BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Lingkungan merupakan komponen utama bagi kelangsungan hidup
makhluk hidup. Khalayak umum masa kini mulai sering membicarakan tentang
akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan hidup yang semakin
mengancam kelangsungan kehidupan di bumi (Kristanto, 2004:8). Kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi di bumi memiliki kadar yang berbeda. Penyebab
utama kerusakan lingkungan hidup hanya satu, yaitu paradigma pembangunan
yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi (Borong, 2000: 50).
Kerusakan lingkungan juga terjadi dalam kaitan dengan meningkatnya
jumlah lahan krisis akibat rusaknya permukaan tanah. Hal ini terjadi bukan saja
karena kerusakan hutan, tetapi juga akibat tidak langsung dari pola pertanian dan
perkebunan intensif dengan menggunakan berbagai pupuk kimia yang merusak
lapisan tanah. Kerusakan lingkungan juga akan semakin parah apabila proses
degradasi hutan yang terjadi dengan tingkat yang masif seperti sekarang diiringi
dengan pola intensifikasi perkebunan yang mengandalkan pupuk kimia yang
berbahaya maka akan menimbulkan proses penggurunan yang serius (Keraf,
2010: 34).
Pola keinginan yang kurang terkendali sering terjadi disebabkan oleh
faktor yang selalu mementingkan diri sendiri. Kepentingan yang berhubungan
1
2
dengan masalah bersama seringkali terabaikan dari perhatian manusia. Faktor
egoisme dapat dikatakan sebagai hal yang cukup dominan dalam hubungannya
dengan masalah lingkungan. Faktor egoisme ini muncul karena sifat egoisme
seseorang demikian dominan, sehingga faktor-faktor norma, etika atau kewajaran/
kepatutan tidaklah menjadi halangan baginya (Siahaan, 2004: 66).
Manusia sebagai bagian dari alam seharusnya sangat peduli dan sadar
terhadap kelestarian alam. Kepedulian terhadap lingkungan sangat penting untuk
dipahami dan dimengerti oleh manusia yang merupakan bagian integral dari alam.
Manusia sebagai makhluk hidup yang dominan telah banyak menentukan corak
kehidupan ekosistem. Manusia dengan berbagai tingkah laku, kepentingan,
keinginan, ideologi, pandangan terhadap nilai telah banyak mempengaruhi dan
mengubah wajah bumi yang mencerminkan ketidakseimbangan (Siahaan, 2004:
13).
Perkebunan sebagai salah satu wujud pemanfaatan alam memiliki banyak
pengaruh terhadap lingkungan, masyarakat dan ekonomi. Perkebunan merupakan
salah satu sumber pendapatan terbesar bagi negara Indonesia saat ini. Demi
memperoleh keuntungan yang lebih besar dari usaha perkebunan, banyak dampak
baik maupun buruk yang diterima lingkungan.
Teh merupakan komoditi perkebunan yang cukup mempunyai arti penting
bagi Indonesia karena dapat menghasilkan devisa bagi negara. Pembukaan lahan
perkebunan teh juga dapat berfungsi sosial karena menampung banyak tenaga
kerja, serta dapat memelihara kelestarian sumber daya alam yang berupa tanah,
air, dan lingkungannya. Tanaman teh yang dimiliki semua perkebunan teh di
3
Indonesia pada saat ini hampir semuanya merupakan tanaman tua. Sebagian besar
tanaman teh yang ditanam di Indonesia berasal dari biji, sehingga apabila
dicermati akan menunjukkan keragaman meskipun berada dalam satu populasi
pertanaman (Mangoendijojo, 2000: 2).
Tanaman Kelapa Sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang
paling efisien dibandingkan beberapa tanaman sumber minyak nabati yang
memiliki nilai ekonomi tinggi lainnya, seperti kedelai, zaitun, kelapa, dan bunga
matahari. Kelapa Sawit dapat menghasilkan minyak paling banyak dengan
rendemen mencapai 21%, kelapa sawit dapat menghasilkan minyak sebanyak 6-8
ton/ hektare (Sunarko, 2010).
Masa depan agrobisnis kelapa sawit memiliki peran yang signifikan bagi
ekonomi Indonesia. Perkembangan luas dan produksi kelapa sawit di Indonesia
selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan peningkatan dari 1.592.000 hektare
pada tahun 1997 menjadi 6.513.000 hektare pada tahun 2007 atau meningkat
7,5% per tahun. Produksi juga meningkat dari 5.448.000 ton (1997) menjadi
17.300.000 ton (2007). Hal ini menjadikan Indonesia mampu melampaui produksi
minyak sawit Malaysia, tetapi ekspor Malaysia masih lebih besar.
Proses ini mendasari konversi tanaman pada PT. Perkebunan Nusantara IV
di Kabupaten Simalungun menjadi tanaman kelapa sawit di samping prospek
komoditi teh yang semakin menurun. Keberhasilan dalam pengembangan kelapa
sawit sangat ditentukan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah faktor lahan
(tanah dan iklim) faktor tanah khususnya, sebagai medium tumbuhnya tanaman
kelapa sawit memiliki sifat-sifat yang kompleks.
4
Kelapa sawit membutuhkan persyaratan iklim tertentu agar dapat tumbuh
optimal.
Faktor
iklim
meliputi
curah
hujan,
hari
hujan,
temperatur,
evapotranspirasi, lama penyinaran, dan angin. Tanaman kelapa sawit dapat
tumbuh baik di wilayah dengan curah hujan 1.500-3.500 mm/tahun dan
optimumnya 2.500 mm/tahun. Lama penyinaran matahari yang dibutuhkan kelapa
sawit minimum sekitar 1.600 jam/tahun atau 4,3 jam/hari dan optimalnya 6-7
jam/hari dengan temperatur udara 24-28o Celcius, serta kelembaban udara nisbi
sekitar 80%. Tanaman kelapa sawit relatif tahan angin, tetapi kecepatan angin
rata-rata tidak lebih dari 40 km/jam.Angin yang kencang dapat merusak daun dan
pertumbuhan kelapa sawit (Sunarko, 2014: 38).
Tanaman teh hampir sama sekali tidak memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan, berbeda dengan kelapa sawit, sebagai tumbuhan yang rakus air dapat
membuat kekeringan. Persawahan dan perladangan masyarakat setempat akan
hancur apabila sumber air dari tanah habis diserap oleh tanaman kelapa sawit.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Simalungun telah dilakukan
dengan mengkonversi tanaman teh. Konversi yang sudah terlanjur dilakukan di
Kebun Marjandi dan Bah Birung Ulu ke tanaman sawit, sudah beberapa kali
mengakibatkan bencana longsor pada waktu musim hujan dan kekeringan pada
musim kemarau. Kebun teh merupakan peninggalan sejarah yang digagas oleh
pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1920, yang berarti sudah ada 92 tahun
lamanya. Petani dan masyarakat Simalungun khususnya sudah sangat akrab
dengan kebun teh (http://dpchimapsisimalungun.blogspot.com/ diunduh 27 April
2014).
5
Undang-undang yang mengatur perkebunan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah Undang-undang No 18 tahun 2004 tentang perkebunan dan Undangundang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pihak perkebunan sebaiknya membatasi jumlah lahan yang hendak
dikonversi jika memang tindakan tersebut harus dilakukan. Pengalaman yang
terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia, lingkungannya menjadi rusak akibat
konversi kelapa sawit yang telah dilakukan. Pengelolaan perkebunan haruslah
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya agar
tidak terjadi bencana yang tidak diharapkan dikemudian hari akibat konversi
kelapa sawit.
Lingkungan hidup tidak sekedar permasalahan teknis, begitu pula krisis
lingkungan global yang saat ini dihadapi manusia adalah persoalan moral, krisis
moral secara global. Etika dan moralitas diperlukan untuk mengatasinya (Keraf,
2010: 1). Teori etika lingkungan Ekosentrisme memusatkan perhatiannya pada
seluruh lapisan komunitas ekologis. Makhluk hidup dan benda-benda abiotis
lainnya memiliki keterkaitan satu sama lain secara ekologis. Kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga berlaku bagi
semua realitas ekologis (Keraf; 2010: 92).
Deep Ecology merupakan salah satu teori Ekosentrisme menuntut adanya
sebuah etika baru yang tidak berpusat pada manusia. Deep Ecology menginginkan
etika yang berlaku bagi makhluk hidup seluruhnya dalam hubungan dengan usaha
mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep Ecology memusatkan perhatianpada
seluruh komunitas ekologis.
6
Tindakan konversi tanaman teh ke kelapa sawit sudah terlanjur dilakukan
oleh PTPN IV di Perkebunan Marjandi, Kabupaten Simalungun. Segala macam
dampak baik positif dan negatif telah diterima pihak PTPN IV dan masyarakat
Simalungun. Konversi tanaman teh ke kelapa sawit bukan hanya masalah teknis
saja, tetapi yang lebih penting adalah kesadaran manusia terhadap lingkungannya
dari dampak konversi tersebut. Refleksi etika lingkungan Ekosentrisme yang
menginginkan adanaya etika baru yang berpusat pada seluruh komunitas ekologis
dianggap dapat digunakan sebagai analisis di pihak PTPN IV dan masyarakat
Simalungun penting untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
2. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:
a. Mengapa terjadi konversi tanaman perkebunan teh ke kelapa sawit di
PTPN IV Marjandi?
b. Apa dampak yang ditimbulkan dari praktek konversi tanaman perkebunan
teh menjadi kelapa sawit di PTPN IV Marjandi?
c. Apa peran etika lingkungan Ekosentrisme terhadap konversi tanaman
perkebunan teh menjadi kelapa sawit di PTPN IV Marjandi?
3. Keaslian Penelitian
Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang pernah menulis tentang
dampak konversi tanaman teh ke kelapa sawit dikaji dari sudut pandang etika
lingkungan Ekosentrisme. Adapun penelitian maupun tulisan yang sejenis dengan
penelitian yang akan penulis lakukan adalah sebagai berikut.
7
Tesis karya Jan Ericson Chandara Purba, 2009, Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tanaman Perkebunan Teh Menjadi
Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun yang berisi harga teh dan jumlah tenaga
kerja berpengaruh negatif dan signifikan sedangkan harga Tandan Buah Segar
(TBS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap alih fungsi (konversi) tanaman
Perkebunan Teh menjadi Perkebunan Kelapa Sawit.
Skripsi karya Choirul Syahmora Hasibuan, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Medan, 2013, Analisis Konversi Lahan Karet ke Kelapa Sawit
di Desa Sabungan Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhanbatu Selatan
yang berisi hasil produksi kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan hasil
produksi karet. Pemasaran kelapa sawit juga lebih mudah dilakukan daripada
pemasaran getah karet karena pabrik kelapa sawit lebih banyak jumlahnya dan
relatif dekat jaraknya.
Skripsi karya R. Nice Marpaung, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Medan, 2012, Dampak Konversi Hutan Mangrove Menjadi Kebun Kelapa Sawit
terhadap Lingkungan di Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat yang
berisi konversi hutan mangrove menjadi kelapa sawit di Kecamatan Brandan
Barat telah membawa dampak terhadap lingkungan fisik yaitu penyusutan luasan
hutan mangrove, frekuensi banjir semakin sering terjadi setiap air pasang dan
menghilangkan habitat binatang yang berada di sekitar hutan mangrove
Kecamatan Brandan Barat.
8
Penelitian ini difokuskan pada konversi tanaman perkebunan teh menjadi
kelapa sawit ditinjau dari etika lingkungan, maka penulis menyatakan bahwa
penelitian ini benar-benar asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif dalam
perihal pelestarian lingkungan terutama kelestarian ekosistem perkebunan.
Kontribusi positif diupayakan mampu menarik minat dari berbagai ilmu
tentang lingkungan untuk mengkaji lebih lanjut mengenai konversi
tanaman perkebunan teh ke kelapa sawit sehingga menambah pengetahuan
di bidang pelestarian ekosistem perkebunan.
b. Bagi filsafat
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya literatur dan kajian filsafat
di bidang lingkungan khususnya etika lingkungan. Etika bukan hanya
kajian teoritis, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan.
c. Bagi bangsa Indonesia
Penelitian ini diharapkan berguna bagi bangsa Indonesia dalam pengkajian
kelestarian alam dan lingkungan, terutama pada perkebunan serta sebagai
salah satu acuan bagi pengambil keputusan dalam perencanaan
pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan pelestarian alam dan
lingkungan.
9
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Merumuskan secara deskriptif alasan dilakukannya konversi tanaman
perkebunan teh ke kelapa sawit di PTPN IV Marjandi.
2. Merumuskan dampak yang ditimbulkan dari konversi tanaman perkebunan
ke kelapa sawit di PTPN IV Marjandi.
3. Merumuskan secara analitis relevansi pemikiran etika lingkungan
Ekosentrisme terhadap konversi tanaman perkebunan teh ke kelapa sawit.
C. Tinjauan Pustaka
Tanaman teh berasal dari iklim sub tropis, maka cocok ditanam di daerah
pegunungan. Garis besar syarat tumbuh untuk tanaman teh adalah kecocokan
iklim dan tanah. Faktor iklim yang harus diperhatikan seperti suhu udara yang
baik antara 13 – 15oC, kelembaban relatif pada siang hari > 70%, curah hujan
tahunan tidak kurang dari 2.000 mm, dengan bulan penanaman curah hujan tidak
kurang dari 60 mm tidak lebih 2 bulan. Penyinaran sinar matahari juga sangat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman teh, makin banyak sinar matahari makin
tinggi suhu, bila suhu mencapai 30oC pertumbuhan tanaman teh akan terhambat.
Pada ketinggian 400 – 800 m tanaman teh memerlukan pohon pelindung tetap
atau sementara, disamping itu perlu mulsa sekitar 20 ton/ha untuk menurunkan
suhu tanah. Hal ini dikarenakan suhu tanah yang tinggi dapat merusak perakaran
tanaman, terutama akar di bagian atas.(Syakir, 2000: 1)
10
Tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman teh adalah tanah yang
serasi. Tanah yang serasi adalah tanah yang subur, banyak mengandung bahan
organik dan tanah memiliki derajat keasaman 4,5 – 5,6. Tanah yang baik untuk
pertanaman teh terletak di lereng-lereng gunung berapi, yang dinamakan tanah
Andisol. Tanah andisol adalah tanah yang berasal dari abu gunung api (Syakir,
2000: 2).
Elevasi (ketinggian suatu tempat di atas permukaan laut) tidak menjadi
faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman teh jika iklim dan tanah serasi bagi
pertanaman teh. Elevasi dan unsur iklim (suhu udara) memiliki kaitan, semakin
rendah elevasi pertanaman, suhu udara akan semakin tinggi. Mengantisipasi suhu
udara yang semakin tinggi pada daerah renda diperlukan pohon pelindung untuk
mempengaruhi suhu udara agar menjadi lebih rendah sehingga tanaman teh
tumbuh baik. Keserasian elevasi di Indonesia terbagi atas 3 daerah, yaitu : daerah
rendah (<800 mdpl), daerah sedang (800-1.200 mdpl), daerah tinggi (>1.200
mdpl). Perkebunan teh di Indonesia terdapat pada keserasian elevasi cukup luas,
berkisar 400-2000 mdpl. Pengaruh suhu udara berpengaruh bagi pertumbuhan teh
sehingga mutu yang dihasilkan tergantung dari tempat teh di tanam. Aroma yang
dihasilkan teh di dataran tinggi lebih baik daripada teh yang ditanam di dataran
rendah (Syakir, 2000: 2-3).
Konversi adalah adanya perubahan, pengubahan, penukaran penggunaan
lahan. Wahyunto dalam Purba (Jan Purba, 2009: 37), perubahan penggunaan
lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut
terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan
11
penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan
meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Para ahli
berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih disebabkan oleh adanya
kebutuhan dan keinginan manusia.
Mc Neill dalam Purba (Jan Purba, 2009: 37) menjelaskan faktor-faktor
yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi
dan budaya. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan
konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai
contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan
tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Selain
itu teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan.
Jenis-jenis tanah yang dapat dijadikan lahan perkebunan dan cocok untuk
budidaya kelapa sawit adalah yang berlokasi pada ketinggian sampai 500 m di
atas permukaan laut. Lahan yang tingginya lebih dari 500 m dari permukaan laut
akan mengakibatkan gejala-gejala permulaan dari pengaruh iklim yang dingin
daripada yang letaknya lebih rendah. Tanaman sawit akan lambat tumbuhnya,
seperti halnya dengan tanaman karet atau tanaman industri lainnya. Pohon-pohon
akan berproduksi setahun lebih lambat, meskipun seterusnya pertumbuhannya
akan cukup memuaskan. Produksi yang berasal dari tanaman muda pada dasarnya
setiap tahun akan bertambah. Apabila dibandingkan dengan pertanaman yang
ditanam pada saat yang bersamaan, tetapi ketinggiannya lebih rendah, maka akan
menderita kerugian produksi yang kurang lebih sesuai dengan tambahan luas
setiap tahun. Kerugian ini dapat menyebabkan kurang baiknya rentabilitas
12
perusahaan. Jadi sedapat mungkin disarankan agar jangan menanam kelapa sawit
pada ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut (Heurn, 1985: 25-27).
Areal perkebunan sawit di Sumatera pada tahun 2005 mencapai 4.280.094
ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Provinsi Riau
tercatat memiliki areal terbesar yaitu 1.383.477 ha diikuti provinsi Sumatera Utara
seluas 964.257 ha (ICN, 2009a). Data dari PTPN IV (2009) menyebutkan luas
lahan sawit di Sumatera Utara adalah 1,9 juta ha dengan rincian satu juta ha
perkebunan rakyat, 500 ribu ha PBN dan 400 ribu ha dikelola oleh PTPN,
sementara luas areal di propinsi Riau adalah 1.611.361 ha (BPS Provinsi Riau,
2008). Sumatera Utara sendiri meski memiliki perkebunan sawit cukup luas,
namun hanya bisa menghasilkan CPO, sehingga yang mendapatkan nilai tambah
justru daerah lain, sementara propinsi ini sendiri sering kekurangan minyak sayur
yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari (ICN, 2009b).
Bisnis atau usaha yang bergerak di bidang apapun pastinya mengusahakan
profit/keuntungan yang berkesinambungan. Mengacu pada dasar tersebut dan
melemahnya harga teh di pasaran PTPN IV mentransformasi komoditi teh
menjadi komoditi kelapa sawit di dataran tinggi. Tindakan ini didukung dengan
kenaikan suhu global yang terjadi dengan peningkatan temperatur udara minimum
tahunan menjadi ≥ 18 ºC setelah tahun 1990 pada ketinggian 850 m dpl. Marjandi
dan Bah Birung Ulu (sebagai pilot Project) merupakan dua Unit Usaha yang
mengalami transformsi bisnis dari komoditi teh menjadi kelapa sawit secara
menyeluruh dengan tahapan-tahapan. (Makalah Transformasi Bisnis Teh Menjadi
Kelapa Sawit, 2011: 1).
13
D. Landasan Teori
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos dalam bentuk jamak (ta etha)
artinya adat istiadat atau kebiasaan. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang
baik, tata cara hidup yang baik, baik pada seseorang atau masyarakat. Kebiasaan
hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi
berikutnya. Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan menjadi kaidah, aturan
atau norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan
kepada masyarakat. Kaidah, norma atau aturan ini menyangkut baik-buruk
perilaku manusia. Kaidah inilah yang menentukan apa yang baik yang harus
dilakukan dalam kehidupan, dan hal yang buruk harus dihindari. Etika sering
dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baikburuknya perilaku manusia, yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang
harus dihindari (Keraf, 2002: 2-3).
Etika bila dilihat secara historisnya merupakan usaha filsafat lahir dari
keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu.
Para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.
Hal ini dikarenakan pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak
dipercayai lagi (Suseno, 1987: 15).
Manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki kemampuan
untuk berpikir. Apabila pikiran-pikirannya berjalan begitu saja karena asosiasi
tanpa pengarahan dan pengontrolan yang sadar, maka pikiran-pikiran manusia itu
hanyalah menjadi perbuatan manusia bukannya perbuatan manusiawi, meskipun
perbuatan-perbuatan
ini
perbuatan-perbuatan
dari
tata
susunan
rasional
14
(Poespoporodjo, 1999: 85). Manusia akan kekurangan panduan dan arahan dalam
menangani masalah-masalah tanpa adanya suatu jenis etika dan teori-nilai, baik
itu masalah yang bersifat global, lingkungan maupun sebaliknya (Attfield,
2010:29).
Etika dapat digolongkan atas 3: etika deontologi, etika teleologi, etika
keutamaan. Etika deontologi yang berasal dari kata Yunani deon, yang berarti
kewajiban, dan logos berarti ilmu atau teori. Etika deontologi menilai baik atau
buruk suatu tindakan berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan
kewajiban etika. Etika teleologi berasal dari kata Yunani telos, yang berarti
tujuan, dan logos berarti ilmu atau teori. Etika teleologi menjawab pertanyaan
bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu dengan melihat tujuan atau
akibat dari suatu tindakan. Etika teleologi melihat baik buruk suatu tindakan
berdasarkan tujuan atau akibat dari tindakan tersebut. Etika keutamaan (virtue
ethics) tidak mempermasalahkan akibat suatu tindakan, juga tidak mendasarkan
penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal. Etika
keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap
orang (Keraf, 2010: 36-37).
Etika lingkungan hidup menginginkan adanya perluasan cara pandang dan
perilaku moral manusia dengan memasukkan keseluruhan alam semesta ke dalam
komunitas moral. Etika lingkungan hidup menuntut etika dan moralitas
diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau ekologis. Etika lingkungan hidup
dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan nilai-nilai moral yang
selama ini hanya untuk komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas bagi
15
komunitas biotis atau komunitas ekologis. Etika lingkungan hidup berkaitan
dengan pola perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan hidup berkaitan
dengan semua relasi antara kehidupan alam semesta, yaitu relasi antara manusia
dengan manusia yang berdampak pada alam dan relasi antara manusia dengan
makhluk hidup lain maupun dengan alam secara keseluruhan. Etika lingkungan
hidup juga berkaitan dengan berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang
berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap alam (Keraf, 2010: 41).
Etika lingkungan merupakan landasan rasional bagi tuntutan akan
perlindungan lingkungan akan masalah ekologis. Etika lingkungan menetapkan
dan menjelaskan norma-norma atau kaidah-kaidah bagi sikap maupun pola
perilaku manusia yang tepat berhadapan dengan lingkungannya. Etika lingkungan
juga menginginkan ketetapan-ketetapan norma-norma material konkret terhadap
bukti-bukti yang diberikan oleh ilmu alam dan ilmu sosial bagaimana cara
ekosistem berfungsi, dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam ekosistem
akibat dari proses-proses sosial dan ekonomi (Glaeser, 1989:135-137).
Etika lingkungan sangat diperlukan manusia dalam menghadapi persoalan
lingkungan atau alam, terutama yang berkaitan dengan penataan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai salah satu faktor penting yang menentukan
keberlangsungan makhluk hidup. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan usaha
yang dilakukan manusia secara sadar untuk memelihara dan memperbaiki mutu
lingkungan hidup agar kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi dengan sebaikbaiknya. Mutu lingkungan hidup yang baik diperoleh dengan cara memperbesar
16
manfaat lingkungan dan memperkecil resiko lingkungan hidup (Soemarwoto,
2004: 76-77).
Ekosentrisme sebagai bagian dari teori-teori etika lingkungan hidup
mencoba mendobrak cara pandang antroposentrisme yang memusatkan etika
hanya pada manusia. Ekosentrisme memusatkan perhatiannya pada seluruh
komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Makhluk hidup dan bendabenda abiotis lainnya saling berkaitan satu sama lain. Kewajiban dan tanggung
jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup tetapi juga berlaku terhadap
semua realitas ekologis (Keraf, 2010: 92-93).
Deep Ecology sebagai salah satu versi teori Ekosentrisme menuntut suatu
etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup
seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Deep Ecology tidak hanya memusatkan perhatiannya pada kepentingan jangka
pendek, tetapi jangka panjang. Prinsip moral yang dikembangkan oleh Deep
Ecology menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis (Keraf, 2010: 93).
Deep Ecology dirancang sebagai etika praktis yang berupa sebuah
gerakan. Gerakan oleh Deep Ecology berlandaskan prinsip-prinsip moral etika
lingkungan hidup yang harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Deep
Ecology dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang
mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang
selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan hidup dan
politik (Keraf, 2010: 94).
17
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, dimana penelitian dilakukan
dengan mengandalkan berbagai literatur yang ada, baik itu berupa buku, jurnal,
makalah, artikel, dan laporan penelitian.
1. Bahan atau Materi Penelitian
a. Pustaka Primer
1) Buku Kelapa Sawit karya J. D. Heurn tahun 1985
2) Buku Pembudidayaan dan Pengolahan Teh karya Nazaruddin Paimin dan
Farry. B tahun 1993
3) Buku Budi Daya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem
Kemitraan karya Sunarko tahun 2010
4) Buku Budi Daya Kelapa Sawit di Berbagai Jenis Lahan karya Sunarko
tahun 2014
5) Jurnal Standar Prosedur Operasi (SPO) Bidang Tanaman/Pabrik Kelapa
Sawit, Tanaman/Pabrik Teh, PPIS dan Pabrik Kompos Organik RKAP
Tahun 2008 tahun 2007
6) Jurnal Transformasi Bisnis Teh Menjadi Kelapa Sawit Oleh PT
Perkebunan Nusantara IV (Persero) tahun 2011
b. Pustaka Sekunder
1) Buku Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat karya Dr. Sunyoto
Usman tahun 1998
2) Buku Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan karya N. H. T.
Siahaan tahun 2004
18
3) Buku Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, dan
Lingkungan karya Zoer’aini tahun 2007
4) Buku Etika Lingkungan Hidup karya A. Sonny Keraf tahun 2010
5) Buku Etika Lingkungan Global karya Robin Attfield tahun 2010
Selain buku-buku yang dicantumkan tersebut, pustaka sekunder dalam
penelitian ini diperoleh melalui naskah akademik yang diterbitkan dalam buku,
artikel maupun jurnal, yang aksesnya diperoleh melalui internet. Data tersebut
kemudian dipilah berdasarkan keterkaitannya dengan kajian konversi lahan
perkebunan teh ke kelapa sawit dalam perspektif etika lingkungan.
2. Jalan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data yaitu dengan mengumpulkan data-data berupa buku,
artikel, jurnal, dan makalah yang berkaitan dengan objek penelitian yang
dikaji, yaitu konversi lahan perkebunan teh ke kelapa sawit di Kabupaten
Simalungun.
b. Klasifikasi data yang telah diperoleh untuk dikelompokkan sebagai data
primer dan data sekunder.
c. Melakukan analisis data primer dan data sekunder serta data penunjang
lainnya.
d. Melakukan analisis hasil dalam bentuk evaluasi kritis.
19
3. Analisis Hasil
a. Deskripsi, penulis mencoba mengungkapkan dan memaparkan data yang
diperoleh, yang ditulis secara menyeluruh dari berbagai aspek sehingga
memberikan jawaban atas sebuah masalah.
b. Verstehen, penulis berupaya untuk memahami konversi tanaman perkebunan
teh ke kelapa sawit Marjandi.
c. Interpretasi, penulismengungkapkan fakta yang berasal dari konversi tanaman
perkebunan teh ke kelapa sawit di Marjandi.
d. Hermeneutika, penulis berusaha menangkap makna esensial dengan
melakukan penafsiran terhadap konversitanaman perkebunan teh kelapa sawit
di Marjandi.
e. Heuristik, penulis berusaha menemukan pemahaman baru atau cara pandang
baru, kemudian memberikan evaluasi kritis pada konversi tanaman
perkebunan teh ke kelapa sawit di Marjandi.
F. Hasil yang Telah Dicapai
Penelitian ini telah mencapai beberapa hasil sebagai berikut:
1. Memperoleh penjelasan deskriptif tentang alasan konversi tanaman
perkebunan teh ke kelapa sawit di PTPN IV Marjandi.
2. Memperoleh penjelasan deskriptif dari pokok pemikiran etika lingkungan
Ekosentrisme.
3. Memperoleh penjelasan deskriptif mengenai dampak konversi tanaman
perkebunan teh ke kelapa sawit menurut etika lingkungan Ekosentrisme.
20
4. Mendapat penjelasan mengenai relevansi pemikiran etika lingkungan
Ekosentrisme terhadap upaya berkelanjutan menanggapi dampak dari
konversi tanaman perkebunan teh ke kelapa sawit.
G. Sistematika Penulisan
Bab I:
berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, keaslian penelitian, manfaat, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai,
dan sistematika penulisan.
Bab II: berisi tentang pembahasan mengenai sejarah perkebunan teh, sejarah
perkebunan kelapa sawit, dan pengertian konversi lahan. Bab ini
mendeskripsikan sejarah perkebunan teh hingga dikonversi ke kelapa
sawit serta dampaknya terhadap lingkungan sekitar PTPN IV
Marjandi di Kabupaten Simalungun.
Bab III: berisi tentang uraian tentang ruang lingkup etika, pengertian
lingkungan hidup, pengertian etika lingkungan hidup, teori-teori etika
lingkungan, dan prinsip-prinsip etika lingkungan.
Bab IV: berisi tentang analisis mengenai konversi tanaman perkebunan teh ke
kelapa sawit di PTPN IV Marjandi ditinjau dari segi etika lingkungan
Ekosentrisme.
Bab V: berisi tentang penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Download