BAB III SISTEM HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia Hans Kelsenmengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, yang merupakan salah seorang murid Hans Kelsen. 35 Hans Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar berikut ini: 36 a. Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara), merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-undang dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. 35 Maria Farida indrati, Ilmu Perundang-Undangan, 2007, Kanisius, Yogyakarta, hal. .41 Ibid., hal.41-42 36 38 Universitas Sumatera Utara 39 b. Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara), merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum tunggal. c. Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-UndangFormal), merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam UndangUndang ini tidak saja norma hukum yang bersifat tunggal, tetapi normanorma hukum itu dapat merupakan norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder di samping norma hukum primernya. Di dalam Undang-Undang sudah dapat dicantumkan normanorma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana atau sanksi pemaksa. d. Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom), merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan merupakan pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (UndangUndang) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Sementara delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan Universitas Sumatera Utara 40 perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak. Berdasarkan teori yang dikemukakan Jhon Austin yang merumuskan, hukum sebagai perintah penguasa yang berdaulat.Hal tersebut menjelaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan berada ditangan pemerintah yang kemudian diamanatkan kepada lembaga legislatif dalam Undang-Undang Dasar 1945. 37 Menurut Bagir Manan, ada lima hal yang mendasari pembentukan undangundang yaitu: 38 1. Perintah Undang Undang Dasar 1945; 2. Perwujudan Kedaulatan Rakyat; 3. Memperbaharui undang-undang yang sudah terbentuk atau bagian dari undang-undang yang ada; 4. Perintah undang-undang yang sudah terbentuk (lebih dulu ada); 5. Suatu perjanjian Internasional. Munculnya beberapa permasalahan dalam proses pembentukan undangundang, maka melahirkan pemikiran tentang pembentukan undng-undang yang efektif. Beberapa teori tentang pembentukan undang-undang (theories of lawmaking), diantaranya ialah dikemukakan oleh Jan Michiel Otto dan kawankawan. Otto mengarahkan teori pembentukan undnag-undang kepada “ the socio- 37 Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hal.15 38 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju,Bandung, 2007,hal. 26 Universitas Sumatera Utara 41 legal concept of real legal certainty” yang terdiri dari 5 (lima) elemen pencapaian kepastian hukum yang nyata, yaitu: 39 a. a lawmaker has laid down clear, accessible and realistic rules; b. the administration follows these rules and induces citizens to do the same c. the majority of people accept these rules, in principle, as just; d. serious conflict are regularly brought before independent and impartial judges who decide cases in accordance with those rules; e. these decisions are actually complied with defining objectives of law and development projects in these terms could help improving their effectiveness. Ilmu hukum (rechtswetenschap) membedakan antara Undang - Undang dalam arti materiil (wet in materielezin) dan Undang - Undang dalam arti formal (wet’in formelezin). Dari perbedaan ini kebanyakan dari masayarakat khususnya masyarakat awam, bahkan orang yang bergerak dalam bidang hukum tidak mengetahui, sehingga sering salah dalam mengartikan Undang - Undang itu sendiri. Dalam arti materiil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Dari pengertian ini masyarakat sering mengartikan bahwa setiap aturan yang bersifat tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang berwenang (Pemerintah) adalah Undang - Undang. Tetapi pada dasarnya Undang - Undang dalam pengertian ini hanyalah Undang - Undang dalam arti materiil. 39 Jan Michiel Otto, dkk dikutip dalam Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 26 Universitas Sumatera Utara 42 Sedangkan Undang - Undang dalam arti formil, Undang-Undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Undang - Undang dalam arti formil ini dapat dikatakan mempunyai sifat yang lebih formil karena cara pembentukannya yangberbeda dengan Peraturan Perundang - Undangan lainnya. Dalam Peraturan Perundang - Undangan ini harus adanya kerjasama antara lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif, yaitu antara Presiden sebagai lembaga eksekutif dan DPR sebagai lembaga legislatif. Dari kedua bentuk arti Peraturan Perundang - Undangan tersebut, dapat dikatakan bahwa Peraturan Perundang - Undangan mencakup segala bentuk Peraturan Perundang - Undangan yang dibuat pada tingkat pemerintahan pusat (negara) maupun di tingkat pemerintahan daerah (provinsi dan kebupaten/kota). Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang - Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan lebih lanjut dalam Pasal 20 disebutkan bahwa: 40 (1)Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang Undang (2)Setiap Rancangan Undang - Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. 40 Undang-Undang Dasar 1945, pasal 20 Universitas Sumatera Utara 43 (3)Jika rancangan Undang - Undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, Rancangan Undang - Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu (4)Presiden mengesahkan Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang - Undang. (5)Dalam hal ini Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang - Undang tersebut disetujui, Rancangan UndangUndang tersebut sah menjadi Undang - Undang dan wajib diundangkan. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang - Undang Dasar 1945 dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan untuk membentuk Undang - Undang, tetapi dalam setiap Rancangan Undang - Undang tetap dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sedangkan Presiden berhak untuk mengajukan RancanganUndang - Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dari kedua ketentuan ini dapat dilihat bahwa telah adanya kerjasama dan koordinasi, antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat karena persetujuan atas suatu Rancangan Undang - Undang berdasarkan atas persetujuan bersama. Berbeda dengan sebelum adanya Amandemen Undang - Undang Dasar 1945 dimana dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), mengandung pengertian bahwa kekuasaan membentuk Undang - Undang itu dipegang oleh Presiden. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi untuk Universitas Sumatera Utara 44 memberikan persetujuan terhadap setiap rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden. Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo membedakan pengertian Undang Undang dalam arti materiil dan Undang - Undang dalam arti formil. Undang Undang dalam arti materiil adalah Undang - Undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut Undang - Undang dan mengikat setiap orang secara umum. Sedangkan Undang - Undang dalam arti formil adalah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut Undang-Undang. Jadi Undang - Undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan “Undang - Undang” karena secara pembentukannya. 41 Saldi Isra menjelaskan bahwa proses pembentukan undang-undang (law making process) yang merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari: (1) prakarsa pengajuan rancangan undang-undang; (2) pembahasan rancangan undang-undang; (3) persetujuan rancangan undang-undang; (4) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (5) pengundangan dalam Lembaran Negara. Rangkaian kegiatan tersebut didasarkan kepada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan 41 Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ed.ke-3 cet.ke-1, Liberty, Yogyakarta, 2007,hal.41 Universitas Sumatera Utara 45 yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. 42 Bagir Manan berpendapat bahwa agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas dapat digunakan 3 (tiga) landasan dalam menyusun undang-undang, yaitu: Pertama, landasan yuridis ( juridische gelding); kedua, landasan sosiologis ( sociologische gelding); dan ketiga, landasan filosofis. 43 Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan Bagir Manan, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa landasan pembentukan undang-undang dilihat dari sisi teknis pembentukan undang-undang tercermin dalam konsideran. Dalam konsideran haruslah memuat norma hokum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari: 44 “Pertama, landasan filosofis undang-undang selalu mengandung normanorma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan. Kedua, landasan sosiologis, bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntunan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan politis, bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan. Keempat, landasan yuridis, dimana dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat.”. Kelima, landasan administratif, dimana dasar ini bersifat “fakultatif” (sesuai kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini.Dalam teknis pembentukan undang-undang biasanya landasan dimasukkan dalam konsideran 42 Jimly Asshiddiqie,Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta,2006,hal. 41 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,hal. 29 44 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit,hal.240 43 Universitas Sumatera Utara 46 “memerhatikan.’Landasan ini bersifat pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.” Berdasarkan paparan diatas, jka kelima landasan tersebut terpenuhi dalam setiap proses pembentukan undang-undnag maka menurut Yuliandri undangundang yang dihasilkan menjadi undang-undang yang baik, berkualitas dan berkelanjutan.Pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah memperhatikan aspek atau kaidah-kaidah pembentukannya, yaitu: 45 a. Landasan Filosofis yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijakan kedalam suatu rencana atau draft peraturan perundang-undangan. b. Landasan Sosiologis Suatu peraturan perundang-undangan agar ditaati masyarakat, harus dibuat dan dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan atau kata lain hukum yang dibuat oleh negara harus sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat. c. Landasan Politis Merupakan garis kebijakan politik yang menjadi dasar lanjutannya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah negara. 45 Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007,hal. 57 Universitas Sumatera Utara 47 d. Landasan Yuridis Landasan yuridis di dalam dasar pertimbangan berkaitan dengan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi apabila ia berkaitan langsung dengan substansi peraturan atau menjadi dasar peraturan perundang-undangan terebut yang dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat”. B. Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.Dalam menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. 46 Pembahasan asas peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang cenderung menganut pada civil law sebagai akibat dari sikap represif penjajahan Belanda yang pada dasarnya juga menganut civil law. Secara garis besar, sistem hukum dibagi dua macam yaitu sistem Eropa Kontinental yang berkembang di Benura Eropa kecuali wilayah Inggris dan Anglo Saxon yang berkembang di wilayah Inggris. Dalam sistem ini hukum lebih banyak dibentuk melalui undang-undang bahkan ada kecenderungan 46 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal.11 Universitas Sumatera Utara 48 untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi atau sekurang-kurangnya dilakukan kompilasi. 47 Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kebenaranyang menjadi bertindak.Pemahaman pokok terhadap kata asas adalah prinisip dasar dalam berpikir, asas pendekatan dalam yang berarti berpendapat ilmu dan hukum merupakanlandasan utama yang menjadi dasar atau acuan bagi lahirnya suatuaturan.Pemahaman terhadap asas hukum perlu sebagai tuntutan etis dalammendalami peraturan perundang-undangan yang berlaku.Asas hukummengandung tuntutan etis, dan dapat dikatakan melalui asas hukum, peraturanhukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan. 48 Asas hukum adalah pikiran dasar yang bersifat umum dan abstrak. Asas hukum terdapat dalam setiap sistem hukum dan menjelma dalam setiap hukum positif.Asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum.Pembentukanhukum praktis sedapat mungkin berorientasi pada asas-asas 47 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perndang-undangan Indonesia,Mandar Madju, Bandung, 1998, hal. 30 48 Fence M. Wantu dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Reviva Cendekia,Jakarta:, 2002, hal. 13 Universitas Sumatera Utara 49 hukum.Asas hukum menjadi dasar-dasar atau petunjuk arah dalampembentukan hukum positif.Dalam pandangan beberapa ahli, asas mempunyai arti yang berbeda-beda.Asas adalah sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dan asas dapat juga berarti merupakan hukum dasar. 49 The Liang Gie berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenaipelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. 50 Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum ini merupakan jantung dari ilmu hukum. Kita menyebutkan demikian karena pertama, ia merupakanlandasan yangpaling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Batasan pengertian asas hukum dapat dilihat beberapa pendapat para ahli, diantaranya sebagai berikut: a. Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum umum adalah norma dasaryang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggapberasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakanpengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. 51 b. van Eikema Hommes mengatakan bahwa asas hukum itutidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum kongkrit, akan tetapi perludipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi 49 Ibid., hal. 13 Ibid.,hal. 14 51 Ishaq, .Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 75 50 Universitas Sumatera Utara 50 hukumyang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asashukum tersebut. 52 c. Scholten mengatakan asas hukum adalah kecenderungankecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum,merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagaipembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. 53 d. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa asas hukum adalah bukan merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. 54 Jadi, asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit (nyata), melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal seperti misalnya asas reo, asas resjudicato pro veritate habetur, asaslex posteriori derogat legi priori dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak jarang juga asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit seperti misalnya asas the presumption of innocence yang terdapat dalam Pasal 8 Undang Undang 52 Ibid Fence M. Wantu dkk,Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Refika Aditama, Jakarta, 2009,hal. 15 54 Ibid 53 Universitas Sumatera Utara 51 Nomor 14 Tahun 1970 dan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHPidana. Dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya di Indonesia ada beberapa asas-asas yang diperlukan, antara lain : 1. Asas Pancasila Bangsa Indonesia telah menetapkan falsafah/asas dasar negarayaitu Pancasila, yang artinya setiap tindakan/perbuatan baiktindakan pemerintah maupun perbuatan rakyat harus sesuai denganajaran Pancasila.Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumberhukum materiil, sehingga setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila yang terkandung dalamPancasila.UndangUndang Dasar 1945 merupakan landasanKonstitusional daripada Negara Republik Indonesia.PerubahanUndangUndang Dasar 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang merupakan cita-cita hukum Bangsa Indonesia yangmendasari hukum dasar negara baik hukum yang tertulis danhukum tidak tertulis. 55 Pokok-pokok pikiran yang merupakan pandangan hidup bangsa adalah: - Pokok Pikiran Pertama“Negara“. “Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesiadengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa Negara 55 G.J. Wolhoff,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Timun Mas, Jakarta, 1960,hal.9-10 Universitas Sumatera Utara 52 Republik Indonesia adalah negarakesatuan yang melindungi bangsa Indonesia serta mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikiannegara mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang menimbulkan perpecahan dalam negara, dan sebaiknyapemerintah serta setiap warga negara wajib mengutamakankepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun perorangan. - Pokok pikiran kedua adalah: “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Istilah keadilan sosialmerupakan masalah yang selalu dibicarakan dan tidak pernahselesai, namun dalam bernegara semua manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang terutama yang menyangkut hukum positif. Penciptaan keadilansosial pada dasarnya bukan semata-mata tanggung jawabnegara akan tetapi juga masyarakat, kelompok masyarakatbahkan perseorangan. - Pokok pikiran ketiga adalah: “Negara yang berkedaulatan rakyat“pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam negara Indonesia yang berdaulat adalah rakyat atau kedaulatan adaditangan rakyat. Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakan dengan melalui mekanisme musyawarah oleh wakil-wakil rakyat. - Pokok pikiran keempat “Negara berdasarkan Ketuhanan YangMaha Esa yang adil dan beradab”. Negara menjamin adanyakebebasan beragama dan tetap memelihara kemanusian yang adil dan beradab Universitas Sumatera Utara 53 2. Asas Pembagian Kekuasaan dalam Check and Balances Pengetian pembagian kekuasaan adalah berbeda daripemisahan kekuasaan, pemisahan kekuasaan berarti bahwakekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagianseperti dikemukakan oleh John Locke yaitu: a. Kekuasaan Legislatif b. Kekuasaan Eksekutif c. Kekuasaan Federatif Montesquieu mengemukakan bahwa setiap negara terdapattiga jenis kekuasaan dengan istilah Trias Politicayaitu: a. Eksekutif b. Legislatif c. Yudikatif Dari ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lainnya baik mengenai orangnya mapun fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu dibagi-bagi dalambeberapa bagian, tidak dipisahkan yang dapat memungkinkan fiksi hukum dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, adanya kerjasama antara bagian-bagian itu (Check and Balances). 56 Tujuan adanya pemisahan kekuasaan agar tindakan sewenangwenangdari raja dapat dihindari dan kebebasan dan hak-hak rakyat dapat terjamin.UUD 1945 setelah perubahan membagi kekuasaan negaraatau membentuk lembaga-lembaga kenegaraan yang mempunyaikedudukan sederajat serta fungsi dan wewenangnya masing-masing yaitu: 56 G.J. Wolhoff,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Refika Aditama,Jakarta, 2011, hal. 10 Universitas Sumatera Utara 54 a. Dewan Perwakilan Rakyat b. Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Dewan Pimpinan Daerah d. Badan Pemeriksa Keuangan e. Presiden dan Wakil Presiden f. Mahkamah Agung g. Mahkamah Konstitusi h. Komisi Yudisial i. Dan Lembaga-lembaga lainnya yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945 dan lembaga-lembaga yang pembentukandan kewenangannya diatur dengan undang-undang Dengan demikian UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan negara seperti dikemukakan oleh John Locke danMontesqieu seperti tersebut di atas, akan tetapi UUD 1945membagi kekuasaan negara dalam lembaga-lembaga tinggi negara dan mengatur pula hubungan timbal balik antaralembaga tinggi negara tersebut. Sedangkan disisi yanglain, teori perundang-undangan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembuatanperaturan perundang-undangan, Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan asas hukum dalam perundang-undangan yaknisebagai berikut: 57 1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif); 57 PurnadiPurbacaraka dan Soerjono Soekanto,Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 1989, hal. 7-11 Universitas Sumatera Utara 55 2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (system hierarki); 3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); 4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); 5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat; 6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat). Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskanbahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undanganharus mengedepankan minimal empat asas dari asas-asas tersebut di atas.Keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untukmenjamin adanya kepastian hukum di masyarakat mengenaiberlakunya suatu hukum. Walaupun keberadaan asas inidikecualikan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang berskalainternasional dengan beberapa alasan tertentu. Akan tetapi,alasannya tetap dalam rangka untuk adanya jaminan kepastianhukum dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan. Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata urutan peraturanperundang-undangan harus memperhatikan kordinasi antarasatu Universitas Sumatera Utara 56 peraturan dengan peraturan yang lainnya. Antara peraturandi tingkat pusat dan peraturan di tingkat daerah. Dengan adanyaasas ini menegaskan bahwa adanya hierarki dalam sistemperundang-undangan dan bersifat subordinasi, tidak hanyakoordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa adanya taat hukumdan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah. 58 Asas lex posterior derogate lex priori menegaskan asashiearki dalam system peraturan perundang-undangan.Keberadaan peraturan yang di atas otomotis harus lebih ditaatikeberadaannya dan dijadikan rujukan oleh peraturan yang dibawahnya sekaligus menjadi dasar atas pembentukan peraturanperundangundangan yang berada di bawahnya. Dengan asasini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan adalahsuatu sistem yang bersifat sistematis menuju terciptanya sistemhukum yang berkeadilan.Asas specialis derogate legi generalismenegaskan bahwahukum dibuat untuk menciptakan keadilan. Tujuan hukumtiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan. Keberadaanasas ini menegaskan bahwa peraturan yang lebih khususmengecualikan peraturan yang lebih umum. Bahwa ketika telahdibuat suatu peraturan yang lebih khusus dalam suatu bidangtertentu, maka serta merta keberadaan peraturan ini akanmengecualikan peraturan yang sebelumnya yang masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak adanyapenafsiran yang berbeda dengan tujuan diciptakannya peraturan itu sendiri, sehingga akan memberikan rasa kepastian hukum ditengah masyarakat. 58 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,hal. 56-57 Universitas Sumatera Utara 57 Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, hal ini mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan lain-lain dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari uraian para ahli, yaitu: 1. Asas-asas Hukum Umum a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif). Peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundangundangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat. b. Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior).Peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hierarki norma dan peraturan perundang-undangan. c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkanperaturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis); Universitas Sumatera Utara 58 d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundangundangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan. 2. Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/ materi muatan peraturan perundang-undangan adalah: a. Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi; b. Jaminan integritas hukum nasional; dan c. Peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi. Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut: a. Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. b. Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hakhak asasi manusia serta harkat dan martabat. c. Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik. d. Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya. Universitas Sumatera Utara 59 e. Keadilan; memuat misi keadilan. f. Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. g. Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan hukum. h. Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara. i. Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan. j. Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, dan identitas sosial lainnya. k. Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi pemecahan masalah. l. Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundangundangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan. m. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang. Universitas Sumatera Utara 60 n. Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan. o. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna dan hasil guna. p. Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti dan tidak multitafsir. q. Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan tidak parsial. r. Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu. s. Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang fair. t. Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan. C. Hierarki Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia Tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan dalam suatu tata hukum itu oleh Hans Kelsen disebut hierarchi of norm (strufenbau des recht). Setiap kaidah hukum merupakan suatu susunan daripada kaidah-kaidah. Dalam Universitas Sumatera Utara 61 stufentheorie-nya Hans Kelsen mengemukakan bahwa dipuncak “stufenbau“ terdapat kaidah dasar dari suatu tata hukum nasional yang merupakan suatu kaidah fundamental. Kaidah dasar tersebut disebut “grundnorm”atau “usprungnorm”. Grundnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, bersifat umum, atau hipotesis. Menurut Kelsen, Grundnorm pada umumnya adalah meta juridisch, bukan produk hukum (buatan) badan pembuat undangundang (de wetgeving), bukan bagian dari peraturan perundang-undangan (algemene venbindende voorshrifften), namun merupakan sumber dari semua sumber (the source of the source) dari tatanan peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya. 59 a. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004). Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan 2002, maka Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setelah melalui proses pembahasan, rancangan undang-undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi undangundang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 2004. 60 59 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah,Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.25 60 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,1998, hal. 97 Universitas Sumatera Utara 62 Dalam undang-undang tersebut dinyatakan pula tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7, yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur; b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara 63 (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 61 b. Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Ditetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 4. Peraturan pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa kekuatan hukum setiap jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan lebih lanjut, yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undanganyang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan tidak terbatas pada yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) saja, tetapi mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah 61 Ibid, hal. 97 Universitas Sumatera Utara 64 (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat (ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011). Peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011). 62 62 Aziz Syamsuddin, Proses dan Tekhnik Penyusunan Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,hal. 6-7 Universitas Sumatera Utara BAB IV KEDUDUKAN PERATURAN DESA DALAM SISTEM HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lahirnya Peraturan Desa Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian penting bagi keberadaan bangsa Indonesia. Penting karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh. Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan sosial desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas. Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya diambil oleh segelintir orang yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut, bisa elite kabupaten, provinsi, 65 Universitas Sumatera Utara 66 bahkan pusat. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi tanah air Indonesia yang terdiri beribu-ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi desa sebagai unsur pemerintah terdepan. Struktur pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia. Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkansegala potensi yang dimilikinya cenderung lebih banyak menjadi “upeti“ pada pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa. Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian terakhir diubah menjadi Universitas Sumatera Utara 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah. Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan desa selalu bersifat top down dan sectoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat (setiap departemen) yang bersifat sectoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permasalahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat. Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di desa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota. Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja. Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi Universitas Sumatera Utara 68 masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota. Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada dukungan bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi. Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk. Pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau negara, sehingga berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi. Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin. Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan Universitas Sumatera Utara 69 sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang. Disisi lain, baik dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Musyawarah Perenacanaan Pembangunan Daerah (Musrenbangda), dan Musyawarah Perencanaan Pembanguan Kecamatan (Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah, Dengan demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing(elite birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh. Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah Universitas Sumatera Utara 70 pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan). Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa tidak optimal. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan Universitas Sumatera Utara 71 kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut sebagai UU Desa) yang disahkan dan diundangkan pada 15 Januari 2014 lalu lahir melalui proses. Hampir semua fraksi di DPR dan Pemerintah dalam proses pembahasan telah menyinggung kegagalan perundang-undangan lama dan perlunya peraturan baru tentang Desa. Peraturan baru ini menjadi koreksi terhadap kesalahan-kesalahan aturan lama sekaligus menjadi antisipasi untuk perubahan di masa mendatang. Rancangan UU Desa sebenarnya lahir dari proses rapat kerja Komisi II DPR RI periode 2004-2009 dengan jajaran Kementerian Dalam Negeri. Rapat kerja telah menyepakati UU No. 32 Tahun 2004 dipecah menjadi tiga UndangUndang, yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan UU tentang Desa. Untuk menindaklanjuti rapat kerja tersebut Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan No. 180.05-458 tanggal 1 September 2006 tentang Penyusunan Undang-Undang di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, termasuk di dalamnya Undang-Undang tentang Desa. Pentingnya UU Desa disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi seperti tertuang dalam Keterangan Pemerintah tertanggal 2 April 2012 berikut ini: “Undang-Undang tentang Desa bertujuan hendak mengangkat Desa pada posisi subjek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal lain adalah bahwa pengaturan Desa akan menentukan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal. Penguatan kemandirian Universitas Sumatera Utara 72 Desa melalui Undang-Undang tentang Desa sebenarnya juga menempatkan Desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom up)”. Dalam proses pembahasan, Pemerintah dan DPR punya satu pandangan bahwa aturan mengenai Desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 sudah tidak memadai. Fraksi Partai Golkar, seperti disampaikan Ibnu Munzir, menyampaikan pandangan yang relevan mengenai urgensi kelahiran UU Desa tersendiri. Pandangan Partai Golkar disampaikan pada 11 Desember 2013, yang pada intinya menyebut tiga hal. Pertama, pengaturan tentang Desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 terlalu umum sehingga dalam banyak hal pasal-pasal tentang Desa baru bisa dijalankan setelah lahir PP atau Perda yang cenderung membuat implementasi kewenangan ke Desa bergantung banyak kepada kecepatan Pemda. Kedua, UU No. 32 Tahun 2014 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara pemerintah, Pemda, dan Desa. Ketiga, Desain kelembagaan Pemerintahan Desa belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk kemandirian, demokrasi dan kesejahteraan Desa. Senada dengan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional menyampaikan pandangan tentang pentingnya UU Desa, sebagaimana dibacakan H. Totok Daryanto pada 11 Desember 2003, berikut : “Undang-Undang tentang Desa sangat diperlukan untuk memberdayakan masyarakat Desa dalam perspektif komprehensif yang bisa membuat Desa mampu mengembangkan diri dengan segala potensi yang ada di dalamnya. Universitas Sumatera Utara 73 Dalam konteks tersebut, Undang-Undang tentang Desa harus memberikan legitimasi atau kewenangan bagi Desa untuk mengatur dirinya sendiri”. Alasan ini tertuang dalam UU Desa, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pengaturan selama ini belum cukup melindungi kepentingan masyarakat desa. Peraturan tentang Desa menghadapi tantangan terbesarnya ketika berhadapan dengan jumlah desa yang sangat banyak di Indonesia. Hukum sudah tidak lagi mampu mengimbangi laju perkembangan utamanya berkaitan dengan eksistensi desa termasuk masyarakat adat di dalamnya terhadap perkembangan zaman sehingga menimbulkan kesenjangan sosial, pada akhirnya akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pembentuk Undang-Undang Desa merasa perlu untuk mencantumkan poin penting yang perlu dijelaskan selain dasar Pemikiran, asas pengaturan, dan materi muatan. Tujuan ini sebenarnya berhubungan dengan pentingnya pengaturan Desa dengan undang-undang tersendiri. Tujuan ini dilandasi Pemikiran pembentuk undang-undang agar UU Desa diselaraskan dengan konstitusi, yaitu ‘penjabaran lebih lanjut Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Ketika menyampaikan “pendapat mini” atas RUU Desa, Fraksi PPP secara khusus juga menyinggung tujuan tersebut. Menurut Fraksi PPP ada lima tujuan UU Desa, yaitu (i) pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap otonomi asli yang bersumber dari hak asal usul sehingga Desa terdiri atas Desa dan Desa adat; (ii) keinginan membentuk Pemerintahan Desa yang modern, yaitu professional, efisien dan efektif, terbuka dan bertanggung jawab. Namun Desa juga tetap memelihara nilai-nilai lokal sekaligus bisa mengikuti perkembangan Universitas Sumatera Utara 74 zaman; (iii) adanya semangat meningkatkan pelayanan publik agar lebih berkualitas untuk menjawab tuntutan karena masyarakat semakin cerdas; (iv) mengakselarasi pembangunan untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat agar Desa tidak ditinggalkan penduduknya; dan (v) pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan di pedesaan. Sedangkan dalam Penjelasan Umum UU Desa, tujuan pengaturan tentang Desa adalah : 1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya NKRI. 2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 3. Melestarikan dan memajukan adat B. Kedudukan Peraturan Desa dalam Sistem Hukum Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Seiring dengan kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, kedudukan, fungsi, dan eksistensi Peraturan Desa sudah tentu harus disesuaikan dengan pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Hal ini dikarenakan memang terdapat beberapa perubahan substansi pengaturan terkait peraturan desa di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Analisa terhadap perubahan pengaturan di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dapat dimulai melalui Pasal 5 UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 yang kali ini dengan tegas menyatakan bahwa desa Universitas Sumatera Utara 75 berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. Melaui kejelasan kedudukan desa yang berada di wilayah Kabupaten/Kota ini analisa terkait Peraturan Desa didasarkan. Selain kedudukan desa yang secara tersurat diatur, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 juga mengatur secara lain terkait kewenangan desa. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan “Kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,dan adat istiadat Desa.” Di mana kewenangan tersebut sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 meliputi: a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; c. Kewenangan lokal berskala Desa; d. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan e. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatur bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa. Sementara Pasal 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatur perihal pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan Universitas Sumatera Utara 76 dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan lebih lanjut bahwa penugasan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada Desa sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf c meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa, di mana penugasan tersebut disertai biaya. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa kewenangan mengatur Desa hanya terdapat di dalam kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Dalam hal penugasan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 hanya memberi kewenangan Desa untuk mengurus. Pasal 69 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa “Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama dengan BPD.” Perlu dilihat kembali pengaturan Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk denganUndang-Undang, Universitas Sumatera Utara 77 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Melihat pengaturan tersebut maka sudah jelas seturut dengan pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Peraturan Desa kembali berkedudukan sebagai Peraturan Perundang - Undangan selain dari peraturan perundangundangan yang terdapat di dalam hierarki sesuai Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Melihat hubungan tersebut, Peraturan Desa pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bukan lagi berkedudukan semata sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan telah berkedudukan sebagai peraturan perundangundangan yang diakui. Kemunculan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 secara serta merta mengafirmasi pengaturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Peraturan Desa merupakan instrumen hukum penyelenggaraan Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan kewenangan Desa. Sehingga Peraturan Desa seturut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 berfungsi untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa dalam hal kewenangan desa mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan bahwa Peraturan Desa memiliki fungsi sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi desa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kedudukan Desa adalah berada di wilayah Kabupaten/Kota. Selain itu, perlu dicermati pengaturan Pasal 115 huruf b dan e jo. Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang Universitas Sumatera Utara 78 mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa berupa memberikan pedomanpenyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa serta melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni berfungsi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu juga perlu dilihat bahwa melalui pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terkait Peraturan Desa ini terlihat jelas bahwa tampuk kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa adalah berada di Kepala Desa. Kepala Desalah badan yang selain melaksanakan peraturan perundang-undangan, juga merupakan badan yang membentuk Peraturan Desa. Hal ini menegaskan kedudukan dan fungsi BPD yang telah dibahas di bab sebelumnya. Sehingga jelas adanya bahwa berjalannya demokratiasi di Desa pada umumnya dilaksanakan melalui Kepala Desa, dengan BPD sebagai parlemen desa dan lembaga demokratisasi desa menjadi lembaga yang ikut serta melalui fungsi pengawasannya. Demokratisasi ini dilaksanakan dalam bingkai otonomi desa yang sejatinya semakin kabur, di mana Pemerintahan Desa seturut UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tidaklah dapat diselenggarakan secara otonom sepenuhnya, melainkan tetap dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 Juncto Pasal 137 UU Nomor 23 Tahun 2014 diatur bahwa Peraturan Daerah yang di dalamnya termasuk adalah Peraturan Desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengatur, juga harus memenuhi asas materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 23 Tahun 2014 juncto Pasal 138 UU Nomor 23 Tahun 2014. Berkaitan dengan asasasas materi muatan tersebut, ada sisi lain yang harus dipahami oleh pengemban kewenangan dalam membentuk Peraturan Desa. Pengemban kewenangan harus memahami segala macam seluk beluk dan latar belakang permasalahan dan muatan yang akan diatur oleh Peraturan Desa tersebut. 2. Ditetapkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sebagai berikut: 1. Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 4. Peraturan pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 79 Universitas Sumatera Utara 80 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 bahwa kekuatan hukum setiap jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan lebih lanjut, yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undanganyang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan tidak terbatas pada yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) saja, tetapi mencakup juga peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat (ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011). 3. Peraturan Desa merupakan instrumen hukum penyelenggaraan Pemerintahan Desa di dalam melaksanakan kewenangan Desa. Sehingga Peraturan Desa seturut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 berfungsi untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa dalam hal kewenangan desa Universitas Sumatera Utara 81 mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa. Pengaturan demikian dapat diartikan bahwa Peraturan Desa memiliki fungsi sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi desa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kedudukan Desa adalah berada di wilayah Kabupaten/Kota. Selain itu, perlu dicermati pengaturan Pasal 115 huruf b dan e jo. Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang dalam hal Peraturan Desa berupa memberikan pedomanpenyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa serta melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Ketentuan ini memperjelas bahwa fungsi Peraturan Desa tetap tidak berubah, yakni berfungsi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu juga perlu dilihat bahwa melalui pengaturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terkait Peraturan Desa ini terlihat jelas bahwa tampuk kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa adalah berada di Kepala Desa. B. Saran 1. Dalam menjalankan peraturan desa para pemangku jabatan harus menjalin komunikasi dengan baik tentang pengaturan desa agar terlaksananya otonomi desa sesuai dengan yang diharapkandan berpegang pada prinsipprinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 2. Sistem perundang-undangan di Indonesia harusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya masing-masing seperti yang sudah tertuang di Universitas Sumatera Utara 82 dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan agar setiap peraturan yang ada dapat terlaksana sebagaimana mestinya dan mencegah terjadinya benturan didalam pelaksaanaan setiap peraturan perundang-undangan 3. Desa dalam menjalankan sistem pemerintahannya agar diberikan kebebasan karena pengaturan desa dan kedudukan peraturan desa untuk menjalankan sistem pemerintahan sudah berdiri sendiri tanpa adanya pengaruh dari peraturan lain karena desa sudah diberikan kewenangan otonomi desa oleh pemerintah pusat. Universitas Sumatera Utara