EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ALQUR`AN

advertisement
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ALQUR’AN DAN
HADIS NABI
Oleh: Mufidah Saggaf Aljufri
Abstrak
Euthanasia merupakan suatu usaha atau tindakan untuk
mempercepat kematian guna mengakhiri penderitaan
karena penyakit yang diderita. Keinginan untuk
mempercepat proses kematian seperti itu bukan saja
berasal dari diri orang yang sakit, bahkan terkadang dari
pihak keluarga atau dokter yang merawatnya.
Para ulama membagi euthanasia ke dalam dua bentuk, yang
pertama euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia
aktif ialah proses mempercepat kematian sang pasien
dengan cara memberikan suntikan karena melihat
kondisinya yang semakin parah dan sulit baginya sembuh.
Sedangkan bentuk kedua euthanasia pasif sebaliknya tidak
ada campur tangan dokter memberikan bantuan secara
aktif untuk memperoses kematian pasien.
Hidup dan mati semuanya ada di tangan Yang Maha
Kuasa, maka Islam melarang orang melakukan tindakan
pembunuhanm baik terhadap orang lain, maupun terhadap
diri sendiri (bunuh diri) dengan alasan apapun.
Abstract
Euthanasia is an exertion or action to die fast for ending
the suffering because of the illness. The desire of die fast
doesn’t come from only him/her, but also families or the
doctors who care of him/her.
Muslim scholars devided euthanasia into two forms, passive
and active euthanasia. The first, Active euthanasia is the
process of die fast of the patients by injecting because the
condition of the patients isn’t getting better and hard to be
better. The second, passive euthanasia opposites of it that
there isn’t interference of doctors to help the process of die
fast actively.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 176
Life and die depends on God, so Islam forbids the people to
kill others and ourself with any reason.
Keyword: Euthanasia, aktif & Pasif
PENDAHULUAN
Orang-orang yang menderita suatu penyakit yang berat,
ada yang sabar serta tidak putus asa dalam menghadapinya, adapula
yang tidak sabar terlebih ketika ia mengetahui bahwa penyakitnya
sukar atau bahkan tidak dapat di sembuhkan. Hal ini menyebabkan
timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Keinginan untuk
mempercepat kematian bukan saja timbul dari si penderita, tetapi
terkadang berasal dari keluarganya, bahkan dari dokter yang
merawatnya. kondisi seperti ini biasanya berdasarkan pertimbanganpertimbangan kemanusiaan baik dalam hal medis maupun non medis,
maka hal ini menimbulkan problematika hukum Islam. Usaha-usaha
atau tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian guna
mengakhiri penderita karena penyakit, itulah yang dikenal dan
disebut dengan “euthanasia”. Sehubungan dengan hal ini, penulis
mencoba mengkaji hukumnya menurut pandangan Islam {Al-Qur’an
dan hadis nabi saw}.
Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya
Euthanasia berasal dari kata Yunani “euthanous” yang
terbentuk dari kata eu dan thanatos yang berarti “baik” dan “mati”.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan
tampa rasa sakit atau dengan kata lain tindakan memudahkan
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit 1. Dari
defenisi di atas dapat dikatakan, Euthanasia mencakup:
1. Kematian dengan cara memasukkan obat dengan atau
tanpa permintaan dari pasien
1
Jhon M Echols dan Hasan Sadily Kamus Inggris Indonesia Jakarta PT
Gramedia, 1978 h.219
177 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
2. Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat
memperpanjang hidup pasien dengan tujuan mempercepat
kematiannya.
3. Pnanggulangaan rasa sakit dengan cara memasukkam obat
bius dalam dosis besar dengan mempertimbangkan resiko
kematian tetapi tanpa ada niatan eksplisit untuk
menimbulkan kematian pada si pasien.
4. Pemberian obat bius dalam jumlah overdosis atau
penyuntikan cairan yang mematikan dengan tujuan
mengakhiri hidup pasien. 2
Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo, mengutip pendapat Dr. H.
Ali Akbar yang membagi euthanasia kepada tiga pengertian :
a. Kematian yang mudah dan tanpa sakit
b. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang
sekarat dan bila perlu untuk mempercepat
kematiannya.
c. Keinginan mati dalam arti yang baik
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa
euthanasia adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk
mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah
hampir mendekati kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau
membebaskannya dari penderitaannya. 3
Dilihat dari kondisi pasien, tindakan Euthanasia dapat
dikategorikan menjadi dua macam, yaitu aktif dan pasif.
Euthanasia aktif yaitu: tindakan sengaja yang dilakukan oleh
ahli medis untuk mengakhiri hidup pasiennya padahal si pasien masih
ada harapan untuk hidup, seperti melepaskan alat-alat pembantu
medika atau dengan memberikan suntikan. Yang termasuk tindakan
2
Abul Fadl Mohsin, Kloning,Eutanasia,Transusfusi darah,transplantasi
organ, danEksperimen pada hewan;Telaah Fikih Dan Bioetika Islam. Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2004 , h. 148.
3
Chuzaimah T. Yanggo, Masail Fiqhiyah ;Kajian Hukum Islam
kontemporer, Bandung: angkasa 2005, h.104. lihat juga : Ali Akbar, Euthanasia
dilihat dari Hukum Islam, Panji Masyarakat No. 453,th.XXVI, 21Desember 1984,
h. 69
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 178
mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien,
berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan
adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda tanda kehidupan
masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan apalagi
jika penderita ketika itu masih sadar. 4
Sebagai contoh euthanasia aktif, seorang pasien yang dirawat
gawat darurat di rumah sakit dengan peralatan majemuk untuk
menolong jantung, pernafasan, dan cairan tubuh, yang kesemuanya
berfungsi dengan baik, namun alat-alat tersebut dihentikan
penggunaannya sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja
dan akan berhenti berfungsi. Atau memberikan obat penenang dengan
dosis yang melebihi yang juga akan menghentikan fungsi jantung.
Demikian pula dapat disebut euthanasia aktif, jika obat-obatan dan
segala prosedur lain, digunakan justru untuk menyebabkan atau
mempercepat kematian pasien. 5
Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan yang membiarkan
si pasien dalam keadaan tidak sadar (comma) tanpa memberikan
bantuan medis sehingga berakibat kematian pada si pasien. karena
berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada
harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak
atau lemah seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan
ke otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlalu tinggi, atau tidak
berfungsinya jantung dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini sering
disebut di kalangan masyarakat umum dengan istilah “antara hidup
dan mati “.6
Termasuk euthanasia pasif juga seperti mematikan ventilator
yang sangat dibutuhkan seorang pasien yang lama tak sadarkan diri
karena mesin itu membantu memperpanjang usianya.7 Argumen yang
sama juga membenarkan dihentikannya penyaluraan zat makanan dari
4
Ahmad Fauzi, Euthanasia; Problematika Hukum Islam Kontemporer
(Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 2002, jilid 4), h. 64.
5
Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 105
6
Ibid.
7
Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h, 105
179 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
tabung (infus) jika menurut pendapat ahli-ahli medis, pemberian zat
makanan buatan itu tidak berguna lagi bagi si pasien. 8
Pada dasarnya, euthanasia pasif pada tatanan praktek secara
sadar atau tidak bisa saja terjadi di Indonesia, yang tidak sadar
terpaksa melakukannya karena kurangnya fasilitas yang ada di rumah
sakit. Sedangkan yang sadar membiarkan pasien yang sudah tidak
tertolong lagi dibawa pulang. Di samping yang mengundang
timbulnya praktek euthanasia pasif adalah keterbatasan fasilitas
penolong, ruang yang ada di rumah sakit dan mengingat beban
keluarga dengan mahalnya biaya pengobatan.
Kreteria Mati
Pembicaraan Eauthenesia berkaitan erat dengan masalah
defenisi mati. Kematian diukur dengan tidak berfungsinya jantung.
Jantung digerakkan oleh pusat syaraf penggerak yang terletak pada
bagian batang otak di kepala. tetapi hanya dengan pendarahan otak
bukan berarti seseorang telah mati. Para ahli kedokteran sepakat
bahwa yang menjadi patokan dalam menetukan kematian adalah
batang otak. Jika batang otak sudah mati maka harapan hidup
seseoran sudah terputus.
Fugaha dalam menentukan ukuran hidup matinya seseorang
dengan empat gejala. Pertama masih adanya gerak Kedua adanya
suara maupun bunyi, Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir
Keempat mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan
hati.9
Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Islam
1. Kedudukan Jiwa dalam Islam.
Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang
yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan si pasien atau
keluarganya. Euthanasia masih menimbulkan problem keagamaan,
hukum dan moral di semua budaya dan tradisi keagamaan. Seperti
halnya agama-agama lain, Islam menjunjung tinggi jiwa. Dalam
Islam kedudukan jiwa sangat dihargai. Cukup banyak ayat al-Qur’an
8
9
Abul Fadl Mohsin, Kloning,Eutanasia,Transusfusi Darah, h 155.
Fauzi Aseri, Euthanasia;Problematika, h. 66
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 180
dan hadis yang mengharuskan kita untuk menghargai jiwa. Dalam
surah al-Najm ayat 44 Allah berfirman:
‫…وأﻧﮫ ھﻮ اﻣﺎت وأﺣﯿﺎ‬
…Dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan
menghidupkan. Dalam surah al-Hijr ayat 23, Allah berfirman
‫…وإﻧﺎ ﻟﻨﺤﻦ ﻧﺤﻰ وﻧﻤﯿﺖ وﻧﺤﻦ اﻟﻮارﺛﻮن‬
Dan sesungguhnya benar-benar Kamilah yang mnghidupkan
dan mematikan dan Kami pulalah yang mewarisi
Surat al Nisa ayat 33
‫…وﻻﺗﻘﺘﻠﻮا اﻟﻨﻔﺲ اﻟﺘﻰ ﺣﺮم ﷲ إﻻ ﺑﺎﻟﺤﻖ‬
…Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharmkan
oleh Allah, kecuali dengan hak
Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa, milik
orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan
hukum Allah. Agar supaya manusia tidak memandang remeh
terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi
mereka yang meremehkanya. Begitu besarnya penghargaan Islam
terhadap jiwa, peraturan pidana Islam menetapkam hukuman mati
bagi yang melakukan tindak pidana tertentu dengan tujuan mencegah
terjadinya kejahatan. Islam menetapkan aturan-aturan preventif bagi
tindakan yang cenderung mengancam hidup orang lain. Dalam surah
al-Nisa ayat 93 Allah swt menegaskan dengan firmanNya :
‫وﻣﻦ ﯾﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﺠﺰاؤه ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻓﯿﮭﺎ وﻏﻀﺐ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﻟﻌﻨﮫ وأﻋﺪ ﻟﮫ ﻋﺬاﺑﺎ‬
.‫ﻋﻈﯿﻤﺎ‬
Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di
dalamnya. Allah mengutuknya dan menyediakan baginya
siksaan yang pedih
181 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
Dalam hadis-hadis Nabi saw larangan pembunuhan ini
dipertegas oleh Rasullah saw, antara lain riwayat Ibnu Masu’d
Rasullah Saw bersabda :
‫ اﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ‬: ‫ﻻﯾﺤﻞ دم اﻣﺮئ ﻣﺴﻠﻢ ﯾﺸﮭﺪ أن ﻻ اﻟﮫ اﻻ ﷲ وأﻧﻲ رﺳﻮل ﷲ إﻻ ﺑﺈﺣﺪى ﺛﻼث‬
10
(‫واﻟﺜﯿﺐ اﻟﺰاﻧﻲ واﻟﻤﻔﺎرﻗﺔ ﻟﺪﯾﻨﮫ اﻟﺘﺎرك ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬
Tidak halal darah seserang yang menyaksikaan bahwa tiada
tuhan melainkan Allah dan bahwa saya adalah Rasullah,
kecuali dengan salah satu dari tiga perkara yaitu : janda
atau duda yang berzina, orang yang melakukan
pembunuhan dan orang yang meninggalkan agamanya dan
memisahkan diri dari jama’h. (H.R Bukhari Muslm)
Di samping melarang untuk melakukan pembunuhan terhadap
orang lain, syariat Islam juga melarang untuk melakukan perbuatan
bunuh diri sebagimana disebutkan dalam Al-qur’an surah al-Baqarah
ayt 195 :
. ‫و أﻧﻔﻘﻮا ﻓﻲ ﺳﺒﯿﻞ ﷲ وﻻ ﺗﻠﻘﻮا ﺑﺄﯾﺪﯾﻜﻢ اﻟﻰ اﻟﺘﮭﻠﻜﺔ وأﺣﺴﻨﻮا إن ﷲ ﯾﺤﺐ اﻟﻤﺤﺴﻨﯿﻦ‬
Dan bernafkahlah kamu pada jalan Allah dan janganlah
kamu lemparkan dirimu ke dalam kebinasaan dan berbuat
baiklah, sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang
yang berbuat baik.
Larangan bunuh diri juga terdapat dalam hadis-hadis Nabi saw,
antara lain :
، ‫ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﺑﺤﺪﯾﺪة ﻓﺤﺪﯾﺪﺗﮫ ﻓﻲ ﯾﺪه ﯾﺘﻮﺟﺄ ﺑﮭﺎ ﻓﻲ ﺑﻄﻨﮫ ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﯿﮭﺎ أﺑﺪا‬
‫ وﻣﻦ ﺗﺮدى ﻣﻦ‬، ‫وﻣﻦ ﺷﺮب ﺳﻤﺎ ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﻓﮭﻮ ﯾﺘﺤﺴﺎه ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﯿﮭﺎ أﺑﺪا‬
11
(‫ﺟﺒﻞ ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﻓﮭﻮ ﯾﺘﺮدى ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻣﺨﻠﺪا ﻓﯿﮭﺎ أﺑﺪا) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ‬
10
11
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,Beirut : Dar al-Fikr, t.t, jilid IV, h. 188.
Ibid.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 182
Barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung
hingga dia membunuh dirinya sendiri, maka tempatnya di
neraka jahanam. Ia masuk kedalamnya, kekal untuk
selama-lamanya, dan barang siapa meminum racun
sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racun itu
dipegang di tangannya ia meminumnya di neraka jahanam,
ia kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa
membunuh dirinya dengan benda tajam, maka benda tajam
itu dipegangkan ditangannya dan dipukulkannya pda
dirinya di neraka jahanam dan ia kekal di dalamnya
selama-lamanya . (H.R al-Bukhari dan Muslim)
2. Euthanasia dalam Hubungannya dengan Jarimah Mati
Para ulama sepakat bahwa suatu perbuatan baru dianggap
jarimah apabila perbuatan tersebut secara tegas dilarang oleh syara’.
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan
hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut “unsur
formil” (rukun Syar’i).
b. Adanya Tindakan yang membentuk suatu perbuatan
jarimah, baik perbuatannya maupun sikap tidak berbuat,
unsur ini biasa disebut “unsur materiel” (rukun Maddi).
c. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggung
jawaban
terhadap
jarimah
yang
dilakukannya, unsur ini disebut “unsur moril” (rukun
adabi).
Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk
digolongkan kepada “jarimah” 12
Dalam masalah ini timbul suatu pertanyaan apakah
euthanasia dapat dianggap sebagai jarimah, atau tidak, artinya
apakah
Islam
membenarkan
tindakan tersebut
ataukah
mengharamkannya? Untuk menjawab persoalan ini terlebih dahulu
12
1967 , h. 6
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Bulan Bintang
183 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
diketahui, apakah perbuatan ini telah memenuhi unsur-unsur jarimah
yang telah disebutkan di atas. Dari segi nash, Islam memang secara
tegas melarang pembunuhan, namun apakah Euthanasia itu dengan
begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan, sedangkan aspek
tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada, karena biasanya upaya
untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui
suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu.
Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien, dan
keluarga pasien. 13
Terjadi euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan
pertimbangan atau Faktor-faktor berikut ini :
1). Faktor Pihak Pasien.
Pasien yang meminta kepada dokter untuk dilakukan
euthanasia karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit, atau
karena penyakitnya yang sudah terlalu gawat {accut}. Atau
Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan
beban ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga akibat biaya
pengobatan yang mahal, atau pasien sudah merasa bahwa ajalnya
sudah diambang pintu, paling tidak, harapan untuk sembuh terlalu
jauh. Menyikapi pertimbangan-pertimbangan diatas, menunjukkan
bahwa ini semua adalah suatu refleksi dari kelemahaan iman. Sakit
adalah satu satu bentuk ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat
kalau diselesaikan dengan mengakhiri kehidupaan melalui euthanasia
aktif. Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat
disembuhkan, atau biaya pengobatannya yang makin bertambah
mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang dari rumah sakit,
bilamana diyakini apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal
dunia, tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan
tidak berarti bunuh diri. Pemulangan seperti ini sudah sering terjadi,
para dokter diperkenankan melepaskannya karena prosudurnya sudah
ada. Akan tetapi jika cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien yang
bersangkutan, maka hal itu dianggap sebagai tindakan bunuh diri
13
Ahmad Fauzi, Euthanasia;Problematika, h. 71
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 184
yang berarti mengingkari rahmat Allah swt sebagaimana dalam surah
al-Nisa ayat 29:
‫وﻻ ﺗﻘﺘﻠﻮا أﻧﻔﺴﻜﻢ إن ﷲ ﻛﺎن ﺑﻜﻢ رﺣﯿﻤﺎ‬
Dan janganlah kamu membunuh dirimu
sesungguhnya Allah sangat sayang kepadamu.
sendiri,
Bahkan rasullah saw bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari dari Tsabit bin Dhahhak :
14
.‫وﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﻧﻔﺴﮫ ﺑﺤﺪﯾﺪة ﻋﺬب ﺑﮫ ﻓﻲ ﻧﺎر ﺟﮭﻨﻢ‬
Dan barang siapa membunuh diri dengan benda tajam,akan
diazb dengan semacm itu pula di hari kiamat dalam neraka
jahanam
Dalam Hadis lain dari Abu Hurairah R.A :
15
‫اﻟﺬي ﯾﺨﻨﻖ ﻧﻔﺴﮫ ﯾﺨﻨﻘﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر واﻟﺬي ﯾﻄﻌﻨﮭﺎ ﯾﻄﻌﻨﮭﺎ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر‬
Barang siapa mencekik lehernya, ia akan mencekik leher
pula dalam neraka. Dan barang siapa menikam diri,
menikam diri pula dalam neraka
Dalam kehidupan memang seringkali terjadi hal yang
dilematis
yang
penyelesaiannya
betul-betul
menimbulkan
pertimbangan yang matang seperti halnya tindakan authanesia ini.
Dalam menyelesaikan suatu kesulitan hendaknya menghindari
persoalan yang dapat kesulitan berikutnya. Dalam kaidah fiqh dikenal
ungkapan:
.‫اﻟﻀﺮر ﻻ ﯾﺰال ﺑﺎﻟﻀﺮر‬
Kesulitan tidak dihilangkan dengan mendatangkan kesulitan baru.
14
15
. Ibid
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h.188
185 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang
yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdoa
meminta dimatikan pun tidak diperbolehkan. Dr. Yusuf AlQaradhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi
hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya, organ
tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakikatnya adalah
barang titipan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh
diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Islam menghendaki
setiap muslim untuk selalu optimis, Islam tidak membenarkan dalam
situasi apa pun untuk melepaskan nyawa hanya ada musibaah yang
menimpa atau gagal dalam cita-cita. Seorang mukmin diciptakan
justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Setiap
mukmin mempunyai senjata yang tidak bisa meleset, dan mempunyai
kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu iman dan kekayaan budi. 16
2). Faktor pihak keluarga/wali
Keluarga atau wali yang merasa kasihan atas penderitaan
pasien yang cukup lama dan nampak pasien tidak tahan menanggung
sakitnya. Atau karena faktor keluarga yang tidak mampu lagi
memikul beban biaya pengobatan, sementara harapan untuk sembuh
sudah tidak ada lagi. Pertimbangan seperti ini, maka apabila
diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita masih terlihat
menyimpan tanda-tanda kehidupan, berarti perbuatan itu tergolong
pembunuhan sengaja dan pelakunya diancam oleh Allah swt dengan
azab neraka, seperti firmankanNya dalam surah al-Nisa’ ayat 93:
‫وﻣﻦ ﯾﻘﺘﻞ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻣﺘﻌﻤﺪا ﻓﺠﺰاؤه ﺟﮭﻨﻢ ﺧﺎﻟﺪا ﻓﯿﮭﺎ وﻏﻀﺐ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﻟﻌﻨﮫ وأﻋﺪ ﻟﮫ ﻋﺬاﺑﺎ ﻋﻈﯿﻤﺎ‬
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasnnya ialah jahanam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya
serta menyediakan azab yang besar baginya.
16
Yusuf al-Qaradhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terjem. Oleh
Mu’ammal hamidy, Singapura : Himpunan Belia Islam, 1980, h. 452-453
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 186
Pada ayat di atas tidak dibedakan apakah pembunuhan itu
didasarkan atas rasa kasihan, karena kekurangan biaya ataupun alasan
lainnya, semuanya dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu disertai
dengan kerelaan si pasien. Bahkan bilama terbukti didukung oleh
keralaan si pasien, maka yang demikian dianggap tindakan bunuh diri
dengan meminjam tangan atau melalui bantuan orang lain. Akan
tetapi apabila euthanasia dilakukan oleh dokter atas permintaan
keluarga tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien, maka inipun
termasuk pembunuhan sengaja. 17
Masalah yang timbul adalah apakah pelaku dalam hal ini
dokter yang melakukan euthanasia terkena hukuman atau tidak, yang
mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga sebagai wali aldam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini syekh
Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkas bahwa para
fuqaha berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang
yang disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Diantara
mereka ada yang berpendapat bahwa perintah korban dapat
menggugurkan qishash terhadap pelaku, sedangkan perintah wali
korban tidak menggugurkan qishash tersebut. 18
Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang
diberikan oleh seorang dokter untuk membantu mempercepat
kematian seorang pasien dianggap tidak ada, tetapi dokter yang
melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau
kriminal yang harus dijatuhi hukuman. Hanya saja mengenai jenis
hukumannya ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah,
Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan sebagian ulama Syafi’iyah,
bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia {dengan
persetujuan korban} adalah membayar diyat; seratus ekor unta atau
seharga itu, dan bukan qishash. Dengan alasan, bahwa persetujuan si
korban untuk menjadi obyek euthanasia merupakan syubhat dalam
status perbuatannya dan dalam hadis Nabi apabila dalam jarimah
17
18
t.t , h. 376.
Ahmad Fauzi, Euthanasia;Problematika, h. 71
Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syaria’ah, Beirut Daar al-Qalam,
187 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
hudud (termasuk di dalamnya qishash) terdapat syubhat maka
hukuman bisa digugurkan atau diganti. Menurut Zufar, dan salah satu
pendapat Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah, hukuman yang
dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman
qishash. Karena persetujuan untuk menjadi obyek euthanasia tersebut
dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada
pengaruhnya sama sekali. Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin
Hambal dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas
persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman. 19
3). Faktor amoral
“Kemungkinan lain “bisa terjadi, bahwa pihak keluarga
tertentu bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat proses
kematian pasien karena menginginkan harta/milik pasien dan faktor
amoral lainnya. Tindakan ini jelas sekali sebagai pembunuhan sengaja
yang di dalam KUHP disebutkan dengan “pembunuhan berencana”
dengan ancaman hukuman mati.
Dari alasan-alasan di atas yang mendorong terjadinya
euthanasia, maka tidak ada satupun yang berkaitan dengan alasan
bilhaq (kebenaran). Syeih Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan
bahwa pembunuhan seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh
salah satu dari tiga sebab :
a) Karena pembunuhan oleh seseorang dengan secara lazim dan
sengaja
b) Orang yang melakukan zina mukhsan yang diketahui oleh
empat orang saksi.
c) Orang yang keluar dari agama Islam {murtad}, sebagai suatu
sikap menentang jamaah Islam.
Pembunuhan yang dibolehkan oleh Islam hanyalah
pembunuhan yang telah dijelaskan di atas, sedangkan euthanasia
tidak termasuk dalam jenis ini. Oleh sebab itu, tindakan euthanasia
menurut hukum Islam dianggap perbuatan terlarang, hukumnya
haram. Dalam pandangan Syeh Mahmud Syaltut, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo, bahwa dengan
19
Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 112
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 188
melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan oleh
syariat Islam dapat dirumuskan dalam tiga segi :
(1). Segi pelaksanaan perintah atau kewajiban, seperti
pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah atau
kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo
atas perintah pengadilan/hakim.
(2). Segi pelaksanaan hak, yang meliputi hak wali si korban
untuk melaksanakan qishash. Hak penguasa untuk
menghukum
bunuh
perampok/penggangu
stabilitas
keamanan.
(3). Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan, maupun
terhadap harta benda. 20
Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang
dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak
termasuk di dalamnya. Dengan demikian euthanasia aktif jelas
dilarang oleh Islam.
Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya Prof Muhammad
Kamil Tadjuddin mengatakan:
“Seorang Dokter Muslim tidak dianjurkan untuk
memperpanjang kehidupan seseorang yang telah mencapai
tahap vegetatif, Memelihara seseorang yang berada dalam
tahap vegetatif atau yang menderita penyakit yang tidak
dapat disembuhkan memang menjadi beban berat bagi
keluarga dan masyarakat. Apakah karena itu orang
demikian akan dibiarkan saja meninggal? Seyogyanya
orang yang perlu perawatan tetapi tidak mampu
membiayainya menjadi tanggungjawab masyarakat. Untuk
itu perlu mendapat perhatian bahwa bagaimana dalam
masyarakat islami dana yang terkumpul melalui zakat
dapat dipakai secara efesien sehingga seluruh anggota umat
dapat dibantu jika memerlukan bantuan” 21
20
Ibid
Muhammad Kamil Tadjuddin, Isu Kontemporer dalam Kedokteran
Islam, Pidato Pada penerimaan Gelar doctor Hunuris Causa Jakarta UIN Syarif
Hidayatullah 2005
21
189 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
Dalam laporan Komisi Etika Asosiasi Dokter Muslim
Amerika Utara tidak menganjurkan authenesia namun mandukung
kebijakan untuk tidak melakukan resusitasi bagi penderita yang tidak
dapat diobati lagi.Kematian batang otak dapat diterima sebagai tanda
kematian.22
Kasus Nyonya Agian yang oleh suaminya diminta untuk
disuntik mati, karena telah berada dalam koma selama lim bulan,
harus menjadi pelajaran untuk kita bahwa nyawa adalah di tangan
Allah dan bahwa mukjizat bisa saja terjadi.
Apabila dokter mengatakan bahwa penyakit tersebut sudah
tidak dapat disembuhkan dan pihak pasei atau keluarganya meminta
dan menyetujui dihentikannya upaya pengobatan, maka penghentian
pengobatan tersebut mengakibatkan pasein akhirnya meninggal,
maka dalam situasi dan kondisi yang demikian tindakan yang
dilakukan adalah bersabar dan tawakkal serta berdoa dengan doa
yang diajarkan Rasulullah yaitu:
‫اﻟﻠﮭﻢ أﺣﯿﻨﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﺖ اﻟﺤﯿﺎة ﺧﯿﺮ ﻟﻰ وﺗﻮﻓﻨﻰ ان ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻮﻓﺎة ﺧﯿﺮ ﻟﻰ‬
Artinya: Ya Allah hidupkanlah aku selagi kehidupan itu baik
bagiku dan matikanlah aku apabila kematian itu baik untukku.
Adapun euthanasia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter
dalam rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan
mematikan bayi yang dikandungnya, pada saat diketahui proses
kelahiran bayi itu mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, ini
dibolehkan karena dharurat berdasarkan kaidah-kaidah :
‫اﻟﻀﺮورات ﺗﺒﯿﺢ اﻟﻤﺤﻈﻮرات‬
Keadaan dharurat dapat membolehkan perbuatan yang
dilarang.
22
Ibid
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 190
Yang dimaksud dengan dengan pengertian dharurat di sini menurut
ulama Malikiyah adalah:
.‫اﻟﺨﻮف ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻐﺲ ﻣﻦ اﻟﮭﻼك ﻋﻠﻤﺎ وظﻨﺎ‬
Kehawatiran akan adanya kerusakan jiwa baik secara
meyakinkan atau dugaan
Hal ini menunjukkan bahwa dharurat adalah suatu keadaan
yang mengancam jiwa seseorang sehingga dia diperbolehkan
melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
‫إرﺗﻜﺎب أﺧﻒ اﻟﻀﺮورﯾﻦ واﺟﺐ‬
Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua
hal yang berbahaya itu adalah wajib
Jadi Islam membolehkan untuk melakukan euthanasia aktif
dengan mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa ibu.
nyawa ibu diutamakan, mengingat dia merupakan sendi keluarga dan
telah mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap tuhan maupun
terhadap sesama makluk, sedangkan si janin (bayi), sebelum ia lahir
dalam keadaan hidup, ia belum mempunyai hak seperti hak waris dan
belum mempunyai kewajiban apapun. 23
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Nyawa manusia merupakan hal yang amat berharga,
Mengambil nyawa adalah hal yang hanya dapat dilakukan
oleh yang empunya yaitu Allah swt.
2. Segala cara untuk mengakhiri hidup seseorang yang
bertentangan dengan syariat Islam seperti euthanasia aktif
adalah haram dan diancam dengan siksaan api neraka.
3. Euthanasia aktif tetap dilarang, kecuali dalam beberapa hal
yang sifatnya dharurat seperti menyelamatkan jiwa seorang
23
Chuzaimah, Masail Fiqhiyah, h. 105.
191 Mufida Saggaf al-Jufri, Euthanasia Dalam Pandangan Alqur’an
4.
ibu dengan jalan mematikan janin yang dikandungnya bila
diketahui proses kelahiran bayi tersebut dapat
mengakibatkan kematian si ibu.
Euthanasia pasif diperbolehkan yaitu tindakan yang
membiarkan si pasein dalam keadaan tidak sadar tampa
memberikan bantuan medis sehingga berakibat kematian,
dimana sepanjang kondisi organ utama pasien berupa
batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli –Desember 2014 192
DAFTAR PUSTAKA
Akbar , Ali, Euthanasia dilihat dari Hukum Islam, Panji Masyarakat
No. 453, th.XXVI, 21 Desember 1984.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al Asybah wa al Nazhair, Bairut Dar al Fikr
1999
al-Qaradhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam, terjem. Oleh
Mu’ammal Hamidy, Singapura : Himpunan Belia Islam,
1980
Bukhari, Shahih al-Bukhari,Beirut Dar al-Fikr, t.t, jilid IV,h. 188.
Fauzi, Ahmad, Euthanasia;Problematika Hukum Islam Kontemporer,
Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 2002
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan
Bintang 1967
Muhsin, Abul Fadl, Kloning, Eutanasia, Transusfusi darah,
transplantasi organ, dan Eksperimen pada hewan;Telaah
Fikih Dan Bioetika Islam. Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2004
Najm, Ibn, Al Asybah wa al Nazhair, Bairut Dar al Fikr 1999
Rasyid, Hamdan (edit), Fiqih Indonesia; Himpunan Fatwa-fatwa
Aktual, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003
Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syaria’ah, Beirut ; Daar alQalam, t.t .
Tadjuddin, Muhammad Kamil, Isu Kontemporer dalam Kedokteran
Islam, Pidato Pada penerimaan Gelar doctor Hunuris Causa
Jakarta UIN Syarif Hidayatullah 2005
Yanggo, Chuzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah ;Kajian Hukum Islam
kontemporer, Bandung: angkasa 2005
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1993.
Download