Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri sebagai ultimum remedium Sampai

advertisement
Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri sebagai ultimum remedium
Sampai saat ini NLC tetap mengadakan diskusi 2 mingguan-nya.
Adapun salah satu hasil diskusi tersebut adalah bahasan yang berkaitan dengan adanya isue
hukum berkaitan dengan akan diberlakukan UU tentang pemidanaan pelaku kawin siri.
Dari hasil bahasan tersebut, sementara ini NLC memahami adanya pemberian sanksi pidanan
tersebut namun dengan kriteria sebagai ultimum remedium, yang secara garis besarnya dapat
dikemukakan sebagai berikut :
Negara yang diwakili Menteri Agama RI akan mempidana terhadap pelaku nikah siri melalui
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan
Berdasarkan ketentuan hukum Islam bahwa suatu pernikahan dapat dianggap sah apabila
dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya. dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
merupakan hasil dari kesepakatan para ulama Indonesia, yaitu yang meliputi calon suami,
calon Istri, wali nikah, dua orang saksi, Ijab dan qabul .
Yang dimaksud dengan nikah siri adalah sebuah pernikahan yang tidak dilakukan pencatatan
dan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah . Jadi sebuah pernikahan itu dapat disebut
sebagai nikah siri jika tidak ada pencatatan secara administratif negara .
Dengan demikian, konsep nikah siri dalam konsep Hukum Pernikahan Islam dengan konsep
Hukum Perkawinan Indonesia (dalam UU Perkawinan dan KHI) adalah berbeda.
Dalam Pasal 151 RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan disebutkan
bahwa tindak pidana dalam nikah siri itu merupakan tindak pidana pelanggaran, bukan tindak
pidana kejahatan .
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan ini diatur dalam Pasal 143, yaitu
:
Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat
Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1, dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama enam
bulan .
Pemberian sanksi pidana terhadap pelanggaran administratif dalam nikah siri itu haruslah
tidak dibuat secara general, akan tetapi harus dibedakan antara yang disebabkan karena
ketidakmampuan secara ekonomi atau karena mengandung unsur kelalaian (culpa) dan
kesengajaan (dolus) atau karena adanya unsur memalsukan identitas. Pembedaan itu
dimaksudkan untuk memberikan keadilan hukum (legal justice) dalam penjatuhan pidana
terhadap pelaku nikah siri atas dasar adanya sebab yang berbeda tersebut.
Dalam UU No. 22 Tahun 1946 itu ditentukan bahwa terhadap Nikah siri hanya dikenai sanksi
denda,
Pemberian sanksi denda terhadap nikah siri dalam UU No. 22 Tahun 1946 ini pada dasarnya
sudah sesuai berdasarkan pelanggaran administratif yang terdapat dalam nikah siri. Namun
demikian, untuk memperjelas dan mempertegas terhadap tujuan tercapainya hukum
administrasi bidang perkawinan di Indonesia, maka sanksi pidana dapat pula diberikan tetapi
hanya sebagai ultimum remedium. Hal inilah sebenarnya yang harus diatur dalam RUU
Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan.
Download