PENGURUSAN KEKAYAAN/PIUTANG NEGARA OLEH PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA MISBAHUL HUDA ABSTRAK Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkahlangkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalur di sektor perbankan, dimana badan khusus tersebut adalah BPPN. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya, sesuai Kepres No. 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan BPPN. Kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang didasarkan pada Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang bertugas mengurus Piutang Negara yang ada dan besarnya telah pasti. Adapun dalam praktik penyelesaian pengurusan kekayaan atau piutang negara eks BPPN yang terkait sita ekskekusi hak tanggungan dan sita eksekusi lainnya yakni sita BPPN berdasarkan PP No. 17 tahun 1999 oleh PUPN, terkait penyitaan PUPN terkendala karena sebelum diserahkan kepada PUPN telah dilakukan penyitaan sesuai prosedur hukum acara yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sah dan mengikat pihak ketiga. Kata kunci : Piutang Negara, BPPN, PUPN. 1 PENDAHULUAN Dalam kerangka pembangunan perekonomian nasional, sektor keuangan khususnya industri perbankan merupakan salah satu komponen terpenting sebagai pendukung dan penggerak laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan sektor keuangan khususnya dunia perbankan akan berpengaruh secara langsung terhadap iklim dan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kemajuan ataupun kesulitan yang dihadapi sektor perbankan, akan berdampak luas terhadap upaya pembangunan perekonomian nasional. Kegiatan usaha perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian dan perdagangan nasional. Maju mundur atau pasang surut bisnis perbankan di Indonesia berpengaruh langsung pada sektor ekonomi usaha karena hampir semua kegiatan bisnis terkait dan melibatkan perbankan. Salah satu kegiatan bank adalah menyalurkan kredit, yang diluncurkan oleh bank tersebut dapat terjadi tidak lancar sehingga menjadi kredit macet. Kebijakan sektor keuangan khususnya dunia perbankan akan berpengaruh secara langsung terhadap iklim dan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kemajuan ataupun kesulitan yang dihadapi sektor perbankan, akan berdampak luas terhadap upaya. Pembangunan perekonomian nasional. Bahwa deregulasi sektor perbankan nasional yang memacu pertumbuhan kuantitas institusi perbankan kurang diikuti dengan regulasi dan pengawasan yang ketat, sehingga mengakibatkan lemahnya kualitas industri perbankan. Gejolak moneter yang melanda dunia khususnya negara-negara di kawasan Asia, telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap kondisi moneter nasional yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Dalam keadaan demikian, kondisi industri perbankan yang kurang menjaga asas kehati-hatian tersebut, terkena imbas yang paling buruk dalam sejarah perbankan nasional. Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkah-langkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalur di sektor perbankan, dimana untuk selanjutnya badan khusus dimaksud disebut dengan BPPN. Mengingat demikian besarnya jumlah uang negara yang harus dipulihkan serta sangat strategisnya misi yang diberikan kepada BPPN tersebut, Undangundang memberikan kewenangan-kewenangan khusus yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahkan oleh Undang-undang, tindakan-tindakan yang diambil oleh BPPN dipersamakan dengan sebuah putusan pengadilan yang bersifat serta merta (uitvoerbaar verklaard bij voorraad). Hal ini tiada lain karena keadaan perekonomian nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut hanya bersifat sementara. Mengingat ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap BPPN bersifat lex specialis terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, maka penerapannya perlu dilandasi dengan azas kehati-hatian serta menjunjung tinggi azas keterbukaan. Bahkan dalam pelaksanaan tugasnya, BPPN perlu diawasi oleh lembaga lain serta diwajibkan menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri Keuangan. 2 Pendirian BPPN oleh Pemerintah diawali dengan kebijakan pemerintah tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum atau Program Penjaminan Pemerintah (PPP) sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 (Kepres 26/1998). Dalam Kepres tersebut ditetapkan bahwa pelaksanaan pemberian jaminan oleh pemerintah dilakukan oleh sebuah lembaga yang diteapkan oleh Kepres tersendiri. Dasar hukum pendirian BPPN selanjutnya diperkuat dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tanggal 10 Nopember 1998 Tentang Perbankan yang diatur dalam Pasal 37 A ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 17 tanggal 27 Pebruari 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan (PP 17/1999). Dalam PP 17/1999 juga ditetapkan bahwa BPPN bertugas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal 2 untuk jangka waktu tertentu sepanjang masih diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Adapun tugas pokok BPPN yaitu penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia, penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui unit pengelolaan aset, dan pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR).1 Selanjutnya, sesuai Kepres No. 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), maka tanggal 27 Pebruari 2004 telah berakhir tugas dan dibubarkannya BPPN. Segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan. Kekayaan negara yang tidak terkait dengan perkara, penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kekayaan negara yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan penanganannya dilakukan oleh Tim Pemberesan BPPN, dan kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Landasan hukum PUPN dalam sistem Pengurusan Piutang negara adalah Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang bertugas mengurus Piutang Negara yang ada dan besarnya telah pasti. Berdasarkan ketentuan pasal 8 jo Pasal 12 Undang-undang Nomor: 49 Prp Tahun 1960, bahwa instansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara diwajibkan/ diharuskan menyerahkan piutang yang ada dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada PUPN. PUPN merupakan suatu Panitia interdepartemental yang bertugas mengurus Piutang Negara yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Pelaksanaan tugas-tugas administrasi PUPN tersebut dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang merupakan unit oparasional dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Departemen Keuangan . Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks 1 Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999, Pasal 3. 3 BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V. Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No. 18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang. Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan sesuai dengan azas Parate Executie,2 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop , seperti halnya kewenangan dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR . Dalam arti PUPN melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri.3 Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri. Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari 2 Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta: Gema Justia, 1994), hal. 486. 3 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal. 340. 4 penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badanbadan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan-Badan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan bank Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah “sah dan mempunyai kekuatan mengikat”. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa “dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan”. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang berasal dari kekayaan BPPN Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka Penelitian dibatasi pada : 5 1. Bagaimana penanganan kekayaan negara yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN? 2. Bagaimana langkah yuridis PUPN dalam mengefektifkan penanganan kekayaan/piutang Negara yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi Lainnya Tinjauan Literatur Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.4 Dalam suatu penelitian diperlukan suatu kerangka berfikir secara ilmiah dan dilandasi oleh pola pikir yang mengarah pada suatu pemahaman yang sama. Teori merupakan pengarah atau petunjuk dalam penentuan tujuan dan arah penelitian. Dalam pelaksanaan salah satu tugas BPPN yakni pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR), serta penagihan piutang negara berdasarkan kewenangan PUPN, tidak terlepas dari adanya jaminan kredit perbankan terutama jaminan benda tidak bergerak, penanganan kredit secara umum dan eksekusi dalam bidang perdata. Dalam rangka penulisan jurnal ini, untuk mengetahui bagaimana penanganan kekayaan negara terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN sebagai konsekuensi hukum dibubarkannya BPPN berdasarkan Kepres No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), perlu dilakukan penelitian yang diarahkan pada pembahasan sita eksekusi terhadap jaminan piutang negara eks BPPN, terkait instansi yang berbeda antara yang melakukan penyitaan sebelumnya yakni BPPN atau lembaga Peradilan dan pelaksanaan sita eksekusi tersebut telah didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya PUPN juga mempunyai kewenangan untuk melaksanaan sita eksekusi terhadap jaminan piutang negara apabila dalam jangka waktu 1x24 jam, penanggung hutang tidak melunasi hutangnya sesuai kekuatan “Surat Paksa”. Jaminan piutang negara berasal dari jaminan kredit bank yang dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu, seperti cara terjadinya dan sifat kebendaan yang yang dijadikan objek jaminan. Jaminan karena undang-undang adalah jaminan umum seperti hak privilege dan hak retensi yang diatur dalam Pasal 1132 dan Pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata. Sedangkan jaminan yang timbul karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya seperti gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia. 5 Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitam dengan tanah. Hak Tanggungan 4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1982), hal. 65. Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Depok: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Cet. Ke-1, hal. 7. 5 Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan (Jakarta: Books Terrace & Library, 2005), hal. 191. 6 menyangkut tiga aspek, yang pertama berkaitan dengan hak jaminan atas tanah, kedua berkaitan dengan kegiatan perkreditan, ketiga berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pihak terkait. Mengenai eksekusi Hak Tanggungan, Sesuai Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT, terdapat dua kemungkinan yang pertama eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 11 UUHT ayat (2) huruf e yakni pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut lebih dahulu dari kreditur lainnya. Hal ini disebut Parate Executie. Kedua, eksekusi melalui lelang berasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) UUHT. Mengenai eksekusi Hak Tanggungan Pasal 26 UUHT menyatakan: “selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi Hipotik yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 26 UUHT, yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi Hipotik yang ada dalam pasal ini adalah ketentuan sebagaimana diatur Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG. Adanya suatu titel executorial menimbulkan suatu ketentuan “daya paksa”6 titel eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanann Yang Maha Esa”, berlaku sebagai pengganti Grosse Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Eksekusi yang didasarkan “Pasal 224 HIR/ 258 RBg merupakan eksekusi yang tunduk, patuh pada Hukum Acara Perdata dengan tata cara sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 7 Dari sisi Hukum Acara Perdata, eksekusi Hak Tanggungan dan eksekusi PUPN serta eksekusi BPPN dapat disamakan dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang didasarkan akta tertentu yang oleh Undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni adanya titel pada Sertipikat Hak Tanggungan dan pada Surat Paksa pada produk hukum PUPN atau BPPN. Sita eksekusi atau executorial beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Dalam Hukum Acara Perdata , tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam Pasal 197 198, 199 HIR atau Pasal 208, 209, 210 RBG. Dalam sita eksekusi Pengadilan, harus dilalui tata cara yakni, berdasarkan Surat Perintah pengadilan, dilaksanakan oleh Panitera atau Juru sita, pelaksanaan dibantu oleh dua orang saksi, sita eksekusi dilakukan di tempat, pembuatan berita acara eksekusi, Berita Acara sita didaftarkan pada instansi yang berwenang untuk itu dan memerintahkan kepala desa mengumumkan penyitaan di tempat mana sita eksekusi dilakukan. Dalam Peraturan PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPPN, penyitaan diatur dalam Pasal 58 s/d Pasal 63 dan lebih jauh diatur dalam peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor: 6 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam 6 Setiawan, Eksekusi Hipotik, Media Notariat, No. 20-21 Tahun VI, hal. 69. Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 No. 4 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 122. 7 7 restrukturisasi Dan Atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang berupa Hak atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Sita yang diperintahkan dan dijalankan PUPN adalah sah dan mengikat, oleh karena itu terhadap sita yang diperintahkan dan dijalankan PUPN berlaku sepenuhnya azas sita: “dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan”.8 Mengenai Penyitaan lebih jauh diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, yang mengatur antara lain bahwa Surat perintah Penyitaan diterbitkan PUPN dalam hal setelah lewat waktu 1x24 jam sejak Surat Paksa diterbitkan, Penanggung hutang tidak melunasi hutangnya pendaftaran penyitaan kepada instansi yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan. Sita eksekusi yang telah diumumkan pendafaran sitanya sesuai Pasal 198 ayat 1 HIR, sita eksekusi tersebut sudah sah dan mengikat bagi siapapun. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.06/2007 tanggal 24 Oktober 2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, dimuat definisi-definisi antara lain sebagai berikut: 1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. 2. Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, atau Badan Usaha yang modal usahanya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh atau Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara. 3. Penangung Hutang adalah badan/ atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/ orang yang menjamin Penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. 4. Penjamin Hutang adalah badan/ atau orang yang menjamin Penyelesaian Sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. 5. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia Pengurusan Piutang Negara, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang. 6. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara PUPN Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah huatang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelasaiannya, dan sanksi. 7. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat yang diterbitkan oleh PUPN, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung hutang. 8. Pencegahan adalah larangan bepergian keluar dari Wilayah Republik Indonesia. 9. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PUPN Cabang kepada Penangung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam 8 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1989), hal. 340. 8 waktu 1x24 (satu kali dua pukuh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan. 10. Barang Jaminan adalah kekayaan milik Penanggung Hutang dan/ atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan Penyelesaian hutang. 11. Harta Kekayaan Lain adalah Harta Kekayaan Milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan Penyelesaiain hutang. Selanjutnya Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN dalam Pasal 1 memberikan penjelasan umum sebagai berikut: 1. Aset Dalam Restrukturisasi adalah: a. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak Bank Dalam Penyehatan dan atau perusahaan terafiliasi Bank Dalam Penyehatan; b. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak atau yang akan dialihkan kepada BPPN; c. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak Debitur; dan atau d. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dimiliki oleh atau menjadi hak pemegang saham, direktur atau komisaris, sejauh diperlukan untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pemegang saham, direktur atau komisaris dari suatu Bank Dalam Penyehatan. 2. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perbankan, yang berbadan hukum Indonesia kecuali: a. Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih badan hukum Indonesia dan atau warga negara Indonesia dengan satu atau lebih badan hukum asing dan atau warga negara asing secara kemitraan namun tidak termasuk Bank Umum yang merupakan konversi dari lembaga keuangan bukan bank; dan b. Bank Perkreditan Rakyat. 3. Bank Dalam Penyehatan adalah Bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN guna dilakukan program penyehatan. 4. Debitur adalah setiap perorangan atau badan yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada: a. Bank Dalam Penyehatan; b. BPPN; dan atau c. Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau BPPN; Termasuk bank yang mempunyai kewajiban kepada Bank Indonesia dalam kaitan dengan Fasilitas Bank Indonesia. 5. Fasilitas Bank Indonesia adalah fasilitas surat berharga pasar uang, surat berharga pasar uang khusus, fasilitas dana talangan, fasilitas saldo debet, atau fasilitas pinjaman lain yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank. 6. Kewajiban Dalam Restrukturisasi adalah kewajiban yang tercatat dalam pembukuan (on balance sheet) dan yang tidak tercatat dalam pembukuan (off balance sheet) dari atau sehubungan dengan: a. Bank Dalam Penyehatan dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan; 9 b. Kekayaan milik Debitur; dan atau c. Setiap benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dimiliki oleh pemegang saham, direktur dan komisaris Bank Dalam Penyehatan tersebut sejauh diperlukan untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pemegang saham, direktur atau komisaris Bank Dalam Penyehatan. 7. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh BPPN pada Bank Dalam Penyehatan, Debitur dan atau badan hukum lain untuk sementara waktu guna memaksimalkan hasil penyelesaian dan pengelolaan Aset Dalam Restrukturisasi yang pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini. 8. Surat Penunjukan Pembeli adalah surat di bawah tangan yang dibuat oleh BPPN, yang menunjuk pembeli yang sebenarnya atas suatu barang. 9. Surat Pernyataan Pembelian Sementara adalah surat di bawah tangan yang dibuat oleh BPPN, yang menyatakan maksud BPPN untuk membeli suatu barang untuk sementara waktu sampai dengan ditunjuknya pembeli barang yang sebenarnya. 10. Undang-undang Perbankan adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Metode Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujaan, fakta, tulisan-tulisan ilmiah kemudian dikaitkan dengan teori, untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas pokok masalah yang akan dibahas yaitu penanganan kekayaan negara yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yakni dengan mempelajari dan mengkaji asasasas hukum khususnya hukum posistif yang berasal dari bahan kepustakaan yang ada dalam peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan terutama yang berkaitan dengan hukum jaminan, penangan kredit macet, eksekusi di bidang perdata, kelembagaan BPPN dan PUPN serta mekanisme penanganan penagihan piutang oleh BPPN, penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research). Bahanbahan hukum primer, yaitu peraturang perundang-undangan tentang perikatan perdata, hukum acara perdata, dan dan peraturan pengurusan piutang negara, peraturan tetang BPPN, dan peraturan tentang lelang. Bahan hukum sekunder yaitu tulisan-tulisan para pakar, dan beberapa putusan hakim dan hasil penelitian yang telah dipublikasikan melalui jurnal-jurnal. Bahan hukum tersier yaitu kamus, artikel di koran, majalah, bahan-bahan seminar. Data primer, data sekunder, dan data tersier dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif normatif untuk menghasilkan kesimpulan dan selanjutnya, disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian dilakukan di Jakarta, 10 bahan-bahan hukum primer dan sekunder diperoleh dari instansi dan beberapa perpustakaan yang berlokasi di Perpustakaan Kantor Pusat DJKN, Perpustakaan Nasional Jakarta, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyelesaian Hukum Tentang Kekayaan Negara Eks Bppn Yang Terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan Dan Sita Eksekusi Lainnya Proses Penagihan Piutang Macet Oleh BPPN Dalam rangka melakukan penagihan piutang Bank Dalam Penyehatan yang sudah pasti, BPPN dapat melakukan penagihan kepada debitur dengan menerbitkan Surat Paksa.9 Surat Paksa diterbitkan dan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang mewakili BPPN yakni Ketua BPPN dan dalam hal Ketua tidak hadir atau berhalangan seorang Wakil Ketua bertindak untuk dan atas nama serta mewakili BPPN. Dalam hal suatu piutang Bank Dalam Penyehatan adalah merupakan bagian dari piutang yang timbul dari suatu pembiayaan bersama-sama dengan bank-bank lain, BPPN dapat mewakili bank-bank tersebut terhadap debitur, tanpa mengesampingkan kewenangan BPPN untuk melakukan upaya penagihan piutang yang merupakan bagian bank Dalam Penyehatan sendiri. Penagihan piutang ini dilakukan dengan megeluarkan Surat Paksa dan melakukan tindakan hukum lain sesuai kewenangan BPPN. Penerbitan Surat Paksa apabila debitur debitur melalaikan kewajibannya membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnya dan atau dokumen lainnya, dan kepada debitur dan atau penanggung utang telah disampaikan sutu pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk membayar, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan itu oleh Bank Dalam Penyehatan, dan atau BPPN. Surat Paksa disampaikan kepada debitur dan atau penagggung utang secara langsung dengan tanda terima yang layak pada alamat sesuai Perjanjian Kredit, dokumen pemberian hk jaminan pernyataan yang telah npenanggung utang karena sebab apapun tidak diketemukan, Surat Paksa tersebut di sampaikan melalui Kantor Kepala Desa atau Kelurahan tempat kedudukan hukum atau alamat terakhir sesuai perjanjian, atau dokumen lainnya. Dalam hal debitur dan atau penanggung utang telah dinyatakan atau dalam proses pailit, salinan Surat Paksa disampaikan kepada Hakim Pengawas dan atau Kurator, dan dalam hal debitur perusahaan debitur dinyatakan bubar atau dalam likuidgiatan usaha perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian dan perdagangan nasional. Maju mundur atau pasang surut bisnis perbankan di Indonesia berpengaruh langsung pada sektor ekonomi usaha karena hampir semua kegiatan bisnis terkait dan melibatkan perbankan. Salah satu kegiatan bank adalah menyalurkan kredit, yang diluncurkan oleh bank tersebut dapat terjadi tidak lancar 9 Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN 11 sehingga si, salinan Surat paksa disampaikan kepada orang atau Badan yang diberi wewenang untuk melakukan pemberesan. Penyitaan dilakukan oleh Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang saksi dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh Jita Sita dan 2 (dua) orang saksi tersebut. Berita Acara Penyitaan tersebut didaftarkan pada Kantor Pendaftaran untuk dicatat oleh Pejabat Kantor Pendaftaran yang berwenang pada Kantor Pendaftaran, yang terkait tentang adanya penyitaan tersebut.. Salinan Berita Acara Penyitaan dimaksud diberitahukan kepada debitur dan Pengadilan Negeri di wilayah kekayaan milik debitur yang disita terletak. Penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh kekayaan milik debitur termasuk kekayaan milik debitur yang berada dalam penguasaan pihak ketiga. Kekayaan debitur yan tidak dapat disita adalah barang-barang bergerak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dari debitur perorangan. Atas permohonan BPPN Pengadilan Negeri dalam waktu secepatnya dapat mengeluarkan penetapan yang berisi pengangkatan atau pencabutan sita jaminan yang telah diletakan. Dengan terlebih dahulu mendengar pendapat para pihak yang berperkara.10 Dalam hal atas kekayaan debitur telah diletakan sita eksekusi terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, atau Badan Urusan Piutang dan lelang Negara atau Kantor Pajak dan sita sita eksekusi tersebut telah terdaftar di Kantor Pendaftaran sebagaimana mestinya, BPPN sebagai pemegang piutang Negara menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, atau Badang Urusan Piutang dan Lelang Negara, atau Kantor Pajak untuk tururt serta menganbil bagian yang didahulukan atas hasil lelang eksekusi kekayaan debitur tersebut. Dalam hal debitur yang atas kekayannya telah dilaksanakan sita ekskekusi oleh BPPN dinyatakan pailit, BPPN tetap dapat melakukan tindakan hukum atas hak kebendaan tersebut dan dalam hal kekayaan debitur masuk penguasaan debitur yang dinyatakan pailit atau dalam penguasaan curator , BPPN menyampaikan salinan Surat Paksa dan tuntutan secara tertullis kepada Kurator dan Hakim Pengawas pada Pengadilan Niaga , untuk ditetapkan selaku Kreditur yang didahulukan atas bagian harta pailit. Penjualan kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan melalui pelelangan. Pembagian hasil Penjualan nya dilaksakan berdasarkan ketentuan hak memperoleh pemenuhan pembayaran lebih dulu yang berlaku atas piutang Negara , sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak manapun yang belum memperoleh kekutan hukum yang tetap tidak mencegah atau menunda tindakan hukum yang dilakukan oleh BPPN. Barang yang disita dapat dititipkan kepada debitur kecuali apabila barang dimaksud berdasarkan pertimbangan BPPN perlu disimpan di tempat lain. Debitur dilarang merubah bentuk, memindahtangankan menyewakan, menghilangkan dan atau merusak barang yang telah disita.Debitur yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi pidana sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BPPN menerbitkan surat pencabutan sita atas barang yang telah dilakukan penyitaan ,dalam hal utang debitur dibayar lunas yang dibuktikan dengan surat 10 Pasal 60 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN 12 tanda lunas yang dikeluarkan oleh BPPN atau dalam hal tercapai kesepakatan lain dengan BPPN. Kantor Pendaftaran mencatat pencabutan blokir dan atau pengangkatan sita ekekusi , atas permintaan debitur yang disertai dengan Surat Pencabutan Sita. Kewenangan BPPN yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 merupakan kewenangan public yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor: 7 tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Kewenangan tersebut telah memperoleh legitimasi dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 P/HUM/1999 yang dengan tegas telah menolak permohonan Judisial Review terhadap Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 tentang BPPN yang diajukan oleh Asosiasi Advokat Indonesia(AAI). Mengajukan Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan Upaya lain dalam rangka penagihan piutang BPPN adalah dengan mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan. Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan diajukan sebagai pelaksanaan eksekusi yang disediakan UUHT. Proses permohonan eksekusi sertpikat Hak Tanggungan (dahulu dikenal dengan grosse akta Hipotik dan akta hipotik) pada prinsipnya adalah sama.Urutan dari tindakan yang dilakukan sebagai kreditur pemegang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: a. Kreditor mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. b. Setelah diajukan permohonan tersebut maka diadakan sidang pengadilan yang dihadiri oleh pemohon (kreditur) dan Termohon (debitur). Dalam siding tersebut oleh Hakim disampaikan Teguran (Aanmaning) kepada Termohon, bahwa apabila dalam waktu 8 hari yang bersangkutan harus melaksanakan pembayaran lunas pinjaman beserta bunga, ongkos-ongkos dan sebagainya , dan apabila tidak diadakan eksekusi atas jaminan kredit. c. Apabila dama waktu 8 (delapan) hari tersebut Termohon/debitur tetap membandel maka Pemohon/kreditur melanjutkan dengan mengajukan permohonan Sita eksekusi. d. Setelah menerima Penetapan Sita eksekusi maka Juru Sita Pengadilan Negeri melakasanakan sita eksekusi atas barang-barang yang Dalam jaminan. e. Pemohon/kreditur menerima Berita Acara dari Juru Sita Pengadilan Negeri. f. Kemudian pemohon/kreditur mengajukan permohonan untuk dilaksanakan pelelangan atas jaminan tersebut dan menerima penetapan lelang. g. Berdasarkan penetapan lelang, Pengadilan Negeri mengajukan permohonan untuk ditetapkan hari dan tanggal pelaksanaan lelang ke Kantor Lelang/KPKNL. Pelaksanaan lelang didahului dengan Pengumuman lelang sebanyak 2 (dua) kali berselang 2 miggu. h. Pengadilan selaku penjual menetapkan harga limit sebagai harga minimal penjualan barang objek lelang. a. uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat; dan 13 Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V. Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No. 18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan . Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang. Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan sesuai dengan azas Parate Executie,11 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop , seperti halnya kewenangan dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR . Dalam arti PUPN melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri.12 11 Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta: Gema Justia, 1994), hal. 486. 12 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal. 340. 14 Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri. Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui BadanBadan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan bank. Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah “sah dan mempunyai kekuatan mengikat”. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa “dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan”. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN khususnya terkait masalah penyitaan terhadap jaminan, belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang 15 berasal dari kekayaan BPPN. Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V. Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No. 18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang. Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan sesuai dengan azas Parate Executie,13 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop , seperti halnya kewenangan dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR. Dalam arti PUPN melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri.14 Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan 13 Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta: Gema Justia, 1994), hal. 486. 14 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hal. 340. 16 PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri. Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badanbadan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan-Badan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan bank Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah “sah dan mempunyai kekuatan mengikat”. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa “dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan”. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang berasal dari kekayaan BPPN 17 Mengenai hal ini perlu diambil sikap dalam rangka mengefektifkan pengurusan kekayaan/piutang negara eks BPPN yang terkait Sita eksekusi Hak Tanggungan maupun sita eksekusi juru sita BPPN,sehingga pengurusannya dapat ditindaklanjuti ke arah pelelangan barang jaminan. Dengan mengkaji bahwa dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dilakukan penyitaan terhadap jaminan yang sama, maka hendaknya dilakukan pengangkatan sita terlebih dahulu kemudian terhadap jaminan dimaksud juru sita PUPN meletakan sita kembali kemudian mendaftarkan Sita sesuai ketentuan yang berlaku sehingga penyitaan PUPN menjadi sah dan berharga serta mempunyai kekuatan yang mengikat. Yang menjadi pertanyaan siapa yang memerintahkan pengangkatan sita terhadap Kantor Pertanahan setempat terutama terkait objek sita yang dilaksanakan oleh Juru Sita BPPN yang lembaganya telah dibubarkan. Mengenai hal ini, mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, maka instansi yang tepat meminta pengangkatan sita ke Kantor Pendaftaran Tanah adalah Kantor Pusat DJKN cq Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain. Adapun terhadap objek yang telah disita Pengadilan berdasarkan permohonan sita sebagai pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, hendaknya Pengadilan Negeri dapat mengangkat sita dimaksud untuk kemudian juru Sita PUPN meletakan sita kembali terhadap jaminan dimaksud. Izin dimaksud diajukan oleh Direktur Jenderal kekayaan Negara /PUPN Pusat kepada pimpinan Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala KPKNL dan didukung Kepala Kantor wilayah. Langkah Yuridis Panitia Urusan Piutang Negara/Pupn Dalam Mengefektifkan Penanganan Kekayaan/Piutang Negara Eks Bppn Yang Terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan Dan Sita Eksekusi Lainnya Landasan hukum PUPN dalam mengurus piutang negara adalah Undangundang Nomor 49 Prp. tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (selanjutnya disebut UU PUPN) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 89 tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang mana untuk melaksanakan ketentuan pasal 6 (2) dan pasal 7 Peraturan Presiden No. 89 tahun 2006 dimaksud, telah ditetapkan dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.06/2007 tentang Keanggotaan dan tata kerja Panitian Urusan Piutang Negara. Yang dimaksud dengan PUPN (selanjutnya disebut Panitia), dalam pasal 1 ayat (1) PMK No. 89 adalah Panitia yang bersifat interdepartemental sebagimana dimaksud dalam UU PUPN. Berdasarkan pasal 4 UU PUPN, dinyatakan bahwa pada pokoknya Panitia Mempunyai tugas mengurus piutang negara yang telah diserahkan oleh instansi pemerintah atau badan-badan yang baik langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara kepadanya. Piutang negara yang diserahkan tersebut adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi penanggung 18 hutang tidak melunasi hutangnya sebagaimana mestinya. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/ PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagai pedoman/ petunjuk dalam pelaksanaan pengurusan piutang Negara, dalam pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penanggung Hutang adalah badan /atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan / atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang. Penyelesaian piutang negara oleh Panitia dilakukan secara singkat dan efektif, dengan maksud agar piutang negara tersebut dapat dengan cepat tertagih atau terselesaikan. Untuk itu berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 11 UU PUPN, Panitia diberikan suatu kekuasaan khusus untuk menetapkan dan menerbitkan keputusan-keputusan hukum yang sifatnya final dan dapat dilaksanakan tanpa melalui lembaga peradilan (asas parate executie), seperti menerbitkan Surat Pernyataan Bersama, Surat Paksa, Sita dan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pelelangan barangbarang sitaan PUPN tersebut. Adapun kredit macet yang diserahkan kepada PUPN adalah khusus kredit macet yang berasal dari badan-badan negara seperti bankbank pemerintah baik di pusat maupun daerah. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 jo. Pasal 12 UU PUPN yang menegaskan bahwa instansiinstansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau tidak langsung dikuasai negara wajib menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada PUPN. Adanya penyerahan piutang macet dari bank kepada PUPN, maka secara hukum wewenang penagihan terhadap kredit macet dialihkan kepada PUPN, yang mana dalam perkembangannya sebagaimana telah disebutkan dalam Bab I diatas, bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, pada prinsipnya menyatakan bahwa kredit macet Bank Pemerintah (BUMN/BUMD) bukan lagi merupakan piutang Negara, sehingga PUPN tidak lagi dapat menerima penyerahan piutang macet dari Bank Pemerintah (BUMN/BUMD), namun hingga saat ini PUPN masih menangani dan menyelesaikan pengurusan piutang macet outstanding dari penyerahan piutang macet yang berasal dari Bank Pemerintah (BUMN/BUMD) dimaksud. Pelaksanaan keputusan dari PUPN diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang selanjutnya telah melakukan pengembangan organisasi (re-organisasi) menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Pembentukan DJKN berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 66 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara RI yang ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya yakni Keputusan Menteri Keuangan No. 466/KMK.01/2006 tangal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. Adapun kantor operasional DJKN yang ada di daerah adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). 19 Disamping proses pengurusan piutang negara sebagaimana yang diuraikan dalam Bab III di atas, PUPN/DJKN dapat menempuh upaya hukum lain seperti melakukan penyanderaan/paksa badan (gijzeling/lijfdwang), pemblokiran terhadap barang jaminan dan harta kekayaan lain debitur dan atau penjamin hutang serta pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap PH/PjH. Waktu pelaksanaan upaya hukum lain tersebut, walaupun tidak secara tegas diatur, umumnya dilaksanakan setelah terbitnya Surat Paksa. Pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Dalam rangka pengamanan barang jaminan KPKNL disamping berwenang untuk melakukan pemblokiran terhadap barang jaminan juga terhadap harta kekayaan lain debitur dan atau penjamin hutang. Pemblokiran dimaksud wajib dilakukan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik penanggung hutang yang tidak dibebani Hak Tanggungan/Fidusia.Pemblokiran terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilaksnanakan dengan menerbitkan surat pemblokiran . Pemblokiran terhadap harta kekayaan lain yang tersimpan di Bank dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan nasabah dari Pimpinan Bank Indonesia. Izin dimaksud diajukan oleh Direktur Jenderal kekayaan Negara /PUPN Pusat kepada pimpinan Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala KPKNL dan didukung Kepala Kantor wilayah. Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Izin dimaksud diajukan oleh Direktur Jenderal kekayaan Negara /PUPN Pusat kepada pimpinan Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala KPKNL dan didukung Kepala Kantor wilayah. Paksa Badan Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor, 49 Prp tahun 1960 , yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi penanggung hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku harus bertanggung jawab. Tempat Paksa Badan tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai system pengamanan serta pengawasan memadai yang digunakan untuk pelaksanaan paksa badan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, Paksa Badan diatur dalam pasal 186 sampai dengan 228. Adapun jaminan kebendaan yang sering digunakan oleh bank dalam penyaluran kredit adalah berupa barang tidak bergerak (tanah atau bangunan) yang diikat dengan hak tanggungan serta barang bergerak yang diikat dengan fidusia. Pencantuman hak eksekusi pemegang hak jaminan di dalam Undangundang Hak Tanggungan dan Undang-undang fidusia dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk memudahkan serta memberikan kepastian hukum kreditur untuk menuntut pelunasan hutang apabila debitur wanprestasi melalui eksekusi. 20 Eksekusi tersebut dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu berdasarkan titel eksekutorial, berdasarkan kuasa untuk menjual sendiri, dan berdasarkan penjualan di bawah tangan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pertama; eksekusi berdasarkan titel eksekuorial diadakan untuk memberikan perlindungan bagi debitur terhadap perbuatan kreditur yang melampaui batas dari kreditur. Jaminan ini dapat dieksekusi berdasarkan sertifikat hak tanggungan maupun sertifikat fidusia yang berirah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Eksekusi ini dilaksanakan berdasarkan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Sertifikat jaminan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Dengan demikian kedudukan sertifikat yang berirah-irah tersebut sama dengan putusan pengadilan. Kedua; berdasarkan kuasa untuk menjual sendiri atau dikenal dengan istilah parate eksekusi. Jaminan tersebut dapat dieksekusi langsung tanpa titel eksekutorial, grosse akta atau keputusan pengadilan. Eksekusi ini dapat dilakukan langsung oleh pemegang hak jaminan kebendaan, dengan syarat sebelumnya diperjanjikan dalam akta perjanjian jaminan. Didasarkan Pasal 1121 KUHPerdata, eksekusi tersebut harus dilakukan dengan cara penjualan di muka umum, berdasarkan kebiasaan setempat, dan dilakukan di hadapan pejabat lelang. Adanya ketentuan ini dapat ditemukan pula dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a jo Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan maupun Pasal 29 ayat (1b) Undang-undang Fidusia. Dalam pasal-pasal tersebut ditegaskan bahwa apabila debitur cidera janji, maka pemegang hak tanggungan pertama/penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan atas kekuasaan sendiri. Adanya ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai pemegang hak jaminan kebendaan. Hak tersebut sebelumnya harus diperjanjikan dahulu, sehingga pemegang hak jaminan kebendaan berhak untuk menjual obyek jaminan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan lagi persetujuan dari debitur dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lain. Ketiga; jaminan dieksekusi dengan cara penjualan di bawah tangan dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (2) Undangundang Hak Tanggungan maupun Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang Fidusia. Penjualan di bawah tangan ini dapat dilakukan dengan pertimbangan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak dan telah memperoleh persetujuan dari kedua belah pihak. Selanjutnya, untuk mempermudah pelaksanaan kewenangan bank selaku pemegang hak jaminan kebendaan apabila debitur wanprestasi, maka bank selalu mengingat jaminan kebendaan tersebut dalam suatu akta perjanjian pemberian jaminan yang dibuat di hadapan notaris, pengikatan mana bersifat mutlak atas benda tertentu yang diikat dan memberikan kedudukan yang istimewa. Perjanjian jaminan ini merupakan perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian pokok, sehingga disebut sebagai perjanjian asesor yaitu perjanjian yang melekat pada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. Sebagai jaminan yang bersifat asesor, memperoleh akibat-akibat hukum antar lain: timbulnya tergantung pada perjanjian pokok, hapusnya bergantung pada perjanjian pokok, jika perjanjian pokok batal maka ikut batal, ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok, jika perutangan 21 pokok beralih karena cessi, subrogasi, maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan kasus. Perjanjian jaminan ini memberikan kedudukan yang kuat dan aman kepada kreditur. Perjanjian jaminan ini merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok. Perjanjian jaminan kebendaan adalah pemberian jaminan kebendaan berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang dan disediakan untuk pemenuhan kewajiban hutang debitur. Adanya pengkhususan ini ditujukan untuk keuntungan bank pemegang hak jaminan kebendaan. Dengan demikian pemberian jaminan ini memberikan kedudukan kepada bank suatu kedudukan untuk didahulukan pelunasan hutangnya daripada kreditur lainnya. Dengan demikian, hasil penyelesaian piutang negara ini pada akhirnya diserahkan kembali kepada Bank Pemerintah, sedangkan biaya administrasi yang dibayar oleh debitur besarnya 10% (sepuluh persen) dari jumlah hutang disetorkan kepada kas negara. Meskipun jaminan yang telah dibebani hak jaminan telah dicairkan, baik melalui lelang maupun penjualan di luar lelang telah habis, akan tetapi PUPN tetap dapat melakukan penagihan kepada debitur sampai hutang debitur tersebut lunas. Kedudukan PUPN terhadap harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dalam hal adalah sebagai kreditur konkuren. Eksekusi atau penyelesaian piutang negara yang dilaksanakan oleh PUPN tidak dapat segera diselesaikan, apabila ternyata debitur dinyatakan pailit oleh putusan Hakim Pengadilan Niaga yang diajukan oleh kreditur yang tidak memegang hak jaminan kebendaan (kreditur konkuren). Setelah adanya pernyataan pailit terhadap debitur, untuk selanjutnya PUPN tidak lagi berhubungan secara langsung kepada debitur tetapi dengan kurator. Tinjauan Tentang Efektifitas Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara Sebuah peraturan pemerintah (PP) memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk menjadi sumber hukum yang resmi. Bahkan, menurut doktrin, walaupun tidak ada perintah khusus sekalipun dari suatu UU, PP tetap dapat dibuat untuk memperjelas atau memastikan bahwa UU tersebut dapat dilaksanakan.15Begitupun hakikatnya dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 sebagai penjabaran operasional dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ironisnya, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 yang dilatarbelakangi oleh keinginan banyak pihak agar masalah kredit-kredit macet (non performing loan/NPL) pada bank-bank BUMN dapat diselesaikan, ternyata menyisakan masalah baru. Sebagai konsekuensi dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 yang diterbitkan pada 6 Oktober 2006, bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki kesetaraan 15 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 128 22 perlakuan (level of playing field) dengan bank-bank swasta nasional/asing. Pada tataran konkret, bank-bank BUMN, misalnya, dapat mengelola modalnya (utang dan piutang) sendiri tentunya dengan mengacu pada prosedur internal (UU Perseroan Terbatas) dan peraturan Bank Indonesia, serta berbasiskan prinsipprinsip good corporate governance (GCG) serta pengelolaan perusahaan (negara) yang sehat (UU BUMN). Kontekstual dengan itu, bank-bank BUMN memiliki wewenang yang diperoleh dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 untuk menerapkan kebijakan-kebijakan solutif terhadap kredit bermasalah alias kredit macet yang menjadi piutangnya bagian yang tidak terpisahkan dari modal perusahaan melalui beberapa skema penyelesaian NPLs, seperti monetisasi, penjualan piutang di bawah nilai pokok, restrukturisasi, pemberian diskon, pemotongan pokok utang (haircut), penghapusan pokok utang, hingga pengalihan/penjualan piutang. Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 sebagai wujud revisi dari PP 14/2005 sejatinya sudah sejak lama didambakan dan diidamidamkan kalangan perbankan BUMN. Tapi, masalahnya, meskipun Peraturan Pmerintah Nomor 33 tahun 2006 telah diterbitkan, wewenang penuh yang diberikan kepada bank-bank BUMN yang sejatinya bisa memperbaiki indikator keuangan tersebut tidak juga diimplementasikan. Rupanya, ada hambatan psikologis bagi manajemen bank-bank BUMN untuk menempuh sejumlah kebijakan penyelesaian NPLs-nya, yakni ketakutan bakal terjerat hukum (misalnya dianggap melakukan tindak pidana korupsi) di belakang hari serta kehadiran PP 33/2006 belum menegaskan adanya kepastian hukum bagi pengelolaan dan pengurusan piutang macetnya pada bank-bank BUMN. Setidaknya ada tiga hal yang sampai saat ini masih menjadi kendala dalam menjalankan PP 33/2006, diantaranya : 1. Pengertian Keuangan Negara dan Kekayaan Negara Dipisahkan Dengan adanya pembedaan peranan negara, yang direpresentasikan oleh pemerintah, sebagai badan hukum privat dalam perseroan terbatas, kerugian perseroan terbatas yang disebabkan adanya penyimpangan dana perseroan seperti halnya korupsi tidak dapat disebut sebagai merugikan negara, dalam arti merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Undang-Undang No.31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh sebab itu, jika penuntut umum menerapkan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1971 jo. UU No. 31 tahun 1999, untuk mendakwakan seseorang yang melakukan penyelewengan dana perseroan terbatas (Persero) yang sahamnya seluruh atau sebagian dimiliki negara, dakwaan tersebut dapat dinyatakan tidak memenuhi unsur-unsur pidana korupsi, karena ketentuan yang berlaku bagi perseroan terbatas (Persero) adalah murni hukum privat termasuk UU Nomor 1 Tahun 1995. Ada pertimbangan penting yang harus diperhatikan pada aspek hukum kerugian negara dalam perseroan terbatas (Persero) ini, yaitu menyangkut kedudukan dan status hukum dari keuangan negara dalam perseroan terbatas tersebut. Apabila dikaitkan dengan definisi keuangan negara satu hal pertama yang perlu dipahami dan dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan 23 keuangan negara tersebut. Keterkaitan definisi keuangan negara secara ekspilisit dapat mengetahui aspek hukum kerugian negara yang disebabkan oleh definisi tersebut. Definisi keuangan negara menurut Arifin P. Soeria Atmadja16 terdapat tiga interpertasi atau penafsiran terhadap pasal 23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara, yaitu penafsiran pertama adalah: "...pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu sistem keuangan negara dalam arti sempit." Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan depenelitian dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara. Sementara itu, penafsiran kedua adalah berkaitan dengan metode sistematik dan historis yang menyatakan, "...keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang berasal dan APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara..." Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal, yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara. Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan; hak meminjam, dan hak memaksa." Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus. Penafsiran ketiga dilakukan melalui "pendekatan sistematik dan teleologis atau sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya." Maksudnya adalah, "Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dilnaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit,... Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematis dan teleologis untuk mengatahui sistern pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya 16 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik dan Kritik, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 110 24 keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan." Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun, penafsiran demikian akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya dari pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandeling) maupun yang berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling)." Dengan penafsiran ketiga ini juga terlihat betapa ketat dan kedap air (waterdichf) perumusan keuangan negara dalam aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Berdasarkan aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya, perbedaan yang mendasar akan muncul saat investasi dengan segala risiko yang ditawarkan oleh pemerintah dalam tiga jenis badan usaha (BUMN) yang ada. Bagi investasi yang ditanamkan pemerintah pada perusahaan jawatan (PERJAN) pengelolaan dan pertanggungjawaban berpedoman pada Indische Bedrijvenswet (IBW). Sementara itu, pada perusahaan umum (PERUM) berpedoman pada Undangundang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 dan perseroan terbatas (PERSERO) pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dan akta pendirian. Dengan pembedaan ini dapat terlihat kedudukan keuangan negara dalam aspek investasi yang ditanamkan pemerintah dan fungsi pelayanan publiknya terhadap ketiga jenis badan usaha tersebut berbeda. Adapun pada perjan dan perum, kedudukan keuangan negara di dalamnya adalah kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Hal demikian berbeda halnya dengan perseroan terbatas yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Pemisahan kekayaan negara ini mengandung makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk dijadikan modal penyertaan guna dijadikan modal pendirian perseroan atau untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan perseroan terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya. Pengertian kekayaan negara dipisahkan terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 yang ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat17. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai Piutang Negara. Sejalan dengan itu, pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 17 Lembar Negara RI Nomor No. 4297 (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003) 25 Berdasarkan pemikiran tersebut, maka BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan dalam mengoptimalkan pengelolaan pengurusan/ penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang bersangkutan, dan sebagai konsekuensi logis dengan adanya penyertaan modal pemerintah pada perseroan terbatas maka pemerintah ikut menanggung risiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayainya. Dalam menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian usaha ini, kedudukan pemerintah tidak dapat berposisi sebagai badan hukum publik. Hal demikian disebabkan tugas pemerintah sebagai badan hukum publik adalah bestuurszorg, yaitu tugas yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan dan suatu konsep negara hukum modern yang memperhatikan kepentingan seluruh rakyat. Konsekuensinya jika badan hukum publik harus menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian usaha tersebut, fungsi tersebut tidak dapat akan optimal dan maksimal dijalankan oleh pemerintah. Dengan dasar pemahaman tersebut, kedudukan pemerintah dalam perseroan terbatas tidak dapat dikatakan sebagai mewakili negara sebagai badan hukum publik. Pemahaman tersebut harus ditegaskan sebagai bentuk affirmatif pemakaian hukum privat dalam perseroan terbatas, yang sahamnya antara lain dimiliki oleh pemerintah. Dengan mengernukakan dasar logika hukum atas aspek kerugian negara dalam perseroan terbatas, yang seluruh atau salah satu sahamnya dimiliki negara berarti konsep kerugian negara dalam pengertian merugikan keuangan negara tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan ketika pemerintah sebagai badan hukum privat mernutuskan penyertaan modalnya berbentuk saham dalam perseroan terbatas maka pada saat itu juga imunitas publik dan negara hilang dan terputus hubungan hukumnya dengan keuangan yang telah berubah dalam bentuk saham, demikian pula ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk saham tersebut otomatis berlaku dan berpedoman pada UU No. 40 tahun 2007. Kondisi demikian mengakibatkan putusnya keuangan yang ditanarnkan dalam perseroan terbatas sebagai keuangan negara, sehingga berubah status hukumnya menjadi keuangan perseroan terbatas18. 2. Pengertian Kredit Macet Sebagai Salah Satu Risiko Bisnis Bahwa sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu enam bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksitransaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan. 18 H. Marwah M. Diah, Restruturisasi BUMN di Indonesia Privatisasi atau Korporatisasi?, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2003), hal.88 26 Dengan demikian, tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Sebenarnya ada doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.19 Sehubungan hal tersebut sebenarnya PP Nomor 33 tahun 2006 telah mengatur hal tersebut, didalam pasal II menyatakan bahwa: Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya. Dan dalam penjelasannya menyatakan; .... Sejalan dengan itu,pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tetap ada Undang-Undang yang harus ditaati oleh para pengelola BUMN untuk melakukan pengelolaan piutang macetnya, diantaranya: 1. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 2. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hal spesifik yang terdapat dalam pengurusan piutang negara oleh PUPN adalah adanya kewenangan PUPN untuk menerbitkan produk hukum yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan Hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti (vide Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara). Maksud pemberian kewenangan parate eksekusi tersebut adalah percepatan dan peningkatan efektifitas pengurusan piutang negara. Sampai pada saat penerbitan Surat Paksa yang bersifat parate eksekusi, pengurusan piutang negara oleh PUPN dapat dilakukan sesuai dengan maksud pemberian kewenangan tersebut di atas. Namun 19 Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hal. 57 27 karena beberapa faktor, tahap pengurusan piutang negara selanjutnya menjadi berkurang tingkat efektifitasnya. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Ketidakadaan barang jaminan hutang debitor. Penagihan piutang negara dengan Surat Paksa kepada debitor yang tidak menyelesaikan hutangnya hanya akan efektif apabila ada barang jaminan yang dapat disita dan dijual secara lelang; 2. Banyaknya permasalahan hukum yang terkait dengan barang jaminan sehingga Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan dan penjualan barang jaminan; 3. Rendahnya nilai barang jaminan dibandingkan dengan outstanding hutang; dan 4. Rendahnya minat dan/atau kemampuan masyarakat untuk membeli barang jaminan hutang debitor melalui lelang. Kewenangan parate eksekusi yang dimiliki menyebabkan ”nature” kegiatan PUPN bersifat eksekutor. Kondisi seperti ini tentu tidak bersahabat, khususnya bagi para pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang sedang mengalami kesulitan membayar hutang ke bank dan oleh bank kasusnya diserahkan kepada PUPN. Para UKM tersebut, bila tetap tidak mampu menyelesaikan hutangnya, pada suatu titik tertentu akan kehilangan asetnya karena eksekusi PUPN. Pada gilirannya, kondisi ini akan semakin memperburuk kehidupan UKM. Walaupun di dalam sistem pengurusan piutang negara oleh PUPN dikenal adanya pemberian keringanan hutang, namun keringanan yang dapat diberikan kepada Debitor hanyalah keringanan jangka waktu pembayaran dan/atau keringanan hutang bunga dan denda. Keringanan-keringanan tersebut seringkali tetap tidak dapat menjadi insentif bagi para UKM untuk menyelesaikan hutangnya. Umumnya, para UKM masih memerlukan fasilitas restrukturisasi sebagaimana yang dapat diberikan oleh kreditor mereka, seperti penambahan kredit, atau sampai pada pemberian keringanan hutang pokok (hair cut). Kesimpulan 1. Penyelesaian pengurusan piutang negara dilaksanakan PUPN dengan menempuh tahap pengurusan sebagai berikut: a. Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan piutang/kredit macetnya secara tertulis kepada PUPN melalui KP2LN, disertai berbagai dokumen pendukung yang dapat membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara; b. KP2LN melakukan penelitian dokumen penyerahan yang hasilnya dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK); c. Dari RHPK tersebut dapat diketahui apakah kasus tersebut dapat diterima untuk diurus (laik urus) atau tidak; d. Setelah SP3N diterbitkan, maka KP2LN melakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang (PH) dan/atau Penjamin Hutang (PjH), paling banyak 2 (dua) kali masing-masing berselang 7 (tujuh) hari. Bila PH/PjH tidak diketahui keberadaannya, pemanggilan dapat dilakukan melalui Pengumuman Panggilan pada media masa; 28 e. Apabila PH/PjH memenuhi panggilan, maka dilakukan wawancara yang menyangkut pengakuan jumlah hutang, dan kesepakatan tentang cara dan jangka waktu penyelesaian, serta sanksi bila PH/PjH wanprestasi/cidera janji; f. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) akan diterbitkan oleh PUPN; g. Berdasarkan PJPN di atas, PUPN melaksanakan penagihan piutang negara kepada PH/PjH secara sekaligus dengan Surat Paksa (SP); h. Bila berdasarkan wawancara diketahui hasil sebagaimana dimaksud pada butir 5A atau 5B, maka Pernyataan Bersama (PB) dibuat dan ditandatangani bersama oleh PH/PjH dan Ketua PUPN; i. Apabila PH/PjH mentaati isi PB, yang bersangkutan melaksanakan pembayaran; j. Pembayaran yang dilakukan oleh PH/PjH sesuai ketentuan yang disepakati pada PB, akan bermuara pada pelunasan hutangnya; k. Apabila PH/PjH tidak memenuhi ketentuan SP, maka PUPN menerbitkan Surat Perintah Penyitaan (SPP) terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; l. Apabila debitor tetap tidak menyelesaikan hutangnya kepada negara walaupun barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah disita; m. Pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH; n. Terdapat 2 (dua) kemungkinan hasil yang diperoleh bila barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut laku terjual lelang, dan tidak ada lagi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang tersisa; o. Bila piutang negara belum lunas meski sudah tidak ada lagi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH; dan p. Bila piutang negara belum lunas dan telah memenuhi persyaratan, maka PUPN akan menghentikan sementara pengurusan piutang negara tersebut dengan menerbitkan pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). 2. Penyelesaian piutang negara oleh Panitia dilakukan secara singkat dan efektif, dengan maksud agar piutang negara tersebut dapat dengan cepat tertagih atau terselesaikan. Untuk itu berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 11 UU PUPN, Panitia diberikan suatu kekuasaan khusus untuk menetapkan dan menerbitkan keputusan-keputusan hukum yang sifatnya final dan dapat dilaksanakan tanpa melalui lembaga peradilan (asas parate executie), seperti menerbitkan Surat Pernyataan Bersama, Surat Paksa, Sita dan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pelelangan barangbarang sitaan PUPN. Saran-saran 1. Berkenaan dengan penyelesaian piutang yang menyangkut aspek kerugian Negara. Meskipun wewenang RUPS dianggap merupakan lex specialis sesuai dengan PP 33 Tahun 2006. Akan tetapi, wewenang dalam menjalankan penyelesaian piutang negara tidak dapat mengingkari aspek kerugian Negara dikarenakan adanya penyertaan modal dari Negara. Sehingga dalam hal ini 29 diperlukan nota kesepahaman antara penegak hukum dan badan-badan Negara dengan RUPS sebagai organ tertinggi korporasi. 2. Untuk menghindari terjadinya sesuatu terhadap piutang negara, maka seluruh jajaran aparat hukum yaitu Instansi Imigrasi, Instansi Pajak, Polri dan Jaksa sebaiknya selalu berkoordinasi demi kelancaran penyelesaian masalah piutang negara. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN, Jakarta: Gema Justia, 1994 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 2000 Djuhaendah Hasan, Tinjauan Hukum Atas Pengikatan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Serta Eksekusi Jaminan, Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya Sehari Bank Indonesia Bandung, November, 2000 ------------------, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yng Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Atas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 Frieda Husni, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid II, Jakarta: Ind-Hill Co, 2005 H. Marwah M. Diah, Restruturisasi BUMN di Indonesia Privatisasi atau Korporatisasi?, Jakarta: Literata Lintas Media, 2003 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007 Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982 Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 No. 4, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996 Setiawan, Eksekusi Hipotik, Media Notariat, No. 20-21 Tahun VI 30 Sjahdeini, Sutan, Remy, Hak Tanggungan, Asas-Asas, KetentuangKetentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Penerbit Alumni Bandung, Bandung, 1999 Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, Cet. Ke-1 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata, Jakarta: PT. Gramedia, 1989 -------------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2006 -------------------, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004 Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan, Jakarta: Books Terrace & Library, 2005 --------------------, Problematika Perbankan, Bandung: BooksTerrace & Library, 2000 Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN Lembar Negara RI Nomor No. 4297 (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 31