BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tenaga kerja

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tenaga kerja memiliki peran yang penting sebagai salah satu unsur
penunjang dalam pembangunan. Salah satu keberhasilan pembangunan nasional
adalah kualitas manusia Indonesia, yang menentukan berhasil tidaknya usaha
untuk memenuhi tahap tinggal landas. Peningkatan kualitas manusia tidak
mungkin tercapai tanpa adanya jaminan hidup yang pasti untuk didapatkannya,
dan peningkatan kualitas tenaga kerja serta perlindungan terhadap tenaga kerja
harus disesuaikan dengan harkat dan martabat manusia.1
Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat
dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapinya. Oleh karena itu,
kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan
kesejahteraan sebagai perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum bagi tenaga kerja. Hal ini merupakan suatu penghargaan kepada setiap
tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada perusahaan
tempat dimana ia bekerja, sehingga pada giliran akan dapat meningkatkan
produktifitas nasional.2
Salah satu hak yang melekat pada pekerja/buruh adalah hak atas jaminan
sosial. Oleh karena itu, sering kali dikemukakan bahwa jaminan sosial
1
Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdul Khakim I), h. 9.
2
Zaeni Asyhadie, 2008, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja Di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta (selanjutnya disingkat Zaeni Asyhadie I), h. 83
1
2
merupakan program yang bersifat universal/umum yang harus diselenggarakan
oleh semua Negara.3
Jaminan sosial ini merupakan inti sebuah negara, tujuan negara, serta
sekaligus alat negara untuk mensejahterakan rakyat. Hal ini, dapat kita lihat dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 28H (amandemen kedua)
menyatakan
bahwa:
“Setiap
orang
berhak
atas
jaminan
sosial
yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang
bermartabat”, serta Pasal 34 Ayat (2) (amandemen keempat), bahwa: “Negara
mengembangkan
sistem
jaminan
sosial
bagi
seluruh
rakyat
dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Pasal 1
Angka (1) menyebutkan: “Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan
sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak”.
Dalam hal ini, yang perlu diberikan jaminan sosial yaitu pekerja, karena
pekerja adalah tulang punggung perusahaan yang mempunyai peranan penting
dalam perusahaan. Tanpa adanya pekerja, tidak mungkin perusahaan itu akan
jalan dan berpartisipasi dalam pembangunan. Menyadari akan pentingnya pekerja
bagi pengusaha, pemerintah dan masyarakat, maka perlu dilakukan pemikiran
agar pekerja dapat menjaga keselamatanya dalam menjalankan pekerjaan.
Demikian pula, perlu diusahakan ketenangan dan kesehatan pekerja agar apa
yang dihadapinya dalam pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin,
3
Ibid, h. 21.
3
sehingga kewaspadaan dalam menjalankan pekerjaan itu tetap terjamin.
Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan program perlindungan pekerja, yang
dalam praktik sehari-hari berguna untuk dapat mempertahankan aktivitas dan
kesetabilan perusahaan.4
Tujuan jaminan sosial adalah sebagai perlindungan dasar bagi pekerja/buruh
guna mengatasi resiko-resiko ekonomis/sosial atau peristiwa-peristiwa tertentu,
seperti kebutuhan akan pelayanan medis, tertundanya, hilangnya atau turunnya
sebagian penghasilan karena sakit, kecelakaan kerja, cacat atau hari tua, serta
sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial dengan memberikan ketenangan
kerja bagi pekerja/buruh yang memiliki peranan besar bagi pelaksanaan
pembangunan.5
Lajunya pembangunan telah meningkat kapasitas produksi yang berarti
memperluas lapangan kerja atau memberikan tingkat penghasilan, sehingga taraf
hidup pekerja dapat bertambah. Namun, keadaan ini tidak berlangsung secara
permanen, karena penghasilan dapat berhenti sementara atau selamanya sehingga
menimbulkan kerugian bagi individu yang bersangkutan.
Terhentinya penghasilan biasanya ditimbulkan karena terjadinya peristiwaperistiwa kehidupan yang menyebabkan ketidakmampuan kepala keluarga
mencari nafkah untuk
kerja, misalnya karena sakit, hari tua,
maka
penanggulangannya harus dilakukan secara sistematis, terencana dan teratur.
Meskipun penanggulangan tersebut dapat dilakukan secara individual,
namun pada umumnya pekerja yang berpenghasilan rendah sulit untuk mengatur
4
Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, (selanjutnya disingkat Lalu Husni I), h. 95.
5
Zaeni Asyhadie I, op.cit, h. 35.
4
sendiri kebutuhan keuangan. Selain itu, tidak semua majikan atau pihak
pengusaha menyadari akan kesejahteraan pekerjanya, dengan demikian cara yang
lazim digunakan di setiap negara adalah pengadaan program jaminan sosial yang
bersifat wajib dilaksanakan.
Dengan demikian, untuk mengatur hak-hak perlindungan mendasar bagi
tenaga kerja, pemerintah pun menggeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tersebut, pada Pasal 99 Ayat (1) dikatakan bahwa setiap
pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja.
Selain itu, Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, menyebutkan “Pemberi kerja secara
bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada
badan penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti”.
Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan, menyebutkan
bahwa : “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lainnya” dan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang
Ketenagakerjaan
menyebutkan
bahwa
:
“Pemberi
kerja
adalah
orang
perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain”.
5
Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja sangat dibutuhkan, terutama
pada saat mengahadapi resiko-resiko yang mungkin timbul. Resiko tersebut
berupa kecelakaan kerja yang dialami oleh pekerja.
Berdasarkan
data
dari
Dinas
Koperasi,
UKM,
Perindustrian
dan
Perdagangan, bahwa terdapat 284 (dua ratus delapan puluh empat) perusahaan
perkayuan yang terdaftar di Kabupaten Badung. Namun, dari data yang diperoleh
di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, hanya 28 (dua puluh
delapan) perusahaan perkayuan yang mengikutsertakan pekerjanya dalam jaminan
sosial tenaga kerja.
Ini
membuktikan
bahwa
masih
banyak
perusahaan
yang
belum
mengikutsertakan pekerjanya, baik sebagian maupun seluruhnya dalam program
jaminan sosial tenaga kerja. Hal ini jelas sangat merugikan pekerja karena apabila
terjadi suatu kecelakaan kerja, perusahaan belum tentu memberikan suatu ganti
rugi sebagaimana mestinya.
Dalam menanggulangi hal tersebut, maka sangat diperlukan suatu bentuk
perlindungan dan kesadaran dari pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya
kedalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka sangat menarik
untuk dikaji secara mendalam suatu karya ilmiah yang berjudul “Pelaksanaan
Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja Bagi Pekerja PT. Taru Sakti Utama di
Kuta Badung”.
6
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat diajukan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab PT. Taru Sakti Utama dalam
memberikan jaminan sosial bila terjadi kecelakaan kerja pada
pekerjanya?
2. Apa
yang
menjadi
kendala
PT.
Taru
Sakti
Utama
belum
mengikutsertakan pekerja dalam program jaminan sosial kecelakaan
kerja?
1.3
Ruang Lingkup Masalah
Di dalam penyusunan skripsi maka, perlu kiranya ditentukan secara tegas
batasan materi yang akan diuraikan dalam tulisan tersebut. Hal ini tentunya untuk
mencegah agar materi atau isi uraiannya tidak menyimpang dari pokok
permasalahan yang terurai di dalam tulisan tersebut, sehingga permasalahannya
dapat diuraikan secara sistematis sebagai syarat atau ciri karangan ilmiah.
Permasalahan yang pertama akan membahas mengenai pelaksanaan
tanggung jawab PT. Taru Sakti Utama dalam menangani setiap kasus kecelakaan
kerja yang terjadi di perusahaan tersebut. Sedangkan pembahasan kedua
membahas
mengenai
kendala-kendala
PT.
Taru
Sakti
Utama
belum
mengikutsertakan pekerja dalam jaminan sosial kecelakaan kerja.
Dari ruang lingkup permasalahan tersebut, dapat dilihat apa saja yang akan
dibahas dan diuraikan selanjutnya pada sub-sub bab dalam pembahasan.
7
1.4
Orisinalitas Penelitian
Dengan ini, penulis menyatakan bahwa tulisan yang berjudul Pelaksanaan
Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja Bagi Pekerja PT. Taru Sakti Utama Di Kuta
Badung adalah sepenuhnya hasil dari pemikiran dan tulisan yang ditulis oleh
penulis sendiri dengan menggunakan 2 (dua) skripsi sebagai referensi. Beberapa
penelitian yang ditelusuri berkaitan dengan penelitian ini dapat dikemukakan
sebagai berikut :
No
Judul Skripsi
Penulis
1
Pelaksanaan
Jaminan Edward Fernando
Sosial Tenaga Kerja
Pada CV. Maju Jaya,
Tahun 2009
1.
2.
2
Perlindungan
Hukum Gd Sattwika Yudharma
Terhadap Tenaga Kerja Sutha
DW (Daily Worker) di
Hotel Ibis Styles Bali
Kuta Circle,
Tahun 2014
1.
2.
Rumusan Masalah
Bagaimana
pelaksanaan
jaminan sosial kecelakaan
kerja pada CV. Maju Jaya di
Denpasar?
Badan usaha manakah yang
menyelenggarakan jaminan
sosial kecelakaan tenaga
kerja pada CV. Maju Jaya?
Bagaimanakah perlindungan
hukum terhadap tenaga
kerja DW (Daily Worker) di
Hotel Ibis Styles Bali Kuta
Circle ?
Bagaimanakah
hambatan
yang dihadapi dan langkah
yang
ditempuh
dalam
pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap tenaga
kerja DW (Daily Worker) di
Hotel Ibis Styles Bali Kuta
Circle?
8
1.5
Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan umum
1. Untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab PT. Taru Sakti Utama
dalam memberikan jaminan sosial bila terjadi kecelakaan kerja pada
pekerjanya.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi PT. Taru Sakti Utama
belum mengikutsertakan pekerja dalam jaminan sosial kecelakaan kerja.
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk memahami pelaksanaan tanggung jawab PT. Taru Sakti Utama
dalam memberikan jaminan sosial bila terjadi kecelakaan kerja pada
pekerjanya.
2. Untuk memahami kendala-kendala yang dihadapi PT. Taru Sakti Utama
belum mengikutsertakan pekerja dalam jaminan sosial kecelakaan kerja.
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi PT.
Taru Sakti Utama dalam melaksanakan jaminan sosial bagi pekerjanya untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerjanya, memberikan informasi tambahan akan
pentingnya jaminan sosial tenaga kerja untuk menanggulangi resiko-resiko yang
mungkin muncul dikemudian hari serta diharapkan dapat menambah pengetahuan,
wawasan, dan pengembangan teori-teori terkait ilmu hukum khususnya di bidang
9
ketenagakerjaan serta sebagai sumber informasi bagi mahasiswa yang ingin
mengadakan penelitian secara lebih lanjut tentang obyek penelitian diatas.
1.6.2 Manfaat praktis
Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh langsung
manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan keterampilan menulis,
sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum.6
Melalui penelitian ini juga dapat melatih mahasiswa dalam mengungkapkan
pendapat dan saran terhadap suatu masalah ataupun peristiwa hukum serta
mahasiswa mampu membandingkan antara teori atau tinjauan pustaka dan praktek
di lapangan terhadap permasalahan atau peristiwa hukum yang ada.
1.7
Landasan Teoritis
Di dalam pembahasan ini, dapat dikemukakan suatu kerangka teoritis yang
menjadi kerangka berpikir dan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
dibahas.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga
kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata baik
materiil maupun spiritual.7
6
Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 66.
7
I Made Udiana, 2015, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial,
Udayana University Press, Denpasar, h. 65.
10
Pekerja bukan sekedar sebagai faktor produksi belaka, tetapi sebagai
manusia pribadi dengan segala harkat dan martabat. Dalam Pasal 1 Angka 3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan
bahwa: “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain”.
Perlindungan bagi pekerja merupakan sesuatu yang sangat mendasar karena
menyangkut jiwa manusia. Upaya perlindungan bagi pekerja adalah bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kebijakan di bidang ketenagakerjaan.
Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang wajib dilaksanakan oleh
setiap pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan orang untuk bekerja pada
perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan, yaitu mengenai pemeliharaan dan
peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk jaminan
sosial tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan atau bersifat dasar.
Menurut Soepomo dalam Askin, perlindungan tenaga kerja dibagi dalam 3
(tiga) macam, yaitu:
a. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan
usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan
pekerja/buruh mengenyam dan mengembangkan kehidupannya
sebagaimana manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota
masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial disebut juga dengan
kesehatan kerja.
b. Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya
kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang
dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan
kerja.
c. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu
penghasilan yang cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya
dan keluarganya, termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja
11
karena sesuatu diluar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya
disebut dengan jaminan sosial.8
Imam Soepomo menjelaskan bahwa : “Usaha memperbaiki ekonomi buruh
disebut perlindungan ekonomis, yang persoalannya sebagai syarat-syarat kerja
atau syarat-syarat perburuhan diatur dalam peraturan-peraturan mengenai
hubungan kerja atau perjanjian kerja”.9
Ini berarti bahwa pemberian perlindungan terhadap buruh dalam melakukan
pekerjaan diatur dalam suatu perjanjian kerja sebelum buruh tersebut melakukan
pekerjaannya. Dimana calon pekerja harus tunduk terhadap isi perjanjian kerja
tersebut dan sebaliknya, majikan berkewajiban memberikan tunjangan yang
merupakan hak dari pekerja bila dalam melakukan pekerjaannya buruh mengalami
kecelakaan kerja yang menyebabkan luka-luka, cacat, bahkan kematian.
Upaya perlindungan terhadap pekerja merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh badan-badan yang mempekerjakan tenaga kerja.
Pasal 86 Ayat (1) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
menyebutkan bahwa : setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan;
c. Perlakuan yang sesuai dengan hakekat dan martabat manusia serta nilainilai agama.
Perusahaan wajib memberikan perlindungan bagi pekerjanya, yaitu
mewajibkan perusahaan untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat, dan
8
Zainal Asikin, 2012, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Cet. IX, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 97.
9
Imam Soepomo, 1979, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan
Buruh), Pradnya Paramita, Jakarta (selanjutnya disingkat Imam Soepomo I), h. 26.
12
prasarana sehingga pekerja terlindung dari resiko kecelakaan kerja. Imam
Soepomo juga menjelaskan bahwa perlindungan kepada buruh ditetapkan Pasal
1602w Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun bunyi ketentuan Pasal
1602w Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
Majikan diwajibkan untuk mengatur dan memelihara ruangan-ruangan,
piranti-piranti, perkakas-perkakas dalam mana atau dengan mana ia
menyuruh melakukan pekerjaan sedemikian rupa, begitu pula untuk
mengetahui hal melakukan pekerjaan mengadakan aturan yang sedemikian
serta memberikan petunjuk-petunjuk, hingga si buruh diperlindungi terhadap
bahaya bagi jiwa, kehormatan, dan harta bendanya, segitu jauh, sebagaimana
dapat dituntut sepantasnya berhubungan dengan sifat pekerjaan.10
Bila kewajiban majikan seperti yang tercantum dalam Pasal 1602w Ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas tidak dipenuhi oleh majikan, maka
ayat (2) menyatakan :
Jika kewajiban-kewajiban itu tidak dipenuhi, maka majikan diwajibkan
mengganti kerugian yang karenanya menimpa si buruh dalam menjalankan
pekerjaannya, kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak
dipenuhinya kewajiban-kewajiban itu disebabkan keadaan memaksa atau
bahwa kerugian tersebut sebagian besar ada juga disebabkan oleh kesalahan
kasar dari si buruh sendiri.
Menurut Imam Soepomo, dalam Pasal 1602w
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata juga mengatur mengenai, jika buruh hendak minta ganti rugi
karena kecelakaan, dia harus membuktikan bahwa kecelakaan itu terjadi karena
kesalahan majikan atau kelalaian itu terjadi karena memenuhi kewajibannya untuk
mengatur dan memelihara tempat kerja dan alat-alat kerja sedemikian rupa,
sehingga tidak menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi
10
Imam Soepomo 1992, Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Imam Soepomo II), h. 122.
13
buruh. Bahwa pembuktian ini bagi buruh adalah sukar, bahkan kadang-kadang
tidak mungkin.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Kecelakaan Kerja
menurut Imam Soepomo menyebutkan : “Dilepaskan dasar kesalahan tersebut dan
ganti kerugian karena kecelakaan itu selanjutnya didasarkan atas tanggung jawab
majikan atas kerugian yang terjadi di perusahaanya. Pemberi ganti rugi dipandang
sebagai resiko menjalankan perusahaan”.11
Dalam hal ini, buruh yang mengalami kecelakaan kerja dapat menuntut
haknya untuk mendapat tunjangan kecelakaan kerja kepada perusahaan yang
diwajibkan untuk memberi tunjangan, tentunya dengan atas dasar hubungan kerja
antara buruh dan majikan.
Dalam konteks hubungan kerja, kewajiban kerja para pihak berlangsung
secara timbal balik. Artinya, kewajiban pengusaha merupakan hak pekerja/buruh
dan sebaliknya kewajiban pekerja/buruh merupakan hak pengusaha.12
Adapun kewajiban-kewajiban pekerja atau buruh yang ketentuannya dapat
dilihat pada Pasal 1603, 1603a, 1603b, serta 1603c Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang pada prinsipnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Pasal 1603 : buruh diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan
menurut kemampuannya yang sebaik-baiknya;
b. Pasal 1603a : buruh diwajibkan sendiri melakukan pekerjaannya;
c. Pasal 1603b : buruh diwajibkan mentaati aturan-aturan dan prtunjuk dari
majikan;
11
Imam Soepomo I, op.cit, h. 138
Abdul Khakim, 2009, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdul Khakim II), h.46.
12
14
d. Pasal 1603c : buruh yang bertinggal pada majikan, harus bertingkah laku
menurut tertibnya rumah.
Salah satu kewajiban dari pengusaha adalah mengupayakan terciptanya
kenyamanan kerja dalam perusahaannya, yakni menjamin kesejahteraan tenaga
kerja sehingga dapat terwujudnya ketenangan kerja yang dapat meningkatkan
produktifitas perusahaan.13
Pengusaha memikul tanggung jawab utama secara moral, pengusaha
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan
tenaga kerja.14 Hubungan kerja ini berdasarkan asas bahwa pekerja diberi
pelayanan upah untuk pekerja yang dilakukannya bagi majikannya.15 Bentuk dari
hubungan kerja tersebut, yaitu berarti si pekerja berada di bawah wewenang
pemberi kerja atau yang menyuruh melakukan pekerjaan. Hubungan kerja tiada
lain daripada wewenang antara yang satu dengan yang lain.
Jaminan sosial tenaga kerja memberikan perlindungan bagi tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan, baik dalam hubungan kerja maupun diluar hubungan
kerja. Pemberian suatu perlindungan kepada tenaga kerja, harus sesuai dengan
suatu sistem hukum. Menurut Friedman, suatu sistem hukum terdiri dari suatu
komponen-komponen yaitu : substantif (norma/kaidah, asas hukum), structure
(struktur hukum), culture (budaya hukum).16
13
Hidayat Muharam, 2006, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta
Pelaksanaannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.75.
14
Imam Soepomo, 1987, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Imam Soepomo III), h.81.
15
E. Utrecht, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cet. XI, PT. Ichtiar Baru, Jakarta,
h. 436.
16
Soejono Soekanto, 2010, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 59.
15
Walaupun sistem sistem hukum yang ada sudah lengkap, namun tidak dapat
memungkiri
terjadinya
pelanggaran
hukum,
sistem
hukum
substantif
(norma/kaidah, asas hukum), dan structure (struktur hukum) harus saling
berkaitan satu sama lain, yang mengacu pada culture (budaya hukum) yang dapat
dilihat dari perilaku dan kesadaran masyarakat.17
Tingkat perilaku dan kesadaran hukum tersebut dapat diukur melalui teori
Lawrence Kohlberg yang membagi jenjang kesadaran etis atau dalam istilahnya
sendiri kesadaran moral, yaitu :
1. Tahap pertama, moralitas pra konvensional yang mengandalkan
kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Ketaatannya pada aturan (konvensi)
bukan dengan rela dan sadar bahwa hukum yang dimaksud, benar dan
baik adanya, tetapi karena takut terkena sanksi.
2. Tahap kedua, moralitas konvensional motivasi utama dalam moralitas ini
adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan
mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
3. Tahap ketiga, moralitas purna konvensional adalah sesuatu apa yang
benar dan baik itu ditentukan oleh orang lain. Moralitas yang seperti ini
kadang berhadapan dengan masalah yaitu terjadi perbenturan atas
pertentangan loyalitas.
4. Tahap keempat, apabila terjadi konflik loyalitas merujuk pada kaidah
hukum yang lebih tinggi, hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih
luas. Sesuatu yang dilakukan bukan hanya agar kita diterima oleh orang
lain, tapi karena kesadaran bahwa itu adalah kewajiban menurut hukum
yang berlaku umum yang harus ditaati.
5. Tahap kelima, apabila hukum tidak lagi memenuhi fungsinya, maka
hukum tersebut harus diubah. Sikap kritis pada jenjang ini, orang
senantiasa memperjuangkan keutamaannya dalam isi hukum ketimbang
bersikap formal-legalistik.
6. Tahap keenam, menurut Kohlberg pada tahap inilah pemikiran moral
seseorang mencapai puncaknya. Yaitu moralitas yang pantang
mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan
yang baik. Yaitu orang yang taat terhadap hukum yang berlaku demi
tegaknya harkat dan martabat seluruh manusia. Seperti salah satu
contohnya, suatu perusahaan mendaftarkan pekerjanya ke dalam
program jaminan sosial tenaga kerja demi keselamatan dan
17
Ibid.
16
kelangsungan hidup pekerjanya sesuai dengan kaidah hukum yang
berlaku.18
Terjadinya kecelakaan kerja merupakan suatu bentuk kerugian baik itu
bagi korban kecelakaan kerja maupun bagi perusahaan/organisasi. Kecelakaan
kerja dapat terjadi dalam proses interaksi ketika terjadi kontak antara manusia
dengan alat, material dan lingkungan dimana pekerja berada. Kecelakaan dapat
terjadi karena kondisi alat atau material yang kurang baik atau berbahaya.
Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh atau pekerja
dengan seorang majikan atau perusahaan. Maka, hubungan kerja baru ada bila ada
buruh atau pekerja dan majikan atau perusahaan. Hubungan kerja ini terjadi
setelah adanya perjanjian kerja. Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana
pihak buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak
lainnya, yaitu majikan yang mengikatkan diri memperkerjakan buruh tersebut
dengan membayar upah.19
Para pekerja di dalam melaksanakan pekerjaannya akan mendapatkan
jaminan dari perusahaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengusaha dan pekerja saling timbal balik memberikan bantuan,
pengusaha mendapatkan produk dengan memanfaatkan pekerjaannya, sedangkan
pekerja mendapatkan upah dari hasil pekerjaannya.
Yang dimaksud pengusaha sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1
Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
18
Bernard L.Tanya,dkk, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 90.
19
Halili Toha dan Hari Pramono, 1991, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh,
Rineka Cipta, Jakarta, h.33.
17
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Serta yang dimaksud perusahaan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Kepersertaan terhadap program jaminan sosial tenaga kerja bersifat wajib
bagi setiap badan usaha seperti badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, yayasan, koperasi dan perusahaan perorangan. Terutama bagi perusahaan
swasta, karena biasanya perusahaan swasta dimiliki dan dimodali oleh
perorangan.
1.8
Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan
metode yuridis empiris. Metode yuridis yaitu suatu metode penulisan hukum yang
berdasarkan pada teori-teori hukum, literatur-literatur dan peraturan perundangundangan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan, metode empiris yaitu suatu
metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung ke lapangan
18
guna mendapatkan kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan
skripsi ini.20
1.8.2 Jenis pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), dan pendekatan fakta
(The Fact Approach). Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach)
merupakan suatu pendekatan dengan menelaah peraturan perundang-undangan
tertentu yang berlaku dalam masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan
yang sedang dihadapi serta menelaah penerapan peraturan yang berlaku untuk
mengetahui tingkat efektivitasnya dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan fakta
(The Fact Approach) merupakan suatu pendekatan yang meneliti peristiwaperistiwa nyata yang terjadi dalam masyarakat dan berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
1.8.3 Sifat penelitian
Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang sifatnya bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
20
h. 3.
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
19
1.8.4 Sumber data
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini diperoleh dari dua
macam sumber yaitu :
1) Data primer, berupa data asli yang diperoleh langsung dari sumber
pertama yang belum diolah dan diuraikan.21 Data ini diperoleh dengan
penelitian pada Kantor PT. Taru Sakti Utama di Kuta Badung, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dan Dinas Koperasi,
UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Badung.
2) Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
yaitu melalui bahan-bahan hukum.22 Adapun bahan-bahan hukum yang
diteliti sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang
dapat membantu data menganalisis permasalahan yang ada dalam
skripsi ini. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian
21
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.30.
22
Roni Hanitidjo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 12.
20
b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan yang
dimaksud berupa literatur hukum, karya tulis, dan koran yang
berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
1.8.5 Teknik pengumpulan data
Dalam penulisan skripsi ini teknik pengumpulan data atau bahan yang
dilakukan adalah teknik wawancara,kuesioner, dan studi kepustakaan.
1. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data. Pelaksanaan
wawancara dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan pihak yang
diwawancarai tetapi dapat juga secara tidak langsung seperti memberikan
daftar pertanyaan untuk dijawab pada kesempatan lain.23 Dalam penulisan
skripsi ini, teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara secara
langsung, artinya penulis melakukan percakapan tanya jawab secara bertatap
muka dengan responden. Dalam hal ini, wawancara dilakukan dengan :
a) Pihak PT. Taru Sakti Utama di Kuta Badung
b) Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
2. Kuesioner
Kuesioner merupakan suatu pengumpulan data dengan memberikan atau
menyebarkan
23
daftar
pertanyaan
kepada
responden
dengan
harapan
Husein Umar, 2000, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 51.
21
memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut.24 Daftar pertanyaan
disebarkan kepada pekerja/buruh PT. Taru Sakti Utama yang mengalami
kecelakaan kerja.
3. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan pencarian bahan dan informasi yang berkaitan
dengan materi penelitian ini melalui karya tulis ilmiah yang berupa bukubuku, makalah, skripsi, majalah, situs internet yang menyajikan informasi
terkait masalah yang diteliti serta melalui berbagai peraturan perundangundangan.
1.8.6 Teknik penentuan sampel penelitian
Dalam buku pedoman fakultas hukum universitas udayana, mengenal dua
(2) teknik penentuan sampel penelitian yaitu menggunakan Teknik Random
Sampling dan Teknik Non Random Sampling.
Teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini adalah teknik Non Random Sampling dengan bentuk Quota Sampling. Non
Random Sampling adalah proses pemilihan sampel, dimana tidak semua anggota
dari populasi memiliki kesempatan untuk dipilih.25 Quota Sampling adalah teknik
sampling yang menentukan jumlah sampel dari populasi, dimana responden yang
akan dipilih adalah orang-orang yang diperkirakan dapat menjawab permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini (dalam hal ini adalah pekerja/buruh PT. Taru
Sakti Utama).26
24
Ibid, h. 49
Ronny Kountur, 2005, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Cet. III,
Penerbit PPM, Jakarta, h.143.
26
Husein Umar, op.cit, h. 90
25
22
Berdasarkan rekomendasi dari Ibu Kadek Sulastri personalia PT. Taru Sakti
Utama, pekerja/buruh yang diperkirakan mampu menjawab permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah sebanyak 4 (empat) orang pekerja/buruh PT.
Taru Sakti Utama, karena sebagian besar pekerja yang mengalami kecelakaan
kerja tidak bekerja lagi di PT. Taru Sakti Utama. Adapun alasannya, karena masa
kontrak kerja para pekerja tersebut sudah habis.
1.8.7 Teknik pengolahan dan analisis data
Setelah data dari hasil wawancara maupun data kepustakaan terkumpul,
selanjutnya data-data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik
pengolahan data secara kualitatif. Teknik pengolahan data secara kualitatif yaitu
dengan memilih bahan dengan kualitasnya untuk dapat menjawab permasalahan
yang diajukan.27 Pengolahan data ini disajikan secara deskriptif analisis, yaitu
suatu cara analisis yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis
sehingga diperoleh kesimpulan yang ilmiah.
27
Roni Hanitidjo Soemitro, op.cit, h. 47.
Download