PERIKANAN DAN KAWASAN KONSER

advertisement
Tujuan pembelajaran:
V
PERIKANAN DAN
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
(KKP)
Pemahaman bahwa sebagian besar
perikanan Laut sudah mengalami
penangkapan berlebih (over-fishing) dan
mempelajari kemungkinan Kawasan
Konservasi Perairan (KKP) sebagai alat
pengelolaan perikanan tangkap
berkelanjutan. Pembahasan lebih
difokuskan pada model dasar produksi
(Schaefer) untuk menduga status
perikanan tangkap, kasus-kasus terjadinya
penangkapan berlebih, KKP dan
mekanisme KKP bisa memperbaiki
perikanan tangkap. Pada bagian akhir juga
dibahas latar belakang dari kesulitan dalam
menjalankan inisiatif KKP pada tingkat
lapang.
5.1 Pendahuluan
Diantara kita, mungkin banyak yang sudah selesai membaca, bahkan mendalami buku “The
Sunken Billions – The Economic Justification For Fisheries Reform”, dikarang oleh Ragnar Arnason,
Kieran Kelleher dan Rolf Wilmann, terbitan tahun 2009. Kesimpulan yang paling mengejutkan dari
mereka bertiga ialah sebagai berikut “kontribusi perikanan laut pada ekonomi global jauh lebih
rendah dari seharusnya – jumlah total manfaat yang hilang mencapai 50 juta USD per tahun. Dalam
tiga dekade terakhir, jumlah total kerugian tersebut sudah mencapai 2 (dua) triliun USD. Total
kehilangan tersebut ialah berasal dari perbedaan nilai ekonomi antara total manfaat potensial
dengan manfaat aktual. Kalau kita bisa memperbaiki tata pengelolaan atau sistem governance dari
perikanan laut, masyarakat akan mendapatkan kembali sebagian dari 50 juta USD tersebut”.
Tata pengelolaan (governance) atau mengelola perikanan laut ialah usaha mengatur atau
mengendalikan jumlah pengambilan (oleh penangkapan) agar tidak terjadi penangkapan berlebih
(over-fishing). Penangkapan berlebih ialah pengambilan (penangkapan ikan) pada laju atau
kecepatan yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan secara alami. Kegagalan
dalam mengelola perikanan tangkap, berdampak negatif pada kehilangan ekonomi yang jika
dihitung, setara dengan 50 juta USD per tahun. Hal ini terjadi karena perikanan mengalami
penangkapan berlebih, dan penangkapan berlebih menyebabkan total hasil tangkap yang semakin
rendah. Indonesia ialah negara terbesar ke-empat di dunia sebagai penghasil ikan dari perikanan
laut. Tidak bisa kita pungkiri, masyarakat Indonesia juga kehilangan sejumlah besar nilai ekonomi
sebagai akibat dari penangkapan berlebih. Pemerintah bersama komponen masyarakat lainnya
harus segera mencari jalan atau strategi untuk memperbaiki sistem pengelolaan perikanan laut kita,
kalau tidak ingin mengalami kerugian yang lebih parah.
Environmental Justice Foundation, suatu organisasi non-pemerintah, yang didukung oleh
berbagai pakar dibidang perikanan dan kelautan, menyelesaikan laporan pada tahun 2003 dengan
209
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
judul “Squandering of The Seas”. Pada dasarnya mereka menyampaikan informasi tentang telah
terjadinya pemborosan di laut. Mereka menggunakan alat tangkap trawl atau pukat harimau sebagai
contoh untuk menggambarkan terjadinya pemborosan tersebut. Di daerah tropis, seperti Indonesia,
Pukat Harimau bisa menangkap lebih dari 400 spesies, dalam satu kali hauling (mengangkat jaring).
Spesies ikan hasil tangkap dibedakan dalam dua kategori, ialah: ikan yang menjadi target
penangkapan dan ikan non-target yang selanjutnya akan (terpaksa) dibuang ke laut – ikan non-target
ini biasanya disebut hasil samping atau by-catch. Ikan hasil samping, bisa terjadi, tidak bisa dimakan
atau tidak berharga untuk dibawa ke darat dan dijual (dibandingkan dengan usaha untuk membawa
serta ikan tersebut ke darat). Perbandingan antara ikan target dengan non-target di daerah tropis
umumnya mencapai 1:10, bahkan bisa mencapai 1:21 – untuk mendapatkan 1 kg ikan atau udang
yang menjadi target penangkapan, nelayan harus membuang 21 kg ikan non-target. Kerugian pada
sektor perikanan laut, sebagian terjadi karena terjadinya pemborosan ini. Alat tangkap Trawl atau
pukat harimau sudah dilarang beroperasi di Indonesia. Namun, harus kita sadari bahwa alat tangkap
tersebut pada kenyataannya masih saja kita temui di lapang, dengan nama lain. Jadi, pengelolaan
perikanan tangkap di Indonesia masih harus menghadapi jalan panjang dan berliku sebelum
sumberdaya perikanan benar-benar bisa kembali pulih dan kita bisa menerima kembali nilai ekonomi
yang telah hilang selama ini.
Buku ketiga ialah esai yang dibuat oleh Callum Roberts pada tahun 2007, dengan judul “The
Unnatural History of The Sea”. Dalam buku ini, Callum Roberts berhasil mengumpulkan data tentang
dampak tekanan penangkapan pada ikan dan ekosistem laut yang terjadi dalam periode 100 tahun
terkahir, dibandingkan dengan sebelumnya. Aktifitas penangkapan, selain menyebabkan penurunan
total hasil tangkap, juga merusak habitat tempat-tempat yang penting untuk ikan dan merubah
struktur rakitan spesies atau komunitas di dalam ekosistem. Semuanya, semata disebabkan karena
kegagalan dalam tata pengelolaan perikanan tangkap.
Ringkasnya, usaha penangkapan ikan di laut mengalami pemborosan yang sangat besar –
untuk mendapatkan 1 kg ikan tertentu, kita telah merusak lebih dari 20 kg sumber daya ikan beserta
habitat rumah ikan. Kondisi ini telah menyebabkan kerugian material sebagai akibat dari
penangkapan berlebih dan destruktif. Namun anehnya, dari begitu banyak fakta dari lapang,
pengelolaan perikanan tangkap masih belum optimal. Pada sub-bab berikut menjelaskan model
sederhana yang sering digunakan untuk menduga status perikanan tangkap, sebagai basis
penentuan keputusan strategi pengelolaan perikanan.
5.2 Model Produksi Schaefer
Tidak bisa kita sangkal bahwa sebagian besar kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di
Indonesia, bahkan sebagian besar negara di dunia berpedoman pada teori dasar yang dibuat
pertama kali oleh ahli biologi perikanan dari Swedia, Hjort, pada tahun 1930. Teori Hjort dikenal
dengan istilah “Equilibrium Fishing” – menangkap sejumlah ikan yang setara dengan jumlah yang
bertambah ke dalam populasi melalui proses pertumbuhan dan reproduksi. Jumlah yang bisa
ditangkap mencapai maksimum, ketika jumlah populasi ikan menurun sampai menjadi setengah dari
kondisi biomas alami (ialah populasi ketika tidak ada penangkapan). Untuk kepentingan pengelolaan,
teknisi yang dipandu oleh ahli perikanan, harus memantau stok ikan bersama jumlah alat tangkap
yang beroperasi untuk menangkap ikan yang dimaksud. Ketika stok ikan sudah mencapai setengah
dari kondisi alami, jumlah alat tangkap harus dipertahankan konstan, tidak bisa ditambah lagi. Sejak
saat itu, tidak bisa lagi diberikan ijin baru untuk menangkap ikan. Memantau stok ikan di laut ialah
pekerjaan yang sangat sulit, bahkan saat ini, lebih dari 80 tahun kemudian, hampir tidak mungkin
untuk mendapatkan penduga yang sahih (valid) dalam menggambarkan stok populasi ikan di laut.
210
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
5.2.1 Prinsip Dasar
Pada awal tahun 1950an, Schaefer mencoba untuk mencari solusi terhadap metode tersebut
di atas melalui analisis data time-series dari hasil tangkap dan total usaha tangkap atau Effort.
Pendekatan ini pula yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dan kebanyakan negara di dunia
untuk menduga potensi hasil tangkap ikan di wilayah perairan mereka. Buku ini tidak membahas
secara khusus dinamika populasi ikan, pengkajian stok atau pendugaan status eksploitasi perikanan
laut – masalah terkait sudah banyak dibicarakan pada sesi mata kuliah dinamika populasi ikan.
Namun diantara pengetahuan tersebut, kita perlu untuk melakukan penyegaran tentang prinsip
dasar pengelolaan perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan mono-spesies dan mono-gear.
Bayangkan suatu perikanan yang baru saja dimulai – satu stok perikanan mono-spesies
dieksploitasi dengan alat tangkap tertentu (mono-gear). Pada kondisi ini berlaku beberapa
ketentuan (asumsi dasar) sebagai berikut:
a. Total hasil tangkap merupakan fungsi dari besarnya usaha untuk mendapatkan ikan yang
disebut Effort. Secara matematis berlaku bahwa jika tidak ada Effort (nelayan tidak
melaut), tidak akan pernah ada hasil tangkap. Aturan ini memungkinkan fungsi matematis
tersebut dimulai dari titik awal atau origin, (0,0);
b. Ketika perikanan baru mulai, peningkatan jumlah Effort atau usaha penangkapan akan
meningkatkan total hasil tangkap. Keuntungan ekonomi mendorong nelayan lain untuk
melakukan investasi dan jumlah usaha (Effort) terus bertambah;
c. Peningkatan total hasil tangkap terjadi pada laju yang semakin menurun. Sampai batas
tertentu, peningkatan jumlah usaha tidak lagi menyebabkan peningkatan total hasil
tangkap. Jumlah usaha yang menyebabkan total hasil tangkap mencapai titik maksimum
disebut Effort yang optimal. Sedangkan total hasil tangkap pada saat itu disebut MSY
(Maxiumum Sustainable Yield), suatu hasil tangkap maksimum berimbang lestari;
d. Peningkatan jumlah usaha dari jumlah Effort optimal menyebabkan total hasil tangkap
menurun, dengan laju yang sama dengan peningkatan, namun dengan tanda negatif;
e. Pada kondisi praktis, total hasil tangkap tidak pernah mencapai titik nol di sebelah kanan
titik origin. Pada jumlah usaha yang sangat besar, masih akan mendapatkan hasil tangkap,
walaupun sangat sedikit;
Lima ketentuan dasar (asumsi) di atas menyebabkan hasil tangkap merupakan fungsi dari
usaha tangkap dalam bentuk persamaan kuadratik sebagai berikut:
C i = 0 + a * Ei − b * Ei 2
Dimana:
Ci
= total hasil tangkap dari jumlah usaha Ei (ton)
Ei
= total usaha (Effort) yang menghasilkan Ci (unit Effort)
a & b = konstanta yang nilainya tetap
0
211
= untuk menunjukkan bahwa persamaan selalu mulai dari titik origin (0,0)
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
8000
MSY
(b) Cost of fishing
6000
(d)
yield (tons)
(a) Schaeffer model
(c)
4000
2000
MSE
under-exploitation
over-exploitation
0
0
10000
20000
30000
40000
effort (boat days)
Gambar 5.1 Data tahunan dari hasil tangkapan total (sumbu-Y) dan total usaha atau Effort untuk
mendapatkan hasil tersebut (sumbu-X) dari gambaran sebuah perikanan tangkap
secara hipotetis selama periode 10 tahun (titik-titik berwarna hitam). Model Schaefer
(a) adalah sebuah parabola (hasil tangkap = a * usaha + b * usaha2 ), dimana a dan b
bisa diduga dengan membuat sebuah garis dari data hasil observasi antara hasil
tangkap – usaha. Dalam hal ini, a = 0.5303 dan b = - 1.1524·10 -5 . Jumlah usaha (Effort)
yang mendapatkan nilai MSY disebut Usaha Maksimum Lestari (MSE). Ketentuan yang
berlaku adalah bahwa MSE = -a/(2b) = 23,007, sementara MSY = 6.100 ton. Definisi
tangkap kurang adalah wilayah dimana jumlah usaha < MSE, sementara tangkap lebih
adalah wilayah dimana jumlah usaha yang ada > MSE; pada kedua kondisi tangkap
kurang atau lebih, total hasil tangkap lebih rendah dari MSY. Biaya untuk menangkap
ikan (grafik b) di sini diasumsikan meningkat secara linier dengan meningkatnya
jumlah usaha (Effort). Keuntungan ekonomi dari usaha penangkapan, yaitu perbedaan
antara kurva hasil tangkap (a) dengan biaya penangkapan (b), mencapai nilai maksimal
pada jumlah usaha lebih rendah dari MSE (bandingkan antara (c) dengan (d)). Grafik
diambil dari Sparre & Venema (1992) dan Gulland (1983).
Sebagai persamaan kuadratik, total hasil tangkap maksimum (Ci = maksimum) didapat pada
saat turunan pertama, derivative, dari persamaan tersebut = 0, ialah:
∂C
= 0 = a − 2 *b * E
∂E
212
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Atau, dengan kata lain, nilai Ci yang maksimum dicapai pada saat:
Ei =
a
2* b
Pada saat ini, total usaha (Ei ) disebut Effort optimal yang menghasilkan nilai Ci maksimal, atau
Maximum Sustainable Yield. Penduga total hasil tangkap, CMSY, didapat dengan substitusi nilai Ei =
(a/(2b), melalui persamaan sebagai berikut:
C MSY

a
a 2  a2
= ( a * ) − (b * ( ) ) =
2b
2b  4b

Jumlah total Effort, Ei , yang melebihi Eopt memberikan indikasi bahwa stok sumber daya ikan
sudah mengalami penangkapan berlebih (over-fishing). Sebaliknya, setiap nilai Ei di sebelah kiri Eopt
menunjukkan kondisi under-fishing.
5.2.2 Hasil Tangkap-Per-Satuan-Usaha, CpUE
Nilai Effort optimal yang menghasilkan tangkapan MSY bisa didapat kalau kita mengetahui nilai
konstanta a dan b. Pada bidang perikanan, ada satu istilah yang sangat sering dan umum digunakan,
ialah: hasil tangkap-per-satuan-usaha, atau disebut catch-per-unit-Effort (CpUE). Hasil tangkap-persatuan-usaha, Ui, didefinisikan sebagai:
C 
Ui =  i  = a − b * Ei
 Ei 
Schaefer menyatakan bahwa hubungan antara CpUE, Ui , terhadap peningkatan Effort atau
usaha tangkap, Ei , ialah linier negatif. Nilai konstanta a dan b didapat melalui regresi linier (metode
kuadrat terkecil).
5.2.3 Im plikasi Model Schaefer
Tabel 5.1 ialah data total alat tangkap pancing (unit Effort) yang beroperasi di dalam wilayah
Laut Sawu selama periode 1990 – 2009, bersama total hasil tangkap ikan tuna dari alat tangkap
tersebut. Data dikumpulkan oleh Program WWF-TNC Sawu Sea. Jenis alat pancing tentu saja
bervariasi dan dikonversi ke dalam satu satuan unit. Hasil tangkap juga bervariasi, dari jenis tongkol,
cakalang sampai tuna besar, dan disatukan dalam total biomass (ton). Tabel di sebelah kanan ialah
nilai hasil tangkap-per-satuan-usaha (CpUE), yang dihitung dari total hasil tangkap dibagi dengan
total unit alat tangkap pada tahun yang sama.
Ploting antara total Effort (unit) dengan CpUE (t/unit/thn) disajikan pada Gambar 5.2. Nilai
CpUE menurun dengan semakin meningkatnya jumlah alat yang beroperasi. Analisis regresi dari
kedua variabel mendapatkan nilai konstanta masing-masing:
Intercept = a = 4,875
Koefisien regresi = b = - 0,00023; (R2 = 0,75; n = 20)
Jumlah Effort optimum (Eopt) untuk mempertahankan tangkapan pada kondisi MSY menjadi:
E opt =
213
4,875
= 10.621 unit pancing
2 * 0,00023
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Effort yang optimal, akan menghasilkan total tangkapan pada kondisi MSY, ialah:
C MSY =
(4,875) 2
= 25.894 ton ikan tuna per tahun
4 * 0,00023
Berdasarkan model produksi Schaefer, jumlah total alat pancing yang beroperasi di wilayah
Laut Sawu sudah melebihi 10.621 unit per tahun. Data yang disajikan pada Tabel 5.1 menunjukkan
perikanan tuna di Laut Sawu sudah mengalami tangkapan berlebih sejak 13 tahun yang lalu (1998).
Tabel 5.1 Data total unit pancing yang beroperasi di dalam wilayah Laut Sawu, bersama total hasil
tangkap ikan tuna selama periode 1990 – 2009
TAHUN
Total
Tangkap
(ton)
1990
Total
Effort
(unit)
CpUE
(tn/unit/th)
TAHUN
Total
Tangkap
(ton)
Total
Effort
(unit)
12,703.3 2,250
5.646
2000
20,800.6 5,434
3.828
1991
8,923.9
1,644
5.428
2001
24,547.9 6,685
3.672
1992
9,888.5
2,368
4.176
2002
24,547.9 6,685
3.672
1993
9,236.2
2,961
3.119
2003
24,542.5 10,440
2.351
1994
12,122.6 3,023
4.010
2004
24,592.3 12,318
1.996
1995
15,143.0 4,820
3.142
2005
24,642.1 14,195
1.736
1996
17,571.2 3,159
5.562
2006
20,532.3 12,136
1.692
1997
17,666.3 5,834
3.028
2007
14,383.9 9,866
1.458
1998
13,633.0 14,488
0.941
2008
11,951.5 11,295
1.058
1999
25,117.9 23,142
1.085
2009
14,968.5 17,415
0.860
CpUE
(tn/unit/th)
Keterangan: Data dikumpulkan oleh Program WWF-TNC Sawu Sea, pada tahun 2009
214
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Gambar 5.2A
215
Plot data antara CpUE (Ui ) dengan total Effort (Ei ) dari perikanan Tuna di Laut Sawu.
Model Schaefer menyatakan bentuk hubungan linier negatif (Analisis regresi
mendapatkan nilai a = 4,875 dan koefisien, b = 0,00023; R2 = 0,75; n = 20); 5.2B Plot
antara total Effort dengan total hasil tangkap ikan Tuna.
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
5.2.4 Beberapa Kelem ahan
Keuntungan dari model Schaefer ialah bahwa dia bisa diterapkan secara langsung jika tersedia
data statistik secara time-series, tentang alat tangkap (Effort) dan total produksi ikan dari alat
tangkap tersebut. Bahkan dalam analisis sering kali tidak memerlukan bantuan seorang ahli biologi
perikanan atau statistik. Pada kondisi data bisa mendukung untuk “model fit”, rekomendasi
kebijakan operasional bisa langsung diformulasi secara praktis. Namun, perikanan laut di tingkat
lapang sebenarnya jauh lebih kompleks dari yang bisa dijelaskan pada model dasar produksi
Schaefer. Ada beberapa ketentuan dasar (asumsi) yang harus dipenuhi dalam analisis model
produksi Schaefer, diantaranya ialah:
•
•
•
•
Model Schaefer hanya bisa diterapkan pada kondisi perikanan mono-spesies dan mono-alat
(mono-species and mono-gear fisheries);
Populasi ikan berada pada kondisi keseimbangan, equilibrium state;
Data hasil tangkap dan alat tangkap (catch-Effort data statistics) sangat akurat;
Hasil tangkap-per-satuan-usaha, CpUE, merupakan indeks dari kelimpahan stok populasi
ikan di laut
Ketentuan dasar yang harus dipenuhi sebenarnya jauh lebih banyak dari empat asumsi
tersebut di atas, dan tidak dibahas lebih lanjut. Namun sekarang kita bisa memahami bahwa model
produksi Schaefer hampir tidak mungkin diterapkan pada kondisi perikanan Indonesia saat ini.
A. Perikanan Multi-Spesies dan Multi-Alat
Sudah sangat jelas bahwa karakteristik paling dasar perikanan laut di Indonesia, seperti
kebanyakan perikanan di wilayah tropis lainnya, ialah multi-spesies dan multi-alat. Setiap orang yang
berkunjung ke suatu desa pesisir yang dihuni oleh nelayan, paling tidak kita akan menemukan 10
jenis alat tangkap dengan jenis ikan hasil tangkap lebih dari 45 kategori jenis ikan – satu kategori
jenis ikan biasanya tersusun atas beberapa spesies secara bersama. Memperlakukan kondisi multispesies dan multi-alat menjadi perikanan mono-spesies dan mono-alat ialah hal yang sangat sulit
untuk digambarkan secara logis. Bahkan jika data masing-masing alat (Effort) dan hasil tangkap per
spesies dari masing-masing alat tangkap tersedia, kita belum bisa memperlakukan dia sebagai
perikanan mono-spesies dan mono-gear. Beberapa praktisi di lapang, sering menggabungkan seluruh
spesies (biomas) hasil tangkapan sebagai kesatuan “dynamic pool”, untuk bisa mengaplikasikan
model produksi surplus dari Schaefer.
Diskusi tentang pengkajian stok sumber daya ikan di Indonesia selalu berakhir pada belum
tersedianya pendekatan alternatif untuk menduga stok sumber daya ikan. Pada saat yang sama,
pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mendesak untuk segera menentukan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan, JTB, atau total allowable catch (TAC) seperti persyaratan dari kode
etik perikanan yang bertanggung jawab. Penasehat pemerintah, Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumber Daya Ikan (KomNas KaJisKan) akan selalu menghadapi kesulitan setiap tahunnya, antara
tidak tersedianya data yang cukup untuk menentukan status perikanan dan desakan untuk
memberikan rekomendasi hasil tangkapan maksimum yang diperbolehkan. Pendekatan ekosistem,
yang belakangan mulai diperkenalkan oleh beberapa ahli tidak bisa memberikan jawaban langsung,
straight forward, terhadap kebutuhan untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
Kelemahan-kelamahan ini dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk membiarkan perikanan
tangkap tetap “open access” dan mengatur dirinya sendiri. Bahkan, ketika KomNas KaJisKan
menyatakan beberapa wilayah pengelolaan perikanan sudah mengalami tangkap lebih, pemerintah
tidak bisa bertindak untuk mengurangi jumlah alat tangkap yang beroperasi.
216
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
B. Equilibrium State Fisheries
Model Schaefer, sebagai penduga status perikanan, harus diterapkan pada stok populasi ikan
dalam kondisi equilibrium state – setiap penambahan atau perubahan jumlah usaha (Effort)
memberikan kesempatan kepada populasi ikan untuk merespon perubahan Effort. Kenyataannya,
hal ini tidak pernah terjadi pada perikanan di Indonesia. Jumlah usaha (Effort), dari data alat
tangkap, selalu meningkat setiap tahun. Akibatnya, stok populasi ikan tidak pernah mempunyai
waktu untuk merespon perubahan usaha dari tekanan alat tangkap. Ketika suatu saat CpUE sudah
sedemikian rendah, beberapa nelayan tidak beroperasi dan keluar dari perikanan. Sebaliknya, ketika
beberapa nelayan mendapatkan keuntungan ekonomi, nelayan lain akan segera masuk dan
beroperasi di laut – free entry out fisheries.
C. Data Statistik Catch-Effort
Analisis model produksi surplus dari Schaefer memerlukan data statistik perikanan dengan
tingkat akurasi tinggi. Catatan yang sangat kasar menunjukkan adanya lebih dari 240 jenis ikan
ekonomis penting yang tertangkap oleh lebih dari 100 jenis alat tangkap dengan berbagai
modifikasinya. Spesies dan alat tangkap tersebut tersebar pada hampir 17.000 pulau di Indonesia.
Bisa kita bayangka bahwa dengan kondisi anggaran biaya dan tenaga yang tersedia, hampir tidak
mungkin bagi Indonesia untuk menghasilkan data statistik perikanan laut dengan tingkat akurasi
yang diinginkan.
Sistem pencacahan statistik perikanan Indonesia dipersiapkan mulai tahun 1970 melalui
proyek PBB, yang dirancang oleh Tadashi Yamamoto. Rancangan tersebut diperbaiki kembali pada
tahun 1980 melalui bantuan teknis oleh FAO. Sejak tahun 1975, Indonesia mengadopsi rancangan
tersebut yang tersusun dalam empat seri buku sistem pelaporan statistik perikanan. Sejak tahun
1976, statistik perikanan sudah dipersiapkan sedemikian rupa mengacu pada sistem yang dituliskan
oleh Yamamoto. Laporan statistik perikanan diproduksi pada satuan Propinsi, sedangkan satuan atau
unit terkecil dibuat dalam skala Kabupaten. Keempat buku petunjuk pencacahan data statistik
perikanan merupakan tanggung jawab Petugas Teknis lapang (PTL) yang bertugas di tingkat
kecamatan. Beberapa PTL dikirim untuk mendapat latihan teknis pengambilan data di tingkat lapang,
walaupun tidak dikirimkan dalam waktu yang bersamaan. Jelaslah bahwa data statistik perikanan
yang akurat membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat mahal, dan hal ini hampir tidak mungkin
dilakukan oleh pemerintah. Akibatnya, akurasi data statistik perikanan pasti masih rendah. Pada
beberapa pertemuan internal, petugas perikanan sendiri mengakui bahwa data statistik yang
dihasilkan dari estimasi lapang memang kurang akurat.
D. Cp UE Sebagai Indeks Kelim pahan Stok
Pada model Schaefer, berlaku asumsi bahwa total hasil tangkap nelayan tergantung dari
kemampuan untuk meningkatkan mortalitas penangkapan atau, di laut terdapat biomass ikan yang
cukup tinggi. Teori tersebut diekspresikan secara matematis, sebagai berikut:
C i = F * Bi
Dimana:
Ci = total hasil tangkap pada waktu tertentu, i
Bi = Biomas ikan di laut pada saat itu, i
F = konstanta mortalitas penangkapan
217
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Mortalitas penangkapan ditentukan dari kemampuan nelayan untuk meningkatkan usaha
penangkapan (Effort) dan efektifitas alat tangkap untuk mengambil porsi dari stok biomass ikan di
laut, dengan persamaan sebagai berikut:
F=q*E
Dimana:
E = jumlah usaha penangkapan atau Effort
q = efektifitas alat tangkap (catchability coefficient)
Hasil tangkap-per-satuan-usaha, Ui , ialah:
Ui =
Ci
= q * Bi
Ei
Berdasarkan persamaan terakhir di atas, hasil tangkap-per-satuan-usaha bisa dibuktikan
sebagai indeks dari besarnya stok biomass ikan di laut.
Kenyataan, hasil tangkap-per-satuan-usaha tidak selalu menunjukkan indikasi biomass stok
ikan di laut. Hal ini bisa terkait dengan kesulitan mempertahankan usaha (Effort) dalam satuan
standar seiring dengan perubahan waktu (time trends) atau kondisi di alam yang tidak
memungkinkan. Sebagai contoh, seorang peneliti memonitor CpUE dari suatu alat tangkap tertentu
selama 30 tahun terakhir. Data tersebut didapat dari penelusuran statistik perikanan. Peneliti
mendapatkan bahwa CpUE selama 30 tahun terakhir ialah konstan. Dia tidak bisa menyimpulkan
bahwa stok biomas ikan selama 30 tahun terakhir konstan. Dalam periode 30 tahun terakhir, setiap
alat tangkap hampir pasti mengalami perubahan dimensi, seperti: peningkatan kekuatan mesin,
peningkatan ukuran panjang dan/atau lebar jaring dan dimensi lainnya. Data statistik umumnya
mencatat satuan Effort dalam jumlah, tidak mencatumkan perubahan dimensi ukuran di dalam
masing-masing unit alat tangkap. Pada kondisi seperti ini, satu alat tangkap yang sama, 30 tahun
yang lalu, tidak akan sama ukurannya dibandingkan dengan saat ini.
Nilai CpUE tidak bisa digunakan sebagai indeks kelimpahan biomas untuk ikan-ikan demersal
yang bersifat cryptic dengan wilayah penyebaran terbatas. Sebagai contoh ialah perikanan Lobster.
Misalkan sekelompok nelayan menemukan hamparan terumbu karang dengan sumber daya Lobster
yang masih belum tereksploitasi. Setiap hari nelayan berpindah dari satu bagian hamparan ke bagian
hamparan lain yang tersisa. Kemungkinan besar, CpUE dari kelompok nelayan akan tetap konstan.
Namun, pada saat itu biomass lobster sudah berkurang. pada kondisi seperti ini, CpUE tidak bisa
digunakan untuk menjelaskan stok biomass dari sumber daya ikan. Kondisi alam lokal di laut sering
kali berpengaruh terhadap hasil tangkap nelayan, dan berdampak pada nilai CpUE. Nelayan yang
operasinya pada malam hari dan menggunakan bantuan lampu, akan sangat tergantung dari umur
bulan pada kalender Jawa. Operasi penangkapan pada saat mendekati bulan purnama kemungkinan
besar akan menurunkan total biomas hasil tangkap, dan berdampak pada CpUE. Turunnya nilai CpUE
tidak semata disebabkan oleh biomas ikan yang berkurang, namun lebih banyak karena sinar lampu
yang tidak optimal bisa mengumpulkan gerombolan ikan. Singkatnya, data CpUE memerlukan
interpretasi yang jauh lebih kompleks untuk bisa digunakan sebagai indeks kelimpahan ikan di laut.
5.3 Status Perikanan Laut – Penangkapan Berlebih
5.3.1 Perikanan Global
Pada tahun 1974, ketika Food and Agriculture Organization (FAO) terbentuk, 60% dari
perikanan dunia diperkirakan sudah mengalami penangkapan berlebih. Tiga puluh tahun kemudian
(2004), FAO kembali melaporkan bahwa lebih dari 75% stok sumber daya perikanan global berada
218
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
pada kondisi tangkap penuh (fully-exploited) atau penangkapan berlebih. Dampak kerugian ekonomi
langsung dari penangkapan berlebih mencapai 50 juta USD dalam setahun. Kerugian ini tidak
termasuk dari kegiatan Perikanan Recreasional, ekowisata bahari dan kerugian oleh kegiatan
perikanan ilegal. Juga, total kerugian belum termasuk dampak ikutan sebagai akibat tidak
beroperasinya industri pengolahan ikan, distribusi dan konsumsi. Kerugian lain yang juga belum
dihitung ialah termasuk nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati laut serta peran laut dalam siklus
karbon. Dengan demikian, penangkapan berlebih telah menyebabkan dampak kerugian ekonomi
total yang mungkin jauh lebih tinggi dari hanya 50 juta USD per tahun. Kerugian ini akan terus
terjadi, dan akan semakin parah, bahkan FAO belum bisa menghambat laju pengurasan sumber daya
di laut.
100
Sum of %- Status
80
StatusID
6
5
4
3
2
1
60
40
20
Samuder a Selatan
Samuder a Hindia
T imur
Samuder a Hindia
Bar at
Pasisik Barat Daya
Pasifik Timur Laut
Pasifik Tenggar a
Pasifik Tengah Timur
Pasifik Tengah Bar at
Pasifik Bar at Laut
Mediterania & Laut
Hitam
Atlantuk T engah
Timur
Atlantik Timur Laut
Atlantik Tenggar a
Atlantik Tengah
Barat
Atlantik Barat Daya
Atlantik Bar at Laut
0
Wilayah Penangkapan
Gambar 5.3
Status eksploitasi sumberdaya ikan pada 16 wilayah penangkapan ikan (fishing
areas) di dunia. Keterangan legenda: 1 = tangkap kurang; 2 = tangkap sedang; 3 =
tangkap penuh; 4 = tangkap lebih; 5 = stok terkuras; 6 = stok mengalami pemulihan
(Sumber: digambar ulang dari FAO, 2004)
Hasil temuan Ramson Meyers dan Boris Worm yang ditulis pada Jurnal Nature pada tahun
2003 sungguh mengejutkan. Mereka menduga terjadinya pengurasan komunitas ikan-ikan predator
secara cepat sejak dimulainya modernisasi perikanan tangkap (Gambar 5.4). Secara rata-rata, 80%
dari biomas sumber daya ikan akan terkuras setelah industri perikanan tangkap berlangsung selama
15 tahun pertama. Sebagai kompensasi, mereka menduga terjadinya pertumbuhan ikan-ikan yang
berkembang secara cepat (fast growing species). Namun hal ini tidak berlangsung lama, ikan inipun
segera terkuras. Saat ini, komunitas ikan-ikan predator yang berukuran besar hanya tersisa sekitar
10% saja dibandingkan dengan kondisi sebelum dimulainya industrialisasi perikanan tangkap. Sejak
pertengahan tahun 1970an, nilai CpUE sudah sedemikian rendah (Gambar 5.4) dan perikanan
tangkap sebenarnya sudah tidak ekonomis untuk dipertahankan. Hasil temuan dari Meyers dan
Worm sempat mengundang debat dan kontroversi diantara ahli perikanan. Banyak diantara ahli
219
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
yang menyangsikan validitas data untuk menghasilkan kesimpulan tersebut di atas. Namun, hampir
semua ahli percaya (faith) bahwa perikanan sudah mengalami penangkapan berlebih, walaupun
sangat sulit mendapatkan data untuk mendukung pembuktian tersebut.
Total hasil tangkap global pada tahun 2000 menurun 5% dibandingkan dengan puncak
produksi pada tahun 1995. Setelah itu, produksi hasil tangkap cenderung konstan. Dengan asumsi
(dan dipercaya mendekati kondisi riil) bahwa teknologi alat tangkap selalu berkembang, nilai CpUE
global diperkirakan mengalami penurunan, sebagai indikasi adanya penangkapan berlebih. Sekali
saja stok ikan terkuras (deplesi), dia memerlukan waktu yang sangat lama untuk pulih kembali,
bahkan pada kondisi eksploitasi dihentikan sekalipun – ambil contoh misalnya perikanan haddock,
Melanogrammus aeglefinus (L.), ikan merah (redfish), Sebastes spp., dan ikan cod, Gadus morhua (L.)
di wilayah Atlantik Timur Laut. Sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda bahwa stok ikan tersebut
sudah pulih, bahkan setelah kebijakan pelarangan (near-complete ban) dari alat tangkap sejak tahun
1990. Gambaran umum dari perikanan global ialah hasil tangkap sudah mengalami penurunan, dan
aktifitas penangkapan terpaksa harus menjauh ke arah perairan yang lebih dalam karena stok sudah
berkurang.
Gambar 5.4
Penurunan biomass dari komunitas sumberdaya laut per periode waktu (time
trends) pada beberapa wilayah geografi yang berbeda (Sumber: Meyers &
Worm, 2003)
5.3.2 Perikanan Indonesia
Perikanan laut di Indonesia mempunyai nasib yang hampir sama dengan perikanan laut global.
Penangkapan berlebih sudah menjadi masalah sentral dalam pembahasan kebijakan perikanan laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, sangat memahami permasalahan penangkapan berlebih di
perairan laut Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan pantai Utara Jawa. Didorong oleh harapan
publik dimana sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia
melalui peningkatan produksi hasil tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan sekarang sedang
mencari “sumberdaya yang dianggap tidak pernah habis” tersebut di Indonesia Bagian Timur.
Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan
untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan
220
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Indonesia bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa
dikembangkan lebih lanjut?
Pemerintah Indonesia cenderung melakukan intensifikasi dibidang perikanan tangkap. Artikel
yang diterbitkan Jakarta Post (14 Januari 2004) melaporkan investasi yang dilakukan oleh salah satu
perusahaan perikanan tangkap Indonesia senilai Rp. 2 triliun (setara 235 juta USD), untuk
memperluas armada perikanan di perairan Papua – dengan menyerahkan 5% saham dari projek
tersebut kepada Pemerintah Papua. Artikel lain yang dimuat pada Kompas 21 Januari 2004
menggambarkan beberapa wilayah perairan laut yang sudah mengalami tangkap lebih, sementara
beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. Kementerian Kelautan dan
Perikanan mencoba mengangkat masalah ini dan menyelesaikannya dengan cara memfasilitasi
transmigrasi nelayan. Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengundang investor asing
untuk mengeksploitasi sumberdaya yang dianggap tidak akan pernah habis: situs Kedutaan Inggris di
Indonesia mengundang industri perikanan tangkap di Inggris dalam memanfaatkan peluang ini,
melalui suplai armada perikanan yang digunakan, kemungkinan bersama ABK, alat tangkap gillnet,
pukat harimau, pancing pole & line, pukat cincin, beserta pelayanan konsultasi dan transfer
teknologi.
Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia, sasaran pengelolaan ditentukan dari
nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap
Indonesia telah ditetapkan 80% dari nilai MSY, seperti tertulis pada Undang-Undang Nomor 31 tahun
2004 tentang perikanan. Karena keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY, prinsip
kehati-hatian pada kasus ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan
ekonomi (rupiah).
Publikasi terakhir memperoleh dugaan MSY terhadap perikanan laut Indonesia sekitar 5,0 juta
ton. Sebelumnya, ada 5 (lima) studi yang sudah dilakukan terkait dengan MSY, yaitu: (a)
Martosubroto, melalui tinjauan data akhir tahun 1980an yang didapatkan dari Dirjen Perikanan
Tangkap bersama Balai Penelitian Perikanan laut, (b) Dirjen Perikanan Tangkap 1995 melalui tinjauan
data sejak awal tahun 1980an, (c) Indonesia/FAO/DANIDA 1995 melalui pengkajian semua data yang
tersedia, (d) Pusat Riset Perikanan Tangkap melaui riset pengkajian stok bersama LIPI, dan (e)
tinjauan ulang oleh Pacific Consultants International (PCI). PCI menyajikan 6 (enam) penduga
terhadap nilai MSY yang satu sama lain berbeda, bervariasi antara 3,67 sampai 7,7 juta ton. Hasil
pendugaan terakhir pada tahun 2001 mendapatkan nilai 6,4 juta ton. Pada 25 Maret 2003, Komisi
Pengkajian Stok Nasional memutuskan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap hasil estimasi
MSY tersebut. Sebagai kesimpulan, penduga terhadap MSY bervariasi dua kali lipat, sementara
penduga dari hasil terakhir mendapatkan nilai tengah diantara yang terendah dan tertinggi, yaitu 5,0
ton per tahun. Menurut statistik terakhir, produksi perikanan tangkap Indonesia adalah 4,4 juta ton
pada tahun 2002. Apakah perbedaan antara nilai MSY dengan produksi riil ini bisa diartikan sebagai
“ruang” untuk memperluas armada perikanan? Laporan produksi terakhir perikanan tangkap
Indonesia bahkan sudah mencapai 5 juta ton. Menjadi hal yang agak aneh kalau pemerintah
melakukan kalkulasi ulang dan menggunakan nilai MSY 6,4 juta ton sebagai acuan.
A. Perikanan Tuna Long-line
Sudah menjadi anggapan umum dibidang perikanan tangkap bahwa penangkapan berlebih
umumnya dimulai dari pantai. Wilayah dekat pantai ialah lokasi yang lebih mudah dijangkau oleh
nelayan. Kita tidak memerlukan teknologi khusus maupun biaya yang tinggi untuk menjangkau
wilayah penangkapan (fishing ground) dekat pantai – pantai selalu dipadati oleh nelayan dari
berbagai armada yang berbeda. Untuk mengurangi tekanan penangkapan di wilayah pantai,
pemerintah menetapkan jalur-jalur penangkapan ikan. Nelayan skala kecil bisa menangkapan ikan
221
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
pada seluruh jalur penangkapan. Sedangkan armada skala menengah hanya boleh beroperasi pada
jarak teretntu dari pantai dan armada skala besar hanya boleh beroperasi di wilayah lepas pantai.
Perikanan tuna termasuk kategori perikanan lepas pantai yang beroperasi di luar wilayah
pantai. Analisis data catch-Effort dari perikanan tuna di Laut Sawu (sub-bab 5.2.3) menunjukkan
gejala terjadinya penangkapan berlebih. Jumlah alat pancing yang beroperasi cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 5.1), dan diikuti dengan penurunan nilai CpUE di bawah
batas minimal yang seharusnya. Laut Sawu bisa saja dikatakan sebagai wilayah penangkapan yang
tidak termasuk dalam kategori lepas pantai. Namun alasan ini tidak bisa kita gunakan sebagai maaf
untuk membiarkan Laut Sawu mengalami tekanan penangkapan yang lebih tinggi.
Perusahaan Tuna long-line yang berbasis di benoa Bali (PT. Samudera Besar) melakukan
operasi penangkapan di wilayah Samudera Hindia (Indian Ocean), sampai wilayah laut berbatasan
dengan Afrika Selatan. Nilai CpUE dari tuna long-line disajikan dalam satuan Hook Rate, ialah jumlah
(individu) ikan tuna yang tertangkap dalam 100 mata pancing. Ploting data Hook Rate tuna long-line
dari tahun 1973 – 2002 disajikan pada Gambar 5.5 – jelas sekali, kita bisa simpulkan bahwa nilai
CpUE perikanan Tuna long-line mengalami penurunan. Ketika awal perikanan tuna dimulai, dalam
200 mata pancing, ada peluang PT. Samudera Besar (secara rata-rata) menangkap 3 (dua) ekor ikan.
Sejak awal tahun 2000an, mereka membutuhkan usaha yang jauh lebih tinggi untuk mendapatkan
ikan yang sama – untuk mendapatkan peluang menangkap 1 (satu) ekor ikan, ABK kapal tuna longline perlu mengoperasikan paling tidak 200 mata pancing. Jika perikanan tuna long-line masih
menguntungkan, nilai keuntungan ekonomis saat ini sudah jauh lebih rendah dibandingkan ketika
awal perikanan tersebut dimulai. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena perikanan lepas pantai
juga mengalami ancaman cukup serius oleh penangkapan berlebih.
Indikator lain yang menunjukkan terjadinya penangkapan berlebih ialah semakin mengecilnya
ukuran ikan yang tertangkap – kondisi ini sering disebut dengan istilah growth over-fishing. Grafik
ukuran individu ikan tuna yang tertangkap oleh tuna long-line PT. Samudera Besar (Gambar 5.5 –
bawah) menunjukkan adanya penurunan ukuran tersebut. Pada awal perikanan tuna long-line
dimulai, ukuran individu hasil tangkapan mencapai 30 – 35 kg per ekor. Sejak awal tahun 1990an,
ukuran individu hasil tangkap menunjukkan kecenderungan menurun. Akhir-akhir ini, ukuran
individu bahkan mencapai sekitar 25 kg per ekor. Kedua indikator ini bisa dikatakan sebagai gejala
terjadinya penangkapan berlebih.
222
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Hook Rate (#/hook)
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
Tahun
40.0
Berat Individu (kg)
36.0
32.0
28.0
24.0
20.0
Tahun
Gambar 5.5
Penurunan nilai Hook Rate dari Tuna long-line yang berbasis di Pelabuhan Benoa Bali
dalam periode waktu (time trends) (A); diikuti dengan penurunan ukuran individu ikan
hasil tangkapan (B). Sumber data: PT. Samudera Besar, Benoa Bali.
B. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
Berdasarkan pembagian fishing areas yang dibuat melalui kesepakatan FAO, perairan
Indonesia berada pada dua fishing area yang berbeda, ialah: fishing area 71 (Western Central Pacific)
dan fishing area 57 (Eastern Indian Ocean). Untuk mempermudah pengelolaan dan pengawasan,
pemerintah membagi wilayah perairan menjadi 9 (sembilan) daerah geografi, disebut wilayah
pengelolaan perikanan (WPP). Belakangan, WPP dikembangkan menjadi 10 dengan membagi WPP
Samudera Hindia menjadi dua bagian, ialah bagian barat dan timur. Pada tahun 2007, wilayah WPP
dibagi dalam 11 wilayah (Gambar 5.6)
223
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Gambar 5.6
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) perairan Indonesia yang terbagi menjadi 11
wilayah WPP dengan mengikuti pembagian FAO (Sumber: BRKP, 2007. Buku penataan
Wilayah Pengelolaan Perikanan)
Suatu lokakarya yang dilakukan beberapa waktu yang lalu untuk menduga status perikanan
pada 4 (empat) wilayah pengelolaan perikanan menunjukkan gejala yang jelas terjadinya
penangkapan berlebih. Pada semua wilayah perikanan tangkap tersebut, para ahli menyarankan
untuk melakukan pembatasan usaha (penutupan wilayah penangkapan, pembatasan ijin usaha,
menurunkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan menurunkan kapasitas armada. Namun
kesimpulan tersebut tidak sejalan dengan harapan bangsa ini, yaitu meningkatnya hasil tangkapan.
Lokakarya memutuskan bahwa penduga MSY hasil lokakarya adalah 6,4 juta ton (sama dengan hasil
dugaan pada tahun 2001). Upaya mencapai angka tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan
eksplorasi dan intensifikasi perikanan tangkap di luar wilayah studi dan dengan ekplorasi
sumberdaya ‘inkonvensional’ seperti stok sumberdaya laut-dalam. Rekomendasi lainnya dari
lokakarya adalah mempertahankan total usaha (Effort) pada kondisi yang ada saat ini. Meskipun
lokakarya mengakui adanya tantangan dalam menentukan status perikanan tangkap, rekomendasi
dan temuan-temuan di dalamnya masih bersifat mendua: pengelolaan melalui pembatasan vs
eksplorasi atau intensifikasi, dan keyakinan akan adanya stok sumberdaya yang belum dieksploitasi
(tanpa dukungan pembuktian), sementara sebagian besar, walau tidak semua studi menunjukkan,
bahwa status perikanan tangkap yang diteliti berada pada kondisi tangkap lebih atau tidak jelas.
Lokakarya juga menyarankan agar pengelolaan sebaiknya memperhatikan ekosistem, bukan spesies,
serta menggaris bawahi kebutuhan untuk melakukan monitoring stok ikan, habitat, dan ekosistem.
Hasil penelusuran pustaka (desk study) sampai saat ini menyatakan paling tidak ada 15 hasil
penelitian terkait dengan status sumber daya ikan pada masing-masing WPP dan kategori ikan hasil
tangkap (Tabel 5.2). Nilai angka di dalam tabel menunjukkan jumlah kesimpulan yang menyatakan
stok ikan pada kondisi tangkap kurang, tangkap penuh, tangkap lebih atau belum jelas. Kolom paling
224
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
kanan menunjukkan sumber informasi. Secara umum ada 56 dari 129 kesimpulan yang menyatakan
bahwa perairan Indonesia berada pada kondisi tangkap lebih, 26 kesimpulan pada kondisi tangkap
penuh, 8 kesimpulan menyatakan belum jelas dan 37 kesimpulan menyatakan masih masih pada
kondisi tangkap kurang. Dari seluruh studi yang dilakukan pada masing-masing WPP, bisa
disimpulkan bahwa hampir semua wilayah pengelolaan perikanan berada pada kondisi tangkap
penuh atau tangkap lebih, kecuali WPP Laut Banda, WPP Laut Seram dan Teluk Tomini. Namun
kondisi Laut Banda dan Laut Seram tidak mewakili kondisi perikanan di wilayah timur Indonesia.
Hasil penelitian dari Pusat Riset Perikanan Laut pada tahun 2002, tentang perikanan kakap merah di
Laut Arafura menunjukkan kondisi tangkap lebih. Secara tegas hasil studi menyatakan bahwa jika
tekanan penangkapan terhadap ikan kakap merah tetap dipertahankan seperti pada kondisi tahun
2002, perikanan kakap merah akan segera terkuras (deplesi) dan kemungkinan tidak bisa pulih
kembali.
Prihatin akan kondisi perikanan di wilayah Laut Arafura, KomNas KaJisKan menyampaikan
rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, tertanggal 21 Oktober 2007. Dalam
rekomendasi, KomNas mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan moratorium, dengan
pernyataan berikut “kebijakan yang dapat ditempuh dalam kaitan ini adalah melaksanakan
”Moratorium” untuk perairan Arafura, yaitu penutupan bagi ijin baru penangkapan. Dan bila ada
kapal yang sudah tua dan mengundurkan diri tidak perlu dilakukan penggantian. Seiring dengan
kebijakan ini dapat juga dibarengi dengan pelarangan penangkapan pada musim tertentu dengan
pertimbangan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan tertentu untuk memijah
dan tumbuh menjadi ikan-ikan dewasa.
225
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Kesimpulan dari berbagai studi tentang status perikanan laut pada masing-masing
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dan jenis perikanan di Indonesia (Sumber:
Wiadnya et al., 2005)
Tabel 5.2
STATUS
PERIKANAN
WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP)
%
1
2
3
4
5
6
7
8
Pelagis Besar
Tangkap kurang
Penuh tangkap
1
1
1
1
1
1
1
Tangkap lebih
2
1
5
2
5
1
3
Belum jelas
Widodo, Wiadnyana &
Nugroho (2003); DKP
(2001); Merta,
Susanto & Prisantoso
(2003)
0
Pelagis Kecil
Tangkap kurang
1
Penuh tangkap
Tangkap lebih
1
1
1
1
1
1
1
3
1
Belum jelas
7
1
2
1
1
1
1
2
10
2
Demersal
Tangkap kurang
1
1
1
Penuh tangkap
1
2
Tangkap lebih
2
1
Belum jelas
1
1
2
1
3
1
1
1
5
1
7
1
13
1
2
Ikan Karang
Tangkap kurang
Penuh tangkap
1
1
1
Tangkap lebih
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
9
1
5
Belum jelas
Atmaja & Nugroho
(2003); Widodo,
Wiadnyana&Nugroho
(2003); DKP (2001);
Atmadja et al (2003);
Merta et al (1996);
Aziz (2001).
Badrudin,
Suprapto&Wahyuni
(2003); Sumiono
(2002); DKP
(2001);Badrudin &
Blaber (2003);
Sumiono, Badrudin &
Widodo (2003);
Badrudin, Budiha rjo,
Parwati (1996)
DKP (2001); Aziz
(2001)
0
Udang Penaeid
Tangkap kurang
1
Penuh tangkap
Tangkap lebih
1
Belum jelas
1
3
2
2
1
1
1
2
1
1
1
3
2
3
1
16
1
1
4
1
Lobster
Tangkap kurang
1
1
1
1
1
1
Penuh tangkap
Tangkap lebih
226
Sumber:
9
1
1
8
0
1
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
1
Widodo, Wiadnyana &
Nugroho (2003);
Wedjatmiko (2003);
DKP (2001); Ba drudin
& Sumiono (2002);
Aziz et al (1996); Aziz
(2001)
DKP (2001); Aziz
(2001)
STATUS
PERIKANAN
WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP)
%
1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber:
9
Belum jelas
0
Cumi
Tangkap kurang
1
Penuh tangkap
Tangkap lebih
1
1
1
1
2
4
DKP (2001); Aziz
(2001)
1
2
2
Belum jelas
2
8
0
Keterangan WPP:
1 = Selat Malaka; 2 = Laut China Selatan; 3 = Laut Jawa; 4 = Selat Makassar dan Laut
Flores; 5 = Laut Banda; 6 = Laut Seram dan Teluk Tomini; 7 = Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik; 8 = Laut Arafura; 9 = Samudera Hindia.
C. Pengalam an Nelayan
Cerita nelayan yang didapat dari berbagai daerah di Indonesia memberikan indikasi yang kuat
bahwa sebagian besar perikanan laut sudah mengalami penangkapan berlebih (over-fishing). Indikasi
penangkapan berlebih bisa dilihat dari: menurunnya hasil tangkap, atau CpUE (Komodo, Wakatobi),
daerah operasi yang semakin jauh dari pantai (Muncar, Prigi), andon atau berpindah sementara
(Tuban, Jawa Timur), peningkatan usaha atau Effort melalui penggunaan mesin (Manokwari).
Nelayan Papagaran, Komodo (NTT) mempunyai kebiasaan untuk menangkap ikan beronang di
dalam nambo, sejenis laguna. Pada saat pasang purnama (bulan Agustus, September dan Oktober),
ikan beronang akan terjebak di dalam laguna di depan kampung. Pada saat pasang besar, ikan masuk
ke dalam laguna dan terjebak (tidak bisa kembali ke laut) ketika surut. Nelayan menggunakan biji
kamande (semacam tuba) untuk menangkap ikan beronang. Nama lokal ikan beronang di sekitar
desa disebut sancara. Jenis perikanan ini disebut kamande atau sancara. Pada awalnya (> 20 tahun
lalu), nelayan bisa mengumpulkan ikan sancara sebanyak 10 perahu dalam satu kali operasi (antara 3
– 5 hari dalam sebulan). Saat ini, jika panen baik, mereka hanya mendapatkan ikan sebanyak 3
perahu per hari operasi – satuan perahu yang dimaksud ialah jukung tanpa motor. Pada saat musim
ikan sancara, nelayan juga menangkap ikan ini dengan menggunakan alat sero, sejenis perangkap –
nelayan Papagaran menyebut dengan istilah serong. Ikan sancara yang terkumpul pada ujung sero
bisa mencapai 2 perahu selama bulan purnama. Namun saat ini, jumlah yang tertangkap maksimal
hanya mencapai ½ kapasitas perahu jukung mereka. Sebelum tahun 2002, mereka mengalami
musim perikanan sancara selama 3 – 5 kali purnama. Pada bulan September 2002, mereka hanya
mendapatkan panen selama satu kali bulan purnama (Tabel 5.3).
227
Perikanan dan kawasan konservasi perairan (KKP)
Download