Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis of

advertisement
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis of
Preventive Behaviors to Address Biopsychosocial Impacts of
Sexual Violence among Street Children in Yogyakarta
Intan Noor Khalifah1), Argyo Demartoto2), Harsono Salimo3)
1)Masters
2)
Program in Public Health, Sebelas Maret University
Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University
3)Department of Pediatrics, Dr. Moewardi Hospital, Surakarta
ABSTRACT
Background: Street children are at high risk of sexual violence. Necessary measures should be
undertaken to address deleterious biopsychosocial impacts of sexual violence. This study aimed to
analyze the preventive behaviors to address biopsychosocial impacts of sexual violence among
street children in Yogyakarta using Health Belief Model and Labelling Theory.
Subjects and Method: This study was qualitative descriptive with phenomenology approach.
The key informants for this study included Head of Rumah Impian Indonesia Foundation (a social
non-government organization) and Director of PKBI, Yogyakarta. The main informants were the
street children with assistance from Rumah Impian Indonesia Foundation. Supporting informants
were health personnels of Jetis community health center and the street children’s brothers.
Results: Street children who had experienced sexual violence were taken care by Rumah Impian
Indonesia Foundation. The biopsychosocial effects of sexual violence included anxiety, anger,
shock, trauma, fear, feelings of revenge, irritation, emotion, stress, unwillingness to eat, bad mood,
and staying alone in the room. Preventive behaviour to overcome biopsychosocial impacts of sexual
violence included forgetting, letting it go, not mentioning the problem again. Label or negative
stigma given by the community to street children included marred children, dirty children, and
social garbage.
Conclusion: Sexual violence experienced by street children cause various psychologic impacts,
which calls for appropiate preventive behaviors to minimize the deleterious impacts of sexual
violence. The social impacts of sexual violence in street children include labelling and negative
stigma.
Keywords: Health Belief Model, Labelling Theory, sexual violence, biopsychosocial, preventive
behavior, street children.
Correspondence:
Intan Noor Khalifah. Masters Program in Public Health, Sebelas Maret University, Jl. Ir. Sutami 36
A, Surakarta 57126, Central Java. Email: [email protected] Mobile: +6285728000164.
LATAR BELAKANG
Kasus kekerasan terhadap anak cenderung
meningkat, baik yang terjadi di dalam
keluarga, di lingkungan sekolah dan masyarakat dengan pelakunya adalah orangorang yang seharusnya dapat memberikan
perlindungan bagi anak (Bina Kesehatan
Masyarakat dan UNICEF, 2007; Suradi,
2013; UNICEF, 2014; Sulistyaningsih dan
Faturochman, 2002). Menurut Unicef
(2014) bahwa dari 190 negara menunjukan
e-ISSN: 2549-0257 (online)
bahwa ada sekitar 6 dari 10 anak telah
menjadi korban kekerasan fisik, seksual
dan psikologis. Serta 1 dari 10 anak perempuan atau sekitar 120 juta anak perempuan
diseluruh dunia mengalami kekerasan seksual pada usia 20 tahun.
Di Indonesia, kasus kekerasan seksual
pada anak sudah menjurus pada keadaan
yang darurat, karena dimana pun mereka
berada, dibayang-bayangi oleh kejahatan
yang dapat merenggut kebahagian dan
309
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
masa depan mereka. Anak yang hidup di
jalanan dan tidak tinggal bersama orangtuanya merupakan salah satu kelompok
yang sangat rentan menjadi korban tindakan kekerasan seksual. Banyak anak yang
hidup di jalanan yang pernah mengalami
kekerasan seksual tidak berani untuk melaporkan ke pihak berwajib sehingga kasusnya banyak yang tidak terungkap dan tindakan tersebut menjadi suatu silent crime
(Noviana, 2015; Aswidah dan Srimulyati,
2014; Erwin, 2013).
Kekerasan seksual pada anak jalanan
dapat berupa perlakuan prakontak seksual
melalui kata, sentuhan, gambar visual atau
pun dengan perlakuan kontak seksual secara langsung dengan melibatkan anak jalanan. Hal ini merupakan hal yang biasa di
kalangan anak jalanan, seperti anak lakilaki memegang dada anak perempuan dan
sebaliknya, anak perempuan memegang kemaluan anak laki-laki (Erwin, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Nada
dan Suliman (2010) tentang kekerasan, pelecehan, penggunaan obat-obatan dan
alkohol pada 463 anak jalanan di Greater
Cairo dan 394 anak jalanan di Alexandria
usia 15-17 tahun mendapatkan hasil bahwa
ada sekitar 53% atau 36 anak jalanan
perempuan di Greater Kairo dan 90% atau
30 anak jalanan perempuan di Alexandria
telah mengalami mengalami kekerasan
seksual.
Data yang didapatkan dari Komisi
Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa saat ini ada sekitar 1.7 juta anak jalanan
yang ada di 26 Provinsi sangat rentan
menjadi korban kekerasan seksual. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pusat Penelitian HIV/AIDS Atma Jaya
pada awal tahun 2016 pada 43 anak jalanan
di Jakarta dengan rentan usia 15 sampai 18
tahun mendapatkan hasil bahwa dua dari
43 anak jalanan telah mengalami kekerasan
seksual dan saat ini sedang hamil di luar
310
ikatan pernikahan akibat kekerasan seksual
yang dialaminya (CNN Indonesia, 2016;
Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma
Jaya, 2016).
Kekerasan seksual yang terjadi pada
anak yang hidup di jalanan menjadi salah
satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat dan harus diletakkan sebagai kejahatan yang luar biasa karena dapat memberkan dampak yang berkepanjangan sepanjang kehidupan mereka dan dapat mengancam masa depan generasi bangsa (Probosiwi dan Bahransyaf, 2015).
Penelitian yang dilakukan Sakalasastra dan Herdiana tahun 2012 pada anak
anak yang hidup jalanan menyebutkan bahwa sebagian anak yang mengalami kekerasan seksual akan kehilangan semangat serta merasa sudah tidak berdaya lagi untuk
menjalani kehidupannya sehingga mereka
menjadi lebih pendiam, suka melamun,
bersedih dan kurang bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar-nya.
Dampak lain yang dihadapi oleh
korban kekerasan seksual adalah stigma
atau pandangan negatif dari masyarakat.
Dengan tanpa rasa bersalah masyarakat
memberikan label bahwa anak korban
kekerasan seksual sebagai anak yang tidak
suci lagi, kotor dan hina. Anak korban kekerasan seksual juga dianggap sebagai aib
bagi keluarganya, sehingga untuk menutupi
aib tersebut akhirnya anak harus disingkirkan untuk sementara waktu agar keluarga
tidak merasa malu. Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual di diskriminasi dan dikucilkan oleh keluarga serta
masyarakat di lingkungan sekitarnya (Bahri
dan Fajriani, 2015; Lustanto, 2015).
Besarnya dampak yang ditimbulkan
akibat kekerasan seksual menuntut berbagai pihak untuk segera melakukan upaya
atau langkah pencegahan kekerasan seksual
yang terjadi pada anak. Selain itu, harus
diimbangi dengan langkah dan upaya pee-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
nyembuhan serta penanganan bagi anak
yang telah menjadi korban kekerasan seksual, sehingga anak tidak mengalami
trauma yang berkepanjangan dan dapat
memulai kembali kehidupannya secara
normal.
Berdasarkan uraian diatas maka
penulis melakukan analisis Health Belief
Model dan Labelling Theory terhadap perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual pada anak
jalanan Kota Yogyakarta yang menjadi
dampingan Yayasan Rumah Impian Indonesia Yogyakarta.
SUBJEK DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi fenomenologis, untuk menggali informasi tentang kekerasan seksual
yang terjadi pada anak jalanan, dampak
biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual serta perilaku anak jalanan
dalam mengatasi dampak biopsikososial
akibat kekerasan seksual dengan analisis
Model Kepercayaan Kesehatan atau Health
Belief Model dan labelling theory pada
anak jalanan yang mengalami kekerasan
seksual.
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Mei hingga Juni 2017 di Kota Yogyakarta
dengan pertimbangan adanya anak jalanan
di Kota Yogyakarta yang pernah mengalami
kekerasan seksual serta terdapat Yayasan
Rumah Impian Indonesia Yogyakarta yang
menjadi lembaga untuk mendampingi dan
melayani anak-anak yang hidup di jalanan.
Penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling, dimana peneliti menyeleksi partisipan yang berdasarkan kepemilikan informasi. Informan kunci dalam
penelitian ini adalah Ketua Yayasan Rumah
Impian Indonesia Yogyakarta dan Direktur
PKBI cabang Kota Yogyakarta dengan informan utamanya adalah anak jalanan yang
e-ISSN: 2549-0257 (online)
menjadi dampingan Yayasan Rumah Impian Indonesia Yogyakarta dan informan
pendukung terdiri dari petugas kesehatan
puskesmas Kota Yogyakarta dan kakak dari
salah satu anak jalanan yang pernah
mengalami kekerasan seksual.
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam, observasi
dan studi dokumentasi dengan alat pengumpulan data yang digunakan yaitu alat
perekam. pedoman wawancara, pedoman
observasi, alat tulis dan laptop. Data yang
telah dikumpulkan dan diperoleh dianalisis
menggunakan model interaktif (Miles dan
Huberman, 2007) yang meliputi reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.
HASIL
Hasil wawancara mendalam pada informan, peneliti berhasil mengidentifikasi
penyebab kekerasan seksual pada anak
jalanan, dampak biopsikososial pada anak
jalanan yang pernah mengalami kekerasan
seksual, Health Belief Model terhadap perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial pada anak jalanan yang mengalami
kekerasan seksual serta pelabelan yang
diberikan masyarakat pada anak jalanan
yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Dalam penelitian ini, semua informan
anak jalanan yang berhasil peneliti
wawancarai, mengakui bahwa selama mereka bekerja dan hidup di jalanan pernah
mengalami kekerasan seksual dalam
bentuk pelecehan seksual yang pelakunya
dilakukan baik oleh orang yang dikenal dan
tidak dikenal yang kejadiannya sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Penyebab Kekerasan Seksual pada
Anak Jalanan
Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi
persepsi informan tentang hal-hal yang
menjadi penyebab kekerasan seksual yang
terjadi pada anak jalanan. Salah satu
311
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
informan anak jalanan berpendapat bahwa
kekerasan seksual pada anak jalanan
disebabkan karena anak jalanan yang tidak
mempunyai rumah sehingga dapat dijadikan korban kekerasan seksual, adanya anak
jalanan senior yang merasa lebih berkuasa
dan adanya anak jalanan perempuan yang
nakal yang dapat memicu laki-laki untuk
melakukan aksi kejahatan kekerasan
seksual. Berikut kutipan hasil wawancara
yang dilakukan pada informan:
“Penyebabnya apa ya ka? Menurut ku
sih karena memang anak jalanan ga
punya rumah ka jadi dijadiin korban
kaya gitu sama faktor biasa yang gedegede itu lebih berkuasa. Sama tementemen ku yang cewe-cewe itu kan
emang nakal gitu ka, jadi memicu
orang lain untuk kaya pengen seksual
gitu”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei
2017.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh
informan utama (A2) yang menyatakan
bahwa kekerasan seksual pada anak jalanan
disebabkan karena adanya anak jalanan
yang pakaiannya terbuka, tidak bisa di
kontrol dan tidak bisa di tata yang dapat
mengundang atau memicu laki-laki untuk
melakukan kekerasan seksual:
“Untuk penyebabnya itu biasanya
karena sebelumnya itu dari orang itu
sendiri. Maksudnya kaya perempuanperempuan yang pakaiannya terbuka,
itu kan bakal ngundang laki-laki buat
ngelakuin pelecehan itu. Nah itu unsur
pertamanya. Dari perempuan sendiri
yang berpakaiannya ga bisa di kontrol,
ga bisa di tata, saat di luar atau
dimana ya yang pasti akan kaya gitu
kejadiannya. Karena kan itu benerbener mengundang atau menarik lakilaki seperti itu”. (A2) Hasil wawancara
09 Mei 2017.
312
Dampak Biopsikososial pada Anak
Jalanan yang Mengalami Kekerasan
Seksual
Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi
dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan
seksual baik secara biologi, psikologi maupun sosial pada anak jalanan yang pernah
mengalami kekerasan seksual. Dimana
semua informan anak jalanan yang pernah
mengalami kekerasan seksual mengalami
dampak secara psikis. Berikut kutipan hasil
wawancara yang dilakukan bersama
informan:
“Kalo aku sih sekarang jadi was-was
gitu ka. Kaget terus marah sama kesal
juga ka, trus traumanya sampe
sekarang masih keinget gitu, jadi tiap
jalan atau lagi jalan gitu sendiri pasti
misalnya kalo ada motor lewat gitu kan
ka, langsung nutupin gitu loh ka. Apa
gini,
pokoknya
nutupin
bagian
payudaranya. Takut sama geli, intinya
gitu ka. Sama gmana ya? kan itu kan
masih kecil ka, jadi sampai sekarang
tuh jadi trauma nek sama cowo itu”.
(A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017.
Adapun dampak kekerasan seksual yang
dialami oleh informan utama (A2) adalah
adanya rasa ingin balas dendam, jengkel,
was-was dan takut:
“Dampaknya malah lebih ke ingin
balas dendam walaupun ga ngefek di
fisik gitu, ga ngefek ga apa rasanya
kaya masih jengkel gitu perasaannya,
rasanya pengen ngelupain kejadian
kejadian gitu tapi ya suatu saat inget
ya kesal gitu. Ko bisa seumur-umur
belum ada laki-laki yang kaya gitu,
tiba-tiba orang yang ga di kenal
langsung kaya gitu. Kalo trauma sih ga
ada tapi rasa was-wasnya itu yang lebih.
Lebih takut kemana-mana sendirian pas
malem. Jadi lebih kerasa takutnya itu
ya. Takut kejadinnya terulang lagi”. (A2)
Hasil wawancara 09 Mei 2017.
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
Selanjutnya dampak yang dialami informan
utama (A3) tidak jauh berbeda dengan yang
dialami informan utama (A1 dan A2).
Berikut kutipan hasil wawancara yang
dilakukan bersama informan:
“Kalo aku sih ga ka, ya paling cuma
emosi itu ma marah kesal. Kalo ketemu
orangnya ya paling diem kalo ga ya
aku pelototin gitu. Ntar kalo orangnya
liat aku paling ga berani berhenti
paling bablas gitu. Jadi aku biasa aja
sih ka. Sempet marah lama sih ka”.
(A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017.
Perilaku Anak Jalanan dalam Mengatasi Dampak Biopsikososial Akibat
Kekerasan Seksual yang Pernah
Dialaminya
Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi
mengenai perilaku anak jalanan dalam
mengatasi dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang
pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil
wawancara yang dilakukan bersama informan:
“Ya lebih banyak main sama tementemen yang sebaya trus minta nasehat
juga. Dari nasihat itu diambil yang
positifnya gitu ka. Itu membantu juga
sih ka, jadi habis itu ga terlalu takut
banget. Soalnya kan baru pertama kali
itu. Terus ga bergaul sama orang yang
lebih dewasa juga. Sama misalnya ada
orang mencurigakan gitu ya ka ga
mau ta lihatin sama ga mau nengok
kalo dipanggil tapi kalo yang aku ga
kenal aku ga mau lihat”. (A1) Hasil
Wawawancara 08 Mei 2017.
Selanjutnya perilaku yang dilakukan
informan utama (A2) dalam mengatasi
dampak biopsikososial yang timbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya adalah dengan melupakan kejadian
kekerasan seksual yang pernah dialaminya,
e-ISSN: 2549-0257 (online)
lebih hati-hati dan lebih was-was dalam
berpakaian:
“Kalo aku sih ya lupain ja maksudnya,
ga mau yang ngungkit-ngungkit. ah
udah ah yang penting lebih hati-hati
aja kalo lagi jalan sendiri. Lebih waswas sih di pakaian, biar ga ngundang
kaya gitu lagi”. (A2) Hasil wawancara
09 Mei 2017.
Adapun perilaku yang dilakukan informan
utama (A3) tidak jauh berbeda dengan
pendapat informan utama sebelumnya
yang menyatakan bahwa informan utama
(A3) telah melupakan, tidak mau
mengungkit-ungkit lagi dan mengikhlaskan
kejadian kekerasan seksual yang pernah
dialaminya serta baikan dan menyapa
dengan pelaku kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil
wawancara yang dilakukan bersama
informan:
“Ya aku cuekin aja, paling dilupain ga
diungkit ungkit, buat apa marah terus
kan ga ada gunanya. Cuma masalah
kaya gitu kan ga keterlaluan banget.
Lagian kan udah lalu, masa lalu.
Dilupain aja. aku ikhlasin aki baikan,
kadang kalo ketemu dia nyapa, yaudah
aku balik nyapa”. (A3) Hasil wawancara
13 Mei 2017.
Health Belief Model terhadap Perilaku dalam Mengatasi Dampak Biopsikososial pada Anak Jalanan yang
Mengalami Kekerasan Seksual
Health Belief Model pada penelitian ini
digunakan untuk mengidentifikasi perilaku
kesehatan pada informan yang berkaitan
dengan perilaku dalam mengatasi dampak
biopsikososial akibat kekerasan seksual
yang pernah dialaminya. Ada enam komponen Health Belief Model yang digunakan
pada penelitian ini.
313
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
a. Isyarat Bertindak
Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi
dorongan informan dalam berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual. Hasil penelitian
menunjukan bahwa seluruh informan menyatakan dorongan untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biopsiskososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya berasal dari diri sendiri. Selain itu
juga mereka mendapakan dorongan yang
berasal dari orang yang ada di sekitarnya.
Adapun informan anak jalanan yang
mendapatkan dorongan dari suami, karena
hanya suami dan dirinya yang mengetahui
kejadian kekerasan seksual tersebut:
“Ya ka suami ku doang itu. ya dia cuma
bilang “ ya udah diemin, kalo
ngulangin lagi bilang aku, nanti aku
kasih pelajaran. Aku bilang “udahlah
ga usah lagian cuma kesalahan apa ya
kecil, ntar takutnya merembet sampai
mana-mana, kan sana gampang
emosian, pada geng-gengan sih. Jadi
suami aku aja yang tau, orang lain ga
ada yang tau. (A3) Hasil wawancara 13
Mei 2017.
b. Persepsi Kerentanan
Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi
persepsi anak jalanan mengenai tingkat
kerentanan yang dirasakan apabila telah
berperilaku dalam menghadapi dampak
yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual
yang pernah dialaminya. Seluruh informan
anak jalanan menyatakan bahwa tidak ada
kerentanan yang dirasakan setelah mereka
menerapkan perilaku dalam mengatasi
dampak biopsikososial akibat kekerasan
seksual yang pernah dialaminya. Adapun
informan anak jalanan yang berpendapat
bahwa apabila tidak menerapkan perilaku
dalam mengatasi dampak biopsikososial
akibat kekerasan seksual yang pernah
dialaminya, maka ia akan mengalami
kekerasan dan dampak yang lebih parah
314
lagi. Berikut kutipan hasil wawancara yang
dilakukan bersama informan:
“Yaa ka, bakal ngalamin lage ka. Pasti
bakal terulang lagi, mungkin yang
lebih parah kalo ga jaga diri juga ga
hati-hati juga, Dampak nya juga kan
ke diri sendiri bisa lebih kekerasan
yang bakal terjadi, bisa sampai hamil”.
(A1) Hasil Wawawancara 08 Mei 2017.
Persepsi Keseriusan
Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi
persepsi anak jalanan mengenai keseriusan
yang dirasakan apabila tidak berperilaku
dalam mengatasi dampak biopsikososial
akibat kekerasan seksual yang pernah
dialaminya. Berikut kutipan hasil wawancara mendalam yang dilakukan bersama
informan:
“Itu nanti kalo menurut ku kalo
misalnya ga dilupain itu, itu jadi
trauma tersendiri gitu loh”. (A1) Hasil
wawawancara 08 Mei 2017.
Sedangkan pada informan utama (A2)
berpendapat bahwa apabila ia tidak melupakan kejadian kekerasan seksual yang
pernah dialaminya, maka ia akan teringat
dan kepikiran kembali dengan kejadian
tersebut. Berikut kutipan hasil wawancara
yang dilakukan bersama informan:
“Sejauh ini sih ga. cuma gimana ya ka
cuma sekarang udah ga fokus ke situ,
ga inget lagi udah ga terlalu mikirin
yang itu. Jadi udah ga keinget lagi”.
(A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017.
Informan utama (A3) beranggapan bahwa
emosinya semakin bertambah apabila ia tidak melupakan kejadian kekerasan seksual
yang pernah dialaminya dan bisa marah
serta adu mulut apabila bertemu dengan
pelaku kekerasan seksual yang pernah
dialaminya:
Ya paling kalo ga dilupain nanti emosi
nya nambah. Nanti kalo ketemu malah
pa tuh berantem. Adu mulut gitu loh”.
(A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017.
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
c. Persepsi Manfaat
Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi
persepsi anak jalanan mengenai manfaat
yang dirasakan setelah mereka berperilaku
dalam mengatasi dampak biopsikososial
akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil wawancara
yang dilakukan bersama informan:
“Ada, jadi ya ka seimbang ya ka
ngelupain tapi ada manfaatnya gitu.
Jadi ga trauma ka. Trauma juga
hilang, ga keinget-inget lagi, kalo sama
cowo udah aga takut gitu”. (A1) Hasil
wawawancara 08 Mei 2017.
Hal tersebut juga terdapat kesamaan pada
informan utama (A2), bahwa dengan
melupakan kejadian kekerasan seksual
yang pernah dialaminya, maka manfaat
yang ia rasakan adalah tidak akan kepikiran
dan merasa takut lagi. Berikut kutipan hasil
wawancara yang dilakukan bersama
informan:
“Jadi ga kaya kepikiran lagi, ga
kepikirin yang kaya nanti ini gini-gini.
Jadi kaya takut gitu udah ga biasa
aja”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei
2017.
Manfaat yang dirasakan informan utama
(A3) tidak jauh berbeda dengan informan
utama (A1 dan A2) bahwa setelah ia
berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang
pernah dialaminya, maka ia sudah tidak
keingat-ingat lagi dengan kejadian tersebut
dan akan dijadikan pelajaran tersendiri
untuknya agar bisa lebih berhati-hati. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan:
“Ya cuma buat pelajaran aja. Lain kali
ga tidur sembarangan. Lebih bisa hatihati. Sama udah ga keinget-inget lagi”.
(A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017.
e-ISSN: 2549-0257 (online)
d. Persepsi Hambatan
Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi
persepsi informan anak jalanan mengenai
hambatan yang dirasakan pada saat menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak
biopsikososial akibat kekerasan seksual
yang pernah dialaminya. Seluruh informan
anak jalanan menyatakan bahwa mereka
tidak menemui hambatan ketika mereka
menerapkan perilaku dalam mengatasi
dampak biopsikosoial akibat kekerasan seksual yang pernah mereka alami. Informan
utama (A3) menyatakan tidak menemukan
hambatan ketika menerapkan perilaku
dalam mengatasi dampak akibat kekerasan
seksual dikarenakan orang disekitar ia
tidak peduli dengan urusan orang lain:
“Ga sih, orang-orang disekitar ini
malah pada cuek, ada masalah ini
masalah apa ya itu urusan nya sendiri
urusannya dia. Soalnya temen-temen
disana pada cuek sih”. (A3) Hasil
wawancara 13 Mei 2017.
e. Keyakinan Diri
Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi
mengenai keyakinan diri masing-masing
informan anak jalanan untuk sembuh dari
dampak biopsikososial yang ditimbulkan
akibat kekerasan seksual yang pernah
dialaminya. Hasil wawancara mendalam
yang dilakukan pada semua informan anak
jalanan menyatakan bahwa seluruh informan anak jalanan berkeyakinan dapat sembuh dari dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang
pernah dialaminya setelah mereka berperilaku dalam mengatasi dampak tersebut:
“Iya ka, yakin trauma bisa ilang
sedikit-sedikit tapi kalo misalnya
ketemu orangnya pasti kembali lagi ka
marah banget gitu ka”. (A1) Hasil
wawawancara 08 Mei 2017.
“Kalo aku sih sembuh, jadi maksudnya
ga akan kepikir lage, kalo emang tadi,
jaga pakaiannnya. Ya kalo misalnya
315
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
itu sih yakin. Tapi kalo buat bales
dendam itu kaya kalo aku sih kaya
pengen hajar atau apa gitu. Tapi karena sekarang udah ga ada, ya jadi lebih
hati-hati ja. Ga bales dendam dan
melupakan”. (A2) Hasil wawancara 09
Mei 2017.
“Huum bisa sembuh ka, udah ga marah
sekarang ka, udah ta lupain”. (A3)
Hasil wawancara 13 Mei 2017.
Keyakinan diri semua informan anak
jalanan ini juga diperkuat oleh pendapat
dari
Direktur
PKBI
cabang
Kota
Yogyakarta:
“Ketika penyelesaian, solusi atau
kemudian yang diberikan ini sesuai
dengan apa permasalahannya, nah ini
ya akan tepat sasarannya, Bisa lebih
efektif dan sembuh ya. Penanganan
nya pasti lebih efektif “. (K2) Hasil
Wawancara 08 Mei 2017.
Labelling Theory pada Anak Jalanan
yang Mengalami Kekerasan Seksual
Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi
mengenai labelling theory atau pemberian
label pada anak jalanan yang pernah
mengalami kekerasan seksual. Seluruh
informan anak jalanan menyatakan bahwa
selama mereka berada di jalanan, mereka
mendapatkan label atau stigma yang negatif dari masyarakat. Stigma negatif tersebut meliputi sampah masyarakat, penyandang masalah sosial, anak yang suka
mencuri dan bikin kericuhan, anak yang
suka mabok-mabokan, suka ngelem, anak
yang kotor dan anak yang kurang beruntung:
“Ada ka, soalnya kan kita tidur nya ya
di jalan kan ka, jadi kan kayanya deket
masyarakat juga jadi pandangannya
ga baik. Pandangan nya pasti negative
ya ka”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei
2017.
316
“Sering pada bilang kalo orang-orang
masyarakat itu bilangnya “suka nyuri
gitu” kalo anak jalanan suka mencuri
lah atau bikin kericuhan. Mungkin
sama aja ya, maksdnya sekalinya
orang dah nilai jelek ya gitu susah,
dinilai jelek ya jelek. Ga suka ya udah
ga suka”. A2) Hasil wawancara 09 Mei
2017.
Semua informan anak jalanan berpendapat
bahwa mereka yang pernah mengalami
kekerasan seksual mendapatkan stigma
yang negative dari masyarakat. Stigma
negatif tersebut seperti anak yang kotor
dan tidak suci lagi. Pernyataan tersebut di
dukung oleh pendapat dari Direktur PKBI
cabang Kota Yogyakarta yang menyatakan
bahwa anak jalanan secara sosial sudah
mendapatkan stigma yang negatif dari
masyarakat, kemudian ketika anak jalanan
tersebut mengalami kekerasan seksual:
“Anak jalanan itu mereka sudah kena
stigma dan diskriminasi, toh secara
sosial mereka sudah dianggap sebagai
penyandang masalah sosial, dianggap
masyarakat yang kelas bawah,
dianggap sebagai sampah masyarakat
gitu toh. Ga ada kasus itu saja mereka
sudah kena dampak sosial. Kemudian
ee ketika ini kasus kekerasan gitu
misalnya dialami oleh kelompok yang
dimarjinalkan itu semacam ada pengabaian yang terjadi sama saja mereka
kemudian akan diabaikan gitu”. (K2)
Hasil Wawancara 08 Mei 2017.
PEMBAHASAN
Anak jalanan merupakan istilah yang melekat dan biasanya diberikan pada anakanak yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan maupun di
tempat-tempat umum untuk melakukan
kegiatan sehari-hari. Hidup di jalanan, mereka harus berusaha dan bekerja untuk
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
mempertahankan hidupnya meskipun mereka harus beradaptasi agar dapat diterima
di lingkungan sekitarnya. Demartoto
(2012), menyebutkan bahwa di jalanan,
anak jalanan ini dapat menemukan kebebasan, kesenangan serta menikmati semua
fasilitas yang ada sesuai dengan keinginan
mereka. Dengan kebebasan tersebut, mereka dapat melakukan kegiatan apapun yang
mereka inginkan serta dapat mengembangkan perilaku-perilaku yang sesuai
dengan budaya yang ada di jalanan.
Menurut UNICEF tahun 2012, bahwa
diperkirakan ada lebih dari satu miliar anak
yang hidup dan tumbuh di jalanan di
seluruh dunia. Adanya mereka disebabkan
kerena pertumbuhan populasi global serta
urbanisasi yang terus berlanjut. Purwoko
(2013), menyebutkan bahwa menjadi anak
jalanan bukanlah pilihan jalan hidup dan
pilihan yang menyenangkan bagi mereka,
pilihan ini disebabkan karena adanya keterpaksaan yang pada akhirnya harus mereka
terima. Faktor penyebabnya dapat berupa
kemiskinan, adanya penganiayaan dalam
keluarga serta hilangnya rasa kasih sayang
dari keluarga mereka. Hal tersebut yang
kemudian menyebabkan mereka berperilaku tidak baik dan melanggar segala
aturan yang berlaku.
Kekerasan seksual merujuk pada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
tanpa persetujuan dalam bentuk aktivitas
seksual. Sedangkan kekerasan seksual pada
anak jalanan merupakan suatu bentuk
tindakan kekerasan berupa rangsangan
seksual atau perlakuan seksual baik secara
maupun tidak langsung yang melibatkan
seorang anak jalanan. Kekerasan seksual
dalam bentuk pelecehan seksual merupakan masalah yang umum ditemukan pada
anak-anak yang berada dijalanan.
Pengetahuan informan mengenai penyebab kekerasan seksual pada anak jalanan dapat dikategorikan cukup baik.
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Informan anak jalanan mengetahui bahwa
kekerasan seksual yang terjadi pada anak
jalanan dapat disebabkan karena tidak ada
tempat untuk berlindung, adanya anakanak jalanan perempuan yang nakal dan
pakaiannya terbuka dapat merangsang pelaku, kemudian adanya anak jalanan senior
yang merasa berkuasa serta orang-orang
yang berada di jalanan terbuka dan bebas.
Hal ini senanda dengan Astri (2014) yang
menyatakan bahwa anak-anak yang hidup
di jalanan sangat rentan dan rawan untuk
menjadi korban kekerasan seksual karena
mereka berada di tempat dan lingkungan
yang tidak mendukung, keras dan berbahaya dengan pengawasan yang kurang
dari keluarga serta terpaparnya dengan dunia luar yang sangat luas. Adanya sistem
partiakhi juga menyebabkan anak jalanan
perempuan lebih berisiko atau rentan
untuk mengalami kekerasan seksual, dimana laki-laki lebih mendominasi perempuan (Reardon, 1996 dan Medina, 2015).
Di jalanan, anak jalanan ini biasanya
menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya untuk mencari uang demi me-menuhi kebutuhan sehari-harinya sehingga tidak
dapat dipungkiri mereka bebas berinteraksi
dengan banyak orang dari berbagai sifat
dan karakter yang berbeda-beda. Maka dari
itu mereka sangat berpeluang besar untuk
bertemu dan berinteraksi dengan pelaku
kekerasan seksual. Mereka mempunyai
titik-titik kumpul yang biasanya dijadikan
pelaku untuk melakukan aksi kekerasan
seksual seperti hubungan seksual digilir
oleh banyak orang.
Kekerasan seksual yang terjadi pada
anak jalanan dapat menimbulkan dampak
baik secara biologis, fisik dan sosial. Dalam
penelitian ini, dampak secara fisik yang
ditimbulkan akibat kekerasan seksual pada
semua informan memang tidak ada yang
ditimbulkan dan dipermasalahkan namun
secara psikis semua informan anak jalanan
317
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
menyatakan bahwa kekerasan seksual yang
pernah dialaminya sangat memberikan
trauma tersendiri bagi mereka. Dampak
kekerasan seksual yang dialami informan
anak jalanan antara lain adalah rasa waswas, kaget, marah, trauma, takut, geli, ada
perasaan ingin balas dendam, jengkel, kesel, tidak mau makan, murung dan berdiam
diri di kamar. Hasil penelitian ini terdapat
kesamaan dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Celik dan Media (2009)
bahwa dalam penelitiannya menunjukan
mayoritas anak yang pernah mengalami
kekerasan seksual mengalami kecemasan
dan marah.
Kekerasan seksual diakui sebagai
bentuk penganiayaan dan pelanggaran
yang serius terhadap kesejahteraan manusia, karena kekerasan seksual ini menjadi
masalah yang sangat besar yang dapat
mempengaruhi perkembangan mental yang
menjadi korbannya baik saat ini maupun
masa depannya (Vezina et al., 2013). WHO
(2003) juga menyatakan bahwa kekerasan
seksual dapat memberikan dampak yang
negatif secara signifikan terhadap kesehatan korban yang pernah mengalaminya.
Seperti adanya potensi gangguan kesehatan
reproduksi atau seksual, kehamilan yang
tidak diinginkan, infeksi menular seksual,
HIV/AIDS serta meningkatkan perilaku
seksual yang berisiko. Selain itu korban
kekerasan seksual juga dapatkan memberikan dampak kesehatan mental pada
korbannya seperti depresi, penyalahgunaan
zat, dan keinginan untuk bunuh diri. Kekerasan seksual juga menjadi salah satu
penyebab gangguan stress pasca trauma
(PTSD).
Perilaku merupakan respon terhadap
rangsangan yang mendasari dan menjadi
alasan informan untuk bertindak. Dimana
semua informan anak jalanan menyatakan
bahwa mereka berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekeras318
an seksual yang pernah mereka alami
dengan cara melupakan dan tidak mengungkit lagi kejadian tersebut agar mereka
tidak teringat dengan kejadian kekerasan
seksual yang pernah dialaminya. Selain
melupakan ada informan anak jalanan yang
meminta nasehat pada orang yang lebih
tua, kemudian lebih banyak bermain bersama teman sebaya, tidak bergaul dengan
orang lebih dewasa serta lebih waspada
terhadap orang yang baru dikenal dan mencurigakan. Perilaku ini dilakukan oleh
semua informan anak jalanan untuk menghilangkan rasa trauma, was-was, marah,
jengkel dan takut yang ditimbulkan akibat
kekerasan seksual yang pernah dialaminya.
Hal ini senada oleh McPherson et al
(2012) yang menyatakan bahwa terapi
perilaku dapat menurunkan serta mecegah
lama tingkat keparahan dan durasi gangguan psikologis akut pada korban kekerasan seksual, Wilson (2006) juga menyatakan bahwa upaya penyembuhan trauma
yang dilakukan korban kekerasan seksual
tidak mampu melupakan atau menghilangkan pengalaman pahit yang mereka.
Melainkan upaya penyembuhan trauma ini
hanya untuk mengurangi stress yang dialami korban serta dapat mengembalikan
kendali atas hidupnya agar tidak terus
menerus merasa bersalah dan malu.
Selanjutnya yang dibahas dalam
penelitian ini adalah Health Belief Model
dalam mengatasi dampak bipsiskososial
pada anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Health Belief Model
merupakan model determinan perilaku
kesehatan yang paling banyak digunakan
dalam dunia pendidikan dan promosi kesehatan. Pada konsep Health Belief Model
dijelaskan bahwa perilaku kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh kepercayaan
atau persepsi individu itu sendiri mengenai
suatu penyakit. (Rawlett, 2011).
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
Isyarat bertindak merupakan salah
satu kompenen Health Belief Model Theory
yang dibahas pada penelitian ini. Isyarat
bertindak adalah suatu dorongan seseorang
untuk dapat merubah perilaku atau kebiasaannya. Isyarat bertindak juga merupakan
petunjuk agar seseorang tersebut dapat
mengambil secara cepat tindakan untuk
melakukan perilaku sehat. Dalam isyarat
bertindak ini, peneliti mengidentifikasi dan
dorongan informan untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial.
Adanya pemahaman informan mengenai dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya,
serta adanya harapan informan untuk sembuh dari dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual menjadi
dasar informan anak jalanan untuk berperilaku. Informan anak jalanan menyatakan
bahwa dorongan mereka untuk berperilaku
dalam mengatasi dampak biospsikososial
akibat kekerasan seksual yang pernah
dialaminya berasal dari diri sendiri mereka
sendiri. Selain itu informan anak jalanan
juga menyatakan bahwa mereka mendapatkan dorongan atau dukungan dari suami
dan orang-orang yang berada disekitarnya.
Hal ini senada dengan pernyataan yang
dinyatakan oleh Sulisyaningsih dan Faturocham (2002) yang menyatakan bahwa
dalam proses penyembuhan korban kekerasan seksual yang mengalami trauma selain
dari dorongan yang berasal dari diri sendiri, korban kekerasan seksual juga membutuhkan dukungan dan dorongan dari
berbagai pihak. Karena dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat dan
membuat korban mampu menerima kejadian kekerasan seksual yang pernah dialamnya sebagai pengalaman hidup yang
harus mereka terima dan jalani.
Komponen selanjutnya adalah persepsi kerentanan yang dirasakan informan
anak jalanan setelah mereka menerapkan
e-ISSN: 2549-0257 (online)
perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang
pernah dialaminya. Persepsi kerentanan
yang dirasakan merupakan salah satu persepsi yang lebih kuat untuk mendorong
seseorang mengadopsi perilaku sehat. Semakin besar resiko yang dirasakan maka
semakin besar kemungkinan terlibat dalam
perilaku untuk mengurangi resiko tersebut.
Semua informan anak jalanan mengakui bahwa tidak ada kerentanan yang mereka rasakan setelah mereka menerapkan
perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang
pernaha dialaminya. Mereka menganggap
dengan melupakan dan tidak mengungkit
kejadian tersebut maka mereka tidak akan
teringat dengan kejadian kekerasan seksual
yang pernah dialaminya. Namun informa
anak jalanan mengakui bahwa apabila
mereka tidak menerapkan perilaku tersebut
maka dampak yang akan terjadi akan lebih
parah lagi.
Hasil penelitian ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Musthaq et
al (2015) yang dilakukan di Pakistan
menyebutkan bahwa seseorang yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam
bentuk pelecehan seksual dapat mengalami
depresi 3-8 kali dari pada yang tidak
pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan seksual juga dapat menyebabkan
stress yang hebat pada korbannya, membuat korban merasa sedih, cemas dan
merasa tertekan. Beberapa penelitian juga
menyebutkan bahwa tindak kejahatan berupa kekerasan seksual atau pelecehan
seksual yang terjadi di masa anak-anak
selain memiliki risiko tinggi untuk mengembangkan gangguan pskilogis di kemudian hari pada korban yang pernah mengalaminya, kekerasan seksual juga memilki
risiko tinggi untuk menjadi menjadi korban
sebagai pelaku di kemudian hari (Ohlert et
319
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
al, 2017; Ryan dan Otonichar, 2016 dan
Maniglio, 2009).
Selanjutnya adalah persepsi yang
dirasakan. Persepsi keseriusan merupakan
kepercayaan individu tentang keseriusan
atau keparahan penyakit. Keseriusan dirasakan juga merujuk pada keyakinan seseorang bahwa ia akan mendapat kesulitan
akibat penyakitnya. Informan anak jalanan
mengakui bahwa apabila mereka tidak
menerapkan perilaku dalam mengatasi
dampak biopsiskososial akibat kekerasan
seksual yang pernah dialaminya maka
kekerasan seksual yang pernah dialaminya
akan menjadi trau tersendiri bagi mereka
serta emosi yang dialaminya akan semakan
bertambah apabila bertemu dengan pelaku
kekerasan seksual. Hal ini senada dengan
yang nyatakan oleh Amado et al., (2015)
bahwa tindak kejahatan kekerasan seksual
dapat memberikan dampak yang serius
pada korbannya seperti luka mental dan
penderitaan emosional, gangguan depresi
mayor, gangguan depresi persisten, fobia
dan kecemasan.
Persepsi manfaat yang diarasakan
merupakan komponen Health Belief Model
yang selanjutnya dibahas pada penelitian
ini. Persepsi manfaat merupakan persepsi
atau penilaian seseorang atau individu dari
manfaat yang dilakukan setelah mereka
berperilaku dalam mengurangi risiko suatu
penyakit yang dideritanya. Semua informan
anak jalanan menyatakan bahwa adanya
manfaat yang dirasakan setelah mereka
berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang
pernah dialaminya. Manfaat yang dirasakan tersebut berupa trauma yang dialaminya bisa hilang, tidak teringat dan kepikiran lagi dengan kejadian kekerasan seksual,
tidak takut lagi, lebih hati-hati dan dapat
dijadikan pelajaran.
Seseorang dapat merasa tindakan
atau perilaku yang ia kerjakan tersebut
320
dapat memberikan banyak manfaat apabila
menurutnya tindakan yang dilakukan tersebut dapat mengurangi kemungkinan individu tersebut dapat menderita penyakit
atau keseriusan dari dampak yang ditimbulkan akibat penyakit terhadap kehidupannya (Rosenstock dan Becker, 1990).
WHO (2003) menyatakan bahwa upaya
atau penanganan pada korban kasus kekerasan seksual dapat meningkatkan kualitas
hidup serta kualitas dukungan yang diberikan pada mereka.
Hambatan merupakan sebuah komponen Health Belief Model yang paling
signifikan dalam menentukan perubahan
perilakunya, karena perubahan perilaku ini
bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah untuk sebagian orang. Hambatan yang
dimaksud adalah penghalang yang dirasakan seseorang pada saat merubah atau
menerapkan perilakunya.
Berdasarkan hasil penelitian ini
bahwa semua informan utama menyatakan
bahwa tidak hambatan yang mereka temui
pada saat mereka berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah
dialaminya karena semua orang yang
berada disekitarnya mendukung untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biospsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Menurut informan kunci
yang menjadi hambatan adalah stigma
masyarakat yang melekat pada anak
jalanan.
Ketika anak jalanan tersebut mengalami kekerasan seksual, masyarakat menilai itu menjadi hal yang biasa yang terjadi
pada anak jalanan. Gamble (2010) dalam
penelitiannya tentang kekerasan seksual
pada anak jalanan yang ada di Romania
menyatakan karena akses pelayanan sosial
dan kesehatan yang terbatas serta banyaknya layanan yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan spesifik lengkap pada anak jalae-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
nan menjadi hambatan pada anak jalanan
dalam melakukan upaya dalam mengatasi
dampak biopsikosoial. Sehingga mereka
kesulitan untuk melakukan upaya pemulihan akibat kekerasan seksual yang pernah
dialaminya.
Keyakinan diri merujuk pada keyakinan atau kepercayaan seseorang yang
berasal dari dalam diri mengenai seberapa
yakin mereka dapat menerapkan perilaku
sehat. Berdasarkan hasil penelitian ini
semua informan mengakui bahwa mereka
yakin sembuh dari dampak biopsikososial
yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual
yang pernah mereka alami apabila mereka
telah berperilaku dalam mengatasi dampak
biopsikososial akibat kekerasan seksual.
Adanya keyakinan diri untuk sembuh dari
trauma akibat kekerasan seksual ini didukung oleh pernyataan yang di sampaikan
oleh informan kunci kedua yang menyatakan bahwa ketika penyelesaian atau
solusi yang dilakukan sudah sesuai dengan
permasalahannya dan tepat sasaran, maka
penanganannya akan lebih efektif dan
mereka yang menjadi korban kekerasan
seksual dapat sembuh dari dampak yang di
timbulkan akibat kekerasan seksual.
Corrigan dan Watson (2002) menyatakan
bahwa self stigma berasal dari penilaian
terhadap dirinya yang akan berdampak
pada perilaku dan motivasi pada diri sendiri
Selanjutnya peneliti mengidentifikasi
mengenai Labelling Theory pada anakanak jalanan yang pernah mengalami
kekerasan seksual. Menurut Horwitz dan
Schied tahun 1999, labelling merupakan
cara yang digunakan untuk memberikan
label atau julukan pada seseorang dengan
memberikan gambaran mengenai identitas
orang tersebut secara keseluruhan bukan
dengan melihat perilakunya satu persatu.
Sementara Labelling theory merupakan
teori berupa pemberian julukan atau lebel
e-ISSN: 2549-0257 (online)
terhadap seseorang atau kelompok yang
memiliki perilaku menyimpang pada saat
orang tersebut berinteraksi dengan masyarakat. Apabila di lakukan secara terus
menerus maka orang tersebut akan menerima dan terbiasa dengan julukan yang diberikan.
Semua anak jalanan yang menjadi
informan menyatakan bahwa selama mereka berada di jalanan mendapatkan label
atau stigma yang negatif dari masyarakat
begitu pun juga dengan mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual. Stigma
negatif atau label yang diberikan pada
mereka meliputi anak yang kotor dan tidak
suci lagi. Salah satu informan pada penelitian ini juga menyatakan bahwa selain
stigma negatif, mereka juga mendapatkan
perlaku yang tidak baik dari masyarakat.
Kemudian ketika anak-anak jalanan ini
mengalami kekerasan seksual maka yang
terjadi hanyalah pengabaian dari masyarakat.
Seperti yang disebutkan Ogunkan dan
Adeboyeyo (2014) bahwa anak-anak yang
hidup jalanan rentan terhadap stigmatisasi
yang diberikan oleh masyarakat melalui
palabelan atau nama panggilan. Selain itu
anak-anak jalanan juga sangat rentan
terhadap diskriminasi sehingga mereka
sering diabaikan dan ditakuti oleh masyarakat.
REFERENCE
Amado BG, Arce R, Herraiz A (2015).
Psychological Injury in Victims of
Chils Sexual Abuse: A Meta-Analytic
Review. Psychosocial Intervention.
24: 49-82.
Astri H (2014). Kehidupan anak Jalanan di
Indonesia: faktor Penyebab, Tatanan
Hidup dan Kerentana Berperilaku
Menyimpang. Jurnal Aspirasi. 5(2)
146-155.
321
Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323
https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03
Aswidah R, Srimulyati E (2014). Darurat
Kejahatan Seksual terhadap Anak.
Jakarta: Komisi Nasional HAM.
Bahri S, Fajriani (2015). Suatu Kajian Awal
terhadap Tingkat Pelecehan Seksual
di Aceh. Jurnal Pencerahan. 9(1): 5065.
Bina Kesehatan Masyarakat, UNICEF
(2007). Pedoman Rujukan Kasus
Kekerasan terhadap Anak bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktur Bina
Kesehatan Masyarakat dan UNICEF.
Celik SS, Media SB (2009). Verbal, Physical
and Sexual Abuse among Children
Working on the Street. Australian
Journal of Advanced Nursing, 26(4):
14-22.
CNN Indonesia (2016) Anak Jalanan
Rentan akan Kekerasan Seksual.
http://www.cnnindonesia.com/nasio
nal/20160516193039-20131111/anakjalanan-rentan-akan-kekerasanseksu
al/. diakses tanggal 16 Januari 2017.
Corrigan PW, Watson AC (2002). The
Paradox of Self Stigma and Mental
Illness: Clinical Psychology: Science
and Pratice.
Demartoto A (2012). Need Based Street
Children Management in Surakarta
Citu of Central Java Province of
Indonesia. Asian Social Science. Vol
8(11): 107-118.
Erwin (2013). Karakteristik Anak Jalanan
dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang
Provinsi Sumatra Barat. Antropologi
Indonesia. 34(2): 176-188.
Gambel M (2010). Sexual Exploitation and
Abuse of Street Children in Romania:
Catalysts of Vulnerability and Challenges in Recovery. Lincoln: University of Nebraska.
Horwitz AV, Shield TL (1999). A Handbool
for the Study of Mental Health: Social
Contexts, Theories and Systems.
322
Cambridge: Cambridge University
Press.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(2016). Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak 20112016. http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarka
n-klasterperlindungan-anak-2011-201
6. diakses tanggal 05 Desember 2017.
Lustanto R (2015). Stigma Perempuan
Korban Kekerasan Seksual dan Penghilangan Eksistensi. http:// www.jurnalperempuan.org/blog2/stigmaperempuan-korban-kekerasanseksual-dan-penghilangan-eksistensi.
Maniglio R (2009). The impact of child
sexual abuse on health: A systematic
review of reviews. Clinical Psychology
Review. 29(7), 647–657.
McPherson, Scribano P, Steven J (2012).
Barriers to Successful Treatment
Completion in Child Sexual Abuse
Survivors. Journal of Interpersonal
Violence, 27(1):23-39.
Medina NA (2015). The Culture of Partiarchy and Its Effect on the Human
Right of Girls-Children in Cagayan de
Ora and Clevaria, Misamis. Philippine
Institute for Development Studies. 44:
6.
Miles MB, Huberman AM (2007). Analisis
Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Musthaq M, Safia S, Iqra I (2015) The
Trauma of Sexual Harassment and its
Mental Health Consequences Among
Nurses. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan,
25(9): 675-679.
Nada K, Suliman E (2010). Violence, Abuse,
Alcohol and Drug Use, and Sexual
Behaviors in Street Children of
Greater Cairo and Alexandria. Egypt.
Wolters Kluwer Health. 24(2): S42.
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis
Noviana I (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya. Jurnal Sosio Informa. 1(1):
13-28.
Ogunkan DV dan Adeboyejo AT (2014)
Public Perception of Sreet Children in
Ibadan, Nigeria. IFE Pyschologia. Vol
22 (1): 39-49.
Ohlert J, Corinna S, Thea R, Jorg F dan
Marc A (2017). Comparison of Psychopathological Symptoms in Adolescent Who Experienced Sexual Violence as a Victim and/or as A Perpetrator. Journal of Child Sexual Abuse.
26 (4): 373-387.
Probosiwi R dan Bahransyaf D (2015).
Pedofilia dan Kekerasan Seksual:
Masalah dan Perlindungan terhadap
Anak. Sosio Informa. Vol 01(1): 31-36.
Purwoko T (2013). Analisis Faktor-faktor
penyebab Keberadaan Anak Jalanan
di Kota Balikpapan. Jurnal Sosiologi.
1 (4): 13-25.
Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma
Jaya Jakarta (2016). Anak Jalanan,
Kelompok paling Rentan Alami Kekerasan Seksual. http://arc-atmaja
.org/anak-jalanan-kelompok-palingrentan-alami-kekerasanseksual. diaks
es tanggal 21 Januari 2017.
Rawlett K (2011). Analytical Evaluation of
the Health Belief Model and the
Vulnerable Populations Conceptual
Model Applied to a Medically Underserved, Rural Population. International Journal of Applied Science and Technology; 1 (2): 15-21.
Reardon BA (1996). Sexism and the War
System. New York: Syracuse University Press.
Rosenstock I, Becker HM (1990). The
Health Belief Model and Personal
Health Behavior. Charles B Slanck
Inc: New Jersey.
e-ISSN: 2549-0257 (online)
Ryan EP, Otonichar JM (2016). Juvenile
sex offenders. Current Psychiatry
Reports, (18)67.
Sakalasastra P, Herdiana I (2012). Dampak
Psikososial pada Anak Jalanan
Korban Pelecehan Seksual yang
Tinggal di Liponsos Anak Surabaya.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan
Sosial. 1(02): 68-72.
Sulistyaningsih E, Faturochman (2002).
Dampak Sosial Psikologis Perkosaan.
Buletin Psikologi. 10(1): 9-23.
Suradi (2013). Problema dan Solusi Strategis Kekerasan terhadap Anak.
Jurnal Informasi. 18(02): 183-199.
UNICEF (2012). The State of The World’s
Children 2012: Children in an Urban
World. New York, NY; Author.
UNICEF (2014). New global data expose
acute prevalence of violence against
children: UNICEF. http;//www.unicef
org/media/media75530.html.Diakses
tanggal 13 Desember 2016.
UNICEF (2014). Ending Violance Againts
Childre: Six Strategies for Action. New
York: UNICEF.
Vezina DC, Daigneault I, Hebert M (2013).
Lesoons Learned from Child Sexual
Abuse Research: Prevalence, Outcomes and Preventive Strategies.
Child and Adolesecent Psychiatry and
Mental Health, 7(22): 2-9.
Wilson KA (2006). Sexual Assault and
Posttraumatic Stress Disorder: A
Review of The Biological, Psychological and Sociological Factors and
Treatments. Journal of Medicine, 9
(2): 11-118.
World Health Organization (2003). Guidelines for Medico-legal Care for Victims of Sexual Violance. Geneva:
World Health Organization.
323
Download