri anak jalanan. Program
secara harafiah diartikan sebagai rencana kegiatan dalam suatu wadah tertentu. Dari batasan
tersebut terlihat bahwa program itu berhubungan dengan suatu kegiatan yang akan
dilaksanakan sebagai wujud dari suatu rencana. Program juga sebagai suatu rencana yang
diolah dengan memperhatikan faktor kemampuan ruang, waktu dan urutan-urutan
penyelenggaraan secara tegas dan teratur sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa,
dimana, dan bagaimana. Suatu program ditujukan untuk mengubah/meningkatkan
pengetahuan, sikap atau tingkah laku seseorang, mengubah institusi dimana dilakukan
untuk perubahan masyarakat ke yang lebih baik.
Rumah singgah dalam memberikan pelayanan kepada anak jalanan, dilihat dari
pengertian pelayanan sosial seperti yang dikemukakan oleh Alfred J Khan dalam
Sumarnonugroho (1991) harus memperhatikan beberapa prinsip, yaitu:
Pertama, prinsip pencegahan; dimana anak jalanan yang terlanjur ke jalanan
diupayakan ditarik kembali kepada keluarganya dan anak-anak yang masih tinggal dengan
keluarganya diupayakan jangan sampai ke jalanan. Untuk mengatasi penyebabnya,
diselenggarakan program pemberdayaan keluarga untuk anak sendiri seperti modal dan
beasiswa bagi anak yang masih sekolah.
Kedua, prinsip penyembuhan; ini ditujukan kepada anak jalanan yang memiliki
perilaku menyimpang. Bersama pekerja sosial, anak belajar untuk terlibat dalam memahami
masalah, merencanakan dan melaksanakan penanganannya. Anak dilatih bertanggungjawab
dalam memecahkan masalahnya.
32
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, prinsip pengembangan; dimana anak jalanan memiliki potensi, aspirasi, dan
inisiatif juga daya tahan yang kuat, kemauan keras dan tidak putus asa. Dalam prinsip
pengembangan ini, anak bersama pekerja sosial mengembangkan potensinya untuk
mengatasi masalah dan berguna bagi masa depannya.
Adapun program pelayanan dan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh rumah
singgah adalah:
a. Penjangkauan dan pendampingan di jalanan. Meliputi kunjungan lapangan dan
perkenalan, pemeliharaan hubungan dengan anak, pembentukan kelompok jalann,
serta konseling dan mendampingi kegiatan anak jalanan.
b. Identifikasi anak. Meliputi pengisian file profil anak, pengisian file monitoring
perkembangan anak. Ini dilakukan untuk mengetahui secarajelas mengenai anak
jalanan yang akan diberi bimbingan di suatu rumah singgah.
c. Resosialisasi. Meliputi pengenalan kegiatan keagamaan, pengajaran dan diskusi
tentang norma sosial, permainan, pertunjukan seni dan olah raga, membaca buku,
majalah, membimbing sosial perilaku sehari-hari, bimbingan sosial kasus,
pemeliharaan kesehatan, penyatuan kembali dengan keluarga, kunjungan kerumah
orang tua anak jalanan, pertemuan dengan warga sekitar rumah singgah.
d. Pemberdayaan
anak
jalanan.
Meliputi
pendidikan,
pelatihan,
pelayanan
keterampilan kerja, bantuan modal usaha dan membantu anak menemukan
pekerjaan lain.
e. Pemberdayaan untuk orang tua anak jalanan. Pengertian pemberdayaan orang tua
anak binaan adalah kegiatan bantuan modal usaha kepada para orang tua anak
jalanan yang bersekolah. Tujuannya membantu orang tua meneruskan usahanya dan
33
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan pendapatan orang tua. Sasaran program ini adalah orang tua yang
anaknya dibina dirumah singgah, mempunyai kegiatan usaha dan berpotensi untuk
dikembangkan, orang tua yang mendapat pemberdayaan adalah orang tua
perempuan. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi bimbingan dan penyuluhan,
pemberian modal dan bimbingan usaha.
f. Terminasi (pengakhiran pelayanan) dilakukan untuk mengakhiri proses penanganan
anak jalanan. Kegiatan ini dilakukan agar anak jalann tidak selalu menggantungkan
diri mereka pada rumah singgah, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang
secara mandiri (Sumarnonugroho.1999;43).
Dr. Inanam Kardono juga mengemukakan suatu program penanggulangan anak
jalanan yaitu melalui penyantunan dan pengentasan anak. Penyantunan dan pengentasan
anak terlantar dimaksud sebagai upaya pembinaan kesejahteraan sosial anak yang bersifat
pencegahan, pemulihan atau penyantunan dan pengembangan dengan cara meningkatkan
kemampuan anak, meningkatkan fungsi-fungsi dan peranan keluarga, masyarakat sehingga
tercipta kondisi sosial yang dinamis yang memungkinkan anak dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar (Kardono, 2007 http//www.suaramerdeka.com.htm).
E. Keterampilan sebagai Salah Satu Faktor Pemberdayaan Anak Jalanan
Keterampilan merupakan kemampuan yang berasal dari pengetahuan, latihan,
belajar, bakat untuk melakukan sesuatu yang baik. Keahlian khusus untuk melakukan
sesuatu yang baik diperoleh dari belajar dan latihan, untuk itu anak jalanan sangat
memerlukan bimbingan khusus agar memperoleh keterampilan dalam bekerja. Anak
jalanan juga harus mendapat bimbingan dalam orientasi dan mobilitas, dimana dengan
34
Universitas Sumatera Utara
orientasi dan mobilitas serta pemahaman konsep-konsep anak jalanan mampu berjalan
menuju dunia baru dengan percaya diri, antusias, dan mandiri.
A. Mangunharjana (1984;165), mengemukakan bahwa program penanggulangan
anak jalanan tidak terlepas dari proses pemberdayaan dan peningkatan skill dari anak
jalanan tersebut. Pemberdayaan dan peningkatan skill adalah mengembangkan individu
atau klien dari keadaan kurang mampu menjadi mampu, dan yang belum tahu menjadi tahu.
Seperti yang dikemukakan oleh Sumarnonugroho, pemberdayaan untuk anak jalanan
meliputi bantuan modal usaha, pendidikan, pelatihan dan keterampilan kerja sehingga anak
jalanan akan menemukan pekerjaan lain. Karna itu suatu proses peningkatan keterampilan
pada intinya ditujukan guna “individu memperoleh kemampuan untuk melakukan dan
mengerjakan suatu kegiatan yang dapat membantu kelangsungan hidupnya”. Peningkatan
keterampilan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan dan membuat suatu usaha untuk
membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (Shadow, dalam Adi, 2002;93).
Adapun upaya dalam peningkatan keterampilan anak jalanan yaitu adanya
partisipasi dari berbagai pihak dalam menangani masalah anak jalanan yaitu, keluarga,
tokoh agama, tokoh akademisi, aparat keamanan, aktivis LSM, masyarakat dan pemerintah.
Menurut Soerdijan (1990;10) menyebutkan bahwa program peningkatan keterampilan anak
jalanan adalah:
1. Memberikan pendidikan bagi individu atau anak tentang keterampilanketerampilan agar individu tersebut mempunyai keahlian guna memperoleh
pekerjaan yang lebih layak.
35
Universitas Sumatera Utara
2. Memberikan pelayanan/fasilitas yang memadai
bagi anak jalanan guna
kelancaran akan pengetahuan tentang keterampilan.
3. Memberikan bimbingan yang maksimal bagi anak jalanan dalam pendidikan
dan keterampilan.
Keberhasilan dalam memberikan pelayanan
yang dapat
menunjang atau
meningkatkan daya kreatifitas ataupun keterampilan anak sangat ditentukan oleh kualitas
pelayanan sosial dan fasilitas yang ada sebagai pendukung pelayanan program kerja yang
jelas yakni sebagai berikut:
1. Keterampilan yang terdiri dari keterampilan olah raga, kesenian.
2. Dalam pendidikan, seperti pemberian beasiswa (uang SPP), Pendidikan Luar
Sekolah (paket A,B,C) yang bekerjasama dengan Badan Pelatihan Pendidikan Luar
Sekolah dan Pemuda (BPPLSP).
3. Keterampilan Lifeskill seperti: pelatihan sablon, belajar mengemudi, belajar
komputer, salon, menjahit, tenun, dll.
4. Bidang kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan 1 kali dalam
seminggu, pemberian makanan tambahan (PMT) kerjasama dengan Depkes.
Keterampilan yang diperoleh anak dari rumah singgah akan dapat menjadi bekal
hidup yang berharga kelak bila sudah keluar dari dunia anak jalanan. Pelayanan-pelayanan
yang diberikan kepada anak akan sangat mendorong kelancaran proses tumbuh kembang
yang pada gilirannya dapat ikut serta dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan
peran dan tugas sebagai generasi penerus bangsa.
36
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Pemikiran
Jumlah anak jalanan yang bertambah banyak sekarang ini salah satunya disebabkan
keadaan ekonomi di Negara kita yang tidak jelas kapan akan membaik. Keadaan tersebut
membuat semakin banyak keluarga yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada akhirnya seluruh anggota keluarga harus mencari nafkah termasuk anak-anak, banyak
anak-anak yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Mereka adalah anak
yang berusia dibawah 18 tahun, tingkat pendidikannya rendah serta tidak memiliki
keterampilan yang memadai, membuat mereka sulit mencari nafkah disektor formal
sehingga terpaksa mencari nafkah di sektor informal seperti jalanan. Pekerjaan tersebut
kerapkali berkaitan dengan perlakuan kasar atau perbuatan buruk dari segolongan orang
seperti diperas, dicabuli ataupun tindakan kekerasan lainnya. Mereka sering menyaksikan
perilaku-perilaku
menyimpang.
Ini
secara
tidak
langsung
akan
mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhan kepribadian anak.
Walaupun demikian, mereka yang menjadi anak jalanan bukan saja berasal dari
keluarga miskin. Ada juga mereka yang berasal dari keluarga kaya tetapi tidak terjadi
keharmonisan didalam keluarga tersebut. Sehingga membuat anak merasa tidak bahagia
dan tidak merasa betah berada di lingkungan keluarga. Ini membuat mereka mencari
pelarian kejalanan. Mereka bergabung dengan ank-anak jalanan untuk bekerja dengan
tujuan untuk mencari kesenangan yang tidak diperoleh dalam keluarga. Oleh karena itu,
setiap anak jalanan yang menjadi anak jalanan memiliki beberapa sebab yang berbeda.
Lembaga atau yayasan yang turun langsung untuk membantu mereka sangat
diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Dengan adanya suatu lembaga atau yayasan yang memperhatikan hak-hak anak dan
37
Universitas Sumatera Utara
kesenjangan anak khususnya anak jalanan akan membuat anak jalanan merasa aman.
Lembaga atau yayasan yang sesuai dengan hal diatas adalah rumah singgah anak jalanan.
Suatu rumah singgah mempunyai fungsi sebagai perantara antara anak jalanan dengan
pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka seperti keluarga.
Kondisi rumah singgah akan mempengaruhi anak jalanan yang singgah ditempat
tersebut. Perkembangan anak jalanan berhubungan dengan akses negatif dari strategi
pengembangan kawasan perkotaan, pertambahan anak-anak yang putus sekolah, terjadinya
disharmonisasi keluarga, lemahnya faktor ekonomi serta adanya rangsang konsumtif anak.
Keberhasilan suatu rumah singah dalam memberikan pelayanan yang dapat menunjang atau
meningkatkan daya kreatifitas ataupun keterampilan anak sangat ditentukan oleh kualitas
pelayanan sosial, fasilitas yang ada sebagai pendukung pelayanan program kerja yang jelas
seperti: pertama, keterampilan yang terdiri dari keterampilan olah raga (sepak bola),
kesenian (seni musik). Kedua: pendidikan seperti pemberian beasiswa (uang SPP),
pendidikan Luar Sekolah (paket A,B,C) bekerja sama dengan Badan Pelatihan Pendidikan
luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP). Ketiga: keterampilan life skill seperti pelatihan
sablon, belajar mengemudi, menjahit, saloon, tenun dan lain-lain. Keempat, bidang
kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan 1 kali dalam seminggu dan
pemberian makanan tambahan 1 kali dalam 1 bulan.
Keefektifan pelayanan rumah singgah serta kelengkapan sarana dan prasarana yang
tersedia akan sangat meningkatkan kualitas keahlian dan keterampilan anak jalanan.
Keterampilan yang diperoleh anak dari rumah singgah akan dapat menjadi bekal hidup
yang berharga kelak bila sudah keluar dari dunia anak jalanan. Penyediaan rumah singgah
merupakan upaya agar hak-hak anak dari anak jalanan dapat terpenuhi dan dapat
38
Universitas Sumatera Utara
mendorong kelancaran proses tumbuh kembang yang pada gilirannya dapat ikut serta
dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan peran dan tugas sebagai generasi
penerus bangsa.
Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Rumah singgah sebagai bentuk
pelayanan sosial bagi anak jalanan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pelayanan Rumah Singgah
Penjangkauan dan
pendampingan anak jalanan.
Identifikasi anak
Resosialisasi
Pemberdayaan anak jalanan
Pemberdayaan orang tua anak
jalanan
Terminasi
Pendidikan
Kesehatan
Keterampilan Life Skill
Keterampilan (Life Skill) Anak Jalanan:
- Salon
- Menjahit
- Mengemudi
- Sablon
- Bermain Musik
- Tenun
G.Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
G.1. Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara
abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu
39
Universitas Sumatera Utara
sosial. Konsep penelitian sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan atau
kesalahpahaman yang dapat mengaburkan tujuan-tujuan penelitian. Konsep yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Yayasan AGAPE merupakan induk dari Rumah Singgah AGAPE. Segala rencana dan
program yang akan dijalankan bersumber dari yayasan AGAPE.
2. Rumah Singgah adalah suatu lembaga sosial atau organisasi sosial yang digunakan
untuk memberikan pelayanan sosial bagi anak jalanan agar mereka dapat tumbuh
berkembang dengan wajar.
3. Anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur dibawah 18 tahun yang mencari
nafkah di jalanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya serta
membiayai sekolahnya bagi mereka yang masih sekolah.
4. Pelayanan sosial berarti pemberian bantuan kepada orang lain berupa materi maupun
non materi, dengan tujuan untuk membantu orang tersebut mengatasi masalahnya.
Dalam konteks ini yang dimaksud adalah anak jalanan.
5. Keterampilan adalah kemampuan yang berasal dari pengetahuan, latihan, bakat untuk
melakukan sesuatu yang baik. Keahlian khusus untuk melakukan sesuatu yang baik
yang diperoleh melalui belajar dan latihan.
G.2. Definisi Operasional
Defenisi operasional merupakan penguraian indikator-indikator yang termasuk
dalam suatu variabel agar dalam melakukan pengukuran menjadi jelas. Dengan defenisi
operasional maka akan diketahui indikator-indikator apa saja yang melekat dan perlu untuk
40
Universitas Sumatera Utara
diukur. Adapun tingkat program pelayanan rumah singgah dengan indikatornya sebagai
berikut:
1. Yayasan AGAPE ditunjukkan oleh seberapa besar pengaruh lembaga terhadap
jalannya program yang direncanakan di rumah singgah.
2. Rumah Singgah merupakan fasilitas pendukung, sarana dan prasarana yang tersedia:

Gedung dan bangunan-bangunan

Tempat bermain dan olah raga

Perlengkapan alat keterampilan (musik dll)

Perlengkapan belajar

Perpustakaan dan media informasi bagi anak jalanan.
3. Pelayanan sosial ditunjukkan oleh program-program pelayanan yang ada dan
diberikan rumah singgah bagi anak jalanan yang menjadi bagian dari rumah singgah
tersebut. Pelayanan tersebut meliputi pemberian beasiswa, pemberian pendidikan
keterampilan, pelayanan kesehatan, bimbingan dan bantuan usaha.
4. Keterampilan anak di ukur dari ada atau berkembang tidaknya keahlian / keterampilan
anak jalanan seperti keahlian bermain musik (drum, gitar, bass, vocal), bermain olah
raga (sepak bola), pendidikan. Disini akan dilihat perkembangan keterampilan anak
jalanan selama menjadi anak binaan AGAPE.
5. Anak jalanan diukur dari jumlah anak jalanan yang menjadi binaan rumah singgah.
Batasan terhadap umur anak jalanan juga ditentukan, sehingga anak yang sudah
dewasa tidak selamanya tergantung pada rumah singgah.
41
Universitas Sumatera Utara
Download