Abstract— The value of siri’ and pesse/pacce that is the philosophy and principles of life in South Sulawesi Bugis-Makassar community contains so sacred meaning if it is pursued and functioned in a positive direction. One of these efforts can be investigated in how teachers’ involvement that has dynamic magnitude to integrate cultural values of siri’ and pesse into learning science as an effort to create an atmosphere and environment that is conducive to learning science and based on local wisdom. There are relationship between concepts of hands-on and minds-on in learning science and cultural value of siri’ and pesse so that cultural values can be integrated into teaching science. Keywords— Value of Siri’ Culture, Principle of Buginese & Macassare, Local Wisdom, Learning Science. Abstrak— Nilai budaya siri’ dan pesse/pacce yang menjadi falsafah dan prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar Sulawesi Selatan mengandung makna yang begitu sakral jika diupayakan dan difungsikan ke arah positif. Salah satu bentuk upaya tersebut dapat dilihat pada bagaimana keterlibatan guru yang berkekuatan dinamis dalam mengintegrasikan nilai-nilai budaya siri’ dan pesse ke dalam pembelajaran IPA sebagai usaha dalam menciptakan suasana dan lingkungan belajar IPA yang kondusif serta berbasis kearifan lokal. Adanya keterkaitan antara konsep pembelajaran IPA yang hands-on dan minds-on dengan nilai budaya siri’ dan pesse sehingga nilai-nilai budaya ini dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran IPA. Kata Kunci— Nilai Budaya Siri’, Pesse/Pacce, Kearifan Lokal, Pembelajaran IPA. 1. Pendahuluan Eksistensi keberagaman budaya dan etnis masyarakat bangsa Indonesia memegang peranan penting dalam membangun bangsa ini, termasuk dalam pengembangan pendidikan yang bermuara pada penciptaan sumber daya manusia Indonesia yang handal dan berkualitas. Artinya, hubungan antara kebudayaan dan pendidikan adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh karena itu, perlunya dilakukakan kajian lebih lanjut terkait studi pendidikan dan program pendidikan guru yang lebih menekankan pada dimensi psikologi daripada dimensi social budaya dari proses belajar mengajar. Padahal menurut Alwasilah (2009) bahwa kebutuhan praktisi terhadap hasil-hasil kajian tentang bagaimana variable budaya mempengaruhi pendidikan, mengajar, belajar, dan pertumbuhan serta perkembangan pembelajaran amat mendesak. Tilaar (dalam Akib, 1999:10) mengungkapkan bahwa pendidikan nasional di dalam era reformasi perlu dirumuskan suatu visi pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang kebudayaan nasional sendiri dibangun dari kebudayaan daerah yang tumbuh dan berkembang di setiap etnis. Ini berarati bahwa factor social budaya sangatlah memiliki peranan penting dalam memperbaharui dan memajukan pendidikan setempat. Berbagai cara dapat diupayakan dalam menciptakan suasana proses belajar mengajar yang kondusif sebagai salah satu bentuk penjelmaan pendidikan sehingga istilah yang semula guru sebagai orator verbalist bergeser menjadi guru yang berkekuatan dinamis, termasuk dalam proses pembelajaran IPA. Salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam sudut pandang kearifan local budaya setempat, yaitu bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai budaya setempat dalam interaksi pembelajaran di kelas, termasuk pembelajaran IPA. Akan tetapi menurut Suastra (dalam Prasetyo, 2013) pada kenyataannya justru nilai-nilai yang dianut masyarakat local yang penuh dengan nilai-nilai kearifan local diabaikan dalam berbagai pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran sains maupun fisika di sekolah. Pembelajaran sains (IPA) tidak terlepas dari hakikat sains itu sendiri, bahwa sains dipandang sebagai a body of knowledge (sains sebagai sekumpulan pengetahuan), a way of thinking (sains sebagai cara berpikir), dan a way of investigating (sains sebagai cara penyelidikan). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran sains melibatkan penggunaan sejumlah panca indera, tangan (hands-on) dan alat atau manipulatif untuk berfikir (minds-on). Artinya, di dalam proses pembelajaran IPA terjadi suatu bentuk interaksi baik pada saat berfikir maupun bekerja. Interaksi yang terbentuk antara guru dan siswa maupun antar siswa tidak terlepas dari konteks budaya setempat, misalnya dalam hal ini gaya komunikasi dan pola bahasa yang digunakan. Dengan demikian, factor budaya setempat turut andil dalam mempengaruhi kemajuan pendidikan setempat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya memperhatikan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya setempat ke dalam proses pembelajaran IPA guna menciptakan pembelajaran yang kondusif dan berkualitas dengan harapan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Siri’ dan pesse (Bugis)/pace (Makassar) merupakan dua konsep nilai budaya yang diwariskan secara turun temurun sekaligus menjadi prinsip hidup masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi-Selatan. Konsep siri’ dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orangorang yang mau menjatuhkan harkat dan martabat mereka, sedangkan konsep pesse/pacce dipakai untuk membantu sesame anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Dalam hubungannya dengan pembelajaran IPA, konsep siri’ digunakan untuk motivasi dalam berprestasi sedangkan konsep pesse/pacce digunakan sebagai bentuk kerjasama saling membantu dalam proses pembelajaran IPA. Pertanyaannya adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai budaya tersebut ke dalam pembelajaran, khususya dalam pembelajaran IPA? Artikel ini mencoba memaparkan jawaban atas pertanyaan tersebut. 2. Metodologi Metode analisis deskriptif kualitatif adalah merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji beberapa nilai-nilai budaya masyarakat Bugis-Makassar serta bentuk integrasinya ke dalam pembelajaran IPA melalui pengkajian sejumlah literatur yang sifatnya mendukung. 3. PEMBAHASAN 3.1. Pembelajaran IPA Berbasis Kearifan Lokal Kearifan lokal berasal dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam bahasa asing, kearifan local sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau kecerdasan setempat (local genius). Istilah kearifan lokal pertama kali diperkenalkan oleh Quatritch Wales yang dirumuskan sebagai the sum of cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life (Poespowardojo, 1986: 30). Menurut Alwasilah (2009), kearifan local adalah koleksi fakta, konsep kepercayaan, persepsi masyarakat ihwal dunia sekitar, menyelesaikan masalah, dan memvalidasi informasi. Singkatnya, kearifan local adalah bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan. Secara umum, maka kearifan local atau local wisdom dapat diartikan sebagai suatu hasil pemikiran (gagasan) masyarakat setempat yang sifatnya bernilai baik, bijaksana, arif, dan bermanfaat dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat setempat. Dengan kata lain, bahwa eksistensi kearifan local bukanlah sesuatu tanpa fungsi di tengah kehidupan masyarakat global. Munculnya istilah pendidikan berbasis kearifan local tidak terjadi begitu saja, melainkan ada beberapa hal yang menjadi landasan atau pemicu sehingga hal tersebut menjadi suatu perbincangan hangat di dunia pendidikan. Salah satunya adalah landasan yuridis kebijakan nasional tentang pendidikan berbasis keunggulan local (kearifan local). Landasan yuridis yang dimaksud dianataranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 34 bahwa pendidikan berbasis keunggulan local adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperdaya dengan keunggulan kompetitif dan/atau komperatif daerah. Selanjutnya dipertegas dalam Renstra Kemendiknas 2010-2014 bahwa pendidikan harus menumbuhkan pemahaman tentang pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yaitu pemahaman bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem. Pendidikan harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab social dan natural untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahwa mereka adalah bagian dari sistem social yang harus bersinergi dengan manusia lain dan bagian dari sistem alam yang harus bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya. Pendidikan berbasis kearifan local menurut Prasetyo (2013) adalah merupakan usaha sadar yang terencana melalui penggalian dan pemanfaatan potensi daerah setempat secara arif dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki keahlian, pengetahuan, dan sikap dalam upaya ikut serta membangun bangsa dan negara. Terkait dengan pembelajaran berbasis kearifan local, Sutarno (2008) mengungkapkan bahwa ada 4 (empat) macam pembelajaran berbasis budaya, yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, belajar melalui budaya, dan belajar berbudaya. Artinya, factor budaya setempat berpengaruh dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran sains (IPA). Wahyudi (dalam Suardana, 2013) mengungkapkan bahwa pengaruh latar belakang budaya siswa terhadap pembelajaran sains ada dua macam. Pertama, pengaruh positif akan muncul jika materi pembelajaran sains di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari. Pada keadaan ini proses pembelajaran mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya. Proses pembelajaran yang seperti ini disebut dengan proses inkulturasi. Kedua, proses pembelajaran sains di sekolah menjadi pengganggu dalam pembentukan pengetahuan siswa ketika materi pelajaran sains (IPA) tidak selaras dengan latar belakang budaya yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan guru dalam menyepadamkan antara dunia siswa dan budayanya dengan dunia sekolah dan kelas merupakan komponen penting dalam penanganan keanekaragaman budaya (Arends, 2009). Mengacu pada kedua hal tersebut, maka seorang guru sebagai pelaksana pengajaran yang dinamis mutlak memiliki pengetahuan nilai-nilai kearifan local atau budaya setempat (teacher’s culture knowledge) dan kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai budaya setempat ke dalam pembelajaran, khususnya guru IPA. Dengan demikian, guru IPA mampu menyelaraskan antara kemampuan pedagogic (pengajaran) dan penguasaan konten dengan tingkat kemampuan siswa dalam mengikuti proses belajar IPA di kelas sehingga tercipta suatu proses belajar bermakna. Urgensi pembelajaran IPA yang berakar pada nilai-nilai budaya setempat harusnya menjadi wacana serius dalam kalangan masyarakat, utamanya dalam dunia pendidikan masyarakat Sulawesi Selatan yang penduduknya didominasi oleh kelompok budaya Bugis dan Makassar. Ada banyak nilai-nilai budaya yang dapat digali dari kelompok budaya masyarakat Bugis-Makassar, diantaranya adalah nilai budaya Siri’ dan Pesse (Bugis)/pacce (Makassar). Namun, arus mobilitas teknologi dan gaya hidup modern dunia kebarat-baratan yang berubah sedemikian drastis memberikan pengaruh buruk terhadap prilaku masyarakat termasuk peserta didik kita. Oleh sebab itu, perlu upaya melestarikan nilai-nilai budaya siri’ dan pesse tersebut agar identitas sebagai masyarakat berbudaya tidak luntur. 3.2. Nilai Budaya Siri’ Dan Pesse/Pacce Di Kalangan Masyarakat Bugis-Makassar Masyarakat Bugis-Makassar merupakan kelompok budaya (suku) paling banyak mendiami provinsi Sulawesi Selatan dibandingkan kelompok budaya lainnya, misalnya Tator (Tanah Toraja) dan Mandar. Menurut catatan sejarah, dahulu suku-suku di Sulawesi Selatan dengan cara dan sistemnya sendiri membangun kerajaan-kerajaan. Misalnya, kerajaan Goa dan Tallo yang dimiliki masyarakat suku Makassar. Demikian halnya dengan masyarakat suku Mandar memiliki kerajaan Mandar yang terkenal dengan sebutan Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan di Muara Sungai Mandar). Selain itu, juga terdapat kerajaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Bugis yang terbagi dalam beberapa kerajaan seperti Luwu (di dalamnya tergabung Tana Toraja), Bone, Wajo, Soppeng, Sawitto, Suppa, Alitta, dan lain-lain (Abbas, 2014). Dalam perjalanannya, sejarah mencatat bahwa masyarakat Bugis dan Makassar memiliki peninggalan yang sangat berharga berupa sastra baik dalam bentuk bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dalam tulisannya tersebut, beliau menjelaskan bahwa khusus bahasa Bugis yang digunakan dalam berbagai naskah lontaraq, dapat diklasifikasikan dalam empat macam, yaitu: 1) bahasa Bissu atau biasa disebut sebagai bahasa to ri langiq (bahasa orang di langit) atau bahasa yang digunakan oleh rohaniawan dalam lingkup kerajaan; 2) bahasa La Galigo, bahasa sastra yang digunakan dalam naskah-naskah La Galigo; 3) bahasa Lontaraq, bahasa yang digunakan dalam berbagai naskah lontaraq; dan 4) bahasa umum, merupakan bahasa Bugis yang dipakai masyarakat Bugis secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Peninggalan sastra berupa bahasa tulis tertuang dalam bentuk naskah Lontara’ yang selanjutnya dikenal sebagai karya sastra terbesar di dunia termuat dalam Sure’ Galigo dengan jumlah eksemplar kurang lebih 9000 halaman folio. Sure’ Galigo ini memuat silsilah keluarga bangsawan, daerah, kerajaan, catatan harian, dan ade’ (adat). Selain itu, bentuk lain peninggalan sastra tulisan Lontara’ dapat dijumpai pada Buku La Toa, artinya Yang Tua. Arti sebenarnya adalah petuah-petuah (paseng). Buku ini berisi sekitar seribu jenis petuah-petuah. Dari sejumlah petuah tersebut, ada 5 (lima) perkara atau pesan penting termuat di dalamnya yang diperuntukkan bagi generasi pada saat itu sampai sekarang. Kelima pesan penting itu di antaranya: 1) Ada togeng, yaitu manusia harus senantiasa berkata yang benar; 2) Lempu’, artinya harus senantiasa menjaga kejujuran; 3) Getteng, yaitu berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian; 4) Sipakatau, artinya saling hormat menghormati sesame manusia; dan 5) Mappesona ri dewata seuwae, yaitu pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa. Kelima pesan ini merupakan elemen pembentuk prinsip Siri’ dan Pesse (Bugis)/Pacce (Makassar) dalam tatanan adat masyarakat Bugis-Makassar yang selanjutnya dijadikan sebagai falsafah hidup (Pamelleri, 2006). Bahkan ditegaskan dalam tulisan Mattulada (1977) bahwa masyarakat BugisMakassar memegang teguh prinsip hidup “Siri’ na Pacce” (Makassar)/pesse (Bugis). Istilah siri’ dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menjatuhkan harkat dan martabat mereka, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesame anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Ungkapan Siri’ secara universal dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek, yaitu aspek harfiah dan aspek makna sejati. Ditinjau dari aspek harfiahnya, siri’ dapat diartikan sebagai rasa malu, sedangkan jika ditinjau dari sisi makna sejatinya dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan, juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi (Moein, 1990). Meskipun pada dasarnya dalam kehidupan empiris, kita akan menjumpai sejumlah makna dari ungkapan siri’ yang diberikan oleh masyarakat setempat bergantung ruang dan waktu, serta bergantung pada bagaimana tingkat perkembangan makna, nilai, dan struktur social yang mendukung. Sebagai contoh, istilah siri’ ini oleh Ahmad (1997) mengklasifikasikan siri’ ke dalam beberapa level ditinjau dari kecenderungan seseorang melakukan tindak pidana yang kemudian diistilahkan sebagai teori perilaku siri’ yang selanjutnya direpresentasikan dalam bentuk stratifikasi piramida tertutup sebagai berikut: + + - Gambar 1. Tingkatan Perilaku Siri’ Pada gambar 1 tampak bahwa terdapat 4 (empat) bagian/tingkatan yang berhubungan dengan perilaku memandang siri’ sebagai suatu alat pengontrol diri dalam masyarakat. Pada bagian paling bawah, yaitu daerah tanpa symbol diperuntukkan bagi orang yang tidak memiliki siri’ sama sekali (tidak punya malu). Orang semacam ini cenderung melakukan kejahatan, tidak ada tendensi lain kecuali kejahatan semata. Pada level setingkat di atasnya, yaitu daerah dengan symbol negatif (-) yang menunjukkan bahwa seseorang yang memandang siri’ cenderung pada negatif (-), artinya tindak pidana yang dilakukan karena diyakini atas dasar siri’ negatif (-). Selanjutnya, pada level ke tiga dari bawah, terdapat 2 (dua) symbol, yaitu negatif (-) dan positif (+). Pada wilayah ini menunjukkan bahwa perilaku seseorang sedang mengalami transisi antara perilaku baik dan buruk selalu dalam pertimbangan. Tindakannya cenderung pada 2 kemungkinan positif atau negatif. Sedangkan pada level teratas, yaitu terdapat symbol positif (+) saja. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memandang siri’ positif sebagai harkat dan martabat milik semua orang, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat sehingga dipastikan tidak akan melakukan tindak pidana. Di sisi lain, Mattula, et al. (2003) mencoba memaknai ungkapan siri’ dalam berbagai masalah esensial dengan ukuran nilai yang diperkirakan sebagai berikut: 1) siri’ sebagai harga diri (dignity), bahwa setiap manusia perlu diakui dan diperlakukan sama terhadap sesamanya yaitu dihormati dan dihargai; dan 2) siri’ sebagai keteguhan hati, artinya bahwa seseorang yang mampu menentukan sikap sesuai dengan kebenaran dari ketepatan hati nuraninya yang benar (to tinggi siri’na). Selanjutnnya, ungkapan siri’ ini kembali dipertegas oleh Akib (2014) bahwa konsep siri’ dalam batasan umum yang telah menjadi kesepakatan oleh para ahli dalam seminar siri’ yang dilaksanakan di Makassar pada tahun 1977 dibedakan atas beberapa hal yaitu: 1) Siri’ dalam sistem budaya merupakan pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum serta agama, merupakan salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia; 2) Siri’ dalam sistem social, adalah mendinamisasikan keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan kekerabatan; dan 3) Siri’ dalam sistem kepribadian, merupakan sebagai perwujudan konkret di dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia. Adapun menurut pakar budaya yang juga merupakan mantan Rektor Universitas 45 Makassar, Abidin (1999) membagi istilah siri’ menjadi 2 (dua) bentuk yaitu siri’ yang berasal dari pribadi yang merasakannya/bukan kehendaknya (penyebabnya dari luar), jadi siri’ ripakasiri’ dan siri’ yang berasal dari pribadi itu sendiri (penyebabnya di dalam ) disebut siri’ masiri’. Siri’ ripakasiri’ adalah suatu keadaan dimana seseorang diperlakukan tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan atau dipermalukan di depan umum. Sedangkan siri’ masiri’ merupakan kondisi dimana seseorang merasa malu jika tidak mampu mempertahankan, dan atau meningkatkan prestasi kualitas diri. Pada bagian konsep siri’ masiri’ ini, di kalangan masyarakat Bugis-Makassar menjadikannya sebagai prinsip utama untuk memajukan kehidupan mereka. Mereka berusaha keras sekuat tenaga untuk bisa mencapai tujuan hidup yang menjadi cita-citanya. Begitu sakralnya ungkapan siri’ ini, sehingga apabila seseorang kehilangan siri’nya atau de’ gaga siri’na, maka eksistensi diri sebagai manusia sudah tidak ada artinya lagi. Bahkan hal ini digambarkan dalam sebuah petuah di kalangan masyarakat Bugis-Makassar yaitu siri’mi narituo (karena malu kita hidup). Nilai budaya Bugis-Makassar yang erat hubungannya dengan siri’ adalah pesse (dalam bahasa Bugis) atau pacce (bahasa Makassar). Kata pesse/pacce secara harfiah dapat berarti pedih, atau dimaknai sebagai rasa solidaritas tinggi yang dimiliki masyarakat Bugis-Makassar dalam berbagai hal, baik suka maupun duka. Lebih luas lagi, ungkapan pesse/pacce ini menunjukkan rasa simpati yang mendalam, atau perasaan empati terhadap sesama anggota kelompok komunitas masyarakat. Ungkapan pesse yang terdapat dalam lontara’ masyarakat Bugis-Makassar yang dikemukakan oleh Pelras (2006) bahwa jika anda kehilangan harga diri atau kehormatan (siri’), maka pertahankanlah rasa kemanusiaan yang anda miliki dengan menegakkan kesetiakawanan dan menunjukkan loyalitas yang ada dalam dirimu. Ungkapan ini sering disemboyangkan oleh masyarakat Makassar dengan istilah punna tena siri’nu paniaki paccenu. Tampak bahwa masyarakat Bugis-Makassar pada umumnya senantiasa mendahulukan kepentingan bersama (semangat gotong royong) daripada kepentingan pribadi. Sejalan dengan penjelasan tersebut, Cangara (2012) mengungkapkan bahwa jika siri’ digunakan sebagai ungkapan rasa malu dan harga diri yang menjurus kepada keakuan seseorang sebagai manusia yang bermartabat, maka nilai pesse lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak seseorang yang harus dihargai agar tidak merasa ripakasiri’ (dipermalukan). Artinya pesse menjadi pengatur tingkah laku dengan menjadikan diri sebagai acuan untuk pantas atau tidaknya suatu perbuatan diterima oleh orang lain. Nampaknya nilai pesse/pacce secara aksiologinya dapat menjadi sebuah alat penggalang persatuan, kebersamaan, bahkan dapat menjadi sebuah motivasi untuk berusaha keras dalam mencapai tujuan atau cita-cita bersama sekalipun dalam kondisi memprihatinkan. Bahkan lebih dari itu, dengan memegang teguh nilai pesse dapat membuat seseorang menjunjung tinggi sifat berkeprimanusiaan. Berdasarkan tinjauan kedudukan kedua nilai budaya tersebut, siri’ dan pesse adalah suatu falsafah hidup yang saling bertalian dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Bahkan kedua nilai budaya siri’ dan pesse ini dijadikan sebagai alat motivasi dan landasan meraih prestasi melalui kerja keras yang tidak kenal lelah dan ketakbosanan. 3.3. Keterkaitan antara Nilai Budaya Siri’ dan Pesse/Pacce dengan Pembelajaran IPA yang Hans-On dan Minds-On serta Pengintegrasiannya. Hakikat pembelajaran IPA tidak terlepas dari hakikat sains itu sendiri. Chiappetta & Kobala (2010) menyatakan bahwa sains pada hakikatnya merupakan kumpulan pengetahuan (a body of knowledge), cara atau jalan berfikir (a way of thinking), and cara untuk menyelidiki (a way of investigation). Mengacu pada hakikat ini, pembelajaran sains (IPA) harus didesain sedemikian mungkin sehingga siswa terlibat dalam proses berfikir, bekerja, dan berbicara melalui minds-on dan hands-on. Kegiatan berfikir dan berbicara dilakukan melalui minds-on sedangkan kegiatan bekerja dilakukan melalui hands-on atau dengan kata lain hands-on berkaitan dengan proses memverifikasi konsep, prinsip, hukum, dan teori. Dengan demikian, belajar bermakna dalam pembelajaran IPA dapat tercapai. Belajar bermakna menurut Ausubel (dalam Dahar, 2002:95) adalah suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (peserta didik). Menciptakan proses belajar mengajar yang bermakna, kondusif, dan inovatif di kelas seharusnya senantiasa perlu diupayakan oleh seorang guru sebagai pendidik yang professional. Berbagai macam cara yang dapat ditempuh dalam menciptakan suasana belajar yang kondusif dan bermakna. Hal ini ditegaskan oleh Rustaman (2012) bahwa guru sains dan penerbit buku teks seyogyanya me”match”kan cara-cara sehari-hari dengan cara-cara ilmiah untuk memahami suatu fenomena dalam merancang dan memilih materi pembelajaran, merancang unit-unit kurikulum dan memilih strategi pembelajaran. Yang dimaksud dengan cara-cara seharihari dan cara-cara ilmiah dalam hal ini adalah mendesain pembelajaran sains (IPA) dengan menyelaraskan atau mengaitkan antara dunia siswa dan budayanya dengan dunia sekolah dan kelas. Hal ini dipertegas oleh Stanley dan Brickhouse (dalam Suardana et al., 2013) yang menyarankan agar pembelajaran sains di sekolah menyelaraskan antara sains Barat (sains modern) dengan sains tradisional (budaya setempat). Untuk dapat melaksanakan hal tersebut, Prasetyo (2013) mengungkapkan dalam sudut pandang kearifan local budaya setempat, salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya setempat dalam interaksi pembelajaran di kelas. Berdasarkan pemaparan sebelumnya terkait nilai-nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bugis-Makassar sejak dulu hingga sekarang yaitu nilai budaya siri’ dan pesse/pacce. Selanjutnya, guru selaku pendidik beserta para pemerhati pendidikan, secara aksiologi, harapannya mampu menerapkan nilai budaya siri’ dan pesse ini ke dalam pembelajaran IPA melalui pengintegrasian. Proses pengintegrasian ini dapat dilakukan apabila kita mampu melihat keselarasan antara hakikat pembelajaran sains (IPA) itu sendiri dan kebermaknaan dari pada nilai budaya siri’ dan pesse/pacce bagi peserta didik kita yang berlatarbelakang sebagai masyarakat Bugis-Makassar. Konsep siri’ masiri’ merupakan kondisi dimana seseorang merasa malu jika tidak mampu mempertahankan, dan atau meningkatkan prestasi kualitas diri. Sehubungan dengan proses belajar IPA, maka konsep siri’ masiri’ ini berfungsi sebagai daya pendorong yang kuat dalam berprestasi atau berfungsi sebagai motivasi untuk belajar. Dengan kata lain, melalui konsep siri’ siswa terdorong untuk selalu berusaha dan bekerja keras meningkatkan prestasinya. Oleh karena itu, guru diharapkan senantiasa mendorong dan memotivasi peserta didik dengan memberikan penghargaan terhadap hasil pemikiran dan pandangan siswa. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan memberikan contoh gambaran keberhasilan para tokoh daerah setempat yang gigih berusaha sampai berhasil mencapai kesuksesan, misalnya tokoh Amanna Gappa, seorang pemikir yang muncul pada abad XVII dengan hasil karyanya sangat terkenal adalah peraturan/hokum pelayaran dan perdagangan Ade’ Allopiloping ri Bicaranna PabbaluE (Moein, dalam Abbas, 2014). Manusia sebagai makhluk berkebutuhan senantiasa termotivasi melakukan sesuatu karena adanya pemenuhan kebutuhan. Maslow (dalam Akib, 2014), berdasarkan teorinya terkait teori kebutuhan, mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia pada dasarnya dibedakan atas kebutuhan dasar dan kebutuhan tumbuh. Lebih lanjut, menurut Maslow bahwa kebutuhan dasar diklasifikasikan atas kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman dan perlindungan, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Sehubungan dengan teori tentang kebutuhan menurut Maslow, maka konsep siri’ masiri’ yang dijadikan sebagai motivasi untuk bekerja dan berprestasi merupakan bagian dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan harga diri (siri’). Konsep siri’ berikutnya yaitu siri’ ripakasiri’ artinya malu karena dipermalukan di depan umum. Kondisi semacam ini jangan sampai dibangkitkan oleh guru ataupun sesama siswa. Sebab, siswa yang merasa dirinya ripakasiri’ (dipermalukan) maka akan berdampak buruk bagi perkembangan berfikir (kognitif), dan karakter (afektif) siswa. Lebih lanjut, bahwa kemampuan berpikir (minds-on) peserta didik yang berkualitas dan komprehensif hanya dapat dicapai jika peserta didik dibiasakan atau dilatih untuk berfikir (habits of mind), yang mana hal ini dapat diupayakan melalui proses pembelajaran dengan suasana yang nyaman, kondusif dan menyenangkan. Sebab, seseorang atau peserta didik hanya dapat memaksimalkan fungsi otaknya untuk berfikir dan berbicara (misalnya mengutarakan pendapatnya) apabila mereka berada dalam suasana nyaman. Artinya, keberadaan mereka merasa dihargai sebagai sosok manusia seutuhnya. Marpaung (Akib, 2014) mengungkapkan bahwa bila perasaan seseorang terganggu, misalnya tersinggung karena ditegur kasar atau takut karena dimarahi atau diancam maka proses mentalnya akan terganggu. Lebih lanjut diungkapkan oleh Marpaung bahwa ketika semua indera bekerja dengan baik dan perasaan senang maka otak dapat berfungsi secara maksimal sehingga proses mental dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, guru selayaknya senantiasa menjaga harga diri peserta didik sebagai manusia seutuhnya. SIRI’ MERUPAKAN KEBUTUHAN DASAR BAGI MANUSIA BUGIS-MAKASSAR Perwujudan konsep Siri’ adalah mempertahankan harga diri Gambar 2. Konsep Siri’ sebagai Kebutuhan Dasar Menurut Teori Maslow Konsep yang berkaitan dengan siri’ adalah konsep pesse/pacce. Konsep pacce menggambarkan manusia Bugis-Makassar semangat kerja sama saling tolong menolong yang tinggi dalam menyelesaikan permasalahan. Konsep ini dapat kita tanamkan ke dalam pembelajaran sains dengan memandang bahwa salah satu karakteristik pembelajaran sains adalah pembelajaran berkelompok, bekerja sama antar siswa, dan saling membantu. Artinya, selama proses pembelajaran IPA, terjadi proses interaksi social antara guru dengan siswa serta antar siswa. Hal ini tidak terlepas dari hakikat pembelajaran sains yang hands-on (bekerja), yang mana untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam proses verifikasi suatu konsep, prinsip, hukum, ataupun teori, yang dilakukan melalui pengujian dan validasi (eksperimen), pada umumnya dilakukan secara berkelompok atau dengan kata lain dilakukan lebih dari seorang. Sehingga data yang diperoleh menjadi lebih akurat dan valid. Oleh karena itu, konsep pesse/pacce memiliki peranan penting yang perlu ditanamkan kepada peserta didik. Pentingnya pembelajaran dalam bentuk kelompok dan bekerja sama adalah untuk membentuk kemampuan social dan argumentasi (komunikasi) siswa, meningkatkan kemampuan rasa solidaritas, saling membantu, dan saling menghormati melalui interaksi baik antara guru terhadap siswa maupun antar siswa itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, Vygostky (dalam Akib, 2014) mengungkapkan bahwa siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu sehingga dapat mempertinggi perkembangan kognitif siswa. Dalam hal ini, konsep pesse/pacce merupakan perwujudan rasa kasih saying untuk bekerja sama dan saling membantu mengatasi masalah. Berdasarkan uraian terkait konsep siri’ dan pesse/pacce serta kedudukannya dalam pembelajaran IPA, maka upaya yang perlu diperhatikan oleh guru dalam menciptakan suasan pembelajaran IPA yang kondusif dengan menanamkan nilai-nilai budaya masyarakat BugisMakassar ke dalam pembelajaran perlu senantiasa dipertimbangkan dan diperhatikan. Berikut sejumlah upaya yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam kegiatan belajar mengajar IPA yang hans-on dan mins-on. a. Menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi siswa sehingga siri’ ri pakasiri’ tidak muncul dalam diri siswa b. Siri’ masiri’ dalam diri siswa sebagai upaya membangkitkan motivasi siswa untuk berprestasi c. Wujudkan konsep pesse/pacce dalam bentuk kerja kelompok. Dalam kerja kelompok siswa diarahkan untuk saling membantu dan saling merasakan pentingnya kehadiran anggota serta kerja sama saling menguntungkan d. Wujudkan rasa kasih sayang pada siswa melalui pemberian bantuan kepada siswa yang membutuhkan, baik secara individu maupun kelompok e. Memberikan bentuk penghargaan kepada siswa yang telah berhasil dan memberikan motivasi kepada siswa yang belum berhasil f. Melakukan penilaian terhadap semua aktivitas siswa baik secara individu maupun berkelompok. 4. Penutup Pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai budaya setempat ke dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran IPA adalah salah satu upaya di dalam melestarikan budaya setempat dan juga merupakan upaya dalam membangun suatu pembelajaran yang berbasis kearifan local. Hal ini bertujuan dalam rangka mempertahankan karakter generasi manusia Indonesia yang berbudaya, sopan santun, ramah tamah, dan berbudi pekerti yang nampaknya mulai memudar. 5. Daftar Pustaka Abbas, I. (2014). Etnopedagogik Etnik Bugis Makasar; Studi Penelusuran Nilai-Nilai Pedagogik pada Naskah Lontaraq sebagai Pengembangan Bahan Ajar Pendidikan IPS di Sekolah. Disertasi Doktor Sekolah Pascasarjana Program Pendidikan IPS Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak dipublikasikan. Abidin, A.Z. (1999). Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. Akib, I. (2014). “Adopsi konsep budaya Bugis Makassar dalam pembelajaran Matematika”. Makalah Prosiding. [Online]. Tersedia: http://prosiding.unesa.ac.id/download/konaspiunesa-v/95.pdf. [2 Oktober 2014]. Alwasilah, A. C., et.al. (2009). Etnopedagogi: Landasan Praktik Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat Buku Utama. Cangara, S. (2012). “Identifikasi dan Pengembangan Nilai-Nilai Moral Sosial Lokal Untuk Pencegahan serta Resolusi Konflik Sosial Masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan”. Makalah hasil penelitian “Hibah Unggulan Perguruan Tinggi”. [Online]. Tersedia: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4143/ARTIKEL%20UNTUK% 20APSSI.pdf?sequence=1. [3 Januari 2015]. Chiappetta, E.L., et.al. (2010). Science Instruction in the Middle and Secondary Schools: Developing Fundamental Knowledge and Skill. 7 th Edition. Boston, USA: Allyn & Bacon. Mattulada, Hamid, A., et.al. (2007). Siri’ & Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis Makassar Mandar Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi. Moein, Andi MG. (1990). Menggali Nilai-nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce. Makassar: Yayasan Mapress. Pammeleri, A. (2006). Riwayat Kabupaten Bone. Makassar Pelras, C. (2006). Manusia Bugis; terjemahan Abdul Rahman Abu, dan Hasriadi. Jakarta: Nalar. Poespowardojo, S. (1986). “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi.” Dalam Ayatrohaedi. Kepribadian Buadaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Rustaman, N.Y. (2010). “Pendidikan dan Penelitian Sains dalam Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi untuk Pembangunan Karakter”. Nuryani Rustaman’s File. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak dipublikasikan. Suardana, I.N., Sastrawidana, D.K., et.al (2013). “Pelatihan Penyusunan Perangkat Pembelajaran Sains Kimia Berbasis Budaya Bali Bagi Guru-guru IPA SMP di Kecamatan Sukasada.” Laporan akhir Program Pengabdian pada Masyarakat (P2M) Universitas Pendidikan Ganesha. [Online]. Tersedia: http://lemlit.undiksha.ac.id/media/1254.pdf. [12 November 2014].