I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena berhubungan erat dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang. Sektor pertambangan juga berkontribusi signifikan pada pembangunan daerah. Menurut LPEM-UI pada tahun 2006 PT Freeport Indonesia (PTFI) telah menyumbangkan 2,5% terhadap pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sedangkan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua dan PDRB Mimika untuk tahun yang sama masing-masing mencapai 49,5% dan 94,2%. Selain itu, PTFI juga memberikan kontribusi terhadap realisasi Penerimaan Dalam Negeri APBN 2006 sebesar 2,23% melalui pembayaran Pajak dan pembayaran kepada pemerintah lainnya (Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP) sebesar Rp 14,6 triliun. Kontribusi PTFI terhadap APBD Papua mencapai Rp 313 miliar (10%) sedangkan terhadap APBD Kabupaten Mimika mencapai Rp 533 miliar (65%). Sampai saat ini, manusia masih memerlukan dukungan hasil sumberdaya pertambangan dan komoditi tambang untuk mempertahankan serta meningkatkan kesejahteraannya, sehingga keberadaan pertambangan secara signifikan merupakan sektor yang strategis dalam kerangka pembangunan umat manusia (Djajadinigrat 2007). Namun, tetap tidak terlepas dari masalah dampaknya terhadap lingkungan seperti pembuangan limbah tambang, pencemaran logam berat (air raksa, arsen), dan lain sebagainya. Keterkaitan ini dituangkan pada ketentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya mineral. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2001 merupakan pemacu proses desentralisasi di berbagai sektor pemerintahan termasuk sektor pertambangan. Berbagai isu aktifitas pertambangan dengan kualitas lingkungan perlu diperhatikan untuk menjamin keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan serta menjamin iklim investasi yang kondusif bagi investor untuk pertambangan yang berskala besar. Pengelolaan limbah pertambangan mineral (emas dan tembaga) yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi 1 terjadinya degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial kemasyarakatan, meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi pada industri bersih yang berwawasan lingkungan. Perubahan lingkungan di sekitar pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan limbah yang efektif menjadi indikator keberlanjutan usaha pertambangan mineral. Sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan diharapkan dapat mencegah dampak pencemaran terhadap daya dukung lingkungan, perubahan perilaku sosial kemasyarakatan serta pertumbuhan sektor ekonomi informal yang tidak terkendali. Untuk itu seyogyanya pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dituangkan dalam suatu kebijakan yang sistematis dan terarah secara berkelanjutan (Weimar & Vining 1989). Perubahan paradigma pertambangan Indonesia menuju pertambangan yang berkelanjutan dengan tiga aspek yaitu: ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek sosial merupakan bagian dari lingkungan non-fisik yang lebih ditekankan pada community development (Irwandy 2007). Menurut Silalahi (2003) masalah hak berdaulat dan menguasai sumberdaya alam, hak membangun dan tanggungjawab negara dalam pengelolaan lingkungan, terkait dengan pencemaran, prinsip bertetangga yang baik, prinsip kehati-hatian dan hak asasi manusia atas sumberdaya alam, merupakan perkembangan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan pembangunan berkelanjutan Indonesia. Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan berkelanjutan adalah kondisi ekonomi dalam menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan tidak berlanjutnya pembangunan tersebut. Masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu isu utama bagi semua negara dewasa ini. Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia pada 5-16 Juni 1972 di Stockholm Swedia menjadi tonggak bagi bangsa-bangsa untuk membangun komitmen pelestarian lingkungan hidup (Tangkilisan 2004). Sejak itulah kemudian dikembangkan konsep eco-development sebagai upaya-upaya 2 menserasikan kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup agar berjalan serasi. Menurut Soemarwoto (2004), konsep eco-development di Indonesia kemudian dikenal sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan mempunyai arti bahwa pembangunan itu serasi dengan lingkungan hidup sehingga tidak menganggu fungsi ekologinya. Konsep pembangunan berkelanjutan juga mulai dikenal secara luas sejak tahun 1987 melalui laporan Brundtland. Laporan tersebut merupakan laporan Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development) (WCED 1987). Soemarwoto (2004) mengemukakan bahwa laporan itu memberi sumbangan yang besar pada pengertian tentang hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai ”pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Pembangunan berkelanjutan mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi merata dengan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat serta antar-generasi. Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan berwawasan lingkungan. Demikian pula halnya dengan kegiatan pembangunan melalui usaha pertambangan mineral membutuhkan seperangkat kondisi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Usaha pertambangan mineral tidak hanya sekedar pemenuhan keuntungan (aspek ekonomi) dari pengelolaan sumber daya mineral, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan sosial dan lingkungan. Menurut Todaro (1994), sistem ekonomi perlu dianalisis dan didudukkan pada konteks sistem sosial secara keseluruhan dari suatu negara dan tentu saja, dalam konteks global atau internasional. Sistem sosial disini adalah hubunganhubungan yang saling terkait antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor nonekonomi. Dikemukakan juga bahwa pertimbangan lingkungan menjadi subsistem yang dimasukkan dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia. Asumsinya jika pembangunan tidak memperhatikan kualitas lingkungan hidup, maka depresiasi sumber daya alam akan semakin nyata. Dalam beberapa tahun ini, kepedulian masyarakat dan dampak lingkungan pada industri pertambangan global telah diarahkan pada beberapa kerangka kerja berkelanjutan. Pada pertambangan emas, terdapat beberapa isu fundamental yang berkenaan dengan penilaian keberlanjutan. Biasanya 3 dirasakan sebagai sumberdaya terbatas dan tidak terbarukan, kecenderungan produksi emas jangka panjang termasuk penurunan mutu bijih dan peningkatan limbah padat (tailing, limbah batuan) dan pertambangan terbuka. Kontek pembangunan berkelanjutan pada pertambangan khususnya masih sama, yaitu keseimbangan potensi lingkungan dan resiko sosial dengan resiko ekonomi (Mudd 2007). Pertambangan selalu dikaitkan dengan degradasi lingkungan. Jika aktivitas pertambangan besar didukung dengan manajemen lingkungan secara tepat, pertambangan skala kecil khususnya pertambangan tanpa ijin tidak melakukan pengendalian lingkungan. Beberapa dampak lingkungan yang serius yang telah ditelusuri termasuk degradasi lahan, ketidakstabilan lahan, kerusakan habitan flora dan fauna, kotaminasi air (sungai dan air tanah) dan penurunan kesehatan (Manaf 1999). Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya mineral perlu diselenggarakan dengan memperhatikan keterpaduan aspek sosial, ekonomi, dan masyarakat. Secara umum, pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia baik yang dilakukan oleh perusahaan modal asing maupun dalam negeri telah memberikan manfaat terhadap perekonomian negara. Penerimaan negara yang berasal dari sektor pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2004 adalah sekitar Rp 7,97 triliun, dimana penerimaan tersebut berasal dari penerimaan pajak dan bukan pajak. Perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut melakukan operasi di wilayah Indonesia melalui suatu kontrak karya pertambangan (DESDM 2007). Sumberdaya alam berupa bahan mineral memiliki nilai yang sangat tinggi dan oleh manusia digunakan secara luas untuk berbagai keperluan. Sebagai contoh, tembaga paling banyak digunakan untuk keperluan kelistrikan dan aplikasi elektronik. Selain itu, tembaga banyak digunakan untuk sistem elektrik kendaraan bermotor, motor listrik, pestisida, pupuk, pigmen, bahan atap, ornamen, perabot rumah tangga, dan barang-barang perhiasan. Kuningan adalah logam campuran tembaga dengan seng, yang digunakan sebagai bahan untuk keperluan hiasan, kran air, perabot rumah tangga, alat musik, dan lain sebagainya. Sedangkan perunggu yang merupakan campuran tembaga dengan timah, banyak digunakan untuk pembuatan berbagai jenis mesin. Selain memberikan kemanfaatan ekonomi, eksplorasi bahan mineral yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan di Indonesia di sisi lain juga 4 cenderung memberikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut berupa terjadinya perubahan pada ekosistem di sekitar lokasi penambangan. Perubahan tersebut terutama terjadi akibat dari perubahan bentang alam, kualitas tanah, air dan udara (Soehoed 2002). Berkaitan dengan potensi dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan maka pemerintah berusaha mengeluarkan berbagai kebijakan pengendalian dan pengelolaan limbah yang baik guna menjamin limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan tersebut memiliki dampak minimal pada ekosistem yang ada. Hal tersebut diwujudkan dengan diterbitkannya berbagai peraturan melalui Undang-Undang, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Surat Keputusan Direktorat Jenderal (SK Dirjen), dan Peraturan Daerah (Perda) (Siahaan 2004). Menurut WALHI (2006) dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidak jelasan informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung pada kekerasan, pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah masyarakat sekitar tambang. Negara gagal memberikan perlindungan dan menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan dengan pengerahan personil militer dan pembiaran kerusakan lingkungan. Kerawanan lingkungan hidup yang rusak oleh proses pertambangan yang tidak terkendali menjadi salah satu perhatian dalam pembangunan pertambangan mineral secara berkelanjutan. Apabila dilihat dari prosesnya, untuk menambang bijih pada penambangan terbuka, terlebih dahulu harus disingkirkan batuan yang menutup batuan bijih. Batuan yang menutupi batuan bijih dan tidak mengandung cukup mineral berharga untuk diolah disebut batuan penutup (overburden). Batuan pentutup diangkut dari dalam tambang terbuka dan ditimbun di daerah sekitarnya. Sebelum ditambang, batuan penutup tidak mempunyai kontak oksigen dan air karena terletak di bawah permukaan tanah sehingga tetap stabil. Batuan penutup yang mengandung belerang (mineral sulfida) dapat menghasilkan asam karena bereaksi dengan oksigen dan air. Air asam tersebut terbawa oleh air hujan menjadi air asam batuan (Acid Rock Drainage). Untuk 5 mencegah dan menetralkan air asam batuan digunakan gamping dan bubur kapur. Pengumpulan air asam batuan dilakukan melalui jalur pipa dan terowongan bawah tanah menuju fasilitas penetralan di kompleks pabrik pengolahan bijih. Hanya sekitar 3% dari total bijih yang diolah di pabrik berubah menjadi konsentrat. Pasir yang tersisa dari proses pengolahan bijih dinamakan tailing atau pasir sisa tambang (PTFI 2006b). Alternatif pembuangan limbah berupa pasir sisa tambang yang diterapkan oleh salah satu perusahaan pertambangan mineral tembaga di Papua adalah daerah penampungan pasir sisa tambang berupa dataran dimana untuk pengamanan terhadap luberan pasir sisa tambang dilengkapi oleh dua buah tanggul yaitu tanggul timur dan tanggul barat. Masing-masing tanggul memiliki panjang 35 Km dan 40 Km, dan memiliki lebar antara 3,0 dan 3,5 Km. Daerah ini disebut Modifikasi Daerah Pengendapan Ajkwa (DPA) atau Modified Ajkwa Deposition Area (Mod-ADA). Daerah penampungan pasir sisa tambang ModADA seluas 230 km2 menimbulkan pengaruh yang besar pada lingkungan, khususnya lingkungan biofisik di daerah itu. Ribuan hektar hutan hujan tropis dimanfaatkan sebagai daerah pengendapan pasir sisa tambang di sepanjang aliran Mod-ADA (Soehoed 2002). Besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di Mod-ADA tersebut memunculkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan dampak terhadap lingkungan hidup, diantaranya: (i) Karena sebagian lokasi pembuangan (pengendapan) pasir sisa tambang relatif tidak jauh dari wilayah estuaria, maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan area pengendapan pasir sisa tambang agar pengendapan pasir sisa tambang terjadi di dataran, (ii) suksesi alami dapat terjadi di area pengendapan pasir sisa tambang sehingga menjamin berlangsungnya aktivitas biota, (iii) peluang pemanfaatan area pengendapan pasir sisa tambang untuk kegiatan-kegiatan produktif, baik oleh masyarakat maupun pemerintah daerah setempat pada saat ini maupun di masa yang akan datang, (iv) resiko lingkungan dengan adanya pengelolaan area pengendapan. Walaupun di satu sisi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PTFI telah memberikan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat sekitarnya, pemerintah daerah, propinsi dan pemerintah pusat bahkan memberikan manfaat ekonomi secara global (LPEM 2003), namun di pihak lain, tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan yang luas. Kenyataan ini sebenarnya juga 6 disebabkan oleh adanya bias dalam pengelolaan pasir sisa tambang di lokasi pertambangan yang disebabkan oleh tidak adanya kepastian peraturan pemerintah yang khusus mengatur tata cara pengelolaan pasir sisa tambang. Bertolak dari kenyataan-kenyataan di atas maka untuk dapat menjamin adanya keberlanjutan pembangunan sistem sarana dimana terkait dengan dampak limbah pertambangan, baik keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, maupun keberlanjutan lingkungan maka diperlukan suatu model kebijakan yang terpadu. pertanyaan Pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaandiatas adalah dengan menggunakan pendekatan sistem. Pertimbangannya, permasalahan pengelolaan limbah dan lingkungan di wilayah pertambangan mineral tembaga merupakan persoalan yang kompleks dan tidak dapat dijawab dan diselesaikan secara parsial. Permodelan sistem juga dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan atau hubungan antarsistem yang dibangun dalam mewujudkan keberlanjutan pertambangan mineral. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan untuk menemukenali dan merumuskan sebuah alternatif model konseptual tentang kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral secara berkelanjutan. 1.2. Pokok Permasalahan Kebijakan yang tepat dan terpadu merupakan salah satu kunci dalam menjaga konsistensi dan jaminan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam. Demikian pula halnya dengan pengelolaan potensi sumberdaya mineral melalui kegiatan kegiatan pertambangan membutuhkan seperangkat kebijakan yang mendukung pencapaian manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan secara serasi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan pemahaman yang kuat terhadap faktor-faktor yang mendukung kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral secara berkelanjutan. Bagian dari faktor-faktor tersebut merupakan subsistem yang akan dibangun dalam sebuah sistem melalui model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan. Pentingnya perumusan model kebijakan tersebut dikarenakan fenomena masalah pertambangan mineral, khususnya di Kabupaten Mimika pada wilayah Mod-ADA yang cukup kritis dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan terkait, termasuk Pemerintah di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua serta Pemerintah Pusat. Berdasarkan hasil audit lingkungan menunjukkan bahwa pengaliran pasir sisa tambang hasil kegiatan pertambangan melalui sungai sampai ke wilayah Mod- 7 ADA merupakan opsi pengelolaan lingkungan yang paling tepat untuk kondisi iklim dan topografi. Mekanisme pembuangan limbah tersebut jauh lebih efektif terhadap resiko dan dampak lingkungan dibandingkan dengan membangun jalur pipa untuk mengalirkan pasir sisa tambang dari dataran tinggi menuju dataran rendah, bendungan pasir sisa tambang dan sarana pembuangan di dataran tinggi, atau opsi-opsi lainnya yang sudah dievaluasi Namun demikian dalam pengelolaan limbah pertambangan mineral masih terdapat banyak kerawanan terhadap lingkungan. Hal tersebut antara lain terlihat dari besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di ModADA yang dapat memunculkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Selain itu juga merebaknya pelaku Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) melahirkan persoalan baru terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan karena belum ada mekanisme pengendalian terhadap upaya penambangan yang dilakukan oleh kelompok PETI di wilayah Mod-ADA, Kabupaten Mimika. Penurunan kualitas air permukaan pada tingkat yang tidak terkendali dalam usaha kegiatan pertambangan mineral dapat mengancam peruntukannya bagi berbagai kepentingan, bahkan lebih jauh dari itu akan mengganggu fungsi kelestarian sumberdaya air tersebut. Kegiatan penambangan mineral yang dilakukan oleh Kelompok PETI di wilayah Mod-ADA secara umum menimbulkan terjadinya erosi dan pendangkalan atau sedimentasi. Kondisi demikian selain merusak ekologis sungai, juga dapat menyebabkan penurunan kualitas air yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat pengguna air Sungai Ajkwa di wilayah Mod-ADA. Proses penambangan yang dilakukan oleh PETI di wilayah Mod-ADA secara umum sangat sederhana, tetapi akibat dari kesederhanaan tersebut dan minimnya pengetahuan dan ketidakpedulian terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat dapat membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan Sungai Ajkwa. Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa volume pasir sisa tambang yang sangat besar di buang ke sungai Akjwa dan maraknya kegiatan PETI di wilayah Mod-ADA menimbulkan kerawanan lingkungan di sepanjang daerah tersebut. Pada sisi lain kebijakan lingkungan yang diterapkan belum mampu mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan limbah pertambangan mineral di wilayah Mod-ADA dapat dirumuskan sebagai berikut: 8 (1) Kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral, khususnya di wilayah Mod-ADA belum berjalan secara efektif dan terpadu sehingga menyebabkan terjadinya kerawanan lingkungan dan kelestarian sumber daya alam di wilayah tersebut. (2) Sintesa berbagai faktor yang mendukung kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral di wilayah Mod-ADA belum ditemukenali sehingga dapat menimbulkan persoalan dalam perumusan model kebijakan pengelolaan lingkungan yang tepat dan terpadu. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model konseptual kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan dan faktor-faktor pendukung yang terdapat di wilayah pengelolaan limbah Mod-ADA di Kabupaten Mimika, Papua. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan model adalah: (1) Menganalisis situasi sistem pengelolaan limbah tambang mineral di wilayah Mod-ADA Kabupaten Mimika, Papua. (2) Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang mendukung model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral di wilayah ModADA melalui pendekatan system thinking. (3) Merumuskan struktur model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dengan pemodelan sistem. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis bagi Pemerintah, Perusahaan (swasta) dan masyarakat setempat maupun secara teoritis sebagai berikut: (1) Manfaat Praktis. Bagi Pemerintah dalam hal rekomendasi alternatif kebijakan pengelolaan limbah pertambangan mineral di Indonesia yang lebih baik; bagi Perusahaan (swasta) dalam hal rekomendasi untuk melakukan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang tepat dan terkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. Bagi masyarakat setempat, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk 9 meningkatkan kelestariaan pemanfaatan sumber daya mineral dan pengelolaan lingkungan hidup berbasis masyarakat. (2) Manfaat Teoritis. Sebagai kajian ilmu sistem dalam pengembangan model konseptual kebijakan publik dalam operasionalisasi pertambangan mineral secara berkelanjutan, khususnya terkait dengan penanganan limbah dan upaya pemberdayaan masyarakat. 1.5. Novelty Kebaruan dari penelitian pemodelan kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral adalah: (1) Rumusan model pengelolaan lingkungan untuk pengendalian dampak limbah pertambangan mineral melalui integrasi model pengelolaan lingkungan fisik dan model pengelolaan lingkungan biologik yang didukung dengan upaya pemberdayaan masyarakat. (2) Rumusan mekanisme arahan kebijakan CSR dalam pengembangan corporate social and environmental responsibility (CSER) perusahaan pertambangan terhadap kepedulian lingkungan melalui manajemen konsensus para pemangku kepentingan dengan evaluasi periodik Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL). (3) Penerapan prinsip keberlanjutan COMHAR yaitu pengambilan keputusan yang baik, menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati, kepuasan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumberdaya serta keadilan sosial dalam perumusan model kebijakan strategi pengelolaan lingkungan. 10