BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep penerimaan pasien baru, caring dalam keperawatan menurut teori Watson, action research dan kerangka teori. Adapun penjelasannya masing-masing diuraikan sebagai berikut : 2.1. Konsep Penerimaan Pasien Baru 2.1.1. Definisi Pasien adalah pemakai jasa pemeliharaan kesehatan yang mempunyai citra pribadi mandiri dengan mempunyai pilihan bebas dalam mencari dan memilih bantuan. Pasien seyogianya aktif untuk menentukan pilihan pelayanan yang diharapkannya. Seorang pasien bukan lagi seorang penerima pelayanan secara pasif, tetapi seorang peserta yang aktif dan bertanggung jawab atas pilihannya serta memikul akibat dari pilihannya (Carpenito, 2000). Pasien sebagai pemakai jasa kesehatan, aktif bertanggungjawab atas pilihan pelayanan kesehatannya dimulai sejak pasien menerima pelayanan kesehatan. Pasien baru merupakan pasien yang baru datang dan didaftarkan untuk pertama kali pasien mendapat pelayanan kesehatan dan informasi yang diperlukan dari pelayan kesehatan. Setelah selesai di bagian penerimaan pasien baru, pasien bersama keluarganya pergi menuju ke bagian dimana dirinya ditempatkan. Penerimaan pasien baru adalah metode dalam menerima kedatangan pasien baru (pasien dan/atau keluarga) di ruang pelayanan keperawatan, khususnya pada rawat inap atau keperawatan intensif. Kegiatan pada saat penerimaan pasien baru, maka disampaikan beberapa hal mengenai orientasi 8 Universitas Sumatera Utara 9 ruang, pengenalan ketenagaan ners−medis, dan tata tertib ruang, serta penyakit (Nursalam, 2002). 2.1.2. Tujuan Penerimaan Pasien Baru Pasien baru tentu saja membutuhkan orientasi atas lingkungan dan tata cara pelayanan yang akan dia terima. Orientasi pada pasien baru bertujuan agar pasien dan keluarga memahami tentang peraturan rumah sakit dan memahami tentang semua fasilitas yang tersedia serta cara penggunaannya. Penerimaan pasien baru bertujuan untuk mengetahui keadaan pasien dan keluarga, pasien bisa langsung menempati ruang perawatan, untuk mengetahui kondisi dan keadaan pasien secara umum dan membantu menurunkan tingkat kecemasan pasien saat masuk rumah sakit (Nursalam, 2002). 2.1.3. Prosedur Persiapan Penerimaan Pasien Baru Standar prosedur operasional merupakan tatacara atau tahapan baku dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry & Potter, 2005). Prosedur yang perlu diperhatikan untuk dipersiapkan sebelum tahap pelaksanaan pasien baru, yaitu: a) Tempat tidur dalam keadaan bersih dan siap pakai, b) Fasilitas yang bersedia dalam kondisi baik, c) Meja dan kursi pasien dalam keadaan bersih, d) Paket perawatan / souvenir, e) Lembar orientasi pasien baru dan keluarga, f) Berkas rekam medis, g) Peralatan untuk pemeriksaan dalam yang terdiri dari termometer, tensimeter, timbangan berat badan bila perlu (Nursalam, 2002). Universitas Sumatera Utara 10 2.1.4. Tahapan Penerimaan Pasien Baru Penerimaan pasien baru dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tahap pra penerimaan pasien baru dan tahap pelaksanaan penerimaan pasien baru. a. Tahap Pra Penerimaan Pasien Baru Pada tahap penerimaan pasien baru, beberapa hal yang perlu dipersiapkan sesuai standar operasional prosedur, yaitu : 1) Menyiapkan kelengkapan administrasi, 2) Menyiapkan kelengkapan kamar sesuai pesanan, 3) Menyiapkan format penerimaan pasien baru, 4) Menyiapkan buku status pasien dan format pengkajian keperawatan, 5) Menyiapkan informed consent sentralisasi obat, 6) Menyiapkan nursing kits, 7) Menyiapkan lembar tata tertib pasien, keluarga dan pengunjung ruangan. b. Tahap Pelaksanaan Penerimaan Pasien Baru 1. Pasien datang diruangan diterima oleh kepala ruangan atau perawat primer atau perawat yang diberi delegasi. 2. Perawat memperkenalkan diri pada klien dan keluarganya. 3. Perawat bersama dengan karyawan lain memindahkan pasien ke tempat tidur (apabila pasien datang dengan berangkat atau kursi roda) dan berikan posisi yang nyaman. 4. Perkenalkan pasien baru dengan pasien yang sekamar. 5. Setelah pasien tenang dan situasi sudah memungkinkan perawat memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang orientasi ruangan. Perawatan (termasuk perawat yang bertanggung jawab dan sentralisasi obat), medis (dokter yang bertanggung jawab dan jadwal visit) dan tata tertib ruangan. Universitas Sumatera Utara 11 6. Perawat menanyakan kembali tentang kejelasan dan informasi yang telah disampaikan. 7. Perawat melakukan pengkajian terhadap pasien sesuai dengan format. 8. Perawat menunjukkan kamar atau tempat tidur klien dan mengantarkan ke tempat yang telah ditetapkan. 9. Apabila pasien atau keluarga sudah jelas, maka diminta untuk menendatangani informed consent sentralisasi obat. 2.1.5. Hal – Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Penerimaan Pasien Baru Hal–hal yang perlu diperhatikan saat pelaksanaan penerimaan pasien baru, yaitu : a) Pelaksanaan secara efektif dan efisien, b) dilakukan oleh kepala ruangan atau perawat primer dan atau perawat asosiete yang telah diberikan wewenang atau yang telah didelegasikan, c) saat pelaksanaan tetap menjaga privasi klien, d) ajak pasien komunikasi yang baik dan beri sentuhan terapeutik. 2.1.6. Peran Perawat Dalam Penerimaan Pasien Baru Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Permenkes RI, 2001). Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio, psiko, sosio, spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Gaffar, 1999). Profil seorang perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh perawat dalam melakukan aktifitas keperawatan sesuai kode etik Universitas Sumatera Utara 12 keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberian asuhan/ pelayanan, praktek keperawatan, pengelolaan institusi keperawatan, pendidikan pelayanan (individu, keluarga, dan masyarakat) serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan kesehatan yang dihadapinya adalah manusia, sehingga dalam hal ini empati mutlak harus dimiliki oleh seorang perawat. Seorang perawat akan mampu mengerti, memahami dan ikut merasakan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan dan apa yang diinginkan pasien. Seorang perawat harus peka dalam memahami alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang penyakitnya untuk dapat memberikan pelayanan yang prima. Perawat harus mengerti bahwa yang dikeluhkan oleh pasien merupakan kondisi yang sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien. (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan standar prosedur operasional, perawat yang berperan pada pelaksanaan penerimaan pasien baru adalah kepala ruangan, perawat primer dan perawat associate. Perawat tersebut memiliki peran dan tanggung jawab masing – masing. a. Kepala Ruangan Adapun tanggung jawab kepala ruangan menurut Gillies (1994) adalah peran kepala ruangan harus lebih peka terhadap anggaran rumah sakit dan kualitas pelayanan keperawatan, bertanggung jawab terhadap hasil dari pelayanan keperawatan yang berkualitas, dan menghindari terjadinya kebosanan perawat serta menghindari kemungkinan terjadinya saling melempar kesalahan. Peran Universitas Sumatera Utara 13 kepala ruangan dalam penerimaan pasien baru, yaitu : menerima pasien baru, dan memeriksa kelengkapan yang diperlukan untuk persiapan pasien baru. b. Perawat Primer Peran perawat primer dalam penerimaan pasien baru, yaitu : 1) Menyiapkan lembar penerimaan pasien baru, 2) Menandatangani lembar penerimaan pasien baru, 3) Mengorientasikan pasien ke ruangan, 4) Memberi penjelasan tentang perawat dan dokter yang bertanggung jawab, 5) Mendelegasikan pengkajian dan pemeriksaan fisik pada pasien baru kepada perawat associate, 6) mendokumentasikan penerimaan pasien baru. c. Perawat Associate Asuhan keperawatan dalam tindakan perawat yang profesional salah satu perannya adalah sebagai perawat pelaksana. Perawat sebagai pelaksana secara langsung maupun tidak langsung memberikan asuhan keperawatan kepada pasien individu, keluarga, dan masyarakat. Peran perawat sebagai perawat pelaksana disebut care giver yaitu perawat menggunakan metode pemecahan masalah dalam membantu pasien mengatasi masalah kesehatan. Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung (Praptianingsi, 2006). Perawat pelaksana dalam melaksanakan perannya bertindak sebagai: 1. Comforter Perawat mengupayakan kenyamanan dan rasa aman pasien (Praptianingsi, 2006). Menurut Potter dan Perry (2005), peran sebagai pemberi kenyamanan yaitu memberikan pelayanan keperawatan secara utuh bukan sekedar fisik saja, maka memberikan kenyamanan dan dukungan Universitas Sumatera Utara 14 emosi sering kali memberikan kekuatan kepada klien untuk mencapai kesembuhan. Memberikan kenyamanan kepada klien, perawat dapat mendemonstrasikan dengan klien. 2. Protector dan Advocat Perawat berupaya melindungi pasien, mengupayakan terlaksananya hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan kesehatan (Praptianingsi, 2006). Menurut Potter dan Perry (2005), sebagai pelindung perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostik atau pengobatan. Menjalankan tugas sebagai advokat, perawat melindungi hak dan kewajiban klien sebagai manusia secara hukum, serta membantu klien dalam menyatakan hak–haknya bila dibutuhkan. Perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum dengan penolakan aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak klien. 3. Communication Perawat sebagai mediator antara pasien dan anggota tim kesehatan, hal ini terkait dengan keberadaan perawat yang mendampingi pasien selama 24 jam untuk memberikan asuhan keperawatan dalam rangka upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit (Praptianingsi, 2006). Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien, keluarga, antara sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Memberikan perawatan yang efektif, pembuatan keputusan dengan klien dan keluarga, memberikan perlindungan pada klien dari ancaman terhadap kesehatannya, Universitas Sumatera Utara 15 mengokoordinasi dan mengatur asuhan keperawatan dan lain–lain tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas. 4. Rehabilitator Perawat memberikan asuhan keparawatan adalah mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh dan berfungsi normal. Rehabilitas merupakan proses dimana individu kembali ketingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Rentang aktivitas rehabilitas dan restoratif mulai dari mangajar klien berjalan dengan menggunakan alat pembantu berjalan sampai membantu klien mengatasi perubahan gaya hidup yang berkaitan dengan penyakit kronis (Potter & Perry, 2005). Peran perawat associate saat penerimaan pasien baru adalah membantu perawat primer dalam pelaksanaan penerimaan pasien baru, pengkajian dan pemeriksaan fisik pada pasien baru. 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Model caring Model caring Watson dipertimbangkan sebagai dasar filosofi, moral, dan etik pada keperawatan yang berhubungan dengan profesi dan keilmuannya. Model ini memberikan suatu kerangka kerja, dimana pusat fenomena, seni, ilmu, humanitas, dan spiritual masuk ke dalam praktik keperawatan. Model ini menekankan tujuan keperawatan dalam mempromosikan individu untuk keseimbangan pikiran-tubuh-jiwa melalui pengetahuan, pemulihan, dan perawatan diri (Kathleen, 2011). Ada beberapa hasil penelitian dimana menguji teori caring Watson. Baik dengan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Pipe, Kelly, Lebrun, Universitas Sumatera Utara 16 Artherton, dan Robinson (2008) menggunakan metode deskriptif untuk menggali hubungan harapan, kesejahteraan spiritual, dan kualitas hidup pada pasien yang sedang dirawat. Delaney dan Barrere (2008) meneliti tentang pengaruh intervensi spiritual terhadap psikososial pada pasien jantung. Persky, Nelson, Watson, dan Bent (2008) menguji karakteristik caritas perawat dan efektivitas praktik dalam modelnya. Teori Watson bekerja sebagai teori human caring dan ilmu beserta seni human caring yang sudah diaplikasikan pada berbagai tempat praktik keperawatan. Brockopp et al. (2011) menjelaskan suatu penelitian dimana mempraktikkan model praktik dengan menggunakan teori caring Watson. 10 faktor carative dijelaskan dalam memberikan suatu kerangka kerja pada aktivitas keperawatan di rumah sakit. Lukose (2011) mengembangkan suatu model praktik dengan teori caring Watson yang dapat digunakan perawat pendidik dalam mengajarkan kepada staf perawat dan mahasiswa. 2.2.2. Faktor Carative Watson Untuk memandu tujuan keperawatan, faktor carative dan proses caritas dikembangkan sebagai inti caring dalam penilaiannya. Sepuluh faktor carative Watson yang menunjuk sebagai intervensi teori (Watson, 2008). Faktor tersebut meliputi: 1) Pembentukan sistem nilai humanistik. Nilai ini merupakan faktor dasar caring yang meliputi bersahabat, empati, fokus, dan mencintai diri sendiri dan orang lain, 2) Kepercayaan-harapan. Kepercayaan dan harapan adalah faktor penting pada kesehatan. Perawat sebaiknya menjaga, mendorong, dan menghormati keyakinan, harapan dan percaya kepada pasien, 3) Pengembangan Universitas Sumatera Utara 17 sensitivitas pada diri sendiri dan orang lain. Sensitivitas kepada diri sendiri dan lainnya, mengembangkan dan mengenal perasaan. Perawat sebaiknya peduli pada kenyamanan, pemulihan, kesejahteraan, dan lebih sensitif pada kebutuhan lain, 4) Pengembangan rasa saling percaya dan hubungan caring. Untuk menjamin martabat manusia dan menjaga humanitas, perawat sebaiknya membentuk kesatuan dengan jiwa pasien, 5) Promosi dan penerimaan ekspresi pada perasaan positif dan negatif. Mempromosikan dan menerima ekspresi positif dan negatif sebagai pemulihan. Melalui mendengar dan menjadi pasien, pikirannya, perilaku, dan pengalaman adalah pengakuan. Faktor carative berikutnya 6) Menggunakan suatu pemecahan masalah yang kreatif. Untuk membantu pasien membuat keputusan efisien dan efektif serta kreatif, proses caring pemecahan masalah individu dipertimbangkan sebagai komponen penting dalam ilmu keperawatan. Perawat sebaiknya menggunakan semua pengetahuan, keterampilan, empirisme, insting, dan intuisinya, 7) Melakukan pengajaran transpersonal. Selanjutnya, faktor carative pembelajaran transpersonal yang melibatkan hubungan caring sebagai peran pelatihan, lebih dari peran pemberian informasi, perawat mencari pekerjaan dari informasi pasien dan memahami serta signifikan informasi yang sediakan untuk pasien, 8) Memberikan suatu lingkungan yang mendukung, melindungi, dan perbaikan mental, fisik, sosial, dan spiritual. Untuk mempromosikan kualitas pelayanan dan pemulihan, dukungan, perlindungan, dan mental korektif, fisik, sosial, dan lingkungan spiritual yang diakui sebagai dukungan konvensial dengan melibatkan kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan estetika, 9) Membantu memenuhi kebutuhan dasar dengan kepuasan. Selain itu, untuk Universitas Sumatera Utara 18 memberikan perawatan holistik membantu dengan kepuasan, tidak hanya kebutuhan fisik tetapi juga kebutuhan psikologis-spiritual ketika menjaga martabat manusia dikenal sebagai kebutuhan, dan 10) Mengizinkan kekuatan eksistensial-fenomenologi-spiritual. Faktor carative terakhir mengizinkan fenomena yang tidak dikenal, mitos, filosofi, kepercayaan budaya, aspek metafisik perawat, pasien, dan keluarganya menyesuaikan dalam makna spiritual dalam mengizinkan pengobatan dan pemulihan. 2.2.3. Aplikasi faktor carative (Caritas Processes) Dalam menerjemahkan faktor carative, Watson (2008) membuat Caritas Processes berdasarkan 10 faktor carative. Diantaranya adalah 1) Mempraktikkan cinta-kebaikan, ketenangan diri dan lainnya. Ini menghadirkan sentuhan, latihan, dan meditasi. Misalnya mengetahui bahwa pasien sebagai individu, menghormati keinginan pasien, mementingkan kepentingan pasien, sopan pada pasien dan keluarga, jujur kepada pasien, dan memahami apa yang dirasakan pasien, 2) Hadir, mempertahankan dan menghormati kepercayaan dan harapan pasien. Perawat tidak bisa mengabaikan pentingnya harapan dan kepercayaan berperan dalam kehidupan manusia terutama dihadapkan dengan krisis penyakit, sakit, kehilangan, stres, putus asa, kesedihan, trauma, kematian, dan sebagainya. Misalnya perawat mengklarifikasi keraguan, memberikan dukungan emosional, melakukan perawatan lanjutan, dan menghormati pasien yang lebih tua, 3) Sensitif pada diri dan orang lain. Jika perawat tidak peka terhadap dirinya akan sulit peka terhadap orang lain. Ketika perawat menutup hati pada orang lain akan membuatnya tidak peka terhadap pasien yang membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan sensitivitas. Misalnya perawat mengetahui apa yang penting, dapat Universitas Sumatera Utara 19 mengantisipasi kebutuhan pasien, menjelaskan prosedur, tidak membicarakan masalah pribadi bersama pasien, mendengarkan pasien, memberikan kenyamanan pasien, dan sabar menghadapi pasien, 4) Membantu dan mengembangkan hubungan saling percaya. Hubungan saling percaya menjadi salah satu faktor internal dalam pemulihan. Misalnya menjawab panggilan pasien dengan segera, menurunkan kecemasan pasien, tetap sabar menghadapi pasien, memanggil nama pasien dengan namanya, menghargai apa yang diceritakan pasien, berbicara dengan jelas, dan suara yang bersahabat, 5) Ada bersama pasien, mendukung ekspresi perasaan positif, dan negatif. Ini akan meningkatkan kepercayaan dan peduli. Misalnya menghargai apa yang diceritakan pasien, memahami apa yang dialami pasien, dan mengenal kebutuhan pasien. Aplikasi factor carative berikutnya 6) Perawat menggunakan proses pemecahan masalah yang kreatif. Keperawatan profesional melibatkan logika yang sistematis, imajinasi, dan kreativitas. Misalnya fleksibel saat perawatan pasien, membantu pasien beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit, mengetahui cara pemberian injeksi, dan melibatkan pasien dalam rencana perawatan, 7) Memberikan pengajaran dan pendidikan transpersonal. Pengajaran lebih dari menerima informasi, fakta, dan data. Ini melibatkan penuh makna, hubungan saling percaya, dan pengajaran yang mempengaruhi proses caring. Misalnya perawat menjelaskan istilah yang sederhana, menjelaskan perawatan di rumah, menjawab pertanyaan dengan jelas, dan menjelaskan pasien memahami penyakit dan pengobatan, 8) Perawat menciptakan lingkungan pemulihan di rumah sakit. Kenyamanan dapat mengukur lingkungan internal dan eksternal pasien. Misalnya melakukan tugas keperawatan dengan baik, memantau perawatan yang diberikan, Universitas Sumatera Utara 20 memungkinkan pasien untuk mandiri, membantu pasien merasa seperti di rumah, dan mengutamakan kepentingan pasien, 9) Perawat membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien. Misalnya sabar memberikan makan pada pasien, memberikan kenyamanan, gentle terhadap pasien, memberikan dukungan dengan aktivitas fisik, memantau keamanan pada pasien, memantau pasien secara berkelanjutan, dan menyesuaikan dengan keterbatasan pasien, 10) Perawat meningkatkan kebutuhan spiritual pada pasien. Proses ini memberikan kekuatan spiritual berdasarkan pengalaman yang tidak dapat dijelaskan. Misalnya mengizinkan pasien membawa peralatan ibadah, mengizinkan pasien untuk berdoa, membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan spiritual, dan menghargai pasien sebagai individu yang unik. 2.2.4. Perilaku caring perawat Ketertarikan profesional keperawatan dalam perilaku caring perawat telah dimulai sejak era Nightingale (Patiraki et al, 2014). Selama 25 tahun, sejumlah penelitian telah berfokus pada identifikasi perilaku caring yang spesifik dari perspektif pasien. Kategori perilaku caring terindentifikasi terbanyak adalah afektif dan instrumental (Wilkin & Slevin, 2004). Pemahaman pasien yang berhubungan dengan perilaku caring perawat merupakan suatu hal yang penting dalam memperbaiki asuhan keperawatan. Umur (p=0.00), jenis kelamin (p=0.00), tingkat pendidikan (p=0.00), dan jenis perawatan (p=0.00) merupakan karakteristik pasien yang berkaitan dengan persepsi perilaku caring (Baldursdottir & Jonsdottir, 2002). Caring adalah proses dimana perawat menjadi responsif terhadap orang lain sebagai individu yang unik, merasakan perasaannya, dan menetapkan Universitas Sumatera Utara 21 individu sebagai bagian yang terpisah. Sedangkan perilaku caring perawat merujuk kepada hal-hal dimana perawat berkata atau bertindak dalam komunikasi dengan caring pada pasien (Baldursdottir & Jonsdottir, 2002). Caring menjadi suatu kebutuhan yang bermakna berdasarkan kesesuaian bersama antara perawat dan pasien pada perilaku caring perawat (Zamanzadeh, Azimzadeh, Rahmani & Valizadeh, 2010). Banyak peneliti menegaskan ada 2 aspek caring, perilaku yang ekspresif dan aktivitas keperawatan. Aspek ekspresif dalam perawatan melibatkan pemberian dukungan emosional pada pasien dengan menawarkan kepedulian, kepercayaan, harapan, dan kehangatan emosional. Aspek aktivitas pada perawatan merujuk pada aktivitas inti, seperti memandikan pasien di tempat tidur dan memberikan informasi medis dan keperawatan yang akan meningkatkan kenyamanan fisik dan koping kognitif (Watson, 2008). Aplikasi caring perawat seperti memperkenalkan diri serta membuat kontrak hubungan, memanggil klien dengan namanya, menggunakan sentuhan, mengkaji lebih lanjut keinginan klien, meyakinkan klien bahwa perawat akan membantu klien dalam memberikan asuhan keperawatan, memenuhi kebutuhan dasar klien dengan iklas, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan, mendengarkan dengan penuh perhatian, bersikap jujur, bersikap empati, dapat mengendalikan perasaan, selalu mendahulukan kepentingan klien, tidak menerima uang dari klien, memberi waktu dan perhatian, bekerja dengan terampil, dan cermat berdasarkan ilmu, kompeten dalam melakukan tindakan keperawatan, berespon dengan cepat dan tanggap, mengidentifikasi secara dini perubahan status kesehatan klien, serta memberikan rasa aman dan nyaman (Kozier, 2007). Universitas Sumatera Utara 22 Sikap keperawatan yang berhubungan dengan perilaku caring dalam praktik keperawatan yaitu: 1. Kehadiran (Presence) Kehadiran merupakan suatu pertemuan antara perawat dengan klien maupun keluarga klien yang merupakan upaya untuk lebih mendekatkan dan menyampaikan manfaat caring. Menurut Fredrikson (1999) dalam Potter dan Perry (2009) kehadiran dapat diartikan dalam “ada di” dan “ada dengan”. Makna “ada di” merupakan kehadiran secara fisik dengan adanya proses komunikasi antar perawat dan klien. Sedangkan Pederson (1993) dalam Potter dan Perry (2009) berpendapat bahwa “ada dengan” dimaknai dengan hubungan interpersonal, peran perawat yang selalu bersedia atau ada di samping klien saat klien membutuhkan. Selalu hadir disaat klien membutuhkan, adanya kontak mata, bahasa tubuh, mendengarkan semua keluhan klien, serta adanya dukungan yang diberikan perawat akan membantu klien untuk membentuk suasana baru dan saling terbuka. 2. Sentuhan (Contact) Sentuhan merupakan suatu bentuk pendekatan yang dapat menenangkan dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan klien dalam memberikan perhatian dan dukungan. Pada saat melaksanakan asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan sentuhan untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada klien, sebagai contoh pada saat pemasangan selang naso gaster atau NGT. Menurut Boyek dan Watson (1994) dalam Potter dan Perry (2009) sentuhan juga dianggap sebagai bentuk komunikasi non verbal yang dapat mempengaruhi rasa keamanan dan kenyamanan klien, meningkatkan harga diri Universitas Sumatera Utara 23 dan membantu klien menerima keadaannya. Selain itu sentuhan juga memberikan banyak makna, oleh sebab itu sentuhan harus digunakan dengan bijaksana. Salah satu bentuk masalah yang sering timbul dalam perilaku sentuhan yaitu adanya perbedaan budaya antara perawat itu sendiri maupun perawat dan klien. 3. Mendengarkan Mendengarkan merupakan salah satu perilaku caring yang dapat menjadi awal dalam menjalin hubungan interpersonal. Dalam suatu hubungan pelayanan perawat untuk mendengarkan membentuk keluhan kepercayaan ataupun perasaan maka perawat klien. Selain harus itu dapat dengan mendengarkan juga menunjukkan bahwa perawat memiliki ketertarikan dan perhatian penuh kepada klien. Pada saat mendengarkan juga perawat harus dapat memahami apa yang disampaikan klien, mengerti maksud klien dan memberikan respon terhadap apa yang disampaikan klien. 4. Memahami klien Menurut Bulfin (2005) dalam Potter dan Perry (2009) menyatakan bahwa dengan memahami klien secara menyeluruh akan dapat membantu perawat dalam merespon apa yang menjadi persoalan klien. Memahami klien maka perawat akan terhindar dari asumsi, berfokus pada klien, dan ikut serta dalam hubungan caring dengan klien yang memberikan informasi dan petunjuk untuk dapat berpikir kritis dan memberikan penilaian klinis. Dengan memahami klien dapat menjadi pertimbangan perawat dalam mengambil keputusan klinis. Hal terpenting bagi perawat pemula adalah pemahaman klien bukan hanya sekedar Universitas Sumatera Utara 24 mengumpulkan data kondisi klien dan gejala klinis yang dialami klien (Potter & Perry, 2009). 2.3. Healing–Trust Relationship Menurut Watson (1999), Transpersonal caring relationship berkarakteristikkan hubungan khusus manusia yang tergantung pada moral perawat yang berkomitmen, melindungi, dan meningkatkan martabat manusia seperti dirinya atau lebih tinggi dari dirinya. Perawat merawat dengan kesadaran yang dikomunikasikan untuk melestarikan dan menghargai spiritual, tidak memperlakukan seseorang sebagai sebuah objek. Teori utama yang dikembangkan mencakup Carative Factor, Transpersonal Caring Relationship dan Caring Occation Moment. Terkait konteks penelitian maka peneliti hanya akan membahas teori tentang Carative Factor yang mempunyai kaitan dengan pelaksanaan ronde klinis keperawatan yakni carative factor yang ke 4 (membangun helping-trust relationship). Membina helping-trust realtionship merupakan pengembangan dari salah satu faktor carative. Karena helping-trust realtionship dekat hubungannya kepada pernyataan penerimaan atas perasaan positif dan negatif seseorang. Kualitas hubungan seseorang dengan orang lain merupakan suatu elemen yang sangat berarti dalam menentukan keefektifan pertolongan. Keperawatan sebagai ilmu caring harus mempertimbangakan secara serius bukti-bukti empiris yang berhubungan dengan pengembangan hubungan saling percaya dan membantu. Potensi untuk memajukan dan mengembangkan pertumbuhan psikososial dan memfasilitasi perilaku sehat terletak pada hubungan percaya dan membantu Universitas Sumatera Utara 25 (helping-trust realtionship) itu sendiri jika hal tersebut lebih dikenal, dikembangkan dan digunakan untuk perawat. Keperawatan sebagai ilmu yang didasari konsep caring harus mempertimbangkan konsep pembangunan helping-trust relationship antara perawat dan pasien. Pasien akan merasa bahwa perawat peduli terhadapnya jika perawat tersebut memperhatikan kebutuhan dasarnya sebagai individu sehingga menumbuhkan rasa percaya, keyakinan dan harapan terhadap pelayanan keperawatan. Perawat yang mempunyai kompetensi dalam bersikap caring akan mampu menghasilkan outcomes yang bernilai dalam pelayanan keperawatan. Dengan demikian pasien yang mempunyai hubungan interpersonal yang baik dengan perawat akan mengindikasikan tingginya kualitas pelayanan keperawatan. Untuk mengembangkan helping-trust relationship pada diri perawat, maka beberapa hal yang harus dilakukan perawat adalah Congruence, Empathy, Non possessive warmth, Effective Communication (Watson,1979). a. Congruence, Congruence merujuk kepada keberadaan perawat berdasarkan atas apa yang mereka lihat seperti keiklasan, profesional, berkarakter kuat. Congruence berhubungan dengan bagaimana menanamkan sikap sensitif kepada diri sendiri dan orang lain (Watson,1979). Congurence melibatkan keterbukaan akan perasaan dan sikap yang memberikan kesan yang baik. Congruence bisa disamakan dengan keiklasan yaitu suatu sikap yang apa adanya, jujur, iklas dan otentik. Jika perawat yang mencoba untuk menyembunyikan diri dan perasaannya sendiri, maka hal ini bisa menghancurkan hubungan perawat dengan orang lain. Congruence dan keiklasan merupakan suatu hal yang dasar untuk membina helping-trust Universitas Sumatera Utara 26 relationship. Perawat yang memiliki sikap yang congruence akan memiliki produktivitas kerja yang baik karena mereka memiliki kemampuan untuk pindah dari harapan terhadap kekakuan peran (Alligood & Tomey, 2006). b. Emphaty Emphaty merupakan konsep yang penting dalam pembangunan helpingtrust relationship. Empathy mengacu pada kemampuan perawat untuk ikut mengalami dunia dan perasaan orang lain, sehingga mampu berkomunikasi berdasarkan pemahamannya tentang dunia atau perasaan orang lain tersebut. Kemampuan perawat untuk berespon terhadap perasaan orang lain adalah dasar dalam emphaty. Jika perawat mampu merasakan perasaan pasien maka pasien dan perawat akan mempunyai hubungan emosional yang baik. Perawat yang emphaty akan mampu mengenali dan menerima perasaan orang lain tanpa merasa tidak nyaman, takut, marah atau konflik dalam dirinya sehingga perawat akan mampu untuk berkomunikasi tentang perasaan pasien tanpa menganalisa atau menghakimi. c. Non-possessive Warmth Non-possessive Warmth merupakan kondisi interpersonal dalam helpingtrust relationship yang sejalan dengan congruence dan empthaty. Perawat yang efektif akan memberikan pelayanan yang tidak mengancam, aman, terpercaya dengan menunjukkan penerimaan, penghargaan positif dan keramahan yang tidak posesif. Beberapa atribut yang penting dari kehangatan non verbal adalah menjaga kontak mata selama berinteraksi, menggunakan volume yang sedang ketika berbicara, santai, menghadap keorang yang berbicara, memiliki postur yang lebih terbuka daripada tertutup kepada orang lain (Alligood & Tomey, 2006). Universitas Sumatera Utara 27 d. Effective Communication Perawat yang ingin berkomunikasi dengan efektif dalam membangun helping-trust relationship harus bener-benar berespon ke semua model prilaku orang lain sehingga dapat mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif terdiri atas banyaknya respon kognitif verbal, juga termasuk prilaku non verbal dan respon afektif. Orang menerima dan memberi pesan melalui 3 proses yaitu kognitif, afektif dan prilaku. Melalui tiga proses ini orang bisa berhubungan dengan prilaku diri mereka sendiri. Ada tiga dasar komunikasi yang bisa memahami orang lain yaitu : 1. Level somatik yaitu meliputi nafas, tekanan nadi, dan keseluruhan fisik dan mencakup biospsikologika. 2. Level tindakan yaitu meliputi semua prilaku non verbal, seperti pergerakan badan, postur, dan posisi. 3. Level bahasa yang merujuk pada kata-kata dan pengertian mereka. Ada 2 macam bahasa komunikasi yaitu : 1. Komunikasi denotatif yaitu berkata yang tegas yang sesuai dengan maksud. 2. Komunikasi konotatif yaitu berbicara secara lengkap, mengasosiasikan ide, perasaan, mensimbolkan respon yang disampaikan. Komunikasi efektif dalam suatu hubungan, perawat harus mengenal dan menilai fakta bahwa komunikasi non verbal adalah ekspresi yang akurat untuk mewakili perasaan dari komunikasi verbal. Hal tersebut merupakan suatu yang mungkin terjadi karena seseorang memiliki kontrol lebih pada pesan non verbalnya yang dibagikan secara tak sadar dan sering dengan menggunakan gaya tubuh dan pergerakan tubuh lainnya. Prinsip komunikasi penting lainnya yaitu Universitas Sumatera Utara 28 perawat harus berusaha untuk memahami maksud orang lain atas prilaku dan perasaan orang lain. Pesan yang diberi dan diterima secara akurat menunjukkan komunikasi berjalan dengan baik. 2.4. Konsep Action Research 2.4.1. Pengertian Action Research Action research merupakan suatu bentuk kegiatan penelitian yang didasarkan pada prinsip kolektif dan reflektif yang dilakukan oleh partisipan dalam situasi sosial untuk meningkatkan praktek sosial atau kependidikan (Kemmis & McTaggart, 1988). Action research juga memungkinkan adanya keterlibatan antara peneliti dengan partisipan dalam bentuk kolaborasi dan menitikberatkan terhadap pendekatan naturalistic dan humanistic (Holter & Schwartz-Barcott, 1993), Action research menuntut seorang peneliti untuk tidak hanya mengumpulkan informasi atau pengetahuan tentang situasi tertentu, namun juga diharapkan untuk mampu membantu memperbaiki situasi yang ditemui pada saat penelitian (Polit & Beck, 2008). Action rearch dimulai dari adanya perhatian terhadap ketidakberdayaan suatu kelompok yang diamati dan tujuan kuncinya adalah menghasilkan suatu dorongan yang secara langsung berguna untuk membuat perbaikan melalui tindakan pendidikan dan sosial politik. Dalam action research, metode penelitian mengambil kedua tempat memunculkan proses kolaborasi dan dialog yang dapat memotivasi, meningkatkan harga diri dan membangkitkan solidaritas dalam komunitas. Strategi data yang dikumpulkan tidak hanya melalui metode tradisional wawancara dan observasi (mencakup keduanya yaitu kuantitatif dan Universitas Sumatera Utara 29 kualitatif) tetapi juga melalui cerita, drama sosial, gambar dan lukisan, dan aktivitas lainnya yang bertujuan untuk mendorong individu menemukan kreatifitas mereka dalam menyelidiki hidup mereka, mengatakan cerita mereka, dan mengenal kekuatan mereka (Polit & Beck, 2012). 2.4.2. Ciri-ciri Action Research Kemmis dan McTaggart (2000), dalam Denzin & Lincoln, (2009) menyebutkan action research sebagai penelitian tindakan berdasarkan partisipatif (participatory action research). Terdapat 7 ciri utama participatory action research (PAR) yaitu: 1. Participatory Action Research (PAR) adalah Sebuah Proses Sosial Participatory Action Research (PAR) secara sadar mengkaji hubungan antara ranah individu dengan ranah sosial. PAR menyadari bahwa “mustahil terjadi individuasi tanpa sosialisasi, dan sosialisasipun tidak mungkin tanpa individuasi”, dan bahwa proses individuasi dan sosialisasi terus menerus membentuk individu-individu dan hubungan sosial disegenap setting tempat kita berada. PAR merupakan sebuah proses yang ditempuh dalam penelitian yang di setting, seperti setting pendidikan dan pembangunan masyarakat, ketika manusia secara individu dan kolektif, berusaha untuk memahami bagaimana diri mereka dibentuk dan dibentuk ulang sebagai individu-individu dan dalam hubungannya dengan satu sama lain diberbagai setting. 2. Participatory Action Research Berciri Partisipatoris Participatory Action Research (PAR) mengajak manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan (pemahaman, kecakapan, dan nilai-nilai) dan kategori-kategori interpretif manusia (yaitu cara mereka menafsirkan diri sendiri dan tindakannya Universitas Sumatera Utara 30 dalam dunia sosial dan material). PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi masing-masing individu dalam sebuah kelompok berupaya untuk menangani cara-cara ilmu pengetahuan membentuk kepekaan akan rasa identitas dan keberfungsian diri serta merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu pengetahuan saat ini membingkai dan membatasi tindakan manusia. 3. Participatory Action Research Berciri Praktis dan Kolaboratif Participatory Action Research (PAR) mengajak manusia untuk mengkaji praktik-praktik sosial yang menghubungkan diri individu dengan orang-orang lain dalam interaksi sosial. PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengeksplorasi praktik-praktik komunikasi, produksi, dan pengorganisasian sosial, serta berupaya mengeksplorasi cara untuk meningkatkan interaksi-interaksi manusia dengan mengubah tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut yaitu, mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh partisipan yang irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak adil, dan/atau tidak memuaskan (menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk menjalin kerjasama dalam merekonstruksi interaksi-interaksi sosial dengan merekonstruksi tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut. 4. Participatory Action Research berciri Emansipatoris Participatory Action Research (PAR) bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri dari tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil dan tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri. PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengeksplorasi cara-cara praktik yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur-struktur sosial (kultural, ekonomi, dan politik) yang lebih Universitas Sumatera Utara 31 luas dan mengkaji apakah diri manusia dapat ikut campur tangan untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan tersebut. Artinya, jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari hambatan-hambatan tersebut, maka apakah cara terbaik untuk ikut terlibat di dalamnya dalam upaya untuk meminimalkan tingkat hambatan-hambatan tersebut dan untuk mengurangi munculnya irasionalitas, kurangnya produktivitas (ketidakefisienan), ketidakadilan, dan ketidakpuasan (alienasi) di kalangan manusia untuk membentuk kehidupan sosial bersama. 5. Participatory Action Research Berciri Kritis Participatory Action Research (PAR) bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri sendiri dari hambatan-hambatan yang lekat dengan media sosial yang menjadi wahana interaksi manusia: bahasa (wacana), pola kerja, dan relasi sosial kekuasaan manusia (yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengalami aviliasi perbedaan, baik secara inklusi dan ekslusi yaitu, adanya hubungan-hubungan yang secara gramatis menjadi sarana bagi manusia untuk berinteraksi dengan orang lain dalam pola orang ketiga, kedua atau pertama). PAR merupakan sebuah proses ketika manusia secara sadar berketetapan hati untuk memperjuangkan dan membentuk ulang cara-cara irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak adil, dan/atau tidak memuaskan (menimbulkan alienasi) dalam menafsirkan dan mendeskripsikan dunia manusia, cara-cara kerja (pekerjaan), dan cara-cara menghubungkan diri dengan orang-orang lain (kekuasaan). 6. Participatory Action Research Berciri Recursif (Refleksi dan Dialektis) Participatory Action Research (PAR) bertujuan untuk membantu manusia dalam mengkaji realita agar mampu mengubah dan mengkaji dengan cara mengubah praktik-praktik manusia melalui siklus spiral aksi dan pengkajian kritis Universitas Sumatera Utara 32 diri sebagai sebuah proses sosial dan yang dirancang untuk membantu manusia agar dapat lebih banyak belajar dan menyusun teori tentang praktik-praktik, ilmu pengetahuan tentang praktik dan aneka struktur sosial yang membentuk dan membatasi praktik-praktik manusia. PAR merupakan sebuah proses pembelajaran, bersama-sama orang lain dengan melakukan, mengubah cara-cara berinteraksi di dalam dunia sosial bersama demi hal yang lebih baik maupun lebih buruk, menjadi tempat untuk menerima dan menanggung konsekuensi dari tindakan individu dan tindakan orang-orang lain. 7. Participatory Action Research bertujuan untuk Mengubah Teori dan Praktik Participatory Action Research (PAR) tidak mementingkan hubungan salah satunya antara teori dan praktik. PAR bertujuan untuk mengartikulasikan dan mengembangkan keduanya dalam hubungan satu sama lain melalui penalaran kritis tentang teori dan praktik berikut konsekuensi keduanya. PAR tidak bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk teori yang mampu berdiri terpisah dan lepas dari praktik, seolah-olah praktik dapat dikendalikan dan ditentukan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek partikular dari situasi praktis yang dihadapi oleh para praktisi dalam kehidupan dan pekerjaan masing-masing. PAR juga tidak bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk praktik yang dapat dipandang menjustifikasikan dirinya sendiri. 2.4.3. Proses Action Research Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan AR memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu reconnaissance, planning, acting and observing dan reflection.. Universitas Sumatera Utara 33 Langkah pertama reconnaissance merupakan tahap awal dalam mencari permasalahan yang ada. Tahap ini dapat di sebut juga tahap preliminary studi, yaitu mempelajari masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap ini menggambarkan apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan sekarang. Pernyataan-pernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan pada tahap ini. Selain menentukan masalah yang akan diteliti, tahap ini juga menentukan group action berupa kumpulan orang-orang yang terlibat dalam penelitian dan memastikan bahwa orang-orang tersebut sudah mendapatkan informasi tentang penelitian dan mempunyai komitmen untuk bekerjasama dalam proyek penelitian. Langkah kedua: planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk perbaikan. Tahap ini beorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi dengan partisipan. Pada tahap ini peneliti harus memutuskan bersama dengan group action kemungkinan tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dan hambatan dalam penelitian. Peneliti merumuskan apa yang dapat dilakukan pada situasi atau kondisi tempat penelitian. Perencanaan meliputi rencana untuk merubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan merencanakan hasil yang di inginkan. Tahap ini akan menjawab pertanyaan : Apa yang akan dilakukan, oleh siapa, kapan dan bagaimana? Langkah ketiga: acting dan observing adalah mengimplementasikan rencana dan mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Tahap ini adalah melaksanakan rencana yang sudah di tetapkan, meliputi melaksanakan rencana untuk berubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan Universitas Sumatera Utara 34 antara manusia dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang telah di lakukan. Hal yang harus diperhatikan oleh peneliti pada tahap ini adalah, setelah peneliti melakukan kegiatan maka peneliti harus segera memonitor apa yang terjadi setelah dilakukan tindakan. Langkah keempat: reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa, sintetis, interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap ini refleksi berfokus pada hasil yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan pada cycle berikutnya. Berikut akan digambarkan proses action research menurut Kemmis dan McTaggart (1988) : Gambar 2.1. Siklus Action Research Kemmis dan McTaggart (1988) Keterangan : R : Rencana tindakan A & O : Aplikasi tindakan dan observasi Rf : Refleksi RR : Revisi Rencana Universitas Sumatera Utara 35 2.5. Kerangka Teori Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori keperawatan Watson’s Theory of Transpersonal yaitu Carative Factor yang dikaitkan dengan SPO penerimaaan pasien baru di rumah sakit yang telah disesuaikan dengan standar prosedur menurut KARS. Dalam penyusunan pengembangan SPO penerimaaan pasien baru mengacu kepada kegiatan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan SPO yang sudah ada di rumah sakit dengan menggunakan teori caring helping-trust relationship yaitu melihat bagaimana peran antara kepala ruangan, perawat primer, perawat pelaksana dengan pasien pada saat penerimaan pasien baru. Selain menggunakan teori Watson, peneliti menggunakan standar operasional prosedur yang digunakan oleh rumah sakit yang terdiri dari tahap pra penerimaan pasien baru dan tahap pelaksanaan penerimaan pasien baru. SPO penerimaaan pasien baru di rumah sakit dikembangkan dengan menggunakan metode penelitian action research dan hasil penelitian ini diharapkan akan meningkatkan Pengetahuan perawat tentang caring saat penerimaan pasien baru, meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan dan Kebijakan pimpinan untuk menerapkan SPO Penerimaan Pasien Baru Berbasis Caring di Ruang rawat Inap RS. Bhayangkara TK. II Medan. Universitas Sumatera Utara 36 Watson’s Theory of Transpersonal Caring : Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara TK. II Medan carative faktor yang ke 4 (membangun helpingtrust relationship): Pengembangan SPO Penerimaan Pasien Baru 1. congruence, 2. empathy, 3. non-possesive warmth). 4. Effective comunication PROSES Reconnaissance Reflect Plan Act and Observe Output SPO Penerimaan Pasien Baru Berbasis Caring Outccome Perilaku dan pengetahuan perawat meningkat, kepuasan pasien meningkat, kebijakan menerapkan SPO penerimaan pasien baru berbasis Caring di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara TK. II Medan Gambar 2.2. Kerangka Teori dan Metodologi Pengembangan SPO Penerimaan Pasien Baru Berbasis Caring di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara TK. II Medan. Universitas Sumatera Utara