Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Mineral

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat
penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan
karena berhubungan erat dengan pendapatan nasional dan daerah serta
memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang. Sektor pertambangan
juga berkontribusi signifikan pada pembangunan daerah. Menurut LPEM-UI pada
tahun 2006 PT Freeport Indonesia (PTFI) telah menyumbangkan 2,5% terhadap
pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sedangkan kontribusi
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua dan PDRB Mimika
untuk tahun yang sama masing-masing mencapai 49,5% dan 94,2%. Selain itu,
PTFI juga memberikan kontribusi terhadap realisasi Penerimaan Dalam Negeri
APBN 2006 sebesar 2,23% melalui pembayaran Pajak dan pembayaran kepada
pemerintah lainnya (Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP) sebesar Rp
14,6 triliun. Kontribusi PTFI terhadap APBD Papua mencapai Rp 313 miliar
(10%) sedangkan terhadap APBD Kabupaten Mimika mencapai Rp 533 miliar
(65%).
Sampai saat ini, manusia masih memerlukan dukungan hasil sumberdaya
pertambangan
dan
komoditi
tambang
untuk
mempertahankan
serta
meningkatkan kesejahteraannya, sehingga keberadaan pertambangan secara
signifikan merupakan sektor yang strategis dalam kerangka pembangunan umat
manusia (Djajadinigrat 2007). Namun, tetap tidak terlepas dari masalah
dampaknya
terhadap
lingkungan
seperti
pembuangan
limbah
tambang,
pencemaran logam berat (air raksa, arsen), dan lain sebagainya. Keterkaitan ini
dituangkan pada ketentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumberdaya
mineral.
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2001
merupakan pemacu proses desentralisasi di berbagai sektor pemerintahan
termasuk sektor pertambangan. Berbagai isu aktifitas pertambangan dengan
kualitas lingkungan perlu diperhatikan untuk menjamin keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan serta menjamin iklim
investasi yang kondusif bagi investor untuk pertambangan yang berskala besar.
Pengelolaan limbah pertambangan mineral (emas dan tembaga) yang telah
dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi
1
terjadinya
degradasi
kualitas
lingkungan
bio-fisik
dan
masalah
sosial
kemasyarakatan, meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi
pada industri bersih yang berwawasan lingkungan. Perubahan lingkungan di
sekitar
pertambangan
dapat
terjadi
setiap
saat,
sehingga
manajemen
pengelolaan limbah yang efektif menjadi indikator keberlanjutan usaha
pertambangan mineral.
Sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan diharapkan dapat
mencegah dampak pencemaran terhadap daya dukung lingkungan, perubahan
perilaku sosial kemasyarakatan serta pertumbuhan sektor ekonomi informal yang
tidak terkendali. Untuk itu seyogyanya pengelolaan lingkungan pertambangan
mineral dituangkan dalam suatu kebijakan yang sistematis dan terarah secara
berkelanjutan (Weimar & Vining 1989). Perubahan paradigma pertambangan
Indonesia menuju pertambangan yang berkelanjutan dengan tiga aspek yaitu:
ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek sosial merupakan bagian dari lingkungan
non-fisik yang lebih ditekankan pada community development (Irwandy 2007).
Menurut Silalahi (2003) masalah hak berdaulat dan menguasai sumberdaya
alam, hak membangun dan tanggungjawab negara dalam pengelolaan
lingkungan, terkait dengan pencemaran, prinsip bertetangga yang baik, prinsip
kehati-hatian dan hak asasi manusia atas sumberdaya alam, merupakan
perkembangan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan
pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Salah satu masalah penting
yang
dihadapi
dalam
pembangunan
berkelanjutan adalah kondisi ekonomi dalam menghadapi trade-off antara
pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan
kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber
daya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan
berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumberdaya alam
dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain,
pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam
dan lingkungan akan menyebabkan tidak berlanjutnya pembangunan tersebut.
Masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu isu utama bagi semua
negara dewasa ini. Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia pada 5-16
Juni 1972 di Stockholm Swedia menjadi tonggak bagi bangsa-bangsa untuk
membangun komitmen pelestarian lingkungan hidup (Tangkilisan 2004). Sejak
itulah kemudian dikembangkan konsep eco-development sebagai upaya-upaya
2
menserasikan kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup agar berjalan serasi.
Menurut Soemarwoto (2004), konsep eco-development di Indonesia kemudian
dikenal
sebagai
pembangunan
berwawasan
lingkungan.
Pembangunan
berwawasan lingkungan mempunyai arti bahwa pembangunan itu serasi dengan
lingkungan hidup sehingga tidak menganggu fungsi ekologinya.
Konsep pembangunan berkelanjutan juga mulai dikenal secara luas sejak
tahun 1987 melalui laporan Brundtland. Laporan tersebut merupakan laporan
Komisi
Sedunia
tentang
Lingkungan
Hidup
dan
Pembangunan
(World
Commission on Environment and Development) (WCED 1987). Soemarwoto
(2004) mengemukakan bahwa laporan itu memberi sumbangan yang besar pada
pengertian tentang hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan
sebagai ”pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka”. Pembangunan berkelanjutan mengusahakan agar hasil pembangunan
terbagi merata dengan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat
serta antar-generasi. Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan berwawasan lingkungan.
Demikian pula halnya dengan kegiatan pembangunan melalui usaha
pertambangan mineral membutuhkan seperangkat kondisi yang mendukung
pembangunan berkelanjutan. Usaha pertambangan mineral tidak hanya sekedar
pemenuhan keuntungan (aspek ekonomi) dari pengelolaan sumber daya mineral,
tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan sosial dan lingkungan. Menurut
Todaro (1994), sistem ekonomi perlu dianalisis dan didudukkan pada konteks
sistem sosial secara keseluruhan dari suatu negara dan tentu saja, dalam
konteks global atau internasional. Sistem sosial disini adalah hubunganhubungan yang saling terkait antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor nonekonomi. Dikemukakan juga bahwa pertimbangan lingkungan menjadi subsistem
yang dimasukkan dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber
daya manusia. Asumsinya jika pembangunan tidak memperhatikan kualitas
lingkungan hidup, maka depresiasi sumber daya alam akan semakin nyata.
Dalam beberapa tahun ini, kepedulian masyarakat dan dampak lingkungan
pada industri pertambangan global telah diarahkan pada beberapa kerangka
kerja berkelanjutan. Pada pertambangan emas, terdapat beberapa isu
fundamental yang berkenaan dengan penilaian keberlanjutan. Biasanya
3
dirasakan sebagai sumberdaya terbatas dan tidak terbarukan, kecenderungan
produksi emas jangka panjang termasuk penurunan mutu bijih dan peningkatan
limbah padat (tailing, limbah batuan) dan pertambangan terbuka. Kontek
pembangunan berkelanjutan pada pertambangan khususnya masih sama, yaitu
keseimbangan potensi lingkungan dan resiko sosial dengan resiko ekonomi
(Mudd 2007).
Pertambangan selalu dikaitkan dengan degradasi lingkungan. Jika aktivitas
pertambangan besar didukung dengan manajemen lingkungan secara tepat,
pertambangan skala kecil khususnya pertambangan tanpa ijin tidak melakukan
pengendalian lingkungan. Beberapa dampak lingkungan yang serius yang telah
ditelusuri termasuk degradasi lahan, ketidakstabilan lahan, kerusakan habitan
flora dan fauna, kotaminasi air (sungai dan air tanah) dan penurunan kesehatan
(Manaf 1999).
Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya mineral perlu
diselenggarakan dengan memperhatikan keterpaduan aspek sosial, ekonomi,
dan masyarakat. Secara umum, pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia
baik yang dilakukan oleh perusahaan modal asing maupun dalam negeri telah
memberikan manfaat terhadap perekonomian negara. Penerimaan negara yang
berasal dari sektor pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2004 adalah
sekitar Rp 7,97 triliun, dimana penerimaan tersebut berasal dari penerimaan
pajak dan bukan pajak. Perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut
melakukan
operasi
di
wilayah
Indonesia
melalui
suatu
kontrak
karya
pertambangan (DESDM 2007).
Sumberdaya alam berupa bahan mineral memiliki nilai yang sangat tinggi
dan oleh manusia digunakan secara luas untuk berbagai keperluan. Sebagai
contoh, tembaga paling banyak digunakan untuk keperluan kelistrikan dan
aplikasi elektronik. Selain itu, tembaga banyak digunakan untuk sistem elektrik
kendaraan bermotor, motor listrik, pestisida, pupuk, pigmen, bahan atap,
ornamen, perabot rumah tangga, dan barang-barang perhiasan. Kuningan
adalah logam campuran tembaga dengan seng, yang digunakan sebagai bahan
untuk keperluan hiasan, kran air, perabot rumah tangga, alat musik, dan lain
sebagainya. Sedangkan perunggu yang merupakan campuran tembaga dengan
timah, banyak digunakan untuk pembuatan berbagai jenis mesin.
Selain memberikan kemanfaatan ekonomi, eksplorasi bahan mineral yang
dilakukan oleh perusahaan pertambangan di Indonesia di sisi lain juga
4
cenderung memberikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak
tersebut berupa terjadinya perubahan pada ekosistem di sekitar lokasi
penambangan. Perubahan tersebut terutama terjadi akibat dari perubahan
bentang alam, kualitas tanah, air dan udara (Soehoed 2002). Berkaitan dengan
potensi
dampak
terhadap
lingkungan
yang
ditimbulkan
dari
kegiatan
pertambangan maka pemerintah berusaha mengeluarkan berbagai kebijakan
pengendalian dan pengelolaan limbah yang baik guna menjamin limbah yang
dihasilkan dari kegiatan pertambangan tersebut memiliki dampak minimal pada
ekosistem yang ada. Hal tersebut diwujudkan dengan diterbitkannya berbagai
peraturan melalui Undang-Undang, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan
Menteri (Kepmen), Surat Keputusan Direktorat Jenderal (SK Dirjen), dan
Peraturan Daerah (Perda) (Siahaan 2004).
Menurut WALHI (2006) dampak operasi dan kerusakan lingkungan di
sekitar lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia hingga saat ini sulit sekali
bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh
mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidak
jelasan informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung
pada kekerasan, pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah
masyarakat sekitar tambang. Negara gagal memberikan perlindungan dan
menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak
memberikan dukungan penuh kepada PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan
dengan pengerahan personil militer dan pembiaran kerusakan lingkungan.
Kerawanan lingkungan hidup yang rusak oleh proses pertambangan yang
tidak
terkendali
menjadi
salah
satu
perhatian
dalam
pembangunan
pertambangan mineral secara berkelanjutan. Apabila dilihat dari prosesnya,
untuk menambang bijih pada penambangan terbuka, terlebih dahulu harus
disingkirkan batuan yang menutup batuan bijih. Batuan yang menutupi batuan
bijih dan tidak mengandung cukup mineral berharga untuk diolah disebut batuan
penutup (overburden). Batuan pentutup diangkut dari dalam tambang terbuka
dan ditimbun di daerah sekitarnya. Sebelum ditambang, batuan penutup tidak
mempunyai kontak oksigen dan air karena terletak di bawah permukaan tanah
sehingga tetap stabil.
Batuan penutup yang mengandung belerang (mineral sulfida) dapat
menghasilkan asam karena bereaksi dengan oksigen dan air. Air asam tersebut
terbawa oleh air hujan menjadi air asam batuan (Acid Rock Drainage). Untuk
5
mencegah dan menetralkan air asam batuan digunakan gamping dan bubur
kapur. Pengumpulan air asam batuan dilakukan melalui jalur pipa dan
terowongan bawah tanah menuju fasilitas penetralan di kompleks pabrik
pengolahan bijih. Hanya sekitar 3% dari total bijih yang diolah di pabrik berubah
menjadi konsentrat. Pasir yang tersisa dari proses pengolahan bijih dinamakan
tailing atau pasir sisa tambang (PTFI 2006b).
Alternatif pembuangan limbah berupa pasir sisa tambang yang diterapkan
oleh salah satu perusahaan pertambangan mineral tembaga di Papua adalah
daerah penampungan pasir sisa tambang berupa dataran dimana untuk
pengamanan terhadap luberan pasir sisa tambang dilengkapi oleh dua buah
tanggul yaitu tanggul timur dan tanggul barat. Masing-masing tanggul memiliki
panjang 35 Km dan 40 Km, dan memiliki lebar antara 3,0 dan 3,5 Km. Daerah ini
disebut Modifikasi Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA) atau Modified Ajkwa
Deposition Area (Mod-ADA). Daerah penampungan pasir sisa tambang ModADA seluas 230 km2 menimbulkan pengaruh yang besar pada lingkungan,
khususnya lingkungan biofisik di daerah itu. Ribuan hektar hutan hujan tropis
dimanfaatkan sebagai daerah pengendapan pasir sisa tambang di sepanjang
aliran Mod-ADA (Soehoed 2002).
Besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di
Mod-ADA tersebut memunculkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan
dampak terhadap lingkungan hidup, diantaranya: (i)
Karena sebagian lokasi
pembuangan (pengendapan) pasir sisa tambang relatif tidak jauh dari wilayah
estuaria, maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan area pengendapan
pasir sisa tambang agar pengendapan pasir sisa tambang terjadi di dataran, (ii)
suksesi alami dapat terjadi di area pengendapan pasir sisa tambang sehingga
menjamin berlangsungnya aktivitas biota, (iii) peluang pemanfaatan area
pengendapan pasir sisa tambang untuk kegiatan-kegiatan produktif, baik oleh
masyarakat maupun pemerintah daerah setempat pada saat ini maupun di masa
yang akan datang, (iv) resiko lingkungan dengan adanya pengelolaan area
pengendapan.
Walaupun di satu sisi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PTFI
telah memberikan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat sekitarnya, pemerintah
daerah, propinsi dan pemerintah pusat bahkan memberikan manfaat ekonomi
secara global (LPEM 2003), namun di pihak lain, tidak dapat dipungkiri bahwa
telah terjadi kerusakan lingkungan yang luas. Kenyataan ini sebenarnya juga
6
disebabkan oleh adanya bias dalam pengelolaan pasir sisa tambang di lokasi
pertambangan yang disebabkan oleh tidak adanya kepastian peraturan
pemerintah yang khusus mengatur tata cara pengelolaan pasir sisa tambang.
Bertolak dari kenyataan-kenyataan di atas maka untuk dapat menjamin
adanya keberlanjutan pembangunan sistem sarana dimana terkait dengan
dampak limbah pertambangan, baik keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial,
maupun keberlanjutan lingkungan maka diperlukan suatu model kebijakan yang
terpadu.
pertanyaan
Pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaandiatas
adalah
dengan
menggunakan
pendekatan
sistem.
Pertimbangannya, permasalahan pengelolaan limbah dan lingkungan di wilayah
pertambangan mineral tembaga merupakan persoalan yang kompleks dan tidak
dapat dijawab dan diselesaikan secara parsial. Permodelan sistem juga dapat
menjelaskan bagaimana keterkaitan atau hubungan antarsistem yang dibangun
dalam mewujudkan keberlanjutan pertambangan mineral. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan untuk menemukenali dan merumuskan
sebuah alternatif model konseptual tentang kebijakan pengelolaan lingkungan
pertambangan mineral secara berkelanjutan.
1.2. Pokok Permasalahan
Kebijakan yang tepat dan terpadu merupakan salah satu kunci dalam
menjaga konsistensi dan jaminan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam.
Demikian pula halnya dengan pengelolaan potensi sumberdaya mineral melalui
kegiatan kegiatan pertambangan membutuhkan seperangkat kebijakan yang
mendukung pencapaian manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan secara serasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pemahaman yang kuat terhadap
faktor-faktor yang mendukung kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan
mineral secara berkelanjutan. Bagian dari faktor-faktor tersebut merupakan
subsistem yang akan dibangun dalam sebuah sistem melalui model kebijakan
pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan.
Pentingnya perumusan model kebijakan tersebut dikarenakan fenomena
masalah pertambangan mineral, khususnya di Kabupaten Mimika pada wilayah
Mod-ADA yang cukup kritis dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai
pemangku kepentingan terkait, termasuk Pemerintah di lingkungan Pemerintah
Daerah (Pemda) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua serta Pemerintah Pusat.
Berdasarkan hasil audit lingkungan menunjukkan bahwa pengaliran pasir sisa
tambang hasil kegiatan pertambangan melalui sungai sampai ke wilayah Mod-
7
ADA merupakan opsi pengelolaan lingkungan yang paling tepat untuk kondisi
iklim dan topografi. Mekanisme pembuangan limbah tersebut jauh lebih efektif
terhadap resiko dan dampak lingkungan dibandingkan dengan membangun jalur
pipa untuk mengalirkan pasir sisa tambang dari dataran tinggi menuju dataran
rendah, bendungan pasir sisa tambang dan sarana pembuangan di dataran
tinggi, atau opsi-opsi lainnya yang sudah dievaluasi
Namun demikian dalam pengelolaan limbah pertambangan mineral masih
terdapat banyak kerawanan terhadap lingkungan. Hal tersebut antara lain terlihat
dari besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di ModADA yang dapat memunculkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan
hidup. Selain itu juga merebaknya pelaku Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)
melahirkan persoalan baru terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan
karena belum ada mekanisme pengendalian terhadap upaya penambangan yang
dilakukan oleh kelompok PETI di wilayah Mod-ADA, Kabupaten Mimika.
Penurunan kualitas air permukaan pada tingkat yang tidak terkendali dalam
usaha kegiatan pertambangan mineral dapat mengancam peruntukannya bagi
berbagai kepentingan, bahkan lebih jauh dari itu akan mengganggu fungsi
kelestarian sumberdaya air tersebut.
Kegiatan penambangan mineral yang dilakukan oleh Kelompok PETI di
wilayah Mod-ADA secara umum menimbulkan terjadinya erosi dan pendangkalan
atau sedimentasi. Kondisi demikian selain merusak ekologis sungai, juga dapat
menyebabkan penurunan kualitas air yang dapat membahayakan kehidupan
masyarakat pengguna air Sungai Ajkwa di wilayah Mod-ADA. Proses
penambangan yang dilakukan oleh PETI di wilayah Mod-ADA secara umum
sangat sederhana, tetapi akibat dari kesederhanaan tersebut dan minimnya
pengetahuan
dan
ketidakpedulian
terhadap
lingkungan
dan
kesehatan
masyarakat dapat membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup dan
kelestarian lingkungan Sungai Ajkwa.
Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa volume pasir sisa tambang
yang sangat besar di buang ke sungai Akjwa dan maraknya kegiatan PETI di
wilayah Mod-ADA menimbulkan kerawanan lingkungan di sepanjang daerah
tersebut. Pada sisi lain kebijakan lingkungan yang diterapkan belum mampu
mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu permasalahan yang terjadi
dalam pengelolaan limbah pertambangan mineral di wilayah Mod-ADA dapat
dirumuskan sebagai berikut:
8
(1)
Kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral, khususnya di
wilayah Mod-ADA belum berjalan secara efektif dan terpadu sehingga
menyebabkan terjadinya kerawanan lingkungan dan kelestarian sumber
daya alam di wilayah tersebut.
(2)
Sintesa
berbagai
faktor
yang
mendukung
kebijakan
pengelolaan
lingkungan pertambangan mineral di wilayah Mod-ADA belum ditemukenali
sehingga
dapat
menimbulkan
persoalan
dalam
perumusan
model
kebijakan pengelolaan lingkungan yang tepat dan terpadu.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model konseptual
kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral berdasarkan konsep
pembangunan berkelanjutan dan faktor-faktor pendukung yang terdapat di
wilayah pengelolaan limbah Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua. Tujuan
khusus untuk mendukung perumusan model adalah:
(1)
Menganalisis situasi sistem pengelolaan limbah tambang mineral di wilayah
Mod-ADA Kabupaten Mimika, Papua.
(2)
Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang mendukung model
kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral di wilayah ModADA melalui pendekatan system thinking.
(3)
Merumuskan
struktur
model
kebijakan
pengelolaan
lingkungan
pertambangan mineral dengan pemodelan sistem.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis
bagi Pemerintah, Perusahaan (swasta) dan masyarakat setempat maupun
secara teoritis sebagai berikut:
(1)
Manfaat Praktis. Bagi Pemerintah dalam hal rekomendasi alternatif
kebijakan pengelolaan limbah pertambangan mineral di Indonesia yang
lebih baik; bagi Perusahaan (swasta) dalam hal rekomendasi untuk
melakukan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang tepat dan
terkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. Bagi masyarakat
setempat,
baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung,
untuk
9
meningkatkan kelestariaan pemanfaatan sumber daya mineral dan
pengelolaan lingkungan hidup berbasis masyarakat.
(2)
Manfaat Teoritis. Sebagai kajian ilmu sistem dalam pengembangan model
konseptual kebijakan publik dalam operasionalisasi pertambangan mineral
secara berkelanjutan, khususnya terkait dengan penanganan limbah dan
upaya pemberdayaan masyarakat.
1.5. Novelty
Kebaruan dari penelitian pemodelan kebijakan pengelolaan lingkungan
pertambangan mineral adalah:
(1)
Rumusan model pengelolaan lingkungan untuk pengendalian dampak
limbah pertambangan mineral melalui integrasi model pengelolaan
lingkungan fisik dan model pengelolaan lingkungan biologik yang didukung
dengan upaya pemberdayaan masyarakat.
(2)
Rumusan mekanisme arahan kebijakan CSR dalam pengembangan
corporate social and environmental responsibility (CSER) perusahaan
pertambangan terhadap kepedulian lingkungan melalui manajemen
konsensus para pemangku kepentingan dengan evaluasi periodik
Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan
(RKL-RPL).
(3)
Penerapan prinsip keberlanjutan COMHAR yaitu pengambilan keputusan
yang baik, menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati,
kepuasan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumberdaya
serta keadilan sosial dalam
perumusan model kebijakan strategi
pengelolaan lingkungan.
10
Download