Kualitas pupuk organik cair dari kotoran sapi

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang dibuat dari bahan-bahan organik yang
didegradasi secara organik. Peranan bahan organik dalam memperbaiki kesuburan
tanah, yaitu: (1) melalui penambahan unsur-unsur hara N, P, dan K yang secara
lambat tersedia, (2) meningkatkan kapasitas tukar kation tanah sehingga kationkation hara yang penting tidak mudah mengalami pencucian
dan tersedia bagi
tanaman, (3) memperbaiki agregat tanah sehingga terbentuk struktur tanah yang lebih
baik untuk respirasi dan pertumbuhan akar, (4) meningkatkan kemampuan mengikat
air sehingga ketersediaan air bagi tanaman lebih terjamin, dan (5) meningkatkan
aktivitas mikroba tanah (Hardjowigeno, 1995). Komposisi hara dalam pupuk organik
sangat tergantung dari sumbernya. Menurut sumbernya, pupuk organik dapat
diidentifikasi berasal dari pertanian berupa sisa panen dan kotoran ternak, sedangkan
dari nonpertanian berupa sampah organik kota, limbah industri dan sebagainya.
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran
hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat
diperkaya dengan bahan mineral alami atau mikroba yang bermanfaat memperkaya
hara, bahan organik tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
(Permentan, 2009). Permentan (2011) menyatakan pupuk organik adalah pupuk yang
sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman
atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang
digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah.
Pupuk Organik Cair
Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair,
dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat
dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap,
pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan
setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi (Haga, 1999).
Unsur hara esensial dalam pupuk cair tersedia bagi tanaman, sebagian langsung
dapat diserap, sebagian lagi dengan cepat dapat diurai, sehingga cepat dapat diserap.
Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak beredar di
pasaran. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut
pupuk cair foliar yang mengandung unsur hara makro dan mikro esensial (N, P, K, S,
Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn dan bahan organik). Pupuk organik cair mempunyai
beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan
klorofil daun dan pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosae sehingga
meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara,
dapat miningkatkan figor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh dan kuat,
meningkatkan daya tahan tamanam terhadap kekeringan, cekaman cuaca dan
serangan patogen penyebab penyakit, merangsang pertumbuhan cabang produksi,
meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah, serta mengurangi gugurnya daun,
bunga dan bakal buah (Anomin, 2004).
Pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi atau dosis
yang diaplikasikan terhadap tanaman. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian pupuk organik cair melalui daun memberikan pertumbuhan dan hasil
tanaman yang lebih baik daripada pemberian melalui tanah (Hanolo, 1997). Semakin
tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima oleh
tanaman akan semakin tinggi, begitu pula dengan semakin seringnya frekuensi
aplikasi pupuk daun yang dilakukan pada tanaman, maka kandungan unsur hara juga
semakin tinggi. Namun, pemberian dengan dosis yang berlebihan justru akan
mengakibatkan timbulnya gejala kelayuan pada tanaman (Suwandi dan Nurtika,
1987). Oleh karena itu, perlu diketahui sampai batas tertentu kombinasi antara dosis
yang diberikan dengan frekuensi aplikasi pupuk yang dilakukan.
Karakteristik Kotoran Ternak
Menurut Merker (1981) karakteristik kotoran ternak perlu diketahui agar
memudahkan dalam pembuatan sistem penanganan kotoran ternak secara biologis.
Karakteristik ini menyangkut perihal sifat fisik, kimia dan biologi. Kotoran ternak
dipengaruhi oleh spesies, umur, komposisi makanan (Maramba, 1978;Markel, 1981)
dan berat badan (Maramba, 1978). Komposisi bahan organik dari beberapa jenis
ternak ditunjukkan pada Tabel 1.
5
Tabel 1. Komposisi Bahan Organik
Material
Nitrogen
(N)
Fosfor
(P2O5)
Kalium
(K2O)
C/N
rasio
-------------------%------------------Sapi (segar)
0,3
0,3
0,1
Sapi (kering)
2,0
1,5
2,0
Urin Sapi (segar)
0,6
-
0,5
Kambing/Domba (segar)
0,6
0,6
0,3
Kambing/Domba (kering)
2,0
1,5
3,0
Urin Kambing/Domba (segar)
2,0
-
2,3
Kuda (segar)
0,7
0,4
0,5
Babi (segar)
0,6
0,5
0,5
Babi (kering)
-
5,5
1,5
Urin Babi (segar)
0,4
-
0,8
Ayam Petelur (segar)
1,6
1,5
0,9
Ayam Petelur (kering)
5,0
3,0
1,5
Ayam Pedaging (kering)
4,0
2,0
1,2
20
-
-
11,4
5,6
Sumber: Inckel et al. (2005)
Kotoran (feses) adalah limbah utama atau paling banyak dihasilkam dari
peternakan sapi. Feses dan urin yang dihasilkan adalah sebesar 10% berat ternak.
Rataan jumlah kotoran sapi yaitu sebanyak 27 kg berat basah/ekor/hari. Kotoran
ternak sebagai bahan baku/pengisi “digester” untuk proses fermentasi anaerobik, C/N
yang baik adalah 30 sedang C/N pada sap i adalah 18 untuk ini perlu ditambahkan
bahan organik lain agar dihasilkan gas bio yang maksimal antara lain dengan limbah
pertanian atau hijauan. Kandungan bahan kering 18% ini mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme (bakteri) pada proses fermentasi anaerobik yang baik
adalah 7-9% bahan kering, untuk itu diperlukan pengenceran bahan dengan
menambah air pada bahan isian dengan perbandingan 1:1 (air:bahan isian) (Hadi,
1980). Jika diuraikan kotoran ternak terdiri dari bahan organic seperti yang terjadi
pada Gambar 1.
6
Kotoran Ternak
Anorganik
Cu,P,K,Zn,Mn,Ca,Co,Fe,H,O
Organik
Carbonaceous
Nitrogenous
Protein
Peptida
Sulfurous
Lemak
Karbohidrat
Glycerol
Pati
Asam amino
Serat kasar
Sulfida
Asam lemak
Alkohol
Asam-asam volatil
N
NH
Selolose lignin
H2S
H2O, CO2, CH4
4
Gambar 1. Karakteristik Kotoran Ternak (Maramba, 1978; Merkel, 1981).
Proses Pengomposan Anaerobik
Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur
kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara). Proses
tersebut merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi suhu, seperti yang
terjadi pada proses pengomposan anaerobik. Proses pengomposan secara anaerobik
akan menghasilkan metana (alkohol), CO2, dan senyawa lain seperti asam organik
yang memiliki berat molekul rendah (asam asetat, asam propionat, asam butirat dan
asam laktat) (Metcalf and Eddy, 2003).
Dekomposisi anaerobik merupakan proses dekomposisi bahan organik tanpa
O2 bebas dengan hasil utamanya adalah mentana (CH4), karbondioksida (CO2) dan
sebagian kecil hidrogen sulfida (H2S) dan hydrogen (H2). Mekanisme dekomposisi
bahan organik secara anaerobik ini terdiri dari tiga tahapan penting dan masingmasing tahapan didominasi oleh jenis bakteri pengurai yang berbeda diantaranya:
7
a. Proses Hidrolisis
Pemecahan polimer menjadi bentuk yang lebih sederhana secara enzimatik
oleh enzim ekstraseluler (selulose, amilase, protease dan lipase) melalui
proses hidrolisis dan fermentasi. Mikroorganisme fakultatif yang berperan
dalam pemecahan substrat organik dengan memutuskan rantai panjang
karbohidrat kompleks, protein dan lipid menjadi senyawa rantai pendek agar
lebih mudah larut dan dapat dijadikan sebagai substrat bagi mikroorganisme
berikutnya. Proses hidrolisis membutuhkan mediasi exo-enzim yang
dieksresikan oleh bakteri fermentatif. Hidrolisis molekul komplek dikatalisasi
oleh enzim ekstra seluler seperti sellulosa, protease dan lipase. Walaupun
demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas
dalam penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin (Said, 2006).
b. Proses Asetogenesisi dan Dehidrogenasi
Produksi asam melalui proses asetogenesis dan dehidrogenasi. Bakteri yang
berperan merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang
pada keadaan asam, seperti Clostridium, Syntrobacter wolinii dan
Syntrophomonas wolfei (Sim, 2005). Bakteri tersebut menghasilkan asam
dengan senyawa rantai pendek hasil tahap hidrolisis menjadi asam-asam
organik (asam asetat, propionat, laktat, formiat, butirat atau suksinat), alkohol
dan keton (metanol, etanol, gliserol dan aseton), hidrogen (H2) dan karbon
dioksida.
c. Proses Metanogenesis
Pembentukan gas metana melalui proses metanogenesis. Bakteri ini meliputi
Methanococcus, methanosarcina, Methanobacillus dan Methanobacterium
yang merombak H2, CO2 dan asam asetat membentuk gas metana dan CO2
(Said, 2006).
Perombakan bahan organik oleh berbagai bakteri heterotrof (bahan organik
sebagai sumber energi) dengan menggunakan oksigen sebagai penangkap elektron
menghasilkan CO2, H2O, NH4 dan energi yang besar (∆GO = -688 kcal mol-1).
Setelah oksigen habis digunakan, populasi
mikroba aerob menurun drastis dan
digantikan oleh mikroba anaerob fakultatif dan obligat. Dalam kondisi ini proses
metabolisme berbagai senyawa berlangsung secara anaerobik. Bahan organik
8
dirombak secara parsial oleh mikroba yang jalur lintasannya lebih kurang sama
seperti pada kondisi aerobik sampai terbentuknya asam piruvat. Fermentasi asam
piruvat oleh bakteri kemoautotrof anaerob mengasilkan berbagai senyawa organik
kaya energi yang selanjutnya dirubah menjadi asam-asam organik, alkohol, CO2,
H2, amonia, dan energi yang jauh lebih rendah (∆G = -23 sampai - 88 kcal mol-1).
Metabolisme bahan organik oleh mikroba anearob mengalir untuk mereduksi
berbagai senyawa mineral dan organik (Madigan et al., 2002).
Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan Anaerobik
Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)
Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam
pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk
menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan nitrogen yang berperan
dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001). Kisaran rasio
C/N yang ideal adalah 20-40, dan rasio yang terbaik adalah 30 (Center for policy and
Implementation Study, 1992). Rasio C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses
berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya jika rasio C/N
terlalu rendah akan menyebabkan terbentuk amoniak, sehingga nitrogen akan hilang
ke udara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
Derajat Keasaman (pH)
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat
dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for
Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah
6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi
bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat dari sifatsifat basa bahan organik yang difermentasikan.
Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan
Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada
permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan ke bahan yang akan
dikomposkan bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriani, 1999).
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan
berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang
9
terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan
termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu
antara 45-65oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45oC, maka proses
pengomposan dibantu oleh mesofilik diatas suhu tersebut (45-65oC) mikroorganisme
yang berperan adalah termofilik (Gaur, 1983 dan Center for Policy and
Implementation Study, 1992). Center for Policy and Implementation Study (1992)
menyatakan mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil
ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. Menurut
Gaur (1983), bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi
untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat
terdegradasi dengan cepat.
Mikroba Perombak Bahan Organik
Mikroorganisme perombak bahan organik (biodekomposer) dalam pengertian
secara umum adalah mikroorganisme pengurai serat, lignin dan senyawa organik
yang mengandung nitrogen dan karbon dari bahan organik (sisa-sisa organik dari
jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati). Mikroba perombak bahan organik
terdiri atas Trichoderma reesi, T. harzianum, T. koningii, Phanerochaeta
crysosposium, Cellulomonas, Pseidomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A.
terreus, Penicillium dan Streptomyces. Cendawan perombak bahan organik
umumnya mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam
mengurai sisa-sisa tanaman (hemiselulosa, selulosa dan lignin). Umumnya mikroba
yang mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemisolulosa
(Alexander, 1977). Menurut Eriksson et al. (1989), kelompok cendawan
menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling nyata, yang dapat segera menjadikan
bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana yang berfungsi
sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan nutrien disekitar
tanaman.
Mikroorganisme perombak bahan organik di dalam ekosistemnya memegang
peranan penting, karena sisa organik yang telah mati terurai menjadi unsur-unsur
yang dikembalikan kedalam tanah dalam bentuk hara mineral N, P, K, Ca, Mg dan
atau dalam bentuk gas yang dilepas ke atmosfer berupa metana (CH4) atau
karbondioksida (CO2).
10
Pemanfaatan mikroorganisme perombak bahan organik yang sesuai dengan
substrat bahan organik dan kondisi tanah merupakan alternatif yang efektif untuk
mempercepat terjadinya dekomposisi bahan organik dan sekaligus sebagai
suplementasi terhadap pemupukan. Penggunaan mikroba perombak bahan organik
untuk mempercepat dekomposisi sisa tanaman pada lahan pertanian merupakan salah
satu strategi dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas tanah untuk
menghindari imobilisasi hara dan pengaruh alelopati (Husen et al., 2007).
Enzim yang terlibat dalam perombakan bahan organik yaitu - glukosidase,
lignin peroksidas (LiP), manganese peroksidase (MnP), dan lakase, selain kelompok
enzim reduktase yang merupakan penggabungan dari LiP dan MnP yaitu enzim
versatile peroksidase. Enzim-enzim ini dihasilkan oleh Pleurotus eryngii, postreatus
dan Bjekandera adusta (Lankinen, 2004). Selain mengurai bahan berkayu, sebagian
besar cendawan menghasilkan zat yang besifat racun sehingga dapat dipakai untuk
menghambat pertumbuhan dan perkembangan organisme pengganggu, seperti
beberapa strain T. harzianum yang merupakan salah satu anggota dari Ascomycetes.
Apabila kebutuhan C tidak tercukupi, cendawan tersebut akan menghasilkan racun
yang dapat menggagalkan penetasan telur nematoda Meloidogyn javanica (penyebab
bengkak akar) sedangkan bila kebutuhan C tercukupi akan bersifat parasit pada telur
atau larva nematoda tersebut. Cendawan Zygomycetes (Mucorales) sebagian besar
berperan sebagai pengurai amilum, protein dan lemak, dan hanya sebagian kecil yang
mampu mengurai selulosa dan khitin (Husen et al., 2007).
Aktivator
Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan
organik (Gaur, 1983). Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua
cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif
dalam menghancurkan bahan organik (pada aktivator organik), kedua yaitu
meningkatkan kadar N yang merupkan makanan tambahan bagi mikroorganisme
tersebut. Aktivitas mikroorganisme meningkat jika jumlah N mencukupi sehingga
proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat dan efektif. Nitrogen
dalam senyawa NH-3 jumlahnya semakin rendah karena digunakan oleh
mikroorganisme perombak untuk sintesa protein dalam mempercepat aktivitasnya.
Hal ini menunjukkan proses dekomposisi berlangsung normal. Kecepatan
11
dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan rasio C/N kompos. Selama
mineralisasi, rasio C/N bahan-bahan yang mengandung sedikit N akan berkurang dan
pada suatu saat kecepatan kehilangan C dan N berbanding lurus sehingga diperoleh
rasio C/N yang tetap, hal ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi sudah
mencapai tingkat akhir (Alexander, 1977).
EM4 (Effective Microorganisms4)
Sekitar tahun 1980, Prof Dr. Teruo Higa dari Jepang mengembangkan
teknologi Mikroorganisme Efektif (ME) sebagai alternatif dalam mewujudkan
konsep pertanian alami. Mikroorganisme efektif adalah suatu larutan yang terdiri dari
kultur pertanian alami dan merupakan kultur campuran berbagai mikroba yang
bermanfaat bagi tanaman dan berfungsi sebagai bio-inokulan. Setiap spesies mikroba
mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang bersifat saling menunjang dan
bekerja secara sinergis. Larutan ME di pasaran umum diperdagangkan dengan merk
EM4 dan effective Microorganisms4 (EM4) mengandung lima jenis mikroorganisme
utama yaitu Lactobacillus sp. (bakteri asam laktat) dalam jumlah besar, bakteri
fotosintesis, ragi, Actinomycetes dan jamur fermentasi, yang bekerja secara sinergis
untuk menyuburkan tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Higa dan
Wididana, 1994).
Mikroorganisme Lokal (MOL)
Larutan mikroorganisme lokal (MOL) adalah larutan hasil fermentasi yang
berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia disekitar kita. Larutan
mikroorganisme lokal (MOL) mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga
mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang
pertumbuhan dan sebagai agens pengendali hama dan penyakit tanaman. Peranan
mikroorganisme lokal (MOL) dalam kompos selain sebagai penyuplai nutrisi juga
berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh
tanaman secara optimal. Fungsi dari bioreaktor sangatlah kompleks, fungsi yang
telah teridentifikasi antara lain adalah penyuplai nutrisi melalui mekanisme eksudat,
kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, bahkan kontrol terhadap penyakit yang
dapat menyerang tanaman (Purwasasmita, 2009).
12
MOL Tapai
Tapai adalah sebuah makanan yang terbuat dari singkong yang difermentasi
dengan ragi tapai. Mikroba yang terdapat di dalam ragi adalah kapang, khamir dan
bakteri. Bakteri yang sering ditemukan di dalam ragi tape berasal dari genus
Pediococcus dan Basillus. Kapang yang berperan adalah Amylomyces, Mucor dan
Rhizopus sp. dan khamir yang berperan adalah Endomycopsis fibuliger,
Saccharomyces cerevisiae dan Hansenula sp. (Saono et al., 1982).
Mikroorganisme lokal (MOL) tapai dibuat dengan mencampurkan tapai
singkong dengan air dan gula. Campuran tersebut disimpan didalam botol dan
didiamkan sampai lima hari. Setelah lima hari, mikroorganisme lokal (MOL) sudah
dapat digunakan. 2,5 liter mol dapat digunakan untuk membuat 1 ton kompos
(Setiawan, 2010).
MOL Tempe
Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang populer di Indonesia, dibuat
dari kacang-kacangan yang diinokulasi dengan jamur Rhizopus oligosporus sehingga
membentuk padatan kompak berwarna putih. Warna putih disebabkan adanya
miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai.
Tekstur kompak juga disebabkan oleh jamur yang menghubungkan biji-biji
kedelai tersebut (Kuswanto, 1988). Banyak sekali jamur yang aktif selama
fermentasi, tetapi umumnya Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan.
Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu
merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana
sehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh.
13
Download