BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL) pernah menjadi dari bangsa Portugis (Portugal) selama 450 tahun dan Negara Republik Indonesia (RI) selama 24 tahun. Pada awalnya RDTL merupakan bagian dari RI, namun pada tahun 1999 RDTL memilih untuk berpisah melalui jajak pendapat dan disahkan melalui ketetapan MPR No.V/MPR/1999 tentang pencabutan ketetapan MPR No.IV/1978 yang berisikan tentang Integrasi Timor-Timur pada sidang MPR bulan Oktober 1999. RDTL resmi keluar dari Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 20 Mei 2002 dan merupakan negara baru dimana wilayahnya secara geografis bersebelahan dan juga berhadapan dengan Indonesia. Dengan demikian, kemerdekaan Timor Leste membuat perlu adanya penyusunan kesepakatan kembali batas yang pernah ada antara Indonesia dengan Timor Leste di bagian Timor Barat dan Timor Leste. Sebenarnya, pada tahun 1856, bangsa Portugis dan Belanda mengadakan perjanjian yaitu Traktat Timor atau yang lebih populer disebut Traktat Timor 1904 yang menjadi dasar penentuan perbatasan darat antara Timor Leste dan Indonesia hingga sekarang . Prescott dan Schofield (2005) dalam Arsana (2007) mengatakan bahwa, “Timor Leste sebagai Negara baru tentunya dihadapkan dengan sejumlah kewajiban dan tantangan internasional yang harus di penuhi salah satunya adalah penetapan dan penegasan batas maritim dengan negara tetangga. Penentuan batas maritim sangat penting untuk menjamin kejelasan dan kepastian yurisdiksi bagi negara-negara tetangga.” Menjadi negara yang berbatasan langsung di darat dan di laut, Republik Indonesia (RI) dan Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL) sampai saat ini terus melakukan perundingan batas wilayah. Perundingan dilakukan melalui suatu wadah kerjasama perbatasan atau Technical Sub Committee Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) yang dibentuk oleh Joint Border Committee (JBC) yang khusus membahas aspek teknis dari perbatasan RI-RDTL. Sebagai tindak lanjut dari 1 2 Provisional Agreement (PA) tahun 2005, menurut laman yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pihak Indonesia dan Timor-Leste sepakat untuk melaksanakan kegiatan survei demarkasi, delineasi, serta pemetaan batas bersama (Joint Border Mapping/JBM) di sepanjang wilayah batas RI-RDTL. Meskipun telah melakukan perundingan penentuan batas darat Negara, sampai saat ini belum ada kesepakatan penetapan batas maritim antara RI dan RDTL, hal ini disebabkan karena belum tuntasnya batas darat antara Indonesia dengan Timor Leste yang akan dijadikan sebagai titik awal penentuan batas maritim. Batas tersebut adalah empat titik akhir batas darat (Terminal Point) digaris pantai yang akan menjadi titik awal garis batas maritim. Tanpa disepakati keempat titik batas tersebut maka pembahasan tentang batas maritim tidak dapat dimulai, Arsana (2007). Deeley (2001:22) dalam Arsana (2007) menyatakan bahwa, “penetapan batas maritim antara Timor Leste dan Indonesia atau antara pemerintahan kolonial Portugis dan Belanda sebelumnya belum pernah di ada negosiasi sehingga tidak ada perjanjian atau traktat yang disepakati antara Portugis dan Belanda bahkan oleh Timor Leste dan Indonesia terkait batas maritim.” Terdapat tiga lokasi atau kawasan maritim antara Timor Leste dan Indonesia yang memiliki sumberdaya maritim dan terkait isu keamanan bagi Timor Leste yaitu Selat Wetar, Selat Ombai dan Laut Timor. Dengan demikian demi isu keamanan, akses dan pengelolaan sumberdaya dilaut serta menyeimbangkan antara hak dan kewaiban Negara pantai yang bersangkutan maka perlu dilakukan penetapan batas maritim. Sehingga dapat menjamin keamanan Negara pantai tersebut. Delimitasi batas maritim adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan Negara tetangganya dilaut (Arsana, 2007). Sebagai Negara baru Timor Leste juga berhak untuk menetapkan batas zona maritimnya demi untuk menegaskan kedaulatan, kekuasaan hukum dan legistimasi Negara tersebut. Delimitasi juga mengurangi zona pertampalan (tumpang tindih) klaim maritim yang potensial menimbulkan konflik antara Negara-negara bertetangga, dengan menghilangkan sumber-sumber friksi dan sengketa dalam hubungan Internasional (Schofield 2005a dalam Arsana 2007). Pada umumnya, perjanjian batas maritim antara negara ditetapkan dengan perundingan atau negosiasi bilateral. 3 Jika perundingan antar kedua negara tidak bisa menyelesaikan permasalahan batas maritim diantara keduanya, maka tahap selanjutnya bisa menggunakan pihak ketiga yang dipercaya untuk menyelesaikan permasalahan batas maritim. Pihak ketiga ini misalnya adalah Mahkamahh Internasional (Internasional Court of Justice-ICJ), dan International Tribunal on The Law of The Sea (ITLOS). Selain itu, bisa juga dilakukan dengan mediasi dan arbitrasi yaitu dengan melibatkan pihak ketiga yang dipercay oleh kedua Negara terlibat. Pihak ketiga ini bisa institusi, bisa juga perorangan Arsana (2013). Dalam melakukan delimitasi batas maritim, beberapa metode dan pendekatan berbeda telah diterapkan. Beberapa metode yang umum digunakan adalah metode garis ekuidistan (garis sama jarak), paralel dan meridian dan batas alami (natural boundaries) seperti kelanjutan alamiah dan thalweg, serta pendekatan dua tahap (two-stage approach). Diantara berbagai pendekatan yang diterapkan baik oleh pihak ketiga seperti Mahkamahh Internasional maupun state practice, ada kecenderungan Mahkamahh Internasional maupun International Tribunal on The Law of The Sea (ITLOS) dewasa ini menemukan metode baru untuk penyelesaian sengketa batas maritim dengan satu pendekatan baru yaitu Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach). Pendekatan Tiga Tahap (ThreeStage Approach) pertama kali diperkenalkan dalam penyelesaian kasus delimitasi batas maritim antara Negara Ukraina dan Romania pada tahun 2009 (ICJ 2009). Pendekatan Tiga Tahap yaitu pertama dengan pembuatan garis tengah sementara, kedua dengan memodifikasi garis tengah yang telah dibuat dengan memperhatikan faktor-faktor relevan yang ada, dan ketiga dengan uji disproporsionalitas. Kegiatan aplikatif ini akan menerapkan pendekatan tiga tahap (Three-Stage Approach) untuk menentukan batas maritim antara RDTL dan NKRI. Perangkat lunak yang digunakan untuk menentukan garis batas Zona maritim antara Timor Leste dan Indonesia adalah perangkat lunak CARIS LOTS (Law of The Sea). Perangkat lunak ini digunakan dalam kegiatan aplikatif ini karena dapat membuat garis batas maritim yang telah mengakuisisi pasal-pasal yang ada di dalam UNCLOS 1982. Penggunaan perangkat lunak CARIS LOTS bertujuan agar hasil yang didapat lebih baik dari perangkat lunak manual seperti ArcGIS yang tidak mengakuisisi dan sesuai dengan aturan UNCLOS 1982. 4 I.2. Cakupan Kegiatan Cakupan kegiatan aplikatif ini terbatas pada penentuan batas maritim antara Indonesia dengan Timor Leste secara kartometrik. Penentuan batas maritim yang dilakukan memiliki batasan, yaitu : 1. Daerah yang ditentukan batas maritimnya adalah laut antara Timor Leste dan Indonesia khususnya di Selat Wetar dan Selat Ombai. 2. Tidak dilakukan studi lapangan melainkan hanya dilakukan pengkajian pada peta laut dengan melakukan simulasi klaim batas maritim masing – masing negara diatas peta menggunakan perangkat lunak CARIS LOTS (Low of The Sea). 3. Prinsip penarikan batas dilihat pada kondisi garis pantai yang saling berhadapan (opposite). Peta dasar yang digunakan adalah peta Peta Laut British Admilarty Chart (BAC) nomor 3244 (Timor Leste to Sermata) skala 1:500.000. I.3. Tujuan Kegiatan Tujuan dari kegiatan aplikatif ini adalah: 1. Untuk menentukan batas maritim antara Indonesia dengan Timor Leste pada Selat Wetar dan Selat Ombai yang adil bagi kedua negara tersebut berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 serta TALOS 2006. 2. Menghasilkan peta Area ZEE dan Batas ZEE di wilayah NKRI dan RDTL khususnya di Sealat Wetar dan Selat Ombai. 3. Menghasilkan Peta Batas Laut territorial di wilayah NKRI dan RDTL khususnya di Selat Wetar dan Selat Ombai. 4. Menghitung Luas Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang bertampalan antara negara Indonesia dan Timor leste I.4. Manfaat Kegiatan Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah: 5 1. Dapat memberikan alternatif referensi bagi pemerintah Timor Leste dalam menentukan batas laut teritotialnya dengan Indonesia melalui perundingan bilateral. 2. Tercapainya pemahaman yang jelas bagi akademisis maupun pihak pemerintah tetang penerapan pendekatan tiga tahap dalam delimitasi batas maritim I.5. Landasan Teori I.5.1. Klaim atas Wilayah Maritim Setiap negara berhak untuk menetapkan batas–batas zona terluarnya yang diukur dari garis pangkal/baseline. Klaim maritim merupakan kewenangan dari suatu Negara pantai atau Negara kepulauan untuk mengklaim zona wilayah maritim menurut UNCLOS 1982. Untuk mengklaim zona maritim oleh suatu negara setidaknya harus melibatkan isu seputar zona maritim (Arsana, 2007). Zona-zona maritim yang diklaim adalah laut teritorial (territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen (continental self). I.5.1.1. Laut terirorial (territorial sea). Pasal 3 UNCLOS menyatakan bahwa lebar laut territorial adalah 12 mil laut dan tidak boleh lebih yang diukur dari garis pangkal laut teritorial. Ilustrasi laut teritorial dapat dilihat pada Gambar 1.1. Batas terluar laut teritorial adalah suatu garis sebagai tempat kedudukan titik-titik pada jarak terdekat dari titik garis pangkal yang sama dengan lebar laut territorial (penambahan dari pasal 4) seperti dinyatakan dalam pasal 3. Negara pantai dalam laut teritorial memiliki kedaulatan penuh, tetapi ada juga hak lintas damai bagi kapal-kapal asing yang ingin berlayar melintasi laut territorial tersebut asalkan tidak mengganggu dan melanggar perdamaian, aturan hukum dan keamanan Negara yang dilewati (Pasal 29(1), UNCLOS). Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar I.1. I.5.1.2. Zona tambahan (Contiguous zone). 6 Zona tambahan adalah zona maritim yang berdampingan dengan laut territorial yang berjarak 24 mil laut diukur dari garis pangkal (pasal 33 UN-CLOS). Zona tambahan dimaksudkan agar hak negara pantai dapat melakukan pengawasan untuk kepentingannya, mencegah pelanggaran peraturan perundangan bea cukai, imigrasi atau saniter didalam wilayah atau laut teritorial, menghukum pelaku pelanggaran peraturan perundangan negara pantai. Ilustrasi zona tambahan bisa dilihat pada Gambar 1.1. I.5.1.3 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Zona ekonomi eksklusif Adalah wilayah laut yang bersambungan dengan laut teritorial yang lebarnya 200 mil tidak boleh lebih diukur dari garis pangkal (pasal 55-58, UNCLOS). Adapun hak negara pantai atas wilayah zona ekonomi eksklusif yaitu melakukan eksploitasi dan eksplorasi atas sumber kekayaan alam yang ada di air, udara atau dasar laut serta menjalankan yurisdiksi berkaitan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, penelitian ilmiah, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ilustrasi dapat dilihat pa-da Gambar 1.1. I.5.1.4. Landas kontinen (continental shelf). Dalam penentuan landas kontinen, garis batas terluar tidak boleh melebihi 350 mil laut atau 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 m, kecuali untuk elevasi dasar laut yang merupakan bagian alamiah tepian kontinen (pasal 76 sampai pasal 85 UNCLOS). Landas kontinen biasanya tidak terlalu dalam, sehingga sumbersumber alam dari landas kontinen dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada (Djurnasjah dan Dewantara 2002 dalam Arsana 2007). Adapun hak Negara pantai untuk Landas Kontinen adalah melaksanakan sovereign rights untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alam serta memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung didalam dasar laut serta tanah dibawahnya. Visualisasi dapat dilihat pada Gambar 1.1. Sesuai dengan hukum laut internasional UNCLOS (United Nations Con-vention on the Low of the Sea) 1982, Kewenangan yang melekat pada klaim zona maritim dibedakan menjadi: 7 Kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan merupakan kewenagan penuh atau absolute sebuah negara untuk menjalankan kekuasaan terhadap suatu wilayah atau masyarakat dimana negara yang bersangkutan tidak perlu meminta persetujuan dari negara lain untuk melaksanakan kehendaknya (Arsana 2007). 1. Hak Berdaulat (sovereign right). Tentu yang dalam pelaksanaannya harus tunduk pada aturan hukum yang dianut oleh masyarakat internasional (Arsana 2007). Gambar I.1. Zona batas maritim menurut UNCLOS (Arsana, 2009) I.5.2. Prinsip Delimitasi Batas Maritim Pada dasarnya delimitasi batas maritim akan diperlukan apabila terjadi tumpang tindih atau pertampalan klaim (overlapping claim) oleh dua atau lebih negara pantai. Tumpang tindih ini bisa terjadi untuk laut territorial, ZEE atau landas kontinen (Arsana, 2007). Delimitasi batas maritim antar negara adalah penentuan atau penetapan batas wilayah atau kekuasaan antara satu negara dengan negara lain (tetangganya) di laut. Dalam konteks batas maritim ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu: a. Limit batas maritim (maritim limits) adalah batas terluar zona maritim sebuah negara (laut territorial, zona tambahan, ZEE, landas kontinen) yang leb-arnya 8 diukur dari garis pangkal, dan biasanya ditentukan secara unilateral (sepihak), jika tidak ada tumpang tindih dengan negara lain. Batas maritim (maritim boundaries) adalah batas terluar zona maritim sebuah negara yang lebarnya diukur dari garis pangkal dan biasanya ditentukan secara bilateral dengan negara-negara tetangga karena terjadinya tumpang tindih atau pertampalan klaim (overlapping claim) menggunakan proses maritim delimitation. Zona maritim yang bisa diklaim oleh negara pantai untuk fungsi kedaulatan maupun hak berdaulat baik dengan metode Maritim Limits dan Maritim Boundary (tergantung kondisi lapangan) harus mengacu kepada ketentuan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982). Situasi tumpang tindih klaim dan perlunya delimitasi batas maritim diilustrasikan dengan Gambar I.2. Gambar 1.2 prinsip delimtiasi batas maritim (Arsana, 2013) Gambar I.2 merupakan prinsip dari delimitasi batas maritim. Sesuai yurisdiksi UNCLOS, lebar ZEE negara A dan negara B masing-masing 200 mil laut. Namun, kawasan maritim yang memisahkan keduanya tidak men-capai 400 mil laut, 9 terjadilah tumpang tindih (overlapping claim) di Zona Ekonomi Eksklusif. Adanya area tumpang tindih menyebabkan harus dilakukan delimitasi batas maritim. 1.5.2.1. Delimitasi laut teritorial. Delimitasi laut teritorial diatur dalam pasal 15 UNCLOS. Pasal ini menyatakan bahwa dua negara yang saling berhadapan atau berdampingan tidak dipekenankan mengklaim laut teritorial yang melebihi garis tengah (median line) antara kedua negara tersebut, kecuali jika kedua negara tersebut membuat kesepakatan lain, atau karena adanya hak menurut pertimbangan se-jarah atau kondisi khusus lainnya yang memungkinkan tidak diterapkannya prinsip garis tengah. Kondisi khusus ini bisa meliputi adanya pulau-pulau lepas pantai, bentuk garis pantai atau klaim khusus atas wilayah perairan berdasar-kan pertimbangan sejarah. Dengan adanya kondisi khusus ini maka dapat mempengaruhi pemilihan garis batas maritim selain yang umum diterapkan yaitu garis tengah (median line). Menurut pasal 15 UNCLOS, sebuah negara bisa memilih untuk tidak menetapkan prinsip garis sama jarak atau garis tengah jika pihak yang terlibat setuju, atau jika ada pertimbangan historis atau kondisi istimewa lainnya. Satu negara A bisa saja mengklaim adanya pertimbangan sejarah atau kondisi istimewa sehingga memungkinkan untuk tidak menggunakan garis tengah atau garis sama jarak akan tetapi negara B bisa juga tidak menyetujui apa yang dikemukakan oleh negara A. Akibatnya antara negara A dan B akan terjadi sengketa yang perlu penyelesaian. 1.5.2.2. Delimitasi zona tambahan Zona tambahan adalah zona maritim yang berdampingan dengan laut teritorial dan merupakan area tambahan seluas 24 mil. Churchill dan Lowe 1999 dalam Arsana 2007 mengatakan ada dua alasan untuk hal ini yaitu zona tambahanan sebenarnya ada di dalam Zona ekonomi eksklusif (ZEE) dank arena Zona tambahan bukanlah merupakan wilayah kedaulatan atau yuridiksi eksklusif, sehingga tidak ada alasanalasan adanya delimitasi khusus untuk zona tambahan. 1.5.2.3. Delimitasi Landas Kontinen 10 Dalam Konvensi Landas Kontinen 1958 pasal 6(1) mencantumkan bahwa garis batas landas kontinen yang merupakan bagian dari negara-negara bersebrangan dan berdampingan harus ditentukan dengan kesepakatan antara negara-negara yang bersangkutan. Meski demikian, jika kesepakatan tidak ada, atau kecuali jika garis batas ditentukan dengan pertimbangan khusus, maka garis batas yang dipakai adalah garis tengah (median line) yang kesemua titik penyusunnya berjarak sama dari titiktitik (base point) terdekat disepanjang garis pangkal. Pasal 83 UNCLOS tidak memuat petunjuk secara rinci delimitasi landas kontinen, sehingga sebagai gantinya, UNCLOS mewajibkan pengadilan untuk mengacu kepada konvensi internasional, baik secara umum maupun secara khusus memperhatikan aturan yang diakui oleh negara-negara yang diakui oleh negara-negara yang bertikai, kebiasaan internasional yang diterima sebagai hokum, dan prinsip-prinsip hokum yang diakui oleh negaranegara beradab didunia (Arsana, 2007). Telah jelas bahwa hokum laut tidak menyebutkan secara tegas metode tertentu untuk delimitasi batas maritim, namun penyelesaiannya dapat menggunakan prinsip sama jarak sangat ditekankan sebagai alternatif delimitasi dalam Konvensi Landas Kontinen 1958 (Churchill dan Lowe 1999 dalam Arsana 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa negara-negara yang bersengketa dapat mencapai kesepakatan melalui negosiasi dengan mempertimbangkan faktor yang dianggap mempengaruhi dan metode yang sesuai. Dengan kata lain metode delimitasi, termasuk penggunaan garis ekuidistan (atau garis tengah), yang telah diadopsi dalam penyelesaian kasus hukum sebelumnya akan mungkin dipakai juga dalam kasus-kasus serupa berikutnya. 1.5.2.3. Delimitasi zona ekonomi eksklusif Delimitasi ZEE diatur dalam pasal 74 UNCLOS. Sama dengan Pasal 83, Pasal 74 tidak menjelaskan secara rinci tentang delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif. Perundingan delimitasi batas ZEE baik metode ataupun faktor yang mempengaruhi didasarkan atas kesepakatan kedua negara yang bersengketa. Yurisprudensi dan praktik negara dalam dekade terakhir cenderung untuk lebih menekankan peran fundamental geografi dalam delimitasi batas maritim pada kawasan 200 mil laut dari 11 garis pangkal dibandingkan faktor lainnya. Seringkali dalam praktiknya, batas ZEE sama dengan batas Landas Kontinen. 1.5.3. Aspek Teknis Dalam Delimitasi Batas Maritim 1.5.3.1. Peran pulau dalam delimitasi batas maritim dan elevasi pasang terendah (low tide elevation) UNCLOS 1982 mendefenisikan pulau sebagai wilayah tanah (area of land) yang terbentuk secara alami (naturally formed), dikelilingi air (surrounded by water) dan harus berada diatas permukaan air saat pasut tinggi (above water at high tide). Oleh karena itu penting untuk menegaskan pengertian sebuah pulau karena hanya pulau yang berhak mengklaim zona maritim secara lengkap (pasal 121 UNCLOS 1982) yang meliputi laut territorial, ZEE, zona tambahan dan landas kontinen. Arsana (2007) mengatakan bahwa, walaupun pulau yang kecil dan tidak signifikan dari luas daratan, pulau itu bisa benar-benar penting karena bisa mengklaim zona maritim yang signifikan luasnya. Pada kenyataannya, zona maritim yang diklaim bisa lebih luas dari luas dara-tannya sendiri. Pulau yang dimiliki oleh negara pantai sangat penting artinya karena setidaknya ada dua alasan yaitu sebuah pulau memiliki nilai intrisik da-lam hal wilayahnya dan nilainya dalam kaitannya dengan zona maritim yang bisa diklaim disekitarnya. Pulau harus memenuhi definisi sebagai batu yang dapat mendukung kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi dari makhluk hidup yang telah disebutkan, jika tidak maka tidak bisa digunakan untuk mengklaim wilayah zona maritim. Jika pada pulau yang dimaksud tidak ada kehidupan atau tidak terdapat makhluk hidup maka dinamakan karang (rocks). Karang hanya dapat digunakan untuk mengklaim wilayah maritim untuk Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Elevasi pasang terendah (low tide elevation) didefinisikan sebagai daratan yang nampak pada saat pasang terendah tetapi tenggelam pada saat pasang tertinggi, yang dapat berperan dalam delimitasi batas maritim sebuah negara pantai untuk laut teritorial. Elevasi pasang terendah dapat dijadikan sebagai titik pangkal jika berada di dalam laut teritorial (kurang dari 12 mil laut dari garis pangkal) sebuah negara dan 12 digunakan untuk klaim laut teritorial suatu negara. Namun, jika elevasi pasang terendah tersebut terletak di luar dari wilayah laut teritorial (lebih dari 12 mil laut dari garis pangkal), maka tidak dapat digunakan sebagai bagian dari garis pangkal, kecuali negara tersebut telah membangun mercusuar atau instalasi lain di atas air secara permanen di atasnya sesuai dengan Pasal 13 UNCLOS. 1.5.3.2. Titik pangkal (basepoint) dan garis pangkal (baseline). Titik pangkal adalah titik yang diukur pada muka laut terendah/chart datum dan diketahui koordinatnya, yang kemudian menjadi acuan dalam menentukan garis pangkal/baseline dalam melakukan klaim maritim. Untuk mendapatkan luas wilayah maritim yang optimal, maka dipilih titik-titik menonjol pada garis nol kedalaman sebagai titik dasar. Titik dasar ditentukan dengan cara memilih titik-titik bagian daratan yang menonjol pada garis nol ke dalam sebagai titik dasar sehingga dapat diperoleh luas wilayah maritim yang optimal. Bentukan geografis dianggap mewakili bentuk geografis pada wila-yah perairan untuk ditentukan suatu titik dasar adalah Pantai landai (pada garis air rendah di tepi pantai landai), elevasi surut (bentukan alamiah yang tam-pak pada waktu air surut), dan pantai curam (karena sulitnya diperoleh kontur nol kedalaman). Garis pangkal atau baseline adalah garis yang merupakan referensi pengukuran batas terluar laut wilayah zona yuridiksi maritim lain sebuah negara pantai ataupun negara kepulauan (TALOS 2006). Garis pangkal disusun oleh titik-titik pangkal /basepoints sepanjang muka laut terendah, yang menjadi acuan dalam menentukan klaim maritim suatu Negara. Jenis-jenis garis pangkal/baseline dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 1.3 berikut. 13 Gambar 1.3. Macam-macam garis pangkal (Arsana, 2007) a. Garis pangkal normal (normal baseline) Dalam pasal 5 UNCLOS tercantum garis pangkal normal sebagai garis air rendah (the low-water) di sepanjang pantai benua dan/atau pulau yang diakui oleh negara pantai yang bersangkutan. Pengertian ini meliputi batas terluar bangunan pelabuhan, garis air rendah disepanjang obyek elevasi surut (Low Tide Elevation, LTE) dan garis air rendah karang atoll serta gugusan karang disekitar pulau (TALOS, 2006). b. Garis pangkal lurus (straight baseline) Garis pangkal lurus (untuk laut teritorial) bisa digunakan jika garis pantai benar–benar menikung dan memotong ke dalam atau bergerigi (deeply intended and cut into), atau jika terdapat pulau tepi (fringing island) di sepanjang pantai yang tersebar tepat di sekitar (immediate vicinity) garis pantai (pasal 7 UNCLOS). Garis pangkal lurus adalah garis yang terdiri atas segmen-segmen lurus menghubungkan titik-titik tertentu yang memenuhi syarat (TALOS, 2006). c. Garis pangkal kepulauan (archiphelagic Baseline) Garis pangkal kepulauan hanya berlaku bagi negara-negara yang memiliki banyak pulau atau Negara kepulauan. Garis pangkal ini ditarik untuk menghubungkan titik terluar dari pulau 14 terluar dan karang, dalam sebuah kepulauan (TALOS 2006). Dalam pasal 47 UNCLOS adanya empat syarat utama yang harus dipenuhi: 1. Pulau – pulau yang menjadi bagian dari negara yang bersangkutan harus menjadi bagian dari system garis pangkal kepulauan. 2. Perbandingan antara luas perairan dan daratan didalam system garis pangkal harus berkisar antara 1:1 dan 9:1. 3. Panjang satu segmen garis pangkal kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali hingga 3 % dari keseluruhan jumlah garis pangkal yang meling-kupi suatu Negara kepulauan boleh melebihi 100 mil laut hingga pankang maksimum 125 mil laut. 4. Arah garis pangkal kepulauan yang ditentukan tidak boleh menjauh dari konfigurasi umum kepulauan. Ilustrasi tentang garis pangkal kepulauan adalah pada Gambar I.4 berikut ini: Gambar I.4. Garis Pangkal kepulauan (IHO, 2014) d. Garis pangkal penutup sungai (mouth of river). Garis pangkal yang menutup mulut sungai akan dilakukan jika aliran sungai tepat menuju laut, garis pangkal bisa memotong garis lurus muara sungai antar titik pada garis air rendah (pasal 9, UNCLOS). Penentuan posisi titik-titik yang membentuk mulut sungai tidaklah mudah kecuali garis pan- 15 tainya mulus sehingga dapat menyulitkan penentuan titik awal dan titik akhir garis lurus penutup sungai sehingga panjang garis bisa beragam posisi titik awal dan akhirnya (Arsana, 2007). Selain itu hal yang terkait dengan garis pangkal penutup sungai adalah untuk sungai yang memasuki lautan tidak secara langsung malainkan melalui estuarsi (estuary). e. Garis pangkal penutup teluk (bay) Lekukan pantai dianggap sebagai teluk, jika luas lekukan tesebut sama atau lebih luas dari setengah lingkaran yang diameternya melintasi mulut lekukan tersebut. teluk adalah bagian laut yang menjorok masuk ke daratan yang jarak masuk dan lebar mulut teluknya memenuhi perbandingan tertentu dan bukan hanya lekukan pantai biasa (pasal 10, UNCLOS). Luas teluk ini harus lebih besar dari luas setengah lingkaran yang diameternya adalah garis penutup teluk. Panjang garis pangkal lurus yang menutup mulut teluk tidak boleh melebihi 24 mil laut. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1.5. Teluk Yuridis BukanTelukYuridis Gambar 1.5. Garis pangkal lurus yang menutup mulut teluk (Arsana, 2007) f. Garis Pangkal Timor Leste dan Indonesia Secara geografis Timor Leste bukan merupakan negara kepulauan seperti Indonesia. Oleh karena itu, Timor Leste tidak dapat menerapkan aturan “Negara Kepulauan”. Hal ini akan berdampak pada perbedaan proses penetapan batas yang dilakukan oleh kedua negara. Indonesia menggunakan 16 garis pangkal kepulauan dalam penentuan batas laut (UNCLOS 1982 pasal 7) dengan Timor Leste, sedangkan Timor Leste menggunakan garis pangkal normal karena negara ini merupakan negara pantai (UNCLOS 1982 pasal 5). Dengan lepasnya Negara Timor Leste dari Indonesia maka dengna itu Indonesia perlu merubah garis pangkal lurus kepulauan yang melingkupi pulau Timor pada waktu itu berdasarkan Permanent mission of The RDTL to The United Nations NV/MIS/85/2012 mengacu pada dokumen M.Z.N 67.2009 (Maritim Zone Notification) tentang pendepositan daftar koordinat titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia berdasarkan regulasi pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan regulasi pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2008. Pada tahun 2005, Dishidros TNI AL, telah menentukan garis pangkal kepulauan milik Indonesia yang digunakan untuk menentukan batas maritim dengan Timor Leste menggunakan acuan garis air rendah (the low-water). Namun sayangnya penentuan Negara Timor Leste sampai saat ini belum memiliki peraturan atau ketentuan hukum yang terkait dengan koordinat titik pangkal negara tersebut. Dengan demikian delimitasi antara kedua Negara akan mempertimbangkan titik pangkal dan garis pangkal yang sudah ada dan yang baru hasil simulasi (Arsana, 20130. I.5.4. Metode Delimitasi Batas Maritim Dalam penentuan garis batas maritim dikenal beberapa metode delimitasi batas maritim (IHO 2006 dan IHO 2014) yaitu mencakup metode garis ekuidistan, metode paralel dan meridian, metode enclaving; metode tegak lurus (perpendicular),metode garis paralel, dan metode batas alami (natural boundary). I.5.4.1 Metode Garis Ekuidistan (Equidistance Line) Metode garis ekuidistan atau garis tengah merupakan metode penentuan batas maritim dengan menggunakan dua garis yang memiliki jarak sama dari garis pangkal. Lebih jelasnya adalah istilah median line dan 17 equidistance line sebenarnya tidak ada perbedaan, namun beberapa pendapat mengatakan bahwa istilah median line adalah untuk kasus negara-negara yang bersebrangan, ilustrasi dapat dilihat pada Gambar I.5 sedangkan istilah equidistance line adalah untuk kasus negara-negara yang berdampingan (TALOS 1993), ilustrasi dapat dilihat pada Gambar I.6. Meski perbedaan antara kedua istilah namun mengacu pada ekspresi geometri matematis yang sama yaitu untuk garis tengah diperoleh dengan metode sama jarak (Arsana, 2007). Gambar I.6. Garis ekuidistan untuk Negara yang saling berhadapan (Arsana, 2007) Pada Gambar I.6, huruf a, b, c, d dan e adalah basepoints relevan dari Negara A dan B yang berkontribusi terhadap pembangunan equidistance atau median line antara pantai mereka yang saling berhadapan. Sebuah garis dikatakan ekuidistan antara sembarang dua titik adalah bisektor tegak lurus terhadap garis yang menghubungkan dua titik pangkal terdekat. Mengingat hampir semua garis pantai bersifat tidak teratur (irregular) maka sebuah garis lurus tidak akan memenuhi syarat ekuidistan pada jarak yang sangat panjang. Untuk menjaga sifat ekuidistan dan tegak lurusannya maka garis ekuidistan yang awalnya bisektor tegakvlurus harus mengubah arahnya dititik tertentu 18 (memiliki titik belok) untuk menyesuaikan dengan kenyataan geografis garis pantai yang diwakili oleh titik pangkal terdekat digaris pantai negara-negara yang terlibat. Gambar I.7. Garis ekuidistan untuk Negara yang berdampingan (Arsana, 2013) Gambar I.7 mengilustrasikan garis ekuidistan yang menggambarkan garis batas maritim dua negara yang berdampingan. Garis ekuidistan terdiri atas segmen-segmen garis lurus yang berjarak sama dari titik pangkal –titik pangkal di sepanjang garis pangkal sebgai referensi pengukuran lebar laut territorial kedua negara yang bersangkutan. Metode equidistance line dapat dibagi menjad Strict equidistance (ekuidistan murni), Simplified equidistance (equidistan disederhanakan), Modified Equidistance (equidistan dimodifikasi), enclave (enclaving). a. Strict equidistance (ekuidistan murni) Metode ini menentukan setiap titik batas dengan cara menarik garis dari titik pangkal terdekat antar kedua Negara, kemudian membaginya sama panjang dan dilakukan sepanjang bentuk geometri Negara (Yuniar 2014). b. Modified Equidistance (equidistan dimodifikasi)pada prinsipnya didasarkan pada konsep garis ekuidistan murni. Garis yang terbentuk merupakan hasil modifikasi atau penggeseran garis ekuidistan murni 19 sehingga menguntungkan salah satu pihak yang terlibat dalam delimitasi batas maritim. c. Simplified equidistant (Equidistan disederhanakan) Metode ini dihasilkan dari metode penarikan garis ekuidistan murni dengan pengukuran titik beloknya. Garis ekuidistan yang dimodifikasi berkaitan dengan efek parsial. d. Efek Parsial Efek Parsial yaitu efek yang diberikan pada garis batas maritim yang telah dibuat konstruksinya dengan garis ekuidistan murni. Efek parsial ini dapat berupa bobot nol (Nil Effect), bobot setengah penuh (Half Effect) atau bobot penuh (Full Effect) dari sebuah fitur maritim yang dapat mengubah garis ekuidistan murni sesuai dengan kesepakatan kedua negara. e. Enklaf (Enclaving) Metode enclaving merupakan sabuk kawasan laut (zona maritim) kepada pulau yang ter-enclave berwujud garis batas berupa busur lingkaran yang diukur dari titik pangkal terluar (United Nations 2002). Metode ini biasanya berlaku pada sebuah negara yang kasusnya saling berhadapan dengan negara tetangga da nada salah satu pulau dari negara itu posisinya lebih dekat ke negara tetangga dibandingkan dengan pulau utamanya, maka ha katas klaim zona terluar maritimnya akan lebih berkurang luasnya. Ada dua jenis metode enclave sesuai dengan yang telah dipublikasikan oleh PBB, antara lain: 1. Full-enclave diterapkan ketika kawasan maritim yang diberikan kepada sebuah pulau ter-enclave terpisah secara keseluruhan dengan kawasan daratan maritim yang dimiliki oleh kawasan daratan utama negara pantai yang memiliki pulau tersebut. 2. Semi-enclave diterapkan jika kawasan maritim yang diberikan kepada pulau ter-enclave sebagian terhubung atau berada di kawasan maritim yang masih merupakan yuridiksi atau kedaulatan negara pemilik pulau 20 tersebut. Ilustrasi untuk menggambarkan dua pulau enclaved dalam batas-batas maritim antara negara dengan coast mainland yang saling berhadapan. Gambar I.8. garis sama jarak antara Negara A dan B, Menampilkan Semi dan Efek Full Enclave untuk Kepulauan Milik Negara A (Arsana, 2013). I.5.4.2. Garis Perwakilan (Lines of bearing) Metode garis perwakilan ini biasanya tidak menggunakan bentuk pantai sebagai garis batas, melainkan disederhanakan dengan beberapa pertimbangan. Metode ini terbagi kedalam (Carleton and Schofield, 2002: 2025) perpendicular (tegak lurus) serta paralel dan meridian. a. Perpendicular (tegak lurus) digunakan bagi negara yang memiliki bentuk bibir pantai sangat kompleks dan posisi kedudukan kedua negara saling ber-sebelahan. Garis pangkal yang digunakan berupa garis lurus searah garis pantai secara umum (general), sehingga garis pangkal normal dan garis pangkal lurus tidak cocok untuk digunakan. Penentuan batas wilayah maritim ditentukan tegak lurus garis perwakilan. b. Paralel dan Meridian adalah suatu metode dimana batas antara kedua negara ditentukan menggunakan garis parallel dan garis meridian serta 21 dapat diterapkan pula pada Negara yang memiliki banyak pulau dan karang. I.5.4.3. Perpanjangan daratan (Natural prolongation) Metode ini menggunakan bentuk alami bumi sebagai batas. Metode ini kurang adil karena apabila suatu negara diapit oleh laut dalam, maka luas wilayah maritim menjadi sempit, sebaliknya jika negara itu diapit oleh laut dangkal, mak luas wilayah maritim akan menjadi sangat luas. I.5.4.4. Pendekatan Dua Tahap (Two Stage Approach) Metode ini dilakukan dengan menarik garis ekuidistan atau garis tengah murni (strict or robust equidistance or median line) antara negaranegara yang terlibat sebagai garis batas sementara. Setelah menarik garis batas sementara, selanjutnya dipertimbangkan faktor-faktor relevan untuk memutuskan apakah garis batas maritim tersebut perlu digeser atau tidak untuk memperoleh solusi yang adil. I.5.4.5. Pendekatan Tiga Tahap (Three-Stage Approach) Pendekatan tiga tahap pertama kali diperkenalkan oleh Mahkamahh Inter-nasional (ICJ) dan International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) dalam penentuan untuk kasus zona maritim Laut Hitam antara Ukraina dan Rumania pada tahun 2009. Dalam praktek delimitasi batas maritim yang dilaksanakan oleh Mahkamahh Internasional digunakan pendekatan tiga tahap dalam proses delimitasi untuk mendapatkan garis final. Tahapan yang dilalui antara lain : membuat garis batas sementara; menentukan faktor relevan yang mengubah konfigurasi garis tengah; dan uji proporsionalitas. Misalkan ada dua buah negara yang berbatasan, maka pada tahap pertama adalah penarikan median line dari menggunakan garis pangkal sesuai dengan kondisi geografis negara masing-masing. Setelah garis median line terbentuk, jika ada fitur maritim, misalnya pulau atau LTE, sebuah negara yang terletak dekat dengan garis hasil median line, diperhitungkan efeknya pada garis median line dan 22 kemudian dilakukan perubahan garis tersebut. Setelah perubahan faktor yang relevan dilakukan uji disproporsionalitas untuk melihat garis final yang terbentuk sesuai untuk masing-masing negara. Gambar I.6 menunjukkan bagaimana pendekatan tiga tahap dilakukan. Secara umum, metode ini ada tiga tahap yang dilakukan yaitu: a. Pembuatan garis ekuidistan sementara yaitu dilakukan dengan metode bisektor sehingga didapat garis ekuidistan sementara dengan mempertimbangkan titik pangkal masing-masing negara. Metode bisektor adalah konstruksi garis ekuidistan dengan memperhatikan jarak dan sudut sama. b. Memodifikasikan garis ekuidistan sementara dilakukan karena terdapat faktor-faktor relevan yang mempengaruhisuatu garis batas. Pada keputusan Mahkamah Internasional yang sudah ditetapkan untuk beberapa kasus sengketa batas maritim, faktor relevan yang berpengaruh dapat berupa keberadaan fitur maritim seperti pulau, panjang pantai dari masing-masing negara, maupun kemudahan transportasi di wilayah tersebut. c. Uji disproporsionalitas pada hasil yang diperoleh dengan membandingkan panjang pantai relevan dan luas Zona maritim yang diperoleh masingmasing negara dari delimitasi. Pada tahapan ini panjang pantai relevan masing-masing negara dan luas wilayah maritim yang sudah didapatkan dari delimitasi dibandingkan. Uji disproporsionalitas digunakan untuk memastikan bahwa garis batas maritim yang dihasilkan pada tahap-tahap sebelumnya adil dan tidak melanggar asas proporsionalitas, terutama pada perbandingan pantai rel-evan dan area hasil delimitasi. Uji disproporsionalitas dapat memberi perubahan pada garis batas maritim yang dihasilkan, namun bisa juga tidak memberi pengaruh apapun jika pada kasus tersebut perbandingan pantai relevan dan area hasil delimitasi tidak signifikan. I.5.5. Dasar Hukum penentuan batas maritim Yang Berlaku pada ke dua Negara. 23 a. Traktat Timor 1904. b. Permanent mission of The RDTL to The United Nations NV/MIS/85/2012 mengacu pada dokumen M.Z.N 67.2009 (Maritim Zone Notification) tentang pendepositan daftar koordinat titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia berdasarkan regulasi pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan regulasi pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2008. c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Batas Maritim Wilayah dari Republik Demokratik Timor-Leste. d. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). e. Technical Aspects on The Law of the Sea (TALOS). I.5.6. Perangkat Lunak CARIS LOTS Untuk mengolah peta dan melakukan delimitasi batas maritim digunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). Salah satu perangkat lunak yang didesain untuk pekerjaan delimitasi batas maritim adalah CARIS Law Of The Sea (CARIS LOTS) yang dibuat oleh perusahaan asal Kanada, CARIS. CARIS LOTS digunakan dalam banyak penelitian delimitasi batas maritim karena fitur dan fasilitas yang didukung sudah disesuaikan dengan hukum laut internasional (Arsana, 2006). Beberapa fitur yang dimiliki oleh CARIS LOTS diantaranya pendefinisian garis pangkal, titik pangkal, klaim berbobot, georeferensi peta dan beberapa pekerjaan teknis batas maritim lainnya (CARIS, 2014). Perangkat lunak CARIS LOTS (Computer Aided Resource Information System Low of The Sea) Merupakan salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk pekerjaan pemetaan kelautan yang dibuat oleh Kanada. CARIS adalah salah satu paket perangkat lunak yang digunakan oleh Devisi Kelautan dan Hukum Laut dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehubungan dengan kewenangannya dalam penentuan batas wilayah laut internasional (Flanagan 2005 dalam Putro 2007). I.5.7. Peta British Admiralty Chart (BAC) 24 British Admiralty Chart adalah peta navigasi dan keselamatan pelayaran yang dikeluarkan oleh United Kingdom Hydrographic Office (UKHO). Peta ini memuat informasi spasial yang dapat dipercaya dan diperbaharui secara rutin. British Admiralty Chart ini diakui secara Intrnasional sehingga British Admiralty Chart sering digunakan dalam penentuan batas maritim internasional.