EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ALQUR’AN DAN HADIS NABI Oleh: Mufidah Saggaf Aljufri Abstrak Euthanasia merupakan suatu usaha atau tindakan untuk mempercepat kematian guna mengakhiri penderitaan karena penyakit yang diderita. Keinginan untuk mempercepat proses kematian seperti itu bukan saja berasal dari diri orang yang sakit, bahkan terkadang dari pihak keluarga atau dokter yang merawatnya. Para ulama membagi euthanasia ke dalam dua bentuk, yang pertama euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif ialah proses mempercepat kematian sang pasien dengan cara memberikan suntikan karena melihat kondisinya yang semakin parah dan sulit baginya sembuh. Sedangkan bentuk kedua euthanasia pasif sebaliknya tidak ada campur tangan dokter memberikan bantuan secara aktif untuk memperoses kematian pasien. Hidup dan mati semuanya ada di tangan Yang Maha Kuasa, maka Islam melarang orang melakukan tindakan pembunuhanm baik terhadap orang lain, maupun terhadap diri sendiri (bunuh diri) dengan alasan apapun. Abstract Euthanasia is an exertion or action to die fast for ending the suffering because of the illness. The desire of die fast doesn’t come from only him/her, but also families or the doctors who care of him/her. Muslim scholars devided euthanasia into two forms, passive and active euthanasia. The first, Active euthanasia is the process of die fast of the patients by injecting because the condition of the patients isn’t getting better and hard to be better. The second, passive euthanasia opposites of it that there isn’t interference of doctors to help the process of die fast actively. Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 176 Life and die depends on God, so Islam forbids the people to kill others and ourself with any reason. Keyword: Euthanasia, aktif & Pasif PENDAHULUAN Orang-orang yang menderita suatu penyakit yang berat, ada yang sabar serta tidak putus asa dalam menghadapinya, adapula yang tidak sabar terlebih ketika ia mengetahui bahwa penyakitnya sukar atau bahkan tidak dapat di sembuhkan. Hal ini menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Keinginan untuk mempercepat kematian bukan saja timbul dari si penderita, tetapi terkadang berasal dari keluarganya, bahkan dari dokter yang merawatnya. kondisi seperti ini biasanya berdasarkan pertimbanganpertimbangan kemanusiaan baik dalam hal medis maupun non medis, maka hal ini menimbulkan problematika hukum Islam. Usaha-usaha atau tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian guna mengakhiri penderita karena penyakit, itulah yang dikenal dan disebut dengan “euthanasia”. Sehubungan dengan hal ini, penulis mencoba mengkaji hukumnya menurut pandangan Islam {Al-Qur’an dan hadis nabi saw}. Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya Euthanasia berasal dari kata Yunani “euthanous” yang terbentuk dari kata eu dan thanatos yang berarti “baik” dan “mati”. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tampa rasa sakit atau dengan kata lain tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit 1. Dari defenisi di atas dapat dikatakan, Euthanasia mencakup: 1. Kematian dengan cara memasukkan obat dengan atau tanpa permintaan dari pasien 1 Jhon M Echols dan Hasan Sadily Kamus Inggris Indonesia Jakarta PT Gramedia, 1978 h.219 177 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an 2. Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang hidup pasien dengan tujuan mempercepat kematiannya. 3. Pnanggulangaan rasa sakit dengan cara memasukkam obat bius dalam dosis besar dengan mempertimbangkan resiko kematian tetapi tanpa ada niatan eksplisit untuk menimbulkan kematian pada si pasien. 4. Pemberian obat bius dalam jumlah overdosis atau penyuntikan cairan yang mematikan dengan tujuan mengakhiri hidup pasien. 2 Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo, mengutip pendapat Dr. H. Ali Akbar yang membagi euthanasia kepada tiga pengertian : a. Kematian yang mudah dan tanpa sakit b. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk mempercepat kematiannya. c. Keinginan mati dalam arti yang baik Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaannya. 3 Dilihat dari kondisi pasien, tindakan Euthanasia dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu aktif dan pasif. Euthanasia aktif yaitu: tindakan sengaja yang dilakukan oleh ahli medis untuk mengakhiri hidup pasiennya padahal si pasien masih ada harapan untuk hidup, seperti melepaskan alat-alat pembantu medika atau dengan memberikan suntikan. Yang termasuk tindakan 2 Abul Fadl Mohsin, Kloning,Eutanasia,Transusfusi darah,transplantasi organ, danEksperimen pada hewan;Telaah Fikih Dan Bioetika Islam. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004 , h. 148. 3 Chuzaimah T. Yanggo, Masail Fiqhiyah ;Kajian Hukum Islam kontemporer, Bandung: angkasa 2005, h.104. lihat juga : Ali Akbar, Euthanasia dilihat dari Hukum Islam, Panji Masyarakat No. 453,th.XXVI, 21Desember 1984, h. 69 Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 178 mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan apalagi jika penderita ketika itu masih sadar. 4 Sebagai contoh euthanasia aktif, seorang pasien yang dirawat gawat darurat di rumah sakit dengan peralatan majemuk untuk menolong jantung, pernafasan, dan cairan tubuh, yang kesemuanya berfungsi dengan baik, namun alat-alat tersebut dihentikan penggunaannya sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi. Atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi yang juga akan menghentikan fungsi jantung. Demikian pula dapat disebut euthanasia aktif, jika obat-obatan dan segala prosedur lain, digunakan justru untuk menyebabkan atau mempercepat kematian pasien. 5 Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan yang membiarkan si pasien dalam keadaan tidak sadar (comma) tanpa memberikan bantuan medis sehingga berakibat kematian pada si pasien. karena berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlalu tinggi, atau tidak berfungsinya jantung dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini sering disebut di kalangan masyarakat umum dengan istilah “antara hidup dan mati “.6 Termasuk euthanasia pasif juga seperti mematikan ventilator yang sangat dibutuhkan seorang pasien yang lama tak sadarkan diri karena mesin itu membantu memperpanjang usianya.7 Argumen yang sama juga membenarkan dihentikannya penyaluraan zat makanan dari 4 Ahmad Fauzi, Euthanasia; Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 2002, jilid 4), h. 64. 5 Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 105 6 Ibid. 7 Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h, 105 179 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an tabung (infus) jika menurut pendapat ahli-ahli medis, pemberian zat makanan buatan itu tidak berguna lagi bagi si pasien. 8 Pada dasarnya, euthanasia pasif pada tatanan praktek secara sadar atau tidak bisa saja terjadi di Indonesia, yang tidak sadar terpaksa melakukannya karena kurangnya fasilitas yang ada di rumah sakit. Sedangkan yang sadar membiarkan pasien yang sudah tidak tertolong lagi dibawa pulang. Di samping yang mengundang timbulnya praktek euthanasia pasif adalah keterbatasan fasilitas penolong, ruang yang ada di rumah sakit dan mengingat beban keluarga dengan mahalnya biaya pengobatan. Kreteria Mati Pembicaraan Eauthenesia berkaitan erat dengan masalah defenisi mati. Kematian diukur dengan tidak berfungsinya jantung. Jantung digerakkan oleh pusat syaraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak di kepala. tetapi hanya dengan pendarahan otak bukan berarti seseorang telah mati. Para ahli kedokteran sepakat bahwa yang menjadi patokan dalam menetukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak sudah mati maka harapan hidup seseoran sudah terputus. Fugaha dalam menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat gejala. Pertama masih adanya gerak Kedua adanya suara maupun bunyi, Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir Keempat mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.9 Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Islam 1. Kedudukan Jiwa dalam Islam. Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan si pasien atau keluarganya. Euthanasia masih menimbulkan problem keagamaan, hukum dan moral di semua budaya dan tradisi keagamaan. Seperti halnya agama-agama lain, Islam menjunjung tinggi jiwa. Dalam Islam kedudukan jiwa sangat dihargai. Cukup banyak ayat al-Qur’an 8 9 Abul Fadl Mohsin, Kloning,Eutanasia,Transusfusi Darah, h 155. Fauzi Aseri, Euthanasia;Problematika, h. 66 Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 180 dan hadis yang mengharuskan kita untuk menghargai jiwa. Dalam surah al-Najm ayat 44 Allah berfirman: …وأﻧﮫ ھﻮ اﻣﺎت وأﺣﯿﺎ …Dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. Dalam surah al-Hijr ayat 23, Allah berfirman …وإﻧﺎ ﻟﻨﺤﻦ ﻧﺤﻰ وﻧﻤﯿﺖ وﻧﺤﻦ اﻟﻮارﺛﻮن Dan sesungguhnya benar-benar Kamilah yang mnghidupkan dan mematikan dan Kami pulalah yang mewarisi Surat al Nisa ayat 33 …وﻻﺗﻘﺘﻠﻮا اﻟﻨﻔﺲ اﻟﺘﻰ ﺣﺮم ﷲ إﻻ ﺑﺎﻟﺤﻖ …Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharmkan oleh Allah, kecuali dengan hak Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa, milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Agar supaya manusia tidak memandang remeh terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkanya. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, peraturan pidana Islam menetapkam hukuman mati bagi yang melakukan tindak pidana tertentu dengan tujuan mencegah terjadinya kejahatan. Islam menetapkan aturan-aturan preventif bagi tindakan yang cenderung mengancam hidup orang lain. Dalam surah al-Nisa ayat 93 Allah swt menegaskan dengan firmanNya : وﻣﻦ ﯾﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﺠﺰاؤه ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻓﯿﮭﺎ وﻏﻀﺐ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﻟﻌﻨﮫ وأﻋﺪ ﻟﮫ ﻋﺬاﺑﺎ .ﻋﻈﯿﻤﺎ Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya. Allah mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih 181 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an Dalam hadis-hadis Nabi saw larangan pembunuhan ini dipertegas oleh Rasullah saw, antara lain riwayat Ibnu Masu’d Rasullah Saw bersabda : اﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ: ﻻﯾﺤﻞ دم اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ ﯾﺸﮭﺪ أن ﻻ اﻟﮫ اﻻ ﷲ وأﻧﻲ رﺳﻮل ﷲ إﻻ ﺑﺈﺣﺪى ﺛﻼث 10 (واﻟﺜﯿﺐ اﻟﺰاﻧﻲ واﻟﻤﻔﺎرﻗﺔ ﻟﺪﯾﻨﮫ اﻟﺘﺎرك ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ Tidak halal darah seserang yang menyaksikaan bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwa saya adalah Rasullah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara yaitu : janda atau duda yang berzina, orang yang melakukan pembunuhan dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’h. (H.R Bukhari Muslm) Di samping melarang untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain, syariat Islam juga melarang untuk melakukan perbuatan bunuh diri sebagimana disebutkan dalam Al-qur’an surah al-Baqarah ayt 195 : . و أﻧﻔﻘﻮا ﻓﻲ ﺳﺒﯿﻞ ﷲ وﻻ ﺗﻠﻘﻮا ﺑﺄﯾﺪﯾﻜﻢ اﻟﻰ اﻟﺘﮭﻠﻜﺔ وأﺣﺴﻨﻮا إن ﷲ ﯾﺤﺐ اﻟﻤﺤﺴﻨﯿﻦ Dan bernafkahlah kamu pada jalan Allah dan janganlah kamu lemparkan dirimu ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang berbuat baik. Larangan bunuh diri juga terdapat dalam hadis-hadis Nabi saw, antara lain : ، ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﺑﺤﺪﯾﺪة ﻓﺤﺪﯾﺪﺗﮫ ﻓﻲ ﯾﺪه ﯾﺘﻮﺟﺄ ﺑﮭﺎ ﻓﻲ ﺑﻄﻨﮫ ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﯿﮭﺎ أﺑﺪا وﻣﻦ ﺗﺮدى ﻣﻦ، وﻣﻦ ﺷﺮب ﺳﻤﺎ ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﻓﮭﻮ ﯾﺘﺤﺴﺎه ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﯿﮭﺎ أﺑﺪا 11 (ﺟﺒﻞ ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﻓﮭﻮ ﯾﺘﺮدى ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﯿﮭﺎ أﺑﺪا) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ 10 11 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,Beirut : Dar al-Fikr, t.t, jilid IV, h. 188. Ibid. Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 182 Barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung hingga dia membunuh dirinya sendiri, maka tempatnya di neraka jahanam. Ia masuk kedalamnya, kekal untuk selama-lamanya, dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racun itu dipegang di tangannya ia meminumnya di neraka jahanam, ia kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa membunuh dirinya dengan benda tajam, maka benda tajam itu dipegangkan ditangannya dan dipukulkannya pda dirinya di neraka jahanam dan ia kekal di dalamnya selama-lamanya . (H.R al-Bukhari dan Muslim) 2. Euthanasia dalam Hubungannya dengan Jarimah Mati Para ulama sepakat bahwa suatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut secara tegas dilarang oleh syara’. Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah : a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur formil” (rukun Syar’i). b. Adanya Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatannya maupun sikap tidak berbuat, unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (rukun Maddi). c. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya, unsur ini disebut “unsur moril” (rukun adabi). Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan kepada “jarimah” 12 Dalam masalah ini timbul suatu pertanyaan apakah euthanasia dapat dianggap sebagai jarimah, atau tidak, artinya apakah Islam membenarkan tindakan tersebut ataukah mengharamkannya? Untuk menjawab persoalan ini terlebih dahulu 12 1967 , h. 6 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Bulan Bintang 183 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an diketahui, apakah perbuatan ini telah memenuhi unsur-unsur jarimah yang telah disebutkan di atas. Dari segi nash, Islam memang secara tegas melarang pembunuhan, namun apakah Euthanasia itu dengan begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan, sedangkan aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada, karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu. Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien, dan keluarga pasien. 13 Terjadi euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan pertimbangan atau Faktor-faktor berikut ini : 1). Faktor Pihak Pasien. Pasien yang meminta kepada dokter untuk dilakukan euthanasia karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit, atau karena penyakitnya yang sudah terlalu gawat {accut}. Atau Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga akibat biaya pengobatan yang mahal, atau pasien sudah merasa bahwa ajalnya sudah diambang pintu, paling tidak, harapan untuk sembuh terlalu jauh. Menyikapi pertimbangan-pertimbangan diatas, menunjukkan bahwa ini semua adalah suatu refleksi dari kelemahaan iman. Sakit adalah satu satu bentuk ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri kehidupaan melalui euthanasia aktif. Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat disembuhkan, atau biaya pengobatannya yang makin bertambah mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang dari rumah sakit, bilamana diyakini apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh diri. Pemulangan seperti ini sudah sering terjadi, para dokter diperkenankan melepaskannya karena prosudurnya sudah ada. Akan tetapi jika cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien yang bersangkutan, maka hal itu dianggap sebagai tindakan bunuh diri 13 Ahmad Fauzi, Euthanasia;Problematika, h. 71 Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 184 yang berarti mengingkari rahmat Allah swt sebagaimana dalam surah al-Nisa ayat 29: وﻻ ﺗﻘﺘﻠﻮا أﻧﻔﺴﻜﻢ إن ﷲ ﻛﺎن ﺑﻜﻢ رﺣﯿﻤﺎ Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah sangat sayang kepadamu. sendiri, Bahkan rasullah saw bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Tsabit bin Dhahhak : 14 .وﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﺑﺤﺪﯾﺪة ﻋﺬب ﺑﮫ ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ Dan barang siapa membunuh diri dengan benda tajam,akan diazb dengan semacm itu pula di hari kiamat dalam neraka jahanam Dalam Hadis lain dari Abu Hurairah R.A : 15 اﻟﺬي ﯾﺨﻨﻖ ﻧﻔﺴﮫ ﯾﺨﻨﻘﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر واﻟﺬي ﯾﻄﻌﻨﮭﺎ ﯾﻄﻌﻨﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر Barang siapa mencekik lehernya, ia akan mencekik leher pula dalam neraka. Dan barang siapa menikam diri, menikam diri pula dalam neraka Dalam kehidupan memang seringkali terjadi hal yang dilematis yang penyelesaiannya betul-betul menimbulkan pertimbangan yang matang seperti halnya tindakan authanesia ini. Dalam menyelesaikan suatu kesulitan hendaknya menghindari persoalan yang dapat kesulitan berikutnya. Dalam kaidah fiqh dikenal ungkapan: .اﻟﻀﺮر ﻻ ﯾﺰال ﺑﺎﻟﻀﺮر Kesulitan tidak dihilangkan dengan mendatangkan kesulitan baru. 14 15 . Ibid al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h.188 185 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdoa meminta dimatikan pun tidak diperbolehkan. Dr. Yusuf AlQaradhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya, organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakikatnya adalah barang titipan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Islam menghendaki setiap muslim untuk selalu optimis, Islam tidak membenarkan dalam situasi apa pun untuk melepaskan nyawa hanya ada musibaah yang menimpa atau gagal dalam cita-cita. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Setiap mukmin mempunyai senjata yang tidak bisa meleset, dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu iman dan kekayaan budi. 16 2). Faktor pihak keluarga/wali Keluarga atau wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien yang cukup lama dan nampak pasien tidak tahan menanggung sakitnya. Atau karena faktor keluarga yang tidak mampu lagi memikul beban biaya pengobatan, sementara harapan untuk sembuh sudah tidak ada lagi. Pertimbangan seperti ini, maka apabila diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita masih terlihat menyimpan tanda-tanda kehidupan, berarti perbuatan itu tergolong pembunuhan sengaja dan pelakunya diancam oleh Allah swt dengan azab neraka, seperti firmankanNya dalam surah al-Nisa’ ayat 93: وﻣﻦ ﯾﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﺠﺰاؤه ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻓﯿﮭﺎ وﻏﻀﺐ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﻟﻌﻨﮫ وأﻋﺪ ﻟﮫ ﻋﺬاﺑﺎ ﻋﻈﯿﻤﺎ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasnnya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. 16 Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terjem. Oleh Mu’ammal hamidy, Singapura : Himpunan Belia Islam, 1980, h. 452-453 Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 186 Pada ayat di atas tidak dibedakan apakah pembunuhan itu didasarkan atas rasa kasihan, karena kekurangan biaya ataupun alasan lainnya, semuanya dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si pasien. Bahkan bilama terbukti didukung oleh keralaan si pasien, maka yang demikian dianggap tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui bantuan orang lain. Akan tetapi apabila euthanasia dilakukan oleh dokter atas permintaan keluarga tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien, maka inipun termasuk pembunuhan sengaja. 17 Masalah yang timbul adalah apakah pelaku dalam hal ini dokter yang melakukan euthanasia terkena hukuman atau tidak, yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga sebagai wali aldam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini syekh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkas bahwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku, sedangkan perintah wali korban tidak menggugurkan qishash tersebut. 18 Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh seorang dokter untuk membantu mempercepat kematian seorang pasien dianggap tidak ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuman. Hanya saja mengenai jenis hukumannya ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia {dengan persetujuan korban} adalah membayar diyat; seratus ekor unta atau seharga itu, dan bukan qishash. Dengan alasan, bahwa persetujuan si korban untuk menjadi obyek euthanasia merupakan syubhat dalam status perbuatannya dan dalam hadis Nabi apabila dalam jarimah 17 18 t.t , h. 376. Ahmad Fauzi, Euthanasia;Problematika, h. 71 Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syaria’ah, Beirut Daar al-Qalam, 187 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an hudud (termasuk di dalamnya qishash) terdapat syubhat maka hukuman bisa digugurkan atau diganti. Menurut Zufar, dan salah satu pendapat Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah, hukuman yang dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman qishash. Karena persetujuan untuk menjadi obyek euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hambal dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman. 19 3). Faktor amoral “Kemungkinan lain “bisa terjadi, bahwa pihak keluarga tertentu bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat proses kematian pasien karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya. Tindakan ini jelas sekali sebagai pembunuhan sengaja yang di dalam KUHP disebutkan dengan “pembunuhan berencana” dengan ancaman hukuman mati. Dari alasan-alasan di atas yang mendorong terjadinya euthanasia, maka tidak ada satupun yang berkaitan dengan alasan bilhaq (kebenaran). Syeih Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab : a) Karena pembunuhan oleh seseorang dengan secara lazim dan sengaja b) Orang yang melakukan zina mukhsan yang diketahui oleh empat orang saksi. c) Orang yang keluar dari agama Islam {murtad}, sebagai suatu sikap menentang jamaah Islam. Pembunuhan yang dibolehkan oleh Islam hanyalah pembunuhan yang telah dijelaskan di atas, sedangkan euthanasia tidak termasuk dalam jenis ini. Oleh sebab itu, tindakan euthanasia menurut hukum Islam dianggap perbuatan terlarang, hukumnya haram. Dalam pandangan Syeh Mahmud Syaltut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo, bahwa dengan 19 Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 112 Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 188 melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan oleh syariat Islam dapat dirumuskan dalam tiga segi : (1). Segi pelaksanaan perintah atau kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah atau kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah pengadilan/hakim. (2). Segi pelaksanaan hak, yang meliputi hak wali si korban untuk melaksanakan qishash. Hak penguasa untuk menghukum bunuh perampok/penggangu stabilitas keamanan. (3). Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan, maupun terhadap harta benda. 20 Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian euthanasia aktif jelas dilarang oleh Islam. Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya Prof Muhammad Kamil Tadjuddin mengatakan: “Seorang Dokter Muslim tidak dianjurkan untuk memperpanjang kehidupan seseorang yang telah mencapai tahap vegetatif, Memelihara seseorang yang berada dalam tahap vegetatif atau yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan memang menjadi beban berat bagi keluarga dan masyarakat. Apakah karena itu orang demikian akan dibiarkan saja meninggal? Seyogyanya orang yang perlu perawatan tetapi tidak mampu membiayainya menjadi tanggungjawab masyarakat. Untuk itu perlu mendapat perhatian bahwa bagaimana dalam masyarakat islami dana yang terkumpul melalui zakat dapat dipakai secara efesien sehingga seluruh anggota umat dapat dibantu jika memerlukan bantuan” 21 20 Ibid Muhammad Kamil Tadjuddin, Isu Kontemporer dalam Kedokteran Islam, Pidato Pada penerimaan Gelar doctor Hunuris Causa Jakarta UIN Syarif Hidayatullah 2005 21 189 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an Dalam laporan Komisi Etika Asosiasi Dokter Muslim Amerika Utara tidak menganjurkan authenesia namun mandukung kebijakan untuk tidak melakukan resusitasi bagi penderita yang tidak dapat diobati lagi.Kematian batang otak dapat diterima sebagai tanda kematian.22 Kasus Nyonya Agian yang oleh suaminya diminta untuk disuntik mati, karena telah berada dalam koma selama lim bulan, harus menjadi pelajaran untuk kita bahwa nyawa adalah di tangan Allah dan bahwa mukjizat bisa saja terjadi. Apabila dokter mengatakan bahwa penyakit tersebut sudah tidak dapat disembuhkan dan pihak pasei atau keluarganya meminta dan menyetujui dihentikannya upaya pengobatan, maka penghentian pengobatan tersebut mengakibatkan pasein akhirnya meninggal, maka dalam situasi dan kondisi yang demikian tindakan yang dilakukan adalah bersabar dan tawakkal serta berdoa dengan doa yang diajarkan Rasulullah yaitu: اﻟﻠﮭﻢ أﺣﯿﻨﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﺖ اﻟﺤﯿﺎة ﺧﯿﺮ ﻟﻰ وﺗﻮﻓﻨﻰ ان ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻮﻓﺎة ﺧﯿﺮ ﻟﻰ Artinya: Ya Allah hidupkanlah aku selagi kehidupan itu baik bagiku dan matikanlah aku apabila kematian itu baik untukku. Adapun euthanasia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan mematikan bayi yang dikandungnya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi itu mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, ini dibolehkan karena dharurat berdasarkan kaidah-kaidah : اﻟﻀﺮورات ﺗﺒﯿﺢ اﻟﻤﺤﻈﻮرات Keadaan dharurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang. 22 Ibid Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 190 Yang dimaksud dengan dengan pengertian dharurat di sini menurut ulama Malikiyah adalah: .اﻟﺨﻮف ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻐﺲ ﻣﻦ اﻟﮭﻼك ﻋﻠﻤﺎ وظﻨﺎ Kehawatiran akan adanya kerusakan jiwa baik secara meyakinkan atau dugaan Hal ini menunjukkan bahwa dharurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa seseorang sehingga dia diperbolehkan melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang. إرﺗﻜﺎب أﺧﻒ اﻟﻀﺮورﯾﻦ واﺟﺐ Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib Jadi Islam membolehkan untuk melakukan euthanasia aktif dengan mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa ibu. nyawa ibu diutamakan, mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap tuhan maupun terhadap sesama makluk, sedangkan si janin (bayi), sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, ia belum mempunyai hak seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun. 23 KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Nyawa manusia merupakan hal yang amat berharga, Mengambil nyawa adalah hal yang hanya dapat dilakukan oleh yang empunya yaitu Allah swt. 2. Segala cara untuk mengakhiri hidup seseorang yang bertentangan dengan syariat Islam seperti euthanasia aktif adalah haram dan diancam dengan siksaan api neraka. 3. Euthanasia aktif tetap dilarang, kecuali dalam beberapa hal yang sifatnya dharurat seperti menyelamatkan jiwa seorang 23 Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 105. 191 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an 4. ibu dengan jalan mematikan janin yang dikandungnya bila diketahui proses kelahiran bayi tersebut dapat mengakibatkan kematian si ibu. Euthanasia pasif diperbolehkan yaitu tindakan yang membiarkan si pasein dalam keadaan tidak sadar tampa memberikan bantuan medis sehingga berakibat kematian, dimana sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 192 DAFTAR PUSTAKA Akbar , Ali, Euthanasia dilihat dari Hukum Islam, Panji Masyarakat No. 453, th.XXVI, 21 Desember 1984. Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al Asybah wa al Nazhair, Bairut Dar al Fikr 1999 al-Qaradhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam, terjem. Oleh Mu’ammal Hamidy, Singapura : Himpunan Belia Islam, 1980 Bukhari, Shahih al-Bukhari,Beirut Dar al-Fikr, t.t, jilid IV,h. 188. Fauzi, Ahmad, Euthanasia;Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 2002 Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang 1967 Muhsin, Abul Fadl, Kloning, Eutanasia, Transusfusi darah, transplantasi organ, dan Eksperimen pada hewan;Telaah Fikih Dan Bioetika Islam. Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004 Najm, Ibn, Al Asybah wa al Nazhair, Bairut Dar al Fikr 1999 Rasyid, Hamdan (edit), Fiqih Indonesia; Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003 Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syaria’ah, Beirut ; Daar alQalam, t.t . Tadjuddin, Muhammad Kamil, Isu Kontemporer dalam Kedokteran Islam, Pidato Pada penerimaan Gelar doctor Hunuris Causa Jakarta UIN Syarif Hidayatullah 2005 Yanggo, Chuzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah ;Kajian Hukum Islam kontemporer, Bandung: angkasa 2005 Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1993.