BAB I

advertisement
PENGURUSAN KEKAYAAN/PIUTANG NEGARA
OLEH PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA
MISBAHUL HUDA
ABSTRAK
Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat
menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkahlangkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan
mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang
negara yang telah tersalur di sektor perbankan, dimana badan khusus tersebut
adalah BPPN. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut
merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. Selanjutnya, sesuai Kepres No. 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas
dan BPPN. Kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan
dan Sita Eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
yang didasarkan pada Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara yang bertugas mengurus Piutang Negara yang ada dan
besarnya telah pasti. Adapun dalam praktik penyelesaian pengurusan kekayaan
atau piutang negara eks BPPN yang terkait sita ekskekusi hak tanggungan dan sita
eksekusi lainnya yakni sita BPPN berdasarkan PP No. 17 tahun 1999 oleh PUPN,
terkait penyitaan PUPN terkendala karena sebelum diserahkan kepada PUPN telah
dilakukan penyitaan sesuai prosedur hukum acara yang berlaku sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang sah dan mengikat pihak ketiga.
Kata kunci
: Piutang Negara, BPPN, PUPN.
1
PENDAHULUAN
Dalam kerangka pembangunan perekonomian nasional, sektor keuangan
khususnya industri perbankan merupakan salah satu komponen terpenting sebagai
pendukung dan penggerak laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan-kebijakan
sektor keuangan khususnya dunia perbankan akan berpengaruh secara langsung
terhadap iklim dan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kemajuan
ataupun kesulitan yang dihadapi sektor perbankan, akan berdampak luas terhadap
upaya pembangunan perekonomian nasional. Kegiatan usaha perbankan
merupakan salah satu pilar perekonomian dan perdagangan nasional. Maju
mundur atau pasang surut bisnis perbankan di Indonesia berpengaruh langsung
pada sektor ekonomi usaha karena hampir semua kegiatan bisnis terkait dan
melibatkan perbankan. Salah satu kegiatan bank adalah menyalurkan kredit, yang
diluncurkan oleh bank tersebut dapat terjadi tidak lancar sehingga menjadi kredit
macet. Kebijakan sektor keuangan khususnya dunia perbankan akan berpengaruh
secara langsung terhadap iklim dan arah pembangunan ekonomi. Oleh karena itu,
kemajuan ataupun kesulitan yang dihadapi sektor perbankan, akan berdampak
luas terhadap upaya. Pembangunan perekonomian nasional.
Bahwa deregulasi sektor perbankan nasional yang memacu pertumbuhan
kuantitas institusi perbankan kurang diikuti dengan regulasi dan pengawasan yang
ketat, sehingga mengakibatkan lemahnya kualitas industri perbankan. Gejolak
moneter yang melanda dunia khususnya negara-negara di kawasan Asia, telah
memberikan dampak yang luar biasa terhadap kondisi moneter nasional yang
ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Dalam keadaan demikian, kondisi
industri perbankan yang kurang menjaga asas kehati-hatian tersebut, terkena
imbas yang paling buruk dalam sejarah perbankan nasional. Guna mencegah
kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi
sosial secara luas, pemerintah mengambil langkah-langkah strategis dengan
mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk
memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah
tersalur di sektor perbankan, dimana untuk selanjutnya badan khusus dimaksud
disebut dengan BPPN.
Mengingat demikian besarnya jumlah uang negara yang harus dipulihkan
serta sangat strategisnya misi yang diberikan kepada BPPN tersebut, Undangundang memberikan kewenangan-kewenangan khusus yang tidak dimiliki oleh
institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut
merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya. Bahkan oleh Undang-undang, tindakan-tindakan yang diambil oleh
BPPN dipersamakan dengan sebuah putusan pengadilan yang bersifat serta merta
(uitvoerbaar verklaard bij voorraad). Hal ini tiada lain karena keadaan
perekonomian nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut
hanya bersifat sementara. Mengingat ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap
BPPN bersifat lex specialis terhadap peraturan perundang-undangan lainnya,
maka penerapannya perlu dilandasi dengan azas kehati-hatian serta menjunjung
tinggi azas keterbukaan. Bahkan dalam pelaksanaan tugasnya, BPPN perlu
diawasi oleh lembaga lain serta diwajibkan menyampaikan laporan secara berkala
kepada Menteri Keuangan.
2
Pendirian BPPN oleh Pemerintah diawali dengan kebijakan pemerintah
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum atau Program
Penjaminan Pemerintah (PPP) sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden
No. 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 (Kepres 26/1998). Dalam Kepres
tersebut ditetapkan bahwa pelaksanaan pemberian jaminan oleh pemerintah
dilakukan oleh sebuah lembaga yang diteapkan oleh Kepres tersendiri. Dasar
hukum pendirian BPPN selanjutnya diperkuat dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tanggal 10 Nopember 1998 Tentang Perbankan yang diatur dalam
Pasal 37 A ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 1998
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 17 tanggal 27 Pebruari 1999
tentang Badan Penyehatan Perbankan (PP 17/1999). Dalam PP 17/1999 juga
ditetapkan bahwa BPPN bertugas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
2 untuk jangka waktu tertentu sepanjang masih diperlukan untuk menjalankan
tugasnya.
Adapun tugas pokok BPPN yaitu penyehatan bank yang ditetapkan dan
diserahkan oleh Bank Indonesia, penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun
kewajiban debitur melalui unit pengelolaan aset, dan pengupayaan pengembalian
uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset
Dalam Restrukturisasi (ADR).1 Selanjutnya, sesuai Kepres No. 15 tahun 2004
tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), maka tanggal 27 Pebruari 2004 telah berakhir tugas dan
dibubarkannya BPPN. Segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang
dikelola oleh Menteri Keuangan. Kekayaan negara yang tidak terkait dengan
perkara, penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kekayaan negara
yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan penanganannya dilakukan oleh
Tim Pemberesan BPPN, dan kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi
Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN)
Landasan hukum PUPN dalam sistem Pengurusan Piutang negara adalah
Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
yang bertugas mengurus Piutang Negara yang ada dan besarnya telah pasti.
Berdasarkan ketentuan pasal 8 jo Pasal 12 Undang-undang Nomor: 49 Prp Tahun
1960, bahwa instansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau
tidak langsung dikuasai negara diwajibkan/ diharuskan menyerahkan piutang yang
ada dan besarnya telah pasti menurut hukum kepada PUPN. PUPN merupakan
suatu Panitia interdepartemental yang bertugas mengurus Piutang Negara yang
baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu
peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Pelaksanaan tugas-tugas administrasi
PUPN tersebut dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) yang merupakan unit oparasional dari Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara, Departemen Keuangan .
Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita
eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks
1
Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999, Pasal 3.
3
BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan
Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks
BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat
Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan
Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) Jakarta V.
Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita
Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN
melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi
melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan
mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No.
18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk
Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau
dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam
kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa
Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama
dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai
seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang
eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang
berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu
Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan
Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang.
Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan
sesuai dengan azas Parate Executie,2 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam
mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang
berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop , seperti halnya kewenangan
dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang
dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR . Dalam arti PUPN
melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri.3
Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan
PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri.
Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari
2
Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta:
Gema Justia, 1994), hal. 486.
3
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta:
PT. Gramedia, 1989), hal. 340.
4
penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak
Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu
dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN
mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badanbadan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara
yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani,
pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan-Badan
Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/
BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan
debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan
pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan
bank
Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita
Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan
terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut
diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di
Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun
sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak
Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi
PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak
telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun
peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan
mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data
Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau
Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah
Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak
Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan
dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat
(1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah “sah dan
mempunyai kekuatan mengikat”. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap
jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh
juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa
“dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu
yang bersamaan”. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap
jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur
secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun
1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi
pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi.
Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN belum mengatur
mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang berasal dari kekayaan
BPPN
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka
Penelitian dibatasi pada :
5
1. Bagaimana penanganan kekayaan negara yang terkait Sita Eksekusi Hak
Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN?
2. Bagaimana langkah yuridis PUPN dalam mengefektifkan penanganan
kekayaan/piutang Negara yang terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita
Eksekusi Lainnya
Tinjauan Literatur
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada
metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.4
Dalam suatu penelitian diperlukan suatu kerangka berfikir secara ilmiah dan
dilandasi oleh pola pikir yang mengarah pada suatu pemahaman yang sama. Teori
merupakan pengarah atau petunjuk dalam penentuan tujuan dan arah penelitian.
Dalam pelaksanaan salah satu tugas BPPN yakni pengupayaan pengembalian
uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset
Dalam Restrukturisasi (ADR), serta penagihan piutang negara berdasarkan
kewenangan PUPN, tidak terlepas dari adanya jaminan kredit perbankan terutama
jaminan benda tidak bergerak, penanganan kredit secara umum dan eksekusi
dalam bidang perdata.
Dalam rangka penulisan jurnal ini, untuk mengetahui bagaimana
penanganan kekayaan negara terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita
Eksekusi lainnya oleh PUPN sebagai konsekuensi hukum dibubarkannya BPPN
berdasarkan Kepres No. 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran tugas dan
Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), perlu dilakukan
penelitian yang diarahkan pada pembahasan sita eksekusi terhadap jaminan
piutang negara eks BPPN, terkait instansi yang berbeda antara yang melakukan
penyitaan sebelumnya yakni BPPN atau lembaga Peradilan dan pelaksanaan sita
eksekusi tersebut telah didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya
PUPN juga mempunyai kewenangan untuk melaksanaan sita eksekusi terhadap
jaminan piutang negara apabila dalam jangka waktu 1x24 jam, penanggung
hutang tidak melunasi hutangnya sesuai kekuatan “Surat Paksa”.
Jaminan piutang negara berasal dari jaminan kredit bank yang dapat
digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut pandang tertentu,
seperti cara terjadinya dan sifat kebendaan yang yang dijadikan objek jaminan.
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan umum seperti hak privilege dan
hak retensi yang diatur dalam Pasal 1132 dan Pasal 1134 ayat (1) KUHPerdata.
Sedangkan jaminan yang timbul karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan
oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya seperti gadai, hipotik, hak
tanggungan, dan fidusia. 5 Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang
diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitam dengan tanah. Hak Tanggungan
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1982), hal. 65. Sri
Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Depok: Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005), Cet. Ke-1, hal. 7.
5
Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan (Jakarta: Books Terrace & Library,
2005), hal. 191.
6
menyangkut tiga aspek, yang pertama berkaitan dengan hak jaminan atas tanah,
kedua berkaitan dengan kegiatan perkreditan, ketiga berkaitan dengan
perlindungan hukum bagi pihak terkait. Mengenai eksekusi Hak Tanggungan,
Sesuai Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT, terdapat dua kemungkinan yang
pertama eksekusi yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 11 UUHT ayat (2) huruf e
yakni pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut lebih dahulu dari kreditur lainnya. Hal ini disebut Parate Executie.
Kedua, eksekusi melalui lelang berasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Mengenai eksekusi Hak Tanggungan Pasal 26 UUHT menyatakan:
“selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, maka
dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi
Hipotik yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap
eksekusi Hak Tanggungan”. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 26 UUHT, yang
dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi Hipotik yang ada dalam pasal ini
adalah ketentuan sebagaimana diatur Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG. Adanya
suatu titel executorial menimbulkan suatu ketentuan “daya paksa”6 titel
eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanann Yang Maha Esa”, berlaku sebagai pengganti Grosse
Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Eksekusi yang didasarkan
“Pasal 224 HIR/ 258 RBg merupakan eksekusi yang tunduk, patuh pada Hukum
Acara Perdata dengan tata cara sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. 7
Dari sisi Hukum Acara Perdata, eksekusi Hak Tanggungan dan eksekusi
PUPN serta eksekusi BPPN dapat disamakan dengan eksekusi pembayaran
sejumlah uang yang didasarkan akta tertentu yang oleh Undang-undang
disamakan nilainya dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, yakni adanya titel pada Sertipikat Hak Tanggungan dan pada Surat Paksa
pada produk hukum PUPN atau BPPN. Sita eksekusi atau executorial beslag
merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran
sejumlah uang. Dalam Hukum Acara Perdata , tata cara dan syarat-syarat sita
eksekusi diatur dalam Pasal 197 198, 199 HIR atau Pasal 208, 209, 210 RBG.
Dalam sita eksekusi Pengadilan, harus dilalui tata cara yakni, berdasarkan
Surat Perintah pengadilan, dilaksanakan oleh Panitera atau Juru sita, pelaksanaan
dibantu oleh dua orang saksi, sita eksekusi dilakukan di tempat, pembuatan berita
acara eksekusi, Berita Acara sita didaftarkan pada instansi yang berwenang untuk
itu dan memerintahkan kepala desa mengumumkan penyitaan di tempat mana sita
eksekusi dilakukan. Dalam Peraturan PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPPN,
penyitaan diatur dalam Pasal 58 s/d Pasal 63 dan lebih jauh diatur dalam peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor: 6 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam
6
Setiawan, Eksekusi Hipotik, Media Notariat, No. 20-21 Tahun VI, hal. 69.
Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996
No. 4 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 122.
7
7
restrukturisasi Dan Atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang berupa Hak atas
Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Sita yang diperintahkan dan dijalankan PUPN adalah sah dan mengikat,
oleh karena itu terhadap sita yang diperintahkan dan dijalankan PUPN berlaku
sepenuhnya azas sita: “dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang
sama dalam waktu yang bersamaan”.8 Mengenai Penyitaan lebih jauh diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan
Piutang Negara, yang mengatur antara lain bahwa Surat perintah Penyitaan
diterbitkan PUPN dalam hal setelah lewat waktu 1x24 jam sejak Surat Paksa
diterbitkan, Penanggung hutang tidak melunasi hutangnya pendaftaran penyitaan
kepada instansi yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan. Sita eksekusi yang telah
diumumkan pendafaran sitanya sesuai Pasal 198 ayat 1 HIR, sita eksekusi tersebut
sudah sah dan mengikat bagi siapapun.
Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No.128/PMK.06/2007 tanggal
24 Oktober 2007 tentang Pengurusan Piutang Negara, dimuat definisi-definisi
antara lain sebagai berikut:
1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau
badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh
negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun.
2. Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, atau Badan
Usaha yang modal usahanya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh atau
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang
Negara.
3. Penangung Hutang adalah badan/ atau orang yang berhutang menurut
peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/ orang yang
menjamin Penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
4. Penjamin Hutang adalah badan/ atau orang yang menjamin Penyelesaian
Sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
5. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) adalah surat yang
diterbitkan oleh Panitia Pengurusan Piutang Negara, berisi pernyataan
menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang.
6. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara PUPN Cabang dengan
Penanggung Hutang tentang jumlah huatang yang wajib dilunasi, cara-cara
penyelasaiannya, dan sanksi.
7. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat yang
diterbitkan oleh PUPN, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh
Penanggung hutang.
8. Pencegahan adalah larangan bepergian keluar dari Wilayah Republik
Indonesia.
9. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PUPN Cabang kepada
Penangung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam
8
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta:
Penerbit PT. Gramedia, 1989), hal. 340.
8
waktu 1x24 (satu kali dua pukuh empat) jam terhitung sejak tanggal
diberitahukan.
10. Barang Jaminan adalah kekayaan milik Penanggung Hutang dan/ atau
Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan Penyelesaian hutang.
11. Harta Kekayaan Lain adalah Harta Kekayaan Milik Penanggung Hutang yang
tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan Penyelesaiain hutang.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN
dalam Pasal 1 memberikan penjelasan umum sebagai berikut:
1. Aset Dalam Restrukturisasi adalah:
a. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak
Bank Dalam Penyehatan dan atau perusahaan terafiliasi Bank Dalam
Penyehatan;
b. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak
atau yang akan dialihkan kepada BPPN;
c. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud milik atau yang menjadi hak
Debitur; dan atau
d. Segala benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dimiliki oleh atau
menjadi hak pemegang saham, direktur atau komisaris, sejauh diperlukan
untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian
pemegang saham, direktur atau komisaris dari suatu Bank Dalam Penyehatan.
2. Bank adalah Bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perbankan,
yang berbadan hukum Indonesia kecuali:
a. Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih badan hukum
Indonesia dan atau warga negara Indonesia dengan satu atau lebih badan
hukum asing dan atau warga negara asing secara kemitraan namun tidak
termasuk Bank Umum yang merupakan konversi dari lembaga keuangan
bukan bank; dan
b. Bank Perkreditan Rakyat.
3. Bank Dalam Penyehatan adalah Bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh
Bank Indonesia kepada BPPN guna dilakukan program penyehatan.
4. Debitur adalah setiap perorangan atau badan yang secara langsung atau tidak
langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada:
a. Bank Dalam Penyehatan;
b. BPPN; dan atau
c. Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau BPPN;
Termasuk bank yang mempunyai kewajiban kepada Bank Indonesia dalam kaitan
dengan Fasilitas Bank Indonesia.
5. Fasilitas Bank Indonesia adalah fasilitas surat berharga pasar uang, surat
berharga pasar uang khusus, fasilitas dana talangan, fasilitas saldo debet, atau
fasilitas pinjaman lain yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank.
6. Kewajiban Dalam Restrukturisasi adalah kewajiban yang tercatat dalam
pembukuan (on balance sheet) dan yang tidak tercatat dalam pembukuan (off
balance sheet) dari atau sehubungan dengan:
a. Bank Dalam Penyehatan dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam
Penyehatan;
9
b. Kekayaan milik Debitur; dan atau
c. Setiap benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dimiliki oleh
pemegang saham, direktur dan komisaris Bank Dalam Penyehatan tersebut
sejauh diperlukan untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh kesalahan
atau kelalaian pemegang saham, direktur atau komisaris Bank Dalam
Penyehatan.
7. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh BPPN pada Bank
Dalam Penyehatan, Debitur dan atau badan hukum lain untuk sementara
waktu guna memaksimalkan hasil penyelesaian dan pengelolaan Aset Dalam
Restrukturisasi yang pelaksanaannya didasarkan pada Peraturan Pemerintah
ini.
8. Surat Penunjukan Pembeli adalah surat di bawah tangan yang dibuat oleh
BPPN, yang menunjuk pembeli yang sebenarnya atas suatu barang.
9. Surat Pernyataan Pembelian Sementara adalah surat di bawah tangan yang
dibuat oleh BPPN, yang menyatakan maksud BPPN untuk membeli suatu
barang untuk sementara waktu sampai dengan ditunjuknya pembeli barang
yang sebenarnya.
10. Undang-undang Perbankan adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998.
Metode Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang
sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujaan, fakta, tulisan-tulisan ilmiah
kemudian dikaitkan dengan teori, untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas
pokok masalah yang akan dibahas yaitu penanganan kekayaan negara yang
terkait sita eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya. Metode
pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang
menekankan pada data sekunder yakni dengan mempelajari dan mengkaji asasasas hukum khususnya hukum posistif yang berasal dari bahan kepustakaan yang
ada dalam peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan terutama
yang berkaitan dengan hukum jaminan, penangan kredit macet, eksekusi di bidang
perdata, kelembagaan BPPN dan PUPN serta mekanisme penanganan penagihan
piutang oleh BPPN, penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait sita
eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya oleh PUPN. Penelitian
dilakukan dalam 2 tahap yaitu Penelitian Kepustakaan (Library Research). Bahanbahan hukum primer, yaitu peraturang perundang-undangan tentang perikatan
perdata, hukum acara perdata, dan dan peraturan pengurusan piutang negara,
peraturan tetang BPPN, dan peraturan tentang lelang. Bahan hukum sekunder
yaitu tulisan-tulisan para pakar, dan beberapa putusan hakim dan hasil penelitian
yang telah dipublikasikan melalui jurnal-jurnal. Bahan hukum tersier yaitu kamus,
artikel di koran, majalah, bahan-bahan seminar.
Data primer, data sekunder, dan data tersier dianalisa dengan
menggunakan metode kualitatif normatif untuk menghasilkan kesimpulan dan
selanjutnya, disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian dilakukan di Jakarta,
10
bahan-bahan hukum primer dan sekunder diperoleh dari instansi dan beberapa
perpustakaan yang berlokasi di Perpustakaan Kantor Pusat DJKN, Perpustakaan
Nasional Jakarta, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyelesaian Hukum Tentang Kekayaan Negara Eks Bppn Yang Terkait
Sita Eksekusi Hak Tanggungan Dan Sita Eksekusi Lainnya
Proses Penagihan Piutang Macet Oleh BPPN
Dalam rangka melakukan penagihan piutang Bank Dalam Penyehatan
yang sudah pasti, BPPN dapat melakukan penagihan kepada debitur dengan
menerbitkan Surat Paksa.9 Surat Paksa diterbitkan dan ditandatangani oleh Pejabat
yang berwenang mewakili BPPN yakni Ketua BPPN dan dalam hal Ketua tidak
hadir atau berhalangan seorang Wakil Ketua bertindak untuk dan atas nama serta
mewakili BPPN. Dalam hal suatu piutang Bank Dalam Penyehatan adalah
merupakan bagian dari piutang yang timbul dari suatu pembiayaan bersama-sama
dengan bank-bank lain, BPPN dapat mewakili bank-bank tersebut terhadap
debitur, tanpa mengesampingkan kewenangan BPPN untuk melakukan upaya
penagihan piutang yang merupakan bagian bank Dalam Penyehatan sendiri.
Penagihan piutang ini dilakukan dengan megeluarkan Surat Paksa dan melakukan
tindakan hukum lain sesuai kewenangan BPPN.
Penerbitan Surat Paksa apabila debitur debitur melalaikan kewajibannya
membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan dokumen kredit, dokumen
pemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnya dan atau
dokumen lainnya, dan kepada debitur dan atau penanggung utang telah
disampaikan sutu pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk
membayar, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan itu oleh Bank Dalam
Penyehatan, dan atau BPPN. Surat Paksa disampaikan kepada debitur dan atau
penagggung utang secara langsung dengan tanda terima yang layak pada alamat
sesuai Perjanjian Kredit, dokumen pemberian hk jaminan pernyataan yang telah
npenanggung utang karena sebab apapun tidak diketemukan, Surat Paksa tersebut
di sampaikan melalui Kantor Kepala Desa atau Kelurahan tempat kedudukan
hukum atau alamat terakhir sesuai perjanjian, atau dokumen lainnya.
Dalam hal debitur dan atau penanggung utang telah dinyatakan atau dalam
proses pailit, salinan Surat Paksa disampaikan kepada Hakim Pengawas dan atau
Kurator, dan dalam hal debitur perusahaan debitur dinyatakan bubar atau dalam
likuidgiatan usaha perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian dan
perdagangan nasional. Maju mundur atau pasang surut bisnis perbankan di
Indonesia berpengaruh langsung pada sektor ekonomi usaha karena hampir semua
kegiatan bisnis terkait dan melibatkan perbankan. Salah satu kegiatan bank adalah
menyalurkan kredit, yang diluncurkan oleh bank tersebut dapat terjadi tidak lancar
9
Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN
11
sehingga si, salinan Surat paksa disampaikan kepada orang atau Badan yang
diberi wewenang untuk melakukan pemberesan.
Penyitaan dilakukan oleh Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang saksi dan
dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh Jita Sita dan 2
(dua) orang saksi tersebut. Berita Acara Penyitaan tersebut didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran untuk dicatat oleh Pejabat Kantor Pendaftaran yang
berwenang pada Kantor Pendaftaran, yang terkait tentang adanya penyitaan
tersebut.. Salinan Berita Acara Penyitaan dimaksud diberitahukan kepada debitur
dan Pengadilan Negeri di wilayah kekayaan milik debitur yang disita terletak.
Penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh kekayaan milik debitur termasuk
kekayaan milik debitur yang berada dalam penguasaan pihak ketiga. Kekayaan
debitur yan tidak dapat disita adalah barang-barang bergerak yang diperlukan
untuk kelangsungan hidup dari debitur perorangan.
Atas permohonan BPPN Pengadilan Negeri dalam waktu secepatnya dapat
mengeluarkan penetapan yang berisi pengangkatan atau pencabutan sita jaminan
yang telah diletakan. Dengan terlebih dahulu mendengar pendapat para pihak
yang berperkara.10 Dalam hal atas kekayaan debitur telah diletakan sita eksekusi
terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, atau Badan Urusan Piutang dan lelang
Negara atau Kantor Pajak dan sita sita eksekusi tersebut telah terdaftar di Kantor
Pendaftaran sebagaimana mestinya, BPPN sebagai pemegang piutang Negara
menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, atau Badang
Urusan Piutang dan Lelang Negara, atau Kantor Pajak untuk tururt serta
menganbil bagian yang didahulukan atas hasil lelang eksekusi kekayaan debitur
tersebut. Dalam hal debitur yang atas kekayannya telah dilaksanakan sita
ekskekusi oleh BPPN dinyatakan pailit, BPPN tetap dapat melakukan tindakan
hukum atas hak kebendaan tersebut dan dalam hal kekayaan debitur masuk
penguasaan debitur yang dinyatakan pailit atau dalam penguasaan curator , BPPN
menyampaikan salinan Surat Paksa dan tuntutan secara tertullis kepada Kurator
dan Hakim Pengawas pada Pengadilan Niaga , untuk ditetapkan selaku Kreditur
yang didahulukan atas bagian harta pailit.
Penjualan kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan melalui
pelelangan. Pembagian hasil Penjualan nya dilaksakan berdasarkan ketentuan hak
memperoleh pemenuhan pembayaran lebih dulu yang berlaku atas piutang Negara
, sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Upaya hukum yang dilakukan oleh
pihak manapun yang belum memperoleh kekutan hukum yang tetap tidak
mencegah atau menunda tindakan hukum yang dilakukan oleh BPPN. Barang
yang disita dapat dititipkan kepada debitur kecuali apabila barang dimaksud
berdasarkan pertimbangan BPPN perlu disimpan di tempat lain. Debitur dilarang
merubah bentuk, memindahtangankan menyewakan, menghilangkan dan atau
merusak barang yang telah disita.Debitur yang melanggar ketentuan ini dikenakan
sanksi pidana sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
BPPN menerbitkan surat pencabutan sita atas barang yang telah dilakukan
penyitaan ,dalam hal utang debitur dibayar lunas yang dibuktikan dengan surat
10
Pasal 60 Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN
12
tanda lunas yang dikeluarkan oleh BPPN atau dalam hal tercapai kesepakatan lain
dengan BPPN. Kantor Pendaftaran mencatat pencabutan blokir dan atau
pengangkatan sita ekekusi , atas permintaan debitur yang disertai dengan Surat
Pencabutan Sita. Kewenangan BPPN yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
No. 17 tahun 1999 merupakan kewenangan public yang secara tegas diatur dalam
Undang-Undang Nomor: 7 tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Kewenangan tersebut telah
memperoleh legitimasi dari Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 01 P/HUM/1999 yang dengan tegas telah menolak
permohonan Judisial Review terhadap Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999
tentang BPPN yang diajukan oleh Asosiasi Advokat Indonesia(AAI).
Mengajukan Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan
Upaya lain dalam rangka penagihan piutang BPPN adalah dengan
mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan. Permohonan Eksekusi Hak
Tanggungan diajukan sebagai pelaksanaan eksekusi yang disediakan UUHT.
Proses permohonan eksekusi sertpikat Hak Tanggungan (dahulu dikenal dengan
grosse akta Hipotik dan akta hipotik) pada prinsipnya adalah sama.Urutan dari
tindakan yang dilakukan sebagai kreditur pemegang Hak Tanggungan adalah
sebagai berikut:
a. Kreditor mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
b. Setelah diajukan permohonan tersebut maka diadakan sidang pengadilan yang
dihadiri oleh pemohon (kreditur) dan Termohon (debitur). Dalam siding
tersebut oleh Hakim disampaikan Teguran (Aanmaning) kepada Termohon,
bahwa apabila dalam waktu 8 hari yang bersangkutan harus melaksanakan
pembayaran lunas pinjaman beserta bunga, ongkos-ongkos dan sebagainya ,
dan apabila tidak diadakan eksekusi atas jaminan kredit.
c. Apabila dama waktu 8 (delapan) hari tersebut Termohon/debitur tetap
membandel maka Pemohon/kreditur melanjutkan dengan mengajukan
permohonan Sita eksekusi.
d. Setelah menerima Penetapan Sita eksekusi maka Juru Sita Pengadilan Negeri
melakasanakan sita eksekusi atas barang-barang yang Dalam jaminan.
e. Pemohon/kreditur menerima Berita Acara dari Juru Sita Pengadilan Negeri.
f. Kemudian pemohon/kreditur mengajukan permohonan untuk dilaksanakan
pelelangan atas jaminan tersebut dan menerima penetapan lelang.
g. Berdasarkan penetapan lelang, Pengadilan Negeri mengajukan permohonan
untuk ditetapkan hari dan tanggal pelaksanaan lelang ke Kantor
Lelang/KPKNL. Pelaksanaan lelang didahului dengan Pengumuman lelang
sebanyak 2 (dua) kali berselang 2 miggu.
h. Pengadilan selaku penjual menetapkan harga limit sebagai harga minimal
penjualan barang objek lelang.
a.
uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat; dan
13
Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang terkait dengan sita
eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka kekayaan negara eks
BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan
Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan piutang negara eks
BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah Piutang. Mengingat
Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka penanganan kekayaan
Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) Jakarta V.
Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita
Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN
melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi
melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan
mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No.
18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk
Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau
dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan .
Dalam kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang
Negara dengan kuasa Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan
Perjanjian Bersama dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini
mempunyai nilai seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, yang eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat
Paksa yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum
lainnya yaitu Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah
Penjualan Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang.
Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan
sesuai dengan azas Parate Executie,11 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam
mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang
berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop , seperti halnya kewenangan
dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang
dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR . Dalam arti PUPN
melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri.12
11
Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta:
Gema Justia, 1994), hal. 486.
12
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta:
PT. Gramedia, 1989), hal. 340.
14
Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan
PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri.
Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang
berasal dari penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita
eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan
peradilan semu dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive),
PUPN mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi
Badan-badan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan
negara yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera
ditangani, pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui BadanBadan Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/
BUMN/ BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta
kekayaan debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling),
dan pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus
kerahasiaan bank. Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang
terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui
permasalahan terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang
negara tersebut diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita
eksekusi di Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No.
17/1999 maupun sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan
eksekusi Hak Tanggungan yang diajukan oleh BPPN.
Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi PUPN terkendala mengingat sita
eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak telah memenuhi tata cara dan
syarat formal Hukum Acara Perdata maupun peraturan lainnya yang berlaku.
Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan mengindahkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang
Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut
Aset Dalam Restrukturisasi dan atau Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang
Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun. Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita
eksekusi Hak Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara
yang ditentukan dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207,
212 dan 214 ayat (1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah
dilaksanakan adalah “sah dan mempunyai kekuatan mengikat”.
Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap jaminan hutang debitur
dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh juru sita PUPN/ KPKNL
Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa “dilarang menyita barang yang
sama terhadap debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan”. Atau dengan
kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap jaminan debitur yang sama
dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur secara limitatif syarat
Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun 1999 yang di dalamnya tidak
mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi pembubaran BPPN sedangkan atas
jaminan hutang masih melekat sita eksekusi. Di sisi lain ketentuan pengurusan
piutang negara oleh PUPN khususnya terkait masalah penyitaan terhadap
jaminan, belum mengatur mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang
15
berasal dari kekayaan BPPN. Dalam hubungan dengan kekayan Negara yang
terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, maka
kekayaan negara eks BPPN menjadi Piutang Negara dan penanganannya oleh
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dilaksanakan dengan berpedoman pada
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007
tentang Pengurusan Piutang Negara. Dengan berpedoman pada pasal 4 Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 128/PMK.06/2007, pengurusan
piutang negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) Cabang yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Penyerah
Piutang. Mengingat Penyerah Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berkedudukan di Jakarta, maka
penanganan kekayaan Negara eks BPPN diserahkan kepada Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) Cabang Jakarta melalui Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta V.
Sebelum dibubarkannya BPPN, kekayaan negara yang terkait dengan Sita
Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, telah dikelola oleh BPPN
melalui penangan kredit Bank dalam Penyehatan atau Aset dalam Restrukturisasi
melalui tindakan-tindakan antara lain melalui penagihan piutang dengan
mekanisme sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 17 tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 95/1999 jo Peraturan Pemerintah No.
18/2000 jo SK Ketua BPPN No. 419 dan 420 mengenai Tata Cara dan Petunjuk
Teknis Penagihan Piutang Kredit Badang Penyehatan Perbankan Nasional, atau
dengan mengajukan eksekusi Hak Tanggungan melalui lembaga Peradilan. Dalam
kerangka pengurusan piutang negara Panitia Urusan Piutang Negara dengan kuasa
Undang-Undang diberi kewenangan untuk mengadakan Perjanjian Bersama
dengan debitur/ penanggung hutang. Perjanjian Bersama ini mempunyai nilai
seperti putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang
eksekutable. Kemudian menetapkan dan melaksanakan Surat Paksa yang
berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
berkekuatan sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Kekuatan Surat Paksa inilah yang mendasari tindakan hukum lainnya yaitu
Surat Perintah Penyitaan, Pelaksanaan Sita Eksekusi, Surat Perintah Penjualan
Barang Sitaan dan Eksekusi lelang terhadap jaminan hutang.
Dengan kewenangan di atas, pengurusan piutang negara dilaksanakan
sesuai dengan azas Parate Executie,13 fungsi dan kewenangan PUPN di dalam
mengurus, menata dan mengawasi piutang negara memiliki kewenangan yang
berdiri sendiri melaksanakan executorial verkoop , seperti halnya kewenangan
dan mempunyai hak Parate Executie seperti halnya executorial verkoop yang
dimiliki Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 197 HIR. Dalam arti PUPN
melaksanakan kewenangan sendiri tanpa campur tangan Pengadilan Negeri.14
Segala tindakan dan perintah executorial verkoop yang dilakukan dan ditetapkan
13
Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan BUPLN (Jakarta:
Gema Justia, 1994), hal. 486.
14
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata (Jakarta:
PT. Gramedia, 1989), hal. 340.
16
PUPN adalah sah, mengikat semua pihak termasuk Pengadilan Negeri.
Selanjutnya, untuk mendukung pengembalian keuangan negara yang berasal dari
penanganan kekayaan/ piutang negara eks BPPN yang terkait sita eksekusi Hak
Tanggungan dan sita eksekusi lainnya, Di samping sebagai badan peradilan semu
dengan tata cara dan langkah-langkah khusus (parate executive), PUPN
mempunyai kekhasan lain, seperti kewenangan untuk mengintervensi Badanbadan Negara/ BUMN/ BUMD yang di dalamnya terdapat unsur kekayaan negara
yang diasumsikan potensial menjadi kredit macet sehingga perlu segera ditangani,
pengawasan atas kredit yang disalurkan oleh negara melalui Badan-Badan
Negara/ BUMN/ BUMD, sebagai likuidator atas Badan-badan Negara/ BUMN/
BUMD, dan kewenangan melaksanakan pemblokiran, penyitaan harta kekayaan
debitor, pencegahan Bepergian ke Luar Negeri, Paksa Badan (gijzeling), dan
pengusutan, serta merupakan pihak yang terafiliasi dalam menembus kerahasiaan
bank
Dalam praktek penanganan kekayaan negara eks BPPN yang terkait Sita
Eksekusi Hak Tanggungan dan Sita Eksekusi lainnya, ditemui permasalahan
terkait tindakan hukum yang telah dilakukan sebelum piutang negara tersebut
diserahkan kepada PUPN, yakni dengan telah didaftarkannya sita eksekusi di
Kantor Pertanahan setempat baik sita BPPN berdasarkan PP No. 17/1999 maupun
sita eksekusi Pengadilan yang didasarkan pada permohonan eksekusi Hak
Tanggungan yang diajukan oleh BPPN. Penyitaan dan Pendaftaran Sita eksekusi
PUPN terkendala mengingat sita eksekusi BPPN terhadap benda tidak bergerak
telah memenuhi tata cara dan syarat formal Hukum Acara Perdata maupun
peraturan lainnya yang berlaku. Sita eksekusi BPPN telah dilaksanakan dengan
mengindahkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor: 6 tahun 1999 tentang Tata Cara Pendaftaran, perubahan Data
Pendaftaran Tanah Yang Menyangkut Aset Dalam Restrukturisasi dan atau
Kewajiban Dalam Restrukturisasi Yang Berupa Hak Atas Tanah Yang Sudah
Bersertipikat dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Demikian pula dengan sita eksekusi Pengadilan terkait sita eksekusi Hak
Tanggungan telah dijalankan sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan
dalam Pasal 196 dan 197, 198, 199 ayat (1) HIR atau Pasal 207, 212 dan 214 ayat
(1) RBG. Dengan demikian sita eksekusi yang telah dilaksanakan adalah “sah dan
mempunyai kekuatan mengikat”. Tidak dapat dilaksanakannya penyitaan terhadap
jaminan hutang debitur dalam hal ini jaminan berupa barang tidak bergerak oleh
juru sita PUPN/ KPKNL Jakarta V, juga karena berlakunya azas Sita bahwa
“dilarang menyita barang yang sama terhadap debitur yang sama dalam waktu
yang bersamaan”. Atau dengan kata lain tidak boleh dilakukan sita ganda terhadap
jaminan debitur yang sama dalam waktu yang bersamaan. Selain itu telah diatur
secara limitatif syarat Pengangkatan Sita BPPN sebagaimana dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 6 tahun
1999 yang di dalamnya tidak mengatur pengangkat sita dalam hal terjadi
pembubaran BPPN sedangkan atas jaminan hutang masih melekat sita eksekusi.
Di sisi lain ketentuan pengurusan piutang negara oleh PUPN belum mengatur
mengenai mekanisme pengurusan piutang negara yang berasal dari kekayaan
BPPN
17
Mengenai hal ini perlu diambil sikap dalam rangka mengefektifkan
pengurusan kekayaan/piutang negara eks BPPN yang terkait Sita eksekusi Hak
Tanggungan maupun sita eksekusi juru sita BPPN,sehingga pengurusannya dapat
ditindaklanjuti ke arah pelelangan barang jaminan. Dengan mengkaji bahwa
dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dilakukan penyitaan terhadap jaminan
yang sama, maka hendaknya dilakukan pengangkatan sita terlebih dahulu
kemudian terhadap jaminan dimaksud juru sita PUPN meletakan sita kembali
kemudian mendaftarkan Sita sesuai ketentuan yang berlaku sehingga penyitaan
PUPN menjadi sah dan berharga serta mempunyai kekuatan yang mengikat. Yang
menjadi pertanyaan siapa yang memerintahkan pengangkatan sita terhadap Kantor
Pertanahan setempat terutama terkait objek sita yang dilaksanakan oleh Juru Sita
BPPN yang lembaganya telah dibubarkan. Mengenai hal ini, mengingat Penyerah
Piutang adalah Menteri Keuangan cq Kantor Pusat Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara, maka instansi yang tepat meminta pengangkatan sita ke Kantor
Pendaftaran Tanah adalah Kantor Pusat DJKN cq Direktorat Kekayaan Negara
Lain-Lain. Adapun terhadap objek yang telah disita Pengadilan berdasarkan
permohonan sita sebagai pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan, hendaknya
Pengadilan Negeri dapat mengangkat sita dimaksud untuk kemudian juru Sita
PUPN meletakan sita kembali terhadap jaminan dimaksud. Izin dimaksud
diajukan oleh Direktur Jenderal kekayaan Negara /PUPN Pusat kepada pimpinan
Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala KPKNL dan didukung Kepala
Kantor wilayah.
Langkah Yuridis Panitia Urusan Piutang Negara/Pupn Dalam
Mengefektifkan Penanganan Kekayaan/Piutang Negara Eks Bppn Yang
Terkait Sita Eksekusi Hak Tanggungan Dan Sita Eksekusi Lainnya
Landasan hukum PUPN dalam mengurus piutang negara adalah Undangundang Nomor 49 Prp. tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
(selanjutnya disebut UU PUPN) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976
tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 89 tahun 2006
tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang mana untuk melaksanakan ketentuan
pasal 6 (2) dan pasal 7 Peraturan Presiden No. 89 tahun 2006 dimaksud, telah
ditetapkan dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
122/PMK.06/2007 tentang Keanggotaan dan tata kerja Panitian Urusan Piutang
Negara.
Yang dimaksud dengan PUPN (selanjutnya disebut Panitia), dalam pasal 1
ayat (1) PMK No. 89 adalah Panitia yang bersifat interdepartemental sebagimana
dimaksud dalam UU PUPN. Berdasarkan pasal 4 UU PUPN, dinyatakan bahwa
pada pokoknya Panitia Mempunyai tugas mengurus piutang negara yang telah
diserahkan oleh instansi pemerintah atau badan-badan yang baik langsung atau
tidak langsung dikuasai oleh negara kepadanya. Piutang negara yang diserahkan
tersebut adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi penanggung
18
hutang tidak melunasi hutangnya sebagaimana mestinya. Selanjutnya berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan
Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 128/ PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagai pedoman/
petunjuk dalam pelaksanaan pengurusan piutang Negara, dalam pasal 1
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penanggung Hutang adalah badan /atau
orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk
badan / atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung
Hutang.
Penyelesaian piutang negara oleh Panitia dilakukan secara singkat dan
efektif, dengan maksud agar piutang negara tersebut dapat dengan cepat tertagih
atau terselesaikan. Untuk itu berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 11 UU PUPN,
Panitia diberikan suatu kekuasaan khusus untuk menetapkan dan menerbitkan
keputusan-keputusan hukum yang sifatnya final dan dapat dilaksanakan tanpa
melalui lembaga peradilan (asas parate executie), seperti menerbitkan Surat
Pernyataan Bersama, Surat Paksa, Sita dan Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan (SPPBS) sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pelelangan barangbarang sitaan PUPN tersebut. Adapun kredit macet yang diserahkan kepada PUPN
adalah khusus kredit macet yang berasal dari badan-badan negara seperti bankbank pemerintah baik di pusat maupun daerah. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 8 jo. Pasal 12 UU PUPN yang menegaskan bahwa instansiinstansi pemerintah dan badan-badan negara yang langsung atau tidak langsung
dikuasai negara wajib menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya
telah pasti menurut hukum kepada PUPN.
Adanya penyerahan piutang macet dari bank kepada PUPN, maka secara
hukum wewenang penagihan terhadap kredit macet dialihkan kepada PUPN, yang
mana dalam perkembangannya sebagaimana telah disebutkan dalam Bab I diatas,
bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah, pada prinsipnya menyatakan bahwa kredit macet Bank
Pemerintah (BUMN/BUMD) bukan lagi merupakan piutang Negara, sehingga
PUPN tidak lagi dapat menerima penyerahan piutang macet dari Bank Pemerintah
(BUMN/BUMD), namun hingga saat ini PUPN masih menangani dan
menyelesaikan pengurusan piutang macet outstanding dari penyerahan piutang
macet yang berasal dari Bank Pemerintah (BUMN/BUMD) dimaksud.
Pelaksanaan keputusan dari PUPN diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang selanjutnya telah melakukan
pengembangan organisasi (re-organisasi) menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN). Pembentukan DJKN berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres)
No. 66 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No. 10 tahun
2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementrian Negara RI yang
ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya yakni Keputusan Menteri
Keuangan No. 466/KMK.01/2006 tangal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Keuangan. Adapun kantor operasional DJKN yang ada di
daerah adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
19
Disamping proses pengurusan piutang negara sebagaimana yang diuraikan
dalam Bab III di atas, PUPN/DJKN dapat menempuh upaya hukum lain seperti
melakukan penyanderaan/paksa badan (gijzeling/lijfdwang), pemblokiran terhadap
barang jaminan dan harta kekayaan lain debitur dan atau penjamin hutang serta
pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap PH/PjH.
Waktu pelaksanaan upaya hukum lain tersebut, walaupun tidak secara tegas
diatur, umumnya dilaksanakan setelah terbitnya Surat Paksa.
Pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain
Dalam rangka pengamanan barang jaminan KPKNL disamping berwenang
untuk melakukan pemblokiran terhadap barang jaminan juga terhadap harta
kekayaan lain debitur dan atau penjamin hutang. Pemblokiran dimaksud wajib
dilakukan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
penanggung hutang yang tidak dibebani Hak Tanggungan/Fidusia.Pemblokiran
terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilaksnanakan dengan
menerbitkan surat pemblokiran .
Pemblokiran terhadap harta kekayaan lain yang tersimpan di Bank
dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari
Bank mengenai simpanan nasabah dari Pimpinan Bank Indonesia. Izin dimaksud
diajukan oleh Direktur Jenderal kekayaan Negara /PUPN Pusat kepada pimpinan
Bank Indonesia berdasarkan usul dari Kepala KPKNL dan didukung Kepala
Kantor wilayah. Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di
bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Izin dimaksud diajukan oleh
Direktur Jenderal kekayaan Negara /PUPN Pusat kepada pimpinan Bank
Indonesia berdasarkan usul dari Kepala KPKNL dan didukung Kepala Kantor
wilayah.
Paksa Badan
Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor, 49 Prp tahun 1960 , yaitu pengekangan kebebasan
untuk sementara waktu terhadap diri pribadi penanggung hutang atau pihak lain
yang menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku harus bertanggung
jawab. Tempat Paksa Badan tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas
terbatas, dan mempunyai system pengamanan serta pengawasan memadai yang
digunakan untuk pelaksanaan paksa badan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 128/PMK.06/2007 tentang
Pengurusan Piutang Negara, Paksa Badan diatur dalam pasal 186 sampai dengan
228. Adapun jaminan kebendaan yang sering digunakan oleh bank dalam
penyaluran kredit adalah berupa barang tidak bergerak (tanah atau bangunan)
yang diikat dengan hak tanggungan serta barang bergerak yang diikat dengan
fidusia. Pencantuman hak eksekusi pemegang hak jaminan di dalam Undangundang Hak Tanggungan dan Undang-undang fidusia dimaksudkan sebagai salah
satu cara untuk memudahkan serta memberikan kepastian hukum kreditur untuk
menuntut pelunasan hutang apabila debitur wanprestasi melalui eksekusi.
20
Eksekusi tersebut dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu berdasarkan
titel eksekutorial, berdasarkan kuasa untuk menjual sendiri, dan berdasarkan
penjualan di bawah tangan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pertama;
eksekusi berdasarkan titel eksekuorial diadakan untuk memberikan perlindungan
bagi debitur terhadap perbuatan kreditur yang melampaui batas dari kreditur.
Jaminan ini dapat dieksekusi berdasarkan sertifikat hak tanggungan maupun
sertifikat fidusia yang berirah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Eksekusi ini dilaksanakan berdasarkan perintah dan di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Sertifikat jaminan tersebut mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Dengan demikian kedudukan sertifikat
yang berirah-irah tersebut sama dengan putusan pengadilan. Kedua; berdasarkan
kuasa untuk menjual sendiri atau dikenal dengan istilah parate eksekusi. Jaminan
tersebut dapat dieksekusi langsung tanpa titel eksekutorial, grosse akta atau
keputusan pengadilan. Eksekusi ini dapat dilakukan langsung oleh pemegang hak
jaminan kebendaan, dengan syarat sebelumnya diperjanjikan dalam akta
perjanjian jaminan. Didasarkan Pasal 1121 KUHPerdata, eksekusi tersebut harus
dilakukan dengan cara penjualan di muka umum, berdasarkan kebiasaan setempat,
dan dilakukan di hadapan pejabat lelang. Adanya ketentuan ini dapat ditemukan
pula dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a jo Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan
maupun Pasal 29 ayat (1b) Undang-undang Fidusia. Dalam pasal-pasal tersebut
ditegaskan bahwa apabila debitur cidera janji, maka pemegang hak tanggungan
pertama/penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi
obyek jaminan atas kekuasaan sendiri. Adanya ketentuan tersebut merupakan
perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai pemegang hak
jaminan kebendaan. Hak tersebut sebelumnya harus diperjanjikan dahulu,
sehingga pemegang hak jaminan kebendaan berhak untuk menjual obyek jaminan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan lagi persetujuan dari debitur dan
selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut lebih
dahulu dari kreditur-kreditur lain. Ketiga; jaminan dieksekusi dengan cara
penjualan di bawah tangan dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (2) Undangundang Hak Tanggungan maupun Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang
Fidusia. Penjualan di bawah tangan ini dapat dilakukan dengan pertimbangan
dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak dan telah
memperoleh persetujuan dari kedua belah pihak.
Selanjutnya, untuk mempermudah pelaksanaan kewenangan bank selaku
pemegang hak jaminan kebendaan apabila debitur wanprestasi, maka bank selalu
mengingat jaminan kebendaan tersebut dalam suatu akta perjanjian pemberian
jaminan yang dibuat di hadapan notaris, pengikatan mana bersifat mutlak atas
benda tertentu yang diikat dan memberikan kedudukan yang istimewa. Perjanjian
jaminan ini merupakan perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian pokok,
sehingga disebut sebagai perjanjian asesor yaitu perjanjian yang melekat pada
perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. Sebagai jaminan yang bersifat asesor,
memperoleh akibat-akibat hukum antar lain: timbulnya tergantung pada perjanjian
pokok, hapusnya bergantung pada perjanjian pokok, jika perjanjian pokok batal
maka ikut batal, ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok, jika perutangan
21
pokok beralih karena cessi, subrogasi, maka ikut beralih juga tanpa adanya
penyerahan kasus. Perjanjian jaminan ini memberikan kedudukan yang kuat dan
aman kepada kreditur. Perjanjian jaminan ini merupakan perjanjian khusus yang
dibuat oleh kreditur dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak
ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian
kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok. Perjanjian jaminan kebendaan adalah
pemberian jaminan kebendaan berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan
seseorang dan disediakan untuk pemenuhan kewajiban hutang debitur. Adanya
pengkhususan ini ditujukan untuk keuntungan bank pemegang hak jaminan
kebendaan. Dengan demikian pemberian jaminan ini memberikan kedudukan
kepada bank suatu kedudukan untuk didahulukan pelunasan hutangnya daripada
kreditur lainnya.
Dengan demikian, hasil penyelesaian piutang negara ini pada akhirnya
diserahkan kembali kepada Bank Pemerintah, sedangkan biaya administrasi yang
dibayar oleh debitur besarnya 10% (sepuluh persen) dari jumlah hutang disetorkan
kepada kas negara. Meskipun jaminan yang telah dibebani hak jaminan telah
dicairkan, baik melalui lelang maupun penjualan di luar lelang telah habis, akan
tetapi PUPN tetap dapat melakukan penagihan kepada debitur sampai hutang
debitur tersebut lunas. Kedudukan PUPN terhadap harta kekayaan debitur yang
tidak dibebani dalam hal adalah sebagai kreditur konkuren. Eksekusi atau
penyelesaian piutang negara yang dilaksanakan oleh PUPN tidak dapat segera
diselesaikan, apabila ternyata debitur dinyatakan pailit oleh putusan Hakim
Pengadilan Niaga yang diajukan oleh kreditur yang tidak memegang hak jaminan
kebendaan (kreditur konkuren). Setelah adanya pernyataan pailit terhadap debitur,
untuk selanjutnya PUPN tidak lagi berhubungan secara langsung kepada debitur
tetapi dengan kurator.
Tinjauan Tentang Efektifitas Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006
Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara
Sebuah peraturan pemerintah (PP) memiliki kekuatan hukum yang kuat
untuk menjadi sumber hukum yang resmi. Bahkan, menurut doktrin, walaupun
tidak ada perintah khusus sekalipun dari suatu UU, PP tetap dapat dibuat untuk
memperjelas atau memastikan bahwa UU tersebut dapat dilaksanakan.15Begitupun
hakikatnya dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata
Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun
2006 sebagai penjabaran operasional dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Ironisnya, penerbitan Peraturan Pemerintah
Nomor 33 tahun 2006 yang dilatarbelakangi oleh keinginan banyak pihak agar
masalah kredit-kredit macet (non performing loan/NPL) pada bank-bank BUMN
dapat diselesaikan, ternyata menyisakan masalah baru. Sebagai konsekuensi dari
Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 yang diterbitkan pada 6 Oktober
2006, bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki kesetaraan
15
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 128
22
perlakuan (level of playing field) dengan bank-bank swasta nasional/asing. Pada
tataran konkret, bank-bank BUMN, misalnya, dapat mengelola modalnya (utang
dan piutang) sendiri tentunya dengan mengacu pada prosedur internal (UU
Perseroan Terbatas) dan peraturan Bank Indonesia, serta berbasiskan prinsipprinsip good corporate governance (GCG) serta pengelolaan perusahaan (negara)
yang sehat (UU BUMN). Kontekstual dengan itu, bank-bank BUMN memiliki
wewenang yang diperoleh dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan solutif terhadap kredit bermasalah alias kredit
macet yang menjadi piutangnya bagian yang tidak terpisahkan dari modal
perusahaan melalui beberapa skema penyelesaian NPLs, seperti monetisasi,
penjualan piutang di bawah nilai pokok, restrukturisasi, pemberian diskon,
pemotongan pokok utang (haircut), penghapusan pokok utang, hingga
pengalihan/penjualan piutang.
Kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 sebagai wujud
revisi dari PP 14/2005 sejatinya sudah sejak lama didambakan dan diidamidamkan kalangan perbankan BUMN. Tapi, masalahnya, meskipun Peraturan
Pmerintah Nomor 33 tahun 2006 telah diterbitkan, wewenang penuh yang
diberikan kepada bank-bank BUMN yang sejatinya bisa memperbaiki indikator
keuangan tersebut tidak juga diimplementasikan. Rupanya, ada hambatan
psikologis bagi manajemen bank-bank BUMN untuk menempuh sejumlah
kebijakan penyelesaian NPLs-nya, yakni ketakutan bakal terjerat hukum
(misalnya dianggap melakukan tindak pidana korupsi) di belakang hari serta
kehadiran PP 33/2006 belum menegaskan adanya kepastian hukum bagi
pengelolaan dan pengurusan piutang macetnya pada bank-bank BUMN.
Setidaknya ada tiga hal yang sampai saat ini masih menjadi kendala dalam
menjalankan PP 33/2006, diantaranya :
1.
Pengertian Keuangan Negara dan Kekayaan Negara Dipisahkan
Dengan adanya pembedaan peranan negara, yang direpresentasikan oleh
pemerintah, sebagai badan hukum privat dalam perseroan terbatas, kerugian
perseroan terbatas yang disebabkan adanya penyimpangan dana perseroan seperti
halnya korupsi tidak dapat disebut sebagai merugikan negara, dalam arti
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jo. Undang-Undang No.31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Oleh sebab itu, jika penuntut umum menerapkan pasal-pasal
dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1971 jo. UU No. 31 tahun 1999, untuk
mendakwakan seseorang yang melakukan penyelewengan dana perseroan terbatas
(Persero) yang sahamnya seluruh atau sebagian dimiliki negara, dakwaan tersebut
dapat dinyatakan tidak memenuhi unsur-unsur pidana korupsi, karena ketentuan
yang berlaku bagi perseroan terbatas (Persero) adalah murni hukum privat
termasuk UU Nomor 1 Tahun 1995.
Ada pertimbangan penting yang harus diperhatikan pada aspek hukum
kerugian negara dalam perseroan terbatas (Persero) ini, yaitu menyangkut
kedudukan dan status hukum dari keuangan negara dalam perseroan terbatas
tersebut. Apabila dikaitkan dengan definisi keuangan negara satu hal pertama
yang perlu dipahami dan dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan
23
keuangan negara tersebut. Keterkaitan definisi keuangan negara secara ekspilisit
dapat mengetahui aspek hukum kerugian negara yang disebabkan oleh definisi
tersebut. Definisi keuangan negara menurut Arifin P. Soeria Atmadja16 terdapat
tiga interpertasi atau penafsiran terhadap pasal 23 UUD 1945 yang merupakan
landasan konstitusional keuangan negara, yaitu penafsiran pertama adalah:
"...pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat
disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi
keuangan negara yang bersumber pada APBN, sebagai suatu sub-sistem dari suatu
sistem keuangan negara dalam arti sempit."
Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua
aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR
setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan depenelitian dari keuangan
negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan
pengawasan terhadap keuangan negara. Sementara itu, penafsiran kedua adalah
berkaitan dengan metode sistematik dan historis yang menyatakan,
"...keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara yang
berasal dan APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta
kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara..."
Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas,
adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang
yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan
publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal, yaitu hak
dan kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara. Adapun yang
dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak mendatangkan
hasil, hak melakukan pungutan; hak meminjam, dan hak memaksa." Adapun
kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan
masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan
hubungan hukum atau hubungan hukum khusus. Penafsiran ketiga dilakukan
melalui "pendekatan sistematik dan teleologis atau sosiologis terhadap
keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat
sesuai dengan tujuannya." Maksudnya adalah,
"Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dilnaksudkan
untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka
pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit,... Selanjutnya pengertian
keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara
penafsiran sistematis dan teleologis untuk mengatahui sistern pengawasan atau
pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah
dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya
16
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik
dan Kritik, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 110
24
keuangan yang berada dalam APBN, APBD, BUMN/D dan pada hakikatnya
seluruh kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan."
Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam
menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun,
penafsiran demikian akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini
yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya dari
pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandeling) maupun yang
berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling)." Dengan penafsiran ketiga ini juga
terlihat betapa ketat dan kedap air (waterdichf) perumusan keuangan
negara
dalam aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.
Berdasarkan aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya, perbedaan
yang mendasar akan muncul saat investasi dengan segala risiko yang ditawarkan
oleh pemerintah dalam tiga jenis badan usaha (BUMN) yang ada. Bagi investasi
yang ditanamkan pemerintah pada perusahaan jawatan (PERJAN) pengelolaan
dan pertanggungjawaban berpedoman pada Indische Bedrijvenswet (IBW).
Sementara itu, pada perusahaan umum (PERUM) berpedoman pada Undangundang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 dan perseroan terbatas (PERSERO) pada
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dan akta pendirian. Dengan pembedaan
ini dapat terlihat kedudukan keuangan negara dalam aspek investasi yang
ditanamkan pemerintah dan fungsi pelayanan publiknya terhadap ketiga jenis
badan usaha tersebut berbeda.
Adapun pada perjan dan perum, kedudukan keuangan negara di dalamnya
adalah kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Hal demikian berbeda halnya
dengan perseroan terbatas yang modalnya merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan. Pemisahan kekayaan negara ini mengandung makna pemerintah
menyisihkan kekayaan negara untuk dijadikan modal penyertaan guna dijadikan
modal pendirian perseroan atau untuk menambah dan memperkuat struktur
permodalan perseroan terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya.
Pengertian kekayaan negara dipisahkan terdapat dalam Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 yang ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan ”dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal
negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan
pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat17.
Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut, seharusnya piutang yang
terdapat pada BUMN sebagai akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh BUMN
selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai Piutang Negara. Sejalan
dengan itu, pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang BUMN tersebut tidak
dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara melainkan diserahkan
kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang
sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
17
Lembar Negara RI Nomor No. 4297 (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003)
25
Berdasarkan
pemikiran
tersebut,
maka
BUMN
memiliki
kewenangan/keleluasaan dalam mengoptimalkan pengelolaan pengurusan/
penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang bersangkutan, dan sebagai
konsekuensi logis dengan adanya penyertaan modal pemerintah pada perseroan
terbatas maka pemerintah ikut menanggung risiko dan bertanggung jawab
terhadap kerugian usaha yang dibiayainya. Dalam menanggung risiko dan
bertanggung jawab atas kerugian usaha ini, kedudukan pemerintah tidak dapat
berposisi sebagai badan hukum publik. Hal demikian disebabkan tugas
pemerintah sebagai badan hukum publik adalah bestuurszorg, yaitu tugas yang
meliputi segala lapangan kemasyarakatan dan suatu konsep negara hukum modern
yang memperhatikan kepentingan seluruh rakyat. Konsekuensinya jika badan
hukum publik harus menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian
usaha tersebut, fungsi tersebut tidak dapat akan optimal dan maksimal dijalankan
oleh pemerintah.
Dengan dasar pemahaman tersebut, kedudukan pemerintah dalam
perseroan terbatas tidak dapat dikatakan sebagai mewakili negara sebagai badan
hukum publik. Pemahaman tersebut harus ditegaskan sebagai bentuk affirmatif
pemakaian hukum privat dalam perseroan terbatas, yang sahamnya antara lain
dimiliki oleh pemerintah. Dengan mengernukakan dasar logika hukum atas aspek
kerugian negara dalam perseroan terbatas, yang seluruh atau salah satu sahamnya
dimiliki negara berarti konsep kerugian negara dalam pengertian merugikan
keuangan negara tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan ketika pemerintah sebagai
badan hukum privat mernutuskan penyertaan modalnya berbentuk saham dalam
perseroan terbatas maka pada saat itu juga imunitas publik dan negara hilang dan
terputus hubungan hukumnya dengan keuangan yang telah berubah dalam bentuk
saham, demikian pula ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara dalam bentuk saham tersebut otomatis berlaku dan berpedoman
pada UU No. 40 tahun 2007. Kondisi demikian mengakibatkan putusnya
keuangan yang ditanarnkan dalam perseroan terbatas sebagai keuangan negara,
sehingga berubah status hukumnya menjadi keuangan perseroan terbatas18.
2.
Pengertian Kredit Macet Sebagai Salah Satu Risiko Bisnis
Bahwa sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu enam bulan setelah
tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan
kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan
yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan
laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen
tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka kerugian yang diderita dalam satu
transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksitransaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu
secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada laba
yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan
perusahaan.
18
H. Marwah M. Diah, Restruturisasi BUMN di Indonesia Privatisasi atau
Korporatisasi?, (Jakarta: Literata Lintas Media, 2003), hal.88
26
Dengan demikian, tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi
kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Sebenarnya ada doktrin
“business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan
keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati.
Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari
pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks
pengelolaan perusahaan. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih
berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak
jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat
kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada
umumnya tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari
permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.19
Sehubungan hal tersebut sebenarnya PP Nomor 33 tahun 2006 telah
mengatur hal tersebut, didalam pasal II menyatakan bahwa: Pengurusan Piutang
Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan
Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
Dan dalam penjelasannya menyatakan;
.... Sejalan dengan itu,pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang
BUMN tersebut tidak dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara
melainkan diserahkan kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tetap ada
Undang-Undang yang harus ditaati oleh para pengelola BUMN untuk melakukan
pengelolaan piutang macetnya, diantaranya:
1.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
2.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN
3.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Hal spesifik yang terdapat dalam pengurusan piutang negara oleh PUPN
adalah adanya kewenangan PUPN untuk menerbitkan produk hukum yang
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan Hakim dalam perkara perdata
yang berkekuatan pasti (vide Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara). Maksud pemberian
kewenangan parate eksekusi tersebut adalah percepatan dan peningkatan
efektifitas pengurusan piutang negara. Sampai pada saat penerbitan Surat Paksa
yang bersifat parate eksekusi, pengurusan piutang negara oleh PUPN dapat
dilakukan sesuai dengan maksud pemberian kewenangan tersebut di atas. Namun
19
Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998), hal. 57
27
karena beberapa faktor, tahap pengurusan piutang negara selanjutnya menjadi
berkurang tingkat efektifitasnya. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Ketidakadaan barang jaminan hutang debitor. Penagihan piutang negara
dengan Surat Paksa kepada debitor yang tidak menyelesaikan hutangnya
hanya akan efektif apabila ada barang jaminan yang dapat disita dan dijual
secara lelang;
2. Banyaknya permasalahan hukum yang terkait dengan barang jaminan
sehingga Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan dan penjualan
barang jaminan;
3. Rendahnya nilai barang jaminan dibandingkan dengan outstanding hutang;
dan
4. Rendahnya minat dan/atau kemampuan masyarakat untuk membeli barang
jaminan hutang debitor melalui lelang.
Kewenangan parate eksekusi yang dimiliki menyebabkan ”nature”
kegiatan PUPN bersifat eksekutor. Kondisi seperti ini tentu tidak bersahabat,
khususnya bagi para pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang sedang
mengalami kesulitan membayar hutang ke bank dan oleh bank kasusnya
diserahkan kepada PUPN. Para UKM tersebut, bila tetap tidak mampu
menyelesaikan hutangnya, pada suatu titik tertentu akan kehilangan asetnya
karena eksekusi PUPN. Pada gilirannya, kondisi ini akan semakin memperburuk
kehidupan UKM. Walaupun di dalam sistem pengurusan piutang negara oleh
PUPN dikenal adanya pemberian keringanan hutang, namun keringanan yang
dapat diberikan kepada Debitor hanyalah keringanan jangka waktu pembayaran
dan/atau keringanan hutang bunga dan denda. Keringanan-keringanan tersebut
seringkali tetap tidak dapat menjadi insentif bagi para UKM untuk menyelesaikan
hutangnya. Umumnya, para UKM masih memerlukan fasilitas restrukturisasi
sebagaimana yang dapat diberikan oleh kreditor mereka, seperti penambahan
kredit, atau sampai pada pemberian keringanan hutang pokok (hair cut).
Kesimpulan
1. Penyelesaian pengurusan piutang negara dilaksanakan PUPN dengan
menempuh tahap pengurusan sebagai berikut:
a. Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan piutang/kredit macetnya secara
tertulis kepada PUPN melalui KP2LN, disertai berbagai dokumen pendukung
yang dapat membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara;
b. KP2LN melakukan penelitian dokumen penyerahan yang hasilnya dituangkan
dalam Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK);
c. Dari RHPK tersebut dapat diketahui apakah kasus tersebut dapat diterima
untuk diurus (laik urus) atau tidak;
d. Setelah SP3N diterbitkan, maka KP2LN melakukan pemanggilan kepada
Penanggung Hutang (PH) dan/atau Penjamin Hutang (PjH), paling banyak 2
(dua) kali masing-masing berselang 7 (tujuh) hari. Bila PH/PjH tidak
diketahui keberadaannya, pemanggilan dapat dilakukan melalui Pengumuman
Panggilan pada media masa;
28
e. Apabila PH/PjH memenuhi panggilan, maka dilakukan wawancara yang
menyangkut pengakuan jumlah hutang, dan kesepakatan tentang cara dan
jangka waktu penyelesaian, serta sanksi bila PH/PjH wanprestasi/cidera janji;
f. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) akan diterbitkan oleh PUPN;
g. Berdasarkan PJPN di atas, PUPN melaksanakan penagihan piutang negara
kepada PH/PjH secara sekaligus dengan Surat Paksa (SP);
h. Bila berdasarkan wawancara diketahui hasil sebagaimana dimaksud pada butir
5A atau 5B, maka Pernyataan Bersama (PB) dibuat dan ditandatangani
bersama oleh PH/PjH dan Ketua PUPN;
i. Apabila PH/PjH mentaati isi PB, yang bersangkutan melaksanakan
pembayaran;
j. Pembayaran yang dilakukan oleh PH/PjH sesuai ketentuan yang disepakati
pada PB, akan bermuara pada pelunasan hutangnya;
k. Apabila PH/PjH tidak memenuhi ketentuan SP, maka PUPN menerbitkan
Surat Perintah Penyitaan (SPP) terhadap barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain;
l. Apabila debitor tetap tidak menyelesaikan hutangnya kepada negara walaupun
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah disita;
m. Pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
PH/PjH;
n. Terdapat 2 (dua) kemungkinan hasil yang diperoleh bila barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain tersebut laku terjual lelang, dan tidak ada lagi
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang tersisa;
o. Bila piutang negara belum lunas meski sudah tidak ada lagi barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH; dan
p. Bila piutang negara belum lunas dan telah memenuhi persyaratan, maka
PUPN akan menghentikan sementara pengurusan piutang negara tersebut
dengan menerbitkan pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih
(PSBDT).
2.
Penyelesaian piutang negara oleh Panitia dilakukan secara singkat dan
efektif, dengan maksud agar piutang negara tersebut dapat dengan cepat tertagih
atau terselesaikan. Untuk itu berdasarkan Pasal 10 dan Pasal 11 UU PUPN,
Panitia diberikan suatu kekuasaan khusus untuk menetapkan dan menerbitkan
keputusan-keputusan hukum yang sifatnya final dan dapat dilaksanakan tanpa
melalui lembaga peradilan (asas parate executie), seperti menerbitkan Surat
Pernyataan Bersama, Surat Paksa, Sita dan Surat Perintah Penjualan Barang
Sitaan (SPPBS) sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pelelangan barangbarang sitaan PUPN.
Saran-saran
1. Berkenaan dengan penyelesaian piutang yang menyangkut aspek kerugian
Negara. Meskipun wewenang RUPS dianggap merupakan lex specialis sesuai
dengan PP 33 Tahun 2006. Akan tetapi, wewenang dalam menjalankan
penyelesaian piutang negara tidak dapat mengingkari aspek kerugian Negara
dikarenakan adanya penyertaan modal dari Negara. Sehingga dalam hal ini
29
diperlukan nota kesepahaman antara penegak hukum dan badan-badan Negara
dengan RUPS sebagai organ tertinggi korporasi.
2. Untuk menghindari terjadinya sesuatu terhadap piutang negara, maka seluruh
jajaran aparat hukum yaitu Instansi Imigrasi, Instansi Pajak, Polri dan Jaksa
sebaiknya selalu berkoordinasi demi kelancaran penyelesaian masalah piutang
negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Adolf Warauw, Penyelesaian Piutang Perbankan oleh PUPN dan
BUPLN, Jakarta: Gema Justia, 1994
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum:
Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta,
2000
Djuhaendah Hasan, Tinjauan Hukum Atas Pengikatan Jaminan Dalam
Perjanjian Kredit Serta Eksekusi Jaminan, Makalah yang disampaikan dalam
Lokakarya Sehari Bank Indonesia Bandung, November, 2000
------------------, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda
Lain yng Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Atas Pemisahan
Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Frieda Husni, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberi
Jaminan Jilid II, Jakarta: Ind-Hill Co, 2005
H. Marwah M. Diah, Restruturisasi BUMN di Indonesia Privatisasi atau
Korporatisasi?, Jakarta: Literata Lintas Media, 2003
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007
Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982
Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan
Baru Tahun 1996 No. 4, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996
Setiawan, Eksekusi Hipotik, Media Notariat, No. 20-21 Tahun VI
30
Sjahdeini, Sutan, Remy, Hak Tanggungan, Asas-Asas, KetentuangKetentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Penerbit Alumni
Bandung, Bandung, 1999
Sri Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Depok: Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, Cet. Ke-1
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang
Perdata, Jakarta: PT. Gramedia, 1989
-------------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Jakarta, Sinar Grafika, 2006
-------------------, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan
Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004
Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan, Jakarta: Books Terrace &
Library, 2005
--------------------, Problematika Perbankan, Bandung: BooksTerrace &
Library, 2000
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006
Peraturan Pemerintah No. 17 thn 1999 tentang BPPN
Lembar Negara RI Nomor No. 4297 (Penjelasan atas Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70 Undang-Undang Nomor 19 tahun
2003
31
Download