BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang digunakan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep
penerimaan pasien baru, caring dalam keperawatan menurut teori Watson, action
research dan kerangka teori. Adapun penjelasannya masing-masing diuraikan
sebagai berikut :
2.1. Konsep Penerimaan Pasien Baru
2.1.1. Definisi
Pasien adalah pemakai jasa pemeliharaan kesehatan yang mempunyai citra
pribadi mandiri dengan mempunyai pilihan bebas dalam mencari dan memilih
bantuan. Pasien seyogianya aktif untuk menentukan pilihan pelayanan yang
diharapkannya. Seorang pasien bukan lagi seorang penerima pelayanan secara
pasif, tetapi seorang peserta yang aktif dan bertanggung jawab atas pilihannya
serta memikul akibat dari pilihannya (Carpenito, 2000).
Pasien sebagai pemakai jasa kesehatan, aktif bertanggungjawab atas
pilihan pelayanan kesehatannya dimulai sejak pasien menerima pelayanan
kesehatan. Pasien baru merupakan pasien yang baru datang dan didaftarkan untuk
pertama kali pasien mendapat pelayanan kesehatan dan informasi yang diperlukan
dari pelayan kesehatan. Setelah selesai di bagian penerimaan pasien baru, pasien
bersama keluarganya pergi menuju ke bagian dimana dirinya ditempatkan.
Penerimaan pasien baru adalah metode dalam menerima kedatangan
pasien baru (pasien dan/atau keluarga) di ruang pelayanan keperawatan,
khususnya pada rawat inap atau keperawatan intensif. Kegiatan pada saat
penerimaan pasien baru, maka disampaikan beberapa hal mengenai orientasi
8
Universitas Sumatera Utara
9
ruang, pengenalan ketenagaan ners−medis, dan tata tertib ruang, serta penyakit
(Nursalam, 2002).
2.1.2. Tujuan Penerimaan Pasien Baru
Pasien baru tentu saja membutuhkan orientasi atas lingkungan dan tata
cara pelayanan yang akan dia terima. Orientasi pada pasien baru bertujuan agar
pasien dan keluarga memahami tentang peraturan rumah sakit dan memahami
tentang semua fasilitas yang tersedia serta cara penggunaannya.
Penerimaan pasien baru bertujuan untuk mengetahui keadaan pasien dan
keluarga, pasien bisa langsung menempati ruang perawatan, untuk mengetahui
kondisi dan keadaan pasien secara umum dan membantu menurunkan tingkat
kecemasan pasien saat masuk rumah sakit (Nursalam, 2002).
2.1.3. Prosedur Persiapan Penerimaan Pasien Baru
Standar prosedur operasional merupakan tatacara atau tahapan baku dan
yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry &
Potter, 2005).
Prosedur yang perlu diperhatikan untuk dipersiapkan sebelum tahap
pelaksanaan pasien baru, yaitu: a) Tempat tidur dalam keadaan bersih dan siap
pakai, b) Fasilitas yang bersedia dalam kondisi baik, c) Meja dan kursi pasien
dalam keadaan bersih, d) Paket perawatan / souvenir, e) Lembar orientasi pasien
baru dan keluarga, f) Berkas rekam medis, g) Peralatan untuk pemeriksaan dalam
yang terdiri dari termometer, tensimeter, timbangan berat badan bila perlu
(Nursalam, 2002).
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.4. Tahapan Penerimaan Pasien Baru
Penerimaan pasien baru dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tahap pra
penerimaan pasien baru dan tahap pelaksanaan penerimaan pasien baru.
a. Tahap Pra Penerimaan Pasien Baru
Pada tahap penerimaan pasien baru, beberapa hal yang perlu dipersiapkan
sesuai standar operasional prosedur, yaitu : 1) Menyiapkan kelengkapan
administrasi, 2) Menyiapkan kelengkapan kamar sesuai pesanan, 3) Menyiapkan
format penerimaan pasien baru, 4) Menyiapkan buku status pasien dan format
pengkajian keperawatan, 5) Menyiapkan informed consent sentralisasi obat, 6)
Menyiapkan nursing kits, 7) Menyiapkan lembar tata tertib pasien, keluarga dan
pengunjung ruangan.
b. Tahap Pelaksanaan Penerimaan Pasien Baru
1. Pasien datang diruangan diterima oleh kepala ruangan atau perawat primer
atau perawat yang diberi delegasi.
2. Perawat memperkenalkan diri pada klien dan keluarganya.
3. Perawat bersama dengan karyawan lain memindahkan pasien ke tempat
tidur (apabila pasien datang dengan berangkat atau kursi roda) dan berikan
posisi yang nyaman.
4. Perkenalkan pasien baru dengan pasien yang sekamar.
5. Setelah pasien tenang dan situasi sudah memungkinkan perawat
memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang orientasi
ruangan. Perawatan (termasuk perawat yang bertanggung jawab dan
sentralisasi obat), medis (dokter yang bertanggung jawab dan jadwal visit)
dan tata tertib ruangan.
Universitas Sumatera Utara
11
6. Perawat menanyakan kembali tentang kejelasan dan informasi yang telah
disampaikan.
7. Perawat melakukan pengkajian terhadap pasien sesuai dengan format.
8. Perawat menunjukkan kamar atau tempat tidur klien dan mengantarkan ke
tempat yang telah ditetapkan.
9. Apabila pasien atau keluarga sudah jelas, maka diminta untuk
menendatangani informed consent sentralisasi obat.
2.1.5. Hal – Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Penerimaan Pasien Baru
Hal–hal yang perlu diperhatikan saat pelaksanaan penerimaan pasien baru,
yaitu : a) Pelaksanaan secara efektif dan efisien, b) dilakukan oleh kepala ruangan
atau perawat primer dan atau perawat asosiete yang telah diberikan wewenang
atau yang telah didelegasikan, c) saat pelaksanaan tetap menjaga privasi klien, d)
ajak pasien komunikasi yang baik dan beri sentuhan terapeutik.
2.1.6. Peran Perawat Dalam Penerimaan Pasien Baru
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di
dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku
(Permenkes RI, 2001). Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan
profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio, psiko, sosio, spiritual
yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik
sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal (Gaffar, 1999).
Profil seorang perawat profesional adalah gambaran dan penampilan
menyeluruh perawat dalam melakukan aktifitas keperawatan sesuai kode etik
Universitas Sumatera Utara
12
keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberian asuhan/
pelayanan, praktek keperawatan, pengelolaan institusi keperawatan, pendidikan
pelayanan (individu, keluarga, dan masyarakat) serta kegiatan penelitian dibidang
keperawatan perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan
kesehatan yang dihadapinya adalah manusia, sehingga dalam hal ini empati
mutlak harus dimiliki oleh seorang perawat. Seorang perawat akan mampu
mengerti, memahami dan ikut merasakan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan
dan apa yang diinginkan pasien. Seorang perawat harus peka dalam memahami
alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien
tentang penyakitnya untuk dapat memberikan pelayanan yang prima. Perawat
harus mengerti bahwa yang dikeluhkan oleh pasien merupakan kondisi yang
sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien.
(Potter & Perry, 2005).
Berdasarkan standar prosedur operasional, perawat yang berperan pada
pelaksanaan penerimaan pasien baru adalah kepala ruangan, perawat primer dan
perawat associate. Perawat tersebut memiliki peran dan tanggung jawab masing –
masing.
a. Kepala Ruangan
Adapun tanggung jawab kepala ruangan menurut Gillies (1994) adalah
peran kepala ruangan harus lebih peka terhadap anggaran rumah sakit dan kualitas
pelayanan keperawatan, bertanggung jawab terhadap hasil dari pelayanan
keperawatan yang berkualitas, dan menghindari terjadinya kebosanan perawat
serta menghindari kemungkinan terjadinya saling melempar kesalahan. Peran
Universitas Sumatera Utara
13
kepala ruangan dalam penerimaan pasien baru, yaitu : menerima pasien baru, dan
memeriksa kelengkapan yang diperlukan untuk persiapan pasien baru.
b. Perawat Primer
Peran perawat primer dalam penerimaan pasien baru, yaitu : 1)
Menyiapkan lembar penerimaan pasien baru, 2) Menandatangani lembar
penerimaan pasien baru, 3) Mengorientasikan pasien ke ruangan, 4) Memberi
penjelasan
tentang
perawat
dan
dokter
yang
bertanggung
jawab,
5)
Mendelegasikan pengkajian dan pemeriksaan fisik pada pasien baru kepada
perawat associate, 6) mendokumentasikan penerimaan pasien baru.
c. Perawat Associate
Asuhan keperawatan dalam tindakan perawat yang profesional salah satu
perannya adalah sebagai perawat pelaksana. Perawat sebagai pelaksana secara
langsung maupun tidak langsung memberikan asuhan keperawatan kepada pasien
individu, keluarga, dan masyarakat. Peran perawat sebagai perawat pelaksana
disebut care giver yaitu perawat menggunakan metode pemecahan masalah dalam
membantu pasien mengatasi masalah kesehatan. Peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung
(Praptianingsi, 2006). Perawat pelaksana dalam
melaksanakan perannya
bertindak sebagai:
1. Comforter
Perawat
mengupayakan
kenyamanan
dan
rasa
aman
pasien
(Praptianingsi, 2006). Menurut Potter dan Perry (2005), peran sebagai
pemberi kenyamanan yaitu memberikan pelayanan keperawatan secara utuh
bukan sekedar fisik saja, maka memberikan kenyamanan dan dukungan
Universitas Sumatera Utara
14
emosi sering kali memberikan kekuatan kepada klien untuk mencapai
kesembuhan. Memberikan kenyamanan kepada klien, perawat dapat
mendemonstrasikan dengan klien.
2. Protector dan Advocat
Perawat berupaya melindungi pasien, mengupayakan terlaksananya
hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan kesehatan (Praptianingsi, 2006).
Menurut Potter dan Perry (2005), sebagai pelindung perawat membantu
mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan
untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dan melindungi
klien dari
kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostik atau
pengobatan. Menjalankan tugas sebagai advokat, perawat melindungi hak dan
kewajiban klien sebagai manusia secara hukum, serta membantu klien dalam
menyatakan hak–haknya bila dibutuhkan. Perawat juga melindungi hak-hak
klien melalui cara-cara yang umum dengan penolakan aturan atau tindakan
yang mungkin membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak klien.
3. Communication
Perawat sebagai mediator antara pasien dan anggota tim kesehatan,
hal ini terkait dengan keberadaan perawat yang mendampingi pasien selama
24 jam untuk memberikan asuhan keperawatan dalam rangka upaya
pelayanan kesehatan di rumah sakit (Praptianingsi, 2006). Keperawatan
mencakup komunikasi dengan klien, keluarga, antara sesama perawat dan
profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Memberikan
perawatan yang efektif, pembuatan keputusan dengan klien dan keluarga,
memberikan perlindungan pada klien dari ancaman terhadap kesehatannya,
Universitas Sumatera Utara
15
mengokoordinasi dan mengatur asuhan keperawatan dan lain–lain tidak
mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas.
4. Rehabilitator
Perawat memberikan asuhan keparawatan adalah mengembalikan
fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh dan berfungsi normal.
Rehabilitas merupakan proses dimana individu kembali ketingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan lainnya. Rentang aktivitas rehabilitas dan restoratif mulai
dari mangajar klien berjalan dengan menggunakan alat pembantu berjalan
sampai membantu klien mengatasi perubahan gaya hidup yang berkaitan
dengan penyakit kronis (Potter & Perry, 2005). Peran perawat associate saat
penerimaan pasien baru adalah membantu perawat primer dalam pelaksanaan
penerimaan pasien baru, pengkajian dan pemeriksaan fisik pada pasien baru.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Model caring
Model caring Watson dipertimbangkan sebagai dasar filosofi, moral, dan
etik pada keperawatan yang berhubungan dengan profesi dan keilmuannya. Model
ini memberikan suatu kerangka kerja, dimana pusat fenomena, seni, ilmu,
humanitas, dan spiritual masuk ke dalam praktik keperawatan. Model ini
menekankan tujuan keperawatan dalam mempromosikan individu untuk
keseimbangan pikiran-tubuh-jiwa melalui pengetahuan, pemulihan, dan perawatan
diri (Kathleen, 2011).
Ada beberapa hasil penelitian dimana menguji teori caring Watson. Baik
dengan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif. Pipe, Kelly, Lebrun,
Universitas Sumatera Utara
16
Artherton, dan Robinson (2008) menggunakan metode deskriptif untuk menggali
hubungan harapan, kesejahteraan spiritual, dan kualitas hidup pada pasien yang
sedang dirawat. Delaney dan Barrere (2008) meneliti tentang pengaruh intervensi
spiritual terhadap psikososial pada pasien jantung. Persky, Nelson, Watson, dan
Bent (2008) menguji karakteristik caritas perawat dan efektivitas praktik dalam
modelnya.
Teori Watson bekerja sebagai teori human caring dan ilmu beserta seni
human caring yang sudah diaplikasikan pada berbagai tempat praktik
keperawatan. Brockopp et al. (2011) menjelaskan suatu penelitian dimana
mempraktikkan model praktik dengan menggunakan teori caring Watson. 10
faktor carative dijelaskan dalam memberikan suatu kerangka kerja pada aktivitas
keperawatan di rumah sakit. Lukose (2011) mengembangkan suatu model praktik
dengan teori caring Watson yang dapat digunakan perawat pendidik dalam
mengajarkan kepada staf perawat dan mahasiswa.
2.2.2. Faktor Carative Watson
Untuk memandu tujuan keperawatan, faktor carative dan proses caritas
dikembangkan sebagai inti caring dalam penilaiannya. Sepuluh faktor carative
Watson yang menunjuk sebagai intervensi teori (Watson, 2008). Faktor tersebut
meliputi: 1) Pembentukan sistem nilai humanistik. Nilai ini merupakan faktor
dasar caring yang meliputi bersahabat, empati, fokus, dan mencintai diri sendiri
dan orang lain, 2) Kepercayaan-harapan. Kepercayaan dan harapan adalah faktor
penting pada kesehatan. Perawat sebaiknya menjaga, mendorong, dan
menghormati keyakinan, harapan dan percaya kepada pasien, 3) Pengembangan
Universitas Sumatera Utara
17
sensitivitas pada diri sendiri dan orang lain. Sensitivitas kepada diri sendiri dan
lainnya, mengembangkan dan mengenal perasaan.
Perawat sebaiknya peduli pada kenyamanan, pemulihan, kesejahteraan, dan
lebih sensitif pada kebutuhan lain, 4) Pengembangan rasa saling percaya dan
hubungan caring. Untuk menjamin martabat manusia dan menjaga humanitas,
perawat sebaiknya membentuk kesatuan dengan jiwa pasien, 5) Promosi dan
penerimaan ekspresi pada perasaan positif dan negatif. Mempromosikan dan
menerima ekspresi positif dan negatif sebagai pemulihan. Melalui mendengar dan
menjadi pasien, pikirannya, perilaku, dan pengalaman adalah pengakuan.
Faktor carative berikutnya 6) Menggunakan suatu pemecahan masalah
yang kreatif. Untuk membantu pasien membuat keputusan efisien dan efektif serta
kreatif, proses caring pemecahan masalah individu dipertimbangkan sebagai
komponen penting dalam ilmu keperawatan. Perawat sebaiknya menggunakan
semua pengetahuan, keterampilan, empirisme, insting, dan intuisinya, 7)
Melakukan pengajaran transpersonal. Selanjutnya, faktor carative pembelajaran
transpersonal yang melibatkan hubungan caring sebagai peran pelatihan, lebih
dari peran pemberian informasi, perawat mencari pekerjaan dari informasi pasien
dan memahami serta signifikan informasi yang sediakan untuk pasien, 8)
Memberikan suatu lingkungan yang mendukung, melindungi, dan perbaikan
mental, fisik, sosial, dan spiritual. Untuk mempromosikan kualitas pelayanan dan
pemulihan, dukungan, perlindungan, dan mental korektif, fisik, sosial, dan
lingkungan spiritual yang diakui sebagai dukungan konvensial dengan melibatkan
kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan estetika, 9)
Membantu memenuhi kebutuhan dasar dengan kepuasan. Selain itu, untuk
Universitas Sumatera Utara
18
memberikan
perawatan
holistik
membantu
dengan
kepuasan, tidak hanya
kebutuhan fisik tetapi juga kebutuhan psikologis-spiritual ketika menjaga
martabat manusia dikenal sebagai kebutuhan, dan 10) Mengizinkan kekuatan
eksistensial-fenomenologi-spiritual.
Faktor
carative
terakhir
mengizinkan
fenomena yang tidak dikenal, mitos, filosofi, kepercayaan budaya, aspek metafisik
perawat, pasien, dan keluarganya menyesuaikan dalam makna spiritual dalam
mengizinkan pengobatan dan pemulihan.
2.2.3. Aplikasi faktor carative (Caritas Processes)
Dalam menerjemahkan faktor carative, Watson (2008) membuat Caritas
Processes berdasarkan 10 faktor carative. Diantaranya adalah 1) Mempraktikkan
cinta-kebaikan, ketenangan diri dan lainnya. Ini menghadirkan sentuhan, latihan,
dan meditasi. Misalnya mengetahui bahwa pasien sebagai individu, menghormati
keinginan pasien, mementingkan kepentingan pasien, sopan pada pasien dan
keluarga, jujur kepada pasien, dan memahami apa yang dirasakan pasien, 2)
Hadir, mempertahankan dan menghormati kepercayaan dan harapan pasien.
Perawat tidak bisa mengabaikan pentingnya harapan dan kepercayaan berperan
dalam kehidupan manusia terutama dihadapkan dengan krisis penyakit, sakit,
kehilangan, stres, putus asa, kesedihan, trauma, kematian, dan sebagainya.
Misalnya perawat mengklarifikasi keraguan, memberikan dukungan emosional,
melakukan perawatan lanjutan, dan menghormati pasien yang lebih tua, 3)
Sensitif pada diri dan orang lain. Jika perawat tidak peka terhadap dirinya akan
sulit peka terhadap orang lain. Ketika perawat menutup hati pada orang lain akan
membuatnya tidak peka terhadap pasien yang membutuhkan perhatian, kasih
sayang, dan sensitivitas. Misalnya perawat mengetahui apa yang penting, dapat
Universitas Sumatera Utara
19
mengantisipasi kebutuhan pasien, menjelaskan prosedur, tidak membicarakan
masalah pribadi bersama pasien, mendengarkan pasien, memberikan kenyamanan
pasien, dan sabar menghadapi pasien, 4) Membantu dan mengembangkan
hubungan saling percaya. Hubungan saling percaya menjadi salah satu faktor
internal dalam pemulihan. Misalnya menjawab panggilan pasien dengan segera,
menurunkan kecemasan pasien, tetap sabar menghadapi pasien, memanggil nama
pasien dengan namanya, menghargai apa yang diceritakan pasien, berbicara
dengan jelas, dan suara yang bersahabat, 5) Ada bersama pasien, mendukung
ekspresi perasaan positif, dan negatif. Ini akan meningkatkan kepercayaan dan
peduli. Misalnya menghargai apa yang diceritakan pasien, memahami apa yang
dialami pasien, dan mengenal kebutuhan pasien.
Aplikasi factor carative berikutnya 6) Perawat menggunakan proses
pemecahan masalah yang kreatif. Keperawatan profesional melibatkan logika
yang sistematis, imajinasi, dan kreativitas. Misalnya fleksibel saat perawatan
pasien, membantu pasien beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit, mengetahui
cara pemberian injeksi, dan melibatkan pasien dalam rencana perawatan, 7)
Memberikan pengajaran dan pendidikan transpersonal. Pengajaran lebih dari
menerima informasi, fakta, dan data. Ini melibatkan penuh makna, hubungan
saling percaya, dan pengajaran yang mempengaruhi proses caring. Misalnya
perawat menjelaskan istilah yang sederhana, menjelaskan perawatan di rumah,
menjawab pertanyaan dengan jelas, dan menjelaskan pasien memahami penyakit
dan pengobatan, 8) Perawat menciptakan lingkungan pemulihan di rumah sakit.
Kenyamanan dapat mengukur lingkungan internal dan eksternal pasien. Misalnya
melakukan tugas keperawatan dengan baik, memantau perawatan yang diberikan,
Universitas Sumatera Utara
20
memungkinkan pasien untuk mandiri, membantu pasien merasa seperti di rumah,
dan mengutamakan kepentingan pasien, 9) Perawat membantu dalam memenuhi
kebutuhan dasar pasien. Misalnya sabar memberikan makan pada pasien,
memberikan kenyamanan, gentle terhadap pasien, memberikan dukungan dengan
aktivitas fisik, memantau keamanan pada pasien, memantau pasien secara
berkelanjutan, dan menyesuaikan dengan keterbatasan pasien, 10) Perawat
meningkatkan kebutuhan spiritual pada pasien. Proses ini memberikan kekuatan
spiritual berdasarkan pengalaman yang tidak dapat dijelaskan. Misalnya
mengizinkan pasien membawa peralatan ibadah, mengizinkan pasien untuk
berdoa, membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan spiritual, dan menghargai
pasien sebagai individu yang unik.
2.2.4. Perilaku caring perawat
Ketertarikan profesional keperawatan dalam perilaku caring perawat telah
dimulai sejak era Nightingale (Patiraki et al, 2014). Selama 25 tahun, sejumlah
penelitian telah berfokus pada identifikasi perilaku caring yang spesifik dari
perspektif pasien. Kategori perilaku caring terindentifikasi terbanyak adalah
afektif dan instrumental (Wilkin & Slevin, 2004). Pemahaman pasien yang
berhubungan dengan perilaku caring perawat merupakan suatu hal yang penting
dalam memperbaiki asuhan keperawatan. Umur (p=0.00), jenis kelamin (p=0.00),
tingkat pendidikan (p=0.00), dan jenis perawatan (p=0.00) merupakan
karakteristik pasien yang berkaitan dengan persepsi perilaku caring (Baldursdottir
& Jonsdottir, 2002).
Caring adalah proses dimana perawat menjadi responsif terhadap orang
lain sebagai individu yang unik, merasakan perasaannya, dan menetapkan
Universitas Sumatera Utara
21
individu sebagai bagian yang terpisah. Sedangkan perilaku caring perawat
merujuk kepada hal-hal dimana perawat berkata atau bertindak dalam komunikasi
dengan caring pada pasien (Baldursdottir & Jonsdottir, 2002).
Caring menjadi suatu kebutuhan yang bermakna berdasarkan kesesuaian
bersama antara perawat dan pasien pada perilaku caring perawat (Zamanzadeh,
Azimzadeh, Rahmani & Valizadeh, 2010). Banyak peneliti menegaskan ada 2
aspek caring, perilaku yang ekspresif dan aktivitas keperawatan. Aspek ekspresif
dalam perawatan melibatkan pemberian dukungan emosional pada pasien dengan
menawarkan kepedulian, kepercayaan, harapan, dan kehangatan emosional. Aspek
aktivitas pada perawatan merujuk pada aktivitas inti, seperti memandikan pasien
di tempat tidur dan memberikan informasi medis dan keperawatan yang akan
meningkatkan kenyamanan fisik dan koping kognitif (Watson, 2008).
Aplikasi caring perawat seperti memperkenalkan diri serta membuat
kontrak hubungan, memanggil klien dengan namanya, menggunakan sentuhan,
mengkaji lebih lanjut keinginan klien, meyakinkan klien bahwa perawat akan
membantu klien dalam memberikan asuhan keperawatan, memenuhi kebutuhan
dasar klien dengan iklas, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan,
mendengarkan dengan penuh perhatian, bersikap jujur, bersikap empati, dapat
mengendalikan perasaan, selalu mendahulukan kepentingan klien, tidak menerima
uang dari klien, memberi waktu dan perhatian, bekerja dengan terampil, dan
cermat berdasarkan ilmu, kompeten dalam melakukan tindakan keperawatan,
berespon dengan cepat dan tanggap, mengidentifikasi secara dini perubahan status
kesehatan klien, serta memberikan rasa aman dan nyaman (Kozier, 2007).
Universitas Sumatera Utara
22
Sikap keperawatan yang berhubungan dengan perilaku caring dalam
praktik keperawatan yaitu:
1. Kehadiran (Presence)
Kehadiran merupakan suatu pertemuan antara perawat dengan klien maupun
keluarga klien yang merupakan upaya untuk lebih mendekatkan dan
menyampaikan manfaat caring. Menurut Fredrikson (1999) dalam Potter dan
Perry (2009) kehadiran dapat diartikan dalam “ada di” dan “ada dengan”.
Makna “ada di” merupakan kehadiran secara fisik dengan adanya proses
komunikasi antar perawat dan klien. Sedangkan Pederson (1993) dalam Potter
dan Perry (2009) berpendapat bahwa “ada dengan” dimaknai dengan hubungan
interpersonal, peran perawat yang selalu bersedia atau ada di samping klien
saat klien membutuhkan. Selalu hadir disaat klien membutuhkan, adanya
kontak mata, bahasa tubuh, mendengarkan semua keluhan klien, serta adanya
dukungan yang diberikan perawat akan membantu klien untuk membentuk
suasana baru dan saling terbuka.
2. Sentuhan (Contact)
Sentuhan merupakan suatu bentuk pendekatan yang dapat menenangkan
dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan klien dalam memberikan
perhatian dan dukungan. Pada saat melaksanakan asuhan keperawatan, perawat
dapat memberikan sentuhan untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada
klien, sebagai contoh pada saat pemasangan selang naso gaster atau NGT.
Menurut Boyek dan Watson (1994) dalam Potter dan Perry (2009) sentuhan
juga
dianggap sebagai
bentuk komunikasi
non verbal
yang dapat
mempengaruhi rasa keamanan dan kenyamanan klien, meningkatkan harga diri
Universitas Sumatera Utara
23
dan membantu klien menerima keadaannya. Selain itu sentuhan juga
memberikan banyak makna, oleh sebab itu sentuhan harus digunakan dengan
bijaksana. Salah satu bentuk masalah yang sering timbul dalam perilaku
sentuhan yaitu adanya perbedaan budaya antara perawat itu sendiri maupun
perawat dan klien.
3. Mendengarkan
Mendengarkan merupakan salah satu perilaku caring yang dapat menjadi awal
dalam menjalin hubungan interpersonal. Dalam suatu hubungan pelayanan
perawat
untuk
mendengarkan
membentuk
keluhan
kepercayaan
ataupun
perasaan
maka
perawat
klien.
Selain
harus
itu
dapat
dengan
mendengarkan juga menunjukkan bahwa perawat memiliki ketertarikan dan
perhatian penuh kepada klien. Pada saat mendengarkan juga perawat harus
dapat memahami apa yang disampaikan klien, mengerti maksud klien dan
memberikan respon terhadap apa yang disampaikan klien.
4. Memahami klien
Menurut Bulfin (2005) dalam Potter dan Perry (2009) menyatakan bahwa
dengan memahami klien secara menyeluruh akan dapat membantu perawat
dalam merespon apa yang menjadi persoalan klien. Memahami klien maka
perawat akan terhindar dari asumsi, berfokus pada klien, dan ikut serta dalam
hubungan caring dengan klien yang memberikan informasi dan petunjuk untuk
dapat berpikir kritis dan memberikan penilaian klinis. Dengan memahami klien
dapat menjadi pertimbangan perawat dalam mengambil keputusan klinis. Hal
terpenting bagi perawat pemula adalah pemahaman klien bukan hanya sekedar
Universitas Sumatera Utara
24
mengumpulkan data kondisi klien dan gejala klinis yang dialami klien (Potter
& Perry, 2009).
2.3. Healing–Trust Relationship
Menurut
Watson
(1999),
Transpersonal
caring
relationship
berkarakteristikkan hubungan khusus manusia yang tergantung pada moral
perawat yang berkomitmen, melindungi, dan meningkatkan martabat manusia
seperti dirinya atau lebih tinggi dari dirinya. Perawat merawat dengan kesadaran
yang dikomunikasikan untuk melestarikan dan menghargai spiritual, tidak
memperlakukan seseorang sebagai sebuah objek.
Teori
utama
yang
dikembangkan
mencakup
Carative
Factor,
Transpersonal Caring Relationship dan Caring Occation Moment. Terkait
konteks penelitian maka peneliti hanya akan membahas teori tentang Carative
Factor yang mempunyai kaitan dengan pelaksanaan ronde klinis keperawatan
yakni carative factor yang ke 4 (membangun helping-trust relationship).
Membina helping-trust realtionship merupakan pengembangan dari salah
satu faktor carative. Karena helping-trust realtionship dekat hubungannya kepada
pernyataan penerimaan atas perasaan positif dan negatif seseorang. Kualitas
hubungan seseorang dengan orang lain merupakan suatu elemen yang sangat
berarti dalam menentukan keefektifan pertolongan. Keperawatan sebagai ilmu
caring harus mempertimbangakan secara serius bukti-bukti empiris yang
berhubungan dengan pengembangan hubungan saling percaya dan membantu.
Potensi untuk memajukan dan mengembangkan pertumbuhan psikososial dan
memfasilitasi perilaku sehat terletak pada hubungan percaya dan membantu
Universitas Sumatera Utara
25
(helping-trust realtionship) itu sendiri jika hal tersebut lebih dikenal,
dikembangkan dan digunakan untuk perawat.
Keperawatan
sebagai
ilmu
yang
didasari
konsep
caring
harus
mempertimbangkan konsep pembangunan helping-trust relationship antara
perawat dan pasien. Pasien akan merasa bahwa perawat peduli terhadapnya jika
perawat tersebut memperhatikan kebutuhan dasarnya sebagai individu sehingga
menumbuhkan rasa percaya, keyakinan dan harapan terhadap pelayanan
keperawatan. Perawat yang mempunyai kompetensi dalam bersikap caring akan
mampu menghasilkan outcomes yang bernilai dalam pelayanan keperawatan.
Dengan demikian pasien yang mempunyai hubungan interpersonal yang baik
dengan perawat akan mengindikasikan tingginya kualitas pelayanan keperawatan.
Untuk mengembangkan helping-trust relationship pada diri perawat, maka
beberapa hal yang harus dilakukan perawat adalah Congruence, Empathy, Non
possessive warmth, Effective Communication (Watson,1979).
a. Congruence,
Congruence merujuk kepada keberadaan perawat berdasarkan atas apa
yang mereka lihat seperti keiklasan, profesional, berkarakter kuat. Congruence
berhubungan dengan bagaimana menanamkan sikap sensitif kepada diri sendiri
dan orang lain (Watson,1979). Congurence melibatkan keterbukaan akan perasaan
dan sikap yang memberikan kesan yang baik. Congruence bisa disamakan dengan
keiklasan yaitu suatu sikap yang apa adanya, jujur, iklas dan otentik. Jika perawat
yang mencoba untuk menyembunyikan diri dan perasaannya sendiri, maka hal ini
bisa menghancurkan hubungan perawat dengan orang lain. Congruence dan
keiklasan merupakan suatu hal yang dasar untuk membina helping-trust
Universitas Sumatera Utara
26
relationship. Perawat yang memiliki sikap yang congruence akan memiliki
produktivitas kerja yang baik karena mereka memiliki kemampuan untuk pindah
dari harapan terhadap kekakuan peran (Alligood & Tomey, 2006).
b. Emphaty
Emphaty merupakan konsep yang penting dalam pembangunan helpingtrust relationship. Empathy mengacu pada kemampuan perawat untuk ikut
mengalami dunia dan perasaan orang lain, sehingga mampu berkomunikasi
berdasarkan pemahamannya tentang dunia atau perasaan orang lain tersebut.
Kemampuan perawat untuk berespon terhadap perasaan orang lain adalah dasar
dalam emphaty. Jika perawat mampu merasakan perasaan pasien maka pasien dan
perawat akan mempunyai hubungan emosional yang baik. Perawat yang emphaty
akan mampu mengenali dan menerima perasaan orang lain tanpa merasa tidak
nyaman, takut, marah atau konflik dalam dirinya sehingga perawat akan mampu
untuk berkomunikasi
tentang perasaan pasien tanpa
menganalisa
atau
menghakimi.
c. Non-possessive Warmth
Non-possessive Warmth merupakan kondisi interpersonal dalam helpingtrust relationship yang sejalan dengan congruence dan empthaty. Perawat yang
efektif akan memberikan pelayanan yang tidak mengancam, aman, terpercaya
dengan menunjukkan penerimaan, penghargaan positif dan keramahan yang tidak
posesif. Beberapa atribut yang penting dari kehangatan non verbal adalah menjaga
kontak mata selama berinteraksi, menggunakan volume yang sedang ketika
berbicara, santai, menghadap keorang yang berbicara, memiliki postur yang lebih
terbuka daripada tertutup kepada orang lain (Alligood & Tomey, 2006).
Universitas Sumatera Utara
27
d. Effective Communication
Perawat yang ingin berkomunikasi dengan efektif dalam membangun
helping-trust relationship harus bener-benar berespon ke semua model prilaku
orang lain sehingga dapat mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif
terdiri atas banyaknya respon kognitif verbal, juga termasuk prilaku non verbal
dan respon afektif. Orang menerima dan memberi pesan melalui 3 proses yaitu
kognitif, afektif dan prilaku. Melalui tiga proses ini orang bisa berhubungan
dengan prilaku diri mereka sendiri.
Ada tiga dasar komunikasi yang bisa memahami orang lain yaitu :
1. Level somatik yaitu meliputi nafas, tekanan nadi, dan keseluruhan fisik dan
mencakup biospsikologika.
2. Level tindakan yaitu meliputi semua prilaku non verbal, seperti pergerakan
badan, postur, dan posisi.
3. Level bahasa yang merujuk pada kata-kata dan pengertian mereka. Ada 2
macam bahasa komunikasi yaitu : 1. Komunikasi denotatif yaitu berkata yang
tegas yang sesuai dengan maksud. 2. Komunikasi konotatif yaitu berbicara
secara lengkap, mengasosiasikan ide, perasaan, mensimbolkan respon yang
disampaikan.
Komunikasi efektif dalam suatu hubungan, perawat harus mengenal dan
menilai fakta bahwa komunikasi non verbal adalah ekspresi yang akurat untuk
mewakili perasaan dari komunikasi verbal. Hal tersebut merupakan suatu yang
mungkin terjadi karena seseorang memiliki kontrol lebih pada pesan non
verbalnya yang dibagikan secara tak sadar dan sering dengan menggunakan gaya
tubuh dan pergerakan tubuh lainnya. Prinsip komunikasi penting lainnya yaitu
Universitas Sumatera Utara
28
perawat harus berusaha untuk memahami maksud orang lain atas prilaku dan
perasaan orang lain. Pesan yang diberi dan diterima secara akurat menunjukkan
komunikasi berjalan dengan baik.
2.4. Konsep Action Research
2.4.1. Pengertian Action Research
Action research merupakan suatu bentuk kegiatan penelitian yang
didasarkan pada prinsip kolektif dan reflektif yang dilakukan oleh partisipan
dalam situasi sosial untuk meningkatkan praktek sosial atau kependidikan
(Kemmis & McTaggart, 1988).
Action research juga memungkinkan adanya keterlibatan antara peneliti
dengan partisipan dalam bentuk kolaborasi dan menitikberatkan terhadap
pendekatan naturalistic dan humanistic (Holter & Schwartz-Barcott, 1993),
Action research menuntut seorang peneliti untuk tidak hanya mengumpulkan
informasi atau pengetahuan tentang situasi tertentu, namun juga diharapkan untuk
mampu membantu memperbaiki situasi yang ditemui pada saat penelitian (Polit &
Beck, 2008).
Action rearch dimulai dari adanya perhatian terhadap ketidakberdayaan
suatu kelompok yang diamati dan tujuan kuncinya adalah menghasilkan suatu
dorongan yang secara langsung berguna untuk membuat perbaikan melalui
tindakan pendidikan dan sosial politik. Dalam action research, metode penelitian
mengambil kedua tempat memunculkan proses kolaborasi dan dialog yang dapat
memotivasi, meningkatkan harga diri dan membangkitkan solidaritas dalam
komunitas. Strategi data yang dikumpulkan tidak hanya melalui metode
tradisional wawancara dan observasi (mencakup keduanya yaitu kuantitatif dan
Universitas Sumatera Utara
29
kualitatif) tetapi juga melalui cerita, drama sosial, gambar dan lukisan, dan
aktivitas lainnya yang bertujuan untuk mendorong individu menemukan
kreatifitas mereka dalam menyelidiki hidup mereka, mengatakan cerita mereka,
dan mengenal kekuatan mereka (Polit & Beck, 2012).
2.4.2. Ciri-ciri Action Research
Kemmis dan McTaggart (2000), dalam Denzin & Lincoln, (2009)
menyebutkan action research sebagai penelitian tindakan berdasarkan partisipatif
(participatory action research). Terdapat 7 ciri utama participatory action
research (PAR) yaitu:
1. Participatory Action Research (PAR) adalah Sebuah Proses Sosial
Participatory Action Research (PAR) secara sadar mengkaji hubungan
antara ranah individu dengan ranah sosial. PAR menyadari bahwa “mustahil
terjadi individuasi tanpa sosialisasi, dan sosialisasipun tidak mungkin tanpa
individuasi”, dan bahwa proses individuasi dan sosialisasi terus menerus
membentuk individu-individu dan hubungan sosial disegenap setting tempat kita
berada. PAR merupakan sebuah proses yang ditempuh dalam penelitian yang di
setting, seperti setting pendidikan dan pembangunan masyarakat, ketika manusia
secara individu dan kolektif, berusaha untuk memahami bagaimana diri mereka
dibentuk dan dibentuk ulang sebagai individu-individu dan dalam hubungannya
dengan satu sama lain diberbagai setting.
2. Participatory Action Research Berciri Partisipatoris
Participatory Action Research (PAR) mengajak manusia untuk mengkaji
ilmu pengetahuan (pemahaman, kecakapan, dan nilai-nilai) dan kategori-kategori
interpretif manusia (yaitu cara mereka menafsirkan diri sendiri dan tindakannya
Universitas Sumatera Utara
30
dalam dunia sosial dan material). PAR merupakan sebuah proses yang menjadi
sarana bagi masing-masing individu dalam sebuah kelompok berupaya untuk
menangani cara-cara ilmu pengetahuan membentuk kepekaan akan rasa identitas
dan keberfungsian diri serta merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu
pengetahuan saat ini membingkai dan membatasi tindakan manusia.
3. Participatory Action Research Berciri Praktis dan Kolaboratif
Participatory Action Research (PAR) mengajak manusia untuk mengkaji
praktik-praktik sosial yang menghubungkan diri individu dengan orang-orang lain
dalam interaksi sosial. PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi
manusia untuk mengeksplorasi praktik-praktik komunikasi, produksi, dan
pengorganisasian sosial, serta berupaya mengeksplorasi cara untuk meningkatkan
interaksi-interaksi manusia dengan mengubah tindakan-tindakan yang membentuk
interaksi tersebut yaitu, mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh
partisipan yang irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak adil, dan/atau
tidak memuaskan (menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk
menjalin kerjasama dalam merekonstruksi interaksi-interaksi sosial dengan
merekonstruksi tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut.
4. Participatory Action Research berciri Emansipatoris
Participatory Action Research (PAR) bertujuan untuk membantu manusia
agar pulih dan melepaskan diri dari tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional,
tidak produktif, tidak adil dan tidak memuaskan yang membatasi perkembangan
diri dan kemandirian diri. PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana
bagi manusia untuk mengeksplorasi cara-cara praktik yang dibentuk dan
ditentukan oleh struktur-struktur sosial (kultural, ekonomi, dan politik) yang lebih
Universitas Sumatera Utara
31
luas dan mengkaji apakah diri manusia dapat ikut campur tangan untuk
melepaskan diri dari hambatan-hambatan tersebut. Artinya, jika manusia tidak
dapat melepaskan diri dari hambatan-hambatan tersebut, maka apakah cara terbaik
untuk ikut terlibat di dalamnya dalam upaya untuk meminimalkan tingkat
hambatan-hambatan tersebut dan untuk mengurangi munculnya irasionalitas,
kurangnya produktivitas (ketidakefisienan), ketidakadilan, dan ketidakpuasan
(alienasi) di kalangan manusia untuk membentuk kehidupan sosial bersama.
5. Participatory Action Research Berciri Kritis
Participatory Action Research (PAR) bertujuan untuk membantu manusia
agar pulih dan melepaskan diri sendiri dari hambatan-hambatan yang lekat dengan
media sosial yang menjadi wahana interaksi manusia: bahasa (wacana), pola
kerja, dan relasi sosial kekuasaan manusia (yang menjadi sarana bagi manusia
untuk mengalami aviliasi perbedaan, baik secara inklusi dan ekslusi yaitu, adanya
hubungan-hubungan yang secara gramatis menjadi sarana bagi manusia untuk
berinteraksi dengan orang lain dalam pola orang ketiga, kedua atau pertama). PAR
merupakan sebuah proses ketika manusia secara sadar berketetapan hati untuk
memperjuangkan dan membentuk ulang cara-cara irasional, tidak produktif (atau
tidak efisien), tidak adil, dan/atau tidak memuaskan (menimbulkan alienasi) dalam
menafsirkan dan mendeskripsikan dunia manusia, cara-cara kerja (pekerjaan), dan
cara-cara menghubungkan diri dengan orang-orang lain (kekuasaan).
6. Participatory Action Research Berciri Recursif (Refleksi dan Dialektis)
Participatory Action Research (PAR) bertujuan untuk membantu manusia
dalam mengkaji realita agar mampu mengubah dan mengkaji dengan cara
mengubah praktik-praktik manusia melalui siklus spiral aksi dan pengkajian kritis
Universitas Sumatera Utara
32
diri sebagai sebuah proses sosial dan yang dirancang untuk membantu manusia
agar dapat lebih banyak belajar dan menyusun teori tentang praktik-praktik, ilmu
pengetahuan tentang praktik dan aneka struktur sosial yang membentuk dan
membatasi praktik-praktik manusia. PAR merupakan sebuah proses pembelajaran,
bersama-sama orang lain dengan melakukan, mengubah cara-cara berinteraksi di
dalam dunia sosial bersama demi hal yang lebih baik maupun lebih buruk,
menjadi tempat untuk menerima dan menanggung konsekuensi dari tindakan
individu dan tindakan orang-orang lain.
7. Participatory Action Research bertujuan untuk Mengubah Teori dan Praktik
Participatory Action Research (PAR) tidak mementingkan hubungan salah
satunya antara teori dan praktik. PAR bertujuan untuk mengartikulasikan dan
mengembangkan keduanya dalam hubungan satu sama lain melalui penalaran
kritis tentang teori dan praktik berikut konsekuensi keduanya. PAR tidak bertujuan
untuk mengembangkan bentuk-bentuk teori yang mampu berdiri terpisah dan
lepas dari praktik, seolah-olah praktik dapat dikendalikan dan ditentukan tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek partikular dari situasi praktis yang dihadapi oleh
para praktisi dalam kehidupan dan pekerjaan masing-masing. PAR juga tidak
bertujuan untuk mengembangkan bentuk-bentuk praktik yang dapat dipandang
menjustifikasikan dirinya sendiri.
2.4.3. Proses Action Research
Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan
AR memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu reconnaissance, planning,
acting and observing dan reflection..
Universitas Sumatera Utara
33
Langkah pertama reconnaissance merupakan tahap awal dalam mencari
permasalahan yang ada. Tahap ini dapat di sebut juga tahap preliminary studi,
yaitu mempelajari masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap
ini menggambarkan apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan
sekarang. Pernyataan-pernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan
pada tahap ini. Selain menentukan masalah yang akan diteliti, tahap ini juga
menentukan group action berupa kumpulan orang-orang yang terlibat dalam
penelitian dan memastikan bahwa orang-orang tersebut sudah mendapatkan
informasi tentang penelitian dan mempunyai komitmen untuk bekerjasama dalam
proyek penelitian.
Langkah kedua: planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk
perbaikan. Tahap ini beorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi
dengan partisipan. Pada tahap ini peneliti harus memutuskan bersama dengan
group action kemungkinan tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dan
hambatan dalam penelitian. Peneliti merumuskan apa yang dapat dilakukan pada
situasi atau kondisi tempat penelitian. Perencanaan meliputi rencana untuk
merubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara
manusia dan organisasi, dan merencanakan hasil yang di inginkan. Tahap ini akan
menjawab pertanyaan : Apa yang akan dilakukan, oleh siapa, kapan dan
bagaimana?
Langkah ketiga: acting dan observing adalah mengimplementasikan
rencana dan mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Tahap ini adalah
melaksanakan rencana yang sudah di tetapkan, meliputi melaksanakan rencana
untuk berubah dengan menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan
Universitas Sumatera Utara
34
antara manusia dan organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang
telah di lakukan. Hal yang harus diperhatikan oleh peneliti pada tahap ini adalah,
setelah peneliti melakukan kegiatan maka peneliti harus segera memonitor apa
yang terjadi setelah dilakukan tindakan.
Langkah keempat: reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa,
sintetis, interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap ini refleksi
berfokus pada hasil yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan
pada cycle berikutnya.
Berikut akan digambarkan proses action research menurut Kemmis dan
McTaggart (1988) :
Gambar 2.1. Siklus Action Research Kemmis dan McTaggart (1988)
Keterangan :
R
: Rencana tindakan
A & O : Aplikasi tindakan dan observasi
Rf
: Refleksi
RR
: Revisi Rencana
Universitas Sumatera Utara
35
2.5. Kerangka Teori
Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori
keperawatan Watson’s Theory of Transpersonal yaitu Carative Factor yang
dikaitkan dengan SPO penerimaaan pasien baru di rumah sakit
yang telah
disesuaikan dengan standar prosedur menurut KARS. Dalam penyusunan
pengembangan SPO penerimaaan pasien baru mengacu kepada kegiatan yang
dilakukan oleh perawat berdasarkan SPO yang sudah ada di rumah sakit dengan
menggunakan teori caring helping-trust relationship yaitu melihat bagaimana
peran antara kepala ruangan, perawat primer, perawat pelaksana dengan pasien
pada saat penerimaan pasien baru.
Selain menggunakan teori Watson, peneliti menggunakan standar
operasional prosedur yang digunakan oleh rumah sakit yang terdiri dari tahap pra
penerimaan pasien baru dan tahap pelaksanaan penerimaan pasien baru. SPO
penerimaaan pasien baru di rumah sakit dikembangkan dengan menggunakan
metode penelitian action research dan hasil penelitian ini diharapkan akan
meningkatkan Pengetahuan perawat tentang caring saat penerimaan pasien baru,
meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan dan Kebijakan
pimpinan untuk menerapkan SPO Penerimaan Pasien Baru Berbasis Caring di
Ruang rawat Inap RS. Bhayangkara TK. II Medan.
Universitas Sumatera Utara
36
Watson’s Theory of
Transpersonal Caring :
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Bhayangkara TK. II Medan
carative faktor yang ke
4 (membangun helpingtrust relationship):
Pengembangan SPO
Penerimaan Pasien Baru
1. congruence,
2. empathy,
3. non-possesive
warmth).
4. Effective
comunication
PROSES
Reconnaissance
Reflect
Plan
Act and Observe
Output
SPO Penerimaan Pasien Baru
Berbasis Caring
Outccome
Perilaku dan pengetahuan perawat meningkat, kepuasan pasien
meningkat, kebijakan menerapkan SPO penerimaan pasien baru
berbasis Caring di ruang rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara
TK. II Medan
Gambar 2.2. Kerangka Teori dan Metodologi Pengembangan SPO
Penerimaan Pasien Baru Berbasis Caring di Ruang Rawat
Inap Rumah Sakit Bhayangkara TK. II Medan.
Universitas Sumatera Utara
Download