Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis of Preventive Behaviors to Address Biopsychosocial Impacts of Sexual Violence among Street Children in Yogyakarta Intan Noor Khalifah1), Argyo Demartoto2), Harsono Salimo3) 1)Masters 2) Program in Public Health, Sebelas Maret University Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University 3)Department of Pediatrics, Dr. Moewardi Hospital, Surakarta ABSTRACT Background: Street children are at high risk of sexual violence. Necessary measures should be undertaken to address deleterious biopsychosocial impacts of sexual violence. This study aimed to analyze the preventive behaviors to address biopsychosocial impacts of sexual violence among street children in Yogyakarta using Health Belief Model and Labelling Theory. Subjects and Method: This study was qualitative descriptive with phenomenology approach. The key informants for this study included Head of Rumah Impian Indonesia Foundation (a social non-government organization) and Director of PKBI, Yogyakarta. The main informants were the street children with assistance from Rumah Impian Indonesia Foundation. Supporting informants were health personnels of Jetis community health center and the street children’s brothers. Results: Street children who had experienced sexual violence were taken care by Rumah Impian Indonesia Foundation. The biopsychosocial effects of sexual violence included anxiety, anger, shock, trauma, fear, feelings of revenge, irritation, emotion, stress, unwillingness to eat, bad mood, and staying alone in the room. Preventive behaviour to overcome biopsychosocial impacts of sexual violence included forgetting, letting it go, not mentioning the problem again. Label or negative stigma given by the community to street children included marred children, dirty children, and social garbage. Conclusion: Sexual violence experienced by street children cause various psychologic impacts, which calls for appropiate preventive behaviors to minimize the deleterious impacts of sexual violence. The social impacts of sexual violence in street children include labelling and negative stigma. Keywords: Health Belief Model, Labelling Theory, sexual violence, biopsychosocial, preventive behavior, street children. Correspondence: Intan Noor Khalifah. Masters Program in Public Health, Sebelas Maret University, Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta 57126, Central Java. Email: [email protected] Mobile: +6285728000164. LATAR BELAKANG Kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat, baik yang terjadi di dalam keluarga, di lingkungan sekolah dan masyarakat dengan pelakunya adalah orangorang yang seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi anak (Bina Kesehatan Masyarakat dan UNICEF, 2007; Suradi, 2013; UNICEF, 2014; Sulistyaningsih dan Faturochman, 2002). Menurut Unicef (2014) bahwa dari 190 negara menunjukan e-ISSN: 2549-0257 (online) bahwa ada sekitar 6 dari 10 anak telah menjadi korban kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Serta 1 dari 10 anak perempuan atau sekitar 120 juta anak perempuan diseluruh dunia mengalami kekerasan seksual pada usia 20 tahun. Di Indonesia, kasus kekerasan seksual pada anak sudah menjurus pada keadaan yang darurat, karena dimana pun mereka berada, dibayang-bayangi oleh kejahatan yang dapat merenggut kebahagian dan 309 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 masa depan mereka. Anak yang hidup di jalanan dan tidak tinggal bersama orangtuanya merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan menjadi korban tindakan kekerasan seksual. Banyak anak yang hidup di jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual tidak berani untuk melaporkan ke pihak berwajib sehingga kasusnya banyak yang tidak terungkap dan tindakan tersebut menjadi suatu silent crime (Noviana, 2015; Aswidah dan Srimulyati, 2014; Erwin, 2013). Kekerasan seksual pada anak jalanan dapat berupa perlakuan prakontak seksual melalui kata, sentuhan, gambar visual atau pun dengan perlakuan kontak seksual secara langsung dengan melibatkan anak jalanan. Hal ini merupakan hal yang biasa di kalangan anak jalanan, seperti anak lakilaki memegang dada anak perempuan dan sebaliknya, anak perempuan memegang kemaluan anak laki-laki (Erwin, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Nada dan Suliman (2010) tentang kekerasan, pelecehan, penggunaan obat-obatan dan alkohol pada 463 anak jalanan di Greater Cairo dan 394 anak jalanan di Alexandria usia 15-17 tahun mendapatkan hasil bahwa ada sekitar 53% atau 36 anak jalanan perempuan di Greater Kairo dan 90% atau 30 anak jalanan perempuan di Alexandria telah mengalami mengalami kekerasan seksual. Data yang didapatkan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa saat ini ada sekitar 1.7 juta anak jalanan yang ada di 26 Provinsi sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian HIV/AIDS Atma Jaya pada awal tahun 2016 pada 43 anak jalanan di Jakarta dengan rentan usia 15 sampai 18 tahun mendapatkan hasil bahwa dua dari 43 anak jalanan telah mengalami kekerasan seksual dan saat ini sedang hamil di luar 310 ikatan pernikahan akibat kekerasan seksual yang dialaminya (CNN Indonesia, 2016; Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya, 2016). Kekerasan seksual yang terjadi pada anak yang hidup di jalanan menjadi salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan harus diletakkan sebagai kejahatan yang luar biasa karena dapat memberkan dampak yang berkepanjangan sepanjang kehidupan mereka dan dapat mengancam masa depan generasi bangsa (Probosiwi dan Bahransyaf, 2015). Penelitian yang dilakukan Sakalasastra dan Herdiana tahun 2012 pada anak anak yang hidup jalanan menyebutkan bahwa sebagian anak yang mengalami kekerasan seksual akan kehilangan semangat serta merasa sudah tidak berdaya lagi untuk menjalani kehidupannya sehingga mereka menjadi lebih pendiam, suka melamun, bersedih dan kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar-nya. Dampak lain yang dihadapi oleh korban kekerasan seksual adalah stigma atau pandangan negatif dari masyarakat. Dengan tanpa rasa bersalah masyarakat memberikan label bahwa anak korban kekerasan seksual sebagai anak yang tidak suci lagi, kotor dan hina. Anak korban kekerasan seksual juga dianggap sebagai aib bagi keluarganya, sehingga untuk menutupi aib tersebut akhirnya anak harus disingkirkan untuk sementara waktu agar keluarga tidak merasa malu. Banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual di diskriminasi dan dikucilkan oleh keluarga serta masyarakat di lingkungan sekitarnya (Bahri dan Fajriani, 2015; Lustanto, 2015). Besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual menuntut berbagai pihak untuk segera melakukan upaya atau langkah pencegahan kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Selain itu, harus diimbangi dengan langkah dan upaya pee-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis nyembuhan serta penanganan bagi anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual, sehingga anak tidak mengalami trauma yang berkepanjangan dan dapat memulai kembali kehidupannya secara normal. Berdasarkan uraian diatas maka penulis melakukan analisis Health Belief Model dan Labelling Theory terhadap perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual pada anak jalanan Kota Yogyakarta yang menjadi dampingan Yayasan Rumah Impian Indonesia Yogyakarta. SUBJEK DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi fenomenologis, untuk menggali informasi tentang kekerasan seksual yang terjadi pada anak jalanan, dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual serta perilaku anak jalanan dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual dengan analisis Model Kepercayaan Kesehatan atau Health Belief Model dan labelling theory pada anak jalanan yang mengalami kekerasan seksual. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2017 di Kota Yogyakarta dengan pertimbangan adanya anak jalanan di Kota Yogyakarta yang pernah mengalami kekerasan seksual serta terdapat Yayasan Rumah Impian Indonesia Yogyakarta yang menjadi lembaga untuk mendampingi dan melayani anak-anak yang hidup di jalanan. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dimana peneliti menyeleksi partisipan yang berdasarkan kepemilikan informasi. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ketua Yayasan Rumah Impian Indonesia Yogyakarta dan Direktur PKBI cabang Kota Yogyakarta dengan informan utamanya adalah anak jalanan yang e-ISSN: 2549-0257 (online) menjadi dampingan Yayasan Rumah Impian Indonesia Yogyakarta dan informan pendukung terdiri dari petugas kesehatan puskesmas Kota Yogyakarta dan kakak dari salah satu anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi dengan alat pengumpulan data yang digunakan yaitu alat perekam. pedoman wawancara, pedoman observasi, alat tulis dan laptop. Data yang telah dikumpulkan dan diperoleh dianalisis menggunakan model interaktif (Miles dan Huberman, 2007) yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. HASIL Hasil wawancara mendalam pada informan, peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab kekerasan seksual pada anak jalanan, dampak biopsikososial pada anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual, Health Belief Model terhadap perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial pada anak jalanan yang mengalami kekerasan seksual serta pelabelan yang diberikan masyarakat pada anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Dalam penelitian ini, semua informan anak jalanan yang berhasil peneliti wawancarai, mengakui bahwa selama mereka bekerja dan hidup di jalanan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual yang pelakunya dilakukan baik oleh orang yang dikenal dan tidak dikenal yang kejadiannya sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Penyebab Kekerasan Seksual pada Anak Jalanan Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi persepsi informan tentang hal-hal yang menjadi penyebab kekerasan seksual yang terjadi pada anak jalanan. Salah satu 311 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 informan anak jalanan berpendapat bahwa kekerasan seksual pada anak jalanan disebabkan karena anak jalanan yang tidak mempunyai rumah sehingga dapat dijadikan korban kekerasan seksual, adanya anak jalanan senior yang merasa lebih berkuasa dan adanya anak jalanan perempuan yang nakal yang dapat memicu laki-laki untuk melakukan aksi kejahatan kekerasan seksual. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan pada informan: “Penyebabnya apa ya ka? Menurut ku sih karena memang anak jalanan ga punya rumah ka jadi dijadiin korban kaya gitu sama faktor biasa yang gedegede itu lebih berkuasa. Sama tementemen ku yang cewe-cewe itu kan emang nakal gitu ka, jadi memicu orang lain untuk kaya pengen seksual gitu”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017. Pendapat serupa juga disampaikan oleh informan utama (A2) yang menyatakan bahwa kekerasan seksual pada anak jalanan disebabkan karena adanya anak jalanan yang pakaiannya terbuka, tidak bisa di kontrol dan tidak bisa di tata yang dapat mengundang atau memicu laki-laki untuk melakukan kekerasan seksual: “Untuk penyebabnya itu biasanya karena sebelumnya itu dari orang itu sendiri. Maksudnya kaya perempuanperempuan yang pakaiannya terbuka, itu kan bakal ngundang laki-laki buat ngelakuin pelecehan itu. Nah itu unsur pertamanya. Dari perempuan sendiri yang berpakaiannya ga bisa di kontrol, ga bisa di tata, saat di luar atau dimana ya yang pasti akan kaya gitu kejadiannya. Karena kan itu benerbener mengundang atau menarik lakilaki seperti itu”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. 312 Dampak Biopsikososial pada Anak Jalanan yang Mengalami Kekerasan Seksual Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual baik secara biologi, psikologi maupun sosial pada anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Dimana semua informan anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual mengalami dampak secara psikis. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Kalo aku sih sekarang jadi was-was gitu ka. Kaget terus marah sama kesal juga ka, trus traumanya sampe sekarang masih keinget gitu, jadi tiap jalan atau lagi jalan gitu sendiri pasti misalnya kalo ada motor lewat gitu kan ka, langsung nutupin gitu loh ka. Apa gini, pokoknya nutupin bagian payudaranya. Takut sama geli, intinya gitu ka. Sama gmana ya? kan itu kan masih kecil ka, jadi sampai sekarang tuh jadi trauma nek sama cowo itu”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017. Adapun dampak kekerasan seksual yang dialami oleh informan utama (A2) adalah adanya rasa ingin balas dendam, jengkel, was-was dan takut: “Dampaknya malah lebih ke ingin balas dendam walaupun ga ngefek di fisik gitu, ga ngefek ga apa rasanya kaya masih jengkel gitu perasaannya, rasanya pengen ngelupain kejadian kejadian gitu tapi ya suatu saat inget ya kesal gitu. Ko bisa seumur-umur belum ada laki-laki yang kaya gitu, tiba-tiba orang yang ga di kenal langsung kaya gitu. Kalo trauma sih ga ada tapi rasa was-wasnya itu yang lebih. Lebih takut kemana-mana sendirian pas malem. Jadi lebih kerasa takutnya itu ya. Takut kejadinnya terulang lagi”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. e-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis Selanjutnya dampak yang dialami informan utama (A3) tidak jauh berbeda dengan yang dialami informan utama (A1 dan A2). Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Kalo aku sih ga ka, ya paling cuma emosi itu ma marah kesal. Kalo ketemu orangnya ya paling diem kalo ga ya aku pelototin gitu. Ntar kalo orangnya liat aku paling ga berani berhenti paling bablas gitu. Jadi aku biasa aja sih ka. Sempet marah lama sih ka”. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. Perilaku Anak Jalanan dalam Mengatasi Dampak Biopsikososial Akibat Kekerasan Seksual yang Pernah Dialaminya Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi mengenai perilaku anak jalanan dalam mengatasi dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Ya lebih banyak main sama tementemen yang sebaya trus minta nasehat juga. Dari nasihat itu diambil yang positifnya gitu ka. Itu membantu juga sih ka, jadi habis itu ga terlalu takut banget. Soalnya kan baru pertama kali itu. Terus ga bergaul sama orang yang lebih dewasa juga. Sama misalnya ada orang mencurigakan gitu ya ka ga mau ta lihatin sama ga mau nengok kalo dipanggil tapi kalo yang aku ga kenal aku ga mau lihat”. (A1) Hasil Wawawancara 08 Mei 2017. Selanjutnya perilaku yang dilakukan informan utama (A2) dalam mengatasi dampak biopsikososial yang timbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya adalah dengan melupakan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya, e-ISSN: 2549-0257 (online) lebih hati-hati dan lebih was-was dalam berpakaian: “Kalo aku sih ya lupain ja maksudnya, ga mau yang ngungkit-ngungkit. ah udah ah yang penting lebih hati-hati aja kalo lagi jalan sendiri. Lebih waswas sih di pakaian, biar ga ngundang kaya gitu lagi”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. Adapun perilaku yang dilakukan informan utama (A3) tidak jauh berbeda dengan pendapat informan utama sebelumnya yang menyatakan bahwa informan utama (A3) telah melupakan, tidak mau mengungkit-ungkit lagi dan mengikhlaskan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya serta baikan dan menyapa dengan pelaku kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Ya aku cuekin aja, paling dilupain ga diungkit ungkit, buat apa marah terus kan ga ada gunanya. Cuma masalah kaya gitu kan ga keterlaluan banget. Lagian kan udah lalu, masa lalu. Dilupain aja. aku ikhlasin aki baikan, kadang kalo ketemu dia nyapa, yaudah aku balik nyapa”. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. Health Belief Model terhadap Perilaku dalam Mengatasi Dampak Biopsikososial pada Anak Jalanan yang Mengalami Kekerasan Seksual Health Belief Model pada penelitian ini digunakan untuk mengidentifikasi perilaku kesehatan pada informan yang berkaitan dengan perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Ada enam komponen Health Belief Model yang digunakan pada penelitian ini. 313 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 a. Isyarat Bertindak Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi dorongan informan dalam berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual. Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan menyatakan dorongan untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biopsiskososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya berasal dari diri sendiri. Selain itu juga mereka mendapakan dorongan yang berasal dari orang yang ada di sekitarnya. Adapun informan anak jalanan yang mendapatkan dorongan dari suami, karena hanya suami dan dirinya yang mengetahui kejadian kekerasan seksual tersebut: “Ya ka suami ku doang itu. ya dia cuma bilang “ ya udah diemin, kalo ngulangin lagi bilang aku, nanti aku kasih pelajaran. Aku bilang “udahlah ga usah lagian cuma kesalahan apa ya kecil, ntar takutnya merembet sampai mana-mana, kan sana gampang emosian, pada geng-gengan sih. Jadi suami aku aja yang tau, orang lain ga ada yang tau. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. b. Persepsi Kerentanan Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi persepsi anak jalanan mengenai tingkat kerentanan yang dirasakan apabila telah berperilaku dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Seluruh informan anak jalanan menyatakan bahwa tidak ada kerentanan yang dirasakan setelah mereka menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Adapun informan anak jalanan yang berpendapat bahwa apabila tidak menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya, maka ia akan mengalami kekerasan dan dampak yang lebih parah 314 lagi. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Yaa ka, bakal ngalamin lage ka. Pasti bakal terulang lagi, mungkin yang lebih parah kalo ga jaga diri juga ga hati-hati juga, Dampak nya juga kan ke diri sendiri bisa lebih kekerasan yang bakal terjadi, bisa sampai hamil”. (A1) Hasil Wawawancara 08 Mei 2017. Persepsi Keseriusan Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi persepsi anak jalanan mengenai keseriusan yang dirasakan apabila tidak berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil wawancara mendalam yang dilakukan bersama informan: “Itu nanti kalo menurut ku kalo misalnya ga dilupain itu, itu jadi trauma tersendiri gitu loh”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017. Sedangkan pada informan utama (A2) berpendapat bahwa apabila ia tidak melupakan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya, maka ia akan teringat dan kepikiran kembali dengan kejadian tersebut. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Sejauh ini sih ga. cuma gimana ya ka cuma sekarang udah ga fokus ke situ, ga inget lagi udah ga terlalu mikirin yang itu. Jadi udah ga keinget lagi”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. Informan utama (A3) beranggapan bahwa emosinya semakin bertambah apabila ia tidak melupakan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya dan bisa marah serta adu mulut apabila bertemu dengan pelaku kekerasan seksual yang pernah dialaminya: Ya paling kalo ga dilupain nanti emosi nya nambah. Nanti kalo ketemu malah pa tuh berantem. Adu mulut gitu loh”. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. e-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis c. Persepsi Manfaat Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi persepsi anak jalanan mengenai manfaat yang dirasakan setelah mereka berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Ada, jadi ya ka seimbang ya ka ngelupain tapi ada manfaatnya gitu. Jadi ga trauma ka. Trauma juga hilang, ga keinget-inget lagi, kalo sama cowo udah aga takut gitu”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017. Hal tersebut juga terdapat kesamaan pada informan utama (A2), bahwa dengan melupakan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya, maka manfaat yang ia rasakan adalah tidak akan kepikiran dan merasa takut lagi. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Jadi ga kaya kepikiran lagi, ga kepikirin yang kaya nanti ini gini-gini. Jadi kaya takut gitu udah ga biasa aja”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. Manfaat yang dirasakan informan utama (A3) tidak jauh berbeda dengan informan utama (A1 dan A2) bahwa setelah ia berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya, maka ia sudah tidak keingat-ingat lagi dengan kejadian tersebut dan akan dijadikan pelajaran tersendiri untuknya agar bisa lebih berhati-hati. Berikut kutipan hasil wawancara yang dilakukan bersama informan: “Ya cuma buat pelajaran aja. Lain kali ga tidur sembarangan. Lebih bisa hatihati. Sama udah ga keinget-inget lagi”. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. e-ISSN: 2549-0257 (online) d. Persepsi Hambatan Dalam aspek ini, peneliti mengidentifikasi persepsi informan anak jalanan mengenai hambatan yang dirasakan pada saat menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Seluruh informan anak jalanan menyatakan bahwa mereka tidak menemui hambatan ketika mereka menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak biopsikosoial akibat kekerasan seksual yang pernah mereka alami. Informan utama (A3) menyatakan tidak menemukan hambatan ketika menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak akibat kekerasan seksual dikarenakan orang disekitar ia tidak peduli dengan urusan orang lain: “Ga sih, orang-orang disekitar ini malah pada cuek, ada masalah ini masalah apa ya itu urusan nya sendiri urusannya dia. Soalnya temen-temen disana pada cuek sih”. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. e. Keyakinan Diri Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi mengenai keyakinan diri masing-masing informan anak jalanan untuk sembuh dari dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Hasil wawancara mendalam yang dilakukan pada semua informan anak jalanan menyatakan bahwa seluruh informan anak jalanan berkeyakinan dapat sembuh dari dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya setelah mereka berperilaku dalam mengatasi dampak tersebut: “Iya ka, yakin trauma bisa ilang sedikit-sedikit tapi kalo misalnya ketemu orangnya pasti kembali lagi ka marah banget gitu ka”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017. “Kalo aku sih sembuh, jadi maksudnya ga akan kepikir lage, kalo emang tadi, jaga pakaiannnya. Ya kalo misalnya 315 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 itu sih yakin. Tapi kalo buat bales dendam itu kaya kalo aku sih kaya pengen hajar atau apa gitu. Tapi karena sekarang udah ga ada, ya jadi lebih hati-hati ja. Ga bales dendam dan melupakan”. (A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. “Huum bisa sembuh ka, udah ga marah sekarang ka, udah ta lupain”. (A3) Hasil wawancara 13 Mei 2017. Keyakinan diri semua informan anak jalanan ini juga diperkuat oleh pendapat dari Direktur PKBI cabang Kota Yogyakarta: “Ketika penyelesaian, solusi atau kemudian yang diberikan ini sesuai dengan apa permasalahannya, nah ini ya akan tepat sasarannya, Bisa lebih efektif dan sembuh ya. Penanganan nya pasti lebih efektif “. (K2) Hasil Wawancara 08 Mei 2017. Labelling Theory pada Anak Jalanan yang Mengalami Kekerasan Seksual Pada aspek ini, peneliti mengidentifikasi mengenai labelling theory atau pemberian label pada anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Seluruh informan anak jalanan menyatakan bahwa selama mereka berada di jalanan, mereka mendapatkan label atau stigma yang negatif dari masyarakat. Stigma negatif tersebut meliputi sampah masyarakat, penyandang masalah sosial, anak yang suka mencuri dan bikin kericuhan, anak yang suka mabok-mabokan, suka ngelem, anak yang kotor dan anak yang kurang beruntung: “Ada ka, soalnya kan kita tidur nya ya di jalan kan ka, jadi kan kayanya deket masyarakat juga jadi pandangannya ga baik. Pandangan nya pasti negative ya ka”. (A1) Hasil wawawancara 08 Mei 2017. 316 “Sering pada bilang kalo orang-orang masyarakat itu bilangnya “suka nyuri gitu” kalo anak jalanan suka mencuri lah atau bikin kericuhan. Mungkin sama aja ya, maksdnya sekalinya orang dah nilai jelek ya gitu susah, dinilai jelek ya jelek. Ga suka ya udah ga suka”. A2) Hasil wawancara 09 Mei 2017. Semua informan anak jalanan berpendapat bahwa mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual mendapatkan stigma yang negative dari masyarakat. Stigma negatif tersebut seperti anak yang kotor dan tidak suci lagi. Pernyataan tersebut di dukung oleh pendapat dari Direktur PKBI cabang Kota Yogyakarta yang menyatakan bahwa anak jalanan secara sosial sudah mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat, kemudian ketika anak jalanan tersebut mengalami kekerasan seksual: “Anak jalanan itu mereka sudah kena stigma dan diskriminasi, toh secara sosial mereka sudah dianggap sebagai penyandang masalah sosial, dianggap masyarakat yang kelas bawah, dianggap sebagai sampah masyarakat gitu toh. Ga ada kasus itu saja mereka sudah kena dampak sosial. Kemudian ee ketika ini kasus kekerasan gitu misalnya dialami oleh kelompok yang dimarjinalkan itu semacam ada pengabaian yang terjadi sama saja mereka kemudian akan diabaikan gitu”. (K2) Hasil Wawancara 08 Mei 2017. PEMBAHASAN Anak jalanan merupakan istilah yang melekat dan biasanya diberikan pada anakanak yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan maupun di tempat-tempat umum untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Hidup di jalanan, mereka harus berusaha dan bekerja untuk e-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis mempertahankan hidupnya meskipun mereka harus beradaptasi agar dapat diterima di lingkungan sekitarnya. Demartoto (2012), menyebutkan bahwa di jalanan, anak jalanan ini dapat menemukan kebebasan, kesenangan serta menikmati semua fasilitas yang ada sesuai dengan keinginan mereka. Dengan kebebasan tersebut, mereka dapat melakukan kegiatan apapun yang mereka inginkan serta dapat mengembangkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan budaya yang ada di jalanan. Menurut UNICEF tahun 2012, bahwa diperkirakan ada lebih dari satu miliar anak yang hidup dan tumbuh di jalanan di seluruh dunia. Adanya mereka disebabkan kerena pertumbuhan populasi global serta urbanisasi yang terus berlanjut. Purwoko (2013), menyebutkan bahwa menjadi anak jalanan bukanlah pilihan jalan hidup dan pilihan yang menyenangkan bagi mereka, pilihan ini disebabkan karena adanya keterpaksaan yang pada akhirnya harus mereka terima. Faktor penyebabnya dapat berupa kemiskinan, adanya penganiayaan dalam keluarga serta hilangnya rasa kasih sayang dari keluarga mereka. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan mereka berperilaku tidak baik dan melanggar segala aturan yang berlaku. Kekerasan seksual merujuk pada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang tanpa persetujuan dalam bentuk aktivitas seksual. Sedangkan kekerasan seksual pada anak jalanan merupakan suatu bentuk tindakan kekerasan berupa rangsangan seksual atau perlakuan seksual baik secara maupun tidak langsung yang melibatkan seorang anak jalanan. Kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual merupakan masalah yang umum ditemukan pada anak-anak yang berada dijalanan. Pengetahuan informan mengenai penyebab kekerasan seksual pada anak jalanan dapat dikategorikan cukup baik. e-ISSN: 2549-0257 (online) Informan anak jalanan mengetahui bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak jalanan dapat disebabkan karena tidak ada tempat untuk berlindung, adanya anakanak jalanan perempuan yang nakal dan pakaiannya terbuka dapat merangsang pelaku, kemudian adanya anak jalanan senior yang merasa berkuasa serta orang-orang yang berada di jalanan terbuka dan bebas. Hal ini senanda dengan Astri (2014) yang menyatakan bahwa anak-anak yang hidup di jalanan sangat rentan dan rawan untuk menjadi korban kekerasan seksual karena mereka berada di tempat dan lingkungan yang tidak mendukung, keras dan berbahaya dengan pengawasan yang kurang dari keluarga serta terpaparnya dengan dunia luar yang sangat luas. Adanya sistem partiakhi juga menyebabkan anak jalanan perempuan lebih berisiko atau rentan untuk mengalami kekerasan seksual, dimana laki-laki lebih mendominasi perempuan (Reardon, 1996 dan Medina, 2015). Di jalanan, anak jalanan ini biasanya menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya untuk mencari uang demi me-menuhi kebutuhan sehari-harinya sehingga tidak dapat dipungkiri mereka bebas berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai sifat dan karakter yang berbeda-beda. Maka dari itu mereka sangat berpeluang besar untuk bertemu dan berinteraksi dengan pelaku kekerasan seksual. Mereka mempunyai titik-titik kumpul yang biasanya dijadikan pelaku untuk melakukan aksi kekerasan seksual seperti hubungan seksual digilir oleh banyak orang. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak jalanan dapat menimbulkan dampak baik secara biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini, dampak secara fisik yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual pada semua informan memang tidak ada yang ditimbulkan dan dipermasalahkan namun secara psikis semua informan anak jalanan 317 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 menyatakan bahwa kekerasan seksual yang pernah dialaminya sangat memberikan trauma tersendiri bagi mereka. Dampak kekerasan seksual yang dialami informan anak jalanan antara lain adalah rasa waswas, kaget, marah, trauma, takut, geli, ada perasaan ingin balas dendam, jengkel, kesel, tidak mau makan, murung dan berdiam diri di kamar. Hasil penelitian ini terdapat kesamaan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Celik dan Media (2009) bahwa dalam penelitiannya menunjukan mayoritas anak yang pernah mengalami kekerasan seksual mengalami kecemasan dan marah. Kekerasan seksual diakui sebagai bentuk penganiayaan dan pelanggaran yang serius terhadap kesejahteraan manusia, karena kekerasan seksual ini menjadi masalah yang sangat besar yang dapat mempengaruhi perkembangan mental yang menjadi korbannya baik saat ini maupun masa depannya (Vezina et al., 2013). WHO (2003) juga menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak yang negatif secara signifikan terhadap kesehatan korban yang pernah mengalaminya. Seperti adanya potensi gangguan kesehatan reproduksi atau seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, HIV/AIDS serta meningkatkan perilaku seksual yang berisiko. Selain itu korban kekerasan seksual juga dapatkan memberikan dampak kesehatan mental pada korbannya seperti depresi, penyalahgunaan zat, dan keinginan untuk bunuh diri. Kekerasan seksual juga menjadi salah satu penyebab gangguan stress pasca trauma (PTSD). Perilaku merupakan respon terhadap rangsangan yang mendasari dan menjadi alasan informan untuk bertindak. Dimana semua informan anak jalanan menyatakan bahwa mereka berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekeras318 an seksual yang pernah mereka alami dengan cara melupakan dan tidak mengungkit lagi kejadian tersebut agar mereka tidak teringat dengan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Selain melupakan ada informan anak jalanan yang meminta nasehat pada orang yang lebih tua, kemudian lebih banyak bermain bersama teman sebaya, tidak bergaul dengan orang lebih dewasa serta lebih waspada terhadap orang yang baru dikenal dan mencurigakan. Perilaku ini dilakukan oleh semua informan anak jalanan untuk menghilangkan rasa trauma, was-was, marah, jengkel dan takut yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Hal ini senada oleh McPherson et al (2012) yang menyatakan bahwa terapi perilaku dapat menurunkan serta mecegah lama tingkat keparahan dan durasi gangguan psikologis akut pada korban kekerasan seksual, Wilson (2006) juga menyatakan bahwa upaya penyembuhan trauma yang dilakukan korban kekerasan seksual tidak mampu melupakan atau menghilangkan pengalaman pahit yang mereka. Melainkan upaya penyembuhan trauma ini hanya untuk mengurangi stress yang dialami korban serta dapat mengembalikan kendali atas hidupnya agar tidak terus menerus merasa bersalah dan malu. Selanjutnya yang dibahas dalam penelitian ini adalah Health Belief Model dalam mengatasi dampak bipsiskososial pada anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Health Belief Model merupakan model determinan perilaku kesehatan yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan promosi kesehatan. Pada konsep Health Belief Model dijelaskan bahwa perilaku kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh kepercayaan atau persepsi individu itu sendiri mengenai suatu penyakit. (Rawlett, 2011). e-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis Isyarat bertindak merupakan salah satu kompenen Health Belief Model Theory yang dibahas pada penelitian ini. Isyarat bertindak adalah suatu dorongan seseorang untuk dapat merubah perilaku atau kebiasaannya. Isyarat bertindak juga merupakan petunjuk agar seseorang tersebut dapat mengambil secara cepat tindakan untuk melakukan perilaku sehat. Dalam isyarat bertindak ini, peneliti mengidentifikasi dan dorongan informan untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial. Adanya pemahaman informan mengenai dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya, serta adanya harapan informan untuk sembuh dari dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual menjadi dasar informan anak jalanan untuk berperilaku. Informan anak jalanan menyatakan bahwa dorongan mereka untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biospsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya berasal dari diri sendiri mereka sendiri. Selain itu informan anak jalanan juga menyatakan bahwa mereka mendapatkan dorongan atau dukungan dari suami dan orang-orang yang berada disekitarnya. Hal ini senada dengan pernyataan yang dinyatakan oleh Sulisyaningsih dan Faturocham (2002) yang menyatakan bahwa dalam proses penyembuhan korban kekerasan seksual yang mengalami trauma selain dari dorongan yang berasal dari diri sendiri, korban kekerasan seksual juga membutuhkan dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Karena dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat dan membuat korban mampu menerima kejadian kekerasan seksual yang pernah dialamnya sebagai pengalaman hidup yang harus mereka terima dan jalani. Komponen selanjutnya adalah persepsi kerentanan yang dirasakan informan anak jalanan setelah mereka menerapkan e-ISSN: 2549-0257 (online) perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Persepsi kerentanan yang dirasakan merupakan salah satu persepsi yang lebih kuat untuk mendorong seseorang mengadopsi perilaku sehat. Semakin besar resiko yang dirasakan maka semakin besar kemungkinan terlibat dalam perilaku untuk mengurangi resiko tersebut. Semua informan anak jalanan mengakui bahwa tidak ada kerentanan yang mereka rasakan setelah mereka menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernaha dialaminya. Mereka menganggap dengan melupakan dan tidak mengungkit kejadian tersebut maka mereka tidak akan teringat dengan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Namun informa anak jalanan mengakui bahwa apabila mereka tidak menerapkan perilaku tersebut maka dampak yang akan terjadi akan lebih parah lagi. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Musthaq et al (2015) yang dilakukan di Pakistan menyebutkan bahwa seseorang yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual dapat mengalami depresi 3-8 kali dari pada yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual. Pelecehan seksual juga dapat menyebabkan stress yang hebat pada korbannya, membuat korban merasa sedih, cemas dan merasa tertekan. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa tindak kejahatan berupa kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang terjadi di masa anak-anak selain memiliki risiko tinggi untuk mengembangkan gangguan pskilogis di kemudian hari pada korban yang pernah mengalaminya, kekerasan seksual juga memilki risiko tinggi untuk menjadi menjadi korban sebagai pelaku di kemudian hari (Ohlert et 319 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 al, 2017; Ryan dan Otonichar, 2016 dan Maniglio, 2009). Selanjutnya adalah persepsi yang dirasakan. Persepsi keseriusan merupakan kepercayaan individu tentang keseriusan atau keparahan penyakit. Keseriusan dirasakan juga merujuk pada keyakinan seseorang bahwa ia akan mendapat kesulitan akibat penyakitnya. Informan anak jalanan mengakui bahwa apabila mereka tidak menerapkan perilaku dalam mengatasi dampak biopsiskososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya maka kekerasan seksual yang pernah dialaminya akan menjadi trau tersendiri bagi mereka serta emosi yang dialaminya akan semakan bertambah apabila bertemu dengan pelaku kekerasan seksual. Hal ini senada dengan yang nyatakan oleh Amado et al., (2015) bahwa tindak kejahatan kekerasan seksual dapat memberikan dampak yang serius pada korbannya seperti luka mental dan penderitaan emosional, gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten, fobia dan kecemasan. Persepsi manfaat yang diarasakan merupakan komponen Health Belief Model yang selanjutnya dibahas pada penelitian ini. Persepsi manfaat merupakan persepsi atau penilaian seseorang atau individu dari manfaat yang dilakukan setelah mereka berperilaku dalam mengurangi risiko suatu penyakit yang dideritanya. Semua informan anak jalanan menyatakan bahwa adanya manfaat yang dirasakan setelah mereka berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Manfaat yang dirasakan tersebut berupa trauma yang dialaminya bisa hilang, tidak teringat dan kepikiran lagi dengan kejadian kekerasan seksual, tidak takut lagi, lebih hati-hati dan dapat dijadikan pelajaran. Seseorang dapat merasa tindakan atau perilaku yang ia kerjakan tersebut 320 dapat memberikan banyak manfaat apabila menurutnya tindakan yang dilakukan tersebut dapat mengurangi kemungkinan individu tersebut dapat menderita penyakit atau keseriusan dari dampak yang ditimbulkan akibat penyakit terhadap kehidupannya (Rosenstock dan Becker, 1990). WHO (2003) menyatakan bahwa upaya atau penanganan pada korban kasus kekerasan seksual dapat meningkatkan kualitas hidup serta kualitas dukungan yang diberikan pada mereka. Hambatan merupakan sebuah komponen Health Belief Model yang paling signifikan dalam menentukan perubahan perilakunya, karena perubahan perilaku ini bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah untuk sebagian orang. Hambatan yang dimaksud adalah penghalang yang dirasakan seseorang pada saat merubah atau menerapkan perilakunya. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa semua informan utama menyatakan bahwa tidak hambatan yang mereka temui pada saat mereka berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya karena semua orang yang berada disekitarnya mendukung untuk berperilaku dalam mengatasi dampak biospsikososial akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Menurut informan kunci yang menjadi hambatan adalah stigma masyarakat yang melekat pada anak jalanan. Ketika anak jalanan tersebut mengalami kekerasan seksual, masyarakat menilai itu menjadi hal yang biasa yang terjadi pada anak jalanan. Gamble (2010) dalam penelitiannya tentang kekerasan seksual pada anak jalanan yang ada di Romania menyatakan karena akses pelayanan sosial dan kesehatan yang terbatas serta banyaknya layanan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan spesifik lengkap pada anak jalae-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis nan menjadi hambatan pada anak jalanan dalam melakukan upaya dalam mengatasi dampak biopsikosoial. Sehingga mereka kesulitan untuk melakukan upaya pemulihan akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Keyakinan diri merujuk pada keyakinan atau kepercayaan seseorang yang berasal dari dalam diri mengenai seberapa yakin mereka dapat menerapkan perilaku sehat. Berdasarkan hasil penelitian ini semua informan mengakui bahwa mereka yakin sembuh dari dampak biopsikososial yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang pernah mereka alami apabila mereka telah berperilaku dalam mengatasi dampak biopsikososial akibat kekerasan seksual. Adanya keyakinan diri untuk sembuh dari trauma akibat kekerasan seksual ini didukung oleh pernyataan yang di sampaikan oleh informan kunci kedua yang menyatakan bahwa ketika penyelesaian atau solusi yang dilakukan sudah sesuai dengan permasalahannya dan tepat sasaran, maka penanganannya akan lebih efektif dan mereka yang menjadi korban kekerasan seksual dapat sembuh dari dampak yang di timbulkan akibat kekerasan seksual. Corrigan dan Watson (2002) menyatakan bahwa self stigma berasal dari penilaian terhadap dirinya yang akan berdampak pada perilaku dan motivasi pada diri sendiri Selanjutnya peneliti mengidentifikasi mengenai Labelling Theory pada anakanak jalanan yang pernah mengalami kekerasan seksual. Menurut Horwitz dan Schied tahun 1999, labelling merupakan cara yang digunakan untuk memberikan label atau julukan pada seseorang dengan memberikan gambaran mengenai identitas orang tersebut secara keseluruhan bukan dengan melihat perilakunya satu persatu. Sementara Labelling theory merupakan teori berupa pemberian julukan atau lebel e-ISSN: 2549-0257 (online) terhadap seseorang atau kelompok yang memiliki perilaku menyimpang pada saat orang tersebut berinteraksi dengan masyarakat. Apabila di lakukan secara terus menerus maka orang tersebut akan menerima dan terbiasa dengan julukan yang diberikan. Semua anak jalanan yang menjadi informan menyatakan bahwa selama mereka berada di jalanan mendapatkan label atau stigma yang negatif dari masyarakat begitu pun juga dengan mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual. Stigma negatif atau label yang diberikan pada mereka meliputi anak yang kotor dan tidak suci lagi. Salah satu informan pada penelitian ini juga menyatakan bahwa selain stigma negatif, mereka juga mendapatkan perlaku yang tidak baik dari masyarakat. Kemudian ketika anak-anak jalanan ini mengalami kekerasan seksual maka yang terjadi hanyalah pengabaian dari masyarakat. Seperti yang disebutkan Ogunkan dan Adeboyeyo (2014) bahwa anak-anak yang hidup jalanan rentan terhadap stigmatisasi yang diberikan oleh masyarakat melalui palabelan atau nama panggilan. Selain itu anak-anak jalanan juga sangat rentan terhadap diskriminasi sehingga mereka sering diabaikan dan ditakuti oleh masyarakat. REFERENCE Amado BG, Arce R, Herraiz A (2015). Psychological Injury in Victims of Chils Sexual Abuse: A Meta-Analytic Review. Psychosocial Intervention. 24: 49-82. Astri H (2014). Kehidupan anak Jalanan di Indonesia: faktor Penyebab, Tatanan Hidup dan Kerentana Berperilaku Menyimpang. Jurnal Aspirasi. 5(2) 146-155. 321 Journal of Maternal and Child Health (2017), 2(4): 309-323 https://doi.org/10.26911/thejmch.2017.02.04.03 Aswidah R, Srimulyati E (2014). Darurat Kejahatan Seksual terhadap Anak. Jakarta: Komisi Nasional HAM. Bahri S, Fajriani (2015). Suatu Kajian Awal terhadap Tingkat Pelecehan Seksual di Aceh. Jurnal Pencerahan. 9(1): 5065. Bina Kesehatan Masyarakat, UNICEF (2007). Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan terhadap Anak bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktur Bina Kesehatan Masyarakat dan UNICEF. Celik SS, Media SB (2009). Verbal, Physical and Sexual Abuse among Children Working on the Street. Australian Journal of Advanced Nursing, 26(4): 14-22. CNN Indonesia (2016) Anak Jalanan Rentan akan Kekerasan Seksual. http://www.cnnindonesia.com/nasio nal/20160516193039-20131111/anakjalanan-rentan-akan-kekerasanseksu al/. diakses tanggal 16 Januari 2017. Corrigan PW, Watson AC (2002). The Paradox of Self Stigma and Mental Illness: Clinical Psychology: Science and Pratice. Demartoto A (2012). Need Based Street Children Management in Surakarta Citu of Central Java Province of Indonesia. Asian Social Science. Vol 8(11): 107-118. Erwin (2013). Karakteristik Anak Jalanan dan Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak Jalanan di Kota Padang Provinsi Sumatra Barat. Antropologi Indonesia. 34(2): 176-188. Gambel M (2010). Sexual Exploitation and Abuse of Street Children in Romania: Catalysts of Vulnerability and Challenges in Recovery. Lincoln: University of Nebraska. Horwitz AV, Shield TL (1999). A Handbool for the Study of Mental Health: Social Contexts, Theories and Systems. 322 Cambridge: Cambridge University Press. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2016). Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak 20112016. http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarka n-klasterperlindungan-anak-2011-201 6. diakses tanggal 05 Desember 2017. Lustanto R (2015). Stigma Perempuan Korban Kekerasan Seksual dan Penghilangan Eksistensi. http:// www.jurnalperempuan.org/blog2/stigmaperempuan-korban-kekerasanseksual-dan-penghilangan-eksistensi. Maniglio R (2009). The impact of child sexual abuse on health: A systematic review of reviews. Clinical Psychology Review. 29(7), 647–657. McPherson, Scribano P, Steven J (2012). Barriers to Successful Treatment Completion in Child Sexual Abuse Survivors. Journal of Interpersonal Violence, 27(1):23-39. Medina NA (2015). The Culture of Partiarchy and Its Effect on the Human Right of Girls-Children in Cagayan de Ora and Clevaria, Misamis. Philippine Institute for Development Studies. 44: 6. Miles MB, Huberman AM (2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Musthaq M, Safia S, Iqra I (2015) The Trauma of Sexual Harassment and its Mental Health Consequences Among Nurses. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan, 25(9): 675-679. Nada K, Suliman E (2010). Violence, Abuse, Alcohol and Drug Use, and Sexual Behaviors in Street Children of Greater Cairo and Alexandria. Egypt. Wolters Kluwer Health. 24(2): S42. e-ISSN: 2549-0257 (online) Khalifah et al./ Health Belief Model and Labelling Theory in the Analysis Noviana I (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya. Jurnal Sosio Informa. 1(1): 13-28. Ogunkan DV dan Adeboyejo AT (2014) Public Perception of Sreet Children in Ibadan, Nigeria. IFE Pyschologia. Vol 22 (1): 39-49. Ohlert J, Corinna S, Thea R, Jorg F dan Marc A (2017). Comparison of Psychopathological Symptoms in Adolescent Who Experienced Sexual Violence as a Victim and/or as A Perpetrator. Journal of Child Sexual Abuse. 26 (4): 373-387. Probosiwi R dan Bahransyaf D (2015). Pedofilia dan Kekerasan Seksual: Masalah dan Perlindungan terhadap Anak. Sosio Informa. Vol 01(1): 31-36. Purwoko T (2013). Analisis Faktor-faktor penyebab Keberadaan Anak Jalanan di Kota Balikpapan. Jurnal Sosiologi. 1 (4): 13-25. Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya Jakarta (2016). Anak Jalanan, Kelompok paling Rentan Alami Kekerasan Seksual. http://arc-atmaja .org/anak-jalanan-kelompok-palingrentan-alami-kekerasanseksual. diaks es tanggal 21 Januari 2017. Rawlett K (2011). Analytical Evaluation of the Health Belief Model and the Vulnerable Populations Conceptual Model Applied to a Medically Underserved, Rural Population. International Journal of Applied Science and Technology; 1 (2): 15-21. Reardon BA (1996). Sexism and the War System. New York: Syracuse University Press. Rosenstock I, Becker HM (1990). The Health Belief Model and Personal Health Behavior. Charles B Slanck Inc: New Jersey. e-ISSN: 2549-0257 (online) Ryan EP, Otonichar JM (2016). Juvenile sex offenders. Current Psychiatry Reports, (18)67. Sakalasastra P, Herdiana I (2012). Dampak Psikososial pada Anak Jalanan Korban Pelecehan Seksual yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. 1(02): 68-72. Sulistyaningsih E, Faturochman (2002). Dampak Sosial Psikologis Perkosaan. Buletin Psikologi. 10(1): 9-23. Suradi (2013). Problema dan Solusi Strategis Kekerasan terhadap Anak. Jurnal Informasi. 18(02): 183-199. UNICEF (2012). The State of The World’s Children 2012: Children in an Urban World. New York, NY; Author. UNICEF (2014). New global data expose acute prevalence of violence against children: UNICEF. http;//www.unicef org/media/media75530.html.Diakses tanggal 13 Desember 2016. UNICEF (2014). Ending Violance Againts Childre: Six Strategies for Action. New York: UNICEF. Vezina DC, Daigneault I, Hebert M (2013). Lesoons Learned from Child Sexual Abuse Research: Prevalence, Outcomes and Preventive Strategies. Child and Adolesecent Psychiatry and Mental Health, 7(22): 2-9. Wilson KA (2006). Sexual Assault and Posttraumatic Stress Disorder: A Review of The Biological, Psychological and Sociological Factors and Treatments. Journal of Medicine, 9 (2): 11-118. World Health Organization (2003). Guidelines for Medico-legal Care for Victims of Sexual Violance. Geneva: World Health Organization. 323